Profil bahan organik dalam berbagai kedalaman tanah dasar Tambak Inti
Rakyat, Karawang
Profile in various organic soil depth shrimp pond, Tambak Inti Rakyat,
Karawang
Yuni Puji Hastuti1*, Lena Novita2, Tri Widiyanto2, Iman Rusmana3
1
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga Bogor 16680
2
Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46, Kompleks LIPI Cibinong Bogor 16911 3
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga Bogor 16680
*email: yuni_ph2@yahoo.com
ABSTRACT
Organic material in the bottom of the pond is part of the land is a complex and dynamic system, which is sourced from the rest of the feed, plants, and or animals found in the soil that continuously change shape, because it is influenced by biology, physics, and chemistry. This study was aimed to see the profile of organic material consisting of C, N, and C/N ratio and phosphate in different depths of pond with different culture systems. Observation were conducted at Tambak Inti Rakyat, Karawang in traditional, semi-intensive and intensive culture systems. Observation at mangrove area was also observed as control. Sediment samples at the inlet and outlet at three different depths (0‒5 cm, 5‒10 cm, and 10‒15 cm) was taken every 30 days to measure the content of C, N, C/N ratio, and total phosphate. During the 120 day maintenance period could be known that in all pond systems were used (traditional, semi-intensive, and intensive) the concentration of C-organic and organic-N on average was located in the bottom layer which is a layer of 10‒15 cm. The lack of human intervention from ground pond system, the more diverse the type and amount of organic material contained therein.
Keywords: organic materials, subgrade, depth, aquaculture systems, long maintenance
ABSTRAK
Bahan organik di dasar tambak merupakan bagian dari tanah yang merupakan suatu sistem kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa pakan, tanaman, dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami perubahan bentuk, karena dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil bahan organik yang terdiri dari C, N, dan C/N rasio serta fosfat pada kedalaman tambak yang berbeda dengan sistem budidaya yang berbeda pula. Pengamatan dilakukan di Tambak Inti Rakyat Karawang pada sistem budidaya tradisional, semi intensif, dan intensif. Pengamatan di daerah mangrove diamati pula sebagai kontrol. Sampel sedimen di inlet dan outlet pada tiga kedalaman yang berbeda (0‒5 cm, 5‒10 cm, dan 10‒15 cm) diambil setiap 30 hari sekali untuk diukur kandungan C, N, C/N rasio, dan total fosfatnya. Selama 120 hari masa pemeliharaan dapat diketahui bahwa pada semua sistem tambak yang digunakan (tradisional, semi intensif, dan intensif) nilai konsentrasi C-organik dan N-organik rata-rata terletak pada lapisan paling bawah yaitu lapisan 10‒15 cm. Minimnya campur tangan manusia dari tanah sistem tambak maka semakin beragam jenis dan jumlah dari bahan organik yang terkandung di dalamnya.
Kata kunci: bahan organik, tanah dasar, kedalaman, sistem budidaya, lama pemeliharaan
PENDAHULUAN
Tambak merupakan salah satu jenis wadah budidaya perikanan di Indonesia. Lokasi yang dipilih sebagai area tambak biasanya terletak di pinggir pantai. Sumber air dan lahan tambak biasanya memiliki
karakter yang sama pada suatu daerah. Perbedaan kualitas lahan tambak bisa berasal dari adanya pengaruh perubahan kondisi alam. Tanah pesisir pantai yang mengalami penggundulan hutan mangrove, banyaknya sumber air limbah yang masuk dari daerah industri sekitar, bahkan kerusakan ini bisa
berasal dari sistem dan teknologi yang digunakan di sekitar wilayah tersebut. Dari
530 kilometer lahan mangrove yang
membentang di pantai utara Jawa, tercatat 700–800 hektar telah mengalami kerusakan, dan tingkat kerusakan terparah berada di Jawa Tengah dengan panjang pantai 325
kilometer. Untuk mengetahui kondisi
mangrove tersebut maka diterbitkan Peta Mangroves Indonesia (Bakosurtanal, 2010).
Dalam tambak terdapat produk
dekomposisi aerobik (pakan) antara lain karbon dioksida, air, amonia, dan nutrien lain. Pada sedimen anaerobik, beberapa mikroorganisme menguraikan bahan organik dengan reaksi fermentasi yang menghasilkan alkohol, keton, aldehida, dan senyawa
organik lainnya sebagai metabolisme.
Beberapa hasil metabolisme tersebut
khususnya H2S, nitrit dan senyawa organik
tertentu dapat masuk ke air dan berpotensi racun bagi ikan atau udang. Lapisan oksigen pada permukaan sedimen mencegah sebagian besar metabolisme yang beracun ke dalam air tambak karena mereka dioksidasi menjadi bentuk yang tak beracun melalui aktivitas biologi ketika melewati lapisan aerobik (nitrifikasi).
Nutrien dan bahan organik merupakan beberapa parameter yang dianggap penting untuk diperhatikan dalam tambak. Banyak atau sedikitnya nutrien dan bahan organik dalam tambak sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan dan produktivitas tambak itu sendiri. Mangrove sebagai sumber bahan
organik tinggi tambak sangat dibutuhkan keberadaannya dalam kegiatan budidaya. Tingkat kesuburan tanah dasar tambak mampu menentukan kesuburan tambak
secara keseluruhan. Tanah sebagai central
soil harus mampu berfungsi optimal sehingga
proses dekomposisi dan pertukaran nutrien
dapat berlangsung sempurna untuk
mendukung produktivitas tambak. Meskipun manajemen kualitas air dianggap salah satu faktor budidaya paling penting, tetapi banyak bukti bahwa kondisi dasar tambak dan pertukaran substansi antara tanah dan air sangat berpengaruh terhadap kualitas air (Boyd, 1995a,b). Bahan organik yang terakumulasi dalam dasar tambak dengan
volume yang berlebihan juga akan
berpengaruh tidak baik bagi tambak. Tanah
sebagai dasar utama tambak dapat
menampung bahan organik dari konsentrasi 0%‒100%. Bahan organik dalam tanah sedimen tambak terdiri dari 48‒58% karbon (Nelson & Sommers, 1982). Sedangkan konsentrasi karbon organiknya 1,9 kali bahan organik dalam permukaan tanah (Nelson & Sommers, 1982). Bahan organik tanah yang tidak jenuh dalam waktu yang lama mampu mengandung karbon organik sampai dengan 20% dari berat keringnya (Soil Survey Staff, 1990). Sedangkan materi tanah yang jenuh dengan air, bahan organiknya lebih sedikit mengandung karbon organik. Secara umum, tanah terklasifikasi sebagai tanah organik jika di atas lapisan 80 cm masih banyak mengandung materi organik (Gambar 1).
Gambar 1. Nomograph pemisah antara bahan mineral organik tanah dengan bahan organiknya (Soil Survey Staff, 1990).
Bahan organik merupakan bagian dari
tanah yang merupakan suatu sistem
kompleks dan dinamis, yang bersumber dari sisa tanaman dan atau binatang yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus
mengalami perubahan bentuk, karena
dipengaruhi oleh faktor biologi, fisika, dan kimia (Kononova, 1966). Stevenson (1994) menyampaikan, bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi
bahan organik ringan, biomassa
mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung berbagai organisme di atasnya, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam
mendukung produktivitas biota juga
menurun. Menurunnya kadar bahan organik merupakan salah satu bentuk kerusakan tanah yang umum terjadi.
Konsentrasi bahan organik yang terdapat dalam lapisan atas tanah sedalam 5 cm pada 235 tambak udang Ekuador, Columbia, Thailand, and Philippines baik di tambak intensif maupun semi intensif, rata-rata adalah 0,18%‒7,20% (Boyd 1992). Rataan konsentrasi karbon organik yang diperoleh adalah 1,41%±1,32%. Dari 56% sampel, kurang lebih mengandung 1% karbon organik dan 83% diantaranya mengandung 2% karbon organik. Ini merupakan gambaran bahan organik pada dasar tanah yang dapat diklasifikasikan sebagai bahan organik tanah tambak tersebut.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap konsentrasi bahan organik dalam dasar tambak. Tidak hanya kualitas sumber air, mangrove, dan kepadatan biota budidaya, manajemen pemberian pakan juga sangat berpengaruh terhadap nutrien dan bahan organik tambak. Pakan yang diberikan pada tambak udang sistem intensif, hanya 17% yang dapat dimanfaatkan oleh biotanya sebagai nutrisi, selebihnya terbuang ke alam dalam bentuk pakan tak termakan dan sisa metabolisme biota (Primavera, 1994). Hasil buangan berupa pakan tak termakan dan hasil
metabolisme biota dapat mengalami
dekomposisi dan akan menghasilkan bahan
organik yang berbahaya bagi biota budidaya dan lingkungannya. Karena salah satu hasil sederhana dari dekomposisi oleh aktivitas bakteri tanah yang adalah unsur nitrogen, yang dapat berupa NH4+, NH3-, NO2, NO3,
maupun N2.
Bahan organik dalam sedimen mencakup semua bahan yang berasal dari jaringan biota budidaya baik dari aktivitas molting maupun biota yang telah mati pada berbagai tahap dekomposisi. Dalam sedimen tambak, juga telah mengalami perombakan/dekomposisi baik sebagian maupun seluruh lapisan. Kononova (1966) dan Schnitzer (1978) membagi bahan organik tanah menjadi dua kelompok yaitu bahan yang terhumifikasi
(humic substance) dan bahan tidak
terhumifikasi yang disebut sebagai non bahan
humik (non humicsubstance). Kelompok
tanah yang terhumifikasi lebih dikenal dengan humus, yang merupakan hasil akhir proses dekomposisi bahan organik yang bersifat stabil dan tahan terhadap proses biodegradasi. Sedangkan untuk kelompok
bahan non-humic substance merupakan
senyawa-senyawa organik seperti
karbohidrat, asam amino, peptide, lemak, lilin, lignin, asam nukleat, dan protein. Kandungan bahan organik tanah sangat beragam, berkisar antara 0,5‒5,0% pada tanah-tanah mineral atau bahkan 100% pada
tanah organik (Bohn, et al. 1979). Pentingnya
kajian umum tentang bahan organik dalam
berbagai sistem budidaya ditambak
diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana perlakuan yang bisa diterapkan dalam melakukan kegiatan budidaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat profil bahan organik dari berbagai kedalaman tanah dasar Tambak Inti Rakyat (TIR) Karawang.
BAHAN DAN METODE Pengambilan sampel sedimen
Sampel merupakan sampel sedimen yang diambil di tambak dengan sistem tradisional, semi intensif, dan intensif Tambak Inti Rakyat (TIR), Karawang. Sampel sedimen
diambil dengan sampling core berbahan
akrilik sepanjang 20 cm dan berdiameter 5 cm. Pengambilan sampel sedimen baik di inlet maupun outlet pada dasar tambak
budidaya, dilakukan ditiga titik, yaitu pada titik kedalaman 0,5 cm, 5‒10 cm, dan 10‒15cm. Tambak yang diamati terdiri atas tiga sistem budidaya yaitu tradisional, semi intensif, dan ekstensif. Sebagai pembanding atau kontrol dilakukan pengambilan sampel sedimen di daerah mangrove sebanyak satu titik. Sampel sedimen tersebut diambil setiap 30 hari sekali yaitu pada hari ke-0, 30, 60, 90, dan hari ke-120. Untuk pengambilan sampel sedimen di tambak, hari ke-0
merupakan hari pertama pada masa
budidaya.
Metode “Diagram sampel sedimen ASIARESIST (Analysis of Antimicrobial
Resistance Associated with Asian
Aquacultural Environments)” digunakan untuk mendapatkan sampel sedimen baik di tambak maupun di daerah mangrove. Sesuai metode tersebut, sedimen di dasar tambak budidaya diambil dengan cara menancapkan sampling core ke dalam dasar tambak kemudian diangkat menggunakan batang besi dengan posisi tegak lurus ke atas. Sedimen yang diambil dengan pipa akrilik, langsung ditutup rapat dengan tutup berbahan pipa dan langsung dilapisi plastik (Gambar 1).
Sampling core dimasukkan ke dalam ice box
berukuran 100×50 cm. Dan selanjutnya disimpan dalam refrigerator bersuhu ±4 °C.
Gambar 1. Sampel sedimen dalam sampling core
Persiapan sampel sedimen
Sedimen dikeluarkan dari pipa akrilik dengan penyodok berbahan kayu dan berujung karet. Setiap 5 cm, sedimen dipotong dengan benang/sudip besi, sehingga
mencapai tiga potongan yang
menggambarkan tiga strata sedimen yaitu 0‒5 cm, 5‒10 cm, dan 10‒15 cm. Analisis yang dilakukan meliputi parameter fisika, biologi, dan kimia sedimen. Parameter fisika
yang dianalisis adalah tekstur tanah
berdasarkan pipet % kandungan debu, liat, dan pasir. Parameter biologi yang dianalisis adalah populasi bakteri penghasil amonium dan nitrit. Metode yang digunakan dalam
analisis kelimpahan bakteri penghasil
senyawa kimia amonium (NH4+) dan nitrit
(NO2-) adalah metode pengenceran tiga seri
most probable number (MPN). Sampel
sedimen ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke 9 mL larutan fisiologis dalam
tabung uji (test tube). Sampel dihomogenkan
dengan vortex selama 20 menit. Kemudian
dilakukan pengenceran bertingkat sampai
sepuluh kali. Dari pengenceran tiga seri (10-2,
10-3, 10-4) diambil 1 mL dimasukkan ke
dalam tabung berisi media pertumbuhan
bakteri yang telah di-flashing dengan gas N2
dengan metode oxygen free nitrogen (OFN)
untuk mencapai kondisi anaerobik.
Berikutnya setiap tabung dilapisi dengan
menggunakan plastik kling wrap dan diberi
label dan diinkubasi selama 24 jam.
Analisis senyawa nitrit secara kimia dilakukan dengan menggunakan reagen
Sulfanilamid dan N-(1-Naphthyl)
ethylendiamin (NED). Sampel diambil
dengan alat suntik steril kemudian ditetesi reagen secara bergantian. Apabila terjadi perubahan warna pada sampel menjadi merah muda, mengindikasikan terdapat minimal satu sel bakteri penghasil nitrit dalam sampel. Analisis kimia senyawa amonium, digunakan
reagen fenol alkohol, Na-nitropruscid,
indikator asam sitrat, dan hipoklorit. Setelah ditetesi secara bergantian kemudian terdapat warna biru maka mengindikasikan terdapat senyawa kimia jenis amonium dalam sampel (APHA, 1995). Parameter kimia yang dianalisis adalah kandungan amonium dan nitrit di dalam air pori sedimen. Analisis kualitas air pori sedimen dilakukan untuk mendapatkan nilai kuantitatif amonium dan nitrit di dalam sedimen. Sedimen basah dan tabung sentrifugasi ditimbang 14,075g, kemudian disentrifugasi. Sampel sedimen disentrifugasi pada 8000 rpm selama 30 menit pada suhu 4 °C, supernatan didekantasi dan disentrifugasi ulang pada 8000 rpm selama 30 menit. Selanjutnya dipisahkan dan disaring dengan kertas saring Whatman GF/C berukuran 0,45 µm dan disimpan pada suhu
10 °C. Selanjutnya dilakukan analisa, dimana analisa tersebut bisa dilakukan tidak
lebih dari 24 jam (Greenberg et al., 1992).
Sedangkan parameter fisika dengan analisis tekstur tanah dilakukan berdasarkan pipet %
kandungan debu, liat, dan pasirnya.
Kandungan persentase debu, liat maupun pasirnya telah diketahui selanjutnya dibaca dengan diagram tekstur tanah berdasar
segitiga Millar (Brower et al. 1990).
Analisis bahan organik
Bahan organik yang terdiri dari C, N, dan C/N serta total fosfat sedimen tambak diukur
dengan metode Walkley and Black (Houba et
al., 1995).
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan terhadap parameter fisika sedimen tanah dasar tambak diperoleh tekstur yang berbeda-beda dari
setiap sistem budidaya udang. Sistem
budidaya tradisional memiliki tekstur
cenderung liat. Hanya di lapisan 0‒5 cm sampai hari ke-30 tekstur berupa liat sangat halus. Setelah itu, cenderung berupa liat.
Tekstur ini tidak terlalu mengalami
perubahan, hal ini dikarenakan tidak adanya pakan tambahan yang masuk ke dalam
tambak sehingga tidak mengalami
sedimentasi yang berarti. Selain mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya waktu pemeliharaan, sistem tambak semi intensif memiliki tekstur yang beragam.
Komponen debu yang berukuran halus cenderung berada pada lapisan paling bawah yaitu lapisan 10‒15 cm, selebihnya tekstur sedimennya berupa liat. Berbeda dengan tambak tradisional dan tambak semi intensif, terdapat perubahan besar pada lapisan tanah 0‒5 cm dari permukaan tanah. Pada hari ke-0 smpai ke-30 tekstur tanah dasar tambak sistem intensif adalah lempung liat berpasir, namun setelah hari ke-90 berubah menjadi liat dan pada hari ke-120 berubah menjadi berliat sangat halus (Tabel 1). Sebagai pembanding sedimen daerah mangrove tidak terjadi banyak perubahan dari pertambahan waktu dan kedalaman, tekstur tanah yang diperoleh relatif sama yaitu lempung liat berpasir.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua sistem tambak yang digunakan (tradisional, semi intensif, dan intensif) nilai konsentrasi C-organik dan N-organik rata-rata terletak pada lapisan paling bawah yaitu lapisan 10‒15 cm (Tabel 2). Sedangkan pada mangrove, lapisan yang banyak mengandung bahan organik (C dan N) adalah lapisan 0‒5 cm dan 5‒10 cm. Namun demikian kandungan C/N rasio hampir sama dari setiap kedalaman dan setiap sistemnya, kecuali
pada mangrove. Total phospat yang
menunjukkan banyak sedikitnya fospat
dalam sedimen nilai tertinggi terdapat pada sistem tambak semi intensif pada lapisan 5‒10 cm yaitu 0,07%, selebihnya nilainya 0,02‒0,04%. Bahan organik yang terkandung dalam sedimen tambak tradisional, nilai Tabel 1. Tekstur tanah sedimen tambak pada kedalaman dan sistem tambak yang berbeda
Sistem budidaya Hari ke-
Kedalaman (cm)
0‒5 5‒10 10‒15
Tradisional 0 Berliat sangat halus Liat Liat
30 Berliat sangat halus Liat Liat
60 Liat Liat Liat
90 Liat Liat Liat
120 Liat Liat Liat
Semi intensif 0 Liat Liat Berliat sangat halus
30 Liat Lempung Liat berdebu Berliat sangat halus
60 Liat Liat Liat/ berliat halus
90 Liat Berliat sangat halus Berliat sangat halus 120 Liat Berliat sangat halus Berliat sangat halus Intensif 0 Lempung liat berpasir Lempung berliat Liat berpasir
30 Lempung liat berpasir Lempung berliat Liat berpasir 60 Liat Berliat sangat halus Liat/berliat sangat halus 90 Liat/berliat sangat halus Berliat sangat halus Berliat sangat halus 120 Liat/berliat sangat halus Berliat sangat halus Berliat sangat halus Mangrove 90 Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir Lempung liat berpasir
Tabel 2. Bahan organik dalam tiga sistem tambak yang berbeda
Sistem Budidaya Kedalaman tanah dasar tambak (cm) Bahan organik (%) Total
C N C/N P Tradisional 0‒5 0,95 0,01 11,5 0,004 5‒10 0,90 0,01 13,0 0,004 10‒15 1,57 0,09 13,0 0,004 Semi intensif 0‒5 0,92 0,04 12,5 0,06 5‒10 0,86 0,03 11,5 0,07 10‒15 1,22 0,10 12,3 0,05 Intensif 0‒5 0,82 0,04 10,7 0,05 5‒10 0,77 0,03 12,0 0,04 10‒15 0,81 0,03 12,7 0,04 Mangrove 0‒5 3,55 0,27 13,0 0,02 5‒10 4,02 0,33 12.0 0,02 10‒15 0,23 0,02 12.0 0,02
C-organik tertinggi terdapat pada lapisan sedimen 10‒15 cm, sedangkan konsentrasi terendah terdapat pada lapisan 0‒5 cm yaitu
0,95%. Untuk N-organik sedimen
berdasarkan tekstur yang cenderung liat, tambak tradisional memiliki N 0,01 pada lapisan 0‒5 dan 5‒10 cm, sedangkan N-organik di lapisan 10‒15 cm relatif rendah yaitu 0,009%. C/N ratio pada tambak tradisional bernilai 11,5 pada lapisan atas, sedangkan pada lapisan 5‒10 dan 10‒15 cm mencapai 13 (Tabel 2).
Sistem budidaya semi intensif
menghasilkan C-organik yang sedikit rendah daripada tambak tradisional yaitu 0,92% pada lapisan 0‒5 cm, 0,86% pada lapisan 5‒10 cm dan 1,22% pada lapisan 10‒15 cm, sedangkan N-organiknya relatif lebih tinggi dari tambak tradisional yaitu bernilai 0,04% pada lapisan 0‒5 cm, 0,05% pada lapisan 5‒10 cm dan 0,1% pada lapisan 10‒15 cm. Nilai C/N rasio tambak semi intensif relatif sama antar kedalaman yaitu 11,5‒12,5 (Tabel 2). Sebagai kontrol, daerah mangrove merupakan daerah yang masih natural atau alami. Dilihat dari bahan organiknya, daerah mangrove menyimpan C-organik yang sangat tinggi yaitu 3,55% pada lapisan 0‒5 cm dan 4,02% pada lapisan 5‒10 cm namun C-organik ini menurun pada lapisan sedimen 10‒15 cm yaitu mencapai 0,02%. N-organik
daerah mangrove juga lebih tinggi
dibandingkan dengan tiga sistem tambak yang lain. Berbeda dengan C-organik dan N-organik, C/N rasio pada daerah mangrove relatif tidak berbeda dengan tiga sistem tambak budidaya lainnya (Tabel 2).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap
konsentrasi dan perubahan dari bahan organik dalam sedimen tambak udang. Materi tanah (tekstur dan kandungannya) dalam tambak sangat menentukan bentuk konstruksi dan jumlah bahan organiknya. Konsentrasi dan metode dalam manajemen tambak juga sangat berpengaruh terhadap masukan, dekomposisi serta keberadaan bahan organik dalam sedimen tambak. Pada tambak, peningkatan bahan organik biasanya terdapat pada lapisan atas yaitu 0‒5 cm (Boyd, 1992). Hal ini dimungkinkan, karena lapisan atas sedimen atau dasar tanah tambak adalah lapisan yang paling produktif. Bahkan tidak menutup kemungkinan lapisan ini masih sering dalam kondisi aerob. Pada sistem tambak tradisional, semi intensif, intensif dan mangrove sekalipun terlihat jelas kandungan bahan organik yang terdiri dari C-organik dan N-C-organik serta C/N rasio
memperlihatkan adanya penurunan
konsentrasi bahan organik, artinya
konsentrasi terbesar terdapat pada lapisan atas. Kondisi ini juga diperkuat dengan adanya pernyataan Gately (1990) yang memperlihatkan bahwa konsentrasi bahan karbon organik meningkat dari 1,53% menjadi 2,49% dalam tambak tradisional (tanpa aerasi) pada masa pemeliharaan lima bulan. Kondisi karbon di alam pada dasarnya berbeda dari setiap kedalaman tanah, penelitian Gately (1990) ditemukan adanya variasi karbon organik walaupun terdapat pada kolam yang dangkal.
Dilihat dari hasil yang diperoleh, C-organik pada mangrove relatif lebih besar jumlahnya daripada tiga sistem budidaya yang lain yaitu 3,55% dan 4,02% pada
lapisan 0‒5 cm dan 5‒10 cm. Berikutnya jumlah C-organik tertinggi terdapat pada tambak tradisional, semi intensif, dan intensif. Hal ini diduga, tingginya aktivitas
dalam tambak (intensif) berpengaruh
terhadap kandungan C-organik di tambak.
Obat-obatan, kandungan pakan yang
kompleks, penanganan yang terlalu intensif, dan kegiatan lainnya yang biasa diterapkan pada tambak intensif mampu berpengaruh terhadap keberadaan kondisi alam tambak sehingga bahan organik juga akan beragam
kondisinya. Berbeda dengan daerah
mangrove dan tambak tradisional yang relatif lebih besar kandungan organiknya, hal ini diduga karena minimnya campur tangan manusia terhadap keberadaan materi tanah yang ada sehingga kandungan materi organik juga masih stabil.
Mangrove memiliki aktivitas dekomposisi yang tinggi, hal itu juga menyebabkan tingginya kandungan bahan organik dalam tanahnya. Secara umum, bahan organik akan terdegradasi menjadi materi yang lebih kecil ketika persentase dekomposisi di tanah juga
cepat. Tambak yang dalam dapat
berpengaruh pada konsentrasi bahan organik yang akan semakin meningkat seiring dengan tingginya kedalaman air (Boyd, 1976; Boyd, 1977). Dari semua tambak yang diteliti, menunjukkan bahwa karbon organik di lapisan 0‒5 cm lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan lapisan di bawahnya. Hal ini juga disampaikan oleh Ayub (1992) bahwa konsentrasi karbon organik pada lapisan 0‒5 cm akan lebih tinggi dan lebih beragam dibandingkan dengan lapisan 5‒10 cm. Asumsi bahwa konsentrasi bahan organik di permukaan sedimen lebih tinggi dengan lapisan di bawahnya bisa digunakan. Seiring dengan bertambahnya waktu, bahan organik akan terakumulasi dalam tanah, namun bahan organik akan semakin meningkat di tanah yang subur (Boyd, 1970; Boyd, 1974). Tidak hanya itu, Gately (1990) juga menyampaikan bahwa di tambak semi intensif Universitas Auburn selama 30‒40 tahun, menunjukkan secara normal akan menghasilkan 1‒3% karbon organik.
Selama produksi sepuluh tahun,
peningkatan bahan organik dapat mencapai 5% (Boyd, 1992). Adapun beberapa faktor
yang dapat berpengaruh terhadap keberadaan bahan organik di tambak adalah pengambilan (crop) tanah dasar sehingga berpengaruh terhadap keberadaan aktivitas mikroba; saat pengairan air, terdapat sedimen luar yang terbawa ke dalam kolam/tambak; dan kemampuan dekomposisi bahan organik dalam tanah (Boyd, 1992).
Untuk membedakan kondisi bahan
organik tanah yang mengandung humus dan tidak, bahan organik dalam dasar tanah
tambak udang yaitu dengan melihat
organisme yang mampu hidup di tanah tersebut; melihat kemampuan dekomposisi tanah; dan memasukkan bahan organik dalam tanah (Boyd, 1992). Mikroorganisme dalam
kehidupannya membutuhkan berbagai
macam nutrien dan banyak nutrien tersebut berupa bahan organik. Dalam bahan organik untuk menghasilkan kualitas tanah yang subur maka C/N rasio harus diperhatikan.
C/N rasio merupakan parameter
perbandingan C-organik dan N-organik dalam tanah untuk mengetahui tingkat kesuburannya. Nilai rasio C/N ini diatur di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) ataupun Keputusan Kementrian Pertanian tentang kualitas kompos (pupuk alami). Di dalam SNI rasio C/N kompos yang diijinkan
adalah 10–20, sedangkan di dalam
KepMenTan rasio C/N kompos yang
diijinkan berkisar antara 20. Berdasarkan hal ini, tanah yang mengandung C/N rasio diatas tentunya sudah dapat dikatakan sebagai tanah subur.
Rasio C/N pada tiga sistem tambak budidaya (tradisional, semi intensif, dan intensif) serta tanah mangrove sudah lebih dari sepuluh. Hal itu berarti tanah yang dimiliki tiga tambak dan daerah mangrove tersebut sudah termasuk sebagai tanah subur. Bahan organik dengan C/N ratio 10‒15 akan
mempercepat proses dekomposisinya
dibandingkan dengan bahan organik yang memiliki lebih banyak C/N rasio (Boyd, 1990). Hubungan antara persentase nitrogen dan C-organik dalam tambak udang dapat dilihat pada Tabel 3. Selain itu, Tabel 3 juga menyampaikan data bahwa kandungan fosfat dalam tambak dan mangrove juga beragam. fosfat merupakan sebuah ion poliatom atau radikal yang terdiri dari satu atom fosfor dan
empat oksigen. Unsur tersebut sangat berguna bagi tanaman. Diduga, tambak yang
banyak ditumbuhi tanaman klekap
(khususnya pada tambak alternatif) di dasar
tambaknya menandakan banyaknya
kandungan fosfat di dalamnya, walaupun masih banyak faktor lain yang memengaruhi hal tersebut. Hal ini disebabkan adanya kandungan pupuk alami dalam unsur fosfat. Variabel yang sangat menentukan bagi fosfat
sebagai pupuk alam adalah kadar
kelarutannya terutama kelarutan dalam asam sitrat 2%, kelarutan pada asam dapat mencerminkan seberapa besar fosfat yang dapat diserap oleh akar.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini, dengan masa pemeliharaan 120 hari menunjukkan bahwa pada semua sistem tambak yang digunakan (tradisional, semi intensif, dan intensif) nilai konsentrasi C-organik dan N-organik rata-rata terletak pada lapisan paling bawah yaitu
lapisan 10‒15 cm. Sedangkan pada
mangrove, lapisan yang banyak mengandung bahan organik (C dan N) adalah lapisan 0‒5 cm dan 5‒10 cm. Namun demikian kandungan C/N rasio hampir sama dari setiap kedalaman dan setiap sistemnya, kecuali
pada mangrove. Total fosfat yang
menunjukkan banyak sedikitnya fosfat dalam sedimen nilai tertinggi terdapat pada sistem tambak semi intensif pada lapisan 5‒10 cm
yaitu 0,07%, selebihnya nilainya
0,02‒0,04%. Selain itu, C-organik pada mangrove relatif lebih besar jumlahnya daripada tiga sistem budidaya yang lain yaitu 3,55% dan 4,02% pada lapisan 0‒5 cm dan 5‒10 cm.
DAFTAR PUSTAKA
Ayub M. 1992. Pond Soil Organik Matter: determination, variability, and changes during manuring, aeration, and bottom drying [Dissertation]. Alabama, USA: Auburn University.
[APHA]. 1995. Standard Methods, 19th
edition. Washington DC, USA:
American Public Health Association.
Bakosurtanal. 2010. Peta Mangrove
Indonesia.http://www.bakosurtanal.go.i
d/bakosurtanal/
bakosurtanal-luncurkan-peta-mangroves Indonesia. [13 Februari 2013].
Bohn HL, McNeal BL, O’Connor GA. 1979. Soil Chemistry. New York, USA: John Wiley and Sons.
Boyd CE. 1970. Influence of organik matter on some characteristic of aquatic soils. Hydrobiologia 36: 17‒21.
Boyd CE. 1974. The utilization of nitrogen from the decomposition of organic
matter in cultures of Scenedesmus
dimorphyus. Archive of Hydrobiologia
72: 1‒9
Boyd CE. 1976. Chemical and textural properties of muds from different depths in pond. Hydrobiologia 48: 141‒144.
Boyd CE. 1977. Organik matter
concentration and textural properties of mud from different depths in four fish ponds. Hydrobiologia 53: 277‒279. Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for
Aquaculture Alabama. Alabama, USA:
Agricultural Experiment Station,
Auburn University.
Boyd CE. 1992. Shrimp Pond Bottom Soil and Sediment Management. Alabama,
USA: Alabama Agricultural
Experiment Station. Auburn
University.
Boyd CE. 1995a. Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. New York, USA: Chapman and Hall.
Boyd CE. 1995b. Chemistry and Efficacy of Amendments Used to Treat Water and Soil Quality Imbalances in Shrimp
Penaeids. Proceeding of the
Aquaculture’ 95. World Aquaculture Society. San diego, California.
Brower J, Zar J, Ende VC. 1990. Field and
Laboratory Methods for General
Ecology. Iowa, USA: Brown Publ. Dubuque.
Gately RJ. 1990. Organic karbon
concentration in bottom soils of ponds: variability, changes over time, and effects of aeration [Master’s Thesis]. Alabama: Auburn University.
Greenberg AE, Clesceri LS, Eaton AD. 1992. Standard Methods for Examination of
Water and Wastewater, 18th edition. Wasington DC, USA: Publication
Office American Public Health
Assosiation.
Houba VJG, Lee VD, Novozamky I. 1995, Soil and Plant Analysis: A Series of a
Sillaby Part 5B Soil Analysis
Procedure, Others Procedures.
Wageningen, The Netherlands:
Departement of Soil Science and Plant
Nutrition, Wageningen Agriculture
University.
Kononova MM. 1966. Soil Organic Matter. its Nature, its Role in Soil Formation and in Soil Fertility. Pergamon,
Oxford, 2nd English edition.
Nowakowsky TZ, Newman ACD. 544 p.
Nelson DW, Sommers IE. 1982. Total karbon, organik karbon, and organik
matter. In: Page AI (ed). Methods of
Soil Analysis, Part W. Chemical and
Microbiological Properties. Wisconsin,
USA: American Society of Agronomy, Inc. pp 539‒579
Primavera JH. 1994. Shrimp Farming in the Asia-Pacific: Environment and Trade Issues and Regional Cooperation. http://oldsite.nautilus.org/archives/pape
rs/enviro/trade/shrimp.html [13
Februari 2013].
Schnitzer M. 1978. Some observations on the
chemistry of humic substances.
Agrochimica 22: 216‒225.
[Soil Survey Staff]. 1990. Keys to Soil Taxonomy. Virginia, USA: Virginia
Polytechnic Institute and State
University, SMSS Technical
Monograph No. 19, Blacksburn. Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry:
genesis, composition, reactions. 2nd ed. Wiley, New York 496 p.