BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2016
di aliran Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun. Sampel yang diperoleh
dibawa untuk diidentifikasi ke Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Sumatera Utara.
3.2. Metode Penelitian
Penentuan titik lokasi pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan
dengan metode Purposive Random Sampling, yaitu dengan menentukan 4 stasiun
pengambilan sampel. Masing-masing stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas
yang terdapat di daerah tersebut.
3.3. Deskripsi Area
3.3.1. Lokasi Penelitian Stasiun 1
Stasiun 1 berada di Desa Karanganom, Pane Tongah yang secara geografis
terletak pada 02057’21,80” LU dan 099007’26,49” BT. Stasiun 1 ini merupakan
daerah pengerukan pasir dan batu serta terdapat bendungan. Substrat dasar pada
lokasi ini adalah pasir dan batu (Gambar 2.).
3.3.2. Lokasi Penelitian Stasiun 2
Stasiun 2 merupakan daerah pariwisata yang dikelola oleh penduduk yang berada
di kota Pematang Siantar.Secara geografis stasiun 2 ini terletak pada
02057’29,58”LU dan 099004’25,44’’BT. Substrat dasar pada lokasi ini
berupa bebatuan dan berpasir (Gambar 3.)
Gambar 3. Sungai Bah Bolon pada Stasiun 2 yang Merupakan Daerah Pariwisata Terletak di Kawasan Kota Pematang Siantar.
3.3.3. Stasiun 3
Stasiun 3merupakan daerah pembuangan limbah rumah sakit dan pabrik es yang
berada tidak jauh dari aliran sungai, lokasi sungai terletak di Kota Pematang
Siantar. Secara geografis stasiun 3 terletak pada 02057’16,27’’ LU dan
099003’50,70’’ BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir, bebatuan dan
sedikit berlumpur (Gambar 4.).
3.3.3. Stasiun 4
Stasiun 4merupakan daerah yang terdapat aktivitas dari pemukiman penduduk
seperti mencuci, pemandian dan penangkapan ikan. Lokasi stasiun 4 terletak di
Kota Pematang Siantar, yang secara geografis terletak pada 02056’32,61’’ LU
dan 099002’33,27’’ BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir dan batu
(Gambar 5).
Gambar 5. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 4 yang Terdapat Dekat Pemukiman Penduduk Di Kota Pematang Siantar.
3.4. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jala dengan luas 12,56 m2
dan diameter mata jala 1,5 cm, cool box, tool box, camera digital, pH meter, DO
meter, turbidity meter, termometer, lux meter, keping secchi, pipet tetes,
erlemeyer 150 ml, spit 5 ml, spit 3 ml, ember 5 liter dan botol alkohol. Bahan
yang digunakan adalah alkohol 70%, kertas grafik, aluminium foil, plastik 10 kg,
MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum.
3.5. Pengambilan Sampel Ikan
Pengambilan sampel ikan dilakukan bersamaan dengan pengukuran faktor-fisik
kimia perairan. Cara pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menebar jala
dengan luas 12,56 m2 sebanyak 30 ulangan pada masing-masing stasiun.
Penebaran jala dilakukan berdasarkan penentuan 3 titik sampling secara acak di
setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel ikan yang diperoleh dimasukkan ke
selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan
buku identifkasi Kottelat.
3.6. Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 3.6.1. Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer dengan skala
0-100oC. Termometer dimasukkan ke badan air dan biarkan beberapa saat lalu
dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat hasil yang tertera pada skala
termometer.
3.6.2. Intensitas Cahaya
Lux meter diletakkan pada lokasi penelitian setelah terlebih dahulu dinyalakan
dan diatur Lux meter pada perbesaran 200.000, kemudian dicatat nilai yang tertera
pada layar.
3.6.3. Penetrasi Cahaya
Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping Sechii,
caranya dengan keping Sechii dimasukkan ke dalam perairan sungai, sampai
keping Sechii tersebut tidak kelihatan, kemudian diukur panjang talinya.
3.6.4. Kecepatan Arus Sungai
Bola ping pong dimasukkan ke badan sungai bersamaan dengan menghidupkan
stopwatch, hingga mencapai jarak 10 m. Kemudian dimatikan stopwatch dan
dicatat waktunya. Pengukuran kecepatan arus dilakukan sebanyak 5 x ulangan.
3.6.5. Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelumnya
dikalibrasi dulu pH dengan pH 7. Pengukuran pH air dilakukan dengan cara
ujung dari pH meter dimasukkan ke permukaan badan air lalu dibaca nilai yang
3.6.6. Dissolved Oxygen (DO)
Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler,
yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan
masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan.
Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian
ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk
endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu
dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel
ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru.
Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi
perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai
dihitung dan hasilnya dicatat. (Lampiran 3).
3.6.7. Biochemical Oxygen Demand (BOD5)
Pengukuran BOD5 dilakukan setelah sampel air yang diambil, diinkubasi selama 5
hari, kemudian dengan metode Winkler yang memakai reagen-reagen kimia yaitu
MnSO4 dan KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum. Sampel air dimasukkan ke dalam
botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke
dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga
terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan
didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga
berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan
dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi
menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening.
Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. Nilai
BOD5 adalah nilai DO awal dikurang dengan nilai DO akhir. Prosedur kerja BOD5
3.6.8. Kejenuhan Oksigen
Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Kejenuhan O2 = DO u
DO t x 100%
Keterangan:
O2 [U] : Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)
O2 [t] : Nilai konsentrasi pada tabel (lampiran 5) sesuai besar suhunya.
3.6.9. Kadar Nitrat (NO3)
Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 1 ml NaCL dengan
pipet volum dan ditambahkan 5 ml H2SO4 75% lalu ditambah 4 tetes Brucine
Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit.
Kemudian larutan tersebut didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 410 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer.
3.5.10.Total Suspended Solid (TSS)
Pengukuran kandungan TSS dilakukan dengan menggunakan metode
spektrofotometer di Laboratorium Lingkungan Shafera Enviro.
3.5.11.Total Disolved Suspended (TDS)
Pengukuran kandungan TDS dilakukan dengan menggunakan metode
spektrofotometer di Laboratorium Lingkungan Shafera Enviro.
3.6.12. Kadar Posfat (PO4)
Sampel air diambil sebanyak 5 ml lalu ditambahkan 1 ml Amstrong Reagen dan 1
ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer.
Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia perairan beserta satuan
Tabel 1. Alat dan satuan yang digunakan dalam pengukuran faktor fisik-kimia perairan
No Parameter Fisik-Kimia Satuan Alat Tempat
Pengukuran
1 Suhu °C Termometer In situ
2 Penetrasi cahaya Meter Keping secchi In situ
3 Intensitas cahaya Candela Lux meter In situ
4 pH air - pH meter In situ
5 Kecepatan Arus m/det Stopwatch, Bola ping-pong, Meteran
In situ
6 DO mg/l Metoda Winkler In situ
7 BOD5 mg/l Metode Winkler dan Inkubasi Laboratorium
8 Kejenuhan Oksigen % - Laboratorium
9 Kadar Nitrat (NO3) mg/l Spektrofotometri Laboratorium
10
Data ikan yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi,
kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon Wiener, Indeks
keseragaman dan indeks kesamaan.
a. Kepadatan Populasi
KP (ind/m2) =
b. Kepadatan Relatif Ikan
KR (%) =
c. Frekuensi Kehadiran (FK)
75 - 100 % = kehadiran absolut (sangat sering)
(Michael, 1994)
d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’) H’ = −
∑
pi ln piDimana :
H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener ln = logaritma Nature
e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)
E =
H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum
= ln S (dimana S banyaknya genus)
f. Indeks Similaritas (IS)
IS = X100%
b a
2c
+
Dimana:
IS = Indeks Similaritas
a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b
c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b
(Michael, 1994)
3.7.4. Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan
yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman ikan. Analisis korelasi dihitung
menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.
17.00.
Keterangan:
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Jenis-Jenis Ikan yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun
Hasil penelitian diperoleh jenis ikan yang terdapat pada keempat stasiun
penelitian di sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun terdiri dari 3 ordo, 6
famili dan 11 spesies, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi dan Jenis-jenis Ikan Yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian
No Ordo Famili Spesies Stasiun
Keterangan: Tanda (+) : didapatkan, tanda (-) : tidak didapatkan.
Tabel 2. memperlihatkan bahwa jumlah spesies ikan yang didapatkan
berbeda pada setiap stasiun, pada stasiun 1 didapatkan sebanyak 8 spesies ikan,
sedangkan pada stasiun 2, 3 dan 4 yang masing-masing terdapat 6 spesies ikan.
Stasiun 1 memiliki jumlah spesies ikan lebih banyak dari stasiun lainnya
disebabkan oleh kondisi faktor fisik dan kimia perairan di stasiun 1 lebih baik
untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi
fisik dan kimia perairan seperti suhu, intensitas cahaya, penetasi cahaya,
kekeruhan, dan kadar nitrat dari stasiun 1 lebih mendukung pertumbuhan ikan
dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kordi (2010), menyatakan suhu yang cocok
untuk biota air antara 23-320C. Tinggi rendahnya suhu suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh faktor antara lain ketinggian, curah hujan dan intensitas cahaya
matahari. Maniagasi, et al (2013), menyatakan kemampuan cahaya matahari untuk
menembus sampai ke dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan suatu perairan.
yang dipengaruhi oleh kekeruhan, dimana pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa
stasiun 1 memiliki nilai kekeruhan terendah. Kekeruhan mepengaruhi jarak
pandang ikan saat beraktifitas di dalam air, sehingga ikan lebih menyukai perairan
yang tidak terlalu keruh.
Stasiun 1 memiliki 2 spesies ikan yang tidak terdapat pada stasiun lainnya
yaitu ikan Neolissochilus sumatranus dan Oreochromis niloticus. Tabel 2.
menunjukkan terdapat dua jenis ikan Tor yakni Tor soro dan Tor douronensis
serta satu jenis ikan Neolissochilus yakni Neolissochilus sumatranus. Ketiga
spesies ini dikategorikan sebagai ikan batak oleh masyarakat setempat. Ketiga
spesies ini merupakan ikan ekonomis tinggi dan bernilai sosio-kultural khususnya
bagi masyarakat dari suku batak. Neolissochilus sumatranus merupakan spesies
endemik yang sudah sangat jarang ditemukan di daerah Sumatera Utara
(Simanjuntak, C. 2012). Neolissochilus sumatranusmerupakan jenis ikan yang
menyukai perairan dengan tingkat kekeruhan yang rendah, perairan jernih,
berbatu dengan oksigen terlarut yang tinggi. Kondisi ini dapat dilihat bahwa ikan
ini hanya didapatkan pada stasiun 1 yaitu daerah bendungan dengan kekeruhan
7,61 dan oksigen terlarut 8,19. Stasiun 1 dapat dikatakan daerah aliran sungai
yang lebih dekat dengan hulu sungai Bah Bolon, terletak di Kecamatan Pane
Tongah. Secara spasial dan temporal, ikan Neolissochilus sumatranus memiliki
distribusi yang luas di daerah hulu sungai dengan perairan yang jernih dan
kekeruhan rendah (Simanjuntak, C. 2012).
Puntius binotatus dan Clarias tjesmani merupakan ikan yang didapatkan
pada setiap stasiun penelitian. Ikan Lele ataupun Clarias tjesmani merupakan ikan
yang dapat ditemukan dalam berbagai kondisi air tawar baik keruh maupun jernih.
Hal ini disesuai dengan kondisi fisik kimia perairan sungai Bah Bolon seperti
suhu, kecepatan arus, pH, dan dengan substrat dasar berpasir maupun berbatu
disukai oleh ikan tersebut. Menurut Roberts (1989), ikan Puntius binotatus
tergolong benthopelagik, hidup di perairan tawar daerah tropis dengan kisaran pH
6,0-6,5 dan suhu perairan 24-260C. Umumnya ikan ini banyak ditemukan di
sungai dengan arus deras maupun tidak terlalu deras.
Tabel 2. menunjukkan famili Cyprinidae merupakan yang paling banyak
penelitian, yaitu Cyprinus carpio, Neolissochilus sumateranus, Puntius binotatus,
Tor douronensis dan Tor soro. Hal ini disebabkan kondisi faktor fisik kimia
perairan, seperti suhu, pH air, substrat dasar berbatu maupun berpasir, serta faktor
fisik kimia perairan lainnya di Sungai Bah Bolon mendukung sebagai habitat
untuk kelangsungan hidup ikan dari famili Cyprinidae. Menurut Kottelat et al
(1993), famili Cyprinidae merupakan penghuni terbesar ikan air tawar yang
memiliki adaptasi yang cepat terhadap perubahan kondisi perairan.
Ikan dari kelompok Channidae menempati urutan kedua jumlah spesies
paling banyak ditemukan di Sungai Bah Bolon yaitu Channa striata dan Channa
gachua. Hal ini dikarenakan habitat kelompok ikan Channidae dalam hal ini dari
genus Channa, umumnya di perairan sungai yang dicirikan dengan suhu kisaran
25-290C, oksigen terlarut tinggi dan bersubstrat batu maupun pasir. Tabel 2.
menunjukkan setelah kelompok Channidae, terdapat kelompok ikan Cichlidae,
Bagridae, Clariidae dan Locaridae masing-masing 1 spesies. Beberapa hasil
penelitian di beberapa sungai di kawasan Sumatera Utara menunjukkan hal
serupa, seperti di sungai Batang Toru, ditemukan bahwa famili Cyprinidae (11
spesies) merupakan penghuni utama, disusul oleh Channidae (2), Balitoridae (2),
Gobiidae (2), Cichlidae, Bagridae, Mastacembelidae, dan Sisoridae
masing-masing 1 spesies (Roesma, et al., 2016); di Sungai Asahan ditemukan kelompok
Cyprinidae yang paling banyak didapatkan, disusul oleh Balitoridae, Clariidae,
Bagridae, dan 7 famili lainnya (Simanjuntak, C. 2012).
Karakteristik morfologi dari masing-masing ikan yang diperoleh di
keempat stasiun penelitian, sebagai berikut:
1. Cyprinus carpio/ Ikan Mas (Linnaeus, 1758)
Panjang total: 6,2-14,7 cm; panjang standar: 4,4-13,9 cm; panjang kepala: 1,8-1,9
cm; tinggi badan: 2,2-3,8 cm; panjang ekor: 1,2-1,7 cm; lebar bukaan mulut:
0,2-0,8 cm. Bentuk badan memanjang dan sedikit pipih kesamping, mulut terletak di
ujung tengah (terminal) serta terdapat dua pasang sungut. Sirip ekor berbentuk
heterocercal (cagak) dan tipe sisik berbentuk lingkaran (cycloid), empat buah
sungut; sirip punggung mempunyai 17-181 2
Gambar 6. Cyprinus carpio Linn.
2. Neolissochilus sumatranus/Ikan Batak(Weber & de Beaufort, 1916)
Panjang total: 15,6-25,2 cm; panjang standar: 12,5-20,9 cm; panjang kepala:
3,1-4,3 cm; tinggi badan: 4,7-6,1 cm; panjang ekor: 3,3-4,1 cm; lebar bukaan mulut:
0,5-1, cm.Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked, alur dari
bagian belakang sampai ke bibir bawah terputus di bagian tengah. Terdapat bintik
putih disekitar mulut (Gambar.7).
Gambar 7. Neolissochilus sumatranus
3. Puntius binotatus/ Ikan Kaperas(Valenciennes, 1842)
Panjang total: 9-32,4 cm; panjang standar: 6,9-26,1 cm; panjang kepala: 2,1-6,3
cm; tinggi badan: 4,3-7,5 cm; panjang ekor: 2,2-4,3 cm; lebar bukaan mulut:
0,5-1,3 cm. Mempunyai sebuah bintik bulat pada bagian depan sirip punggung dan
sebuah lagi ditengah batang ekor (Gambar. 8). Menurut Roberts, (1989), ikan ini
juga dikenal dengan nama spotted barb karena memiliki ciri khusus berupa bintik
Gambar 8. Puntius binotatus 4. Tor douronensis/ Ikan Batak(Valenciennes, 1842)
Panjang total: 18,9-20,2 cm; panjang standar: 15,9-17,1cm; panjang kepala: 3-3,1
cm; tinggi badan: 4,6-5 cm; panjang ekor: 3,9-4,4 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,2
cm. Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked. Cuping
berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut; bagian jari-jari
terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala
tanpa moncong (Gambar. 9).
Gambar 9. Tor douronensis
5. Tor soro/ Ikan Jurung(Valenciennes, 1842)
Panjang total: 10,6-38,2 cm; panjang standar: 8,5-32,9 cm; panjang kepala:
3,1-5,3 cm; tinggi badan: 4,7-9,1 cm; panjang ekor: 3,3-7,1 cm; lebar bukaan mulut:
0,5-1,2 cm. Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor
forked(Gambar.10). Ikan batak memiliki tiga warna kombinasi yaitu warna hitam
sebagai warna dominan terletak pada bagian atas badan ikan, keemasan terletak di
Gambar 10. Tor soro
6. Oreochromis niloticus/ Ikan Nila(Linnaeus, 1758)
Panjang total: 5-13,7 cm; panjang standar: 3,1-10,4 cm; panjang kepala: 1,1-1,8
cm; tinggi badan: 1,8-3,9 cm; panjang ekor: 0,8-1,5 cm; lebar bukaan mulut:
1,5-2,5 cm. Tipe ekor membundar, tipe sisik sikoid dan bentuk tubuh fusiform. Ikan
ini memiliki sirip punggung yang tajam dan memanjang (Gambar. 11).
Gambar 11. Oreochromis niloticus
7. Clarias teijsmanni/ Ikan Lele(Bleeker, 1857)
Panjang total: 11,9-16,2 cm; panjang standar: 9,9-14,1 cm; panjang kepala: 2-2,1
cm; tinggi badan: 3-3,1 cm; panjang ekor: 1,4-1,6 cm; lebar bukaan mulut: 0,4-0,8
cm. Sirip dubur, sirip ekor dan sirip pungung tidak bersatu; jarak antara sirip
punggung dan tonjolan di belakang kepala kira-kira 2,5 kali lebih pendek dari
Gambar 12. Clarias tjeismanni
8. Mystus nemurus/ Ikan Baung(Valenciennes, 1842)
Panjang total: 6,9-13,3 cm; panjang standar: 5-10 cm; panjang kepala: 1,5-2,4 cm;
tinggi badan: 1,8-2,5 cm; panjang ekor: 1,6-2,7 cm; lebar bukaan mulut: 1,2-2,2
cm. Tipe ekor homocercal, bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, kepala
pipih datar. Tubuh agak pipih dan memanjang berwarna hitam serta licin
(Gambar. 13).
Gambar 13. Mystus nemurus
9. Hypostomus Plecostomus/ Ikan Sapu Kaca(Linnaeus, 1758)
Panjang total: 7-26,2 cm; panjang standar: 5-19,1 cm; panjang kepala: 1,2-3,3 cm;
cm.Mempunyai badan yang tertutup oleh kulit yang mengeras dan mulutnya
berbentuk seperti cakram. 7 jari-jari bercabang pada sirip punggung (Gambar. 14).
Menurut Geerinckx, (2007), karakteristik utama dari golongan Locariidae adalah
mulut penghisap untuk makan, bernafas, dan menempel pada objek.
Gambar 14. Hypostomus plecostomus 10. Channa gachua/ Ikan Bogo(Hamilton, 1822)
Panjang total: 12,5-17,5 cm; panjang standar: 10,5-14 cm; panjang kepala: 3-4,5
cm; tinggi badan: 3-3,3 cm; panjang ekor: 2-3,5 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,1
cm. T
gepeng mendatar, rata di sisi atasnya, miring rata ke depan atau agak cembung.
Celah mulut miring ke atas, dengan rahang bawah menonjol ke depan (Gambar.
15).
Gambar 15. Channa gachua
11. Channa striata/ Ikan Gabus(Bloch, 1793)
Panjang total: 11,4-20,5 cm; panjang standar: 9,2-16 cm; panjang kepala: 2,9-4,5
cm. Tipe ekor homocercal, bentuk ekor pointed, sirip punggung memanjang dan
sirip ekor membulat di ujungnya, tubuh berwarna hitam kecoklatan (Gambar. 16).
Gambar 16. Channa striata
4.2. Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Ikan
Nilai kepadatan, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran ikan yang
diperoleh di setiap stasiun di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun dapat
dilihat pada Tabel 3. Nilai K, KR dan FK setiap stasiun penelitian didapatkan
pada kisaran yaitu K 0,002-0,055 ind/m3 , KR 1,54-55,17%, dan FK 3,3-46,6%.
Pada stasiun 1 dan 4 nilai kepadatan, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran
tertinggi adalah ikan Puntius binotatus dengan nilai K 0,055 ind/m3, nilai KR
32,31 % dan nilai FK 46,6 % pada stasiun 1 sedangkan pada stasiun 4 nilai
kepadatan 0,042 ind/m3, nilai KR 55,17%, dan nilai FK 40 %. Hal ini disebabkan
stasiun 1 dan stasiun 4 dapat mendukung kelangsungan hidup ikan Puntius
binotatus yang menyukai perairan dengan kecepatan arus deras 0,8 -1,2 m/detik,
substrat berbatu, dan kualitas air yang baik.
Stasiun 2 dan 3 nilai K, KR dan FK tertinggi terdapat pada ikan Hypostomus
plecostomus, dimana nilai K 0,029 ind/m3, KR 24,44 % dan FK 30% untuk stasiun 2 dan nilai K 0,055 ind/m3, KR 38,10% dan FK 6,6 % pada stasiun 3. Pada
stasiun 2 ikan Channa gachua memiliki nilai K, KR dan FK tertinggi,
dikarenakan kondisi lingkungan pada stasiun 2 sesuai untuk pertumbuhan ikan
plecostomusmemiliki nilai K, KR dan FK tertinggi, dimana stasiun 3 merupakan
daerah pembuangan limbah domestik dan limbah industri Kota Pematang Siantar.
Hal ini disebabkan ikan Hypostomus plecostomusmerupakan salah satu ikan
yang dapat beradaptasi dengan berbagai kondisi perairan, bahkan pada saat
kondisi perairan tersebut ekstrem bagi biota air yang lainnya. Walaupun ikan sapu
kaca biasa hidup pada perairan dalam, namun mereka memiliki kemampuan untuk
menghirup udara dari permukaan air atau pada saat kandungan oksigen dalam air
rendah (Armbruster, 1998).
Nilai K, KR dan FK terendah pada stasiun 1 dan 2 adalah ikan Clarias
tjesmani, ikan Cyprinus carpio, dan ikan Channa striata. Sedangkan pada stasiun
3 terdapat ikan Puntius binotatus dan ikan Channa striata, dan pada stasiun 4
terdapat ikan Tor soro yang memiliki nilai K, KR dan FK terendah. Hal tersebut
dikarenakan kondisi lingkungan perairan kurang cocok untuk kelangsungan hidup
ikan tersebut. Perubahan faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap
kepadatan populasi suatu jenis organisme pada suatu daerah. Bila suatu daerah
misalnya, kepadatan suatu organisme berlimpah, dank arena suatu sebab faktor
lingkungannya berubah maka dapat terjadi penurunan kepadatan populasi secara
drastis, umpamanya karena adanya pengaruh pencemaran yang berupa racun.
Tabel 3. memperlihatkan jumlah individu, jumlah spesies dan pola distribusi dari
ikan mempengaruhi nilai keanekaragaman yang didapatkan pada setiap stasiun.
Meskipun pada stasiun 1 terdapat 8 spesies ikan, tetapi yang memiliki nilai
keanekaragaman tertinggi adalah stasiun 3 (1,63 ind/m2). Hal ini disebabkan
terdapat beberapa spesies di stasiun satu yang mendominasi, seperti Puntius
binotatus, Neolissochillus sumatranus dan Tor douronensis. Berbeda halnya
dengan stasiun 3 yang memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi dipengaruhi
oleh nilai K, KR dan FK setiap jenis hampir sama.
Tabel 3. Menunjukkan bahwa sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun dapat
menjadi habitat yang sesuai bagi pertumbuhan ikan Tor douronensis, Puntius
Tabel 3. Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan frekuensi kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan di Sungai Bah Bolon.
No Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK
1. Tor soro 0,010 6,15 6,6 - - - 0,002 3,45 3,3
2. Tor douronensis 0,039 23,08 36,6 - - - 0,010 17,24 13,3
3. Clarias tjesmani 0.002 1,54 3,3 0,007 6,67 30 0,010 19,05 6,6 0,005 6,9 6,6
4. Puntius binotatus 0,055 32,31 46,6 0,018 15,56 12 0,005 9,52 13,3 0,042 55,17 40
5. Cyprinus carpio 0,002 1,54 3,3 - - - 0,005 9,52 6,6 - - -
6. Mystus nemurus - - - 0,010 8,89 6,6 - - - 0,008 10,34 6,6
7. Oreochromis niloticus 0,005 3,08 6,6 - - - -
8. Channa gachua - - - 0,045 37,78 40 0,007 14,29 40 - - -
9. Channa striata 0,007 4,62 6,6 0,007 6,67 10 0,021 9,52 6,6 - - -
10. Hyspostomus Plecostomus - - - 0,029 24,44 30 0,055 38,10 6,6 0,005 6,9 6,6
11. Neolissochilus sumatranus 0,047 27,69 6,6 - - - -
Total 0,172 100 - 0,119 100 - 0,030 100 - 0,077 100 -
H’ 1.60 1.57 1.63 1.35
Keterangan :
Stasiun 1 : Daerah Bendungan (Kecamatan pane Tongah, Kabupaten Simalungun) Stasiun 2 : Daerah Pariwisata (Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun)
Hal ini dapat dilihat dari nilai kepadatan relatif (> 10%) dan nilai frekuensi
kehadiran (> 25%) dari keempat ikan tersebut di stasiun 1 dan 2. Suatu habitat
dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme apabila nilai KR
> 10% dan FK > 25% (Barus, 2004).
4.3. Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks Keseragaman Keanekaragaman dan keseragaman jenis ikan diperairan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan dan interaksi antara organisme yang hidup disana (Defira &
Muchlisin, 2004). Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks
Keseragaman spesies ikan yang telah diperoleh pada setiap stasiun penelitian
dapat dilihat pada tabel 4.berikut ini :
Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
H' 1.60 1.57 1.63 1.35
E 0.773 0.880 0.911 0.753
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat dilihat dari tabel 4, bahwa nilai
keanekaragaman (H’) dari keempat stasiun penelitian hampir sama yaitu antara
1,35-1,63 ind/m2 dalam hal ini tergolong kedalam keanekaragaman rendah. Nilai
keanekaragaman tertinggi dari keempat stasiun penelitian adalah stasiun 3 yaitu
1,63 ind/m2. Dimana dari tabel 2. sebelumnya dapat dilihat bahwa stasiun 1 yang
memiliki lebih banyak jumlah spesies dibandingkan dengan stasiun 2 yaitu 8
spesies, sedangkan stasiun 3 hanya terdapat 6 spesies ikan yang ditemukan.
Stasiun 1 memiliki nilai keanekaragaman lebih rendah dibandingkan dengan
stasiun 3 yaitu 1,60 ind/m2. Hal ini disebabkan jumlah individu yang tidak merata
pada stasiun 1 ataupun terdapat beberapa spesies ikan yang mendominasi seperti
Puntius binotatus dan Neolissochilus sumateranus. Berbeda halnya dengan
stasiun 3 yang memiliki nilai kepadatan individu setiap jenisnya hampir merata,
seperti yang terlihat pada Tabel. 3.
Indeks keanekaragaman menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas
dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu/spesies (Krebs,
1978). Tinggi rendahnya nilai keanekaragaman ikan dipengaruhi oleh pola
mendukung yaitu adanya perbedaan aktifitas manusia pada badan perairan seperti
adanya pembuangan limbah yang mempengaruhi kualitas perairan sebagai faktor
pendukung bagi kelangsungan hidup ikan. Stasiun 2 merupakan daerah
pariwisata, memiliki nilai keanekaragaman 1,57ind/m2. Stasiun 4 memiliki nilai
keanekaragaman paling rendah yaitu 1,35ind/m2. Dimana stasiun 4 merupakan
stasiun dengan nilai keanekaragaman yang paling rendah dari keempat stasiun
penelitian. Hal tersebut dikarenakan stasiun 4 merupakan daerah pemukiman
masyarakat, dimana terdapat aktifitas seperti mencuci, mandi dan daerah ini juga
merupakan daerah pemancingan ikan bagi masyarakat setempat. Indeks
keanekaragaman tidak hanya ditentukan oleh jumlah spesies dan jumlah individu
saja tetapi juga dipengaruhi oleh pola penyebaran jumlah individu pada
masing-masing spesies. Dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat
dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan penyebaran individu
pada masing-masing spesies (Barus, 2004). Dari tabel 4. dapat disimpulkan bahwa
sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, memiliki nilai keanekaragaman jenis
ikan yang rendah yaitu 1,35-1,63 ind/m2.
Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa nilai keseragaman (E) pada lokasi
penelitian berada diantara 0,753-0,911 tergolong merata/seragam pada setiap
stasiun. Nilai keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,911.
Sedangkan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 0,753. Hal ini
disebabkan jumlah dan jenis spesies ikan pada keempat stasiun tidak terlalu
berbeda, seperti terlihat pada Tabel 3. stasiun 1 memiliki 8 spesies, dimana dua
diantaranya hanya terdapat pada stasiun 1, dan 6 spesies lainnya tersebar di stasun
2, 3 dan 4. Indeks keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui kemerataan
proporsi masing-masing jenis ikan di suatu ekosistem, hal ini sesuai dengan
pendapat Krebs, (1978), bahwa semakin kecil nilai E maka semakin kecil pula
keseragaman suatu populasi dan penyebaran individunya mendominasi populasi
yang ada. Sedangkan semakin besar nilainya maka akan semakin besar pula
keseragaman suatu populasi dimana jenis dan jumlah individu tiap jenisnya
merata/seragam. Dari tabel 4. menunjukkan nilai keseragaman atau jumlah
4.4. Indeks Similaritas (IS)
Nilai indeks similaritas (IS) pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel
5 berikut ini:
Tabel 5. Data Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun
IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Stasiun 1 - 57.14% 42.85 % 57.14 %
Stasiun 2 - - 16.66 % 33.33 %
Stasiun 3 - - - 50 %
Stasiun 4 - - - -
Tabel 5. Menunjukkan bahwa nilai IS pada keempat stasiun penelitian antara
16,66%-57,14%. Nilai tertinggi dari keempat stasiun penelitian adalah stasiun 1
dengan stasiun 2 yaitu 57,14%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa stasiun 1 dan
stasiun 2 memiliki tingkat kesaamaan yang paling tinggi dibandingkan dengan
stasiun yang lainnya. Hal ini disebabkan antara stasiun 1 dan 2 memiliki nilai
keanekaragaman dan keseragaman yang hampir sama pada jumlah spesies ikan
yang didapatkan (dapat dilihat pada tabel 3). Nilai IS terendah dari keempat
stasiun adalah pada stasiun 2 dengan 3 yaitu 16,66%. Dimana pada stasiun 2
terdapat 6 spesies ikan, sedangkan pada stasiun 3 terdapat 2 spesies ikan yang
berbeda pada hasil penelitian (dapat lihat pada tabel 2). Hal ini disebabkan
perbedaan aktifitas pada kedua stasiun yang menyebabkan perubahan kondisi
lingkungan perairan seperti intensitas cahaya, pH, kecepatan arus dan substrat
berbeda (seperti terlihat pada tabel 6.) yang menjadi faktor pendukung dari
keanekaragaman spesies ikan pada kedua stasiun tersebut. Pada stasiun 2 terdapat
aktifitas pariwisata, sedangkan pada stasiun 3 merupakan daerah pembuangan
limbah.
Menurut Odum (1971), nilai indeks similaritas (IS) berkisar antara 0-100%
atau 0-1. Jika nilai indeks similaritas mendekati 0 maka berarti tingkat kesamaan
rendah dan sebaliknya, jika nilai IS mendekati angka 1 atau 100% maka tingkat
kesamaan tinggi.
4.5 Faktor Abiotik Lingkungan
Pengukuran faktor fisik kimia di Sungai Bah Bolon dari hasil penelitian
Tabel 6. Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai Bah Bolon pada
Setiap mahluk hidup memiliki ciri-ciri tertentu, salah satunya menerima dan
menanggapi rangsang. Ketika terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungan,
maka mahluk hidup akan melakukan penyesuaian diri atau adaptasi untuk merasa
lebih nyaman dan bisa beraktivitas dengan normal. Ketika mahluk hidup tersebut
tak mampu untuk menyesuaikan diri, maka ia akan mengalami kematian atau
terkana seleksi alam (Amdah, 2011).
a. Suhu
Dari tabel 6 di atas diperoleh bahwa nilai suhu di setiap stasiun penelitian berada
pada kisaran 22,7-26,80C. Suhu tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 26,80C
dan suhu terendah pada stasiun 1 yaitu 22,70C. Menurut Boyd (1990), suhu yang
baik untuk kehidupan ikan di Indonesia khususnya daerah tropis berkisar antara
250C-320C, namun kadang-kadang suhu permukaan dapat mencapai 350C atau
lebih sehingga berada diluar batas optimal yang bisa digunakan untuk kehidupan
ikan. Kisaran suhu di kawasan perairan Sungai Bah Bolon tergolong baik untuk
terbilang lebih rendah dari kisaran suhu yang baik untuk ikan di sungai. Hal ini
disebabkan oleh faktor lain seperti kecepatan arus, oksigen terlarut dan suhu dari
udara.
Menurut Yuliani dan Rahardjo (2012), Suhu air dipengaruhi oleh suhu udara.
Tinggi rendah suhu juga berpengaruh terhadap aktivitas ikan. Tingginya suhu air
akan mengurangi kadar oksigen terlarut. Keadaan suhu air dan DO akan
mempengaruhi aktivitas ikan. Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi
oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air.
b. Kecepatan Arus
Nilai kecepatan arus perairan pada stasiun penelitian berkisar antara 0,93-0,81
m/detik. Stasiun 1 memiliki nilai kecepatan arus tertinggi yaitu 0,93 m/detik
disebabkan karena stasiun 1 merupakan stasiun yang paling dekat ke hulu sungai
dan substrat batu besar dan pasir, sehingga kecepatan arus stasiun 1 lebih besar
dibandingkan dengan stasiun penelitian yang lain. Stasiun 3 dan 4 memiliki nilai
kecepatan arus yang sama dan lebih rendah dari kedua stasiun yang lainnya yaitu
0,81 m/detik.
Arus sangat penting sebagai faktor pembatas, terutama pada aliran air.
Pengaruh arus terhadap organisme aquatik adalah ancaman bagi organisme
tersebut dihanyutkan oleh arus yang deras. Oleh karena itu organisme mempunyai
adaptasi morfologis yang spesifik untuk dapat bertahan hidup. Berbagai jenis ikan
juga mempunyai adaptasi morfologis yang khas untuk bertahan pada habitat yang
berarus deras. Selain itu adaptasi yang dilakukan oleh organisme akuatik terhadap
arus deras adalah melakukan kompensasi terhadap hanyut dengan melakukan
gerakan melawan arus. Pada prinsipnya organisme akuatik akan berusaha mencari
perlindungan untuk menghindarkan diri dari ancaman hanyut, terutama pada
substrat batu-batuan besar yang terlindung dari arus air yang deras (Odum, 1994)
Arus air sangat membantu pertukaran air, membersihkan timbunan sisa
metabolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan ikan.
Namun, harus dicegah arus yang terlalu berlebihan karena menyebabkan ikan
stress, energi banyak yang terbuang dan selera makan berkurang, kecepatan arus
Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang
dipengaruhi oleh arus yaitu dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada
arus. Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yaitu garis mendatar pada
tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada organisme yang
mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti
gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju
arus (Reddy, 1993). Hasil penelitian menunjukkan kecepatan arus di sungai Bah
Bolon berkisar antara 0,81-0,93 m/detik tergolong ideal bagi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan.
c. Intensitas Cahaya
Berdasarkan tabel 6, nilai intensitas cahaya di sungai Bah Bolon berada pada
kisaran 1344-504 Candela. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada waktu
pagi hingga menjelang siang. Hasil pengukuran intensitas tertinggi terdapat pada
stasiun 1 yaitu 1344 candela, disebabkan pada saat pengukuran cuaca sangat
cerah. Sedangkan nilai intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu
504 candela disebabkan pada saat pengukuran cuaca mendung. Namun kisaran
intenstas cahaya di Sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk kelangsungan
hidup ikan.
Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan.
Intensitas cahaya bagi organisme akuatik berfungsi sebagai alat orientasi yang
akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Apabila
intensitas berkurang maka proses fotosintesis akan terlambat sehingga oksigen
dalam air makin berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme untuk
metabolismenya (Barus, 1996).
Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan.
Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari
predator, membantu dalam pengelihatan, proses metabolisme dan pematangan
gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan
d. Penetrasi Cahaya
Hasil pengukuran pada stasiun penelitian nilai penetrasi cahaya berkisar antara
30-100.5cm. Nilai penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 100,5
cm hal ini disebabkan stasiun 1 memiliki air yang lebih jernih dibandingkan
dengan ketiga stasiun penelitian yang memiliki nilai kekeruhan yang paling
rendah (dapat dilihat pada tabel 6). Sedangkan nilai penetrasi cahaya terendah
terdapat pada stasiun 3 yaitu 30 cm, disebabkan oleh kondisi perairan yang paling
keruh dibandingkan dengan semua stasiun penelitian yang lain. Penetrasi cahaya
di sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidup ikan.
Tinggi rendahnya penetrasi cahaya pada keempat stasiun disebabkan adanya
bahan-bahan terlarut seperti buangan limbah dan juga akibat curah hujan yang
menyebabkan warna air menjadi keruh sehingga menghambat cahaya yang dating.
Kemampuan penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sangat ditentukan oleh
warna perairan, kandungan bahan organic maupun anorganik tersuspensi di
perairan dan kepadatan plankton (Wardoyo, 1981)
Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm atau
lebih, karena bila kecerahan kurang dari 45cm, maka batas pandangan ikan akan
berkurang (Kordi, 2004).
e. Kekeruhan
Hasil pengukuran kekeruhan di lokasi penelitian berkisar antara 7,61-77. Stasiun 1
memiliki nilai kekeruhan terendah yaitu 7,61 disebabkan oleh rendahnya partikel
terlarut dalam air sehingga nilai penetrasi cahaya pada stasiun 1 tinggi yang
dipengaruhi oleh rendahnya nilai kekeruhan. Sedangkan nilai kekeruhan tertinggi
terdapat pada stasiun 3 yaitu 77 yang dikarenakan stasiun 3 merupakan daerah
pembuangan limbah domestik maupun industri yang mengakibatkan tingginya
partikel terlarut sehingga air berwarna kecoklatan.
Banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan
yang tinggi (Abdunnur, 2002). Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang
umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, lumpur, sisa tanaman, hewan,
dan limbah industri (Sastrawijaya, 1991).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan
organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Nilai
kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor terpenting untuk
mengontrol produktivitasnya. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi
penetrasi cahaya matahari. Kekeruhan di suatu sungai tidak sama sepanjang tahun.
Air akan sangat keruh pada musim penghujan karena aliran air maksimum dan
adanya erosi dari daratan (Effendi, 2003).
f. Konduktivitas
Berdasarkan tabel 6, nilai konduktivitas di sungai Bah Bolon berada pada kisaran
yang tidak jauh beda yaitu 81-94,7 p µhos/cm. Stasiun 3 memiliki nilai
konduktivitas tertinggi yaitu 94,7 p µhos/cm, sedangkan stasiun 1 memiliki nilai
konduktivitas terendah yaitu 81 p µhos/cm. Jumlah konduktivitas terlarut terkait
dengan konsentrasi total padatan terlarut dan ion utama. Konduktivitas untuk air
tawar berkisar antara 10 sampai 1000 µmhos/cm, tetapi dapat melebihi 1000
µmhos/cm, terutama di perairan tercemar, atau perairan yang menerima jumlah
run offyang besar dari tanah (Tessema et al (2014) dalam Rizki et al, 2015). Jadi
nilai konduktivitas sungai Bah Bolon tergolong masih baik untuk mendukung
kelangsungan dan pertumbuhan ikan.
Nilai Konduktivitas erat kaitannya dengan TDS dan ion utama perairan,
karena semakin tinggi TDS dan ion utama maka daya hantar listrik/konduktivitas
dari air tersebut juga semakin tinggi (Rizki et al, 2015). Semakin banyak
garam-garam yang terlarut maka semakin baik daya hantar listrik air tersebut (Barus,
g. DO (Dissolved oxygen)
Dari Tabel 6. Dapat dilihat bahwa nilai oksigen terlarut pada kempat stasiun
penelitian berkisar antara 8,19-7,2 mg/L. Nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat
pada stasiun 1 yaitu 8,19 mg/l yang dipengaruhi oleh suhu pada stasiun 1 lebih
rendah, dan kecepatan arus yang tinggi. Sedangkan nilai oksigen terlarut terendah
terdapat pada stasiun 2 yaitu 7,2 mg/l yang disebabkan suhu pada stasiun 2
memiliki nilai yang lebih tinggi diantara stasiun penelitian yang lain.
Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis.
Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung di permukaan air oleh angin
dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah
permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael, 1994).
Ikan merupakan mahluk air yang paling membutuhkan oksigen tertinggi.
Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm, sedangkan
biota beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi
Oksigen terlalu rendah akan menyebabkan ikan-ikan dan biota lainnya akan mati
(Fardiaz, 1992)
h. Kejenuhan Oksigen (O2)
Hasil pengukuran nilai kejenuhan oksigen dari keempat stasiun berada pada
kisaran 98,79-91,25 %. Stasiun 1 memiliki nilai kejenuhan oksigen tertinggi yaitu
98,79% yang disebabkan stasiun 1 memiliki nilai DO yang tinggi dan nilai suhu
terendah (dapat dilihat pada tabel 6). Sedangkan nilai kejenuhan oksigen terendah
terdapat pada stasiun 2 yaitu 91,25% yang disebabkan stasiun 2 memiliki nilai DO
terendah dan nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun penelitian
yang lainnya.
Tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi
oleh faktor temperatur, tekanan dan berbagai konsentrasi ion yang terlarut dalam
air pada perairan tersebut. Kandungan oksigen terlarut pada keempat stasiun
masih tergolong sangat layak dalam mendukung kehidupan organisme sebab
menurut Sastrawijaya (1991), kehidupan organisme akuatik berjalan dengan baik
i. Derajat Keasaman (pH)
Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman dilokasi penelitian berkisar antara
7,2-7,9. Stasiun 2 merupakan stasiun dengan nilai pH tertinggi yaitu 7,9
sedangkan stasiun 1 merupakan stasiun dengan nilai pH terendah yaitu 7,2.
Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada
umumnya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai ph netral menyatakan pH
yang ideal bagi organisme aquatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5 (Odum,
1994). Jadi kisaran pH di sungai Bah Bolon tergolong baik untuk pertumbuhan
dan kelangsungan hidup ikan.
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebebasan suatu perairan.
Pescod (1973), menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap pH bervariasi.
Hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan
kation serta jenis dan stadium organisme. Kondisi perairan yang bersifat sangat
asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme
karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.
j. BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Hasil pengukuran nilai BOD pada keempat stasiun penelitian berada pada kisaran
0,9-1,5 mg/l. Nilai BOD tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 1,5 mg/l yang
disebabkan tingginya partikel terlarut didalam air (dapat dilihat pada tabel 6)
karena stasiun 3 merupakan daerah pembuangan limbah domestik dan industri
yang mengandung kandungan organic yang tinggi. Sedangkan pada stasiun 1
memiliki nilai BOD terendah yaitu 0,9 mg/l disebabkan oleh kondisi air pada
stasiun 1 lebih jernih dapat dilihat dari nilai kekeruhan yang rendah.
Kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan
buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Jumlah
mikroorganisme tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang jernih biasanya
mengandung mikroorganisme yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air
k. TDS (Total Dissolved Solid)
Hasil pengukuran nilai TDS pada keempat stasiun penelitian berada pada kisaran
52,65-60,45 mg/l. Nilai TDS tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 60,45 mg/l
sedangkan nilai TDS terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu 52,65 mg/l.
Tingginya padatan terlarut pada suatu perairan dikarenakan area tersebut
dekat dengan aktivitas manusia sehingga banyak menghasilkan limbah yang
masuk ke dalam badan perairan dan akhirnya menambah jumlah partikel terlarut.
Sedangkan rendahnya nilai TDS pada suatu perairan dikarenakan perairan
tersebut jauh dari segala aktivitas manusia dan tidak adanya limbah yang masuk
ke perairan (Yazwar, 2008).
l. TSS (Total Suspended Solid)
Hasil pengukuran TSS di laboratorium lingkungan Shafera Enviro, Provinsi
Sumatera Utara berkisar antara 40,19-54,22 mg/l. Nilai TSS tertinggi terdapat
pada stasiun 3 yaitu 54,22 mg/l yang disebabkan tingginya nilai kekeruhan pada
stasiun 3, sedangkan nilai TSS terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 40,19 mg/l.
TSS merupakan faktor utama yang menyebabkan tinggi atau rendahnya
kecerahan dari suatu perairan. Peningkatan nilai TSS ini dapat disebabkan oleh
naiknya kadar bahan organik yang bersifat koloid. Peningkatan TSS akan
menyebabkan meningkatnya penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan ikan
(Rizki, et al. 2015).
Peningkatan padatan tersuspensi dapat membunuh ikan secara langsung,
meningkatkan penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan ikan serta
perubahan tingkah laku dan penurunan reproduksi ikan (Aisyah & Luki, 2012).
m. Kadar Nitrat (NO2)
Berdasarkan hasil pengukuran nilai kadar nitrat pada lokasi penilitian berkisar
antara 0,5-1,82 mg/l. Stasiun 1 memiliki nilai kadar nitrat tertinggi yaitu 1,82
mg/l. Sedangkan nilai kadar nitrat terendah terdapat pada stasiun 3 dan 4 yaitu 0,5
mg/l. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan.
Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/L, perairan mesotrofik
berkisar antara 5-50 mg/L (Effendi, 2003). Jadi kadar nitrat pada sungai Bah
Bolon masih tergolong baik untuk mendukung pertumbuhan ikan.
n. Kadar Fosfat (PO4)
Hasil pengukuran kadar Fosfat di laboratorium Lingkungan Shafera Enviro,
Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa kadar fosfat berada pada kisaran
0,023-0,092 mg/l. Berdasarkan kadar fosfor total, perairan diklasifikasikan
menjadi tiga yaitu, perairan dengan tingkat kesuburan rendah memiliki kadar
fosfat total berkisar antara 0-0,02 mg/l. Perairan dengan tingkat kesuburan sedang
memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0,02-0,05 mg/l. Perairan yang dengan
tingkat kesuburan tinggi memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0,051-0,1
mg/l.
4.6. Analisis Korelasi Pearson
Nilai korelasi yang diperoleh antara keanekaragaman dengan parameter
fisik-kimiadi Sungai Bah Bolon dengan menggunakan metode Pearson dapat dilihat
pada tabel 7. Berikut :
Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson antara Keanekaragaman Ikan dengan Sifat Fisik-Kimia Perairan Sungai Bah Bolon.
No Parameter Nilai Korelasi (r)
A Parameter Fisika
1 Suhu 0,804
2 Kecepatan Arus 0,609
3 Intensitas Cahaya 0,917
4 Penetrasi Cahaya 0,805
5 Kekeruhan 0,881
6 Konduktivitas 0,507
B Parameter Kimia
7 Oksigen Terlarut(DO) 0,647
8 Kejenuhan Oksigen 0,533
Hasil uji korelasi antara beberapa faktor fisik kimia perairan dengan
keanekaragaman ikan, dimana pada hasil uji menunjukkan terdapat hubungan
positif (+) pada semua faktor fisik kimia perairan di sungai Bah Bolon, kabupaten
Simalungun. Hubungan positif adalah hubungan searah antara faktor fisik kimia
perairan dengan keanekaragaman ikan yang artinya semakin tinggi nilai faktor
fisik kimia perairan maka semakin tinggi juga nilai keanekaragaman ikan.
Hasil analisis uji korelasi juga menunjukkan hubungan masing-masing
parameter fisik kimia perairan terhadap keanekaragaman ikan. Berdasarkan tabel
7. diatas, dapat diketahui bahwa suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya,
kekeruhan dan pH (derajat keasaman) (interval 0,804-0,991) memiliki korelasi
yang sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan di Sungai Bah Bolon, Kabupaten
Simalungun. Kecepatan arus, dissolved oxygen (DO), dan biochemical oxygen
demand (BOD) (Interval 0,609-0,685) memiliki korelasi yang kuat terhadap
keanekaragaman ikan. Konduktivitas, TDS (Total Dissolved Solid), kadar fosfat
(PO4) dan kadar nitrat (NO2) memiliki korelasi sedang, sedangkan TSS (Total
Suspended Solid), memiliki nilai korelasi yang sangat lemah dibanding parameter
fisik kimia lainnya yaitu 0,353.
Suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, kekeruhan dan pH berpengaruh
sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan. Suhu air mempunyai peranan dalam
mengatur kehidupan biota air, terutama dalam proses metabolisme. Kebutuhan
oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan
dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat
menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap
perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978).
Kekeruhan mempengaruhi pola penyebaran temporal ikan, dan
mempengaruhi jarak pandang ikan untuk berenang di air. Kekeruhan juga
mempengaruhi nilai penetrasi di air, dimana semakin rendah angka kekeruhan
maka nilai penetrasi cahaya semakin tinggi. Penetrasi cahaya juga memiliki
peranan penting bagi ikan. Kecerahan suatu perairan berkaitan dengan padatan
tersuspensi, warna air dan penetrasi cahaya, sehingga dapat menurunkan intensitas
Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan
nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen
terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle,
1968).Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm
selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet,
1970).
Derajat keasaman (pH) menentukan keberadaan ikan. Setiap jenis ikan
memiliki tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap pH. Derajat keasaman
yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian pada ikan sehingga
mempengaruhi keanekaragaman ikan. Menurut Siagian (2009), nilai pH yang
ideal bagi kehidupan organisme akuatik berkisar antara 7-8,5.
Kandungan oksigen terlarut (DO) berperan dalam menentukan keberadaan
ikan. Toleransi terhadap tingginya kelarutan oksigen dalam air berpengaruh besar
dalam aktivitas fisiologi ikan. Apabila DO optimal maka pertumbuhan ikan akan
semakin maksimal.
Menurut Sarwono (2006), koefisien korelasi ialah pengukuran statistik
kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah :
a. Ikan yang diperoleh pada keempat stasiun penelitian diklasifikasikan sebanyak
3 ordo, 5 famili, dan 11 spesies. Puntius binotatus dan Hypostomus
plecotomus memiliki nilai kepadatan tertinggi dari keempat stasiun penelitian.
b. Indeks keanekaragaman pada lokasi penelitian tergolong rendah dengan
adanya beberapa spesies ikan yang mendominasi dibeberapa stasiun
penelitian.
c. Indeks keseragaman pada lokasi penelitian di Sungai Bah Bolon, Kabupaten
Simalungun, tergolong tinggi.
d. Suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, kekeruhan, dan pH memiliki nilai
korelasi yang sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan di Sungai Bah
Bolon. Kecepatan arus, DO (Dissolved Oxygen), dan BOD (Biochemical
Oxygen Demand) memiliki nilai korelasi yang kuat terhadap keanekaragaman
ikan di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun.
5.2. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah :
a. Diharapkan dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman biota perairan
yang lain di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun.
b. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dilakukan di dua musim yaitu
kemarau dan hujan untuk dapat melihat perbedaan keanekaragaman ikan di
Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun. beberapa periode dalam satu