• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Ikan Di Aliran Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Ikan Di Aliran Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun Chapter III V"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2016

di aliran Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun. Sampel yang diperoleh

dibawa untuk diidentifikasi ke Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan

Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.2. Metode Penelitian

Penentuan titik lokasi pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan

dengan metode Purposive Random Sampling, yaitu dengan menentukan 4 stasiun

pengambilan sampel. Masing-masing stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas

yang terdapat di daerah tersebut.

3.3. Deskripsi Area

3.3.1. Lokasi Penelitian Stasiun 1

Stasiun 1 berada di Desa Karanganom, Pane Tongah yang secara geografis

terletak pada 02057’21,80” LU dan 099007’26,49” BT. Stasiun 1 ini merupakan

daerah pengerukan pasir dan batu serta terdapat bendungan. Substrat dasar pada

lokasi ini adalah pasir dan batu (Gambar 2.).

(2)

3.3.2. Lokasi Penelitian Stasiun 2

Stasiun 2 merupakan daerah pariwisata yang dikelola oleh penduduk yang berada

di kota Pematang Siantar.Secara geografis stasiun 2 ini terletak pada

02057’29,58”LU dan 099004’25,44’’BT. Substrat dasar pada lokasi ini

berupa bebatuan dan berpasir (Gambar 3.)

Gambar 3. Sungai Bah Bolon pada Stasiun 2 yang Merupakan Daerah Pariwisata Terletak di Kawasan Kota Pematang Siantar.

3.3.3. Stasiun 3

Stasiun 3merupakan daerah pembuangan limbah rumah sakit dan pabrik es yang

berada tidak jauh dari aliran sungai, lokasi sungai terletak di Kota Pematang

Siantar. Secara geografis stasiun 3 terletak pada 02057’16,27’’ LU dan

099003’50,70’’ BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir, bebatuan dan

sedikit berlumpur (Gambar 4.).

(3)

3.3.3. Stasiun 4

Stasiun 4merupakan daerah yang terdapat aktivitas dari pemukiman penduduk

seperti mencuci, pemandian dan penangkapan ikan. Lokasi stasiun 4 terletak di

Kota Pematang Siantar, yang secara geografis terletak pada 02056’32,61’’ LU

dan 099002’33,27’’ BT. Substrat dasar pada lokasi ini berupa pasir dan batu

(Gambar 5).

Gambar 5. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 4 yang Terdapat Dekat Pemukiman Penduduk Di Kota Pematang Siantar.

3.4. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jala dengan luas 12,56 m2

dan diameter mata jala 1,5 cm, cool box, tool box, camera digital, pH meter, DO

meter, turbidity meter, termometer, lux meter, keping secchi, pipet tetes,

erlemeyer 150 ml, spit 5 ml, spit 3 ml, ember 5 liter dan botol alkohol. Bahan

yang digunakan adalah alkohol 70%, kertas grafik, aluminium foil, plastik 10 kg,

MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, dan amilum.

3.5. Pengambilan Sampel Ikan

Pengambilan sampel ikan dilakukan bersamaan dengan pengukuran faktor-fisik

kimia perairan. Cara pengambilan sampel ikan dilakukan dengan menebar jala

dengan luas 12,56 m2 sebanyak 30 ulangan pada masing-masing stasiun.

Penebaran jala dilakukan berdasarkan penentuan 3 titik sampling secara acak di

setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel ikan yang diperoleh dimasukkan ke

(4)

selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi dengan menggunakan

buku identifkasi Kottelat.

3.6. Pengukuran Faktor Fisik-Kimia Perairan 3.6.1. Suhu

Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer dengan skala

0-100oC. Termometer dimasukkan ke badan air dan biarkan beberapa saat lalu

dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat hasil yang tertera pada skala

termometer.

3.6.2. Intensitas Cahaya

Lux meter diletakkan pada lokasi penelitian setelah terlebih dahulu dinyalakan

dan diatur Lux meter pada perbesaran 200.000, kemudian dicatat nilai yang tertera

pada layar.

3.6.3. Penetrasi Cahaya

Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping Sechii,

caranya dengan keping Sechii dimasukkan ke dalam perairan sungai, sampai

keping Sechii tersebut tidak kelihatan, kemudian diukur panjang talinya.

3.6.4. Kecepatan Arus Sungai

Bola ping pong dimasukkan ke badan sungai bersamaan dengan menghidupkan

stopwatch, hingga mencapai jarak 10 m. Kemudian dimatikan stopwatch dan

dicatat waktunya. Pengukuran kecepatan arus dilakukan sebanyak 5 x ulangan.

3.6.5. Derajat Keasaman (pH)

Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter. Sebelumnya

dikalibrasi dulu pH dengan pH 7. Pengukuran pH air dilakukan dengan cara

ujung dari pH meter dimasukkan ke permukaan badan air lalu dibaca nilai yang

(5)

3.6.6. Dissolved Oxygen (DO)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode Winkler,

yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan

masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan.

Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian

ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk

endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu

dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel

ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru.

Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi

perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai

dihitung dan hasilnya dicatat. (Lampiran 3).

3.6.7. Biochemical Oxygen Demand (BOD5)

Pengukuran BOD5 dilakukan setelah sampel air yang diambil, diinkubasi selama 5

hari, kemudian dengan metode Winkler yang memakai reagen-reagen kimia yaitu

MnSO4 dan KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum. Sampel air dimasukkan ke dalam

botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke

dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga

terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan

didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan

dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga

berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan

dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian sampel dititrasi

menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna menjadi bening.

Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. Nilai

BOD5 adalah nilai DO awal dikurang dengan nilai DO akhir. Prosedur kerja BOD5

(6)

3.6.8. Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

Kejenuhan O2 = DO u

DO t x 100%

Keterangan:

O2 [U] : Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)

O2 [t] : Nilai konsentrasi pada tabel (lampiran 5) sesuai besar suhunya.

3.6.9. Kadar Nitrat (NO3)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 1 ml NaCL dengan

pipet volum dan ditambahkan 5 ml H2SO4 75% lalu ditambah 4 tetes Brucine

Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit.

Kemudian larutan tersebut didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 410 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer.

3.5.10.Total Suspended Solid (TSS)

Pengukuran kandungan TSS dilakukan dengan menggunakan metode

spektrofotometer di Laboratorium Lingkungan Shafera Enviro.

3.5.11.Total Disolved Suspended (TDS)

Pengukuran kandungan TDS dilakukan dengan menggunakan metode

spektrofotometer di Laboratorium Lingkungan Shafera Enviro.

3.6.12. Kadar Posfat (PO4)

Sampel air diambil sebanyak 5 ml lalu ditambahkan 1 ml Amstrong Reagen dan 1

ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer.

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia perairan beserta satuan

(7)

Tabel 1. Alat dan satuan yang digunakan dalam pengukuran faktor fisik-kimia perairan

No Parameter Fisik-Kimia Satuan Alat Tempat

Pengukuran

1 Suhu °C Termometer In situ

2 Penetrasi cahaya Meter Keping secchi In situ

3 Intensitas cahaya Candela Lux meter In situ

4 pH air - pH meter In situ

5 Kecepatan Arus m/det Stopwatch, Bola ping-pong, Meteran

In situ

6 DO mg/l Metoda Winkler In situ

7 BOD5 mg/l Metode Winkler dan Inkubasi Laboratorium

8 Kejenuhan Oksigen % - Laboratorium

9 Kadar Nitrat (NO3) mg/l Spektrofotometri Laboratorium

10

Data ikan yang diperoleh dianalisis dengan menghitung kepadatan populasi,

kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon Wiener, Indeks

keseragaman dan indeks kesamaan.

a. Kepadatan Populasi

KP (ind/m2) =

b. Kepadatan Relatif Ikan

KR (%) =

(8)

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

75 - 100 % = kehadiran absolut (sangat sering)

(Michael, 1994)

d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’) H’ = −

pi ln pi

Dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener ln = logaritma Nature

e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

E =

H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum

= ln S (dimana S banyaknya genus)

(9)

f. Indeks Similaritas (IS)

IS = X100%

b a

2c

+

Dimana:

IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi a b = Jumlah spesies pada lokasi b

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

(Michael, 1994)

3.7.4. Analisis Korelasi

Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan

yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman ikan. Analisis korelasi dihitung

menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.

17.00.

Keterangan:

(10)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jenis-Jenis Ikan yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun

Hasil penelitian diperoleh jenis ikan yang terdapat pada keempat stasiun

penelitian di sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun terdiri dari 3 ordo, 6

famili dan 11 spesies, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi dan Jenis-jenis Ikan Yang Diperoleh Pada Stasiun Penelitian

No Ordo Famili Spesies Stasiun

Keterangan: Tanda (+) : didapatkan, tanda (-) : tidak didapatkan.

Tabel 2. memperlihatkan bahwa jumlah spesies ikan yang didapatkan

berbeda pada setiap stasiun, pada stasiun 1 didapatkan sebanyak 8 spesies ikan,

sedangkan pada stasiun 2, 3 dan 4 yang masing-masing terdapat 6 spesies ikan.

Stasiun 1 memiliki jumlah spesies ikan lebih banyak dari stasiun lainnya

disebabkan oleh kondisi faktor fisik dan kimia perairan di stasiun 1 lebih baik

untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Hal ini dapat dilihat dari kondisi

fisik dan kimia perairan seperti suhu, intensitas cahaya, penetasi cahaya,

kekeruhan, dan kadar nitrat dari stasiun 1 lebih mendukung pertumbuhan ikan

dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kordi (2010), menyatakan suhu yang cocok

untuk biota air antara 23-320C. Tinggi rendahnya suhu suatu perairan sangat

dipengaruhi oleh faktor antara lain ketinggian, curah hujan dan intensitas cahaya

matahari. Maniagasi, et al (2013), menyatakan kemampuan cahaya matahari untuk

menembus sampai ke dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan suatu perairan.

(11)

yang dipengaruhi oleh kekeruhan, dimana pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa

stasiun 1 memiliki nilai kekeruhan terendah. Kekeruhan mepengaruhi jarak

pandang ikan saat beraktifitas di dalam air, sehingga ikan lebih menyukai perairan

yang tidak terlalu keruh.

Stasiun 1 memiliki 2 spesies ikan yang tidak terdapat pada stasiun lainnya

yaitu ikan Neolissochilus sumatranus dan Oreochromis niloticus. Tabel 2.

menunjukkan terdapat dua jenis ikan Tor yakni Tor soro dan Tor douronensis

serta satu jenis ikan Neolissochilus yakni Neolissochilus sumatranus. Ketiga

spesies ini dikategorikan sebagai ikan batak oleh masyarakat setempat. Ketiga

spesies ini merupakan ikan ekonomis tinggi dan bernilai sosio-kultural khususnya

bagi masyarakat dari suku batak. Neolissochilus sumatranus merupakan spesies

endemik yang sudah sangat jarang ditemukan di daerah Sumatera Utara

(Simanjuntak, C. 2012). Neolissochilus sumatranusmerupakan jenis ikan yang

menyukai perairan dengan tingkat kekeruhan yang rendah, perairan jernih,

berbatu dengan oksigen terlarut yang tinggi. Kondisi ini dapat dilihat bahwa ikan

ini hanya didapatkan pada stasiun 1 yaitu daerah bendungan dengan kekeruhan

7,61 dan oksigen terlarut 8,19. Stasiun 1 dapat dikatakan daerah aliran sungai

yang lebih dekat dengan hulu sungai Bah Bolon, terletak di Kecamatan Pane

Tongah. Secara spasial dan temporal, ikan Neolissochilus sumatranus memiliki

distribusi yang luas di daerah hulu sungai dengan perairan yang jernih dan

kekeruhan rendah (Simanjuntak, C. 2012).

Puntius binotatus dan Clarias tjesmani merupakan ikan yang didapatkan

pada setiap stasiun penelitian. Ikan Lele ataupun Clarias tjesmani merupakan ikan

yang dapat ditemukan dalam berbagai kondisi air tawar baik keruh maupun jernih.

Hal ini disesuai dengan kondisi fisik kimia perairan sungai Bah Bolon seperti

suhu, kecepatan arus, pH, dan dengan substrat dasar berpasir maupun berbatu

disukai oleh ikan tersebut. Menurut Roberts (1989), ikan Puntius binotatus

tergolong benthopelagik, hidup di perairan tawar daerah tropis dengan kisaran pH

6,0-6,5 dan suhu perairan 24-260C. Umumnya ikan ini banyak ditemukan di

sungai dengan arus deras maupun tidak terlalu deras.

Tabel 2. menunjukkan famili Cyprinidae merupakan yang paling banyak

(12)

penelitian, yaitu Cyprinus carpio, Neolissochilus sumateranus, Puntius binotatus,

Tor douronensis dan Tor soro. Hal ini disebabkan kondisi faktor fisik kimia

perairan, seperti suhu, pH air, substrat dasar berbatu maupun berpasir, serta faktor

fisik kimia perairan lainnya di Sungai Bah Bolon mendukung sebagai habitat

untuk kelangsungan hidup ikan dari famili Cyprinidae. Menurut Kottelat et al

(1993), famili Cyprinidae merupakan penghuni terbesar ikan air tawar yang

memiliki adaptasi yang cepat terhadap perubahan kondisi perairan.

Ikan dari kelompok Channidae menempati urutan kedua jumlah spesies

paling banyak ditemukan di Sungai Bah Bolon yaitu Channa striata dan Channa

gachua. Hal ini dikarenakan habitat kelompok ikan Channidae dalam hal ini dari

genus Channa, umumnya di perairan sungai yang dicirikan dengan suhu kisaran

25-290C, oksigen terlarut tinggi dan bersubstrat batu maupun pasir. Tabel 2.

menunjukkan setelah kelompok Channidae, terdapat kelompok ikan Cichlidae,

Bagridae, Clariidae dan Locaridae masing-masing 1 spesies. Beberapa hasil

penelitian di beberapa sungai di kawasan Sumatera Utara menunjukkan hal

serupa, seperti di sungai Batang Toru, ditemukan bahwa famili Cyprinidae (11

spesies) merupakan penghuni utama, disusul oleh Channidae (2), Balitoridae (2),

Gobiidae (2), Cichlidae, Bagridae, Mastacembelidae, dan Sisoridae

masing-masing 1 spesies (Roesma, et al., 2016); di Sungai Asahan ditemukan kelompok

Cyprinidae yang paling banyak didapatkan, disusul oleh Balitoridae, Clariidae,

Bagridae, dan 7 famili lainnya (Simanjuntak, C. 2012).

Karakteristik morfologi dari masing-masing ikan yang diperoleh di

keempat stasiun penelitian, sebagai berikut:

1. Cyprinus carpio/ Ikan Mas (Linnaeus, 1758)

Panjang total: 6,2-14,7 cm; panjang standar: 4,4-13,9 cm; panjang kepala: 1,8-1,9

cm; tinggi badan: 2,2-3,8 cm; panjang ekor: 1,2-1,7 cm; lebar bukaan mulut:

0,2-0,8 cm. Bentuk badan memanjang dan sedikit pipih kesamping, mulut terletak di

ujung tengah (terminal) serta terdapat dua pasang sungut. Sirip ekor berbentuk

heterocercal (cagak) dan tipe sisik berbentuk lingkaran (cycloid), empat buah

sungut; sirip punggung mempunyai 17-181 2

(13)

Gambar 6. Cyprinus carpio Linn.

2. Neolissochilus sumatranus/Ikan Batak(Weber & de Beaufort, 1916)

Panjang total: 15,6-25,2 cm; panjang standar: 12,5-20,9 cm; panjang kepala:

3,1-4,3 cm; tinggi badan: 4,7-6,1 cm; panjang ekor: 3,3-4,1 cm; lebar bukaan mulut:

0,5-1, cm.Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked, alur dari

bagian belakang sampai ke bibir bawah terputus di bagian tengah. Terdapat bintik

putih disekitar mulut (Gambar.7).

Gambar 7. Neolissochilus sumatranus

3. Puntius binotatus/ Ikan Kaperas(Valenciennes, 1842)

Panjang total: 9-32,4 cm; panjang standar: 6,9-26,1 cm; panjang kepala: 2,1-6,3

cm; tinggi badan: 4,3-7,5 cm; panjang ekor: 2,2-4,3 cm; lebar bukaan mulut:

0,5-1,3 cm. Mempunyai sebuah bintik bulat pada bagian depan sirip punggung dan

sebuah lagi ditengah batang ekor (Gambar. 8). Menurut Roberts, (1989), ikan ini

juga dikenal dengan nama spotted barb karena memiliki ciri khusus berupa bintik

(14)

Gambar 8. Puntius binotatus 4. Tor douronensis/ Ikan Batak(Valenciennes, 1842)

Panjang total: 18,9-20,2 cm; panjang standar: 15,9-17,1cm; panjang kepala: 3-3,1

cm; tinggi badan: 4,6-5 cm; panjang ekor: 3,9-4,4 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,2

cm. Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor forked. Cuping

berukuran sedang pada bibir bawah tidak mencapai sudut mulut; bagian jari-jari

terakhir sirip punggung yang mengeras panjangnya sama dengan panjang kepala

tanpa moncong (Gambar. 9).

Gambar 9. Tor douronensis

5. Tor soro/ Ikan Jurung(Valenciennes, 1842)

Panjang total: 10,6-38,2 cm; panjang standar: 8,5-32,9 cm; panjang kepala:

3,1-5,3 cm; tinggi badan: 4,7-9,1 cm; panjang ekor: 3,3-7,1 cm; lebar bukaan mulut:

0,5-1,2 cm. Tipe sisik sikloid, tipe ekor homocercal, bentuk ekor

forked(Gambar.10). Ikan batak memiliki tiga warna kombinasi yaitu warna hitam

sebagai warna dominan terletak pada bagian atas badan ikan, keemasan terletak di

(15)

Gambar 10. Tor soro

6. Oreochromis niloticus/ Ikan Nila(Linnaeus, 1758)

Panjang total: 5-13,7 cm; panjang standar: 3,1-10,4 cm; panjang kepala: 1,1-1,8

cm; tinggi badan: 1,8-3,9 cm; panjang ekor: 0,8-1,5 cm; lebar bukaan mulut:

1,5-2,5 cm. Tipe ekor membundar, tipe sisik sikoid dan bentuk tubuh fusiform. Ikan

ini memiliki sirip punggung yang tajam dan memanjang (Gambar. 11).

Gambar 11. Oreochromis niloticus

7. Clarias teijsmanni/ Ikan Lele(Bleeker, 1857)

Panjang total: 11,9-16,2 cm; panjang standar: 9,9-14,1 cm; panjang kepala: 2-2,1

cm; tinggi badan: 3-3,1 cm; panjang ekor: 1,4-1,6 cm; lebar bukaan mulut: 0,4-0,8

cm. Sirip dubur, sirip ekor dan sirip pungung tidak bersatu; jarak antara sirip

punggung dan tonjolan di belakang kepala kira-kira 2,5 kali lebih pendek dari

(16)

Gambar 12. Clarias tjeismanni

8. Mystus nemurus/ Ikan Baung(Valenciennes, 1842)

Panjang total: 6,9-13,3 cm; panjang standar: 5-10 cm; panjang kepala: 1,5-2,4 cm;

tinggi badan: 1,8-2,5 cm; panjang ekor: 1,6-2,7 cm; lebar bukaan mulut: 1,2-2,2

cm. Tipe ekor homocercal, bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, kepala

pipih datar. Tubuh agak pipih dan memanjang berwarna hitam serta licin

(Gambar. 13).

Gambar 13. Mystus nemurus

9. Hypostomus Plecostomus/ Ikan Sapu Kaca(Linnaeus, 1758)

Panjang total: 7-26,2 cm; panjang standar: 5-19,1 cm; panjang kepala: 1,2-3,3 cm;

(17)

cm.Mempunyai badan yang tertutup oleh kulit yang mengeras dan mulutnya

berbentuk seperti cakram. 7 jari-jari bercabang pada sirip punggung (Gambar. 14).

Menurut Geerinckx, (2007), karakteristik utama dari golongan Locariidae adalah

mulut penghisap untuk makan, bernafas, dan menempel pada objek.

Gambar 14. Hypostomus plecostomus 10. Channa gachua/ Ikan Bogo(Hamilton, 1822)

Panjang total: 12,5-17,5 cm; panjang standar: 10,5-14 cm; panjang kepala: 3-4,5

cm; tinggi badan: 3-3,3 cm; panjang ekor: 2-3,5 cm; lebar bukaan mulut: 0,5-1,1

cm. T

gepeng mendatar, rata di sisi atasnya, miring rata ke depan atau agak cembung.

Celah mulut miring ke atas, dengan rahang bawah menonjol ke depan (Gambar.

15).

Gambar 15. Channa gachua

11. Channa striata/ Ikan Gabus(Bloch, 1793)

Panjang total: 11,4-20,5 cm; panjang standar: 9,2-16 cm; panjang kepala: 2,9-4,5

(18)

cm. Tipe ekor homocercal, bentuk ekor pointed, sirip punggung memanjang dan

sirip ekor membulat di ujungnya, tubuh berwarna hitam kecoklatan (Gambar. 16).

Gambar 16. Channa striata

4.2. Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran Ikan

Nilai kepadatan, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran ikan yang

diperoleh di setiap stasiun di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun dapat

dilihat pada Tabel 3. Nilai K, KR dan FK setiap stasiun penelitian didapatkan

pada kisaran yaitu K 0,002-0,055 ind/m3 , KR 1,54-55,17%, dan FK 3,3-46,6%.

Pada stasiun 1 dan 4 nilai kepadatan, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran

tertinggi adalah ikan Puntius binotatus dengan nilai K 0,055 ind/m3, nilai KR

32,31 % dan nilai FK 46,6 % pada stasiun 1 sedangkan pada stasiun 4 nilai

kepadatan 0,042 ind/m3, nilai KR 55,17%, dan nilai FK 40 %. Hal ini disebabkan

stasiun 1 dan stasiun 4 dapat mendukung kelangsungan hidup ikan Puntius

binotatus yang menyukai perairan dengan kecepatan arus deras 0,8 -1,2 m/detik,

substrat berbatu, dan kualitas air yang baik.

Stasiun 2 dan 3 nilai K, KR dan FK tertinggi terdapat pada ikan Hypostomus

plecostomus, dimana nilai K 0,029 ind/m3, KR 24,44 % dan FK 30% untuk stasiun 2 dan nilai K 0,055 ind/m3, KR 38,10% dan FK 6,6 % pada stasiun 3. Pada

stasiun 2 ikan Channa gachua memiliki nilai K, KR dan FK tertinggi,

dikarenakan kondisi lingkungan pada stasiun 2 sesuai untuk pertumbuhan ikan

(19)

plecostomusmemiliki nilai K, KR dan FK tertinggi, dimana stasiun 3 merupakan

daerah pembuangan limbah domestik dan limbah industri Kota Pematang Siantar.

Hal ini disebabkan ikan Hypostomus plecostomusmerupakan salah satu ikan

yang dapat beradaptasi dengan berbagai kondisi perairan, bahkan pada saat

kondisi perairan tersebut ekstrem bagi biota air yang lainnya. Walaupun ikan sapu

kaca biasa hidup pada perairan dalam, namun mereka memiliki kemampuan untuk

menghirup udara dari permukaan air atau pada saat kandungan oksigen dalam air

rendah (Armbruster, 1998).

Nilai K, KR dan FK terendah pada stasiun 1 dan 2 adalah ikan Clarias

tjesmani, ikan Cyprinus carpio, dan ikan Channa striata. Sedangkan pada stasiun

3 terdapat ikan Puntius binotatus dan ikan Channa striata, dan pada stasiun 4

terdapat ikan Tor soro yang memiliki nilai K, KR dan FK terendah. Hal tersebut

dikarenakan kondisi lingkungan perairan kurang cocok untuk kelangsungan hidup

ikan tersebut. Perubahan faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap

kepadatan populasi suatu jenis organisme pada suatu daerah. Bila suatu daerah

misalnya, kepadatan suatu organisme berlimpah, dank arena suatu sebab faktor

lingkungannya berubah maka dapat terjadi penurunan kepadatan populasi secara

drastis, umpamanya karena adanya pengaruh pencemaran yang berupa racun.

Tabel 3. memperlihatkan jumlah individu, jumlah spesies dan pola distribusi dari

ikan mempengaruhi nilai keanekaragaman yang didapatkan pada setiap stasiun.

Meskipun pada stasiun 1 terdapat 8 spesies ikan, tetapi yang memiliki nilai

keanekaragaman tertinggi adalah stasiun 3 (1,63 ind/m2). Hal ini disebabkan

terdapat beberapa spesies di stasiun satu yang mendominasi, seperti Puntius

binotatus, Neolissochillus sumatranus dan Tor douronensis. Berbeda halnya

dengan stasiun 3 yang memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi dipengaruhi

oleh nilai K, KR dan FK setiap jenis hampir sama.

Tabel 3. Menunjukkan bahwa sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun dapat

menjadi habitat yang sesuai bagi pertumbuhan ikan Tor douronensis, Puntius

(20)

Tabel 3. Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan frekuensi kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan di Sungai Bah Bolon.

No Spesies Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK

1. Tor soro 0,010 6,15 6,6 - - - 0,002 3,45 3,3

2. Tor douronensis 0,039 23,08 36,6 - - - 0,010 17,24 13,3

3. Clarias tjesmani 0.002 1,54 3,3 0,007 6,67 30 0,010 19,05 6,6 0,005 6,9 6,6

4. Puntius binotatus 0,055 32,31 46,6 0,018 15,56 12 0,005 9,52 13,3 0,042 55,17 40

5. Cyprinus carpio 0,002 1,54 3,3 - - - 0,005 9,52 6,6 - - -

6. Mystus nemurus - - - 0,010 8,89 6,6 - - - 0,008 10,34 6,6

7. Oreochromis niloticus 0,005 3,08 6,6 - - - -

8. Channa gachua - - - 0,045 37,78 40 0,007 14,29 40 - - -

9. Channa striata 0,007 4,62 6,6 0,007 6,67 10 0,021 9,52 6,6 - - -

10. Hyspostomus Plecostomus - - - 0,029 24,44 30 0,055 38,10 6,6 0,005 6,9 6,6

11. Neolissochilus sumatranus 0,047 27,69 6,6 - - - -

Total 0,172 100 - 0,119 100 - 0,030 100 - 0,077 100 -

H’ 1.60 1.57 1.63 1.35

Keterangan :

Stasiun 1 : Daerah Bendungan (Kecamatan pane Tongah, Kabupaten Simalungun) Stasiun 2 : Daerah Pariwisata (Kota Pematang Siantar, Kabupaten Simalungun)

(21)

Hal ini dapat dilihat dari nilai kepadatan relatif (> 10%) dan nilai frekuensi

kehadiran (> 25%) dari keempat ikan tersebut di stasiun 1 dan 2. Suatu habitat

dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme apabila nilai KR

> 10% dan FK > 25% (Barus, 2004).

4.3. Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks Keseragaman Keanekaragaman dan keseragaman jenis ikan diperairan dipengaruhi oleh

kondisi lingkungan dan interaksi antara organisme yang hidup disana (Defira &

Muchlisin, 2004). Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner) dan Indeks

Keseragaman spesies ikan yang telah diperoleh pada setiap stasiun penelitian

dapat dilihat pada tabel 4.berikut ini :

Tabel 4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

H' 1.60 1.57 1.63 1.35

E 0.773 0.880 0.911 0.753

Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat dilihat dari tabel 4, bahwa nilai

keanekaragaman (H’) dari keempat stasiun penelitian hampir sama yaitu antara

1,35-1,63 ind/m2 dalam hal ini tergolong kedalam keanekaragaman rendah. Nilai

keanekaragaman tertinggi dari keempat stasiun penelitian adalah stasiun 3 yaitu

1,63 ind/m2. Dimana dari tabel 2. sebelumnya dapat dilihat bahwa stasiun 1 yang

memiliki lebih banyak jumlah spesies dibandingkan dengan stasiun 2 yaitu 8

spesies, sedangkan stasiun 3 hanya terdapat 6 spesies ikan yang ditemukan.

Stasiun 1 memiliki nilai keanekaragaman lebih rendah dibandingkan dengan

stasiun 3 yaitu 1,60 ind/m2. Hal ini disebabkan jumlah individu yang tidak merata

pada stasiun 1 ataupun terdapat beberapa spesies ikan yang mendominasi seperti

Puntius binotatus dan Neolissochilus sumateranus. Berbeda halnya dengan

stasiun 3 yang memiliki nilai kepadatan individu setiap jenisnya hampir merata,

seperti yang terlihat pada Tabel. 3.

Indeks keanekaragaman menyatakan kekayaan spesies dalam komunitas

dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian individu/spesies (Krebs,

1978). Tinggi rendahnya nilai keanekaragaman ikan dipengaruhi oleh pola

(22)

mendukung yaitu adanya perbedaan aktifitas manusia pada badan perairan seperti

adanya pembuangan limbah yang mempengaruhi kualitas perairan sebagai faktor

pendukung bagi kelangsungan hidup ikan. Stasiun 2 merupakan daerah

pariwisata, memiliki nilai keanekaragaman 1,57ind/m2. Stasiun 4 memiliki nilai

keanekaragaman paling rendah yaitu 1,35ind/m2. Dimana stasiun 4 merupakan

stasiun dengan nilai keanekaragaman yang paling rendah dari keempat stasiun

penelitian. Hal tersebut dikarenakan stasiun 4 merupakan daerah pemukiman

masyarakat, dimana terdapat aktifitas seperti mencuci, mandi dan daerah ini juga

merupakan daerah pemancingan ikan bagi masyarakat setempat. Indeks

keanekaragaman tidak hanya ditentukan oleh jumlah spesies dan jumlah individu

saja tetapi juga dipengaruhi oleh pola penyebaran jumlah individu pada

masing-masing spesies. Dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat

dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan penyebaran individu

pada masing-masing spesies (Barus, 2004). Dari tabel 4. dapat disimpulkan bahwa

sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun, memiliki nilai keanekaragaman jenis

ikan yang rendah yaitu 1,35-1,63 ind/m2.

Tabel 4 diatas dapat dilihat bahwa nilai keseragaman (E) pada lokasi

penelitian berada diantara 0,753-0,911 tergolong merata/seragam pada setiap

stasiun. Nilai keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 0,911.

Sedangkan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 0,753. Hal ini

disebabkan jumlah dan jenis spesies ikan pada keempat stasiun tidak terlalu

berbeda, seperti terlihat pada Tabel 3. stasiun 1 memiliki 8 spesies, dimana dua

diantaranya hanya terdapat pada stasiun 1, dan 6 spesies lainnya tersebar di stasun

2, 3 dan 4. Indeks keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui kemerataan

proporsi masing-masing jenis ikan di suatu ekosistem, hal ini sesuai dengan

pendapat Krebs, (1978), bahwa semakin kecil nilai E maka semakin kecil pula

keseragaman suatu populasi dan penyebaran individunya mendominasi populasi

yang ada. Sedangkan semakin besar nilainya maka akan semakin besar pula

keseragaman suatu populasi dimana jenis dan jumlah individu tiap jenisnya

merata/seragam. Dari tabel 4. menunjukkan nilai keseragaman atau jumlah

(23)

4.4. Indeks Similaritas (IS)

Nilai indeks similaritas (IS) pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada tabel

5 berikut ini:

Tabel 5. Data Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun

IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Stasiun 1 - 57.14% 42.85 % 57.14 %

Stasiun 2 - - 16.66 % 33.33 %

Stasiun 3 - - - 50 %

Stasiun 4 - - - -

Tabel 5. Menunjukkan bahwa nilai IS pada keempat stasiun penelitian antara

16,66%-57,14%. Nilai tertinggi dari keempat stasiun penelitian adalah stasiun 1

dengan stasiun 2 yaitu 57,14%. Hal tersebut dapat diartikan bahwa stasiun 1 dan

stasiun 2 memiliki tingkat kesaamaan yang paling tinggi dibandingkan dengan

stasiun yang lainnya. Hal ini disebabkan antara stasiun 1 dan 2 memiliki nilai

keanekaragaman dan keseragaman yang hampir sama pada jumlah spesies ikan

yang didapatkan (dapat dilihat pada tabel 3). Nilai IS terendah dari keempat

stasiun adalah pada stasiun 2 dengan 3 yaitu 16,66%. Dimana pada stasiun 2

terdapat 6 spesies ikan, sedangkan pada stasiun 3 terdapat 2 spesies ikan yang

berbeda pada hasil penelitian (dapat lihat pada tabel 2). Hal ini disebabkan

perbedaan aktifitas pada kedua stasiun yang menyebabkan perubahan kondisi

lingkungan perairan seperti intensitas cahaya, pH, kecepatan arus dan substrat

berbeda (seperti terlihat pada tabel 6.) yang menjadi faktor pendukung dari

keanekaragaman spesies ikan pada kedua stasiun tersebut. Pada stasiun 2 terdapat

aktifitas pariwisata, sedangkan pada stasiun 3 merupakan daerah pembuangan

limbah.

Menurut Odum (1971), nilai indeks similaritas (IS) berkisar antara 0-100%

atau 0-1. Jika nilai indeks similaritas mendekati 0 maka berarti tingkat kesamaan

rendah dan sebaliknya, jika nilai IS mendekati angka 1 atau 100% maka tingkat

kesamaan tinggi.

4.5 Faktor Abiotik Lingkungan

Pengukuran faktor fisik kimia di Sungai Bah Bolon dari hasil penelitian

(24)

Tabel 6. Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai Bah Bolon pada

Setiap mahluk hidup memiliki ciri-ciri tertentu, salah satunya menerima dan

menanggapi rangsang. Ketika terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungan,

maka mahluk hidup akan melakukan penyesuaian diri atau adaptasi untuk merasa

lebih nyaman dan bisa beraktivitas dengan normal. Ketika mahluk hidup tersebut

tak mampu untuk menyesuaikan diri, maka ia akan mengalami kematian atau

terkana seleksi alam (Amdah, 2011).

a. Suhu

Dari tabel 6 di atas diperoleh bahwa nilai suhu di setiap stasiun penelitian berada

pada kisaran 22,7-26,80C. Suhu tertinggi diperoleh pada stasiun 2 yaitu 26,80C

dan suhu terendah pada stasiun 1 yaitu 22,70C. Menurut Boyd (1990), suhu yang

baik untuk kehidupan ikan di Indonesia khususnya daerah tropis berkisar antara

250C-320C, namun kadang-kadang suhu permukaan dapat mencapai 350C atau

lebih sehingga berada diluar batas optimal yang bisa digunakan untuk kehidupan

ikan. Kisaran suhu di kawasan perairan Sungai Bah Bolon tergolong baik untuk

(25)

terbilang lebih rendah dari kisaran suhu yang baik untuk ikan di sungai. Hal ini

disebabkan oleh faktor lain seperti kecepatan arus, oksigen terlarut dan suhu dari

udara.

Menurut Yuliani dan Rahardjo (2012), Suhu air dipengaruhi oleh suhu udara.

Tinggi rendah suhu juga berpengaruh terhadap aktivitas ikan. Tingginya suhu air

akan mengurangi kadar oksigen terlarut. Keadaan suhu air dan DO akan

mempengaruhi aktivitas ikan. Suhu air sangat berkaitan erat dengan konsentrasi

oksigen terlarut dan laju konsumsi oksigen hewan air.

b. Kecepatan Arus

Nilai kecepatan arus perairan pada stasiun penelitian berkisar antara 0,93-0,81

m/detik. Stasiun 1 memiliki nilai kecepatan arus tertinggi yaitu 0,93 m/detik

disebabkan karena stasiun 1 merupakan stasiun yang paling dekat ke hulu sungai

dan substrat batu besar dan pasir, sehingga kecepatan arus stasiun 1 lebih besar

dibandingkan dengan stasiun penelitian yang lain. Stasiun 3 dan 4 memiliki nilai

kecepatan arus yang sama dan lebih rendah dari kedua stasiun yang lainnya yaitu

0,81 m/detik.

Arus sangat penting sebagai faktor pembatas, terutama pada aliran air.

Pengaruh arus terhadap organisme aquatik adalah ancaman bagi organisme

tersebut dihanyutkan oleh arus yang deras. Oleh karena itu organisme mempunyai

adaptasi morfologis yang spesifik untuk dapat bertahan hidup. Berbagai jenis ikan

juga mempunyai adaptasi morfologis yang khas untuk bertahan pada habitat yang

berarus deras. Selain itu adaptasi yang dilakukan oleh organisme akuatik terhadap

arus deras adalah melakukan kompensasi terhadap hanyut dengan melakukan

gerakan melawan arus. Pada prinsipnya organisme akuatik akan berusaha mencari

perlindungan untuk menghindarkan diri dari ancaman hanyut, terutama pada

substrat batu-batuan besar yang terlindung dari arus air yang deras (Odum, 1994)

Arus air sangat membantu pertukaran air, membersihkan timbunan sisa

metabolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan ikan.

Namun, harus dicegah arus yang terlalu berlebihan karena menyebabkan ikan

stress, energi banyak yang terbuang dan selera makan berkurang, kecepatan arus

(26)

Ikan bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang

dipengaruhi oleh arus yaitu dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada

arus. Arus tampak jelas dalam organ mechanoreceptor yaitu garis mendatar pada

tubuh ikan. Mechanoreceptor adalah reseptor yang ada pada organisme yang

mampu memberikan informasi perubahan mekanis dalam lingkungan seperti

gerakan, tegangan atau tekanan. Biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju

arus (Reddy, 1993). Hasil penelitian menunjukkan kecepatan arus di sungai Bah

Bolon berkisar antara 0,81-0,93 m/detik tergolong ideal bagi pertumbuhan dan

kelangsungan hidup ikan.

c. Intensitas Cahaya

Berdasarkan tabel 6, nilai intensitas cahaya di sungai Bah Bolon berada pada

kisaran 1344-504 Candela. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan pada waktu

pagi hingga menjelang siang. Hasil pengukuran intensitas tertinggi terdapat pada

stasiun 1 yaitu 1344 candela, disebabkan pada saat pengukuran cuaca sangat

cerah. Sedangkan nilai intensitas cahaya terendah terdapat pada stasiun 3 yaitu

504 candela disebabkan pada saat pengukuran cuaca mendung. Namun kisaran

intenstas cahaya di Sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk kelangsungan

hidup ikan.

Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan.

Intensitas cahaya bagi organisme akuatik berfungsi sebagai alat orientasi yang

akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Apabila

intensitas berkurang maka proses fotosintesis akan terlambat sehingga oksigen

dalam air makin berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme untuk

metabolismenya (Barus, 1996).

Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan.

Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari

predator, membantu dalam pengelihatan, proses metabolisme dan pematangan

gonad. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan

(27)

d. Penetrasi Cahaya

Hasil pengukuran pada stasiun penelitian nilai penetrasi cahaya berkisar antara

30-100.5cm. Nilai penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 100,5

cm hal ini disebabkan stasiun 1 memiliki air yang lebih jernih dibandingkan

dengan ketiga stasiun penelitian yang memiliki nilai kekeruhan yang paling

rendah (dapat dilihat pada tabel 6). Sedangkan nilai penetrasi cahaya terendah

terdapat pada stasiun 3 yaitu 30 cm, disebabkan oleh kondisi perairan yang paling

keruh dibandingkan dengan semua stasiun penelitian yang lain. Penetrasi cahaya

di sungai Bah Bolon masih tergolong baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan

hidup ikan.

Tinggi rendahnya penetrasi cahaya pada keempat stasiun disebabkan adanya

bahan-bahan terlarut seperti buangan limbah dan juga akibat curah hujan yang

menyebabkan warna air menjadi keruh sehingga menghambat cahaya yang dating.

Kemampuan penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sangat ditentukan oleh

warna perairan, kandungan bahan organic maupun anorganik tersuspensi di

perairan dan kepadatan plankton (Wardoyo, 1981)

Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm atau

lebih, karena bila kecerahan kurang dari 45cm, maka batas pandangan ikan akan

berkurang (Kordi, 2004).

e. Kekeruhan

Hasil pengukuran kekeruhan di lokasi penelitian berkisar antara 7,61-77. Stasiun 1

memiliki nilai kekeruhan terendah yaitu 7,61 disebabkan oleh rendahnya partikel

terlarut dalam air sehingga nilai penetrasi cahaya pada stasiun 1 tinggi yang

dipengaruhi oleh rendahnya nilai kekeruhan. Sedangkan nilai kekeruhan tertinggi

terdapat pada stasiun 3 yaitu 77 yang dikarenakan stasiun 3 merupakan daerah

pembuangan limbah domestik maupun industri yang mengakibatkan tingginya

partikel terlarut sehingga air berwarna kecoklatan.

Banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan

yang tinggi (Abdunnur, 2002). Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang

(28)

umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, lumpur, sisa tanaman, hewan,

dan limbah industri (Sastrawijaya, 1991).

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan

banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat

di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik

yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan

organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain. Nilai

kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor terpenting untuk

mengontrol produktivitasnya. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi

penetrasi cahaya matahari. Kekeruhan di suatu sungai tidak sama sepanjang tahun.

Air akan sangat keruh pada musim penghujan karena aliran air maksimum dan

adanya erosi dari daratan (Effendi, 2003).

f. Konduktivitas

Berdasarkan tabel 6, nilai konduktivitas di sungai Bah Bolon berada pada kisaran

yang tidak jauh beda yaitu 81-94,7 p µhos/cm. Stasiun 3 memiliki nilai

konduktivitas tertinggi yaitu 94,7 p µhos/cm, sedangkan stasiun 1 memiliki nilai

konduktivitas terendah yaitu 81 p µhos/cm. Jumlah konduktivitas terlarut terkait

dengan konsentrasi total padatan terlarut dan ion utama. Konduktivitas untuk air

tawar berkisar antara 10 sampai 1000 µmhos/cm, tetapi dapat melebihi 1000

µmhos/cm, terutama di perairan tercemar, atau perairan yang menerima jumlah

run offyang besar dari tanah (Tessema et al (2014) dalam Rizki et al, 2015). Jadi

nilai konduktivitas sungai Bah Bolon tergolong masih baik untuk mendukung

kelangsungan dan pertumbuhan ikan.

Nilai Konduktivitas erat kaitannya dengan TDS dan ion utama perairan,

karena semakin tinggi TDS dan ion utama maka daya hantar listrik/konduktivitas

dari air tersebut juga semakin tinggi (Rizki et al, 2015). Semakin banyak

garam-garam yang terlarut maka semakin baik daya hantar listrik air tersebut (Barus,

(29)

g. DO (Dissolved oxygen)

Dari Tabel 6. Dapat dilihat bahwa nilai oksigen terlarut pada kempat stasiun

penelitian berkisar antara 8,19-7,2 mg/L. Nilai oksigen terlarut tertinggi terdapat

pada stasiun 1 yaitu 8,19 mg/l yang dipengaruhi oleh suhu pada stasiun 1 lebih

rendah, dan kecepatan arus yang tinggi. Sedangkan nilai oksigen terlarut terendah

terdapat pada stasiun 2 yaitu 7,2 mg/l yang disebabkan suhu pada stasiun 2

memiliki nilai yang lebih tinggi diantara stasiun penelitian yang lain.

Sumber utama oksigen terlarut berasal dari atmosfer dan proses fotosintesis.

Oksigen dari udara diserap dengan difusi langsung di permukaan air oleh angin

dan arus. Jumlah oksigen yang terkandung dalam air tergantung pada daerah

permukaan yang terkena suhu dan konsentrasi garam (Michael, 1994).

Ikan merupakan mahluk air yang paling membutuhkan oksigen tertinggi.

Biota di perairan tropis memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm, sedangkan

biota beriklim sedang memerlukan oksigen terlarut mendekati jenuh. Konsentrasi

Oksigen terlalu rendah akan menyebabkan ikan-ikan dan biota lainnya akan mati

(Fardiaz, 1992)

h. Kejenuhan Oksigen (O2)

Hasil pengukuran nilai kejenuhan oksigen dari keempat stasiun berada pada

kisaran 98,79-91,25 %. Stasiun 1 memiliki nilai kejenuhan oksigen tertinggi yaitu

98,79% yang disebabkan stasiun 1 memiliki nilai DO yang tinggi dan nilai suhu

terendah (dapat dilihat pada tabel 6). Sedangkan nilai kejenuhan oksigen terendah

terdapat pada stasiun 2 yaitu 91,25% yang disebabkan stasiun 2 memiliki nilai DO

terendah dan nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun penelitian

yang lainnya.

Tinggi rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan juga dipengaruhi

oleh faktor temperatur, tekanan dan berbagai konsentrasi ion yang terlarut dalam

air pada perairan tersebut. Kandungan oksigen terlarut pada keempat stasiun

masih tergolong sangat layak dalam mendukung kehidupan organisme sebab

menurut Sastrawijaya (1991), kehidupan organisme akuatik berjalan dengan baik

(30)

i. Derajat Keasaman (pH)

Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman dilokasi penelitian berkisar antara

7,2-7,9. Stasiun 2 merupakan stasiun dengan nilai pH tertinggi yaitu 7,9

sedangkan stasiun 1 merupakan stasiun dengan nilai pH terendah yaitu 7,2.

Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH. Pada

umumnya organisme aquatik toleran pada kisaran nilai ph netral menyatakan pH

yang ideal bagi organisme aquatik pada umumnya terdapat antara 7-8,5 (Odum,

1994). Jadi kisaran pH di sungai Bah Bolon tergolong baik untuk pertumbuhan

dan kelangsungan hidup ikan.

Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebebasan suatu perairan.

Pescod (1973), menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap pH bervariasi.

Hal ini tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan

kation serta jenis dan stadium organisme. Kondisi perairan yang bersifat sangat

asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme

karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

j. BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Hasil pengukuran nilai BOD pada keempat stasiun penelitian berada pada kisaran

0,9-1,5 mg/l. Nilai BOD tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 1,5 mg/l yang

disebabkan tingginya partikel terlarut didalam air (dapat dilihat pada tabel 6)

karena stasiun 3 merupakan daerah pembuangan limbah domestik dan industri

yang mengandung kandungan organic yang tinggi. Sedangkan pada stasiun 1

memiliki nilai BOD terendah yaitu 0,9 mg/l disebabkan oleh kondisi air pada

stasiun 1 lebih jernih dapat dilihat dari nilai kekeruhan yang rendah.

Kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh

mikroorganisme di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan

buangan organik yang ada di dalam air lingkungan tersebut. Jumlah

mikroorganisme tergantung pada tingkat kebersihan air. Air yang jernih biasanya

mengandung mikroorganisme yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan air

(31)

k. TDS (Total Dissolved Solid)

Hasil pengukuran nilai TDS pada keempat stasiun penelitian berada pada kisaran

52,65-60,45 mg/l. Nilai TDS tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu 60,45 mg/l

sedangkan nilai TDS terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu 52,65 mg/l.

Tingginya padatan terlarut pada suatu perairan dikarenakan area tersebut

dekat dengan aktivitas manusia sehingga banyak menghasilkan limbah yang

masuk ke dalam badan perairan dan akhirnya menambah jumlah partikel terlarut.

Sedangkan rendahnya nilai TDS pada suatu perairan dikarenakan perairan

tersebut jauh dari segala aktivitas manusia dan tidak adanya limbah yang masuk

ke perairan (Yazwar, 2008).

l. TSS (Total Suspended Solid)

Hasil pengukuran TSS di laboratorium lingkungan Shafera Enviro, Provinsi

Sumatera Utara berkisar antara 40,19-54,22 mg/l. Nilai TSS tertinggi terdapat

pada stasiun 3 yaitu 54,22 mg/l yang disebabkan tingginya nilai kekeruhan pada

stasiun 3, sedangkan nilai TSS terendah terdapat pada stasiun 4 yaitu 40,19 mg/l.

TSS merupakan faktor utama yang menyebabkan tinggi atau rendahnya

kecerahan dari suatu perairan. Peningkatan nilai TSS ini dapat disebabkan oleh

naiknya kadar bahan organik yang bersifat koloid. Peningkatan TSS akan

menyebabkan meningkatnya penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan ikan

(Rizki, et al. 2015).

Peningkatan padatan tersuspensi dapat membunuh ikan secara langsung,

meningkatkan penyakit dan menurunkan tingkat pertumbuhan ikan serta

perubahan tingkah laku dan penurunan reproduksi ikan (Aisyah & Luki, 2012).

m. Kadar Nitrat (NO2)

Berdasarkan hasil pengukuran nilai kadar nitrat pada lokasi penilitian berkisar

antara 0,5-1,82 mg/l. Stasiun 1 memiliki nilai kadar nitrat tertinggi yaitu 1,82

mg/l. Sedangkan nilai kadar nitrat terendah terdapat pada stasiun 3 dan 4 yaitu 0,5

mg/l. Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan.

Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/L, perairan mesotrofik

(32)

berkisar antara 5-50 mg/L (Effendi, 2003). Jadi kadar nitrat pada sungai Bah

Bolon masih tergolong baik untuk mendukung pertumbuhan ikan.

n. Kadar Fosfat (PO4)

Hasil pengukuran kadar Fosfat di laboratorium Lingkungan Shafera Enviro,

Provinsi Sumatera Utara, menunjukkan bahwa kadar fosfat berada pada kisaran

0,023-0,092 mg/l. Berdasarkan kadar fosfor total, perairan diklasifikasikan

menjadi tiga yaitu, perairan dengan tingkat kesuburan rendah memiliki kadar

fosfat total berkisar antara 0-0,02 mg/l. Perairan dengan tingkat kesuburan sedang

memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0,02-0,05 mg/l. Perairan yang dengan

tingkat kesuburan tinggi memiliki kadar fosfat total berkisar antara 0,051-0,1

mg/l.

4.6. Analisis Korelasi Pearson

Nilai korelasi yang diperoleh antara keanekaragaman dengan parameter

fisik-kimiadi Sungai Bah Bolon dengan menggunakan metode Pearson dapat dilihat

pada tabel 7. Berikut :

Tabel 7. Nilai Korelasi Pearson antara Keanekaragaman Ikan dengan Sifat Fisik-Kimia Perairan Sungai Bah Bolon.

No Parameter Nilai Korelasi (r)

A Parameter Fisika

1 Suhu 0,804

2 Kecepatan Arus 0,609

3 Intensitas Cahaya 0,917

4 Penetrasi Cahaya 0,805

5 Kekeruhan 0,881

6 Konduktivitas 0,507

B Parameter Kimia

7 Oksigen Terlarut(DO) 0,647

8 Kejenuhan Oksigen 0,533

(33)

Hasil uji korelasi antara beberapa faktor fisik kimia perairan dengan

keanekaragaman ikan, dimana pada hasil uji menunjukkan terdapat hubungan

positif (+) pada semua faktor fisik kimia perairan di sungai Bah Bolon, kabupaten

Simalungun. Hubungan positif adalah hubungan searah antara faktor fisik kimia

perairan dengan keanekaragaman ikan yang artinya semakin tinggi nilai faktor

fisik kimia perairan maka semakin tinggi juga nilai keanekaragaman ikan.

Hasil analisis uji korelasi juga menunjukkan hubungan masing-masing

parameter fisik kimia perairan terhadap keanekaragaman ikan. Berdasarkan tabel

7. diatas, dapat diketahui bahwa suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya,

kekeruhan dan pH (derajat keasaman) (interval 0,804-0,991) memiliki korelasi

yang sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan di Sungai Bah Bolon, Kabupaten

Simalungun. Kecepatan arus, dissolved oxygen (DO), dan biochemical oxygen

demand (BOD) (Interval 0,609-0,685) memiliki korelasi yang kuat terhadap

keanekaragaman ikan. Konduktivitas, TDS (Total Dissolved Solid), kadar fosfat

(PO4) dan kadar nitrat (NO2) memiliki korelasi sedang, sedangkan TSS (Total

Suspended Solid), memiliki nilai korelasi yang sangat lemah dibanding parameter

fisik kimia lainnya yaitu 0,353.

Suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, kekeruhan dan pH berpengaruh

sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan. Suhu air mempunyai peranan dalam

mengatur kehidupan biota air, terutama dalam proses metabolisme. Kebutuhan

oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan

dengan ikan pada saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat

menggunakan oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap

perairan yang kekurangan oksigen terlarut (Wardoyo, 1978).

Kekeruhan mempengaruhi pola penyebaran temporal ikan, dan

mempengaruhi jarak pandang ikan untuk berenang di air. Kekeruhan juga

mempengaruhi nilai penetrasi di air, dimana semakin rendah angka kekeruhan

maka nilai penetrasi cahaya semakin tinggi. Penetrasi cahaya juga memiliki

peranan penting bagi ikan. Kecerahan suatu perairan berkaitan dengan padatan

tersuspensi, warna air dan penetrasi cahaya, sehingga dapat menurunkan intensitas

(34)

Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan

nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen

terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle,

1968).Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm

selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70% (Huet,

1970).

Derajat keasaman (pH) menentukan keberadaan ikan. Setiap jenis ikan

memiliki tingkat toleransi yang berbeda-beda terhadap pH. Derajat keasaman

yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian pada ikan sehingga

mempengaruhi keanekaragaman ikan. Menurut Siagian (2009), nilai pH yang

ideal bagi kehidupan organisme akuatik berkisar antara 7-8,5.

Kandungan oksigen terlarut (DO) berperan dalam menentukan keberadaan

ikan. Toleransi terhadap tingginya kelarutan oksigen dalam air berpengaruh besar

dalam aktivitas fisiologi ikan. Apabila DO optimal maka pertumbuhan ikan akan

semakin maksimal.

Menurut Sarwono (2006), koefisien korelasi ialah pengukuran statistik

kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar

(35)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

a. Ikan yang diperoleh pada keempat stasiun penelitian diklasifikasikan sebanyak

3 ordo, 5 famili, dan 11 spesies. Puntius binotatus dan Hypostomus

plecotomus memiliki nilai kepadatan tertinggi dari keempat stasiun penelitian.

b. Indeks keanekaragaman pada lokasi penelitian tergolong rendah dengan

adanya beberapa spesies ikan yang mendominasi dibeberapa stasiun

penelitian.

c. Indeks keseragaman pada lokasi penelitian di Sungai Bah Bolon, Kabupaten

Simalungun, tergolong tinggi.

d. Suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, kekeruhan, dan pH memiliki nilai

korelasi yang sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan di Sungai Bah

Bolon. Kecepatan arus, DO (Dissolved Oxygen), dan BOD (Biochemical

Oxygen Demand) memiliki nilai korelasi yang kuat terhadap keanekaragaman

ikan di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun.

5.2. Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah :

a. Diharapkan dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman biota perairan

yang lain di Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun.

b. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dilakukan di dua musim yaitu

kemarau dan hujan untuk dapat melihat perbedaan keanekaragaman ikan di

Sungai Bah Bolon, Kabupaten Simalungun. beberapa periode dalam satu

Gambar

Gambar  2.  Sungai  Bah  Bolon  Pada  Stasiun  1  yang  Terletak  di   Desa Karanganom, Pane Tongah
Gambar 4. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 3 yang Merupakan Badan Air, Penerima Air Limbah Rumah Sakit dan Pabrik Es Yang Terdapat di Kota Pematang Siantar
Gambar 5. Sungai Bah Bolon Pada Stasiun 4 yang Terdapat Dekat Pemukiman Penduduk Di Kota Pematang Siantar
Tabel 1. Alat dan satuan yang digunakan dalam pengukuran faktor       fisik-kimia perairan
+7

Referensi

Dokumen terkait

16.00 Nilai uji analisis korelasi keanekaragaman plankton dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan pada setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel 8

Observasi di Danau Bengaris Kelurahan Tanjung Pinang Kecamatan Pahandut Kota Palangka Raya, 24 Desember 2014.. Stasiun

Hasil perhitungan nilai H’ dan E Stasiun 1 yang merupakan hulu Sungai Cikaro adalah 1,08 dan 0,98 (Gambar 5) pada stasiun 2 nilai H’ dan E pada adalah 0

Berdasarkan pada tabel 1 di atas, dapat diketahui bahwa jenis ikan yang banyak ditemukan di Sungai Sakti Buana diantaranya yaitu ikan nilem sebanyak 26 ekor,

Hasil penelitian kandungan logam berat Kadmium di daun pada stasiun I adalah 2,59 mg/kg, stasiun II dan IIIsebesar <0,003 mg/kg (Tabel 6).Perbedaan nilai pada setiap

Dari hasil penelitian tentang inventarisasi jenis ikan famili Cyprinidae di Sungai Batang Nareh, Kabupaten Padang Pariaman diperoleh 7 jenis yaitu Tor tambra C.V(8

Berdasarkan hasil analisis data secara keseluruhan (Stasiun 1,2,dan 3) Keanekaragaman Jenis Ikan (Cypriniformes: Cyprinidae) di Sungai Batang Tembesi Kabupaten

Kelimpahan Relatif Ikan Sungai Cilutung Pada stasiun 2 yang terletak di Desa Tolengas, ikan yang tertangkap selama riset yaitu sebanyak 68 ekor yang terdapat 4 famili terdiri dari 8