• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Bapas Dalam Diversi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Bapas Klas I Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan Bapas Dalam Diversi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Bapas Klas I Medan)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan Bapas merupakan

salah satu badan di bawah lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI. Kantor

Bapas biasanya terletak di wilayan Ibukota Provinsi, akan tetapi wilayah kerja

dari Bapas itu sendiri mencakup beberapa wilayah kabupaten/kota. Adakalanya

juga untuk 1 Provinsi terdapat beberapa Kantor Bapas, ini dilakukan untuk

mengantisipasi letak kabupaten/kota yang sangat jauh dari Ibukota Provinsi. Di

Indonesia saat ini terdapat ada 71 unit Bapas yang tersebar di 33 Provinsi,

sedangkan di Provinsi Sumatera Utara sendiri terdapat 2 Kantor Bapas yang

meliputi Bapas Klas I yang berada di Kota Medan dan Bapas Klas II yang berada

di Kota Sibolga.

Bapas Klas I Medan memiliki cakupan wilayah kerja yang meliputi : Kota

Medan, Kota Binjai, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, Kota Tanjung

Balai, Kab. Langkat, Kab. Deli Serdang, Kab. Serdang Bedagai, Kab. Batubara,

Kab. Asahan, Kab. Labuhan Batu, Kab. Labuhan Batu Utara, Kab. Labuhan Batu

Selatan, Kab. Tanah Karo, Kab. Dairi, Kab. Pakpak Barat, dan Kab. Simalungun.

Sementara itu Bapas Klas II Sibolga memiliki cakupan wilayah kerja yang

meliputi : Kota Sibolga, Kab. Mandailing Natal, Kab. Nias, Kab. Nias Selatan,

(2)

Sidempuan, Kab. Toba Samosir, Kab. Samosir, Kab. Humbang Hansudutan, Kab.

Padang Lawas dan Kab. Padang Lawas Utara.1

Bapas bukanlah suatu badan atau lembaga baru di Indonesia karna pada

dasarnya Bapas sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan

Belanda di Indonesia dikenal Jawatan Reklasering pada tahun 1927 yang terletak di Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun 1930 – 1935 berdasarkan Surat Keputusan No.11 yang mana Jawatan Reklasering dan Pendidikan Paksa

dihapuskan, sedangkan tugas-tugasnya dilimpahkan kepada Kepenjaraan yang

selanjutnya disebut Inspektorat Reklasering dan Pendidikan Paksa yang mana

tugasnya : Menangani Lembaga-Lembaga Anak yang disebut Rumah Pendidikan

Anak (RPN) dan Menangani Lepas Bersyarat, Pidana Bersyarat dan Pembinaan

Lanjutan serta Anak yang dijatuhi hukuman oleh Hakim kembali ke Orang Tua.

Masa penjajahan Jepang badan ini tetap ada dan tidak dihapuskan hanya saja

tugasnya saja yang dikurangi, pada masa itu tugas pelaksanaan Lepas Bersyarat

sudah tidak ada lagi.

Pada Masa Kemerdekaan Indonesia Sistem Kepenjaraan berubah dengan

Sistem Pemasyarakatan ( 27 April 1964) dengan Keputusan Presedium Kabinet

Ampera No.75/U/Kep/II/66, Struktur Organisasi berubah menjadi Direktorat

Jendral Pemasyarakatan dengan dua direktoratnya bertugas membina klien di

dalam Lembaga Pemasyarakatan dan membina klien diluar Lembaga

Pemasyarakatan yang mencakup pula Pembinaan Anak di dalam pemasyarakatan

yang disebut Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak

1

(3)

(BISPA). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI

No.M.02.PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja BISPA maka

Balai BISPA diganti dengan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dan di

klasifikasikan menjadi dua yaitu BAPAS Klas I dan BAPAS Klas II berdasarkan

lokasi, beban kerja dan wilayah kerja. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen

Pemasyarakatan No.E.PK.04.10-23 tanggal 9 Maret, dapat diangkat Pembimbing

Kemasyarakatan yang berasal dari LAPAS/RUTAN/Cab.RUTAN pada daerah

yang tidak dapat dijangkau yang berfungsi melaksanakan tugas Bapas.2

Sebelum adanya Bapas tersebut ada suatu lembaga yang dikenal dengan

Pra Yuwana yang didirikan pada tahun 1957 oleh Departemen Kehakiman. Pra Yuwana ini awalnya dikenal dengan Pro Juventute yang merupakan suatu organisasi yang didirikan oleh pemuda-pemuda yang sudah ada sejak zaman

penjajahan belanda bahkan telah mendapat pengakuan dari pemerintahan belanda

pada masa itu, organisasi ini bergerak untuk memberikan bimbingan kepada

orangtua yang mengalami kesulitan dalam memberikan nasihat dan bimbingan

kepada anak-anak yang terlibat kejahatan.

Pada tahun 1967 Pra Yuwana adalah lembaga yang ditugaskan membantu pelaksanaan peradilan anak. Tujuan lembaga ini melindungi anak dan mencegah

anak-anak lainnya agar tidak melakukan pelanggaran hukum dan kesusilaan dan

membimbing anak-anak. Pra Yuwana sekaligus berfungsi sebagai Lembaga

Conseling yang memberikan bantuan/nasihat, pengawasan serta tindakan

2

Saiful Azhar, Peran Bapas Dalam Penanganan Anak Berhadapan Dengan Hukum,

(4)

selanjutnya bagi kliennya, apakah dimasukan ke panti asuhan pendidikan atau

dikirim ke pengadilan.

Tahun 1968 Direktorat Jenderal Kepenjaraan mendirikan Bimbingan

Pemasyarakatan (Bispa) yang petugasnya diangkat dari Akademi Sosial yang

dipersiapkan menjadi Pembimbing Petugas Kemasyarakatan yang langsung

menangani anak-anak pelanggar hukum. Dalam perkembangan selanjutnya,

berhubung kekurangan petugas dan kekurangan dana maka tugas Pra Yuwana

diambil alih. Pra Yuwana tidak lagi di bawah Departemen Kehakiman, namun di bawah pengawasan Departemen Sosial. Tugas Pra Yuwana hanya mengenai

perempuan dan anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun. Dengan adanya

pengalihan tersebut, maka Pra Yuwana tidak lagi aktif dalam penanganan anak yang bermasalah dengan kriminal, akan tetapi kegiatannya beralih pada anak-anak

yang putus sekolah dan sebagainya.3

Pentingnya suatu usaha dan upaya terhadap perlindungan anak memang

sudah lama disadari. Berbagai cara dilakukan untuk dapat mewujudkan usaha

perlindungan tersebut, termasuk dengan hadirnya Bapas dalam ruang lingkup

anak sebagai salah satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh Negara atau

Pemerintah kepada anak, karena Bapas sendiri merupakan salah satu instrumen

pemerintah.

Perlindungan kepada anak harus diusahakan oleh setiap orang atau

masyarakat termasuk juga Negara sebagai organisasi tertinggi dari masyarakat dan

3

(5)

Pemerintah sebagai alat untuk menjalakan negara tersebut. Perlindungan yang

dilakukan oleh Negara atau Pemerintah terhadap anak dengan memberikan

dukungan sarana dan prasarana (negara sebagai fasilitator) sedangkan

perlindungan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anak dengan cara berperan

serta dalam mengupayakan terselenggaranya perlindungan anak. Lebih jauh lagi

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

memuat secara rinci mengenai perlindungan khusus terhadap anak yang menjadi

kewajiban dan tanggung jawab dari pemerintah, sebagai berikut :

1. Anak dalam situasi darurat

2. Anak yang berhadapan dengan hukum. 3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi.

4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual. 5. Anak yang diperdagangkan.

6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza).

7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan. 8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental. 9. Anak yang menyandang cacat, dan

10. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita

luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai

sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan

seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani

dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam

suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam

berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam

(6)

perlindungan anak yang diberikan tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan

memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri,

sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negatif.

Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat

yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efesien. Usaha perlindungan

anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas, dan hal-hal lain

yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak

terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan

hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.4

Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang seutuhnya.

Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan

setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut

meminta. Hukum pidana menjadi legitimasi untuk mengurangi dan membatasi

penikmatan hak asasi seseorang, tak terkecuali anak yang berkonflik dengan

hukum. Anak yang berkonflik dengan hikum memang menjadi objek dari

keberadaan hukum pidana, akan tetapi terdapat sejumlah hak dan kebebasan yang

tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Sejumlah hak ini dikenal dengan

hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh

negara walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak tersebut adalah hak

atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari pemidanaan yang berlaku

4

(7)

surut, dan hak sebagai subjek hukum (Pasal 4 Ayat (2) Konvensi Internasional

Hak-Hak Sipil dan Politik).5

Dunia hukum mengalami perubahan cara pandang dalam penanganan anak

yang melakukan perbuatan melawan hukum. Banyak negara yang mulai

meninggalkan mekanisme sistem peradilan pidana anak yang bersifat represif

karena sistem tersebut dianggap gagal memperbaiki tingkah laku dan mengurangi

tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Hal ini dikarenakan peningkatan

kesadaran bahwa anak bukanlah miniatur orang dewasa. Secara kejiwaan masa

anak-anak adalah periode yang rentan yang membuat anak menjadi belum

mandiri, belum memiliki kesadaran penuh serta kepribadian belum stabil atau

belum terbentuk secara utuh. Keadaan psikologi anak masih labil, tidak

independen, dan gampang terpengaruh. Kondisi demikian, perbuatan yang

dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggung jawabkan oleh anak

sendiri, karena anak bukan pelaku murni, melainkan juga dapat dipandang sebagai

korban.

Anak seharusnya tidak dihadapkan pada sistem peradilan jika ada cara

yang lebih tidak menekan untuk menangani perbuatan yang melawan hukum,

maka dari itu dalam rangka memberikan pemenuhan hak terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan

hukum terhadap anak-anak Indonesia. Menerbitkan berbagai peraturan

perundang-undangan yang merumuskan perlindungan terhadap anak-anak yang

berhadapan dengan hukum, salah satu implementasinya adalah dengan lahirnya

5

(8)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

selanjutnya disebut UU SPPA. Kehadiran UU SPPA sekaligus memberlakukan

proses pemeriksaan khusus bagi anak yang melakukan tindak pidana yang

penanganannya melibatkan beberapa Lembaga Negara yaitu Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan, Departemen Hukum dan HAM, serta Departemen Sosial

secara terpadu dengan mengedepankan kepentingan yang terbaik bagi anak-anak.

Sistem peradilan pidana yang diatur dalam UU SPPA, telah memberikan

perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam proses

peradilan pidananya, meskipun proses peradilan pidana yang harus dilalui

jalurnya sama yaitu Polisi, Jaksa, Peradilan, dan Lembaga Pembinaan Khusus

Anak (LPKA), namun yang berbeda adalah terlihat pada perlakuan yang diberikan

pada umumnya oleh aparat dalam setiap jenjang sistem peradilan pidana,

misalnya adanya polisi khusus yang khusus menangani perkara anak dan polisi

khusus yang dimaksud disini adalah Penyidik Polri yang terpilih dan memiliki

dedikasi dan memahami masalah anak. Penyidik Polri yang dapat di tetapkan

sebagai Penyidik Anak harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan

(Pasal 26 Ayat (2) UU SPPA), demikian juga yang berlaku pada Jaksa Khusus

Anak, Hakim Anak dan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak. 6

Dicantumkannya konsep diversi sebagai bentuk penanganan terhadap anak

yang bermasalah dengan hukum merupakan bentuk pembaharuan dalam sistem

peradilan anak di Indonesia. Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa

proses peradilan pidana lebih banyak menimbulkan bahaya daripada kebaikan.

6

(9)

Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmatisasi terhadap anak

atas tindakan yang dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik

untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana. Pertimbangan

dilakukannya diversi merupakan filosofi sistem peradilan pidana anak untuk

melindungi dan merehabilitasi anak pelaku tindak pidana.7

Diversi tidak bertujuan untuk mengabaikan hukum dan keadilan sama

sekali, akan tetapi berusaha memakai unsur pemaksaan seminimal mungkin untuk

membuat orang mentaati hukum. Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat

untuk taat dan menegakkan hukum negara, pelaksanaannya tetap

mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping pemberian

kesempatan kepada pelaku untuk menempuh jalur non pidana seperti ganti rugi,

kerja sosial atau pengawasan orang tuanya. Diversi dilakukan dengan alasan

untuk memberikan suatu kesempatan kepada pelangar hukum agar menjadi orang

yang baik kembali melalui jalur non formal (luar pengadilan) dengan melibatkan

sumber daya masyarakat. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus

anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana. 8

B.Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dibahas dalam latar belakang diatas, maka

permasalahan yang akan diuraikan sebagai berikutnya :

1. Bagaimana pengaturan Diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ?

7

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restoratif Justice dalam Hukum Pidana,

Medan : USU Press, 2010, hlm. 11.

8

(10)

2. Bagaimana peranan Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I Medan dalam

pelaksanaan proses Diversi ?

3. Apa saja faktor yang menghambat Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I

Medan dalam melaksanakan proses Diversi ?

C.Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini yaitu :

1. Untuk mencapai pemahaman bagaimana peranan Bapas dalam melaksanakan

proses Diversi

2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang menghambat Bapas dalam

melaksanakan proses Diversi

Karya tulis ini diharapkan akan dapat menambah dan memperkaya

literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khususnya peran Bapas dalam

proses pelaksanaan diversi. Karya tulis ini diharapkan juga dapat menjadi bahan

acuan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi. Disamping itu

melalui skripsi ini kiranya dapat memberikan sumbangan pemikran khususnya

mengenai faktor yang menhambat Bapas dalam melaksanakan proses diversi.

Penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat secara teoritis dan praktis

sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih untuk ilmu

pengetahuan seluas-luasnya secara umum serta membantu dalam

(11)

informasi terhadap pemikiran yang berkonsentrasi dalam perlindungan hukum

kepada anak di Indonesia melalui mekanisme Diversi. Skripsi ini juga

diharapkan mampu memenuhi pengetahuan para pihak yang ingin atau pun

sedang mendalami pengetahuan mengenai BAPAS antara lain oleh mahasiswa,

akademisi maupun masyarakat luas.

b. Secara Praktis

Memberikan informasi dan tambahan masukan serta konstribusi pemikiran

kepada aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim, advokat dan institusi

lainnya yang terkait dan juga kepada masyarakat luas dalam mengikutsertakan

perannya terhadap pengembangan konsep Diversi.

D.Keaslian Penulis

Mengenai keaslian penulisan skripsi ini dibuat sendiri oleh penulis setelah

memahami mengenai peran Bapas dalam pelaksanaan diversi, maka penulis

merasa tertarik untuk membahasnya lebih lanjut.

Setelah dilakukan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara melalui uji bersih dan hasilnya dikeluarkan pada tanggal 4

Februari 2016, menyatakan bahwa belum terdapat tulisan yang mengangkat

tentang “ Peran Bapas Dalam Diversi Sebagai Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Bapas Klas I Medan)”.

Penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih baru, sehingga keabsahannya dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan akademis.

(12)

E.Tinjauan Kepustakaan.

1. Pengertian Anak

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah

keturunan kedua. Konsideran Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, mengatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan

Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia

seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas bangsa, memiliki

peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelansungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Setiap anak kelak haruslah mampu

memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapatkan yang

seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun

sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk

mewujudkan kesejaterahan anak dengan memberikan jaminan terhadap

pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi. Berbagai

peraturan perundang-undangan di Indonesia baik yang pernah berlaku maupun

yang masih berlaku tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kritetia anak,

definisi anak hanya ditentukan oleh satu aspek yaitu batas usia seseorang akan

tetapi dapat dikecualikan apabila telah menikah. Batas usia anak memberikan

pengelompokan terhadap seseorang untuk kemudian dapat disebut sebagai

seorang anak. Batas usia adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud

kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anak tersebut beralih status

menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung

(13)

yang dilakukana anak itu.9 Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Menentukan batas usia dalam kaitannya

dengan definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia

anak mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa

undang-undang, misalnya :

a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejaterahan Anak,

mendefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun

dan belum pernah kawin.

b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun Hak Asasi Manusia, mendefinisikan

bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum

pernah kawin.

c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 trntang Ketenagakerjaan,

mendefinisikan bahwa anak orang yang berumur dibawah 18 tahun.

d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional memberlakukan wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasian menjadi

anak berusia 7 sampai 15 tahun.

e. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mendefinisikan anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih didalam

kandungan.

9

(14)

f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, mendefinisikan anak adalah seseorang yang telah berumur 12 tahun

tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak melakukan

tindak pidana.10

Tidak adanya keseragaman mengenai definisi atau kriteria anak di

Indonesia menciptakan suatu konsekuensi tersendiri dalam sistem hukum yang

berlaku yang mana seseorang dapat dikategorikan sebagai anak berdasarkan

keadaan hukum yang ada pada saat itu. Setiap orang yang bersinggungan dengan

hukum pidana maka untuk dapat menentukan orang tersebut dikategorikan

sebagai anak atau bukan, maka akan merujuk kepada ketentuan UU SPPA karena

dalam hukum pidana pengertian anak pada hakikatnya menunjuk kepada

persoalan batas usia pertanggungjawaban pidana.

2. Pengertian Bapas

Balai Pemasyarakatan atau yang dikenal dengan istilah Bapas mulai

dikenal dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatn.

Namun Bapas memiliki beberapa pengertian dari beberapa peraturan yang saling

berkaitan, yaitu :

a. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, menyebutkan

Bapas adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien

pemasyarakatan.11

b. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,

menyebutkan Bapas adalah unit pelaksanaan teknis pemasyarakatan yang

10

Ibid, hlm. 8-10.

11

(15)

melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan,

pengawasan, dan pendampingan. 12

Khusus dalam penanganan terhadap anak, peran Bapas sendiri mulai

terlihat jelas sejak berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Pidana Anak pada tanggal 3 Januari 1998 yang mana terdapat petugas

khusus yang kehadirannya sangat penting dalam acara peradilan pidana anak di

Indonesia yaitu Petugas Pembimbingan Kemasyarakatan atau lebih dikenal

dengan sebutan Bapas. Salah satu yang menjadi tugas dari Bapas ini adalah

melakukan Penelitian Kemasyarakatan (LITMAS) yang mana hasil dari Penelitian

Kemasyrakatan ini merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dan

diperhatikan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim dalam memeriksa perkara

anak. Pada saat lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak yang sekaligus mencabut Undang-Undang No. 3 Tahun

1997, memasukan diversi sebagai salah satu bentuk penyelesaian perkara anak

yang juga melibatkan peran serta Bapas di dalam proses diversi tersebut selain

Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim.13 3. Pengertian Diversi

Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses

peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.14 Ide dasar diversi atau pengalihan ini adalah untuk menghindari efek negatif pemeriksaan konvensional

peradilan pidana anak terhadap anak, baik efek negatif proses peradilan maupun

12

Pasal 1 angka 24 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

13

Edy Ikhsan, Op.Cit, hlm. 58.

14

(16)

efek negatif stigma (cap jahat) proses peradilan, maka pemeriksaan secara

konvensional dialihkan, dan kepada anak tersebut dikenakan program-program

diversi tersebut.15 Diversi pada hakikatnya bertujuan untuk tetap menjamin anak tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental. Diversi itu sendiri

dapat juga dikatakan selaras atau mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan

terhadap anak.

Tujuan dari pemidanaan anak itu sendiri adalah untuk tetap memberikan

jaminan kepada anak agar tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun

secara mental. Melaksanakan perampasan kemerdekaan terhadap anak khususnya

dalam bentuk penjara melalui mekanisme peradilan pidana memberikan

pengalaman yang traumatis terhadap anak, sehingga anak terganggu

perkembangan dan pertumbuhan jiwanya. Pada waktu anak bersentuhan dengan

dunia peradilan maka hal tersebut akan menjadi pengalaman pahit dan

bayang-bayang gelap kehidupan anak yang tidak mudah dilupakan karena pada dasarnya

anak belum siap secara mental.16 Pelaksanaan diversi dilatar belakangi keinginan menghindarkan efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh

keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Pelaksanaan diversi oleh aparat

penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut

discretion atau dalam bahasa Indonesia disebut diskresi.17

15

Marjoko, Penerapan Diversi Dalam Penanganan Anak Berkonflik Hukum, Medan : Pusaka Indonesia, 2014, hlm. 24.

16

Koesno Adi, Diversi Sebagai Upaya Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang : UMM Prees, 2014, hlm. 28-29.

17

(17)

4. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak

Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian

perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai

dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.18 Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah “The Juvenile Justice System”

yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan jumlah institusi yang

tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan

penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak dan

fasilitas-fasilitas penahanan anak. Penggunaan kata sistem peradilan pidana anak,

mengandung istilah “sistem peradilan pidana” dan istilah “anak”. Kata “anak” dalam frasa “sistem peradilan pidana anak” mesti dicantumkan, hal ini bertujuan untuk dapat membedakan dengan sistem peradilan pidana orang dewasa. Sistem

peradilan pidana anak merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Sistem

peradilan pidana (Criminal Justice System) menunjukan mekanisme kerja dalam

penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.19 Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari

lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan Terpidana.

Sistem peradilan pidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja

sama yaitu: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan

(LAPAS). Keempat komponen ini diharapkan bekerja sama membentuk suatu

“integrated criminal justice system” atau dikenal dengan “sistem peradilan pidana

terpadu”. Sistem perdilan pidana juga dikatakan sebagai bentuk jaringan

18

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

19

(18)

(network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun pelaksanaan

pidananya.20 Walaupun sistem peradilan pidana anak merupakan bagian dari sistem peradilan pidana akan tetapi sistem peradilan pidana anak berbeda dengan

sistem peradilan pidana tersebut. Perbedaan tersebut terletak pada objeknya yaitu

hanya khusus anak, pada sistem peradilan pidana anak meliputi segala aktivitas

pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak. Menekankan

atau memusatkan pada “kepentingan anak” harus merupakan pusat perhatian dalam pemeriksaan perkara pidana anak.21 Sistem peradilan pidana diselenggarakan dengan memperhatikan kesejaterahan anak. Kesejaterahan anak

itu penting karena:

a. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang landasannya telah

diletakan oleh generasi sebelunya.

b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka perlu

mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang secara wajar.

c. Bahwa didalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami hambatan

kesejaterahan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi.

d. Anak belum mampu memelihara dirinya.22

Pada dasarnya sistem peradilan pidana merupakan upaya penanggulangan

kejahatan yang bersifaf penal yaitu menggunakan hukum pidana sebagai sarana

utama yang meliputi hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Melalui

sistem peradilan pidana masyarakat berharap agar intrumen-intrumen didalam

20

Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 80-81.

21

Ibid, hlm. 84.

22

(19)

sistem peradilan pidana tersebut bergerak secara terpadu dalam mencapai suatu

tujuan yang dihendaki bersama yaitu mencegah terjadinya kejahatan. Sistem

peradilan pidana memiliki dua tujuan yaitu untuk melindungi masyarakat dan

menegakan hukum. Hadirnya diversi dalam tatanan sistem peradilan pidana

menggeser presfektif dari sistem peradilan pidana tersebut yang awalnya

mengedepankan pemidanaan atau penjatuhan hukuman terhadap si pelaku.23

F.Metode Penelitian.

1. Jenis Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan maka dalam

penelitian ini digunakan 2 (dua) metode yaitu Yuridis Normatif dan Empiris.

Yuridis Normatif adalah metode penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan

pustaka yaitu berupa pendekatan dengan perundang-undangan dan pendekatan

konsep. Metode Empiris adalah metode yang dilakukan untuk mendapat data

primer.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian dilakukan di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I

Medan.

3. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder

yang didukung oeh data primer. Data sekunder yang dimaksud adalah sebagai

berikut :

23

(20)

a. Bahan Hukum Primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat

dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan sebagainya.

b. Bahan Hukum Sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang Balai Pemasyarakatan.

4. Metode Pengumpulan Data

Penulisan skripsi ini menggunakan metode Library Research (Penelitian

Kepustakaan). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan

mengadakan studi penelahan terhadap buku-buku, literatur-literatur,

catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang akan

dipecahkan24 serta Wawancara yang dilakukan dilakukan di Balai Pemasyarakatan Klas I Medan.

5. Analisa Data

Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian

kelapangan akan dianalisa secara kualitatif. Perolehan data dari analisis

kualitatif ini adalah diperoleh dari berbagai sumber, dengan menggunakan

teknik pengumpulan data yang bermacam-macam. Data kuliatatif adalah data

yang non angka yaitu berupa kata, kalimat, pernyataan dan dokumen. Dalam

penelitian kualitatif, analisa data lebih difokuskan selama proses dilapangan

bersamaan dengan pengumpulan data.25

24

M. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 27.

25

(21)

G.Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dimana tiap-tiap babnya akan

menguraikan :

BAB I : Berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang judul

penulisan diangkat, perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, tinjauan kepustakaan

dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini membahas mengenai pengaturan penerapan diversi yang

meliputi asas-asas dalam sistem peradilan pidana anak, tujuan sistem

peradilan pidana, pendekatan yang digunakan dalam diversi, tujuan

diversi, tindak pidana yang dapat dilakukan diversi, pihak-pihak yang

terlibat dalam diversi dan syarat-syarat pelaksanaan diversi.

BAB III : Bab ini membahas mengenai kedudukan Bapas dalam diversi, tugas

Bapas dalam diversi dan proses pelaksanaan diversi.

BAB IV : Bab ini membahas mengenai faktor-faktor yang menghambat Bapas

Klas I Medan dalam pelaksanaan diversi baik faktor internal maupun

eksternal.

BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab terdahulu serta berisikan

Referensi

Dokumen terkait

Maka dengan itu, pembelajaran secara kolaboratif yang diserapkan dalam pembelajaran yang menggunakan e-Portfolio dilihat dapat membantu meningkatkan pencapaian pelajar

masalah umum di destinasi wisata adalah toilet yang dibiarkan sangat kotor padahal dalam pemakaianya wisatawan selalu dipungut biaya perawatan, Hermawan

1) Aspek Kinerja perekonomia n daerah Kabupaten Kepulauan Meranti secara umum belum mampu menyaingi kinerja daerah induknya yaitu kebupaten Bengkalis, dengan kata

Pemilihan buku atau media cetak lainnya seperti surat kabar sebagai sumber informasi antara lain disebabkan karena buku (media cetak) merupakan media informasi

Pemilihan bahan koagulan yang ramah lingkungan merupakan faktor penting dalam pemurnian air sehingga tidak mencemari lingkungan.Tujuan penelitian ini adalah

Berdasarkan pada tujuan penelitian ini, aktivitas peneliti diarahkan pada pengamatan dengan pancaindra terhadap segala aspek wujud penggunaan tanda (wujud benda) yang

Jika zakat disatukan dengan pajak, maka syariat dari zakat akan hilang, dan men- jadi tidak penting lagi, zakat bukan lagi suatu kewajiban melainkan akan terkesan sebagai

Pada larutan yang sudah dicampurkan, AgBr(s) dititrasi dengan KSCN. Titrasi ini untuk menentukan konsentrasi KSCN. Volume KSCN yang digunakan untuk titrasi sampai