• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stres Kerja Terhadap Turnover Intention Perawat Honor Rumah Sakit Tentara Pematangsiantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kepuasan Kerja dan Stres Kerja Terhadap Turnover Intention Perawat Honor Rumah Sakit Tentara Pematangsiantar"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepuasan Kerja

2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja

Pentingnya kepuasan kerja mengakibatkan kegiatan tersebut harus dilaksanakan dengan tepat dan benar. Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang pengertian kepuasan kerja, sebagai berikut:

1. Menurut Rivai dan Sagala (2009:856)

Kepuasan kerja adalah evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja.

2. Menurut Hasibuan (2008:202)

Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya.

3. Menurut Robbins dan Judge (2009:107)

Kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.

(2)

2.1.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Faktor –faktor yang dapat mempengarruhi kepuasan kerja karyawan pada dasarnya secara praktis dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari dalam diri karyawan dan dibawa oleh setiap karyawan sejak mulai bekerja di tempat pekerjaannya. Sedangkan faktor ekstrinsik adalah menyangkut hal-hal yang berasal dari luar diri karyawan, antara lain kondisi fisik lingkungan kerja, interaksinya dengan karyawan lain, sistem penggajian dan sebagainya (Rivai dan Sagala, 2009:859-860).

Secara teoretis, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja sangat banyak jumlahnya, seperti gaya kepemimpinan, produktivitas kerja, perilaku, locus of control, pemenuhan harapan penggajian dan efektivitas kerja. Faktor-faktor yang biasanya digunakan untuk mengukur kepuasan kerja seorang karyawan adalah: (a) isi pekerjaan, penampilan, tugas pekerjaan yang aktual dan sebaga kontrol terhadap pekerjaan; (b) supervisi; (c) organisasi dan manajemen; (d) kesempatan untuk maju; (e) gaji dan keuntungan dalam bidang finansial lainnya seperti adanya insentif; (f) rekan kerja; (g) kondisi pekerjaan.

Selain itu, menurut Job Descriptive Index (JDI) faktor prnyebab kepuasan kerja ialah:

1. Bekerja pada tempat yang tepat 2. Pembayaran yang sesuai 3. Organisasi dan manajemen

(3)

5. Orang yang berada dalam pekerjaan yang tepat

Menurut Hasibuan (2008:203)kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor:

1. Balas jasa yang adil dan layak.

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian. 3. Berat ringannya pekerjaan.

4. Suasana dan lingkungan pekerjaan.

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan. 6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.

7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak.

Kepuasan kerja karyawan banyak dipengaruhi oleh sikap pimpinan dalam kepemimpinan. Kepemimpinan partisipasi memberikan kepuasan kerja bagi karyawan, karena karyawan ikut aktif dalam memberikan pendapatnya untuk menentukan kebijaksanan perusahaan. Kepemimpinan otoriter mengakibatkan ketidakpuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja karyawan merupakan kunci pendorong moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan.

(4)

spesifik pekerjaan, pengakuan manajemen terhadap kinerja karyawan, keberartian pekerjaan, jejaring, kesempatan untuk menggunakan kemampuan atau keahlian, komitmen organisasi untuk pengembangan, budaya perusahaan secara keseluruhan, hubungan sesama karyawan, hubungan dengan atasan langsung, pekerjaan itu sendiri, keberagaman pekerjaan.

Ada dua faktor yang mempengaruhui kepuasan kerja, yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor pekerjaannya (Mangkunegara, 2009:120):

1. Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecerdasan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi, dan sikap kerja.

2. Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah (Sutrisno, 2009: 82-84):

1. Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini, ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja. 2. Keamanan kerja. Faktor ini disebut sebagai penunjang kepuasan kerja,

baik bagi karyawan. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan karyawan selama kerja.

(5)

4. Perusahaan dan manajemen. Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil.

5. Pengawasan. Sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turnover.

6. Faktor Intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada dalam pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas dapat meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 7. Kondisi kerja. Termasuk di sini kondisi kerja tempat, ventilasi, penyiaran,

kantin dan tempat parkir.

8. Aspek sosial dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam bekerja.

9. Komunikasi. Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap kerja.

10.Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.

(6)

1. Kerja yang menantang secara mental (mentally challenging work). Pada umumnya, individu lebih menyukai pekerjaan yang memberi mereka peluang untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan serta memberi beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik tentang seberapa baik kerja mereka. Karakteristik-karakteristik ini membuat kerja lebih menantang secara mental.

2. Penghargaan yang sesuai (equitable rewards). Karyawan menginginkan sistem bayaran yang mereka rasa adil, dan selaras dengan harapan-harapan mereka. Ketika bayaran dianggap adil, sesuai dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individual, dan standar bayaran masyarakat, kemungkinan akan tercipta kepuasan.

3. Kondisi kerja yang mendukung (supportive working condition). Karyawan berhubungan dengan lingkungan kerja mereka untuk kenyamanan pribadi dan kemudahan melakukan pekerjaan yang baik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa karyawan lebih menyukai lingkungan fisik yang nyaman atau tidak berbahaya. Selain itu, sebagian besar karyawan lebih menyukai bekerja relatif dekat dengan rumah, dengan fasilitas yang relatif modern dan bersih, serta dengan peralatan yang memadai.

(7)

atasan seseorang juga merupakan faktor penentu kepuasan yang utama. Penelitian mengungkapkan bahwa kepuasan kerja karyawan meningkat ketika pengawas langsung adalah orang yang pengertian dan ramah, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan opini-opini karyawan, dan menunjukkan minat pribadi dalam diri mereka.

Menurut Luthans dalam Sopiah (2008:171) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:

1. Pekerjaan itu sendiri, sejauhmana karyawan memandang pekerjaannya sebagai pekerjaan yang menarik, memberikan kesempatan untuk belajar, dan peluang untuk menerima tanggung jawab.

2. Gaji, merupakan jumlah balas jasa finansial yang diterima karyawan dan tingkat dimana hal ini dipandang sebagai suatu hal yang adil dalam organisasi.

3. Promosi, kesempatan untuk kenaikan jabatan dalam jenjang karir.

4. Supervisi, merupakan kemampuan penyelia untuk memberikan bantuan secara teknis maupun memberikan dukungan.

5. Kelompok kerja / rekan kerja, merupakan suatu tingkatan dimana rekan kerja memberikan dukungan.

6. Kondisi kerja, apabila kondisi kerja karyawan baik ( bersih, menarik, dan lingkungan kerja yang menyenangkan) akan membuat mereka mudah menyelesaikan pekerjannya.

(8)

1. Turnover

Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover karyawan yang rendah. Sedangkan karyawan-karyawan yang kurang puas biasanya turnovernya lebih tinggi.

2. Tingkat ketidakhadiran (absen) kerja

Karyawan-karyawan yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadiran (absen) tinggi. Mereka sering tidak hadir kerja dengan alasan yang tidak logis dan subjektif.

3. Umur

Ada kecenderungan karyawan yang lebih tua merasa puas daripada karyawan yang berumur relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa karyawan yang lebih tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaannya. Sedangkan karyawan usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.

4. Tingkat Pekerjaan

(9)

5. Ukuran Organisasi Perusahaan

Ukuran organisasi perusahaan dapat mempengaruhi kepuasan karyawan. Hal ini karena besar kecil suatu perusahaan berhubungan pula dengan koordinasi, komunikasi, dan partisipasi karyawan.

2.1.3. Teori-teori Kepuasan Kerja

Menurut Rivai dan Sagala (2009:861-866) ada beberapa teori kepuasan kerja, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Ketidaksesuaian (discrepancy theory)

Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.

2. Teori Keadilan (equity theory)

(10)

perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaannya, seperti: upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain atau bisa pula dengan dirinya di masa lalu. Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rassio input hasil orang lain. Bila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan bisa menimbulkan kepuasan, tetapi bisa pula tidak. Tetapi bila perbandingan itu tidak seimbang akan timbul ketidak puasan.

3. Teori Dua Faktor (two factor theory)

Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontineu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau motivator dan

(11)

faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antarpribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan.

4. Teori Kesetaraan (equity model theory)

Salah satu model teori yang berkaitan dengan kepuasan kerja, yaitu teori yang dikemukakan oleh Edward Lawler yang dikenal dengan Equity Model Theory atau teori kesetaraan. Intinya teori ini menjelaskan kepuasan dan ketidakpuaasan dengan pembayaran. Perbedaan antara jumlah yang diterima dengan jumlah yang dipersepsikan oleh karyawan lain merupakan penyebab utama terjadinya ketidakpuasan.untuk itu pada dasarnya ada tiga tingkatan karyawan, yaitu:

a. Memenuhi kebutuhan dasar karyawan.

b. Memenuhi harapan karyawan sedemikian rupa, sehingga mungkin tidak mau pindah kerja ke tempat lain.

(12)

5. Teori Keinginan Relatif (relative deprivation theory)

Sementara itu, sesuai dengan teori keinginan relatif atau Relative Deprivation Theory, ada enam keputusan penting menyangkut kepuasan dengan pembayaran menurut teori ini adalah:

a. Perbedaan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan b. Perbedaan antara pengeluaran dengan penerimaan c. Ekspektasi untuk menerima pembayaran lebih d. Ekspektasi yang rendah terhadap masa depan

e. Perasaan untuk memperoleh lebih dari yang diingikan

f. Perasaan secara personal tidak bertanggung jawab terhadap hasil yang buruk.

6. Teori Motivator-Hygiene (M-H)

Salah satu teori yang menjelaskan mengenai kepuasan kerja adalah teori

motivator-hygiene (M-H) yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg. Teori M-H sebenarnya berujung pada kepuasan kerja. Namun penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara kepuasan kerja dan turnover

(13)

pekerjaan dengan tantangan, tanggung jawab dan otonomi yang lebih besar.

Dalam dunia kerja kepuasan itu salah satunya bisa mengacu kepada kompensasi yang diberikan oleh pengusaha, termasuk gaji atau imbalan dan fasilitas kerja lainnya seperti, rumah dinas, dan kendaraan kerja. Konteks “puas”

dapat ditinjau dari dua sisi, yaitu individu akan merasa puas apabila dia mengalami hal-hal berikut:

a. Apabila hasil atau imbalan yang didapat atau diperoleh individu tersebut lebih dari yang diharapkan. Masng-masing individu memiliki target pribadi.

b. Apabila hasil yang dicapai lebih besar dari standar yang ditetapkan. Apabila individu memperoleh hasil yang lebih besar dari standar yang ditetapkan oleh perusahaan, maka individu tersebut memiliki produktivitas yang tinggi dan layak mendapatkan penghargaan dari perusahaan.

c. Apabila yang didapat oleh karyawan sesuai dengan persyaratan yang diminta dan ditambah dengan ekstra yang menyenangkan konsisten untuk setiap saat serta dapat ditingkatkan setiap waktu.

(14)

2.1.4. Pengukuran Kepuasan Kerja

Tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada karena setiap individu karyawan berbeda standar kepuasannya, indikator untuk mengukur pun dapat berbeda-beda tergantung pada perusahaan/organisasi yang menetapkannya.

Kepuasan kerja adalah bagaimana orang merasakan pekerjaan dan aspek-aspeknya. Ada beberapa alasan mengapa perusahaan harus benar-benar memperhatikan kepuasan kerja, yang dapat dikategorikan sesuai dengan fokus karyawan atau perusahaan (Rivai dan Sagala, 2009:867) yaitu :

1. Manusia berhak diberlakukan adil dan hormat, pandangan ini menurut perspektif kemanusiaan. Kepuasan kerja merupakan perluasan refleksi perlakuan yang baik. Penting juga memperhatikan indikator emosional atau kesehatan psikologis.

2. Perspektif kemanfaatan, bahwa kepuasan kerja dapat menciptakan perilaku yang mempengaruhi fungsi-fungsi perusahaan. Perbedaan kepuasan kerja antara unit-unit organisasi dapat mendiagnosis potensi persoalan.

Sementara itu menurut Wibowo (2007:309) ada dua pendekatan yang digunakan untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu:

(15)

elemen. Faktor spesifik yang diperhitngkan adalah sifat pekerjaan, supervisi, upah, kesempatan promosi dan hubungan dengan rekan kerja. Pendapat lain, Greenberg dan Baron menunjukkan tiga cara untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja yaitu:

1. Rating Scale dan Kuesioner

Dengan metode ini orang menjawab pertanyaan dari kuesioner yang menggunakan rating scales sehingga mereka melaporkan reaksi mereka pada pekerjaan mereka.

2. Critical incidents

Individu menjelaskan kejadian yang menghubungkan pekerjaan mereka yang dirasaka terutama memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari untuk mengungkap tema yang mendasari. Sebagai contoh misalnya apabila banyak pekerja yang menyebutkan situasi pekerjaan dimana mereka mendapatkan perlakuan kurang baik oleh supervisor atau sebaliknya.

3. Interviews

Dengan melakukan wawancara tatap muka dengan pekerja dapat diketahui sikap mereka secara langsung dan dapat mengembangkan lebih dalam dengan menggunakan kuesioner yang terstruktur.

(16)

“Untuk mengukur kepuasan kerja, dapat digunakan pengukuran kepuasan kerja dengan skala indeks deskripsi jabatan. Dalam penggunaan ukuran ini, karyawan diberikan pertanyaan mengenai pekerjaan maupun jabatan yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk”. Dalam skala ini diukur sikap dari lima area, yaitu:

1. Pekerjaan itu sendiri 2. Pengawasan

3. Promosi jabatan

4. co-worker/rekan kerja”

2.2. Stres kerja

2.2.1. Pengertian Stres Kerja

Melihat pentingnya peran sumber daya manusia dalam perusahaan maka perlu mengelola iklim yang baik dan kondusif dalam aktivitas kerja karyawan untuk mengurangi tingkat stres karyawan. Berikut ini beberapa pendapat para ahli tentang pengertian stres, sebagai berikut:

1. Menurut Robbins dan Judge (2009:360)

Stres adalah kondisi dinamik yang didalamnya individu menhadapi peluang, kendala dan tuntutan yang terkait dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti tetapi penting.

2. Menurut Mangkunegara (2009:28)

(17)

3. Menurut Handoko (2014:200)

Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang.

4. Luthans (2006:344)

Stress merupakan suatu respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologi, dan atau perilaku pada anggota organisasi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa stress merupakan kondisi yang menekan diri dan jiwa seseorang yang menciptakan ketidakseimbangan antara fisik dan psikis sehingga bisa berakibat ketidakmampuan seseorang dalam merespon lingkungannya.

2.2.2. Penyebab Stres Kerja

Penyebab stres kerja tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, namun stress bisa saja terjadi dari beberapa sebab sekaligus. Menurut Sopiah (2008: 87) bahwa penyebab stress terbagi menjadi empat tipe utama, yaitu:

1. Lingkungan fisik

Penyebab stress ditemukan dalam lingkungan fisik pekerjaan, seperti terlalu bising, kurang baiknya penerangan ataupun risiko keamanan. 2. Stress karena peran atau tugas

(18)

pada tempat mereka bekerja. Stressor ini memiliki empat penyebab utama, yakni:

a. Konflik peran

Konflik ini terjadi ketika orang-orang bersaing menghadapi berbagai tuntutan. Terdapat beberapa tipe konflik peran dalam setting organisasional, antara lain: (1) inter-role conflict, (2) intrarole conflict, dan (3) person- role conflict. Inter-role conflict terjadi ketika seorang karyawan memiliki dua peran yang masing-masing berlawanan. Intra-role conflict terjadi ketika individu menerima pesan berlawanan dari orang yang berbeda. Sedangkan person-role conflict terjadi ketika kewajiban-kewajiban pekerjaan dan nilai-nilai organisasional tidak cocok dengan nilai – nilai pribadi.

b. Peran mendua/ambiguitas

Peran mendua (role ambiguity) muncul dan dirasakan ketika para karyawan merasa bimbang tentang tugas-tugas mereka, harapan kinerja, tingkat kewenangan dan kondisi kerja yang lain.

c. Beban kerja

Beban kerja merupakan stresor hubungan peran atau tugas lain yang terjadi karena para pegawai merasa beban kerjanya terlalu banyak. d. Karakteristik tugas

(19)

informasi. Kurangnya pengendalian, terlalu banyak aktivitas pekerjaan dan lingkungan kerja juga masuk dalam kategori ini.

3. Penyebab stress antarpribadi (inter-personal stressors)

Stressor ini akan semakin bertambah ketika karyawan dibagi dalam divisi-divis dalam suatu departemen yang dikompetisikan untuk memenangkan target sebagai divisi terbaik dengan reward yang menggiurkan. Perbedaan karakter, kepribadian, latar belakang, persepsi, dan lain-lainnya memungkinkan munculnya stress.

4. Organisasi

Banyak sekali ragam penyebab stress yang bersumber dari organisasi. Pengurangan jumlah pegawai merupakan salah satu penyebab stress yang tidak hanya untuk mereka yang kehilangan pekerjaan, namun juga untuk mereka yang masih tinggal. Secara khusus mereka yang masih tinggal mengalami peningkatan beban kerja, peningkatan rasa tidak aman dan tidak nyaman dalam bekerja serta kehilangan rekan kerja. Restrukturisasi, privatisasi, merger, dan bentuk-bentuk lainnya merupakan kebijakan perusahaan yang berpotensi memunculkan stress.

Sedangkan menurut Robbins dan Judge (2009:370-381) tingkat stres pada tiap orang akan menimbulkan dampak yang berbeda. Sehingga ada beberapa faktor penentu yang mempengaruhi tingkat stress seseorang, yakni :

1. Faktor lingkungan

(20)

ketidakpastian teknologi sangat berpengaruh pada eksistensi karyawan dalam bekerja. Misalnya ketidakpastian ekonomi yang tidak menentu dapat menimbulkan perampingan karyawan dan PHK.

2. Faktor Organisasional

Faktor yang berpengaruh pada tingkat stress karyawan diantaranya adalah tuntutan tugas, tuntutan peran, tuntutan antarpribadi, struktur organisasi, dan kepemimpinan organisasi.

3. Faktor Individual

Jika dilogika, setiap individu bekerja rata – rata 40 – 60 jam per minggu. Sedangkan waktu yang digunakan mengurusi hal-hal diluar pekerjaan lebih dari 120 jam per minggu. Sehingga akan besar kemungkinan segala macam urusan di luar pekerjaan mencampuri pekerjaan. Berbagai hal di luar pekerjaan yang mengganggu terutama adalah isu-isu keluarga, masalah ekonomi pribadi, dan karakteristik kehidupan inheren.

Menurut Fahmi (2014:266) stres yang dialami oleh seseorang biasanya dibagi kepada 2 faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu:

a. Stres karena tekanan dari dalam (internal factor) dan b. Stres karena tekanan dari luar (external factor)

(21)

kehidupan hasil perintah dari orang lain yang bersifat memaksa namun ia sendiri tidak kuasa untuk menolak. Ini disebut sebagai stres yang disebabkan oleh faktor internal.

Salah satu bentuk stres yang diakibatkan oleh faktor eksternal adalah stabilitas sosial politik yang tidak stabil yang melanda suatu negara. Kondisi sosial politik yang stabil cenderung banyak organisasi bisa tumbuh dan berkembang dengan cepat. Sehingga wajar jika beberapa negara walaupun kekayaan alamnya melimpah namun para investor akan berfikir panjang untuk menanamkan modalnya disana dengan alasan jika suatu saat terjadi kerusuhan dan berbagai bentuk tindakan demonstrasi lainnya.

Menurut Luthans (2006:354) adapun sumber - sumber potensial stress kerja adalah:

1. Konflik kerja yaitu ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumberdaya secara bersama-sama, atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai dan persepsi yang berbeda.

2. Beban kerja yaitu keadaan dimana karyawan dihadapkan pada sejumlah pekerjaan yang harus dikerjakan dan tidak mempunyai cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena standar pekerjaan tersebut terlalu tinggi.

(22)

4. Sikap pimpinan, dalam setiap organisasi kedudukan pemimpin sangat penting, seorang pemimpin melalui pengaruhnya dapat memberikan dampak yang sangat berarti terhadap aktifitas kerja karyawan. Dalam pekerjaan yang bersifat stresful, para karyawan bekerja lebih baik jika pemimpinnya mengambil tanggung jawab lebih besar dalam memberikan pengarahan.

2.2.3. Konsekuensi Stres Kerja

Stres bisa muncul dalam berbagai gejala. Seseorang yang mengalami stres yang tinggi dapat menderita tekanan darah tinggi, lekas marah, sulit untuk membuat keputusan, hilang selera makan. Gejala ini dapat digolongkan menjadi 3 kategori (Robbins dan Judge, 2009:383-384):

1. Gejala fisik yaitu orang yang terkena stres cenderung mengalami perubahan-perubahan yang terjadi pada metabolisme organ tubuh seperti denyut jantung yang meningkat, tekanan darah yang meningkat, pernafasan, sakit kepala, dan sakit perut yang dapat kita alami dan harus diwaspadai serta serangan jantung.

2. Gejala psikologis yaitu perubahan-perubahan sikap yang terjadi seperti ketegangan, kegelisahan, ketidaktenangan, ketidakpuasan, kebosanan, cepat marah dan suka menunda-nunda pekerjaan.

(23)

Secara realita kita dapat melihat pada mereka yang mengalami stres sering kemampuan berfikir fokus itu sulit untk dilakukan karena pikiran dan perasaannya masih pada tugas yang harus dikerjakan tersebut. Dampak lain yang sering terlihat pada nafsu makan yang kurang bersemangat. Sehingga berat badan mengalami penurunan, walaupun disajikan makanan yang menjadi favoritnya namun tetap ia merasa tidak menyukainya. Salah satu dampak stres yang memiliki pengaruh pada organisasi adalah terjadinya penurunan pada produktivitas organisasi. Salah satu contohnya adalah pada saat stres dialami oleh karyawan bagian marketing. Dalam pekerjaan di bagian marketing kemampuan berkomunikasi dengan konsumen menjadi salah satu ukuran penting yang bisa mempengaruhi konsumen untuk menyukai produk yang ditawarkan. Namun karena kondisi karyawan perusahaan yang sedang stress maka memungkinkan ini menjadi sulit untuk diwujudkan. Sehingga target marketinng menjadi sulit untuk dicapai.

(24)

2.2.4. Tindakan-tindakan untuk Mengurangi Stres

Karena stres dianggap bagian dari kehidupan maka seorang karyawan diajarkan untuk bisa mengendalikan stres termasuk mencari solusi bagaimana menghilangkan stres. Menghilangkan stres dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, namun cara yang paling efektif adalah disesuaikan dengan kondisi realitas orang yang bersangkutan. Artinya pemecahan kasus harus dilihat secara lebih kasuistik dan bukan secara general (umum).

Menurut Siagian (2008:302) ada berbagai langkah yang dapat diambil untuk menghadapi stres para karyawan antara lain:

1. Merumuskan kebijaksanaan manajemen dalam membantu para karyawan menghadapi berbagai stress.

2. Menyampaikan kebijaksanaan tersebut kepada seluruh karyawan sehingga mereka mengetahui kepada siapa mereka dapat meminta bantuan dan dalam bentuk apa jika mereka menghadapi stress.

3. Melatih para manajer dengan tujuan agar mereka peka terhadap timbulnya gejala-gejala stres di kalangan para bawahannya dan dapat mengambil langka-langkah tertentu sebelum stres itu berdampak negatif terhadap kerja para bawahannya.

4. Melatih para karyawan mengenali dan menghilangkan sumber stress. 5. Terus membuka jalur komunikasi dengan para karyawan sehingga mereka

benar-benar diikutsertakan untuk mengatasi stres yang dihadapinya.

(25)

7. Menyempurnakan rancang bangun tugas dan tata ruang kerja sedemikiana rupa sehingga berbagai sumber stres yang berasal dari kondisi kerja dapat diletakkan dan menyediakan jasa bantuan bagi para karyawan apabila mereka sempat menghadapi stres.

2.3. Turnover Intention

2.3.1. Pengertian Turnover Intention

Intensi adalah niat atau keinginan yang timbul dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan turnover adalah pergerakan tenaga kerja keluar dari suatu organisasi. Berikut ini beberapa pengertian turnover yang dikemukakan para ahli, yaitu:

1. Menurut Mathis dan Jackson (2006:125)

Perputaran merupakan proses dimana karyawan meninggalkan organisasi dan harus digantikan.

2. Menurut Rivai dan Sagala (2009:238)

Turnover adalah keinginan karyawan untuk berhenti kerja dari perusahaan secara sukarela atau pindah dari satu tempat ke tempat kerja yang lain menurut pilihannya sendiri.

3. Menurut Siregar (2006: 214)

Turnover Intention adalah kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti bekerja dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri.

(26)

perusahaan lain baik secara sukarela maupun tidak sukarela. Turnover mengarah pada kenyataan akhir yang dihadapi perusahaan dimana karyawan meninggalkan perusahaan pada periode tertentu, sedangkan keinginan berpindah mengarah pada hasil evaluasi individu mengenai kelanjutan hubungannya dengan organisasi dan belum diwujudkan dalam bentuk tindakan pasti.

2.3.2. Indikasi Turnover Intention

Perusahaan yang memiliki turnover yang tinggi mengindikasikan bahwa karyawan tidak betah bekerja di perusahaan tersebut. Menurut Harnoto (2002:2) indikasi turnover intention ditandai oleh berbagai hal yang menyangkut perilaku karyawan, antara lain:

1. Absensi yang meningkat

Karyawan yang berkeinginan melakukan pindah kerja biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat. Dalam fase ini tingkat tanggung jawab karyawan sangat kurang dibandingkan dengan sebelumya.

2. Mulai malas bekerja

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja di tempat lainnya yang dirasanya lebih mampu memenuhi semua keinginannya. 3. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja

(27)

4. Peningkatan protes terhadap atasan

Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah kerja lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan perusahaan kepada atasan. Materi protes yang ditekankan biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak sependapat dengan keinginan karyawan tersebut.

5. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya

Biasanya hal ini berlaku untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika perilaku positif karyawan ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru menunjukkan karyawan ini akan melakukan

turnover.

Mobley (2007:44) mengungkapkan bahwa turnover intention ditandai dengan adanya niatan untuk keluar dari organisasi dan keinginan untuk mencari pekerjaan alternatif lain yang lebih baik dari organisasi sebelumnya. Mobley juga mengungkapkan bahwa keteratarikan individu untuk mencari alternatif pekerjaan lain ini dipicu dari beberapa aspek-aspek berikut, yaitu:

a. Keinginan mencari pekerjaan lain dengan insentif yang lebih baik. b. Keinginan untuk mencari peluang karir yang tidak didapatkan di

perusahaan.

(28)

d. Keinginan untuk mencari pekerjaan lain karena ingin suasana lingkungan dan hubungan kerja yang lebih baik.

2.3.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Turnover Intention

Menurut Mobley (2007:45) ada banyak faktor yang membuat individu memiliki keinginan untuk berpindah, yakni:

1. Karakteristik Individu

Organisasi merupakan wadah bagi individu untuk mencapai tujuan yang ditentukan secara bersama oleh orang-orang yang terlibat didalamnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan adanya interaksi yang berkesinambungan dari unsur-unsur organisasi. Individu dengan karakter sendiri dan organisasi juga memiliki karakter tertentu yang saling menyesuaikan. Karakter individu yang mempengaruhi keinginan pindah kerja antara lain umur, lama bekerja, pendidikan dan status perkawinan. 2. Lingkungan Kerja

(29)

akan membawa dampak positif bagi karyawan, sehingga akan menimbulkan rasa betah bekerja pada perusahaan tersebut dan dapat menghilangkan keinginan pindah kerja (turnover intention).

Mobley (2007:46) menggariskan secara detil faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover:

1. Faktor Eksternal, dari faktor eksternal ada dua sisi yang bisa dilihat: a. Aspek lingkungan. Dalam aspek ini tersedianya pilihan-pilihan

pekerjaan lain dapat menjadi faktor untuk kemungkinan keluar.

b. Aspek individu. Dalam aspek ini, usia muda, jenis kelamin dan masa kerja lebih singkat, besar kemungkinannya untuk keluar.

2. Aspek Internal, dari faktor internal ini, ada lima sisi yang bisa dilihat: a. Budaya Organisasi. Kepuasan terhadap kondisi - kondisi kerja dan

kepuasan terhadap kerabat - kerabat kerja merupakan faktor-faktor yang dapat menentukan turnover.

b. Gaya Kepemimpinan. Gaya kepemimpinan, kepuasan terhadap pemimpin dan variabel-variabel lainnya seperti sentralisasi merupakan faktor yang menentukan turnover.

c. Kompensasi. Penggajian dan kepuasan terhadap pembayaran merupakan faktor- faktor yang dapat menentukan turnover.

(30)

e. Karir. Kepuasan terhadap promosi merupakan salah satu faktor yang dapat mentukan turnover.

Menurut Oetomo (dalam Riley, 2006:2), keinginan untuk keluar dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu:

1. Organisasi

Faktor organisasi yang dapat menyebabkan keinginan karyawan untuk keluar antara lain berupa upah/gaji, lingkungan kerja, beban kerja, promosi jabatan, dan jam kerja yang tidak fleksibel.

2. Individu

Faktor organisasi yang dapat menyebabkan keinginan karyawan untuk keluar antara lain berupa pendidikan, umur, dan status perkawinan.

Staffelbach (2008) menambahkan dua faktor yang mempengaruhi keinginan untuk keluar (intention to leave) yaitu:

1. Pengakuan (Recognition)

Pengakuan (recognition) merupakan pengakuan organisasi terhadap karyawannya. Kurangnya pengakuan (recognition) yang diberikan oleh perusahaan menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi keputusan karyawan untuk tetap bekerja dalam perusahaan tersebut. Semakin tinggi pengakuan (recognition) yang diberikan semakin rendah keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan.

2. Sumber Daya (Resource)

(31)

perusahaan untuk karyawan, dan aksesibilitas yang dapat digunakan karyawan dalam menjalankan tugasnya. Sumber daya (resource) merupakan prediktor yang kuat untuk keinginan untuk keluar pada karyawan. Semakin baik sumber daya (resource) yang dimiliki perusahaan, semakin rendah keinginan untuk keluar pada karyawan.

2.3.4. Pengendalian Turnover Intention

Berikut sejumlah hal yang dapat dilakukan perusahaan dalam memerangi tingkat turnover yang tinggi (Mobley, 2007:50):

1. Mengevaluasi kembali praktek perekrutan karyawan. Mungkin perusahaan sedang mempekerjakan karyawan yang kualifikasinya terlalu tinggi dan tentu saja memiliki kemungkinan besar untuk merasa jemu dan tidak puas.

2. Mempekerjakan kembali mantan karyawan. Hal ini bisa memberikan kesan pada yang lain bahwa perusahaan ini adalah tempat yang baik untuk bekerja jika sampai orang yang sudah keluar pun masuk kembali. 3. Mempertimbangkan pengembangan rencana pension atau pembagian

keuntungan.

4. Meyakinkan bahwa perusahaan telah membuat kesempatan bagi promosi yang adil.

(32)

6. Meningkatkan penggunaan insentif non financial. Penghargaan terhadap prestasi kerja adalah salah satu cara dalam melakukannya.

7. Melakukan interview pada karyawan yang mau pindah kerja dan meninggalkan perusahaan.

8. Menanyakan kepada karyawan sekarang tentang apa yang mereka suka dan tidak suka dari hal yang dipraktekkan di perusahaan. Survey sikap merupakan cara yang baik untuk mendapatkan informasi.

2.4.Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Peneliti Judul Variabel

(33)

(Lanjutan)

Peneliti Judul Variabel

(34)

(Lanjutan)

Peneliti Judul Variabel

(35)

(Lanjutan)

Peneliti Judul Variabel

Penelitian

(36)

2.5.Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan penjelasan tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan (Sugiyono, 2012:89). Kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu kepuasan kerja dan stres kerja, sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah turnover intention perawat honor.

2.5.1. Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Turnover Intention

Mobley (2007:46) menggariskan secara detil faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover adalah Faktor Eksternal yaitu aspek lingkungan dan aspek individu. Dan faktor Internal yaitu budaya organisasi, gaya kepemimpinan, kompensasi, kepuasan kerja dan karir.

Mobley ddk (2007) menjabarkan bahwa perasaan tidak puas dapat memicu rencana untuk berhenti kerja. Kemudian akan mengarah pada usaha untuk mencari pekerjaan baru. Hubungan dimulai dari adanya pikiran untuk berhenti bekerja, usaha untuk mencari pekerjaan baru, berintensi untuk berhenti bekerja, atau tetap bertahan dan yang terakhir adalah memutuskan untuk berhenti kerja atau bertahan.

(37)

dengan kepuasan kerja yang tinggi akan merasa senang dan bahagia dalam melakukan pekerjaannya dan tidak berusaha mengevaluasi alternatif pekerjaan lain. Sebaliknya karyawan yang merasa tidak puas dalam pekerjaannya cenderung mempunyai pikiran untuk keluar, mengevaluasi alternatif pekerjaan lain, dan berkeinginan untuk keluar karena berharap menemukan pekerjaan yang lebih memuaskan.

Penelitian yang dikemukakan oleh Syahronica (2015) berpendapat bahwa kepuasan berpengaruh positif dan signifikan terhadap turnover intention, yang dipaparkan dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Kerja Dan

Stres Kerja Terhadap Turnover Intention (Studi Pada Karyawan Departemen Dunia Fantasi PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk)”.

Selanjutnya penelitian yang berjudul “The impact of organizational commitment, job satisfaction, job stress and leadership support on turnover

intention in educational institutes”, Iqbal, dkk (2014) menyatakan bahwa keinginan karyawan keluar memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan kerja.

Kemudian, pada penelitian yang berjudul “Pengaruh Kepuasan Kerja,

Stres Kerja Dan Komitmen Organisasi Terhadap Turnover Intention (Pada Hotel Iblis Yogyakarta)”, Sari (2014) menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh

terhadap turnover intention.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Waspodo (2013) juga ikut melengkapi bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap

(38)

Kepuasan Kerja Dan Stres Kerja Terhadap Turnover Intention Pada Karyawan PT Unitex di Bogor”.

Penelitian Olesegun (2013) yang berjudul “Influence of Job Satisfaction

on Turnover Intentions of Library Personnel in Selected Univerisities in South

West Nigeria”, juga ikut menyatakan bahwa pengaruh dari kepuasan kerja

terhadap keinginan keluar adalah signifikan (F (2,223) = 20.846; R = 0.397; R2 = 0.158; Adj. R2 = 0.150; P < 0.05).

2.5.2. Pengaruh Stres Kerja Terhadap Turnover Intention

Menurut Robbins dan Judge (2009:365) akibat stres yang dikaitkan dengan perilaku mencakup perubahan dalam produktivitas, turnover karyawan tinggi, tingkat absensi yang tinggi dan kecelakaan kerja. Stres kerja dapat mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang, baik fisik maupun mental. Karyawan yang mengalami stres kerja yang berlebihan berimplikasi terhadap voluntary turnover. Voluntary turnover merupakan keinginan karyawan keluar dari organisasi secara sukarela dengan suatu alasan. Ketika karyawan mengalami tekanan di dalam perkerjaannya, maka karyawan akan merasakan stres yang berlebihan sampai akhirnya akan berpikir untuk keluar dari organisasi.

Penelitian yang berjudul “Pengaruh Stres Kerja Dan Lingkungan Kerja

Terhadap Turnover Intention Karyawan Pada PT. Daihatsu”, Purba (2015)

(39)

berdampak pada kondisi psikologis dan hubungan antara karyawan menjadi terganggu.

Penelitian Pohan (2015) yang berjudul “Pengaruh Stress Kerja, Motivasi Kerja dan Iklim Organisasi Terhadap Keinginan untuk Keluar (Intention to Leave) Karyawan pada PT. Infomedia Nusantara Medan”, juga ikut menyatakan bahwa stress kerja berkontribusi terhadap keinginan untuk keluar (intention to leave). Nilai t positif menunjukkan bahwa variabel stress kerja mempunyai hubungan yang searah dengan keinginan untuk keluar (intention to leave).

Kemudian, pada penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Stres Kerja,

Konflik Dan Gaji Terhadap Turnover Karyawan Pada Choco Bakery”, Gultom

(2015) menunjukkan bahwa stres kerja memiliki nilai koefisien beta lebih besar dari variabel konflik dan gaji. Dengan demikian, stres kerja memiliki faktor yang paling sering menjadi alasan karyawan dalam melakukan turnover.

Selanjutnya penelitian yang berjudul Relationship Between Job Stress, Workload, Environment and Employees Turnover Intentions: What We Know,

What Should We Know”, menyatakan bahwa keinginan karyawan keluar

berhubungan positif dengan penyebab stress kerja dan beban kerja. Sementara, dinyatakan berhubungan negatif dengan lingkungan tempat kerja.

Penelitian Mariana (2012) yang berjudul “Pengaruh Stres Kerja Dan

(40)

perusahaan. Pada diri karyawan konsekuensi itu dapat berdampak pada kesehatan karyawan itu sendiri seperti kecemasan yang tinggi, frustasi, tidur kurang tenang dan lain sebagainya. Selain itu stress pada karyawan memiliki konsekuensi tidak langsung bagi perusahaan seperti menurunnya tingkat produktivitas serta dapat menyebabkan terjadinya keinginan karyawan untuk berpindah kerja.

Maka, dari uraian tersebut dapat diduga bahwa kepuasan kerja dan stres kerja berpengaruh positif terhadap turnover intention perawat. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kepuasan kerja dan semakin rendah tingkat stres kerja, maka semakin sedikit turnover intention perawat yang mungkin terjadi.

Adapun kerangka konseptual dalam penelitian ini secara sederhana digambarkan sebagai berikut:

Sumber : Mobley (2007), Robbins (2009).

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.6.Hipotesis

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan kerangka konseptual yang telah diuraikan, maka hipotesis penelitian ini adalah:

1. Kepuasan Kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover intention perawat honor Rumah Sakit Tentara Pematangsiantar.

Kepuasan Kerja (X1)

Turnover Intention (Y)

(41)

2. Stres Kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap turnover intention

erawat honor Rumah Sakit Tentara Pematangsiantar.

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Dalam model ini, alam semesta dianggap sebagai sebuah permukaan tiga dimensi (yang disebut “brane” atau lebih tepat “3-brane”, mengacu pada tiga dimensi

Variabel suku bunga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap investasi industri manufaktur di Indonesia, Hal ini tidak sesuai teori mengacu pada teori

Sementara perubahan tradisi peresean yang yang terjadi sekarang ini, bahwa tradisi peresean dilakukan tidak untuk mencari petarung yang kuat dan perkasa, melainkan

Bersasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu: 1) fungsi komunikasi dan manajemen di PT. Astra International- Honda Tbk Plaju Palembang telah terlaksana

Anak mampu mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada ( senang, sedih dan antusias) dalam membuat jus jeruk.. Anak mampu dan terampil dalam menggunakan tangan kanan

Untuk dapat mengurangi dampak keterlambatan dan pembengkakan biaya proyek dapat diusulkan program crashing yang dilakukan pada pekerjaan yang ada di jalur kritis

menjalankan semua tugas profesionalnya dengan baik, dan disiplin dalam manjalankan tugasnya sebagi seorang guru, (2) mengingat gaya kepemimpin kepala sekolah

Limbah cair kelapa sawit memilik kandungan yang sangat tinggi bahan organik degradable, karena pada saat proses pengolahan ekstraksi minyak kelapa sawit tidak