• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETIKA BISNIS ISLAM DALAM JUAL BELI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ETIKA BISNIS ISLAM DALAM JUAL BELI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA BISNIS ISLAM DALAM JUAL BELI

Oleh: Taufiq

ABSTRAK

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia, termasuk didalamnya persoalan bisnis yang berlandaskan pada etika. Etika bisnis Islam tidak mengekang pelaku bisnis dalam mencari pelanggan dan keuntungan, namun etika bisnis Islam menuntun agar pelaku bisnis, jujur, adil dan tidak eksploitatif terhadap lainnya dalam berbagai hal. Ada beberapa prinsip umum yang harus dijadikan landasan dalam jual beli, yaitu prinsip antaradhin minkum (keridhaan sesama pelaku bisnis) dan

prinsip latazlimuna wa tuzlamun (jangan saling menzalimi). Dari kedua prinsip tersebut dapat diderivatif dari dalam tadlis (penipuan), gharar

(ketidak jelasan), sumpah palsu, saling menjelekkan mitra bisnis. Aplikasinya terhadap kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan objek transaksi. Etika bisnis Islam memberikan batasan-batasan terhadap bentuk larangan-larangan tersebut. Baik yang didasari pada dalil naqli maupun aqli.

A. Pendahuluan

Dalam konteks Islam semua aktifitas harus mengacu pada Al-Quran dan Hadis ataupun Ijtihad para ulama. Begitu juga dalam hal bisnis maka harus mengacu pada hukum-hukum dasar tersebut. Untuk itu secara terminologi tentunya akan berbeda antara etika bisnis dengan etika bisnis Islam. Bisnis Islam dikendalikan oleh halal dan haram baik dari cara memperolehnya atau pemanfaatannya.

Islam melarang semua bentuk transaksi yang akan menimbulkan kesulitan dan masalah, sebuah bentuk transaksi yang hanya semata berdasarkan pada kans dan spekulasi, dimana semua pihak yang terlibat dalam bisnis itu itu tidak dijelaskan dengan seksama yang akibatnya memungkinkan sebagian dari pihak yang terlibat bisa menarik keuntungan namun dengan merugikan pihak lain.1

Al-quran sebagai sumber nilai, telah memberikan batasan-batasan umum mengenail nilai-nilai prinsipil yang harus dijadikan acuan dalam berbisnis. Terma-terma al-batil, al-fasad, dan al-zalim yang disebutkan dalam Al-Quran dapat

(2)

difungsikan sebagai landasan bagi prilaku yang bertentangan dengan prilaku yang dibolehkan Al-Quran dalam berbisnis.

Ini dapat dibuktikan dengan adanya ayat-ayat yang memiliki kandungan makna tentang bisnis, sering menggunakan terma-terna tersebut ketika menjelaskan prilaku bisnis yang buruk. Al-batil dalam Al-Quran terdapat 36 kali dengan berbagai derivasinya. Batala disebut satu kali dalam surah al-‘Araf ayat 11, tubtilu dua kali dalam surah al-Baqarah ayat 264 dan surah Muhammad ayat 33. Yubtilu satu kali dalam surah al-Anfal ayat 8 dan sayubtiluhu satu kali dalam surah Yunus ayat 81. Dibanding bentuk kata lainnya, kata batilun disebut paling banyak yaitu 24 kali dalam Al-Quran. Batilan disebut dua kali dan mubtilun

disebut lima kali.2

B. Asas Transaksi Dalam Islam

Islam sangat consent dengan persoalan etika dalam bisnis, yang tidak menginginkan adanya pelanggaran atau perampasan terhadap hak dan kekayaan orang lain dalam berbagai bentuk kegiatan transaksi termasuk cara berkonsumsi. Dan mengecam keras perilaku bisnis yang mengandung unsur kazaliman (zhulum)

dan kebatilan.3

Prilaku-prilaku seperti riba, mengurangi takaran tau timbangan, penipuan

(tadlis), gharar, skandal bisnis, korupsi dan kolusi, monopoli serta penimbunan, menjatuhkan mitra bisnis dan lain-lain merupakan perilaku-perilaku yang bertentangan dengan dengan etika bisnis.

Secara umum ada beberapa prinsip atau asas yang harus diperhatikan dalam sebuah akad bisnis agar bisnis tersebut tidak keluar dari kaidah-kaidah muamalah baik fasid maupun batal. Sebagaimana dijelaskan oleh Syamsul Anwar:

4 yaitu:

1. Asas Ibahah (Mabda’ al-Ibahah) yaitu sesuai dengan kaidah muamalah yaitu “pada dasarnya segala sesuatu itu boleh dilakukan selama belum ada dalil yang melarangnya”. Ini menyiratkan kemubahan untuk melakukan akad terhadap objek apa saja selama sesuai dengan hukum yang ada.

2 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahrasy li Alfadz Al-Quran, (t.p,t., 1981), h.

123-124.

3 Abdul Karim Al-Khatib, As-Siyasah Maliyah fi Islam ea Shilatuhu bi

al-Mu’amalah al-Mu’ashirah, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976), 151-152.

4Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih

(3)

2. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyah at-Ta’qud), yaitu kebebasan untuk berakad kepada siapa saja tanpa ada pembatasan dan pengecualian selain yang ditetapkan oleh dalil-dalil.

3. Asas Konsensualisme (Mabda’ ar-Radhaiyyah), yaitu prinsip saling ridha dalam diri para pihak yang berakad.

4. Asas Janji itu Mengikat, yaitu adanya akibat hukum dalam atau setelah dilaksanakan akad yang harus dijalankan para pihak sesuai dengan yang diakadkan.

5. Asas Kesimbangan (Mabda’ at-Tawazun fil Mu’awadhah), yaitu adanya keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak dan tidak memberatkan salah satu pihak baik dari risiko yang timbul maupun keuntungan yang diperoleh.

6. Asas Kemaslahatan, yaitu dari akad yang dilakukan tidak boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau memberatkan (masyaqqah)

bagi para pihak atau salah satu pihak maupun pihak lain diluar para pihak yang berakad.

7. Asas Amanah, yaitu kepatuhan para pihak terhadap akibat hukum yang ditimbulkan dari akad yang dilakukan.

8. Asas Keadilan, yaitu adanya nilai-nilai keadilan dalam proses akad, baik dari segi waktu maupun kesempatan untuk menjalankan prosesi atau akibat hukum yang ditimbulkan.

Keadilan adalah tawazun (keseimbangan) antara berbagai potensi individu baik moral maupun material. Ia adalah tawazun antara individu dan komunitas (masyarakat). Kemudian antara satu komunitas dengan komunitas yang lain dan tidak ada jalan menuju tawazun ini kecuali dengan berhukum kepada syariah Allah dan kepada Kitab serta hikmah yang Ia turunkan.5

Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam Al-Quran (QS: an-Nisa : 135) dari kata ‘adl, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Secara keseluruhan, pengertian diatas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan hakiki.6

Berbeda dengan Syamsul Anwar, Adiwarman A. Karim lebih umum dan integral dalam menetapkan prinsip-prinsip akad yang mesti dipatuhi oleh para

5 Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral Dalam Ekonomi Islam, terj. Didin

Hafidhuddin, Setiawan Budi Utomo dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2001), h. 396.

6 H. Akrim, Pengaruh Pengamalan Ibadah Terhadap Praktek Dagang Di Kalangan

(4)

pihak yang melakukan akad. Prinsip-prinsip umum yang dibahas oleh Adiwarman A. Karim lebih fokus pada persoalan transaksi muamalah maliyah7, yaitu:

1. Prinsip An-Taradhin Minkum. Prinsip saling ridha diantara para pihak yang berakad. Dalam hal ini tidak adanya unsure tadlis (penipuan) baik dari segi kualitas, kuantitas, harga maupun waktu penyerahan.

Kata An-Taradhin Minkum memiliki arti “saling ridha diantara kamu”, merupakan kalimat yang bersumber dari ayat 29 surah an-Nisa. Para ulama menafsirkan beragam makna yang tersirat dalam ayat tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa harus adanya khiyar8

diantara para pihak (penjual dan pembeli) setelah melakukan akad jual beli. Mereka mengambil dalil hadis yang menyebutkan “jual beli dengan khiyar sebelum keduanya berpisah”9. Dalam konteks hadis ini

dipahami bahwa keridhaan itu adalah kebebasan untuk melanjutkan jual beli atau membatalkan selama belum berpisah

Malik bin Anas, Abu Hanifah, Abu Yusuf berpendapat, bahwa makna

An-Taradhin Minkum tersebut adalah keridhaan dalam jual beli terletak pada akad, penjual menyerahkan barang dan pembeli menyerahkan uangnya, baik ada khiyar atau tidak setelah atau masih dalam transaksi. Dengan alasan karena jual beli terjadi dengan lisan atau ucapan. Golongan ini berpegang pada makna hadis ”Jual beli dengan khiyar selama belum berpisah”. Dalam artian selama belum berpisah maka keridhaan itu bisa dinyatakan dengan ucapan.

Bila dilihat dari segi arti harfiah An-Taradhin Minkum, bahwa kata

ضارت

memiliki mamiliki wazan musyarakah, yang artinya bahwa kalimat tersebut menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara satu dengan lainnya. Kata dasar dari

ضارت

adalah

ىضر

yang artinya rela/suka.

2. Prinsip La Tadhlimuna wa la Tudhlamuna (tidak terdhalimi dan tidak mendhalimi). Praktek-praktek yang melanggar prinsip ini diantaranya:

gharar, riba, maysir, risywah dan sumpah palsu. Dan juga berlaku pada kualitas, kuantitas, harga maupun waktu penyerahan.

Dhalim atau dhulum mempunyai hubungan erat dengan etika bisnis,

ملظلا

terambil dari kata dasar

م

ل

ظ

yang bermakna meletakkan sesuatu tida pada tempatnya, ketidak adilan, penganiayaan, penindasan, tindakan sewenang-wenang dan kegelapan.10

7 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: Rawali Pers,

Cet. VII, 2010), h. 31.

8Khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan

(menarik kembali atau tidak jadi jual beli). Khiyar dibenarkan dalam jual beli agar penjual dan pembeli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak jadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu. Khiyar ada tiga macam: khiyar majlis, khiyar syarat dan

khiyar aibi.

9

ن

ن َاععييبعلا

رنَايعخنللَابن

م

ل لعَامع

َاقعررفعتعيع

10 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir,(Yogyakarta: PP Krapyak, 1984), h.

(5)

Dalam konteks Al-Quran zalim bermakna tidak adanya cahaya dan itu merupakan gambaran dari kebodohan, kesyirikan, kefasikan, sebagaimana terdapat dalam surah Ibrahim ayat 1.

Dalam konteks hukum, kezaliman itu dibagi tiga; Pertama, kezaliman manusia terhadap Allah seperti kufur, syirik, nifaq. Misalnya dalam surah Hud ayat 18 dan az-Zumar ayat 32. Kedua, kezaliman antara sesama manusia, hal ini diantaranya seperti termaktub dalam surah al-Baqarah ayat 279, al-Isra ayat 33 dan asy-Syura ayat 42. Dan ketiga, kezaliman terhadap diri sendiri.11

Selain al-batil dan al-zalim ada juga penyelewengan etika dalam bisnis Islam yaitu al-fasad. Terma al-fasad disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 48 kali dengan berbagai derivasinya.12

Penggunaan terma al-fasad kebanyakan mempunyai pengertian kebinasaan, kerusakan, membuat kerugian, kekacauan di muka bumi, menimbulkan kerusakan, atau mengadakan kerusakan di muka bumi. Misalnya dalam surat al-Baqarah:27, al-Maidah:32, al-Anfal:73, Hud:116 dan beberapa tempat lainnya.

Oleh karena itu, perilaku-perilaku seperti riba, penipuan (tadlis), gharar,

sumpah palsu, menjelek-jelekkan mitra bisnis, penimbunan, mengurangi takaran dan lain-lainnya merupakan perilaku-perilaku yang yang bertentangan dengan etika bisnis Islam dan kesemuaannya tergolong dalam prinsip-prinsip fasid, al-batil dan al zalim.

Selain itu, juga dimensi keberkahan menjadi perhatian khusus dalam bisnis. Dalam hal mencari keberkahan dan keridhaan Allah harus diperhatikan beberapa hal sebagai landasan dalam usaha atau bisnis dan itu merupakan bahagian dari etika bisnis islami, yaitu:

1. Shiddiq, yaitu benar dan jujur, tidak pernah berdusta dalam melakukan berbagai macam transaksi bisnis, nilai shiddiq, atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran, disamping bermakna jujur, juga bermakna tahan uji, ikhlas serta memiliki keseimbangan emosional.

11 Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad ar-Raghib Al-Asfahani, Mufradat fi Gharib

Al-Quran, (Mesir: Maktabah wa Matba’ah al-Bab al-Halabi wa Auladih, 1961), h. 315-316.

(6)

Tepatnya makna jujur adalah sesuainya perkataan dalam jiwa dengan apa yang diberitakannya.13 Sebagaimana termaktub dalam surah at-Taubah

ayat 119 dan al-Ahzab ayat 70.

2. Kreatif, berani dan percaya diri. Ketiga ciri inimencerminkan kemauan berusaha untuk mencari dan menemukan peluang-peluang bisnis baru, prospektif dan berwawasan masa depan, namun tidak mengabaikan prinsip kekinian. Hal ini dapat dilakukan bila seorang pebisnis memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk berbuat sekaligus siap menanggung berbagai macam resiko.

3. Tabligh, yaitu mampu berkomunikasi dengan baik. Istilah ini juga diterjemahkan dalam bahasa manajemen sebagai supel, cerdas, deskripsi, kendali dan supervise.

4. Istiqamah, yaitu secara konsisten menampilkan dan mengimplementasikan nilai-nilai diatas walau mendapatkan godaan dan tantangan. Hanya dengan istiqamah dan mujahadah, peluang-peluang bisnis yang prospektif dan menguntung akan selalu terbuka.14

C. Prilaku yang Dilarang dalam Bisnis Islam

Islam mengajarkan agar dalam jual beli baik penjual maupun pembeli masing-masing mendapatkan keuntungan. Pembeli beruntung karena mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga wajar, sedangkan penjual beruntung karena mendapatkan penghasilan atau untung yang wajar sebagai balasan dalam mengadakan barang yang dijualnya. Maka dalam jual beli hendaknya ada unsur suka sama suka (at-taradhin) antara penjual dan beli. Sehingga tidak ada yang terpaksa dalam praktik jual beli tersebut (QS. an-Nisa’: 5). Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh pedagang, prinsip-prinsip tersebut merupakan interprestasi atau derivatif dari makna ‘antaradhin minkum

dan latazlumna walatuzlamun, yaitu:

1. Penipuan (Tadlis)

Tadlis atau diistilahkan dengan Unknown to One Party, kondisi ideal dalam sebuah pasar adalah adalah apabila penjual dan pembeli mempunyai informasi yang sama tentang barang akan diperjualbelikan. apabila salah satu pihak tidak mempunyai informasi seperti yang dimiliki oleh pihak lain, maka

13 Abdul Rahman Abdullah, Pendidikan Al-Quran: Membina Minda & Jiwa Cemerlang,

Cet. I, (Kuala Lumpur: Zafar Sdn Bhd, 1996), h. 189.

14 Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah Dalam Praktek, Cet.I,

(7)

salah satu pihak lain, maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi kecurangan/penipuan.

Tadlis dalam pengertiannya secara etimologi, khada’a

(menipu/memperdaya) dan zalama (menzalimi). Dan berbentuk masdar dari kata

سل دت

yang berarti penipuan.

Dalam perdagangan biasanya penjual yang memiliki informasi lengkap mengenai barang yang diperdagangkannya, dalam hal tadlis, pedagang tersebut tidak memberikan atau memberikan informasi yang tidak sesuai dengan barang yang diperdagangkan. Sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang membicarkan tentang penipuan dalam aktivitas mua’malah :

و

ِيننثثددحث

َىيثححيث

ن

ن بح

ب

ث ُّوييأث

ةنبثيحتثقنوث

ن

ن بحَاوث

ررجححن

ًاععععيمنجث

ن

ح ععع

ث

ل

ث يعنمثععس

ح إن

ن

ن بح

ررفثعحجث

ل

ث ًاقث

ن

ن بحَا

ب

ث ُّوييأث

ًانثثثددحث

ل

ن يعنمثس

ح إن

ل

ث ًاععقث

ِيععننرثبثخحأث

ءنلثعثلحَا

ن

ح ععع

ث

هنيبنأث

ن

ح ع

ث

ِيبنأث

ةثرثيحرثهن

ن

د أث

ل

ث ُّوس

ن رث

هنعلدلَا

َىلدعص

ث

هنعلدلَا

هنعيحلثعث

م

ث لدعس

ث وث

ردعمث

َىلثع

ث

ةنرثبحص

ن

م

ر ًاعثط

ث

ل

ث خثدحأثفث

هندثيث

ًاهثيفن

ت

ح لثًاععنثفث

هنعنبنًاععص

ث أ

ث

لعلثبث

ل

ث ًاععقثفث

ًاععمث

َاذثهث

ًايث

ب

ث حنًاص

ث

م

ن ًاعثط

د لَا

ل

ث ًاقث

هنتحبثًاص

ث أ

ث

ءنًامثس

د لَا

ًايث

ل

ث ُّوس

ن رث

هنلدلَا

ل

ث ًاقث

لثفثأث

هنتثلحعثجث

ق

ث ُّوحفث

م

ن ًاعثط

د لَا

ِي

ح ك

ث

هنَارثيث

س

ن

ًاندلَا

ن

ح مث

ش

د

غث

س

ث

يحلثفث

ِيننمن

15

Artinya : Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seorang pedagang di pasar. Di samping pedagang tersebut terdapat seonggok makanan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memasukkan tangannya yang mulia ke dalam makanan itu, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah makanan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada pedagang: “Apa ini, wahai pedagang?” Orang itu menjawab: “Makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !” kemudian Rasulullah bersabda: “Mengapa engkau tidak menaruhnya di atas, agar bisa diketahui oleh pembeli? Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”

Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa dalam kegiatan mu’amalah Islam, melakukan bisnsis dengsn penipuan adalah haram dan merupakan dosa besar serta perbuatan yang sangat dicela karena menyalahi dasar-dasar agama dan kesusilaan serta perikemanusiaan.

15 Hadis Shahih Muslim, Kitab Iman, Jilid 1 No 183, Sunan Al-Tirmidzi, Bab Buyu’, No

(8)

Tadlis dibagi tiga macam, yaitu tadlis dari segi kuantitas, kualitas, harga dan waktu. Tadlis kuantitas, penipuan ini termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan harga barang kuantitas banyak.

Tadlis kualitas, penipuan ini adalah menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang buruk yang tidak sesuai dengan yang disepakati oleh penjual dan pembeli.

Tadlis harga atau ghaban, tadlis harga ini termasuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual. Di dalam Islam, setiap penjual berhak menentukan harga barangan yang dimilikinya, namun demikian ia masih terikat dengan harga pasaran. Justeru, harga yang ditawarkan hendaklah :

a. Diterima harga pasaran.

b. Jika mau keluar dari harga pasaran, ia mesti mempunyai sesuatu add value

atau tambahan nilai unik pada kualitas barangan yang diperdagangkan. c. Tidak bertujuan spekulasi (harga yang ditawar bukan bertujuan untuk jual

beli sebenar tetapi hanya dibuat bagi untuk member kesan bahwa harga pasar tinggi

Tadlis waktu penyerahan, tadlis waktu penyerahan juga dilarang, contohnya si penjual tahu persis ia tidak akan dapat menyerahkan barang pada besok hari, namun menjajikan akan menyerahkan barang pada besok hari, namun menjanjikan akan menyerahkan barang tersebut pada besok hari.

Mengenai ketetapan batasan untung yang boleh diambil, tidak ada nas yang menerangkannya, namun hadis Rasulullah SAW menyebutkan:

نأ

ِيبنلَا

ِيلص-هللَا

هيلع

هًاطعأ -ملسو

َارعًاععنيد

يرتععشي

هععل

هععب

،ةًاش

يرتشًاف

هل

هب

،نيتًاش

عًابف

ًامهَادحإ

،رًانيدب

ءًاععجف

رًانيدععب

ةًاشو

ًاعدف

هل

ةكربلًاب

ِيف

،هعيب

نًاكو

ُّول

يرتشَا

بَارتععلَا

حععبرل

هيف

16

Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW memberi 'Urwah satu dinar untuk membeli seekor kambing, maka (atas kebijaksanaannya) dapat dibelinya dua ekor kambing, lalu dijualnya seekor dengan harga satu dinar, lalu ia datang bertemu Nabi membawa satu dinar dan seekor kambing, maka Nabi terus mendoakannya dalam jualannya, yang jika ia membeli tanah sekalipun pasti ia akan mendapat untung" ( HR. Bukhari)

(9)

Hadis ini menunjukkan bagaimana sahabat membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar, bermakna 1/2 dinar seekor, dan kemudian menjualnya degan harga 100% keuntungan iaitu 1 dinar seekor. Transaksi ini tidak dibantah oleh Nabi SAW. malah dipuji dan didoakannya.

2. Ketidak Jelasan (Gharar)

Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya obyek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan obyek akad tersebut.17 Menurut Imam Nawawi, gharar

merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam.

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathr (pertaruhan)18.

Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah)19. Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di,

al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian20

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

َىهثنث

ل

ن ُّوس

ن رث

هنلدلَا

َىلدص

ث

هنلدلَا

هنيحلثعث

م

ث لدس

ث وث

ن

ح ع

ث

عنيحبث

ةنًاص

ث ح

ث لحَا

ن

ح ع

ث وث

عنععيحبث

رنرثغثلحَا

21

Artinya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah

dan jual beli gharar” (HR. Muslim)

Ada beberapa jenis gharar dalam paraktek muamalah, diantaranya yaitu: a. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual beli habal al

habalah (janin dari hewan ternak).

17M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah),Cet. II,

(Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 147.

18Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 648. 19Majmu Fatawa, 29/22

20Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Bahjah Qulub Abrar wa Qurratu Uyuuni

Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud, Cet. II, ( t.p., Dar Al-Jail.1992), h. 164.

21Shaih Muslim, Kitab Al-Buyu, Bab : Buthlaan Bai Al-Hashah wal Bai Alladzi Fihi

(10)

b. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : “Aku jual barangku ini kepadamu dengan harga sepuluh ribu”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.

c. Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.

3. Sumpah Palsu

Termasuk juga dalam perbuatan menipu ialah perbuatan bersumpah dengan nama Allah dengan tujuan melariskan barang jualan seperti menyatakan “demi Allah, barang ini adalah paling murah dijual di kota ini dan saya hanya menjual harga modal saja” sedangkan hakikat yang sebenar adalah sebaliknya.

ن

ح ع

ث

ِيبنأث

ةثرثيحرثهن

ن

د أث

ل

ث ُّوس

ن رث

هنلدلَا

َىلدص

ث

هنلدلَا

هنيحلثعث

م

ث لدس

ث وث

ردععمث

َىععلثع

ث

ةنرثبحص

ن

م

ر ًاعثط

ث

ل

ث خثدحأثفث

هندثيث

ًاهثيفن

ت

ح لثًانثفث

هنعنبنًاص

ث أ

ث

لعلثبث

ل

ث ًاقثفث

ًامث

َاذثهث

ًايث

ب

ث حنًاص

ث

م

ن ًاعثط

د لَا

؟

ل

ث ًاقث

هنتحبثًاص

ث أ

ث

ءنًامثس

د لَا

ًايث

ل

ث ُّوععس

ن رث

هنععلدلَا

.

لًاععقث

لثفثأثث

هنتثلحعثجث

ق

ث ُّوحفث

م

ن ًاعثط

د لَا

ِي

ح ك

ث

هنَارثيث

س

ن

ًاندلَا

ن

ح مث

ش

د

غث

س

ث

يحلثفث

يأ .ِيععننمن

:

نم

شغ

سيلف

َىلع

َىينيد

.لمًاكلَا

(

هَاور

ملسم

)

Artinya : Suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati seorang pedagang di pasar. Di samping pedagang tersebut terdapat seonggok makanan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memasukkan tangannya yang mulia ke dalam makanan itu, dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam merasakan ada sesuatu yang basah di bagian bawah makanan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada pedagang: “Apa ini, wahai pedagang?” Orang itu menjawab: “Makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !” kemudian Rasulullah bersabda: “Mengapa engkau tidak menaruhnya di atas, agar bisa diketahui oleh pembeli? Barangsiapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.”

ن

ح ع

ث

ِيبنأث

ةثدثًاتثقث

ي

ن رنًاص

ث نحلح

ث َا

هنندأث

عثمنس

ث

ل

ث ُّوس

ن رث

هنلدلَا

َىلدععص

ث

هنععلدلَا

هنععيحلثعث

م

ث لدس

ث وث

ل

ن ُّوقنيث

م

ح ك

ن ًايدإن

ةثرثثحكثوث

ف

ن لنح

ث لحَا

ِيفن

عنيحبثلحَا

هنندإنفث

ق

ن فننثين

م

د ثن

ن ععح

ث محيث

نأف :ي

ح أ

ةرثك

فلحلَا

َىف

عيبلَا

دععق

يدؤععي

َىععلأ

جَاور

ةعلععسلَا

لإ

هنأ

دعب

كلذ

َىلإ

ليزنين

ًاهتك

ث رثبثلحَا

.

(11)

berniaga. Sesungguhnya banyak bersumpah dalam berniaga bukan mendatangkan keuntungan akan tetapi menghilangkan keberkahan 4. Menjelekkan Mitra Bisnis

Salah satu cara menjatuhkan lawan bisnis adalah dengan meganggu konsumen agar tidak atau beralih pada barang yang diperdagangkannya, baik dengan menurunkan harga atau mengganggu harga orang lain dengan beragam cara sehingga pembeli beralih. Rasulullah SAW. bersabda :

لث

عحبنيث

م

ح ك

ن ض

ن عحبث

َىلثع

ث

عنيحبث

ض

ر

عحبث

Artinya: “Janganlah sebagian di antara kalian berjualan di atas jualan sebagian”. Ibnu Hajar mengatkan transaksi diatas haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

عنيحبثلحَا

َىلثع

ث

عنيحبثلحَا

مَارثحث

،

ك

ث لنذثععكثوث

ءَارثععش

ن لَا

َىععلثع

ث

ءنَارثععش

ن لَا

،

ُّوثععهنوث

ن

ح أث

ل

ث ُّوقنيث

ن

ح مثلن

َىرثتثشحَان

ةععثلحس

ن

ِيفن

ن

ن مثزث

رنًايثخنلحَا

خ

ح س

ث فحَان :

كعثيبنلن

ث

ص

ث

قثنحأثععبن

،

وحأث

ل

ث ُّوقنيث

عنئنًابثلحلن

خ

ح س

ث فحَان

ي

ث رنتثش

ح لن

ث

كنحمن

دثيثزحأثبن

،

ُّوثهنوث

ععمثجحمن

هنيحلثعث

Artinya: Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian orang lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua mengatakan, “Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia tawarkan. Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama.”22

Misalnya, seseorang mencari barang, dan dia membelinya dari seorang pedagang. Lalu pedagang ini memberikan hak pilih (jadi atau tidak) kepada si pembeli dalam tempo selama dua atau tiga hari atau lebih. Pada masa-masa ini, tidak boleh ada pedagang lain yang masuk dan mengatakan kepada si pembeli tadi “tinggalkan barang ini, dan saya akan memberikan barang sejenis dengan kwalitas yang lebih baik dan harga lebih murah”. Penawaran seperti ini merupakan perbuatan haram, karena berjualan di atas akad jual beli saudaranya.

Selama penjual memberikan hak pilih kepada calon pembeli, maka biarkanlah calon pembeli berpikir, jangan ikut campur. Jika calon pembeli mau, ia

22 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz IV, Cet.III, (Kairo: Maktabah as-Salafiah,

(12)

bisa melanjutkan akad jual beli atau membatalkan akad. Jika akadnya sudah rusak dengan sendirinya, maka engkau boleh menawarkan barang kepadanya.

Begitu juga membeli di atas pembelian saudaranya, hukumnya haram. Misalnya, jika ada seseorang mendatangi pedagang hendak membeli suatu barang dengan harga tertentu, lalu dia memberikan hak pilih kepada pedagang (jadi dijual atau tidak) selama beberapa waktu. Maka selama masa memilih ini, tidak boleh ada orang lain ikut campur, pergi ke pedagang seraya mengatakan “saya akan membeli barang ini darimu dengan harga yang lebih tinggi dari tawaran si fulan”. Demikian ini merupakan perbuatan haram. Karena dalam perbuatan ini tersimpan banyak madharat bagi kaum muslimin, pelanggaran hak-hak kaum muslimin, menyakitkan hati mereka. Karena jika orang ini mengetahui bahwa engkau ikut campur dan merusak akad antara dia dengan pembeli atau penjual, dia akan merasa marah, dongkol dan benci. Bahkan mungkin dia mendoakan keburukkan bagimu, karena engkau telah menzhaliminya.

Dewasa ini sering sekali perdagangan yang dilakukan menyimpang dari nilai-nilai ukhuwah, atau menjadikan mitra bisnis secara diam-diam sebagai musuh atau memusuhi orang lain (mitra bisnis) demi melariskan barangnya. Boleh jadi dari segi harga maupun kualitas yang ditawarkan (QS: al-Hujarat : 11-12).

Prilaku menjatuhkan mitra bisnis atau sejawat dalam perdagangan merupakan prilaku syaithaniyah yang membawa kehancuran bisnis secara kolektif. Karena akan berimplikasi pada ketidak percayaan pelanggan atau konsumen terhadap pasar yang tersebut.

Selain berimplikasi pada pasar juga secara konteks etika bisnis Islam akan ada pertanggung jawab dengan Khaliq di akhirat nantinya. Al-Quran menetapkan tanggung jawab individual. Pada tanggungjawab itulah dibebankan tanggung jawab (taklif) dan keutamaan etika diatas tanggungjawab setiap manusia (QS; Al-Baqarah: 268).

(13)

dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang paling tegas yang perlu diambil.23

D. Penutup

Pada hakekatnya berbisnis dalam Islam tidak dilarang (mubah), selama praktek bisnis tersebut tidak menyimpang dari hukum ekonomi Islam dan etika bisnis dalam Islam. Secara hukum Islam (mu’amalah) bisnis tidak dilarang selama yang ditransaksikan bukanlah objek dan prilaku yang diharamkan, namun secara etika binis Islam ada bentuk-bentuk larangan yang harus diperhatikan yaitu penipuan (tadlis), gharar, sumpah palsu, menjelek-jelekkan mitra bisnis. Baik secara kualitas, kuantitas, harga maupun waktu. Bentuk larangan seperti ini merupakan tujuan dari bentuk keridhaan dalam berbisnis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Al-Khatib, As-Siyasah Maliyah fi Islam ea Shilatuhu bi al-Mu’amalah al-Mu’ashirah, Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976.

Abdul Rahman Abdullah, Pendidikan Al-Quran: Membina Minda & Jiwa Cemerlang, Cet. I, Kuala Lumpur: Zafar Sdn Bhd, 1996.

23 Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam,

(14)

Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Bahjah Qulub Al-Abrar wa Qurratu Uyuuni Al-Akhyaar Fi Syarhi Jawaami Al-Akhbaar, Tahqiq Asyraf Abdulmaqshud,

Cet. II, t.p., Dar Al-Jail.1992.

Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad ar-Raghib Al-Asfahani, Mufradat fi Gharib Al-Quran, Mesir: Maktabah wa Matba’ah al-Bab al-Halabi wa Auladih, 1961.

Abu A’la al-Maududi, Mu’ayyasatil Islam, Lahore: Islamic Publication, 1969. Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rawali

Pers, Cet. VII, 2010.

Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Yogyakarta: PP Krapyak, 1984. Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Manajemen Syariah Dalam Praktek,

Cet.I, Jakarta: Gema Insani Press, 2003. Fathul Bari, 4/353

H.Akrim, Pengaruh Pengamalan Ibadah Terhadap Praktek Dagang Di Kalangan Pengusaha Muslim Pusat Pasar Kota Medan, Tesis, Medan: Pasca Sarjana IAIN Medan, 2006.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz IV, Cet.III, Kairo: Maktabah as-Salafiah, 1408 H

M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalah),Cet. II, Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Majmu Fatawa, 29/22

Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Machnun Husein, Cet.I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam Mufahrasy li Alfadz Al-Quran, t.p,t., 1981. Muslim, Shahih Muslim, Jilid 1 No 183,

Sunan Al-Tirmidzi, Bab Buyu’, No 1331.

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam urusan jual beli orang harus mengetahui hukum jual beli agar dalam jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli, jual beli

pemenuhan suatu prestasi dari penjual untuk menyerahkan objek (benda) yang menjadi objek jual beli kepada pembeli. Pembeli juga berkewajiban untuk membayar objek

Jual beli ini pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang. diperjualbelikan ada didepan penjual dan pembeli, hal ini

Khiyar Ru’yah merupakan hak pembeli yang telah melihat barang yang menjadi objek jual beli untuk di teruskan atau di batalkan akadnya. Jika barang hanya contoh yang ada dalam

Dengan penjual memberikan ganti rugi atau menerapkan khiyar, maka pembeli pun akan berlangganan kepada penjual tersebut. Setelah menelusuri kegiatan jual beli batu bata di

Jual beli batil adalah akad yang salah satu rukun dan syaratnya tidak terpenuhi dengan sempurna, seperti penjual yang bukan berkompeten, barang yang tidak bisa

Jual beli ‚Mahar‛ benda pusaka merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual, bisa berupa uang, amalan-amalan khusus, atau sesuai kehendak si penjual

Akad ini juga patut dengan ketentuan akad jual beli mu’athah yang sama dalam hukum Islam dimana terdapat pihak yang bertindak sebagai penjual dan pembeli, terdapat barang yang