• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia dalam"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Persembahan Purna Karya

DRS. B. RAHMANTO, M.HUM

Sapardi Djoko Damono Maman S.

Mahayana Riris K. Toha-Sarumpaet St. SulartoNovita DewiPamusuk EnesteHery

AntonoHersri Setiawan Sri Widati S. E. Peni AdjiJabrohimJ. Prapta Diharja, SJBambang Kaswanti PurwoI Dewa Putu

WijanaI. Praptomo Baryadi Ganjar HarimansyahSugihastutiFransisca Tjandrasih Adji Novi Anoegrajekti

(2)

Cover Belakang

DITERBITKAN

OLEH

PENERBIT

SANATA

DHARMA

ISBN:

Alamat:

Jl. Gejayan, Mrican,

(3)

Buku ini dipersembahkan

untuk Drs. B. Rahmanto, M.Hum

yang telah menyelesaikan karya bhaktinya sebagai

dosen di Universitas Sanata Dharma,

(4)

KATA PENGANTAR

Memaknai sebuah perjananan hidup dengan menerbitkan sebuah buku kenangan bukan hanya merupakan sebuah monumen cinta kasih, tetapi lebih dari itu mengandung sebuah harapan. Para penulis buku itu tentu ingin mengenang kembali nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang dibagikan, hangatnya persahabatan, semangat perjuangan yang diwariskan, teladan yang diberikan, serta jasa-jasa dari seorang yang dikasihi. Buku itu pun mengandung harapan untuk terus menghidupkan nilai-nilai dan mutiara kebijaksanaan sang tokoh pendahulu ke generasi-generasi selanjutnya. Dalam semangat itu pulalah buku berjudul Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia dalam Jebakan Kapitalisme ini ditulis.

Buku ini merupakan sebuah buku bunga rampai yang ditulis sebagai persembahan untuk B. Rahmanto yang mengakhiri karya bhaktinya sebagai dosen di Universitas Sanata Dharma, terhitung mulai 17 Juli 2011. Persoalan kapitalisme yang melilit disiplin ilmu Bahasa, Sastra, dan Budaya ini dipilih, selain karena merupakan sebuah persoalan yang penting dan mendesak untuk dibahas, topik ini pun merupakan salah satu masalah yang mengusik perhatian B. Rahmanto. Dalam pidatonya pada kesempatan Dies Natalis ke-53 Universitas Sanata Dharma tanggal 20 Desember 2008 berjudul “Revitalisasi Humaniora Dalam Rangka Pembangunan Moral Bangsa: Sebuah Refleksi Sastra wi, B. Rahmanto mengungkapkan dua kegalauan hatinya. Pertama, fakta bahwa ilmu-ilmu humaniora di berbagai universitas di dunia sudah (ter)/(di)pinggirkan oleh kapitalisme dan orientasi pasar semata-mata. Kedua, pengalaman panjang sejarah kelam bangsa Indonesia yang disebutnya menjalankan ‗tiada hari tanpa kekerasan dan korupsi‘. Fenomena kekerasan tahun 1965 dan 1996 serta silang-sengkarut manusia dan masyarakat Indonesia dipaparkannya dengan terang disertai berbagai data dan fakta pendukung.

Rahmanto mengungkapkan, orientasi pendidikan tinggi pada pasar telah mengubah lembaga itu menjadi sekadar tempat pelatihan ketrampilan dan keahlian kerja. Pragmatisme telah membuat ilmu-ilmu humaniora di Eropa dan AS terancam bubar. Jumlah mahasiswa yang berminat pada studi ilmu-ilmu humaniora semakin kecil karena kebutuhan pasar yang tidak memadai. Program-program studi tertentu terpaksa diperkecil, dipersempit, atau bahkan ditutup seperti Program Studi Gender di Negeri Belanda, Program Studi Indonesia di Australia, dan lembaga yang menjadi cikal bakal pengembangan cultural studies ke seluruh dunia, yakni Birmingham Cultural Studies Center menjadi sebuah tantangan yang sangat berat bagi upaya merevitalisasi, menghidupkan, atau menggiatkan kembali humaniora.

Sebagaimana karakter B. Rahmanto sebagai sosok yang selalu optimistik dan cerah pandang, atau yang disebut oleh Maman S. Mahayana sebagai ―manusia yang royal memberi kebahagiaan‖, beliau pun memberikan solusi agar ilmu-ilmu humaniora, dapat merevitalisasikan dirinya. Tulis Rahmanto, ―Humaniora memberikan wawasan yang luas, kapasitas untuk berubah, visi yang kreatif, kepekaan untuk implikasi sosial dan kultural, kemampuan untuk melihat the whole picture. Melalui humaniora dapat dikembangkan bakat untuk memimpin. Melalui humaniora mahasiswa dirangsang untuk berpikir kritis, kreatif, dan holistik, dan ini amat penting untuk mahasiswa yang dipersiapkan sebagai pemimpin bangsa ke depannya. Syaratnya tentu saja, humaniora harus diberikan dengan cara berbobot dan dekat dengan aktualitas.‖

(5)

bertahan dari jebakan kapitalisme? Benang merah buku ini adalah mencoba memahami, mengurai, dan memberikan sejumlah solusi untuk keluar dari jebakan kapitalisme dari perspektif ilmu bahasa, sastra, dan budaya Indonesia.

***

Buku ini terbagi dalam tiga bagian. Bagian Pertama yang membahas topik Bahasa berisi enam karangan. P. Ari Subagyo mengawalinya dengan tulisan berjudul ―Bahasa Indonesia di Tengah Kapitalisme (Pos/Hiper)Modern: Masih Adakah ―Keajaban Ketiga‖? Tulisan ini secara tegas mengungkapkan bahwa bahasa merupakan piranti kapitalisme. Melalui kajian yang cermat, penulis ini mengungkap jejak kapitalisme (pos/hiper)modern dalam Bahasa Indonesia, yang telah mewarnai ideologi bahasa Indonesia dengan ciri internasionalisme melalui iklan dan internet. Gempuran kapitalisme laksana samudra luas itu mengakibatkan bahasa Indonesia terlihat seperti sampan kecil yang tidak berdaya. Efek yang terlihat kemudian adalah munculnya gejala imperealisme bahasa dan ancaman yang semakin nyata terhadap bahasa baku bahasa Indonesia. Dalam kondisi yang seperti itu, Ari Subagyo tetap berharap bahwa Bahasa Indonesia masih akan selamat oleh ―keajaiban ketiga‖ asalkan bangsa Indonesia masih bersedia menggunakan bahasa kebangsaannya dengan setia dan penuh rasa bangga. Apa sajakah keajaiban bahasa Indonesia? Simak dalam tulisan ini.

Tulisan kedua bernada sangat optimistik. Tulisan berjudul ―Linguistik Itu Ilmu yang paling Indah‖ oleh I Dewa Putu Wijana membahas kemampuan perangkat Ilmu Linguistik dalam memahami fenomena bahasa, termasuk fenomena bahasa alay yang telah terkontaminasi oleh terpaan kapitalisme pos/hypermodern. Bahasa yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, bagaimanapun, memiliki pola atau kaidah tertentu, misalnya pola pembentukannya, penyimpangan maknanya, penyimpangan dan permainan ejaannya, dsb. Fenomena ini, menurut I Dewa Putu Wijana, hanya dapat dijelaskan oleh orang yang menguasai Ilmu Linguistik. Orang yang tidak berkecimpung di dalam bidang ilmu ini hanya dapat menangkap sebagian kecil, dan hal-hal yang pada umumnya bersifat ekstralingual, seperti bagaimana kesukaan dan perilaku remaja, perkembangan teknologi komunikasi, sikap mereka tentang keadaan di sekitarnya, dsb. Sehubungan dengan itu, seorang linguis harus membekali dirinya dengan teori-teori kebahasaan dan teori-teori kebudayaan mengenai perilaku masyarakat orang yang memiliki bahasa itu. Hanya dengan cara demikian, bahasa manusia dapat dipahami secara utuh. Hanya dengan cara demikian pula, linguistik itu akan menjadi indah seindah bahasa yang menjadi objek kajiannya.

(6)

satu metode menjelaskan akan membuat pengajaran humaniora menjadi lebih menyenangkan dan lebih efektif.

Tulisan keempat berjudul ―Kreativitas dalam Peribahasa dan Pemendekan‖ ditulis yang oleh Hery Antono mengungkapkan bahwa bahasa bersifat arbitrer, kontekstual, merupakan penunjuk identitas, dan menerima berbagai pengaruh budaya. Hal-hal itulah yang menyebakan terjadinya bentuk-bentuk kreativitas dalam berbahasa. Selain itu, kreativitas berbahasa dipengaruhi pula oleh unsur-unsur budaya kapitalisme global serta keinginan menggunakan bahasa dengan segar, unik, menarik sehingga menimbulkan efek atau perlokusi seperti pembagian tindak ujar. Secara khusus, Hery Antono mengungkapkannya dalam bidang peribahasa dan pemendekan.

Tulisan kelima mengemukakan konsep-konsep teoretis analisis wawacana yang disebut Analisis Wacana-Kritis (AWK) yang secara khusus ditujukan untuk mengungkap ideologi (kapitalisme) di dalam maupun ―di luar‖ karya sastra. Tulisan karya Ganjar Harimansyah berjudul ―Analisis Wacana-Kritis Karya Sastra: Mengungkap Ideologi (Kapitalis) di Dalamnya dan Konteks Pembelajarannya‖ itu merupakan sebuah implikasi praktis dari teori-teori linguistik. Sebuah karya sastra dari sudut pandang AWK dianggap memiliki elemen ideologi tertentu yang tersembunyi ketika elemen estetis dan sosiologis berpadu di dalamnya. Di dalam konsep AWK, teks dilihat sebagai wacana yang tidak dapat melepaskan diri dari konteksnya, baik berdasarkan aspek kebahasaan dalam struktur teks, proses interpretasi atas pemroduksian teks dan pengonsumsian teks, maupun berdasarkan praktik sosial-politik. Selain itu, di dalam AWK terdapat konsep metode sejarah perjalanan (discourse-historical method) produksi teks. Dengan melihat aspek sejarah tersebut dapat dikaji berbagai dimensi bahasa dan pemikiran si pembuat naskah. AWK pun menempatkan analisis karya sastra bukan lagi sekadar menganalisis bahasa pengarangnya, tetapi menganalisis sebuah ungkapan bahasa yang dipengaruhi oleh ideologi dan struktur mental kelompok sosialnya.

(7)

***

Bagian kedua buku ini mengemukakan sembilan tulisan mengenai Sastra. Tulisan diawali dengan paparan Maman S. Mahayana berjudul Visi dan Misi Kesusastraan Indonesia Abad XXI‖. Visi dan misi ini berkaitan dengan prospek kesusastraan kita dan tugas yang diembannya dalam kehidupan bangsa ini di masa mendatang. Pertanyaan kritisnya adalah: apakah sastra Indonesia kembali akan terperangkap pada isu-isu kontemporer atau klise? Apakah persoalannya masih berkutat pada gerakan komunitas sastra yang berskala lokal atau mulai memasuki wilayah regional dan global? Masihkah persoalan tematik –eksploitasi tubuh—dan klaim pusat—daerah makin menjadi wacana yang basi dan memuakkan yang menunjukkan kesusastraan Indonesia berjalan di tempat atau mengalami lompatan yang mengagumkan, sehingga dikenal luas oleh masyarakat dunia tidak sebatas pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer? Tidak sedikit keluh-kesah pesimistis dilontarkan yang memasalahkan keterpencilan kesusastraan Indonesia; kurangnya apresiasi para siswa terhadap khazanah sastra kita; gugatan terhadap mandulnya kritik sastra; dan belakangan, mewabah-meriah-meruahnya semangat bersastra dalam jejaring sosial macam milis, friendster, twitter, blogger, multiply dan teristimewa

facebook, meski kadangkala membuat kita menahan muntah. Lalu, bagaimana pula kita menyikapinya? Perumusan visi dan misi sastra Indonesia memasuki abad ke-21 membutuhkan pra-pemahaman yang komprehensif mengenai lingkaran budaya sastrawan, penerbit dan media massa sebagai lembaga yang melakukan reproduksi karya sastra, pelajaran sastra di sekolah sebagai ujung tombak pembudayaan apresiasi sastra bagi para siswa, dan kritik sastra sebagai salah satu sarana penyehatan dan dinamisator kehidupan kesusastraan. Bagi Maman, memasuki abad ke-21, arus globalisasi telah memutuskan sekat-sekat geografis dan menjadikan Indonesia sebuah desa dunia. Dengan demikian, tuntutan intelektualitas bagi sastrawan Indonesia mendatang merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Tulisan St. Sularto berjudul ―Memaknai Sastra di Era Kapitalisme‖ diawali dengan mendeskripsikan ‗potret kacaunya kebudayaan,‘ yaitu tumpang-tindihnya budaya tulisan dan lisan di tanah air. Sastra –dalam konteks humaniora-- diunggulkan dalam mengembangkan kepekaan manusiawi. Sastra terjebak dalam dunia kapitalisme sejak Johan Gutenberg berhasil menemukan mesin cetak (1450). Sejak saat itu, faktor keuntungan finansial yang merupakan praktik kapitalisme menjadi primer dan faktor humaniora di urutan yang kesekian. Menurut Sularto, fenomena sastra Indonesia saat ini serba tanggung: tidak lagi dihasilkan karya sastra sebagai klangenan adi luhung, tidak juga karya-karya yang tegas-tegas berorientasi bisnis. Yang terjadi bukan keseimbangan win-win solution, dengan moralitas sebagai rujukan, melainkan semua serba tanggung-kemampo, seiring bahkan jadi pupuk penyubur proses melapuknya kehidupan bangsa dan negara secara keseluruhan. Akan tetapi, di era kapitalisme modern ini posisi sastra terjerembab dalam kondisi sekadar sebagai klangenan pelipur lara bahkan tempat pelarian kelelahan menghadapi derasnya arus perubahan. Di titik lunturnya gradasi humaniora inilah tugas para pendidik sastra menjadi sangat berat: bagaimana membangun keseimbangan antara peningkatan harkat-martabat kemanusiaan yang dijiwai semangat asketis sastrawan negeri ini di satu pihak dengan nafsu kapitalistis yang semakin mengakibatkan perbedaan antarkeduanya terlihat semakin mencolok di pihak lain.

(8)

kuatnya tahta ideologi patriarki dalam kehidupan kita. Perempuan selalu saja dipandang sebagai Sang Liyan yang tidak sama dengan laki-laki dari segi rasionalitas, kekuatan fisik, minat, kebutuhan aktualisasi diri, dan lain-lain, dengan perbandingan laki-laki ―lebih‖ sedangkan perempuan ―kurang‖ atau bahkan ―tidak punya‖. Novita mengajukan sebuah solusi, bagaimana penelitian sastra dapat berperan sebagai kontrol sosial terhadap dominasi ideologi patriarki, yang tanpa disadari maupun terang-terangan hadir dalam keseharian kita lewat berbagai wacana, dari iklan, media informasi dan hiburan, sampai ke kebijakan publik. Penelian sastra, demikian harapan Novita Dewi, mampu menyemai kesadaran atas kesetaraan antar umat manusia sehingga pada akhirnya memiliki kontribusi dalam menciptakan dunia perempuan yang lebih baik.

Tulisan berjudul ―Sastra Beranak Putra dan Tantangan Kapitalisme Modern oleh Riris K. Toha-Sarumpaet pada prinsipnya senada dengan tulisan Novita Dewi, mempersoalkan hegemoni patriarkhi dalam karya sastra. Dalam dunia kapitalisme di mana masyarakat kita sudah menjadi sangat materialistic, hedonistik, dan bahkan masuk dalam faset ―possessive individualism,‖ posisi perempuan tidak beranjak menjadi lebih baik. Masyarakat adat dalam berbagai kebudayaan di Indonesia –dalam kajian ini masyarakat Lampung dan Batak—mengidealkan anak laki-laki dan menyepelekan kehadiran anak perempuan. Dari kaca mata feminis, dengan meletakkannya dalam ranah kapitalisme modern kini, yang merajakan produktivitas, Riris secara tegas mengungkapkan bahwa kejadian beranak hingga 15 itu menggelikan sekaligus membuat marah. Dia menggugat: di manakah kebebasan dan hasrat egaliter dalam adat yang membedakan laki-laki dari perempuan? Bagaimana misalnya perempuan diperlakukan sebagai pabrik anak, seolah tidak bernyawa dan tidak berperasaan. Perempuan juga menerima dan melaksanakan tanpa tanya tugas domestiknya. Dia sendirian melakukannya, ―bertarung nyawa,‖ katanya, cemaskan laku serong suaminya yang berhak mencari penggantinya, termasuk menanggung malu dicemooh orang karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Dalam kedua kisah ini kita temukan anak –walau dinanti dan didambakan-- hanya dihargai dan diperlakukan sebagai obyek, investasi yang harus diperjuangkan secara ―adat‖ –yang satu diperlukan sebagai penjaga limas sedang yang lainnya ―sebagai penjaga kehormatan dan menjadi raja bagi saudara perempuannya‖-- yang di satu sisi sesungguhnya menunjukkan kecondongan masyarakatnya sejak sediakala pada kapitalisme modern, dunia pasar dan kehidupan dagang yang mencari untung itu.

(9)

hidup yang lebih mulia kepada manusia. Mengangkat dunia dan martabat manusia dengan mendasarkan diri pada nilai-nilai yang paling tinggi, indah, agung dan benar. Mencipta, sebagai manifestasi dari martabat manusia harus dilakukan secara bebas. Sastra harus bebas mengorek kehidupan itu sendiri. Bisa menembus kebenaran hakiki manusia. Sastra harus bebas. Bebas dari politik. Bebas dari segala kepentingan. Tanggung jawab sastra adalah untuk memperkembangkan martabat manusia, menjadikan manusia lebih menusiawi.

Tulisan berjudul ―Kritik Sastra Marxis dan Jebakan Kapitalisme di Indonesia‖ oleh Yoseph Yapi Taum muncul dari kegelisahannya akan terpinggirkannya kritik sastra Marxis dari dunia kritik sastra di Indonesia. Padahal kritik sastra Marxis memiliki pengaruh akademis yang sangat signifikan sebagai alat analisis sosial yang mampu menjawab teka-teki sejarah. Dunia kritik sastra di Indonesia didominasi hampir secara mutlak oleh kritik dan penapisan struktural sehingga tidak ada kontribusinya yang relevan dengan persoalan alienasi dan degradasi harkat dan martabat manusia Indonesia yang tergerus arus kapitalisme global. Selain mengungkap sebab-sebab lemahnya kritik sastra Marxis di Indonesia serta konsep dasar sistem kapitalisme, tulisan ini mengemukakan beberapa isu strategis yang perlu diperhatikan dalam melakukan kajian teks-teks sastra dengan pendekatan kritik sastra Marxis.

Tulisan berjudul ―Representasi Perempuan dan Kapitalisme dalam Drama Nyonya-Nyonya Karya Wisran Hadi‖ ditulis oleh S. E. Peni Adji. Drama Nyonya-Nyonya menarik penulis untuk mengkajinya dengan pendekatan kritik feminis sosialis/Marxis. Secara mengejutkan, Peni Adji mengungkap begitu kuatnya dominasi dan perangkap sistem kapitalisme dan patriarkhi terhadap perempuan. Bahkan di ranah Minang –yang konon lebih menomor-satukan perempuan—perempuan sesungguhnya tidak berkutik menghadapi pongahnya kedua sistem yang membelenggu itu: kapitalisme dan dominasi patriarkhi. Peni Adji bahkan menyebut bahwa dominasi dan lilitan kedua sistem tersebut bersifat total memasuki semua ranah publik maupun domestik wanita, bahkan sampai menyentuh wilayah tubuh, wilayah yang sebenarnya merupakan privasi perempuan. Harkat dan martabat manusia (baca: perempuan) pun menjadi sekadar komoditas dapat ditawar-tawar. Perempuan menjadi lebih tak berdaya lagi karena kedua sistem itu menggunakan cara-cara opresif. Peni Adji menyimpulkan, bahwa meskipun latar budaya drama ini adalah budaya Minangkabau yang hubungan kekerabatannya bersifat matrilineal, permasalahan di luar kekerabatan tetaplah patrilineal. Dalam struktur ekonomi di Minangkabau, kekuatan kapitalisme menyebabkan laki-laki mengopresi dan mengeksploitasi perempuan.

(10)

pengalaman pengarang yang telah terbentuk secara gender. Karya ini termaknai bahwa kerumahtanggaan dan hubungan pribadi laki-laki—perempuan menjadi tema karya pengarang perempuan, Rina Ratih. Lebih sering muncul makna hubungan seksual dan hubungan keluarga daripada bidang-bidang lain di sektor publik. Hal ini termaknai wajar dalam konteksnya dengan pendapat bahwa teks PB ini juga dapat dimaknai sebagai efek dari cara langsung, yang laki-laki itu memegang kekuasaan terhadap perempuan dalam hubungan keluarga dan seksual.

Tulisan terakhir dalam Bagian Kedua ini merupakan sebuah sumbangan yang sangat berharga dari seorang pakar sekaligus praktisi penyuntingan naskah senior yang terkenal di tanah air. Tulisan berjudul ―Menyunting Naskah Sastra‖ yang disumbangkan oleh Pamusuk Eneste. Menyunting naskah sastra adalah sebuah persoalan yang tidak ringan mengingat sastrawan memiliki tameng ampuh bernama licentia poetica yang tidak bisa diganggu gugat oleh seorang editor sekalipun. Akan tetapi, berdasarkan pengalamannya sebagai penyunting naskah/editor sastra di Kelompok Kompas Gramedia (Gramedia/Grasindo), Pamusuk mengungkapkan bahwa seorang editor sastra memang menjadi penjaga gawang sebelum naskah pengarang dicetak menjadi buku. Penyunting naskah sastra boleh meluruskan kata-kata yang salah kaprah (merubah, dipungkiri, frustasi, dan berpetualang) dan kata salah eja (disini, di cium, sayapun) yang tercantum dalam naskah. Penyunting naskah/editor sastra pun boleh menyunting kalimat yang (1) ambigu, (2) membingungkan, atau (3) tidak jelas maksudnya. Bahkan penyunting pun dapat meluruskan fakta-fakta geografis, fakta sejarah, nama diri, fakta ilmiah, dan angka statistik/nonstatistik.

***

Bagian Ketiga dari buku ini berisi tujuh buah tulisan yang mengangkat persoalan budaya dalam jebakan kapitalisme. Tulisan pertama berjudul ―Kearifan Lokal

dan Kapitalisme Moderen dalam Tegangan‖ ditulis oleh Fransisca Tjandrasih Adji. Melalui

berbagai fenomena yang ada, Tjandrasih Adji mengungkapkan kenyataan semakin

termarginalkannya kearifan-kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat

daerah-daerah di Indonesia. Akibatnya, terjadi pula apa yang disebutnya sebagai lunturnya spiritual heritage yang telah diwariskan oleh para leluhur, bergesernya nilai-nilai paguyuban (pedesaan) ke arah patembayan (perkotaan bahkan metropolitan), industrialisasi mengarah ke budaya pasar dan bukan ke budaya humanitas, menipisnya budaya agraris dan tradisional, memudarnya nilai-nilai pendidikan masyarakat dan nilai-nilai keteladanan, berkurangnya kepekaan akan makna simbolis dan nilai filosofis, dan munculnya gelombang penyeragaman budaya global yang sangat kuat. Sistem kapitalisme modern memang menawarkan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan hidup, tetapi di sisi lain, terjadi pula penjajahan terhadap budaya lokal yang mengakibatkan terjadinya erosi kearifan lokal.

Jalan keluar yang ditawarkan Tjandrasih Adji menghadapi ketidakberdayaan kearifan lokal dan kuatnya arus kapitalisme modern adalah: agakr masyarakat kita bersikap dan berperilaku mengutamakan keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Sang Pencipta. Revitalisasi budaya yang mencerminkan kearifan lokal pun perlu dilakukan. Realisasi revitalisasi ini memerlukan sinergi dari berbagai pihak antara lain pemerintah daerah, lembaga-lembaga pendidikan, para paraktisi budaya, para pakar budaya, masyarakat pemilik kebudayaan.

(11)

Sapardi memberikan beberapa alternatif jawaban, mengapa seorang ksatria perkasa yang sebenarnya tidak memerlukan bantuan siapapun selalu memerlukan sejumlah punakawan. Arjuna India misalnya, tidak punya panakawan, tetapi Arjuna Jawa ‗dituntun‘ oleh batur-nya. Dan batur atau abdi atau panakawan itulah justru yang menjadi hakikat wayang Jawa, yang dalam perkembangannya telah dimanfaatkan oleh berbagai agama dan kepercayaan sebagai wahana untuk menegaskan hubungan-hubungan antara yang di Sana dan yang di sini, yang dengan sendirinya berkaitan dengan masalah hegemoni. Semar adalah abdi yang merangkap pengatur tatanan hidup. Dalam kedudukan seperti itulah sebenarnya Semar adalah juga mata-mata yang dikirim oleh dunia Sana, mata-mata Kekuasaan. Tokoh itu diciptakan agar kita, masyarakat, tidak berbuat keliru, tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh pemilik hegemoni. Konsep tersebut menunjukkan bahwa ‗rakyat jelata‘ masih memiliki tempat yang sangat terhormat dalam kehidupan karena tidak hanya mampu menjelaskan masalah pelik dengan bahasa ‗rakyat‘ (seperti juga yang terbaca dalam dialog clowns ciptaan Shakespeare) tetapi, dan lebih-lebih lagi, karena para panakawan itu bisa lebih arif dari ksatria, kaum yang diasuhnya. Ksaria harus diasuh oleh rakyat kecil agar berhasil menegakkan kebenaran dan menciptakan kesejahteraan: gagasan ini muncul antara lain karena seni pertunjukan seperti wayang pada dasarnya adalah milik rakyat banyak, meskipun kaum inteletual juga merasa memilikinya.

Tulisan berikutnya berjudul ―Travel and Writing: Pers dan Sastra Eksil‖ merupakan sumbangan Hersri Setiawan. Dengan dalil bahwa sastra adalah sebuah travelling: sebuah kisah perjalanan hidup seseorang, sekelompok orang, atau sebuah bangsa pada tempat dan saat tertentu, Hersri mengupas sejarah dan kedudukan sastra eksil. Ketika di tahun 1965 terjadi pembalikan drastis kondisi kehidupan politik di Indonesia, ribuan warga negara Indonesia yang progresif yang berada di luar negeri tidak dapat kembali ke tanah air. Di antara mereka itu terdapat sastrawan, wartawan dan seniman lainnya, yang berjumlah tak kurang dari 20 orang dan dalam umur sekarang (2011) rata-rata berusia 60-an tahun. Sebagai kelompok eksil, mereka menerbitkan berbagai karya. Sastra eksil tentu saja tidak menjadi bagian dari ‗sastra resmi‘ atau ‗sastra baku‘. Sastra jenis ini bahkan dianggap rendah mutunya dan keberadaannya pun diingkari oleh para penguasa resmi. Bagi Hersri, ada dua persoalan yang dihadapi sastra eksil. Persoalan pertama yang dihadapi sastra eksil adalah tidak adanya apresiasi yang layak. Bahkan hanya untuk mencari pembaca di Indonesia pun, sastra eksil menghadapi kendala yang besar, semestara pembacanya di luar negeri jumlahnya tak lebih dari 140 orang, itu pun yang mempunyai minat sastra hanya 5%. Persoalan kedua adalah mutunya sebagai karya sastra. Mutu perlawanannya secara politis akan menjadi hambar belaka jika tidak didukung oleh mutu kesusastraannya. Dikaitkan dengan persoalan pertama di atas, Hersri berpendapat bahwa mutu sastra eksil tidak meningkat menjadi lebih baik selama daerah pembaca mereka pun sangat terbatas. Akibatnya, dua nada utama dalam karya-karya ‗eksil luar negeri‘ menjadi tak terhindarkan: perlawanan dan penderitaan sekaligus, yang terkadang terucapkan dalam kerinduan.

(12)

mengacu pada model pendidikan karakter melalui sastra yang dilakukan bangsa Rusia. Pemerintah Rusia mewajibkan semua anak sekolah menbaca buku Antara Perang dan Damai karya Leo Tolstoy. Meskipun buku itu sangat tebal, tetapi karena ditulis dengan bahasa yang memukau maka anak-anak Rusia pun suka membaca buku ini. Apa yang kemudian terjadi? Semua anak Rusia yang membaca buku itu bangga menjadi anak Rusia. Mereka bangga dan percaya diri menjadi bagian dari bangsa Rusia. Watak sebagai bangsa Rusia yang kokoh dan teguh dalam mengatasi masalah mereka miliki setelah proses membaca buku ini selesai. Jabrohim kemudian memilih delapan buah puisi yang dapat dipergunakan untuk menggelorakan semangat perjuangan dan cinta tanah air terhadap generasi muda bangsa Indonesia.

Tulisan kelima merupakan sumbangan Sri Widati berjudul ―Migrasi, Adaptasi, dan Motivasi dalam Perkembangan Sastra Jawa Modern.‖ Sastra Jawa telah mengalami migrasi, yaitu perjalananan dan persebaran sastra ke dalam (migrasi internal) dan keluar (migrasi eksternal) yang tak pernah berhenti dari dulu sampai sekarang karena motivasi bermigrasi berubah-ubah mengikuti kondisi politik, dan ekonomi Negara. Saat ini, banyak sekali mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di luar negeri, yang memiliki Jurusan Bahasa Jawa datang untuk melanjutkan studi, atau mencari data penelitian. Melalui kehadiran mereka di Indonesia, khususnya di wilayah pemakai bahasa Jawa, kegiatan alih budaya akan terus berlangsung, bahkan secara resiprokal, karena hal semacam itu juga dilakukan Pemerintah Indonesia. Migrasi budaya, khususnya sastra Jawa tiba saat hubungan resiprokal harus dilakukan agar hakikat sastra Jawa sebagai media seni dan pendidikan di daerah dapat berkembang dan dikenali masyarakat luas. Banyak cara dilakukan dalam sastra Indonesia, dan sastra Jawa mengikuti perkembangan tersebut dengan tetap menunjukkan diri sebagai sastra etnis. Menurut Widati, dalam iklim ekonomi dan politik yang semakin mengglobal ini, sastra daerah, termasuk sastra Jawa memerlukan pengayom atau maesenas, seperti Yayasan ―Rancage‖ dan lain-lainnya, untuk melindungi dan mendorong sastra berbahasa daerah berkembang.

(13)

komunitas Using dan masyarakat Banyuwangi pada umumnya secara perlahan meninggalkan hampir semua yang pernah terbentuk (makna, nilai, norma, pemikiran, bahkan struktur) di masa lalu yang berkaitan dengan gandrung dan menangkap atau merumuskan yang baru. Kedua, akibat dari itu, semakin dapat dipastikan bahwa gandrung terhegemoni oleh pasar, menjadi murni hiburan yang komersial. Kenyataan yang terakhir ini dapat disaksikan dalam semua pertunjukan gandrung sekarang.

Tulisan terakhir berjudul ‖Pembinaan (Calon) Penonton Wayang‖ yang ditulis oleh Sudartomo Macaryus. Tulisan ini dipicu oleh keprihatinan penulis terhadap adanya gap antara pembelajar dengan lingkungannya. Penulis mencoba menawarkan sebuab model pendidikan yang dapat mendekatkan pembelajar dengan lingkungannya. Dalam makalah ini dibahas bagaimana memperkenalkan wayang dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran bahasa Jawa dan seni yang lain serta kegiatan yang ada di masyarakat. Menurut Sudartomo, membangun publik penonton dapat dilakukan dengan memanfaatkan lembaga pendidikan, sanggar seni, dan aneka paguyuban kemasyarakatan, seperti kelompok karawitan, panembromo, macapat, dan sebagainya. Rancangan di atas memiliki kemungkinan direalisasi melalui dua langkah berikut. Pertama, wayang kulit untuk TK dan SD mengasumsi penontonnya adalah anak seusia TK dan SD. Penonton akan lebih terkesan jika dilibatkan dalam pertunjukan seperti membawakan tembang anak-anak, pembacaan gurit, atau yang lain. Oleh karena itu, sebagian siswa TK dan SD memiliki kemungkinan dilibatkan dalam pertunjukan wayang tersebut. Kedua, dalang yang hidup di tengah masyarakat berpeluang memanfaatkan fasilitas yang dimiliki (keterampilan, ruang, gamelan, wayang) untuk membina kegiatan seni di lingkungannya. Jika sekolah mengembangkan karawitan atau wayang sebagai salah satu kegiatan ekstra kurikuler sebaiknya disertai dengan target pentas. Target pentas dapat dikaitkan dengan peringatan hari-hari nasional, hari sekolah, hari keagamaan, atau yang lain. Selain itu, target pentas juga dapat dilaksanakan dengan menjalin kerja sama dengan rumah-makan, hotel, taman hiburan, pemerintah/masyarakat setempat, atau yang lain.

***

Puji dan syukur patut dipanjatkan ke haribaan Tuhan Yang Maha Kasih atas bimbingan dan berkat-Nya sehingga buku ini dapat diterbitkan dengan baik. Tim editor mengucapkan terima kasih kepada semua penulis atas sumbangan tulisan yang telah dimuat dalam buku bunga rampai ini. Ucapkan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Penerbitan Universitas Sanata Dharma yang dengan sabar dan setia menanti dan mengikuti proses penerbitan buku ini.

Bahasa, sastra, dan budaya Indonesia telah lama terjebak dalam sistem kapitalisme. Buku ini telah ikut mencoba merunut, memaknai, mencari alternatif agar jebakan kapitalisme itu tidak sampai menciptakan disparitas, alienasi, dan degradasi nilai manusia menjadi sekadar komoditas. Itulah sumbangan humaniora bagi bangsa Indonesia. Demikian sajian buku berjudul Baha sa, Sastra, dan Budaya Indonesia dalam Jebakan Kapitalisme.Semoga bermanfaat.

(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSEMBAHAN DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAGIAN I BAHASA

1.1 Bahasa Indonesia di Tengah Kapitalisme (Pos/Hiper) Modern: Masih Adakah

―Keajaban Ketiga‖? P. Ari Subagyo

1.2 Linguistik Itu Ilmu Yang Paling Indah I Dewa Putu Wijana

1.3 Metode Menjelaskan: Penerapan Logika, Semantik, dan Retorika I. Praptomo

Baryadi

1.4 Kreativitas dalam Peribahasa dan Pemendekan Hery Antono

1.5 Analisis Wacana-Kritis Karya Sastra: Mengungkap Ideologi (Kapitalis) di

Dalamnya dan Konteks Pembelajarannya Ganjar Harimansyah

1.6 Puisi: Memperkosa Bahasa Bambang Kaswanti Purwo

BAGIAN II SASTRA

2.1 Visi dan Misi Kesusastraan Indonesia Abad XXI Maman S. Mahayana

2.2 Memaknai Sastra di Era Kapitalisme St. Sularto

2.3 Arah Kajian Sastra: Ciptakan Dunia Perempuan yang Lebih Baik Novita Dewi

2.4 Sastra Beranak Putra dan Tantangan Kapitalisme Modern Riris K.

Toha-Sarumpaet

2.5 Dari Marxis ke Komunis Sampai Lekra: Pemikiran Kritis J. Prapta Diharja, SJ

2.6 Kritik Sastra Marxis dan Jebakan Kapitalisme di Indonesia Yoseph Yapi Taum

2.7 Representasi Perempuan dan Kapitalisme dalam Drama Nyonya-Nyonya Karya

Wisran Hadi S. E. Peni Adji

2.8 Memaknai Perempuan Bercahaya Karya Rina Ratih Sri Sudaryani Sugihastuti

2.9 Menyunting Naskah Sastra Pamusuk Eneste

BAGIAN III BUDAYA

3.1 Kearifan Lokal dan Kapitalisme Moderen dalam Tegangan Fransisca

Tjandrasih Adji

3.2 Mengapa Ksatria Memerlukan Panakawan? Sapardi Djoko Damono

3.3 Travel and Writing: Pers dan Sastra Eksil Hersri Setiawan

3.4 Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Sastra Jabrohim

3.5 Migrasi, Adaptasi, dan Motivasi dalam Perkembangan Sastra Jawa Modern Sri Widati

3.6 Membaca Identitas Melalui Seni Pertunjukan: Komodifikasi dan Politik

Kebudayaan Novi Anoegrajekti

3.7 Pembinaan (Calon) Penonton Wayang Sudartomo Macaryus

TENTANG B. RAHMANTO: “SANG RAJAWALI YANG TERBANG TINGGI” BIOGRAFI PENULIS DAN EDITOR

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas antikanker ekstrak etanolik tanaman sarang semut dilakukan dengan menguji kemampuannya menekan ekspresi p53 mutan dari sel kanker payudara T47D 9 serta

Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Tn.R dengan Prioritas Masalah Kebutuhan Dasar Personal Hygiene: Defisit Perawatan Diri di RS Jiwa

Uji t dilakukan untuk menguji hipotesis 1 dan 2, yaitu mengenai tingkat signifikan pengaruh variabel independen, tingkat pendidikan formal dan motivasi terhadap

Tabel 4.5 Hasil Skor Post Test Kelas Kontrol dengan Eksperimen

 Untuk mengatasi masalah penyimpanan lembar mind mapping, guru mitra meminta peserta didik untuk mengumpulkan mind mapping yang. telah dibuat dan disimpan di

pendekatan efektif mendukung Penerapan Penyuluhan Pertanian Partisipatif Dalam Upaya Pembangunan Pertanian.PT Bumi Aksara.. Ekstensia Majalah

Dengan demikian semua produk dan informasi dapat dilihat dengan jelas lengkap dengan artikel â artikel yang berguna untuk menambah wawasan kita

Dalam marketing, produk adalah apapun yang bisa ditawarkan ke sebuah pasar dan bisa memuaskan sebuah keinginan atau kebutuhan.. Katalog adalah daftar koleksi produk atau jasa