HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN KULIAH LAPANG KEPESISIRAN
(Parangkusumo-Parangtritis dan Samas, 2 Januari 2014)
Kuliah lapang kepesisiran yang merupakan bagian dari kegiatan perkuliahan mata kuliah Pengelolaan Pesisir dan Geomorfologi Kepesisiran, telah dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 2014 di dua lokasi pengamatan, yakni pada wilayah kepesisiran Parangkusumo-Parangtritis dan Samas.
Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengidentifikasi batas wilayah kepesisiran, tipologi, karakteristik, dan dinamika wilayah kepesisiran serta merumuskan strategi pengelolaan pesisir pada setiap lokasi yang diamati.
A. Batas Wilayah Kepesisiran
Wilayah kepesisiran (coastal area) adalah bentanglahan yang dimulai garis batas wilayah laut (sea) yang ditandai oleh terbentuknya zona pecah gelombang (breakers zone) dan ke arah darat hingga pada suatu bentanglahan yang secara genetik pembentukannya masih dipengaruhi oleh aktivitas marin pada masa kini, seperti dataran aluvial kepesisiran (coastal alluvial plain).
Definisi wilayah kepesisiran ditinjau dari sudut geomorfologi sangat tepat untuk menentukan batas yang jelas dari suatu wilayah kepesisiran khususnya untuk merencanakan suatu pengelolaan wilayah kepesisiran. Hal ini karena batasan ini lebih menekankan pada aspek genetis yang membentuk wilayah kepesisiran dalam waktu yang sangat lama. Aspek genetis ini tidak mudah berubah, sehingga batas wilayah kepesisiran yang sekaligus digunakan sebagai batas wilayah pengelolaan juga akan berubah dalam waktu yang lama.
mintakat yang, secara genetik pembentukkannya masih dipengaruhi oleh aktivitas marin.
1. Parangkusumo-Parangtritis, Bantul
Lokasi pengamatan pertama terletak pada titik X = 0425543 dan titik Y = 9113124 pada zona 49L, tepatnya berada di wilayah di Parangkusumo-Parangtritis, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul. Wilayah kepesisiran Parangkusumo-Parangtritis terdiri atas zona pecah gelombang (breakers zone), pantai bermaterial pasir (beach), dan pesisir (coast) dengan ekosistem sand dune.
Gambar 2. Wilayah Kepesisiran Parangkusumo-Parangtritis
Gambar 3. Sand Dune di Parangkusumo
2. Samas, Bantul
Gambar 4. Penampang zonasi wilayah kepesisiran Samas
Gambar 5. Wilayah Kepesisiran Samas B. Tipologi Wilayah Kepesisiran
Tipologi adalah klasifikasi berdasarkan kesamaan sifat. Pembicaraan mengenai wilayah kepesisiran, tidak akan terlepas dari klasifikasi bentuk pesisir (coast) sebagai bagian wilayah kepesisiran secara genesis, seperti yang
diilustrasikan oleh Shepard dalam King (1972). Menurut Shepard, pesisir dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu pesisir primer dan pesisir sekunder. Morfologi pada pesisir primer lebih dikontrol oleh proses-proses terrestrial, seperti erosi, deposisi, vulkanik dan diastropisme daripada aktivitas organisme maupun proses marine; sedangkan pesisir sekunder merupakan pesisir yang terutama dibentuk akibat aktivitas organisme seperti pembentukan terumbu, dan akibat proses marin atau aktivitas gelombang.
Pesisir primer dapat dikelompokkan lagi ke dalam 4 tipe pesisir, yaitu pesisir akibat erosi lahan (Land Erosion Coast), pesisir akibat deposisional subaerial (Subaerial Deposition Coast), pesisir akibat proses volkanik (Volcanic Coast) dan pesisir akibat proses struktural (Structurally Shaped Coast).
1) Land Erosion Coast merupakan bentuklahan pesisir yang berkembang di bawah pengaruh erosi lahan-lahan bawah di daratan yang diikuti oleh proses inundasi oleh laut.
2) Subaerial Deposition Coast adalah pesisir yang terbentuk akibat akumulasi secara langsung bahan-bahan sedimen sungai, glasial, angin atau akibat longsor lahan ke arah laut.
3) Volcanic Coast merupakan pesisir yang terbentuk akibat proses volkanik di tengah laut.
4) Structurally Shaped Coast adalah pesisir yang terbentuk akibat proses patahan, pelipatan atau intrusi batuan sedimen.
Pesisir sekunder dikelompokkan ke dalam tiga tipe pesisir, yaitu pesisir akibat erosi gelombang (Wave Erosion Coast), pesisir akibat pengendapan marin (Marine Deposition Coast) dan pesisir akibat organisme (Coast Built by Organism).
1) Wave Erosion Coast merupakan pesisir dengan garis pesisir yang terbentuk akibat aktivitas gelombang, yang mungkin berpola lurus atau tidak teratur, tergantung pada komposisi maupun struktur dari batuan penyusun.
3) Coast Built by Organism merupakan pesisir dengan garis pesisir yang terbentuk akibat aktivitas hewan, terumbu karang yang dibentuk oleh alga dan oister atau tumbuh-tumgbuhan seperti mangrove atau rumput-rumput rawa.
Adapun tipologi wialayah pesisir pada lokasi pengamatan adalah sebagai berikut:
1) Parangkusumo-Parangtritis, Bantul
Tipologi wilayah kepesisiran Parangkusumo-Parangtritis adalah:
a. Marine Deposition Coast, dimana material pasir yang diendapkan merupakan material yang berasal dari gunung merapi. Di belakang beach nya terdapat sand dune. Karakteristik dari tipologi Marine Deposition Coast diantaranya adalah memiliki lereng landai dan meluas dengan proses pengendapan material pasir sangat intensif, gelombang cukup besar, beresiko tinggi terhadap ancaman tsunami dan banjir rob, serta beresiko terhadap intrusi air laut.
b. Structurally Shaped Coast yang merupakan cliff hasil pengangkatan yang terletak di sebelah timur Parangtritis. Karakteristik dari tipologi ini diantaranya adalah memiliki topografi kasar dengan lereng terjal membentuk cliff yang kuat, serta erosi dan abrasi terjadi secara alami.
2) Samas, Bantul
Tipologi wilayah kepesisiran Samas adalah Marine Deposition Coast. Material penyusunnya adalah pasir, sama dengan Parangtritis. Terdapat barrier beach sehingga di belakang terdapat laguna.
C. KARAKTERISTIK DAN DINAMIKA KEPESISIRAN
Terdapat 7 faktor dinamika yaitu astrodinamika, aerodinamika, hidrodinamika, morfodinamika, antropodinamika, ekodinamika dan geodinamika
1. Karakteristik Morfologi dan Proses Geomorfologi a. Parangkusumo-Parangtritis
Karakteristik Morfologi wilayah kepesisiran Parangkusumo-Parangtritis dari shore hingga coast berlereng landai (datar). Dan berlereng sedang pada daerah sand dune.
Proses geomorfologi yang terjadi pada wilayah ini adalah adanya pengendapan di pantai yang materialnya berasal dari Gunung Merapi. Terjadi proses deposisi oleh angin sehingga membentuk sand dune. Jenis sand dune yang terbentuk di wilayah kepesisiran Parangkusumo-Parangtritis adalah tipe barchan yang menghadap ke arah barat laut karena angin dengan kekuatan besar berasal dari arah tenggara.
Gumuk Pasir (sand dune) terbentuk dari akumulasi material pasir hitam oleh proses aeolian yang kuat (aeolian depositional). Material ini berasal dari material vulkanis yang terbawa oleh proses fluvial Sungai Opak menuju Samudera Hindia. Material ini pada mulanya terendapkan membentuk gisik. Pada saat pasang surut, terdapat gisik tidak terendam air laut. Kemudian tenaga angin mendorong material pasir yang kering menuju daratan. Adanya hambatan berupa tutupan vegetasi menjadi barrier (penghalang) yang menyebabkan perubahan arah angin. Perubahan tersebut menyebabkan material pasir yang terbawa angin terakumulasi membentuk bukit-bukit pasir. Bukit-bukit pasir ini disebut juga gumuk pasir b. Samas, Bantul
Wilayah kepesisirannya dari shore hingga dataran alluvium kepesisiran berelereng landai sekitar 0%-7%. Proses geomorfologi yang terjadi adalah deposisi material oleh tenaga gelombang. Material yang terdeposisi berasal dari Gunung Merapi. Pada wilayah ini terbentuk barrier beach dan laguna.
Karakteristik material penyusun pada lokasi pengamatan adalah sebagai berikut:
a. Parangkusumo-Parangtritis
Terdiri atas material lepas berupa pasir. Profil tanah tidak terbentuk pada beachnya.
Gisik terbentuk dari akumulasi material pasir yang terbawa oleh proses fluvial Sungai Opak. Material ini didorong kembali ke daratan oleh tenaga marin sehingga membentuk endapan sempit yang sejajar dengan garis pantai. Gisik dipengaruhi oleh proses marin yang intensif yaitu pasang naik dan pasang surut.
Gambar 6. Material Pasir di Parangkusumo-Parangtritis b. Samas, Bantul
Gambar 7. Ukuran butir material di Samas
3. Karakteristik Hidrologi
Karakteristik hidrologi dipengaruhi oleh kondisi iklim, formasi batuan (geologi), tanah, dan topografi (Sartohadi, 1991)
a. Parangkusumo-Parangtritis
Gisik sebagai akuifer lokal. Memiliki nilai DHL 0,545 µsimone, suhu 29,7⁰C, dan TDS 366 ppm.
Gambar 8. Pengukuran DHL, TDS, dan suhu air di Parangtritis
Gisik sebagai akuifer lokal. Kemungkinan terjadi connate water pada wilayah dataran alluvium kepesisiran. Nilai DHL pada laguna tidak terdeteksi.
4. Karakteristik Vegetasi dan Penggunaan Lahan a. Parangkusumo-Parangtritis
Vegetasi alami yang terdapat di Parangtritis merupakan vegetasi spesifik ekosistem pesisir berpasir, yaitu rumput tapak kambing (Ipomea pescaprae), pandan, widuri, dan siwalan. Tipe penggunaan lahan di Parangkusumo-Parangtritis yaitu lahan kosong, permukiman, semak belukar, sawah, kebun campuran dan pertanian lahan kering.
Gambar 9. Vegetasi di Parangkusumo-Parangtritis (Ipomea pescaprae)
b. Samas, Bantul
Gambar 10. Vegetasi di Samas
D. PENGELOLAAN WILAYAH KEPESISIRAN
Konsep pengelolaan wilayah pesisir didalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan juga memasukan konsep keseimbangan ketergantungan waktu dan keadilan sosial.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah suatu proses yang memadukan pemerintah dan masyarakat, ilmu dan manajemen, sektor dan kepentingan publik dalam persiapan dan implementasi suatu rencana terpadu untuk perlindungan dan pengembangan ekosistem dan sumberdaya wilayah kepesisiran.
Langkah utama dalam merencanakan pengelolaan wilayah kepesisiran adalah memahami konsep dan batasan wilayah kepesisiran (coastal area), memahami klasifikasi tipologi dan karakteristik wilayah kepesisiran, dan mengidentifikasi dinamika wilayah kepesisiran.
1. Parangkusumo-Parangtritis
dilakukan di gumuk pasir Parangkusumo merupakan langkah yang kurang tepat karena dapat merusak sand dune tipe barchan.
Perkembangan gumuk pasir di wilayah ini mendapat ancaman dengan semakin bertambahnya permukiman penduduk di sepanjang pantai yang akan menghambat kekuatan angin sebagai tenaga pembentuknya. Hal ini diperparah dengan penanaman pohon, baik di sepanjang jalan sebagai pohon peneduh, maupun di sekitar wilayah gumuk pasir itu sendiri.
Keberadaan permukiman penduduk tentunya akan meningkatkan kebutuhan akan suplai air bersih yang diambil dari akuifer bebas kawsan ini. Apabila terjadi pemanfaatan yang melebihi batas, intrusi air laut sangat mungkin akan terjadi.
Potensi bencana di wilayah ini adalah adanya rip current yang bisa membahayakan wisatawan. Letaknya yang berhadapan dengan zona penunjaman lempeng di dasar samudra berpotensi menimbulkan gempa bumi dan tsunami dan beresiko terhadap pencemaran limbah cair dan intrusi air laut.
2. Samas, Bantul
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Totok, dkk. 2005. Pedoman Survei Cepat Terintegrasi Wilayah Kepesisiran. Yogyakarta: Badan Penerbit dan Percetakan Fakultas Geografi (BPFG)
Haslett, Simon K.1997. Coastal System. London: Routledge
Sartohadi, Junun. 1991. Kemampuan Lahan Daerah Parangtritis dan Tirtohargo, Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.