• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pendidikan Sejarah dan Kebudayaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Pendidikan Sejarah dan Kebudayaan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Peran (Pendidikan) Sejarah dan Kebudayaan Nasional

dalam Meningkatkan Persatuan dan Persatuan Bangsa

Yudi Prasetyo, S.S., M.A.1

STKIP PGRI Sidoarjo

Pengantar

Sejarah dan kebudayaan merupakan hal yang tak dapat dipisahkan, eksistensinya bagaikan dua sisi mata uang. Manusia merupakan subjek dari proses terbentuknya kebudayaan, baik yang secara material maupun imaterial. Bapak Antropologi Indonesia, Koentrjaraningrat,

mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Terminologi “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta, buddhayah, yakni bentuk jamak dari budhi yang berarti ”budi” atau “akal”.2 Soekarno, budayawan Sidoarjo, menerjemahkan “kebudayaan” dalam bahasa Jawa yakni nalar, panemu utawa angen-angen sing dibabarno rupa tumindak, paugeran, pakaryan lan kawicaksanan. Utawa: babare nalar pambudine

menungso sing wujud kagunan, kepinteran, raweruh, tata pernatan, sing dilandesi karo cipta,

rasa, karya, kuwasa lan sakteruse.3

Maka dapat diartikan bahwa ke-budaya-an dapat diartikan: ”hal-hal yang bersangkutan dengan akal” yang dapat berupa cipta, karsa, dan rasa, sedangkan kebudayaan merupakan produk/hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut. Pelbagai produk kebudayaan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah historiografi yang kelak menjadi indikator sebuah bangsa atau peradaban mengalamai masa transisi dari masa prasejarah (belum mengenal tulisan) ke era sejarah (telah mengenal tulisan).

1 Penulis merupakan alumni prodi Ilmu Sejarah UGM dan tengah mempersiapkan proposal disertasi studi

S-3

2 Koetjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Rineka Cipta: Jakarta), hlm. 181.

3 Soekarno. “Kebudayaan (Jaman) Jenggala”, makalah dipresentasikan pada seminar “Mengungkap

(2)

Kehidupan manusia sebagai entitas sosial sejak dilahirkan hingga kelak menemui masa akhir hayatnya tidak akan lepas dari kegiatan berbudaya dan bersejarah. Koentjaraningrat mengemukakan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan, yakni:

1.Bahasa

2.Sistem pengetahuan 3.Organisasi sosial

4.Sistem peralatan hidup dan teknologi 5.Sistem mata pencaharian hidup

6.Sistem religi 7.Kesenian

Ketujuh unsur tersebut kemudian tercipta, terlaksana, hingga menjadi kebiasaan (habit) yang kemudian bermuara pada proses terbentuknya tradisi. Proses tersebut tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari proses ruang dan waktu yang merupakan ranah studi sejarah, terutama ilmu sejarah. Kerap kali sebuah tradisi menjadi pemahaman memory collective suatu masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi namun tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga ketika dilakukan penelusuran sejarah dengan menggunakan sumber-sumber tertulis maka yang terjadi adalah missing link terkait dengan ketiadaan sumber tertulis dan hanya mengandalkan sumber lisan / oral.4

Sebuah tradisi atau produk kebudayaan akan diragukan eksistensinya tanpa dukungan sumber tertulis yang otentik dan kredibel. Dokumen-dokumen tersebut dapat dijadikan sebagai legalitas atau bahkan legitimasi atas adanya sebuah pengakuan dan memiliki peran krusial sebagai identitas bangsa di masa kini, sekarang, dan yang akan datang. Selain itu sebuah bangsa akan dikatakan maju ketika masyarakatnya terbiasa dengan budaya membaca (literasi) layaknya negara-negara di Eropa, Amerika, Jepang, dan Singapura.

Makalah ini akan mencoba untuk mencari dan mengaitkan benang merah diantara peran sejarah dengan kebudayaan nasional terkait dengan upaya peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa.

4 Jan Vansina dalam Oral Tradition: A Study in Historical Methodology membagi tradisi lisan menjadi

(3)

Sejarah, Kebudayaan, dan Glorifikasi Bangsa

“Cinta kita melukiskan sejarah menggelarkan cerita penuh suka cita....”

Lirik di atas merupakan salah satu cuplikan chorus dari Bunga Citra Lestari dalam lagu “Cinta Sejati” OST. film “Habibie Ainun”, yang juga kebetulan film bertemakan sejarah tokoh mantan presiden ke-3 RI. Cuplikan dari lagu tersebut dapat kita kaitkan dengan bagaimana rasa cinta tanah air terhadap glorifikasi atau hegemoni abad kejayaan kebudayaan bangsa Indonesia di masa lampau yang pantas ‘dinikmati’ dengan rasa suka cita mulai dari masa prasejarah hingga saat ini.

Atlantis dan Indonesia

Plato, dalam dialognya Timaeus dan Critias, yang ditulis pada tahun 360 SM, berisi

tentang referensi pertama Atlantis. Plato tidak pernah menyelesaikan Critias karena berbagai

faktor dan ketidaktahuan. Karya tersebut kemudian ditelusuri dan dilanjutkan oleh berbagai

peneliti generasi berikut setelah berabad-abad kemudian mulai dari Francis Bacon (1627),

Isaac Newton (1728), Charles Etienne Brasseur de Bourbourg, Edward Herbert Thompson dan Augustus Le Plongeon pada akhir abad XIX hingga pada akhirnya seorang ahli geohistori asal Brasil Prof. Arysio Santos Nunes dos Santos, Ph.D. dengan karya Atlantis

The Lost Continent Finally Found adalah sebuah buku arkeologi prasejarah yang menyatakan

secara definitif letak peradaban Atlantis ada di Indonesia.5 Hal ini mengacu pada tesisnya

yang mengatakan bahwa kawasan Atlantis terdapat di wilayah Ring of Fire dengan ciri

rangkaian gunung api di berbagai kawasan Indonesia sehingga tidak mengherankan bila area

Nusantara dikenal sangat subur akibat adanya abu vulkanik yang mampu menyuburkan tanah

di sekitarnya. Kesuburan dan keindahan alam Hindia Belanda di era kolonialisme Belanda menghadirkan sebuah konsep “Mooi Indie”.6

5 Arysio Santos, Atlantis The Lost Continent Finally Found (Ufuk Press: Jakarta: 2010).

6 Menurut Onghokham, terminologi Mooi Indiё adalah penggambaran ciptaan kolonial Belanda tentang

(4)

Penelitian tersebut memang masih perlu dikaji ulang namun apabila dikaitkan dalam

konteks nasionalisme menunjukkan bahwa pada dasarnya nenek moyang kita di Nusantara

merupakan generasi dari peradaban tertinggi di dunia yang hilang. Tentunya pernyataan

tersebut berpotensi menimbulkan kontroversi, namun setidaknya ungkapan tersebut tidak

terlontar secara pribadi dan tidak terlibat dalam penelitian tersebut sehingga tidak ada unsur

subjektif di dalamnya. Karya ini banyak diapresiasi oleh kalangan profesional, akademisi,

dan pengamat budaya karena mampu menstimulasi perasaan nasionalisme di kalangan bangsa

Indonesia.

Abad Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit

Kejayaan kedua kerajaan tersebut sangat berpengaruh dalam bidang maritim dan

agraris di tingkat perdagangan global abad VII – XVI. Kerajaan Sriwijaya menjadi penguasa

Nusantara dengan tingkat teknologi navigasi, perkapalan yang maju, serta jaringan

perdagangan maritim yang terintegrasi dengan baik. Jaringan perdagangan internasional

Sriwijaya menjangkau hingga ke wilayah Malaka, Borneo, Sulawesi, Maluku, Papua, dan

sebagian kepulauan Filipina sehingga lebih menyerupai imperium.7 Sedangkan Majapahit

mengalami masa kejayaannya pada tahun 1313-1364 dan merupakan cikal-bakal atas

terbentuknya wilayah Nusantara oleh Patih Gadjah Mada. Tanpa adanya Sumpah Palapa

niscaya terbentuknya Nusantara hanya sekedar sebuah wacana tanpa aksi.

Candi Borobudur

Eksistensi candi Borobudur menjadi salah satu icon tujuh keajaiban dunia. Bangunan

candi Budha yang dibangun pada abad IX tersebut memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan

merupakan sebuah mahakarya tentang kisah Ramayana. Borobudur menjadi bangunan suci

yang melambangkan bagaimana proses perjalanan ajaran Budha Mahayana untuk mencapai

tahap menjadi Budha. Tingkat kesulitan, detail, dan nilai sejarahnya yang tak terhingga telah

menempatkan Borobudur sebagai salah satu bangunan peninggalan sejarah dunia (World

Wonder Heritages).8

7Hermann Kulke, “Kedatuan Srivijaya –Imperium atau Kraton Srivijaya?” dalam George Coedes dkk

(eds.), Kedatuan Sriwijaya: Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi (Komunitas Bambu: Depok, 2014), hlm. 281-313.

8 Warisan budaya dapat dipilah berdasarkan yang (benda yang dapat dipegang/disentuh) dan yang

(5)

Kemegahan dan pengakuan tersebut mampu menempatkan Borobudur sebagai salah

satu wujud fisik kebudayaan yang menjadi identitas bangsa Indonesia di kancah di dunia

terkait dengan keberadaan lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa tidak hanya sebagai

sebuah kawasan geografis namun telah menjadi pusat dari peradaban Jawa.9 Adanya

peradaban Jawa dan Borobudur dapat dijadikan sebagai identitas bangsa sekaligus glory of

nation10 dalam rangka pembentukan nation building.

Sejarah dan Kebudayaan Nasional dalam Proses Terbentuknya Identitas

Indonesia merupakan sebuah negara yang multikulturalisme dengan berbagai

keunikannya dari sisi sejarah, kultural, dan budaya dimana tercipta sebuah melting pot (pusat

pertemuan) dan rendezvous (persinggahan) entitas global. Posisi dan peran Indonesia di era

merkantilisme abad XIII – XVIII menghasilkan interaksi sosial budaya yang intens dan

massif sehingga terdapat pelbagai budaya yang berkembang dengan keunikan masing-masing

yang khas, baik yang merupakan budaya asli Indonesia maupun masuknya pengaruh asing.11

Keanekaragaman tersebut menjadikan Indonesia kaya akan berbagai kebudayaan.

Wujud kebudayaan tersebut dapat berupa material dan imaterial yang secara sadar maupun

tidak telah menjadi bagian yang identik dari masyarakat lokal. Sebagai contoh adalah Ulos,

tari Tor-Tor, Bika Ambon menjadi identitas bagi masyarakat Sumatera Utara, Palembang

dengan makanan khas Pempek, atau Bali dengan tari Kecak, Sasando sebagai alat musik

tradisional dari Nusa Tenggara Timur dll.

Adanya pertemuan kebudayaan asli dan luar menghasilkan sebuah percampuran budaya

(inkulturasi) ataupun asimilasi yang khas. Kekhasan kebudayaan tersebut berada pada tahap

lokal, nasional, internasional yang kemudian dapat menjadi kebudayaan bangsa dan sekaligus

menjadi kebudyaan nasional identitas kebangsaan bangsa.

(prasasti atau naskah), 5. Teknologi untuk membuatnya (keris), 6. Pola tingkah laku yang terkait dengan pemanfaatanya (kostum tari).

9 Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuna sampai Majapahit Akhir (Komunitas

Bambu: Depok, 2011). & Makalah Workshop of Interdiciplinary Dutch and Indonesia, Penelitian kolaborasi penulis dengan Dr. Martijn Eickhoff , NIOD Belanda tentang World Heritages di Borobudur, Magelang, 2011.

10 Nation diturunkan dari kata benda bahasa Latin Natio, yang berasal dari kata kerja Latin, Nascio

(dilahirkan dari), merujuk pada asal seseorang. Steven Grosby, Sejarah Nasionalisme: Asal-usul Bangsa dan Tanah Air (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 201), hlm. 57.

11 Lihat J.S. Furnivall, Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, terj. Samsudin Berlian

(6)

Kamus ensiklopedia elektronik Wikipedia menerjemahkan kebudayaan nasional

sebagai kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional

menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni:

“Kebudayaan nasional yang berlandaskanPancasila adalah perwujudan cipta, karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk memberikan wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan yang berbudaya”12

Interpretasi mengenai kebudayaan nasional berbeda-beda, Ki Hajar Dewantara memandang kebudayaan nasional merupakan “puncak-puncak kebudayaan daerah, sedangkan Koentjaraningrat menilai sebagai “sesuatu yang khas “yang khas dan bermutu

dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga”. Sedyawati memandang identitas budaya bangsa Indonesia (dalam makna “kebudayaan nasional” Indonesia) mempunyai dua sisi: pertama, segala sesuatu yang diciptakan dalam konteks ke-Indonesia-an, kurang lebih pada masa pergerakan nasional hingga kini, kedua, “puncak-puncak” kebudayaan yang diangkat dari berbagai tradisi suku -suku bangsa yang ada di Indonesia, yang diterima sebagi miliki bersama seluruh bangsa Indonesia.13 Meski demikian semuanya merupakan hasil budi daya masyarakat bangsa,

eksistensinya telah ada sejak masa lampau, memiliki nilai yang dibanggakan, bermuara pada

lahirnya konsep identitas bangsa yang lebih mengedepankan ketunggalikaan (persatuan)

dibanding kebhinekaan (keberagaman).

Wujud dari kebudayaan dapat direpresentasikan dalam berbagai hal contohnya: rumah,

upacara, pernikahan, pakaian adat, kulinari, bahasa, seni sastra, tarian, lagu, maupun musik.

Ungkapan grup vokal P-Project bahwa “dangdut is the music of my coutry” mungkin benar

adanya karena meski pun dangdut tidak merupakan ‘benar-benar’ asli Indonesia karena

terdapat pengaruh musik dari Arab, Hindustan, dan Melayu namun kepopulerannya dan

besarnya animo masyarakat Indonesia, terutama wilayah Jawa Timur, telah melabeli musik

dangdut adalah sebagai musik orang Indonesia.14

12http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya_Indonesia diakses pada Senin, 21 April 2015.

13 Edy Sedyawati, Kebudayaan Nusantara: Dari Keris Tor-tor sampai Industri Budaya (Depok:

Komunitas Bambu, 2014)

14 Hal ini terlihat dalam sebuah kompetisi menyanyi dangdut di salah satu stasiun televisi swasta dimana

(7)

Kontribusi Pendidikan Sejarah terhadap Bangsa

Keberadaan aneka jenis budaya di negeri yang maha kaya akan kebudayaan ini

menunjukkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang besar dan sangat relevan dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Namun keanekaragaman tersebut tentunya juga harus didukung dengan adanya sumber sejarah sebagai upaya penelusuran jejak dan juga sekaligus

penjaga memori kolektif agar terus hidup dan dapat difahami serta dilestarikan oleh generasi

seterusnya terlebih lagi di dunia internasional dikenal hukum positif sehingga bukti tertulis

merupakan hal yang tak terbantahkan.

Sejarah sebagai ilmu humaniora memiliki peran yang sangat krusial dan bila boleh

diumpamakan bagaikan senjata pemusnah massal apabila disalahgunakan oleh pemiliknya.

Sebaliknya sejarah akan mampu menjadi sebuah kekuatan maha dahsyat bila mampu

memanfaatkannya sebagaimana slogan berbahasa Latin, historia magistra vitae (sejarah

adalah ilmu kehidupan).15 Sejarah tidak hanya sebuah ilmu yang mempelajari masa lampau

belaka karena di dalam sejarah terkandung sebuah hukum “challange and respons” –

meminjam istilah Arnold Toybee- dimana terkandung hukum sebab-akibat. Apa yang terjadi

hari ini tidak dapat dilepaskan dari apa yang telah terjadi di masa lampau dan apa yang akan

terjadi di masa mendatang tidak terlepas dari apa yang tengah terjadi saat ini sehingga kita

sebagai pelaku sejarah memahami bagaimana kesinambungan yang terjadi. Sejarah memang

tidak mampu menghadirkan masa lampau dengan berbagai kebenaran absolut karena

telah terpisahkan oleh ruang dan waktu, namun sejarah mampu merekonstruksi

mozaik masa lampau sehingga menghasilkan sebuah realitas kebenaran relatif melalui

metode dan pendekatan multidimensional. Seluruh peristiwa sejarah yang telah terjadi

maupun yang akan terjadi di dunia ini akan dapat difahami dan diprediksi dengan

mengedepankan konsep tersebut (verstehen).

Tanpa adanya pemahaman sejarah yang memadai akan berimplikasi terhadap

munculnya gerakan atau pandangan yang bersifat chauvinime, radikalisme, atau pun

separatisme. Disinilah pentingnya peran sejarah, terutama bagi kalangan pendidik.yang

merupakan corong dari transfer ilmu, nilai, dan karakter terhadap peserta didik. Meraka

merupakan kalangan yang berinteraksi langsung dengan peserta didik. Filosofi “ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, sebagai pedoman guru yang

artinya: “di depan memberi teladan, di tengah menyemangati, dan mengiringi dari belakang sambil memberi kekuatan”.

15 Budiawan ”Membaca Beragam (Sifat) Sejarah: Sebuah Pengantar” dalam Bernard Lewis, Sejarah

(8)

Seorang pendidik harus mampu menciptakan sistem belajar dan mengajar yang

berkarakter namun menarik minat peserta didik dalam kontek pembentukan nasionalisme,

antara lain dengan cara: pertama, menetapkan sejumlah pokok substansi bahan ajar yang relevan dengan tujuan “memperkuat bangsa”, kedua, menetapkan metode penyampaian dan porsi substansi yang sesuai dengan jalur dan jenjang yang diberikan, ketiga, pencarian

sumber informasi dengan tema yang sesuai, dan keempat, menyusun himpunan data ke dalam

kemasan yang kreatif dan inovatif.16

Pokok pembelajaran sejarah yang mampu menumbuhkembangkan kesadaran budaya,

kesadaran sejarah, dan nasionalisme adalah:

1. Sejarah Indonesia dilihat dari perkembangan berbagai subjek seperti:

sosial-politik, kebudayaan, teknologi, kesenian dll.

2. Sistem kebudayaan pada berbagai satuan sosial

3. Tantangan-tantangan pembangunan bangsa dan negara di masa yang akan

datang

4. Penerapan nilai dari suatu proses sejarah sebagai implemetasi pembentukan

karakter bangsa

Capaian dari penerapan dari pembelajaran tersebut adalah bagaimana siswa mampu

dibekali secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendekatan kognitif adalah bagaimana

siswa mampu berfikir kritis dan mengasah intelektual terhadap pemahaman perjalanan

sejarah bangsa Indonesia dari masa prasejarah hingga saat ini, afektif agar siswa mampu

memliki rasa, emosi, sistem nilai, dan sikap dalam sejarah, dan psikomotirik agar siswa

mampu memiliki visi pandangan hidup yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Diharapakan para peserta didik tersebut dapat menjadi agen perubahan (agent of change) dan

virus positif di masyarakat, terutama terkait dengan bagaimana upaya pelestarian situs dan

artefak bersejarah. Meraka dapat menjadi agen yang mengedukasi dalam proses gerakan cinta

sejarah untuk memasyarakatkan sejarah sehingga masyarakat menyadari bahwa sejarah

merupakan bagian dari hidup manusia.

16 Lihat, Yudi Prasetyo, “Metode Pembelajaran Kratif Inovatif bagi Siswa”, makalah dipresentasikan

(9)

Simpulan (dan harapan)

Pepatah “tak keneral maka tak sayang” bila dikorelasikan dengan pandangan siswa atau masyarakat berbanding lurus dengan realitas kekinian. Perasaan acuh tak acuh atau

ketidaktahuan inilah yang menstimulus dan mengakumulasi ketidakhadiran rasa sense of

belonging (rasa memiliki). Sejarah bagaikan dianaktirikan dibanding ilmu-ilmu lain yang

dianggap lebih populer dan menjamin masa depan, seperti kedokteran, hukum, ekonomi,

teknik, atau ilmu pengetahuan alam. Sejarah sebagai rumpun ilmu sosial humaniora kurang

mendapat tempat dalam perpektif khalayak. Ironis ketika sebuah kebudayaan kita diambil

atau diklaim pihak luar, sebagai contoh klaim Malaysia terhadap tari Pendet Bali, Reog Ponorogo, dan tempe, masyarakat hanya bersikap ‘merengek’ dan mencari dukungan dari kalangan ahli sejarah / pendidik sejarah sehingga terkesan dibutuhkan ketika terjadi

kontroversi.

Soekarno telah mengingatkan kita generasi muda dengan tagline Jas merah, jangan

sekali-sekali meninggalkan sejarah karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai

sejarah bangsanya. Kehidupan negara Islandia di masa silam merupakan salah satu negara

termiskin di dunia namun sekarang mereka mampu menjadi negara dengan tingkat pendapat

per kapita tertinggi di Eropa. Dengan adanya visi dan misi yang sama tentang sejarah maka

tidak mustahil bangsa Indonesia akan mencapai milestone (capaian) yang gemilang di masa

mendatang agar mendapat kehidupan yang lebih baik. Sudah saatnya kita memulai dari diri

sendiri untuk kemudian terbiasa melakukan hal yang luar biasa sehingga karya monumental

ber-sejarah kita dapat dinikmati oleh generasi penerus yang akan datang. Tentu kita tidak ini

mengalami kehilangan jejak sejarah nenek moyang kita sebagaimana bangsa Aborigin yang

hanya menjadi figuran dalam sejarah nasional Australia. Apabila ini dibiarkan maka apa yang

dikatakan oleh Collapse oleh Diamond Jared niscaya hanya tinggal menunggu waktu....

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsja W. dkk. Raden Saleh, Anak Belanda, Mooi Indië, dan Nasionalisme. Depok: Komunitas Bambu, 2009.

Coedes, George dkk (eds.), Kedatuan Sriwijaya: Kajian Sumber Prasasti dan Arkeologi. Komunitas Bambu: Depok, 2014.

Diamond, Jared.Collapse: Runtuhnya Peradaban Dunia, Gramedia: Jakarta, 2014.

Furnivall,J.S. Hindia Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk, terj. Samsudin Berlian. Jakarta: Freedom Institute, 2009.

Grosby, Steven. Sejarah Nasionalisme: Asal-usul Bangsa dan Tanah Air. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2011.

Koetjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta: Jakarta.

Lewis, Bernard. Sejarah Diingat, Ditemukan Kembali, Ditemu-ciptakan. Ombak: Yogyakarta, 2009.

Rahardjo, Supratikno. Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuna sampai Majapahit Akhir. Komunitas Bambu: Depok, 2011.

Santos, Arysio. Atlantis The Lost Continent Finally Found. Ufuk Press: Jakarta: 2010.

Sedyawati, Edy. Kebudayaan Nusantara: Dari Keris Tor-tor sampai Industri Budaya. Depok: Komunitas Bambu, 2014.

Soekarno. “Kebudayaan (Jaman) Jenggala”, makalah dipresentasikan pada seminar “Mengungkap Potensi Tinggalan Jenggala dalam Rangka Menelusuri Hari Jadi Sidoarjo”, Kamis, 23 April 2015 di UPT Museum Mpu Tantular Sidoarjo

Thompson, Paul. Suara dari Masa Silam Teori dan Metode Sejarah Lisan. Ombak: Yogyakarta, 2012.

Yudi Prasetyo, “Metode Pembelajaran Kratif Inovatif bagi Siswa”, makalah dipresentasikan dalam seminar “Menelusuri Jejak Perkembangan Islam di Nusantara” tanggal 23-25 Maret 2015, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur

Sumber internet:

(11)

Nama: Yudi Prasetyo, S.S., M. A. NIDN: 0719058403

TTL: Surabaya, 19 Mei 1984 Status: Dosen tetap, belum menikah Agama: Islam

Alamat : Grand Rose Regency Blok A No. 26 Kemiri Sidoarjo : Bumi Menteng Asri Blok AJ. No. 16 Bogor

2003 – 2004: S-1 Sastra Jerman, Universitas Indonesia 2004 – 2008: S-1 Ilmu Sejarah UGM

2008 – 2011: S-2 Ilmu Sejarah UGM

2015 - : Persiapan program S-3 dalam dan luar negeri

Jabatan : Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP PGRI Sidoarjo Penghargaan dan Konsentrasi Studi

2008 : Cum laude S-1 Ilmu Sejarah UGM, IPK 3,60

2010 : Sertifikat internasional bahasa Belanda Katholike Universiteit, Leuven, Belgia 2011 : Cum laude S-2 Ilmu Sejarah UGM, IPK 3,78

2014 : Sertifikat mengajar mata kuliah Anti Korupsi dari KPK tk. Perguruan Tinggi 2014 : Menerima Hibah penelitian dosen Dikti

Konsenstrasi studi:

Sejarah Etnis Indonesia, bahasa Belanda, Sejarah Indonesia era kolonial, kajian budaya Karya tulis:

“Meneer Baba: Gaya Hidup Elite Tionghoa Batavia 1900-1945”, Surakarta: Yuma Pustaka, 2013

Organisasi:

2012 - 2017 : Anggota PGRI Republik Indonesia

2013 - sekarang : Kabid. penelitian dan pengembangan APPS (Asosiasi Peneliti dan Pendidik Sejarah)

2014 – sekarang: Anggota Asosiasi Program Studi Sejarah Indonesia (APSI)

2015 – sekarang: sekretatis Asosiai Program Studi Pendidikan Sejarah PGRI Se-Jatim

Referensi

Dokumen terkait

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Darah dan Performa Produksi Ayam Kampung serta Ayam Ras Petelur

In addition, Mustapa dangding represents a form of local literature that demonstrates Sufi experiences This local dimension is closely related to the grand narrative of

Pembelajaran matematika de- ngan menggunakan Metode Socrates dan Pendekatan Saintifik dilakukan sebanyak 4 kali pertemuan. Materi pembelajaran selama pertemuan adalah

Setelah melakukan pengumpulan data mahasiswa dan dianalisis prestasi mahasiswa dengan menggunakan algoritma yang peneliti gunakan saat ini di Fakultas Ilmu

Hasil penelitian kami mendukung hasil penelitian sebelumnya di berbagai negara lain yang secara konsisten mendapatkan kadar zink plasma yang lebih rendah serta proporsi

Meski seluruh kelompok mahasiswa merokok mengonsumsi rokok filter daripada non filter sebagai pilihannya, proporsi tersebut tidak sesuai dengan GATS (2011) yang

Adapun faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut adalah faktor psikologis, antara lain yaitu: motivasi, perhatian, pengamatan, tanggapan dan lain sebagainya; (b)

Perbaikan yang sebaiknya dilakukan adalah dengan memberikan perabotan ruang yang memiliki koefisien serap bunyi yang lebih besar, sehingga waktu