Analisis Kontekstual Tentang Kekerasan
di Harian Kedaulatan Rakyat, Bernas,
dan Radar Jogja (Tahun 2000-2001)
Suparman Marzuki Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Abstract
Violence heppened in Yogyakarta, August 2000-August 2001, based on news in Kedaulatan Rakyat, Bernas, and Radar Jogja daily newspaper, mostly per-petrated by police officials and armed civilian mass groups under political parties armrest. Such involvement often in indirect manner; mostly by taking no stance to such law and human rights violations. In several definition, struc-tural and culstruc-tural violence is regarded as law human rights violation under the right of security.
Particular violence perpetrated by armed civilian mass groups, mere pro-voked by many factor. First, values conflict a many people and government body injustice practices, e.g. by Police Force and local government. Second, values and social relations background of perpetrators were influenced mostly by political and power interest. Third, no positive corelation existed on the perpetrators unfamiliarity to law and human right very well.
Quality, variation and motivation of violence perpetrated by organized armed civilian groups were in live with poor profesionalism of police officers in maintainity public security and order. It also in live with the lack respond from legislative body which should be ferformed as mediation body.
Keywords: violence, crime against of human rights, and law enforcement.
Selama setahun, sejak Agustus 2000 hingga Agustus 2001, terjadi berbagai kekerasan di Yogyakarta yang dilakukan oleh kelompok sipil “bersenjata”, yang dilatari oleh persoalan politik dan ideologi. Kekerasan tersebut terjadi dalam berbagai bentuk dan variasi seperti penyerangan terhadap aktivis yang dituduh kiri, penyerangan terhadap kegiatan aksi demonstrasi mahasiswa, pengrusakan tempat-tempat hiburan dan tempat yang dianggap maksiat, teror bom, dan berbagai teror yang bersifat verbal atau ancaman. Menariknya, sebagian kelompok yang melakukan kekerasan itu mengusung simbol-simbol Islam dengan nama-nama kelompok yang sangat radikal.
pembentukan milisi-milisi antikiri yang di bawahi partai politik, dan sebagainya, walaupun frekuensinya tidak lagi sekerap tahun 2000.
Dari ulasan beberapa media massa terbitan Yogyakarta, terutama Harian
Kedaulatan Rakyat dan Harian Bernas, tampak ada tiga masalah besar yang
menyebabkan polisi kesulitan menekan kelompok massa pelaku kekerasan itu yaitu, 1) karena mengusung nama agama tertentu dan dalam hal ini kebanyakan menggunakan nama-nama Islam; 2) karena mengusung nama partai politik tertentu dan dalam hal ini terkait dengan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Golongan Karya; dan 3) karena polisi tidak mampu menemukan bukti-bukti material yang menguatkan bahwa kekerasan itu bertentangan dengan hukum dan HAM.
Alasan pada poin ketiga di atas sesungguhnya mengundang tanda tanya. Ketidakmampuan aparat polisi mengungkap dan menyelesaikan berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh massa terorganisasi ini menandakan bahwa kinerja polisi tidak profesional. Dalam kata lain, mungkin disebabkan oleh dua hal yaitu, 1) aparat polisi terlibat dalam rantai kekerasan yang dilakukan oleh massa itu dalam
bentuk membiarkan (by omission) karena terjadi persaingan “bisnis keamanan”; dan
2) polisi ditekan atau diteror oleh kelompok massa pelaku kekerasan itu.
Akan tetapi, polisi bukanlah satu-satunya faktor spiral kekerasan yang dilakukan oleh kelompok massa teroganisasi itu. Selain disebabkan oleh kepentingan dan persaingan “bisnis keamanan” antarkekuatan massa partai politik di Yogyakarta, juga disebabkan oleh persaingan para elit-elit partai politik pemenang Pemilihan Umum 1999 di Yogyakarta. Sadar atau tidak sadar, elit-elit partai politik dan massa pelaku kekerasan itu sesungguhnya saling memanfaatkan demi kepentingan masing-masing.
Dari beberapa berita suratkabar harian di Yogyakarta di atas tampak bahwa elit partai dan kelompok massa itu selalu saling melindungi. Hal ini menarik karena hubungan mereka secara sosiologis tampak terpisah sebagaimana terlihat dari berbagai klarifikasi yang mereka lakukan di media massa. Namun, fakta kekerasan itu sendiri tidak bisa mengingkari pandangan umum bahwa selalu terlihat adanya komando dan koordinasi diantara kedua pihak baik sebagai sesama elemen partai politik itu maupun sebagai sesama personal yang berkepentingan di posisi dan kedudukan masing-masing. Media cetak di Yogyakarta tidak selalu bisa mengungkap akar konflik nilai dan kepentingan yang melatari setiap tindakan kekerasan kelompok massa sipil yang terorganisasi atau sistematis itu. Secara umum, sudut pandang berita-berita kekerasan
di media massa terbitan Yogyakarta, khususnya di suratkabar harianKedaulatan Rakyat,
harian Bernas,dan harian Radar Yogya, lebih banyak menceritakan korban.
Ulasan-ulasan yang muncul pun lebih bersifat komentar atau opini narasumber yang tidak komplit sehingga sulit ditemukan sebuah analisis yang akurat, tuntas, dan mendalam dari tiga suratkabar harian di atas.
Batasan Masalah dan Definisi
tertentu. Batasan tentang kekerasan dalam penelitian ini dibuat untuk membedakannya dengan kekerasan yang dilakukan oleh massa yang bersifat insidental seperti pengeroyokan oleh massa terhadap seorang pencopet atau pencuri dan lain-lain. Selain itu, kekerasan dalam penelitian ini pun dibatasi berdasarkan peristiwa-peristiwa yang
diberitakan oleh tiga suratkabar terbitan Yogyakarta yaitu harianKedaualatan Rakyat,
harianBernas, dan harianRadar Yogyasepanjang Agustus 2000 hingga Agustus 2001.
Secara definitif, makna “kekerasan” terbagi menjadi kekerasan legal dan kekerasan
ilegal (PUSHAM UII,Bahan Bacaan Training Polisi, 2001-2002: 55). Kekerasan legal adalah tindakan atau rangkaian tindakan dari atau oleh aparat penegak hukum untuk dan atas nama kepentingan penegakan hukum, dan dilakukan sesuai dengan ketentuan atau prosedur hukum yang langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan akibat pada fisik, psikis, sosial, dan moral seseorang atau sekelompok orang. Sementara, kekerasan ilegalialah tindakan atau serangkaian tindakan seseorang atau sekelompok orang yang langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan akibat pada fisik, psikis, sosial, dan moral seseorang atau sekelompok orang lainnya, dan tindakan itu dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang tidak memiliki hak dan kewenangan.
Penelitian tentang kekerasan berdasarkan analisis berita di tiga media massa terbitan Yogyakarta ini hanya merujuk definisi tentang kekerasan sekelompok orang yang terorganisasi atau kekerasan massa yang dilakukan secara ilegal.
Telaah Pustaka
Perubahan-perubahan masyarakat yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kekerasan seringkali pula tidak mudah diidentifikasi karena sangat mungkin struktur
organisasi penggeraknya bermain di belakang layar (invisible hand). Dalam kata lain,
kekuatan penggeraknya tidak berada di lapangan sehingga kekerasan yang terjadi tampak seperti spontan belaka. Kekerasan model ini sering kali muncul karena memang sudah ada akar masalah yang bersifat laten atau tersembunyi di tengah masyarakat (Kartikasari [ed.], 2000). Biasanya, sebab-sebabnya selalu didominasi oleh faktor konflik atau persaingan kepentingan di sektor politik (kekuasaan) dan ekonomi, selain karena ditimbulkan juga dari faktor ketidakmampuan negara menegakkan keadilan sosial (Camara, 2000).
Menurut Smelser (1971), ada empat hal yang menjadi dasar timbulnya tindakan kekerasan: 1) Tindakan yang berorientasi nilai yang dimobilisasi atas nama kepercayaan umum dalam rangka menginginkan atau menghendaki perumusan kembali nilai-nilai; 2) Tindakan yang berorientasi pada norma umum atau kepercayaan umum yang menginginkan atau menghendaki perumusan kembali nilai-nilai; 3) Tindakan yang muncul karena ledakan kebencian; dan 4) Tindakan yang muncul dari kegalauan atau kepanikan dan merupakan bentuk perilaku yang dilandasi oleh suatu redefinisi umum terhadap fasilitas yang tersedia.
Sementara, menurut bagan Johan Galtung (Jurnal Wacana, IX/2002: 13 dan
Akar dan Tipe
Eksploitasi A. Eksploitasi B. Penetrasi; Segmentasi.
Marjinalisasi;
Fragmentasi.
Keempat golongan kebutuhan dasar dalam bagan di atas terpilah dalam dua
bentuk kekerasan yaitu kekerasan langsung dan kekerasan struktural. Sedangkan
dari keempat kebutuhan dasar dalam kolom di atas, terdapat pula negasi-negasi yaitu 1)kebutuhan survivaldengankematianataumortalitassebagai negasinya; 2)kebutuhan kesejahteraan dengan penderitaanatau morbiditas sebagai negasinya; 3)kebutuhan identitas atau makna dengan alienasi atau keterasingan sebagai negasinya; dan 4) kebutuhan pada kebebasan denganrepresi sebagai negasinya.
Berdasarkan hasil persilangan kolom dan lajur bagan kekerasan di atas, maka tampaklah delapan subtipe kekerasan. Akan tetapi, menurut Galtung, mengidentifikasi kekerasan langsung akan lebih mudah dibanding mengidentifikasi kekerasan struktural kerena persoalan struktural bersifat lebih komnpleks dan sistematis. Selain itu, ada instrumen-instrumen lain yang dapat melegitimasi kekerasan langsung dan kekerasan struktural itu dan instrumen-instrumen itu disebut Galtung sebagai kekerasan kultural. Contoh-contoh instrumen yang dimaksud Galtung sebagai kekerasan kultural itu ialah agama, ideologi, bahasa, seni, ilmu dan pengetahuan empiris, ilmu dan pengetahuan formal, dan kosmologi.
Kekerasan struktural yang dimaksud oleh Galtung itu adalah aspek-aspek budaya atau wilayah simbolis eksistensi manusia. Ciri-ciri yang disebutkan di atas adalah “aspek-aspek dari budaya”, dan bukan keseluruhan budaya karena hanya menyangkut sistem simbolis manusia seperti bintang, salib, bulan sabit, bendera, lagu-lagu kebangsaan, parade militer, pakaian seragam, foto seorang pemimpin, suara pidato, poster-poster yang membakar, dan seterusnya. Dengan demikian, melalui
pengertian ini kita dapat memilahkan dua hal yaitu tentang “kekerasan budaya” (
cul-ture violence) dan “budaya kekerasan” (violent cultures). Akan tetapi, menurut Galtung, seluruh kebudayaan hampir tidak mungkin diklasifikasikan keras. Oleh karena itu, kita
memiliki alasan untuk memilih ungkapan berikut:“Aspek A dari kebudayaan C adalah
suatu contoh kekerasan kultural” daripada stereotype ungkapan bahwa “budaya C itu keras”(Galtung,Jurnal Wacana, IX/2002: 11-12).
kesimpulan bahwa: 1) kelompok manusia memiliki tingkat destruktif yang berbeda secara fundamental satu sama lain sehingga fakta-faktanya tidak selalu dapat dijelaskan dengan asumsi seolah-olah kedestruktifan dan kekejaman manusia itu adalah pembawaan; 2) beragam tingkat kedestruktifan manusia itu bisa dikorelasikan dengan faktor-faktor psikis yang lain dan perbedaan dalam masing-masing struktur sosialnya; dan 3) derajat kedestruktifan manusia itu meningkat seiring meningkatnya perkembangan peradaban, dan bukan sebaliknya (Fromm, 2001: xx).
Bila merujuk teori spiral kekerasan Dom Helder Camara, maka berlaku tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional, dan struktural. Akan tetapi, akar dasar dan faktor utamanya justru terletak pada fakta-fakta yang menunjukkan adanya ketimpangan dan eksploitasi masyarakat. Dengan demikian, menurut Camara, kekerasan pasti muncul secara spiral oleh kenyataan bahwa di tengah masyarakat telah terjadi: 1) ketidakadilan atau ketimpangan; 2) fakta pada poin ke-1 itu akan mengakibatkan pemberontakan sipil; dan 3) fakta pada poin ke-2 itu otomatis akan melahirkan represi negara (Camara, 2002: 31-39).
Secara historis, banyak penelitian yang berhasil membuktikan bahwa kekerasan di Indonesia memang sangat dekat dengan politik. Bahkan, menurut Henk
Schulte-Nordholt (Jurnal Wacana, IX/2002: 37), kekerasan politik di Indonesia bersifat sangat
geneologis karena pola tertentu dari kekerasan itu sangat mirip dengan pola-pola kekerasan sebelumnya. Bahkan, aktor-aktor pelaku kekerasan itu sering kali mendasarkan pendekatan mereka pada pengalaman-pengalaman dan contoh-contoh yang diperoleh dari warisan generasi sebelumnya.
Landasan Teori
Berdasarkan teori Smelser, maka tindakan kekerasan di atas dapat terjadi karena berorientasi nilai yang dimobilisasi atas nama kepercayaan umum dalam rangka menginginkan atau menghendaki perumusan kembali nilai-nilai. Atau, berorientasi pada norma umum atau kepercayaan umum yang menginginkan atau menghendaki perumusan kembali nilai-nilai. Bisa juga karena ledakan kebencian atau muncul dari kegalauan dan kepanikan perilaku yang dilandasi oleh suatu redefinisi umum terhadap fasilitas yang tersedia.
Sementara itu, teori Johan Galtung dapat menjelaskan kekerasan itu berdasarkan yang tampak di atas permukaan yaitu berbentuk perilaku fisik secara langsung seperti pembunuhan, pemukulan, intimidasi, dan penyiksaan. Juga kekerasan yang berada di bawah permukaan yang terdiri dari: 1) kekerasan struktur atau kekerasan yang melembaga yang terkait dengan konteks, sistem, dan strukturnya seperti diskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan, dan pelayanan kesehatan, globalisasi ekonomi, penyangkalan hak dan kemerdekaan, atau politik pemisahan (misalnya, politik Apartheid); dan 2) kekerasan yang bersumber dari sikap, nilai-nilai, dan perasaan seperti kebencian, ketakutan, ketidakpercayaan, rasisme, seksisme, atau ketidakmampuan bertoleransi.
ketidakadilan. Kekerasan ini merupakan gejala yang menimpa perorangan, kelompok, atau negara karena ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi. Kekerasan tahap ini akan mengakibatkan kondisi “sub-human” atau kondisi di bawah standar hidup layak sebagai manusia normal. Kondisi “sub-human” ini akan mengakibatkan pemberontakan di kalangan masyarakat sipil sebab dalam kondisi ini manusia mengalami tekanan psikologis, ketarasingan (alienasi), dehumanisasi martabat, atau tekanan struktural. Selanjutnya, kekerasan dapat muncul dalam bentuk represi penguasa (aparatur negara) terhadap rakyat. Kekerasan ini terjadi karena adanya perlawanan oleh kelompok pelaku kekerasan karena terjadinya ketidakadilan. Dengan demikian, terjadilah satu bentuk kekerasan yang disebut Camara dengan Spiral Kekerasan.
Teori spiral kekerasan ini diformulasikan oleh Dom Helder Camara darilogika
induktif-analitik. Kekuatan Dom Helder Camara terletak pada modus kelahiran teori itu yaitu berdasarkan observasi dan pengalaman langsung di lapangan sehingga fakta yang diperolehnya lebih lugas, aktual, dan sangat mudah dipahami.
Dalam teori spiral kekerasan Dom Helder Camara ini suatu kekerasan dapat dijelaskan berdasarkan tiga akar pelaku yaitu personal, institusional, dan struktural. Tiga akar pelaku kekerasan itu dapat dijelaskan lagi berdasarkan sifatnya atau fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil, dan represi negara. Ketiga sifat penyebab kekerasan ini sangat terkait satu sama lain dan dapat pula muncul secara beruntun atau susul-menyusul.
Rumusan Masalah
Dari uraian dalam poin latar belakang masalah di atas, tersimpul berbagai pertanyaan. Pertanyaannya inilah yang akan menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini. 1) Bagaimanakah bentuk atau variasi dan motivasi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok sipil politik di Yogyakarta ini sehingga dapat disimpulkan ke sebuah teori dan dasar kekerasan tertentu?; 2) Secara sosiologis, bagaimanakah bentuk atau pola-pola hubungan antarkelompok/individu dalam masyarakat di Yogyakarta sehingga menimbulkan kekerasan?; dan 3) Sejauh mana kekerasan yang dilakukan oleh kelompok sipil politik itu relevan dengan pemahaman mereka terhadap hukum dan Hak Asasi Manusia?
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metodehermenetik(tafsir). Karena menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman tentang makna atau nilai-nilai yang membentuk pengetahuan seorang pelaku kekerasan hingga ke sikap dan perilaku kesehariannya, maka metode penelitian yang paling tepat untuk menjawab semua
motivasi dan latar belakang kekerasan itu ialah metodehermeneutik.
Dalam metode hermeneutikini akan digunakan model penguraian
eksploratif-interpretatif, sementara dalam menganalisis dan menginterpretasi data akan
menggunakan caraverstehen.Verstehenialah upaya membentuk pengertian empatik
di balik tindakan kekerasan. Melalui caraverstehenini, setiap detil proses interpretasi data akan diperdalam dan lalu ditimbang dengan latar belakang budaya Yogyakarta serta akan dikonfrontasi dengan pengalaman atau hasil observasi langsung di lapangan. Jenis data yang akan dijadikan bahan dalam penelitian ini ialah data tertulis (primer)
berupa berita-berita di tiga suratkabar harian yang terbit di Yogyakarta (Kedaulatan
Rakyat, Bernas, dan Radar Jogja). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
juga dengan teknikwawancaradanpengamatan (observasi). Dengan demikian, selain
melakukan wawancara, peneliti juga secara khusus menjadi observer terhadap
sejumlah kekerasan yang terjadi di Yogyakarta.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kekerasan Normatif Berdimensi Politik
Berdasarkan pemberitaan harianKedaulatan Rakyat, Bernas,danRadar Jogya,
kekerasan yang bersifat horisontal yang berbau politik dan ideologis itu merupakan lingkaran konflik politik warisan Orde Baru karena ternyata melibatkan massa PPP, Partai Golkar, dan PDI-P.
Dalam hal ini, PPP Yogyakarta memakai nama laskar-laskar yang langsung berada di bawah Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), dan Partai Golkar memakai nama
Gerakan Pemuda Anti-Komunis (GEPAKO). Harian Kedaulatan Rakyat dan Bernas
beberapa kali melansir pernyataan Komandan GPK dan fungsionaris GEPAKO tentang sikap organisasi mereka yang antikiri atau anti komunisme.
Akan tetapi, dari beberapa investigasi dan diskusi terbuka dengan sejumlah aktivis GPK dan GEPAKO, tampak bahwa para “prajurit” GPK dan GEPAKO di lapangan sesungguhnya tidak begitu banyak paham tentang sejarah komunisme dan warisan
konflik politik antara Islam versus komunisme di Indonesia. Untuk menutupi
ketidaktahuan itu, maka GPK (termasuk beberapa Ormas Islam) selalu menghadapkan
Islam versus kiri atau komunisme secara normatif dan moralistik. Akibatnya, terjadi
ambiguitas di dalam tubuh GPK dan Ormas-ormas Islam itu sendiri karena kekerasan yang mereka lakukan terhadap kelompok yang mereka tuduh kiri atau komunis itu sendiri tidak mencerminkan moralitas yang Islami. Kenyataan ini juga sama dalam hal cara GPK dan beberapa Ormas Islam ketika melakukan tindakan polisionil berupa sweepingterhadap rental-rental VCD,Play Station, atau menyerang kelompok pekerja seks komersial (termasuk para waria dan gay).
Modus sweeping dengan kekerasan itu dilakukan pula oleh GEPAKO yang
Dari sejumlah isu yang diusung (seperti antikomunis atau antikiri, antimaksiat atau antipornografi, antisekuler, pro-syari’at Islam, pro-penegakan hukum dan norma-norma Islam), tampaknya belum ada kesamaan pada tujuan akhir yang sering dituduhkan oleh banyak orang yaitu tentang negara Islam. Hal ini terjadi karena masing-masing kelompok sesungguhnya mengusung kepentingan masing-masing-masing-masing berdasarkan afiliasi aliran politiknya. Di Yogyakarta, kekerasan yang dimunculkan oleh kelompok-kelompok Islam selalu berada dalam skala yang serba normatif, diwakili oleh organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas) Islam. Sedangkan kekerasan yang berbau normatif, tetapi dibungkus oleh kepentingan ekonomi dan supremasi partai politiknya kebanyakan dilakukan oleh elemen-elemen massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (P-Golkar).
Kekerasan dan Kinerja Polisi
Dari sejumlah liputan harian Kedaulatan Rakyat, Bernas, danRadar Jogya
juga memperlihatkan bagaimana kelompok pelaku kekerasan itu selalu mengusung slogan-slogan Islam baik secara simbolik dari cara mereka berpakaian atau alat-alat yang mereka gunakan, maupun secara langsung dari ucapan dan teriakan saat mereka melakukan aksi penyerangan.
Pada saat yang sama, aparat polisi ternyata banyak melakukan pembiaran (by
omis-sion) atas berbagai kekerasan yang timbul dari bentrok antara gerakan massa partai
politik dan gerakan massa mahasiswa atau kelompok miskin kota. Aparat polisi juga tidak menunjukkan profesionalitasnya dalam meredam atau mencegah gerakan
polisionil (swepping) yang dilakukan oleh massa sipil partai politik terhadap sejumlah
gerakan mahasiswa yang dianggap kiri, rental VCD, dan Play Station, serta para
pedagang buku yang dianggap menjual buku-buku kiri.
Kekerasan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia
Bila mencermati berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok massa terorganisasi yang terjadi di Yogyakarta antara Agustus 2000 hingga Agustus 2001 berdasarkan variasi dan motivasinya, baik berdasarkan sejumlah berita di harian Kedaulatan Rakyat, Bernas,danRadar Jogyamaupun berdasarkan investigasi, maka kekerasan itu sangat didominasi oleh intrik-intrik politik dan ideologi, walaupun isunya normatif.
Isu-isu syari’at Islam ternyata lebih banyak dijadikan alasan utama oleh kelompok aksi dari Ormas-ormas Islam seperti kelompok-kelompok remaja masjid atau kelompok-kelompok pengajian masjid. Berbagai manuver berupa kampanye antimaksiat pada kelompok masjid ini memang cukup dipengaruhi oleh faktor eksklusivisme beragama. Analisis sosial kelompok ini ternyata sangat lemah. Dibanding massa PPP, mereka tidak bisa memetakan secara akurat persoalan patologi sosial masyarakat Yogyakarta yang selalu beriring antara lemahnya kebijakan politik dan penegakan hukum serta tingginya tingkat kemiskinan dan ketimpangan sosial.
tampil dalam forum-forum diskusi baik sebagai pembicara atau nara sumber maupun sebagai partisan aktif. Justru di dalam forum diskusi atau seminar itulah mereka selalu mengklarifikasi dan menjelaskan bahwa gerakan mereka bukanlah sebagai gerakan preman atau geng. Bahkan, mereka lebih suka dikaitkan sebagai gerakan massa partainya. Pernyataan itu pernah dikemukakan oleh Imam Syafe’i dari GPK dalam pertemuan antara kelompok “kiri” dan “kanan” di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada bulan September 2000.
Hal yang sangat menarik justru terlihat pada tidak adanya korelasi yang positif antara ketidaktahuan pelaku kekerasan itu pada nilai-nilai hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari beberapa investigasi terbukti bahwa para pelaku sangat mengerti tentang hukum dan Hak Asasi Manusia. Bahkan, beberapa aktivis GPK yang berada di bawah payung PPP justru masih sekolah di Fakultas Hukum di beberapa kampus besar di Yogyakarta. Bahkan, sekelompok remaja masjid yang juga memiliki jaringan dengan
aktivis GPK, malahan melakukanpollingtentang penegakan hukum dan kinerja aparat
hukum di Yogyakarta.
Simpulan
Tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata itu merupakan perpaduan aksi politik dan kepentingan ekonomi dalam kondisi di mana pemerintah lokal dan pihak kepolisian tidak dapat memenuhi rasa adil dan rasa aman
rakyat banyak. Law enforcement yang buruk oleh kalangan eksekutif (terutama soal
kebijakan publik yang sensitif HAM), legislatif (terutama soal kepekaan dan keberpihakan pada kepentingan rakyat), dan yudikatif (terutama soal kinerja Polisi dan aparat hukum lainnya) juga menjadi penyebab terpenting bagi terjadinya pelanggaran hukum dan HAM secara umum sepanjang tahun 2000-2001.
Pustaka Acuan
Abdurrahman Wahid, dkk., (1998). Islam and Nonviolence. Terjemahan M. Taufiq
Rahman:Islam Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: LkiS.
Aderito de Jesus Soares, dkk., (1997).1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran
HAM di Indonesia, Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI).
Anonim, (2002). Peta Konflik Horisontal dan Resolusinya di Yogyakarta (Dokumen
Riset Sementara), Yogyakarta: Tim Peneliti Aliansi Yogyakarta untuk Penegakan Hak Asasi Manusia (Ayo-HAM).
Anonim, (1998).Deklarasi Kairo, Hak Asasi Manusia dalam Islam. Terjemahan ELSAM.
Anonim, (1998).Fact Sheet. Terjemahan Komisi Nasional HAM dan The British Coun-cil:Lembar Fakta Hak Asasi Manusia. Jakarta: Komisi Nasional HAM dan The British Council.
Anonim, (2001-2002).Bahan Bacaan Training Polisi, Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII).
Anonim, (1998).Human Rights Manual, All Human Rights for All, Fiftieth Anniversary
of The Universal Declaration of Human Rights 1948-1998. Australia: Departemen of Foreign Affairs and Trade Australia.
Anonim, (1998).Sketsa HAM Jawa Timur 1998. Resume Tahunan. Surabaya: YLBHI
LBH Surabaya.
Artidjo Alkostar, (2000).Negara Tanpa Hukum, Catatan Pengacara Jalanan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar dan Pusat Studi HAM UII.
Baehr, Peter, dkk., (1997).Major International Human Rights Instruments. Terjemahan
Yayasan Obor Indonesia:Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Camara, Dom Helder, (2000). Spiral of Violence Sheed and Ward. Terjemahan
Komunitas Apiru: Spiral Kekerasan. Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka
Pelajar.
Erich Fromm, (2001).The Anatomy of Human Destructiveness. Terjemahan Imam
Muttaqin: Akar Kekerasan, Analisis Sosio-psikologis atas Watak Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fisher, Simon, dkk., (2001). Working with Conflict: Skills and Strategies for Action.
Terjemahan S.N. Kartikasari:Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi untuk
Bertindak. Jakarta: The British Council, Zed Books, dan Responding to Conflict.
Galtung, Johan, (1990). “Cultural Violence”, dalam Journal of Peace Research
Vol-ume 27 Number 3.
_____, (2002). “Kekerasan Kultural”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 9 Tahun III,
Yogyakarta: INSIST Press.
Heffelbower, Duane Ruth, (2001). “Reconciling Injustices A Process for Indonesia.” Islamic Millenium Journal Volume I/Number 1/September-November 2001.
Karim, Abdul Gaffar, dkk., (2000). Melucuti Serdadu Sipil Mengembangkan Wacana
Layla S. Mirza (Eds.), (2000).Politik dan Radio, Buku Pegangan bagi Jurnalis Radio, Jakarta: Freidrich Naumann Stiftung.
Mohtar Mas’oed, dkk., (1997). Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu.
Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM dan Departemen Agama R.I.
Mubarok, Ahmad, (2001). “Reconciliation: The Quranic Perspective.”Islamic Millenium
Journal Volume I/Number 1/September-November 2001.
Rahardjo, Satjipto, dan Anton Tabah, (1993). Polisi Pelaku dan Pemikir, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Sumartana, Th., dkk., (2001).Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia,
Yogyakarta: Interfidei.
Sarna, Shirley, (1998). A Springboard for a More Humane World: The National and
International Status of Human Rights and Freedoms. Information Document.
Terjemahan Wahyu Harjanto:Hak Asasi Manusia dan Kebebasan, Sebuah Batu
Loncatan ke Arah Dunia yang Lebih Manusiawi. Pengakuan Nasional dan Internasional tentang Hak Asasi Manusia dan Kebebasan.Dokumen Publikasi. Quebec: Commission des droiots de la personne Et des droits de la jeunesse.
Schulte-Nordholt, Henk, (2002). “Asal-usul Kekerasan”, dalamJurnal Wacana, Edisi 9
Tahun III, Yogyakarta: INSIST Press.
Tim Redaksi Tanwirul Afkar Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sokorejo,
Situbondo, (2000). Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan. Yogyakarta:
LKiS.
Veeger, K.J., 1990, Realitas Sosial, Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan
Lampiran:
TABEL 1
Jumlah Kekerasan terhadap Aktivis Mahasiswa/Pelajar, Rental VCD dan Play Station, Masyarakat/Tempat Umum, dan Lain-lain Berdasarkan Berita di Harian
Kedaulatan Rakyat, Bernas, danRadar Jogya Agustus 2000 – Agustus 2001
Korban Pelaku Jumlah Kejadian
dalam Setahun
Modus Kekerasan
Aktivis Gerakan Mahasiswa/
Pelajar
- Kelompok massa tak
dikenal atau
17 kasus - Penyerangan/
pengeroyokan/pemukulan
- Pengrusakan; - Penyiksaan/
penganiayaan;
- Ancaman.
Rental VCD dan Play Station
Massa tak dikenal 4 kasus Men-sweepingVCD porno atau jenis hiburan yang merusak
Masyarakat Umum/Kantor/
Tempat Publik
- Penelpon gelap tak
dikenal;
- Aparat polisi; - Massa partai politik; - Massa geng/ massa
umum.
47 kasus khusus teror dan ancaman bom; dan 9 kasus kekerasan biasa
- Ancaman/teror dengan
Aktivis LSM - Massa partai politik;
- Massa tak dikenal.
2 kasus Menolak aktivis yang mendukung perbuatan
4 kasus - Pengrusakan atribut partai politik;
- Penanganan massa
dengan cara represif.
Wartawan - Massa beratribut
ormas Islam;
- Aparat polisi.
2 kasus Pemukulan dan pelecehan profesi
Gelandangan dan Pengemis/
Pedagang
- Massa partai dan
ormas Islam (khusus untuk kasus pedagang kolak bulan Ramadhan);
- Polisi.
2 kasus - Penyerangan dan
ancaman;
- Penggusuran atau
penggarukan.
Aparat Polisi - Pelajar;
- Massa tak dikenal; - Massa partai politik.
4 kasus Melecehkan atau melawan dan menghalangi tugas polisi
Awak Minibus Aparat polisi 2 kasus Pungutan liar dengan paksa atau pemalakan
Sumber: Data primer dari Harian Kedaulatan Rakyat, Bernas,danRadar Yogya