• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802013108 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802013108 Full text"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH

RIZKY PALANTIKA NAWASTUTI 80 2013 108

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

PERAN IBU DALAM MELATIH KEMAMPUAN BINA DIRI

REMAJA PUTRI

LOW VISION

PADA MASA PUBERTAS

Rizky Palantika Nawastuti Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana peran ibu dalam

melatih kemampuan bina diri remaja putri low vision pada masa pubertas.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus,

yang digunakan untuk mendalami bagaimana ibu yang mempunyai peranan

penting dalam keluarga dapat menjadi teladan serta melatih kemampuan yang

dibutuhkan oleh anaknya, terlebih anak dengan kebutuhan khusus. Subjek

penelitian ini adalah seorang ibu rumah tangga berusia 40 tahun yang memiliki

anak remaja putri low vision dan telah mengalami masa pubertas. Dalam

penelitian ini ditemukan bahwa peran ibu dalam melatih remaja putri low vision

pada masa pubertas memberi pengaruh yang besar dalam perkembangan seorang

anak terutama dalam hal kemandirian. Pengaruh yang besar dari peran ibu

tersebut timbul dari kedekatann emosional yang dimiliki ibu dengan anak,

kenyamanan yang dirasakan anak terhadap ibunya. Pemahaman ibu terhadap

karakteristik yang dimiliki anaknya membuat tingkat keberhasilan dalam melatih

anak lebih mandiri semakin meningkat.

(9)

Abstract

The purpose of this study is to describe how the role of mothers in activity daily

living adolescent low vision girls at puberty. This study uses qualitative method

with case study approach, which is used to explore how mothers who have an

important role in the family can be an example and train the skills required by

their children, especially children with special needs. The subject of this study is

40 year old housewife who has a low vision young daughter and has undergone

puberty. In this study found that the role of mothers in training young women low

vision during puberty gives a big influence in the development of a child,

especially in terms of independence. The great influence of the mother's role

arises from the emotional closeness that the mother has with the child, the comfort

that the child feels toward her mother. Understanding the mother to the

characteristics of his child to make the success rate in training children more

independently increased.

Keywords: mother role, independence, low vision young women,

(10)

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa peralihan yaitu peralihan dari masa

kanak-kanak ke masa remaja awal, dan peralihan dari masa remaja akhir ke

masa dewasa awal. Tugas perkembangan remaja menurut Hurlock (1999)

yaitu menerima kondisi fisik dan menggunakan tubuh secara efektif, dapat

menjalin hubungan yang baru dan lebih matang baik dengan teman sejenis

atau lawan jenis, mempersiapkan karir dan kemandirian ekonomi, dan juga

memiliki nilai-nilai yang digunakan sebagai pedoman hidup.

Monks (2001), menyatakan masa remaja merupakan periode peralihan,

peralihan ini lebih dirasakan pada masa awal remaja. Hurlock (1999) lebih

lanjut mengungkapkan juga bahwa pada masa ini, remaja mengalami banyak

perubahan fisik maupun mental. Semua perubahan dan perkembangan

membutuhkan penyesuaian mental, sikap, nilai, dan pendapat yang baru,

perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini antara lain meningginya

emosi yang pada masa awal remaja biasanya terjadi lebih cepat. Batubara

(2010) mengungkapkan proses menjadi dewasa akan dilalui setiap anak dalam

pertumbuhannya, meliputi berbagai aspek di antaranya aspek hormonal, aspek

fisik, dan aspek psikososial. Tanpa terkecuali bagi remaja berkebutuhan

khusus, dalam hal ini remaja putri yang mengalami low vision.

Widjajatin (1995) mengatakan bahwa low vision adalah kecacatan

visual yang jelas, tetapi masih memiliki sisa penglihatan yang dapat

digunakan. Anak dengan gangguan low vision juga dapat membaca huruf

(11)

memiliki sisa penglihatan, mereka inilah yang dikategorikan sebagai

anak-anak low vision. Low vision merupakan salah satu bentuk gangguan

penglihatan yang tidak dapat dibantu dengan menggunakan kacamata. Alat

bantu yang biasanya digunakan adalah kaca pembesar. Jarak pandang

maksimal untuk penyandang low vision adalah 6 meter dengan luas pandang

maksimal 20 derajat.

Menurut Pusat Pelayanan low vision Persatuan Tunanetra Indonesia

(2008), terdapat beberapa ciri umum penyandang low vision, yakni menulis

dan membaca dalam jarak dekat, hanya dapat membaca huruf berukuran

besar, terlihat tidak menatap lurus kedepan ketika memandang sesuatu,

kondisi mata terlihat berkabut atau berwarna putih pada bagian luar.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2006) menyatakan ciri low vision yaitu

lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari dan pernah menjalani

operasi mata dan atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi masih tidak

dapat melihat dengan jelas. Remaja normal pada umumnya mendapatkan

informasi dari indera penglihatan, sedangkan pada tunanetra informasi

diterima melalui indera lain, antara lain indera penciuman, peraba, dan perasa.

Masih terbatasnya media informasi untuk remaja tunanetra,

menyebabkan anak dengan tunanetra kesulitan mengakses atau mendapat

sumber informasi. Penelitian Qorizky (2009) menemukan bahwa individu

yang menyandang low vision sejak kecil mengalami kesulitan saat mengikuti

pelajaran di sekolah umum. Bagi individu yang menyandang low vision sejak

(12)

3

bepergian seorang diri. Mereka malu dan takut ditertawakan orang lain apabila

dalam perjalanannya ia terjatuh atau membentur benda di sekitarnya. Anak

atau remaja dengan tuna netra memiliki sikap tidak berdaya, sifat

ketergantungan, tingkat kemampuan rendah dalam hal orientasi waktu,

resisten terhadap perubahan, cenderung kaku dan cepat menarik tangan saat

bersalaman, serta mudah mengalami kebingungan saat berada di lingkungan

baru yang tidak familiar (Somantri, 2007).

Remaja putri low vision memiliki perilaku yang berbeda dengan remaja

putri normal lainnya dalam menghadapi menstruasi karena keterbatasan yag

dimilikinya. Penelitian Hartiningsih (2014) menunjukkan bahwa pengalaman

remaja putri tunanetra dalam menghadapi menstruasi hampir sama dengan

pengalaman remaja putri normal pada umumnya kecuali pada praktik

kebersihan menstruasi yang kurang, dimana ketergantungan pada orang lain

dalam hal deteksi kebersihan diri membuat mereka menggunakan indera

penciuman untuk mengetahui tanda datangnya menstruasi. Kurangnya

informasi juga terjadi pada remaja putri low vision dalam masa pubertas.

Masalah fisik yang mungkin timbul dari kurangnya pengetahuan remaja

tentang menstruasi adalah kurangnya personal hygiene yang beresiko pada

terjadinya infeksi saluran kemih yang merupakan faktor predisposisi

terjadinya gagal ginjal kronik dan hipertensi (Proverawati & Misaroh, 2009).

Pada masa pubertas anak dengan gangguan low vision khususnya bagi remaja

(13)

keterbatasan penglihatannya anak low vision kurang memahami secara nyata

bagian tubuh mana yang harus ditutupi (Siti Mardiyah, 2011)

Menurut Hurlock (1980) pubertas berasal dari bahasa latin yang berarti

“usia kedewasaan”. Perubahan fisik daripada perilaku yang terjadi pada saat

individu secara seksual matang dan mampu memberikan keturunan. Jadi

pubertas (puberty) adalah perubahan cepat pada kematangan fisik yang

meliputi perubahan tubuh dan hormonal yang terjadi selama remaja awal.

Penelitian Hapsari (dalam Hartiningsih, 2014) pada enam remaja putri normal

yang duduk di bangku sekolah dasar, didapatkan hasil bahwa partisipan

mendapat sumber informasi tentang menstruasi antara lain dari buku, teman,

ibu, dan lembaga pelayanan kesehatan. Jenis informasi yang mereka butuhkan

tentang menstruasi adalah tanda dan gejala, frekuensi menstruasi, makanan

yang harus dimakan selama menstruasi, hal-hal yang tidak boleh dilakukan

selama menstruasi, dan bagaimana menghilangkan bau darah menstruasi.

Berdasarkan hasil penelitian Nagar dan Aimol (2010) tentang pengetahuan

remaja Meghalaya (India) tentang menstruasi menunjukkan bahwa 50%

pengetahuan tentang menstruasi diperoleh remaja dari teman, 36%

pengetahuan tentang menstruasi diperoleh dari ibu, dan 19% diperoleh dari

keluarga terdekat.

Peran orang tua terutama ibu dalam perkembangan kesehatan reproduksi

remaja menjadi hal yang penting untuk bisa diketahui dan bisa menjadi

penambahan wawasan tersendiri. Ibu juga memiliki peran yang besar dalam

(14)

5

Menurut Arwanti (2009), ibu memiliki tugas sebagai berikut: a) Ibu sebagai

pendamping suami, b) Ibu sebagai pengatur rumah tangga, c) Ibu sebagai

penerus keturunan, d) Ibu sebagai pembimbing anak, e) Ibu sebagai pelaksana

kegiatan agama.

Remaja memerlukan dukungan, perhatian, pengertian serta dorongan

untuk bisa menentukan kepribadian dan membantu untuk menjelaskan

perubahan-perubahan yang akan dialaminya. Permasalahan pubertas menjadi

hal yang tabu dibicarakan anak-anak kepada orang lain, perlu dilakukan

pendekatan khusus agar anak merasa nyaman untuk bicara masalah pubertas

pada orangtuanya. Pendampingan orangtua, terutama ibu dalam mengawasi

masa pubertas anak bertujuan untuk menjaga perilaku menyimpang dan bisa

mengarahkan anak-anak yang beranjak remaja dalam menyikapi setiap

perubahan semasa pubertas. Banyak perilaku remaja yang menyimpang karena

belum memahami apa itu pubertas dan bagaimana cara menghadapi dan

mengendalikan setiap perubahan dan gejolak yang melanda semua remaja

(Hartiningsih, 2014).

Peran ibu dalam kegiatan pendampingan belajar memiliki peran yang

sentral. Hal tersebut disebabkan selain ibu sebagai seseorang yang dalam

kesehariannya memiliki kedekatan emosional dengan anak, pendampingan

juga merupakan salah satu pondasi vital bagi kemajuan anak secara umum,

bukan hanya pada segi akademik saja, lebih dari itu aspek afektif, dan konatif

dapat diapresiasikan oleh seorang ibu kepada anak pada saat pendampingan

(15)

Selain itu, ibu juga berperan dalam melatih anak dalam pengembangan diri

atau bina diri. Pengembangan diri (self care skills) menurut Mumpuniarti

(2007) merupakan suatu program yang dipersiapkan untuk menolong diri,

merawat diri, dan mengurus diri pada anak tunagrahita yang berkaitan dengan

kebutuhannya. Program pengembangan diri bagi siswa tunanetra sama seperti

tunagrahita, siswa tunanetra juga membutuhkan keterampilan dalam

melakukan aktivitas menolong diri, merawat diri, dan mengurus diri sendiri.

Kemampuan pengembangan diri siswa tunanetra sangat tertinggal. Siswa tidak

terbiasa melakukan kegiatan pengembangan diri khususnya kebersihan badan

dengan prosedur yang benar.

Keterampilan menolong diri sendiri yang perlu dilatihkan pada tunanetra

(Purwaka Hadi, 2005) adalah kebersihan badan, meliputi: mandi, menggosok

gigi, merawat rambut, menggunakan make up. Widati (2011) lebih lanjut

mengungkapkan bagi anak tunagrahita, tunanetra, dan tunadaksa keterampilan

bina diri menjadi suatu keharusan. Salah satu aspek dalam bina diri bagi anak

tuna netra yaitu aspek personal care skill. Aspek ini mencakup kebiasaan

pribadi seperti makan, ke toilet, mandi, menggosok gigi, menggunakan

deodoran, memotong kuku, merawat rambut, berhias (gromming), merawat

anak dan bayi. Mengatur rumah tangga, seperti mengatur, membersihkan,

memelihara rumah dan halaman, serta membeli, memelihara dan menyimpan

pakaian (mencuci, menjemur, menyetrika, melipat, dan menggantung),

(16)

7

berikutnya termasuk memilih baju yang tepat (keserasian berkaitan dengan

waktu).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Uun (2016) pada siswa

tunanetra kelas III SLB A Yaketunis Yogyakarta menggunakan metode

praktik ditemukan bahwa siswa memiliki kemampuan yang rendah dalam

menjaga kebersihan badan terutama dalam melakukan kegiatan mandi,

menggosok gigi, dan mencuci rambut. Kenyataan di lapangan metode praktik

sudah digunakan namun belum berhasil secara optimal. Hal tersebut

dikarenakan guru lebih sering menggunakan metode simulasi, dan

demonstrasi. Guru juga ditemukan belum terlalu memahami prosedur dalam

mengajarkan kemampuan bina diri serta kurang sepenuhnya mengerti apa

yang menjadi kesulitan setiap siswa dalam memahami prosedur metode

praktik. Sarana prasarana dalam pembelajaran praktik belum sesuai dengan

kondisi dan kebutuhan siswa tunanetra. Dalam penelitian ini dihasilkan bahwa

praktik dapat meningkatkan kemampuan pengembangan diri pada siswa

tunanetra kelas III SLB A Yaketunis Yogyakarta.

Pembelajaran di lingkungan perguruan atau yang biasa dikenal dengan

istilah sekolah memang cukup memiliki andil dalam pendidikan anak. Namun,

Soemiarti (dalam Jaelani, 2014) mengungkapkan pada kenyataannya,

lingkungan rumah tangga (ayah-ibu) dianggap sebagai pusat kegiatan bagi

para ibu dalam mendidik anak, ibu mempunyai tanggung jawab yang terbesar

dalam pendidikan anak. Ibu adalah orang yang mendorong anaknya untuk

(17)

Jaelani, 2014) mengungkapkan bahwa alam keluarga, adalah: (a) alam

pendidikan yang permulaan, pendidikan pertama kalinya bersifat pendidikan

dari orang tua yang berkedudukan sebagai guru (penuntut), sebagai pengajar

dan sebagai pemimpin, (b) di dalam keluarga itu anak-anak saling mendidik,

(c) di dalam keluarga anak-anak berkesempatan mendidik diri sendiri, karena

di dalam hidup keluarga itu mereka tidak berbeda kedudukannya, (d) di dalam

keluarga orang tua sebagai guru dan penuntun, sebagai pengajar, sebagai

pemberi contoh dan teladan bagi anak-anak.

Berdasarkan uraian diatas yang menunjukkan bahwa lingkungan

keluarga yang dalam hal ini ibu bertindak sebagai guru dan teladan bagi

anak-anak, terlebih berkaitan dengan pubertas yang dialami remaja putri low vision,

penulis tertarik untuk melihat bagaimana peran ibu dalam melatih kemampuan

bina diri remaja putri low vision pada masa pubertas.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif

dengan menggunakan metode studi kasus. Menurut Cresswell (dalam

Herdiansyah, 2015) menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu model yang

menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang saling terkait satu sama

lain” (bounded system) pada beberapa hal dalam satu kasus secara mendetail,

disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam

(18)

9

Pendekatan ini digunakan untuk mendalami bagaimana ibu yang

mempunyai peranan penting dalam keluarga dapat menjadi teladan serta

melatih kemampuan yang dibutuhkan oleh anaknya, terlebih anak dengan

kebutuhan khusus.

Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini teknik penentuan subjek menggunakan purposive

sampling dengan kriteria seorang ibu yang memiliki anak remaja putri dengan

kisaran usia 11-15 tahun dan mengalami low vision serta sudah mengalami

pubertas yang ditandai dengan terjadinya menstruasi.

Subjek adalah seorang ibu rumah tangga berinisal S berusia 40 tahun.

Seorang yang memiliki penglihatan normal dan menikah dengan bapak BS

berusia 39 tahun yang menyandang tuna netra sejak lahir. Mereka dikaruniai

seorang anak perempuan dengan inisial JS berusia 14 tahun yang saat ini

menempuh pendidikan luar biasa bagian A setara tingkat SMP di kota Klaten

karena mengalami low vision sejak lahir. Semenjak kecil hingga sekarang Ibu

S dan Bapak BS memutuskan untuk mengasuh secara bersama putri

tunggalnya tersebut. Ibu S memiliki warung soto di pekarangan depan

rumahnya, sementara suaminya membuka praktik pijat tuna netra di rumahnya

yang juga menerima panggilan.

Ibu S mengungkapkan bahwa low vision yang dialami putrinya

merupakan faktor genetika yang diturunkan dari keturunan Bapak BS. Putri

subjek mengungkapkan low vision yang dialaminya saat ini sudah lebih baik

(19)

bayangan benda sejauh 15 sampai 20 meter, namun ia tidak tahu apa ataupun

siapa yang ada di tempat tersebut. Akan tetapi apabila mendekat pada jarak 2

sampai 3 meter barulah putri subjek mengetahuinya. Ketika membaca buku

yang memiliki ukuran tulisan kecil, putri subjek masih mampu membaca

tanpa alat bantu pada jarak 5cm. Dalam keseharian putri subjek beraktivitas

tanpa menggunakan alat bantu melihat ataupun berjalan, semuanya dilakukan

dengan mengandalkan sisa pengelihatan yang dimilikinya.

Sejak sebelum menikah Ibu S memang telah terbiasa dengan

lingkungan orang tuna netra sehingga ketika memutuskan untuk menikah

dengan Bapak BS yang menyandang tuna netra Ibu S tidak merasa kerepotan.

Ibu S sempat bekerja di PERTUNI yaitu persatuan tuna netra Indonesia di

Jakarta sebagai sekretaris bendahara. Meskipun hanya bekerja selama satu

tahun saja di PERTUNI, banyak hal yang Ibu S pelajari berkaitan dengan

kehidupan tuna netra mulai dari cara berinteraksi dengan mereka hingga cara

mengasuh anak.

Di rumah tempat keluarga ini tinggal juga terdapat beberapa saudara

yang tinggal bersamaan dengan mereka dan juga mengalami tuna netra.

Tetangga sekitar yang sudah paham akan hal tersebut senantiasa mendukung

dan mengayomi keluarga ini.

Metode Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara semi-terstruktur. Bentuk ini memungkinkan peneliti dan subjek

(20)

11

sesuai dengan pernyataan atau jawaban dari subjek. Hal ini juga

memungkinkan peneliti untuk menggali bagian yang menarik dan penting

yang muncul dari pernyataan subjek (Creswell, 2015).

Analisis Data

Proses analisis data diawali dengan melakukan pengetikan data yang

telah diperoleh dari lapangan. Selanjutnya peneliti menyoroti berbagai

pernyataan penting serta kalimat yang menyediakan pemahaman tentang

bagaimana subjek melakukan peran dari fenomena tersebut. Kemudian

peneliti memberikan kode pada transkrip wawancara dan melakukan

kategorisasi terhadap data yang telah dikumpulkan, lalu memberikan istilah

khusus guna mempermudah proses analisa. Peneliti kemudian

mendeskripsikan data yang telah dianalisa untuk selanjutnya diinterpretasikan

menjadi deskripsi gabungan yang mempresentasikan esensi dari fenomena.

HASIL

Berdasarkan hasil analisis data, muncul beberapa tema sebagai berikut:

peran pengasuhan dan pemeliharaan, peran pendampingan pertumbuhan dan

perkembangan, serta peran pemberian pengertian, dukungan dan dorongan.

Peran Pengasuhan dan Pemeliharaan

Subjek yang telah memiliki banyak pengalaman serta pengetahuan

mengenai bagaimana kehidupan penyandang tuna netra semenjak sebelum

(21)

tindakan tepat yang harus dilakukan guna mengusahakan kesembuhan

putrinya:

Eee untuk pertama kali yaa pertama shock kan ya pertama, kan saya gak tahu kalo memang anak saya bisa begitu,tadinya kan saya pikir emang normal, saya gak tahu kalo dari gen suami saya. Waktu itu lahir J di Depok Jakarta, terus saya konsultasi ke dokter, kalo kata dokter itu harus dioperasi, waktu itu dokter bilang satu harus ke rumah sakit daerah bu, gak bisa disini, waktu itu J mulai kontrol usia tujuh tahun, tujuh tahun . .kontrol ke rumah sakit daerah di Tegalyoso,di Tegalyoso setelah diperiksa gak ada alatnya,langsung dirujuk ke rumah sakit pusat Jogja . .Sarjito. Di Sarjito terus dicek dari awal sampai akhirnya dokter memutuskan ini harus dioperasi pasang lensa. Sampai a khirnya sampai dia operasi lima kali.(S1,2-14)

Subjek sempat tidak percaya dengan apa yang dialami putrinya, namun

keadaan tersebut tidak membuat subjek mengabaikan perannya sebagai seorang

ibu dan tetap memperjuangkan kesembuhan putrinya. Berbagai usaha dilakukan

subjek bersama suaminya, sekalipun harus melewati penantian dan menghadapi

resiko mengalami masalah yang sama di kemudian hari :

(22)

13

Tidak berhenti sampai disitu, subjek juga melakukan pengawasan dan

pendampingan dalam keseharian putrinya berkaitan dengan orientasi lingkungan

dan perilaku. Dalam lingkungan baru subjek mengambil peran untuk

memperkenalkan segala sesuatu yang ada pada lingkungan tersebut kepada

putrinya. Hal ini dilakukan agar putrinya dapat memiliki orientasi yang baik

terhadap lingkungan dimana putrinya berada. Perlakuan tersebut dipelajari subjek

melalui pengalamannya bersosialisasi dengan tuna netra. Ketika bergaul dengan

para penyandang tuna netra subjek banyak melakukan observasi langsung dan

mendengarkan setiap pembicaraan serta pengalaman para penyandang tuna netra

tersebut, sehingga ketika memutuskan untuk berumah tangga dengan seorang

penyandang tuna netra dan juga memiliki anak dengan gangguan penglihatan low

vision subjek tidak terlalu merasa kesulitan.

Gangguan penglihatan yang dialami putrinya membuat subjek harus lebih

ekstra dalam mengasuh dan merawat putrinya dalam berbagai aspek baik

kehidupan sehari-hari, pengenalan lingkungan baru, dan terus mencari informasi

berkaitan dengan kondisi yang dialami putrinya :

(23)

tanya,J tanya saya kasih tahu. Dek disana ada ini . .ada ini . .gitu(S1,38-40)

kalo dari waktu dia masih bayi . .anak-anak . .TK gitu main bergaul sama temen-temennya, main sepeda, main petak umpet,gitu yang main. Tapi setelah masuk asrama,anu agak kaya minder,mungkin ngerasa kok ternyata saya seperti ini,tapi kami orangtua tetep suport, ayo main sama temen-temen gitu.Karena kalo . .jadi kita orang tuanya tetep anu tetep apa ya?istilah.e ngojok-ojoki gitu hlo, tetep ayo gek maen . .maen gitu hlo,jadi kalo gitu baru main sama temennya. . . (S1,44-49)

Salah satu aspek dalam kemampuan bina diri bagi anak berkebutuhan

khusus yaitu personal care skill yang berkaitan dengan bagaimana subjek dapat

melatih putrinya untuk mampu melakukan aktivitas pribadi dan mampu mengurus

urusan rumah tangga. Kemampuan tersebut diajarkan subjek kepada putrinya

sejak usia sekolah, subjek mengajarkan mulai dari memilih pakaian yang pantas

dipakai, mandi, makan, dan berhias diri. Dalam memilih pakaian subjek

membebaskan putrinya memilih pakaian yang akan ia kenakan, namun apabila

dirasa kurang pantas subjek kemudian memberitahukan kepada putrinya dan

mengarahkan apa dan bagaimana seharusnya.

Selain itu subjek juga melatih putrinya untuk melakukan kegiatan rumah

seperti membantu mencuci piring, memasak, serta membersihkan rumah. Sejak

dini subjek mengajak putrinya untuk membantu pekerjaan rumah dan meminta

putrinya mencoba melakukan seperti apa yang subjek lakukan.

(24)

15

Gambaran peran pendampingan pertumbuhan dan perkembangan dapat

dilihat saat putri subjek memasuki usia pubertas, subjek banyak memberikan

pendampingan berupa informasi dan batasan yang perlu diketahui dalam

perubahan yang dialami. Batasan berupa larangan bagi orang lain untuk

menyentuh bagian tubuhnya menjadi sebuah informasi yang dianggap penting

namun masih sesuai usia dan pemahaman putrinya:

. . .cuma dia nanya kok begini ya mah,kaya waktu pertama kali keluar payudara, kok nen-nen J gedhe ya mah? Emang J udah gedhe. Terus kaya waktu dia mens,ya pertanyaan umum lah bagi anak-anak. (S1,60-62)

. . .jadi begitu dia akhil balik, mens itu, saya langsung ngasih tahu, J kan sekarang udah gedhe . .nanti kalo misalkan deket sama cowok kalo misalnya dipegang-pegang jangan mau. Tetep ya saya ngasih pengertiannya masih dibatas ambangnya remaja yang gak terlalu jauh sekali sihh, soalnya kan belum waktunya. Masih yaa sebatas usia dia lah.(S1,71-74)

Pada saat memasuki usia pubertas dan putri subjek telah mendapatkan

mestruasi, subjek melatih putrinya untuk bisa memakai dan mengganti pembalut

sendiri, mencuci pakaian dalam yang kotor sendiri dengan mempraktikkan secara

(25)

melakukannya sendiri, serta memberikan pengertian dan informasi tentang apa

yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh putrinya:

Iya . .jadi waktu pas mens pertama kali kan belum pernah kenal pembalut itu,dikasih tau cara pakainya, ditempel dicelana dulu,terus cara cucinya . .(S2,383-384)

Iya terus cara pasangnya . .cara cucinya . .pakai sabun ini. Kadang kan . .kok ini gak bisa ilang ya mah? Tetep sepengetahuan dia kan hanya biasanya pake rinso, tapi kok pake detergen gak bisa ilang ya mah? Karena ini darah emang susah ilang,harus pake sabun colek itu hlo, pake sunlight atau pake sabun batangan, tau dia sekarang.(S2,388-391)

Interpersonal competance skill merupakan kemampuan dalam

memperkenalkan diri, berteman, berkomunikasi, serta bertanggung jawab. Subjek

dalam hal ini menunjukkan perannya dengan mendorong putrinya untuk berbaur

dan bergaul dengan teman sebayanya yang lain, mendorong putrinya untuk ikut

dalam berbagai pentas dan lomba sekalipun belum dapat meraih prestasi, namun

subjek selalu mendukung setiap minat putrinya. Berkaitan dengan tanggung

jawab, subjek melatih putrinya semenjak dini untuk merawat dan mengembalikan

setiap barang yang digunakannya serta menerapkan sistim punishment untuk

setiap perilaku yang menyimpang:

(26)

17

Ketika putrinya berhadapan dengan orang lain, subjek tak lupa

memberikan nilai-nilai dan ajaran tentang kebaikan yang harus putrinya lakukan

seperti mengekspresikan perasaannya secara tepat kepada orang lain tanpa harus

menyinggung perasaan orang lain:

. . .ya dia bilang terimakasih gitu, cuman nanti disimpen gitu kalo . .emang gak digunakan kalo dia gak seneng gitu,biasanya gitu.Tetep bisa menghargai pemberian orang gitu. Karena dari kecil saya didik apapun yang dikasih orang kamu suka gak suka harus terima,jadi kita harus menunjukkan baik dihadapkan orang itu, jangan karena gak suka terus kamu cemberut itu gak boleh . .gitu.(S1,164-168)

Nilai-nilai agama menjadi fondasi utama yang ditekankan subjek dalam

kehidupan putrinya. Subjek selalu mendukung putrinya untuk mengikuti kegiatan

yang berkaitan dengan keagamaan guna membekali putrinya di masa yang akan

datang:

kalo untuk selama ini yang saya tanamkan hanya di agama. Agama nomor satu yang lain belakangan. Pokok.e selama ini saya tekankan terus. Karena dari aga ma itu kan bisa mencakup ke semua.Dia juga sering ikut kebaktian remaja kaya misalnya di Islam kaya pengajian itu kan otomatis pendetanya atau ustadnya bercerita kan?nhah dari situ kan dia juga udah tau, apa yang harus dilakukan remaja itu seharusnya yang boleh yang enggak itu mana. Agama yang saya tanamkan.(S1,263-267)

Peran Pemberian Pengertian, Dukungan, dan Dorongan

Ketika putri subjek merasa tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya, subjek

(27)

kondisi yang bagi putrinya tidak nyaman serta memberikan solusi konkret yang

mudah dimengerti oleh putrinya.

Iya kalo J emang suka panik sama brubah kalo gendut . .(S1,79)

Kalo emang tubuhnya agak gedhe anu paling repot,badanku gemuk ya mah . .gitu..paling . .emang hanya satu itu. Terus kalo ditanya J gemuk gak ya mah?ya gak gitu . .emang paling heboh ee kalo gemuk gitu. Hanya satu itu aja(S1,81-83)

Menjelaskannya yaa . . paling anuu suruh olahraga,terus makan . .kan suka ngemil,dikurangi ngemilnya . .jadi program diet juga. Kemarin waktu . .sempet dia sampe 62 itu. Sampe saya bilang dek gak usah gendut-gendut, nanti kalo gemuk-gemuk kamu gak bisa lari hlo.(S1,85-87)

kok gak bisa kenapa ya?tapi terus diulang lagi. .dicoba lagi?(S1,159)

Semenjak kecil subjek memutuskan untuk mengasuh sendiri putrinya

bersama dengan sang suami yang sampai saat ini bekerja sebagai tukang pijat

panggilan dan juga membuka praktik di rumah. Sejak dini subjek selalu

mengajarkan kepada putrinya hidup mandiri ditengah keterbatasan yang dimiliki.

Sejak kecil pun subjek mendorong putrinya untuk berbaur dan bergaul dengan

teman sebayanya yang lain. Meskipun setelah memasuki usia sekolah dan masuk

asrama putri subjek sempat rendah diri dengan kekurangannya, namun subjek

selalu memberikan pemahaman dan pengertian kepada putrinya bahwa dibalik

kekurangan yang dimiliki putrinya tetap ada kelebihan yang ada dalam diri

putrinya yang tidak dimiliki oleh orang lain. Pemahaman yang demikian cukup

efektif digunakan subjek untuk menumbuhkan kembali kepercayaan diri putrinya.

(28)

19

kan tau ya,terus tanya . .biasanya bapaknya itu kenapa sih gtu, dideketin, suka kadang ngomong.(S1,93-95)

Biasanya ya seputar masalah sekolah,sama temen-temennya,gak lebih dari itu,pelajaran . .gitu aja(S1,97)

Suka . .kaya pertama kali dia masuk asrama kan suka digalakin sma temennya, nha dari situ suka cemberut gitu, suka sms gitu . .aku suka digini-giniin gitu, itu aja. Kalo dulu awal di asrama emang dia kaya sering di bully gitu,orang-orang bilang gtu ya, tp itu jaman dulu, kalo sekarang udah enggak, sekarang kan udah gak di asrama lagi,kalo sekarang enggak, kalo dulu iya istilah.e sering di bully gitu lah, terutama sama temen sekelasnya. Ya di asrama maupun di sekolah. Tapi berjalannya waktu saya bilang, kalo J digituin baikin aja . .baikin teruss, dan sekarang malah jadi sahabat, jadi deket.(S2,301-305)

Banyak hal yang diajarkan oleh subjek kepada putrinya sesuai dengan

usianya berkaitan dengan kebersihan dirinya, ketrampilan aktivitas sehari-hari,

dan juga kemampuan bermasyarakat serta penggunaan fasilitas umum. Subjek

memberikan pengenalan dengan cara terjun langsung pada hal yang ingin

diajarkan, sehingga putri subjek dapat merasakan langsung seperti apa tanpa harus

merasa kebingungan:

Ya cara menjelaskannya suka diajak gitu,kaya misalkan orang jawa kan ada rewangan gitu,suka diajak . .dikasih tau ooo ini kamu kerjanya gini-gini . .kemarin juga sempet ikut pemuda disini juga,dikampung gitu.(S1,109-111)

. . . di sekolahan kan dekat sama alfamart itu bisa belanja sendiri. Sama temannya yang total gitu yaa,bisa sendiri. Jadi dia juga hafal,kalo alfamart atau indomart kan letaknya ga k berubah kan yaa, pasti setiap tempat juga pasti ya disitu juga,Jadi dia hafal.(S1,125-128)

Begitu pula dengan penggunaan fasilitas umum berupa penggunaan

transportasi umum seperti bus, yang juga digunakan putri subjek untuk menuju ke

(29)

memberikan pengawasan kepada putrinya subjek meyakinkan bahwa putrinya

mampu seperti anak normal lainnya:

kalo dulu awalnya emang dia gak tau kalo diikutin,dilepas tapi dibelakangnya bapaknya ngikutin.tapi sebelumnya kan dikasih tau cara naiknya begini,alat-alatnya kaya hp apa segala macem hati-hati nyimpennya, kaya uang apa segala yang dia bawa, yang disaku cuma yang buat bayar aja selebihnya disimpen sebaik-baiknya.(S2,312-315)

. . . dek kalo naik begini dari depan, kalo turun hati-hati kaki kiri turun dulu.(S2,317-318).

Untuk dapat menggunakan fasilitas umum tentunya membutuhkan alat

transaksi berupa uang. Pengenalan akan uang telah dilakukan semenjak subjek

berada di bangku taman kanak-kanak. Subjek tidak banyak menjelaskan kepada

putrinya, karena putrinya akan secara mandiri mencari tahu lebih lanjut dengan

indera lain seperti peraba untuk mendapatkan informasi lebih mendalam tentang

suatu benda dan menyimpan dalam memorinya.

Dari TK . .kan waktu TK suka . .kalo suka dia jajan kan . .mah jajan, saya kasih seribu, ini uang seribu terus dipegang-pegang, diperhatikan, sampe sekarang udah kenal. Bentuknya . .diraba,dilihat, diperhatiin panjangnya, warnanya . .(S2,341-342,344)

PEMBAHASAN

Subjek yang dikaruniai seorang putri merasa bahagia dengan kehadiran

putrinya. Namun, ketika subjek mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan

(30)

21

Sebagai sosok ibu, subjek berusaha memberikan yang terbaik bagi kehidupan

putrinya. Tindakan medis yang terbaik tetap diusahakan subjek dan suaminya

dengan harapan dapat merubah kondisi putrinya semakin membaik. Keterbatasan

yang dimiliki putrinya subjek dituntut memiliki kemampuan yang lebih dalam

merawat putrinya yang berkebutuhan khusus. Hal ini sejalan dengan pernyataan

Wardhani (2012) dimana memiliki anak berkebutuhan khusus merupakan beban

berat bagi orang tua baik secara fisik maupun mental. Beban berat tersebut

membuat reaksi emosional di dalam diri orang tua. Orang tua yang memiliki anak

berkebutuhan khusus dituntut untuk terbiasa menghadapi peran yang berbeda dari

sebelumnya karena memiliki anak berkebutuhan khusus. Hal ini membutuhkan

penyesuaian diri. Perubahan inilah yang membuat orang tua harus menyesuaikan

diri dengan baik. Pengalaman yang telah dimiliki oleh subjek sebelumnya, dimana

subjek sering berinteraksi dengan penyandang tuna netra dan orangtua lain yang

juga memiliki anak berkebutuhan khusus membuat subjek tidak terlalu kerepotan

dalam menyesuaikan diri dengan keadaannya sekarang. Beberapa peran dan

kemampuan tambahan yang harus dimiliki subjek dalam merawat putrinya antara

lain berkaitan dengan bagaimana subjek harus bisa berkomunikasi secara efektif

kepada putrinya dengan cara yang tepat agar putrinya dapat mengenali lingkungan

sekitar dengan segala isinya secara tepat.

Dalam kegiatan sehari-hari subjek selalu mendampingi putrinya dengan

sabar dan penuh kasih sayang. Hal ini dibuktikan dengan relasi yang terjalin

begitu harmonis antara orang tua dan anak sekalipun keterbatasan membayangi

(31)

dari peran subjek sebagai ibu dalam memenuhi kebutuhan anaknya. Subjek

dibantu oleh suami dan keluarganya yang sebagian besar juga menyandang

tunanetra membuat mereka bahu-membahu merawat putrinya. Hal ini berbanding

lurus dengan pernyataan Kartini Kartono (1977) bahwa fungsi sebagai ibu dan

pendidik bagi anak-anak bisa dipenuhi dengan baik apabila ibu tersebut mampu

menciptakan iklim psikis yang gembira, bahagia, dan bebas, sehingga suasana

rumah tangga menjadi semarak memberikan rasa aman-bebas-hangat

menyenangkan penuh kasih sayang. Dengan begitu anak-anak akan betah tinggal

dirumah. Iklim psikologis penuh kasih sayang kesabaran, ketenangan, kehangatan

itu memberikan semacam vitamin psikologis, yang merangsang pertumbuhan

anak-anak menuju pada kedewasaan.

Ditengah keterbatasan putrinya, subjek tidak begitu saja membiarkan putri

tunggalnya tersebut terpuruk dalam ketidakberdayaan. Subjek tetap berharap

bahwa putrinya dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal layaknya remaja

normal lainnya, sehingga subjek tetap melakukan pengasuhan sama seperti

anak-anak yang lain tetapi tetap disesuaikan dengan kemampuan yang ada pada diri

putrinya. Kemampuan yang cukup mendasar dilakukan kepada putrinya berkaitan

dengan kemampuan bina diri. Widati (2011) menjelaskan bahwa ditinjau dari arti

kata: bina berarti membangun/proses penyempurnaan agar lebih baik, maka bina

diri adalah usaha membangun diri individu baik sebagai individu maupun sebagai

makhluk sosial melalui pendidikan di keluarga, di sekolah, dan di masyarakat

sehingga terwujutnya kemandirian dengan keterlibatannya dalam kehidupan

(32)

23

dari istilah mengurus diri, menolong diri, dan merawat diri, karena kemampuan

bina diri akan mengantarkan anak berkebutuhan khusus dapat menyesuaikan diri

dan mencapai kemandirian.

Pada saat putri subjek mulai memasuki usia remaja dan mengalami

pubertas, dimana muncul tanda-tanda seksual sekunder seperti tumbuhnya

payudara, subjek mendampingi putrinya dengan memberikan pengertian tentang

apa yang terjadi dengan diri putrinya serta bagaimana putrinya harus menyikapi

perubahan fisik tersebut apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh

dilakukan. Ketika putrinya telah mengalami menstruasi, subjek segera

memberikan informasi secara tepat kepada putrinya tentang bagaimana bentuk

pembalut, cara pemakaian pembalut, hingga bagaimana mencuci pakaian dalam

yang terkena darah menstruasi. Pemberian informasi ataupun pendidikan seks

yang dilakukan ini sejalan dengan pernyataan Aziz (2014) bahwa melalui

pemberian materi pendidikan seks yang tepat dan sehat akan mengantarkan anak

memiliki seperangkat pengetahuan yang membekali dirinya untuk menjunjung

tinggi seksualitas dan menjaga dirinya dari perilaku negatif yang berhubungan

dengan masalah seks.

Layaknya remaja putri normal lainnya, putri subjek juga bersosialisasi

dengan lingkungan sekitarnya serta bergaul dengan teman sebayanya. Meskipun

hal tersebut menimbulkan rasa rendah diri pada diri putri subjek, dimana putrinya

merasa berbeda dengan teman-teman lainnya namun subjek selalu memberikan

dorongan serta menanamkan nilai- nilai kehidupan yang baik. Subjek juga

(33)

kehidupan. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Jailani (2014) dimana orang tua

(ayah-ibu) memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik anak-anak dalam

keluarga. Fungsi-fungsi dan peran orang tua tidak hanya sekedar memenuhi

kebutuhan fisik anak berupa kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat

tinggal tapi juga tanggung jawab orang tua jauh lebih penting dari itu adalah

berupa perhatian, bimbingan, arahan, motivasi, dan pendidikan, serta

menanamkan nilai-nilai bagi masa depannya. Ketika putrinya melakukan

kesalahan ataupun melanggar nilai yang telah ditanamkan, subjek menerapkan

sistem punishment yang memberikan efek jera kepada putrinya sehingga tidak

mengulangi kesalahan tersebut kembali.

Peran ibu yang dilakukan subjek S terhadap putrinya dilakukan dengan

tulus, hangat, sabar, namun tetap tegas. Putri subjek banyak diajarkan dengan

menggunakan metode praktik. Pada awal pengenalan terhadap suatu hal subjek

selalu mendampingi dan mempraktikkan apa yang sedang diajarkan kepada

putrinya secara bersama. Namun, ketika putri subjek dirasa sudah cukup

menguasai apa yang dilakukannya dengan perlahan subjek mulai melepas dan

mempercayakan segala sesuatu yang dilakukan putrinya sendiri. Sekalipun mulai

percaya kepada putrinya subjek tidak pernah membiarkan begitu saja putrinya

luput dari pengawasannya, dan apabila putrinya mengalami kesulitan dengan

tangan terbuka subjek memberikan pertolongan sesuai dengan apa yang

(34)

25

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa peran ibu dalam

melatih remaja putri low vision pada masa pubertas memberi pengaruh yang besar

dalam perkembangan seorang anak terutama dalam hal kemandirian. Hal ini

berkaitan dengan kedekatan emosional yang dimiliki ibu dengan anak, serta

bagaimana anak merasa nyaman ketika membicarakan permasalahan pubertas

kepada ibunya. Pengalaman dan pengetahuan ibu di masa lalu memberikan

sumbangan positif terhadap ibu di dalam melakukan perannya, sehingga ketika hal

yang sama menimpa tidak banyak kesulitan yang ditemui.

Pelatihan yang menggunakan metode praktik secara langsung memberikan

pengetahuan, pengalaman, serta pemahaman yang lebih mendalam kepada anak.

Metode dan peralatan yang tepat sesuai dengan kondisi anak turut memberikan

pengaruh yang signifikan bagi pelatihan yang diberikan ibu kepada remaja putri

low vision. Keberhasilan pelatihan kemandirian ini tidak terlepas dari sikap anak

yang dilatih untuk mau mempelajari sesuatu yang baru.

Rasa percaya yang ditunjukkan ibu kepada anaknya juga menjadikan diri

anak lebih yakin bahwa dirinya mampu melakukan apa yang seharusnya ia

lakukan sekalipun di dalam kondisi yang penuh dengan keterbatasan.

SARAN

Berdasarkan temuan penelitian, ibu yang menerima keberadaan anak

dengan gangguan low vision sebagai hal yang tidak bisa dihindari dan

(35)

tersebut lebih mandiri dalam menjalani kehidupan terutama pada masa pubertas.

Oleh karena itu, bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan low vision, agar

tetap menerima bagaimanapun kondisi anak mereka dan tetap memberikan

pengasuhan dan perawatan dengan seoptimal mungkin. Selain itu, dukungan

keluarga dan lingkungan sekitar juga membuat ibu lebih merasa disayangi dan

didukung sehingga akan mempengaruhi sikap ibu terhadap anak dengan gangguan

low vision.

Ibu yang memiliki anak dengan gangguan low vision diharapkan selalu

mendampingi pada setiap tahap tumbuh kembang anak mereka. Berkaitan dengan

menstruasi pada masa pubertas, sudah seyogyanya ibu sebagai wanita yang juga

telah mengalami pengalaman menstruasi dapat membagikan pengalamannya

kepada anak agar ia dapat mengetahui gambaran menstruasi dan memberikan info

secara tepat mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak. Semua

info harus disesuaikan dengan perkembangan sehingga anak tidak merasa

kebingungan.

Bagi peneliti selanjutnya, sebaiknya lebih eksplisit dan mendalam dalam

memaparkan hasil sehingga perilaku yang muncul tergambarkan dengan jelas.

Peneliti selanjutnya dapat mengkaji lebih lanjut tentang bagaimana peran suami

atau ayah dapat mempengaruhi sikap istri atau ibu di dalam membantu

mengoptimalkan perkembangan anak dengan gangguan low vision. Selain itu juga

dapat dikaji tentang ayah yang lebih dominan dalam pengasuhan anak

(36)

27

DAFTAR PUSTAKA

Abthoki, A. (2009). Peran ibu dalam kegiatan pendampingan belajar anak melalui prinsip Individual Learning-Centered, EGALITA, IV(2). Diakses pada 15 September 2016, http://ejournal.uin-malang.ac.id.

Aziz, S. (2014). Pendidikan seks bagi anak berkebutuhan khusus, Jurnal Kependidikan,2(2). Diakses pada 5 Mei 2017,

http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id.

Hartiningsih, E.S. (2014). Ga mbaran pengalaman remaja putri tunanetra dalam menghadapi menstruasi di Asrama Yaketunis Yogyakarta. Diakses pada 13 September 2016,http://etd.repository.ugm.ac.id.

Herdiansyah, H. (2015). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu psikologi. Jakarta: Salemba Humanika.

Hurlock, E.B. (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

___________ (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Kartono, Kartini. (1977). Psychologi wanita: Wanita sebagai ibu dan nenek. Jilid 2. Bandung: Alumni.

Monks,F.J., Knoers,A.M.P & Hadinoto S.R. (2001). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Mumpuniarti. (2007). Pendekatan pembelajaran bagi anak hambatan mental. Yogyakarta: Kanwa Publiser.

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

(37)

Purwaka Hadi. (2005). Kemandirian tunanetra orientasi akademik dan orientasi sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.

Qorizky, M. (2009). Kemandirian pada penyandang Low Vision: Studi kasus berdasar Teori Kepribadian Adler. Diakses pada 13 September 2016, https://eprints.undip.ac.id.

Somantri, S., (2007). Psikologi anak luar biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.

Uun, D. (2016). Peningkatan kemampuan pengembangan diri dengan menggunakan metode praktik siswa tunanetra kelas III SLB A Yaketunis Yogyakarta. Diakses pada 5 Mei 2017, http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/40971.

Widati, S. (2011). Bina diri bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Diakses pada 13 September 2016, https://file.upi.edu.

Referensi

Dokumen terkait

Kurangnya pengetahuan UKM tentang biaya lingkungan kemungkinan disebabkan karena kurangnya sosialisasi oleh pemerintah tentang biaya lingkungan yang harus dikeluarkan oleh

Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan motivasi para remaja putri di Toraja yang tertarik masuk menjadi anggota geng Predator , menjelaskan proses inisiasi yang

terhadap kecenderungan perilaku seks pranikah pada remaja akhir yang sedang berpacaran di universitas Airlangga Surabaya. Life-span development perkembangan masa-hidup

tentang perubahan fisik pada masa pubertas cemas sedang yang dialami remaja putri hal tersebut di mungkinkan diingkungan sekitar tidak pernah membahas tentang perubahan

Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Persepsi Tentang Perubahan Fisik Masa Pubertas Pada Remaja Putri Usia 12 – 15 Tahun di

α 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa semakin banyak perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas maka semakin baik tingkat pengetahuan remaja awal, serta sikap remaja

Seorang remaja putri dikatakan siap dalam menghadapi haid pertama, apabila remaja putri tersebut sudah mendapat informasi atau pengetahuan yang lengkap semenjak masa pubertas

Tingkat Pengetahuan Remaja Putri Tentang Definisi Perubahan Fisik Pubertas Pada siswi SMP Negeri 5 Sukoharjo Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja