• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 05 PAILIT 2012 PN NIAGA.SMG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 05 PAILIT 2012 PN NIAGA.SMG)"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.1

Menurut Soematri Hartono, kepailitan adalah lembaga hukum perdata Eropa sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal-Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).2

Pasal 1131 : “menetapkan bahwa semua harta kekayaan debitur (si berutang) baik benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang ada maupun yang baru aka ada dikemudian hari menjadi jaminan untuk semua perikatan-perikatan pribadinya”. Pasal 1132: “menetapkan bahwa benda-benda milik debitur tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi para krediturnya (si berpiutang) dan hasil penjualan benda-benda milik debitur itu dibagi menurut keseimbangan (proporsional) yaitu menurut besar kecilnya tagihan kreditur masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara kreditur ada alasan-alasan untuk didahulukan”

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan bahwa yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan

1Imran Nating,Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Edisi Revisi 2, Raja Grafindo, Jakarta, 2009, hal.2.

(2)

pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”

Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 ayat (1) adalah : “Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Jadi berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kepailitan ada unsur-unsur:

1) Adanya keadaan ‘berhenti membayar’ atas suatu utang. 2) Adanya permohonan pailit.

3) Adanya pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga).

4) Adanya sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan pailit (debitur).

5) Dilakukan oleh pihak yang berwenang, 6) Semata-mata untuk kepentingan kreditur.

(3)

membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu:3

1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditur.

2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun hubungan kedua Pasal tersebut adalah sebagai berikut. Bahwa kekayaan debitur (Pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132) secara proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).

Undang-Undang Kepailitan menyebutkan pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa : ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.

Dari uraian di atas, untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi tiga syarat yaitu:4

(4)

1. Memiliki Minimal Dua Kreditur.

Keharusan ada dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Karena seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang kreditur adalah tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur diantara para kreditur.

2. Harus Ada Utang

Pasal 1 ayat (6) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan : ”Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.”

3. Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih

(5)

Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa debitur bisa orang-perorangan maupun badan hukum. dalam tulisannya Imran Nating menyebutkan bahwa pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain :5

1. Orang perorangan.

2. Harta peninggalan (warisan).

3. Perkumpulan perseroan (holding company). 4. Penjamin (guarantor).

5. Badan hukum.

6. Perkumpulan bukan badan hukum. 7. Bank.

8. Perusahaan efek.

9. Perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan badan usaha milik negara Pengajuan permohonan pailit dapat dilakukan oleh antara lain:6

1. Debitur sendiri.

2. Permohonan satu atau lebih krediturnya

3. Pailit bisa atas permintaan untuk kepentingan umum, pengadilan wajib memanggil debitur.

4. Bank Indonesia, bila debiturnya bank.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), bila debiturnya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring Dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian efek

6. Menteri Keuangan, bila debiturnya Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pension, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik.

Apabila seorang debitur telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara yuridis akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:

1. Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya.

5Ibid., hal.28-36.

(6)

3. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :

a) Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur. b) Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur,

menerima pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitur (Pasal 10)

4. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 15 ayat (4).7

Akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator.Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalanan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit).8

Dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan oleh pemerintah harus dilihat bukan hanya sebagai upaya yang bersifat reaktif semata-mata untuk menghadapi krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia saat ini, tetapi juga harus dilihat sebagai pembangunan hukum nasional dalam rangka penggantian sistem dan pranata hukum warisan masa Kolonial Belanda menjadi hukum nasional Indonesia.

Perseroan Terbatas merupakan suatu artificial person, yaitu suatu badan hukum yang dengan sengaja diciptakan, yang pada dasarnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan manusia. Bila manusia memiliki anggota tubuh, perseroan memiliki organ-organ seperti komisaris, direksi, dan Rapat Umum Pemegang Saham. Hak dan kewajiban organ-organ perseroan ini tidak hanya diatur

7Ibid., hal.153.

(7)

oleh undang-undang, anggaran dasar, dan doktrin. Perubahan anggaran dasar perseroan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Anggaran Dasar.9

Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksananya.

Perseroan terbatas sebagai badan hukum dapat dinyatakan pailit, kepailitan Perseroan terbatas dapat memberikan akibat hukum terhadap organ-organ perseroaan terbatas tersebut salah satunya adalah direksi. Jabatan anggota direksi dalam pengurusan perseroan merupakan jabatan penting, karena seluruh kegiatan operasional dari suatu perseroan terletak di tangan direksi.10 Dalam Pasal 1 ayat (4) UUPT disebutkan bahwa direksi adalah “organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai ketentuan Anggaran Dasar”.

Dalam melakukan tugas dan wewenangnya direksi harus bertolak dari landasan bahwa tugas dan kedudukannya diperoleh berdasarkan dua prinsip yaitu pertama kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya(fiduciary duty) dan kedua

9Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53.

(8)

yaitu prinsip duty of skill and care atau kemampuan dan kehati-hatian tindakan Direksi.11

Di dalam Undang-Undang Peseroan Terbatas, tugas dan wewenang direksi terdapat dalam Pasal-Pasal berikut ini : Pasal 92 yaitu antara lain :

1. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.

3. Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.

Sebagaimana telah diketahui bahwa organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. Ketiga organ ini memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lainnya. Direksi adalah merupakan salah satu organ perseroan terbatas yang memiliki tugas serta bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangatsentral dalam paradigma perseroan terbatas. Hal ini karena direksi yang akan menjalankan fungsi pengurusan dan perwakilan perseroan terbatas.12

11Chatamarrasjid,Op.Cit., hal.71.

(9)

Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

Menurut teori Organisme dari Otto von Gierke sebagaimana yang dikutip oleh Syuiling (1948),

“Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari badan hukum itu sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum”.13

Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum. Kapan PT memperoleh status sebagai badan hukum, menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT adalah “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”.

Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan untuk dan atas narna perseroan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan perseroan terbatas yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga perseroanlah yang bertanggungjawab terhadap perbuatan perseroan itu sendiri yang dalam hal ini

(10)

direpresentasikan oleh direksi. Narnun, dalam beberapa hal direksi dapat pula dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan perseroan terbatas ini.14

Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan yang dilakukan atas nama perseroan yang dilakukan berdasarkan wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan perseroan terbatas yang merupakan subjek hukum. namun ada beberapa hal direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan perseroan terbatas.15

Pasal 104 ayat (2) UUPT

“Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut”

Pasal 104 ayat (4) menyebutkan :

Pasal 104 ayat (4) merupakan perwujudan dari asas piercing the corporate veil dimana anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepalitan perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan :

a) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,

b) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.

c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan

d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan”

14M. Hadi Subhan,Op.Cit, hal.232.

(11)

Bukanlah hal yang mudah untuk membuktikan direksi telah melakukan kesalahan dan/atau kelalaian sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalami kebangkrutan yang berujung pada kepailitan. Fenomena seperti ini sudah sejak dahulu terjadi. Dari pengaturan ini, maka sebenarnya ada benang merah antara tanggung jawab direksi perseroan terbatas tidak dalam pailit dan tanggungjawab direksi dalam hal perseroan terbatas mengalami pailit.

Berbagai teori tanggung jawab direksi dapat dipakai pula untuk mengukur tanggung jawab direksi dalam hal perseroan terbatas mengalami kepailitan. Pasal 104 Ayat (2) UUPT merupakan implikasi yuridis dari sifat kolegialitas dari direksi di mana segenap direksi bertanggung jawab secara renteng (jointly and severely).

Sehingga bagi anggota direksi yang berkehendak untuk melepaskan tanggung jawab renteng tersebut, maka anggota direksi itu wajib membuktikan mengenai hal itu.

Aspek kolegialitas atau disebut dengan tanggung jawab secara renteng bisa menciptakan ketidakadilan dari anggota direksi yang tidak melakukan perbuatan tertentu namun dapat dimintai pertanggungjawaban. Untuk menjembatani persoalan ketidakadilan in, pendapat Rudhi Prasetya sangat tepat yang menyatakan bahwa

“Sebenarnya penting ketentuan dalam anggaran dasar yang mengatur mengenai lembaga rapat direksi benar-benar diimplementasikan dan jangan sekadar dijadikan hiasan. Agar direksi dalam mengambil keputusan benar-benar telah dirundingkan di antara segenap anggota direksi,yang notabene di antara mereka bertanggung jawab secara kolegial”.16

(12)

Mengenai tanggung jawab direksi yang perseroannya mengalami pailit, Munir Fuady dalam M. Hadi Subhan17 menyatakan bahwa apabila suatu perseroan pailit, maka tak sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak direksi harus bertanggung jawab secara pribadi. Agar pihak anggota direksi dapat dimintakan tanggung jawab pribadi ketika suatu perusahaan pailit, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:18

a) Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari direksi (dengan pembuktian biasa).

b) Untuk membayar utang dan ongkos-ongkos kepailitan, haruslah diambil terlebih dahulu dari aset-aset perseroan. Bila aset perseroan tidak mencukupi, barulah diambil aset direksi pribadi.

c) Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan perseroan bukan karena kesalahan. (kesengajaan) atau kelalaiannya.

Pada dasarnya dalam praaktik proses kepailitan dilakukan oleh pengadilan niaga salah satunya yang telah berkekuatan hukum tetap berimbas kepada tanggung jawab direksi pada putusan tersebut.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 05/Pailit/2012/PN/ NIAGA.SMG memutuskan pailitnya antara Kreditur (Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono) melawan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono. Hendrianto Muliawan dan Agung Hariyono adalah para pemohon pailit yang telah mengajukan surat pailitnya tertanggal 7 Mei 2012 terhadap para termohon pailit yaitu PT. Indonesia Antique sebagai Termohon I yaitu perusahaan dan atau perseroan yang didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang bergerak di bidang

(13)

produksi dan di bidang meuble. Dalam hal ini Termohon II yaitu Saudara Wahyu Hanggono menjabat selaku direktur di perusahaan PT. Indonesia Antique tersebut bertindak dalam jabatannya dan juga secara pribadi telah membuat dan menandatangani hutang piutang dengan pemohon I dengan nilai utang piutang sebesar Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam perjanjian tertanggal 10 Januari 2010. Dalam perjanjian dimaksud telah disepakati pengembalian dan atau pembayaran hutang sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), akan dilakukan seketika pada tanggal 10 April 2010 dan oleh karenanya dalam hal ini telah disepakati tanggal jatuh tempo pada tanggal 10 April 2010.

(14)

jatuh tempo utang yang telah diperjanjikan yaitu 15 Oktober 2011 para termohon tidak melaksanakan pembayaran utangnya. Pemohon II telah melakukan penagihan kepada para termohon, namun pihak para termohon belum dapat melakukan pembayaran dengan alasan pembayaran terdapat kesulitan berbisnis. Pemohon II juga telah mengirimkan tiga kali surat peringatan (somatie) masing-masing tanggal 1 Nopember 2011, 7 Nopember 2011 dan 4 Nopember 2011. Meskipun para termohon telah melakukan somatie sebanyak tiga kali dari pemohon dua ternyata hingga didaftarkannya permohonan pernyataan pailit ini para termohon juga tidak melakukan pembayaran kepada pemohon II.

Dari uraian kasus di atas bila dikaitkan dengan topik permasalahan penelitian ini maka bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap perseroan terbatas tersebut, apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan kepailitan PT dan bagaimana tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT tersebut.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini, adalah dalam rangka untuk menyelesaikan studi di Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dengan judul : ”Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah

(15)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, ditarik pokok permasalahan yang akan menjadi dasar dalam penyusunan tesis ini. Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangat penting keberadaannya karena akan diteliti lebih jauh lagi. Adapun pokok permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah :

1. Bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap Perseroan Terbatas?

2. Apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan kepailitan PT? 3. Bagaimana tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum putusan pailit terhadap Perseroan Terbatas 2. Untuk mengetahui direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan

kepailitan PT

3. Untuk mengetahui tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT

D. Manfaat Penelitian

(16)

1. Manfaat secara teoritis.

a. Diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti.

b. Diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya dan penelitian ini dapat menambah bahan terutama mengenai hukum kepailitan dan Perseroan Terbatas.

c. Diharapkan dapat menambah referensi/ literatur sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang apabila melakukan penelitian dibidang yang sama dengan yang penyusun teliti.

2. Manfaat secara praktis

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian bagi pihak-pihak berkepentingan dalam penelitian ini.

b. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum dan pelaku bisnis lainnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap direksi Perseroan Terbatas yang dijatuhi putusan pailit sehingga dapat menjadi referensi bagi semua pihak.

E. Keaslian Penelitian

(17)

direksi terhadap kepailitan perseroan terbatas Studi: Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG yang telah berkekuatan hukum tetap ini berimbas kepada tanggung jawab direksi pada putusan tersebut, belum ada yang membahasnya.

Adapun penelitian yang berkaitan berkaitan dengan pertanggungjawaban direksi terhadap kepailitan Perseroan Terbatas antara lain :

1. Irma Hani Nasution/NIM.047010012/M.Kn dengan judul “Sistem Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas di Indonesia”

Rumusan masalah :

a. Bagaimana sistem pertanggungjawaban PT di Indonesia apabila terjadi kepailitan?

b. Apakah proses kepailitan PT dapat sejalan dengan proses kepailitan direksi? c. Bagaimna akibat hukum terjadinya kepailitan PT dan kepailitan terhadap

direksi?

2. Bornok Maria Irene P. Nababan/NIM.077021118/M.Kn dengan judul, “Analisis Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direksi dalam Pelepasan Aset Perseroan Terbatas”.

Rumusan masalah :

a. Bagaimana tanggung jawab direksi terhadap PT berdasarkan prinsip-prinsip dasargood corporate governance?

(18)

c. Bagaimana akibat hukumnya terhadap pelepasan asset perusahaan PT oleh direksi?

3. Zuwina Putri/NIM. 057011016/M.Kn dengan judul, “Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Kurator dalam Kepailitan pada Perseroan Terbatas”

Perumusan masalah :

a. Bagaimana tugas dan kewenangan kurator dalam kepailitan PT?

b. Bagaimana pengurusan dan pemberesan harta pailit PT oleh kurator berdasarkan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU?

Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat dipertanggungjawabkan, meskipun ada peneliti-peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas, namun menyangkut judul dan substansi pokok permasalahan adalah berbeda dengan penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

a) Teori Badan Hukum

(19)

bertindak di dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum untuk mempunyai hak.19

Sudah merupakan kenyataan pula, bahwa dalam ilmu hukum dan pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat telah diterima adanya subjek hukum lain disamping manusia. Selanjutnya untuk membedakan dengan apa yang disebut orang dalam artian yuridis, maka subjek hukum yang lain digunakan istilah Badan Hukum.20Badan Hukum merupakan salah satu dari subjek hukum, karena selain Badan Hukum terdapat subjek hukum lain yaitu manusia (natuuralijkpersoon). Manusia (natuuralijkpersoon) sebagai subjek hukum memiliki hak dan kewajiban dalam hukum. Manusia sebagai subjek hukum sudah dimulai sejak masih dalam kandungan dan berakhir sampai ia meninggal dunia, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.

Mati setelah dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah telah ada”. Manusia pribadi (natuurlijk persoon) sebagai subyek hukum mempunyai hak dan mempu menjalankan haknya yang dijamin oleh hukum yang berlaku.21Disamping manusia pribadi sebagai pembawa hak, terdapat pula badan-badan (kumpulan manusia) yang

19H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional Dalam Pusaran Kekuasaan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 1.

(20)

oleh hukum diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia, hal demikian kita kenal dengan sebutan Badan Hukum.

Badan Hukum sebagai pembawa hak dan tak berjiwa dapat berlaku selayaknya manusia yang berjiwa sebagai pembawa hak,misalnya Badan Hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggotaanggotanya.22

Istilah Badan Hukum sebagai subyek hukum sering disebut baik didalam kepustakaan maupun di dalam kehidupan sehari-hari, akantetapi, sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang memberikan rumusan tentang Badan Hukum tersebut. Untuk itu dapat dilihat pengertian Badan Hukum dari pendapat para sarjana antara lain :23

1) E.M. Meijers mengatakan bahwa Badan Hukum meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban.

2) Logemann mengatakan bahwa Badan Hukum adalah personifikasiyaitu suatu perwujudan atau penjelasan hak-kewajiban.

3) E.Utrecht berpendapat bahwa Badan Hukum yaitu badan yangmenurut hukum berkuasa/berwenang menjadi pendukung hak atauBadan Hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa.

4) Bothingk menyebutkan bahwa Badan Hukum hanyalah suatugambar yuridis tentang identitas bukan manusia yang dapatmelakukan perbuatan-perbuatan.

22Ibid,hal. 7.

(21)

5) R. Rochmat Soemitro mengemukakan bahwa Badan Hukum ialahsuatu badan yang dapat mempunyai harta, hak dan kewajibanseperti orang pribadi.

6) Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian suatu BadanHukum sebagai suatu badan yang di samping manusiaperseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum yangmempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan hukumterhadap orang lain atau badan lain.

b) Teori Pertanggungjawaban

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.24 Menurut hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.25 Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.26

Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua macam, yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal dengan

24Andi Hamzah,Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.

(22)

pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak(strick liabiliy).27 Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung jawab sebagai risiko usahanya.

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum(tort liability)dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :28

1) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

2) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karenakelalaian(negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan

(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur(interminglend).

3) Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya

27Ibid. hal. 49.

(23)

baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.

Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda disebut dengan istilah (onrechmatige daad) atau dalam bahasa inggris disebut tort. Kata (tort)

berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan dari wanprestasi kontrak. Kata (tort)berasal dari bahasa latin(orquer) atau(tortus)dalam bahasa Prancis, seperti kata(wrong)berasal dari bahasa Prancis(wrung) yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat tercapai seperti apa yang disebut oleh pribahasa latin, yaitu(juris praecepta sunt haec honeste vivere,alterum non leadere, suum cuque tribune) artinya semboyan hukum adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain haknya.

Sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasar Arrest HR 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak oranglain, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan dan kesusilaan yang diterima di masyarakat.29

(24)

Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diatur dalam Buku IIIKUHPerdata. Rumusan perbuatan melawan hukum terdapat pada Pasal 1365 KUHPerdata yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) katgori perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut :30

1) Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.

2) Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaanmaupun kelalaian).

3) Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Jika ditinjau dari pengaturan KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan melawanhukum lainya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara sistem EropaKontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :31

a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

30Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 3.

(25)

c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatassebagaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

c) TeoriBussines Judgement Rule

Jika dilihat dari perkembangan bisnis negara-negara maju bahwa tidak hanya berpatokan terhadap bisnis saja akan tetapi juga harus memperhatikan rule (aturan) yang terkait dengan dunia bisnis. Untuk memenuhi perkembangan dunia usaha serta untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan praktek yang menghendaki perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang PT, maka pemerintah merasa perlu untuk melakukan perubahan dan mengganti Undang-Undang Perseroan Terbatas tersebut dan terakhir diubah dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang biasa juga disebut dengan UUPT. Republik Indonesia khususnya dalam ruang lingkup Hukum Perusahaan masih sangat dominan menganut doktrin yang keberadaannya diakomodasi dan bersumber dari sistem Hukum negara lain baik itu dari sistem HukumAnglo Saxonmaupun Eropa Kontinental.

Dalam menjalankan kepengurusan terhadap perseroan sepenuhnya adalah tanggung jawab Direksi, yang mempunyai tanggung jawab penuh atas pengelolaan perseroan dan tidak terhadap para pemegang saham dalam perseroan melainkan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan. Dengan diakomodirnya doktrin prinsip Business Judgment Rule

(26)

Direksi berkewajiban mengurus perseroan dengan itikad baik sebagaimana ditegaskan didalam Pasal 97 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa pengurusan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, setiap tindakan Direksi yang didasari oleh itikad baik dilindungi oleh undang-undang sepanjang perbuatan tersebut dapat dibuktikan dengan cara terhindar dari perbuatan yang menguntungkan pribadi seorang Direksidalam mengambil suatu keputusan penting terhadap perseroan yang mengakibatkan perseroan tersebut mengalami kerugian. Seorang Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, jika terbukti melanggar prinsipfiduciary dutydalam menjalankan kepengurusan perseroan yang mengakibatkan kerugian terhadap perseroan. Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya.

(27)

terhadap Direksi yang dianggap melanggar prinsipfiduciary dutydalam perseroan ini belum berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam kepailitan seluruh harta benda debitur di peruntukan bagi pembayaran tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di antara para kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing.32 Pembagian harta kekayaan pailit ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para kreditur. Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditur dari kreditur lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari kreditur lainnya dalam pembagian harta kekayaan, sedangkan perlindungan dari kreditur yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkap secara penuh maupun secara priodik. Sementara itu, apabila debitur berada dalam keadaan susah dapat ditolong maka debitur dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara terhormat dari permasalahan utangnya.33

Hukum kepailitan dari sifatnya sebagai hukum yang memaksa dan berlaku secara kolektif yaitu :“A Collective process in that individual creditors are not able to enforce their debts independently of the other creditors”.34

32Martiman Prodjohamidjojo,

Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan. Mandar Maju, Bandung, 1999. hal. 2.

33 Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pemaharuan Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU , Makalah disampaikan dalam lokakarya Mengenai Tantangan Perubahan Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU , Medan 7 Desember 2001, Kerjasama FH UI, Pascasarjana USU dan University of sout Carolina.

(28)

Dalam kepailitan dan PKPU, Hakim Pengawas memiliki peranan yang sangat penting dalam kepailitan. Peranan itu mulai berlaku setelah diucapkan putusan pernyataan pailit. Hakim Pengawas mengawasi pekerjaan Kurator dalam rangka melakukan tugas pengurusan dan pemberesan. Tindakan pengawasan yang dilakukan Hakim Pengawas dituangkan dalam bentuk penetapan atau berita acara rapat. Penetapan tersebut bersifat final and biding dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, kecuali Undang–Undang menentukan lain. Penetapan tersebut sebagai dasar Kurator dalam menjalankan tugas-tugasnya mengurus dan membebaskan harta debitur pailit.

Dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit, sebaiknya Hakim Pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit secara arif, bijaksana dan cermat. Dalam artian tidaklah boleh merugikan salah satu pihak, apakah itu debitur atau kreditur dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit. Teori mengenai keadilan sangatlah sinkron dengan penulisan tesis ini. Dengan adanya rasa keadilan yang dikedepankan, maka Hakim Pengawas dapat menjalankan tugas tidak berat sebelah, sehingga tidak akan merugikan salah satu pihak.

(29)

momentum yang dimiliki keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh hukum. Dia juga mengatakan hukum sebagai perwujudan nilai-nilai yang mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.35 R. Soekardono menyebutkan bahwa kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, dalam artian secara kolektif memaksimalkan kesejahteraan kelompok.36

Hal-hal yang telah diuraijan di atas maka dapat menjawab permasalahan yang diajukan dipergunakan pendekatan dengan kerangka teori. Kerangka berfikir menjadi konsep kedilan dan perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan kreditur dan debitur dalam hukum kepailitan sebaga paradigma filosofis. Selanjutnya paradigma yang bersifat konstan ini diinteraksikan dengan potensi yang dimiliki Indonesia dan perkembangan situasi dan kondisi yang berupa kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam hukum kepailitan baik dari segi subtansi maupun dalam praktek serta kondisi perdagangan nasional dan global.

2. Kerangka Konsepsional

Dalam penelitian ini untuk menemukan atau mendapatkan pengertian atau penafsiran dalam tesis ini, maka berikut ini adalah definisi operasional sebagai batasan tentang objek yang diteliti:

35 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Hukum, Universitas Muhamadyah, Surakarta. 2004. hal. 60.

(30)

a. Kepailitan adalah suatu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya di lakukannya oleh Kurator di bawah pengawasan sebagai mana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 1 butir Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pasal 1 butir 1 ini secara tegas menyatakan bahwa “kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual”, karena itu disyaratkan dalam Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur. Seorang kreditur yang hanya memiliki 1 (satu) kreditur tidak dapat dinyatakan pailit karena hal ini melanggar prinsip sita. Apabila hanya satu kreditur maka yang berlaku adalah sita individual, dan penuntutannya melalui gugatan perdata biasa, bukan melalui permohonan pailit.37

b. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat di tagih di muka pengadilan.38

c. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat di tagih di muka pengadilan.39

d. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang rupiah atau asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontiniu, yang timbul karena

37Sunarmi,Op. Cit, hal. 29

38Pasal 1 Ayat (2) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(31)

perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.40

e. Kurator adalah balai harta peninggalan atau perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawas sesuai dengan Undang-Undang.41

f. Hakim Pengawas adalah hakim yang di tunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.42

g. Pemberesan harta pailit adalah jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian tidak diterima, atau pengesahan perdamaian telah ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolven.43

h. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam

40Pasal 1 Ayat (7) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

41Pasal 1 Ayat (5) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

42Pasal 1 Ayat (8) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(32)

saham dan memenui persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya.44

i. Organ perseroan adalah rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris.45

j. Rapat umum pemegang saham, yang disebut (RUPS), adalah organ perusahaan perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan atau anggaran dasar.46

k. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh akan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.47

l. Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasehat kepada direksi.48

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa

(33)

bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem Perundang-Undangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia.49

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup: 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum .

2. Penelitian terhadap sistematika hukum.

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. 4. Perbandingan hukum.

5. Sejarah hukum.50

Penelitian hukum normatif dapat disebut juga sebagai penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Penelitian normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. Penelitian dilakukan dengan maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum.

Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), sebagai suatu teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa aspek-aspek hukum di Indonesia,

49Soerjono Soekanto Dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 14.

(34)

peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukumnya itu sendiri.

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.51

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum kepailitan bagi perusahaan pada umumnya maupun dewan direksi pada khususnya yang termuat di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan serta Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

(35)

Terbatas. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut.52

Penarikan kesimpulan diawali dengan analisa terhadap uraian-uraian yang bersifat umum (deduktif) untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus (induktif).

2. Sumber Data

Sumber-sumber data dalam penelitian dapat berasal dari data sekunder yang dibedakan menjadi bahan-bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan Perundang-Undangan di bidang hukum kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan pembayaran utang, dan KUH Perdata, UUPT.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainya yang berkaitan dengan Peranan Hakim Pengawas Dalam Pemberesan Harta Pailit Dalam Kepailitan.

(36)

kamus hukum, jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap, peraturan, peraturan Perundang-Undangan, literatur, tulisan-tulisan pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan dan putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.53Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.54 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan baik melalui studi dokumen. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif yang artinya menjelaskan dengan kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data sehingga menghasilkan

53Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 106.

(37)

Referensi

Dokumen terkait

1) Pengiriman duta dan konsulat ke negara lain yang merupakan negara ASEAN. Mading - masing negara ASEAN saling mengirimkan duta dan konsulat sebagai

Menurut Nasr Hamid, jelas asumsi ulama kuno tersbut dapat memunculkan rentetan asumsi lain seperti, al-Qur‟an yang diturunkan dapat dilupakan oleh Nabi, sejalan

Sebuah filamen lurus arus I dengan panjang tak berhingga yang terletak di sepanjang sumbu z koordinat silindris ditunjukkan pada Gambar 3-2... Oleh karena a  tidak berubah

Terbukti secara empiris Kepuasan Kerja dan Gaya Kepemimpinan secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior pada

Bank syariah pada umunya telah menggunakan murabahah sebagai instrumen pembiayaan (financing) yang utama (Jannah, 2009)...

Reliabilitas (kepercayaan) yang menunjukkan apakah sebuah pertanyaan dapat mengukur suatu yang diukur secara konsisten dari waktu ke waktu.Jadi kata kunci untuk syarat

Menempatkan pilihan Keadilan Restoratif dalam kebijakan hukum dan penegakan hukum pada peristiwa pidana tidak boleh dipertentangkan dengan pilihan lama Keadilan Retributif

2.3 Ngena pengelandik enggau strategi macha, meretika teks literari, informasional enggau fungsional sereta nguasa akal chara baka ni leka jaku dikena nitihka