• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hemodiafiltrasi 055 . (1.135Mb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hemodiafiltrasi 055 . (1.135Mb)"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

HEMODIAFILTRASI

Abdurrahim R Lubis, Harun R Lubis, Ricky Rivalino Sitepu

Divisi Nefrologi-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Pendahuluan

Sejak terapi dialisis mulai dikenal, para ahli telah mencoba untuk menggabungkan teknik

difusi dan konveksi dalam upaya untuk menggantikan fungsi ginjal. Teknik difusi sendiri

telah dikenal industri kimia sejak lama yang sebagai teknik pertukaran zat-zat kimia yang

efisien [1]. Pada perkembangan selanjutnya, teknik konveksi mulai diperkenalkan setelah

menunjukkan keuntungan yang potensial dalam mengobati pasien dengan penyakit ginjal

[2]. Pada awalnya, teknik konveksi pada ultrafiltrasi (UF) hanya digunakan untuk

mengobati pasien yang overhidrasi. Pada perkembangan selanjutnya, ultrafiltrasi

kemudian juga digunakan dalam pembersihan zat-zat terlarut pada dialisis. Hal ini terjadi oleh karena fenomena “solvent drag” yang dihasilkan pada teknik konveksi [3]. Kombinasi difusi dan konveksi dalam mencapai pemurnian darah yang efisien dan

memadai menghasilkan penemuan teknik gabungan yang disebut hemodiafiltration

(HDF) [4]. Reading assignment ini akan meringkas sejarah dan perkembangan teknologi,

evolusi HDF dari seluruh berbagai modalitas, dan akhirnya studi klinis terbaru yang

menunjukkan bahwa HDF dapat menjadi standar emas baru sebagai terapi pengganti

ginjal.

Definisi

HDF adalah teknik penggantian ginjal extrakorporal menggunakan membran yang sangat

permeabel dimana hemodialisis (difusi) dan hemofiltration (konveksi) dikombinasikan

untuk meningkatkan pembersihan zat terlarut pada spektrum berat molekul yang luas.

Modalitas yang berbeda dari HDF saat ini telah diterapkan dalam praktek klinis, namun

pada dasarnya terapi tersebut adalah kombinasi dari difusi dan konveksi untuk mencapai

(2)

Gambar 1. Secara definisi, hemodiafiltrasi merupakan terapi pengganti ginjal yang menggabungkan hemodialysis (difusi) dan hemofiltrasi (konveksi)

Sejarah

Pada masa awal dialisis diperkenalkan, beberapa pelopor mulai menganalisis potensi

penggunaan beberapa proses pemisahan masa untuk mencapai pemurnian darah. Pada

tahun 1967, Henderson [3] menerbitkan artikel pertama tentang penggunaan ultrafiltrasi

dan penggantian cairan (diafiltrasi) sebagai metode pembersihan darah. Pada tahun 1969,

Miller et AL [5] menunjukkan kelayakan diafiltration sebagai terapi penggamti ginjal.

Pada tahun 1977 untuk pertama kalinya, istilah HDF digunakan oleh Leber et al [6].

Metode dialisis yang tergolong baru ini terdiri dari kombinasi hemofiltration (HF) dan

hemodialisis konvensional (HD) menggunakan membran high-flux dengan tekanan

transmembran dari 300 hingga 500 mmHg dan laju aliran dialisat pada 900 mL/menit.

Oleh karena kombinasi perpindahan masa secara konvektif dan difusi, nilai clearance dari

molekul kecil dan besar secara signifikan lebih tinggi daripada HF atau HD saja dengan

menggunakan membran yang sama. Pengurangan air pada pasien overhydrated pun lebih

dapat ditoleransi. Setidaknya terdapat 2 keuntungan dari HDF, diantaranya: (1) dapat

dengan mudah mengurangi kelebihan cairan dari pasien dan (2) pembersihan zat terlarut

dalam spektrum berat molekul yang lebih luas. Pada tahun 1977, Kunitomo et al [7]

menunjukkan kelayakan HDF dengan inovasi teknologi yang lebih lanjut, termasuk

diantaranya sistem laju UF yang dapat dikontrol, hollow fiber dialyzer yang sangat

(3)

teknik yang mendapatkan popularitas di Eropa dan membuka jalan untuk teknologi

modern HDF dan aplikasinya sebagai terapi rutin pengganti ginjal [8].

Mekanisme Pembersihan Zat Terlarut pada Hemodiafiltrasi

Sesuai dengan definisi yang telah dijabarkan, HDF menggunakan kombinasi difusi dan

konveksi dalam membersihkan zat-zat terlarut di dalam darah. Pembuangan zat terlarut

pada proses difusi memerlukan adanya cairan dialisate yang mengalir berlawanan dengan

aliran darah. Sedangkan pada proses konveksi, cairan pengganti diperlukan untuk

menggantikan cairan tubuh yang hilang. Besarnya cairan pengganti tubuh yang

diperlukan bergantung oleh ada tidaknya overload cairan pada pasien. Cairan pengganti

dapat dialirkan ke dalam darah sebelum masuk ke filter (predilution), setelah darah

keluar dari filter (postdilution), atau dapat diberikan ke dalam filter. Cairan pengganti

tubuh tersebut nantinya akan bercampur dengan darah, oleh karenanya cairan tersebut

haruslah steril dan mempunyai komposisi yang sesuai dengan plasma darah. Cairan

pengganti tubuh dapat berupa cairan infus seperti NaCl 0.9%, Ringer-Laktat (RL),

Dextrose, dan lain-lain [9].

a. Difusi [10]

Pada HDF maupun HD, terdorongnya zat terlarut melawati membran permeable

pada proses difusi disebabkan oleh adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut

di dalam darah dengan cairan dialisis. Tingginya laju difusi tergantung pada

ukuran molekul dan adanya resistansi. Resistansi aliran zat terlarut disebabkan

oleh membran permeable itu sendiri. Jarak yang ditempuh oleh darah dan

diameter rongga serat pada filter juga memainkan peranan dalam resistansi

(gambar 2). Oleh karenanya molekul-molekul kecil mempunyai laju difusi yang

tinggi dibandingkan dengan molekul-molekul yang lebih besar. Karakteristik

dialiser dalam proses difusi dapat dinyatakan dalam K0A, disebut dengan

koefisen luas area perpindahan masa, dimana proses pembersihan zat pada laju

(4)

Gambar 2. Proses difusi terjadi dimana perpindahan zat terlarut melewati membran permeable dari area dengan konsentrasi tinggi ke area dengan konsentrasi rendah.

Untuk memaksimalkan transportasi zat terlarut pada proses difusi secara klinis,

diperlukan laju aliran darah dan cairan dialisis yang tinggi untuk mempertahankan

konsentrasi gradien yang besar. Tingginya aliran darah hendaknya dengan sesuai

dengan kondisi vena akses pada pasien. Secara praktis terdapat aturan yang bahwa

aliran darah sebaiknya berbanding 1:2 dengan aliran dialisat. Namun hasil yang

optimal masih dapat diperoleh pada laju aliran yang rendah dengan menggunakan

dialiser modern [11]. Di antara tiga parameter—laju aliran darah, laju aliran dialisat, dan luas permukaan dialiser—parameter yang berhubungan dengan

pasien sebaiknya dapat diatur oleh pengendali mesin.

b. Konveksi [10]

Proses konvektif pada dialisis ialah pergerakan pasif zat terlarut mengikuti aliran

fluida melintasi membran permeabel yang disebabkan oleh adanya perbedaan

tekanan gradient dari dalam darah (gambar 3). Aliran fluida melintasi membran

permeabel disebut juga dengan ultrafiltrasi. Tingkat ultrafiltrasi dipengaruhi oleh

2 faktor yaitu permeabilitas membran dan tekanan hidrostatik darah, yang

tergantung pada aliran darah. Permeabilitas membran terhadap zat terlarut, atau

sieving properties, ditentukan oleh ukuran pori-pori pada membran yang

menetapkan batas zat terlarut yang dapat diseret (solvent drag) melintasi

(5)

Gambar 3. Pada proses konveksi/ultrafiltrasi, zat terlarut berpindah dari area yang betekanan tinggi ke area yang bertekanan rendah melalui membran permeabel.

Proses konveksi persis dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam ginjal normal

manusia. Konveksi sangat efektif dalam menurunkan jumlah cairan dalam tubuh

dan molekul berukuran kecil-menengah yang diduga menyebabkan uremia. Selain

itu, proses ini juga dapat memperbaiki kondisi pasien dengan sepsis oleh karena

sebagian besar sitokin yang terlibat dalam sepsis merupakan "molekul berukuran

menengah".

Hemodialisis merupakan contoh yang baik dari terapi difusi. Pada HD, membran

low-flux digunakan karena memiliki permeabilitas difusi yang tinggi. Hal ini memungkinkan

zat terlarut bermolekul kecil bergerak bolak-balik melintasi membran dengan mudah

sesuai dengan gradien konsentrasi mereka masing-masing. Namun, transportasi zat

terlarut bermolekul sedang dan besar, dan aliran air yang tinggi tidak dapat dicapai

dengan membran low-flux. Oleh karena itu, jumlah transportasi zat terlarut dan pelarut

yang dicapai oleh transportasi konvektif sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Hasil

yang optimal dapat dicapai dengan meningkatkan laju aliran darah dan laju aliran dialisat

dan juga luas permukaan dialiser. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan penghapusan zat

terlarut kecil seperti urea dan kreatinin, sementara itu memiliki sedikit efek pada zat

(6)

Hemofiltrasi adalah terapi di mana pembersihan zat terlarut bergantung sepenuhnya pada

konveksi. Bila diterapkan dengan menggunakan laju aliran darah yang tinggi dan volume

ultrafiltrasi yang besar, terapi ini dapat membersihkan molekul berukuran sedang dan

besar secara signifikan [13]. Konveksi pada hemofiltrasi juga menurunkan jumlah cairan

pada pasien dengan overload cairan. Meskipun demikian sering kali jumlah cairan yang

disaring oleh ultrafiltrasi melebihi batas yang diinginkan, oleh karenanya aliran infus

harus selalu diberikan secara predilution atau postdilution untuk mencegah terjadinya

syok. Untuk meningkatkan efisiensi HF, laju aliran ultrafiltrasi yang lebih tinggi harus

dihasilkan dan ini memerlukan kecepatan aliran darah yang lebih tinggi dan

kadang-kadang juga luas permukaan membran yang lebih besar. Hasilnya akan terlihat pada

peningkatan clearance berbagai zat terlarut [14].

Gambar 4. Perbedaan mekanism penyaringan pada hemodialisis dan hemofiltrasi. Pada hemodialisis terjadi perpindahan molekul secara difusi. Sedangkan hemofiltrasi menggunakan proses konveksi untuk

menyeret zat terlarut (solvent drag) ke arah filtrasi.

Pada Hemodiafiltrasi, proses difusi dan konveksi terjadi secara bersamaan, tetapi efek

dari kedua proses tidak hanya bersifat aditif melainkan juga bersifat saling

mengintervensi satu sama lain. Difusi mengurangi konsentrasi molekul-molekul kecil,

menyisakan sedikit yang selanjutnya dibersihkan oleh proses konvektif. Konveksi juga

(7)

memiliki nilai terbatas dalam pembersihan molekul-molekul kecil, meskipun demikian,

proses ini penting dalam pembersihan molekul-molekul besar (Gambar 5) [13].

Gambar 5. Clearance pada urea (MW = 60), vitamin B12 (MW = 1 355) dan inulin (MW = 5 000) mengilustrasikan dampak dari meningkatnya proses konveksi (hitam) pada difusi (abu-abu). Proses terjadi

pada HDF dengan tingkat aliran darah 300 ml/min. Terlihat bahwa semakin tinggi tingkat ultrafiltrasi, semakin tinggi pula proses konveksi dan semakin rendah proses difusi [13].

Statistik menunjukkan bahwa 40-50 % dari tingkat ultrafiltrasi merupakan clearance

konvektif yang dapat digabungkan oleh difusi [15] . Keseimbangan antara difusi dan

konveksi dapat diatur melalui parameter yang dapat dikendalikan. Konveksi biasanya

diprioritaskan, dan ini dicapai dengan mengatur parameter ultrafiltrasi secara maksimal.

Menemukan tingkat UF yang optimal membutuhkan perawat yang berpengalaman, dan

pada kenyataannya, banyak perawatan HDF dioperasikan di bawah kondisi suboptimal

untuk menghindari berbunyinya alarm transmembrane pressure gradient (TMP) dan

menghemat waktu keperawatan. Salah satu cara yang efisien ialah dengan membiarkan

mesin mengendalikan tingkat UF memilih dan menyesuaikan secara TMP otomatis [16].

Membran

Membran permeable pada dializer berfungsi menyaring zat-zat terlarut pada darah dan

(8)

membran permeable menjadi faktor terpenting dalam terapi pengganti ginjal

ektrakorporal. Terdapat 2 ukuran pori yang berbeda pada membran dialyzer. Membran

dengan ukuran pori yang lebih kecil disebut dengan "low-flux" dan membran dengan

ukuran pori yang lebih besar disebut dengan "high-flux”. Kedua membran tersebut memiliki struktur dan penggunaannya yang berbeda dalam modalitas pengganti ginjal

extrakorporal.

Istilah 'flux' mengacu pada permeabilitas membran dialyser yang dapat dilewati oleh

toxin dan cairan. Pada awalnya, membran permeable terbuat dari selulosa alami yang

memiliki pori-pori yang relatif kecil. Membrane selulosa dengan ukuran pori-pori yang

relative kecil atau sering disebut 'low-flux' dapat dengan mudah menghilangkan toxin

yang lebih kecil seperti urea dan kreatinin, tetapi toxin dengan ukuran molekul yang lebih

besar tidak dapat melewati melalui membran tersebut. Saat ini, membran dialyser modern

terbuat dari polimer sintetis atau selulosa yang dimodifikasi secara kimia. Produsen

membran dializer sintetik dapat membentuk ukuran pori-pori sesuai dengan ukuran yang

dibutuhkan.

Pada hemodialisis, membran yang digunakan biasanya bersifat low-flux. Selain itu

dengan ketebalan 10-20 µm, membran low-flux lebih tipis dibandingkan dengan

membran yang digunakan pada HF dan HDF. Hal ini memungkinkan zat terlarut

bermolekul kecil bergerak bolak-balik melintasi membran dengan mudah [17]. Namun,

membran low-flux memiliki sieving coefficient yang lebih rendah untuk molekul

berukuran sedang-besar dibandingkan dengan membran high-flux (gambar 6). Hal ini

menyebabkan clearance molekul berukuran sedang dan besar tidak bisa dicapai sesuai

dengan keinginan. Saat ini, banyak terapi HD yang menggunakan membran high-flux

oleh karena studi yang menunjukkan hasil yang lebih baik dengan menggunakan

(9)

Gambar 6. Sieving coefficient (S)merupakan rasio antara konsentrasi zat terlarut dalam filtrat dan konsentrasi zat terlarut dalam darah dengan nilai 0 hingga 1. Semakin tinggi “S”, semakin tinggi

pula permeabilitas suatu solute. Kurva diatas menunjukkan bahwa membran high-flux memiliki permeabilitas lebih tinggi pada molekul yang lebih besar dibandingkan dengan membran low-flux.

Membran glomerulus dipakai sebagai perbandingan.

Pada hemofiltrasi maupun hemodiafiltrasi, membran yang digunakan memiliki pori-pori

yang lebih besar atau bersifat high-flux. Hal ini memungkinkan molekul berukuran

sedang-besar dapat melewati membran dengan mudah sedangkan jumlah molekul kecil

yang tersaring tergolong cukup. Meskipun sama, membran pada hemodiafiltrasi memiliki

ketebalan yang lebih tipis (hampir sama dengan membran low-flux pada HD)

dibandingkan dengan membran hemofiltrasi yang memiliki ketebalan hingga 100 µm.

Ketebalan dinding yang lebih tipis mampu meningkatkan penyaringan molekul kecil

lebih efisien [8, 19, 20]. Ilustrasi perbedaan membran pada HD, HF, dan HDF dapat

(10)

Gambar 7. Hemodialisis menggunakan membran low-flux dengan ketebalan 10-20 µm. Hemofiltrasi menggunakan membran high-flux dengan ketebalan 100 µm. Sedangkan hemodiafiltrasi menggunakan

membran high-flux dengan ketebalan dinding yang tipis.

Cairan Dialysis

Pada terapi pengganti ginjal, cairan memiliki fungsi sebagai cairan dialisate dan juga

sebagai cairan substitusi. Jumlah volume cairan yang diperlukan sangatlah besar untuk

terapi yang efisien, khuksusnya pada HDF. Cairan pengganti serta cairan dialisis secara

fisiologis dan komposisi harus serupa dengan cairan plasma. Pasien HD yang akan

menjalani HDF, dianjurkan untuk memulai dengan komposisi yang sama dari cairan

pengganti seperti yang telah digunakan untuk cairan dialisis. Kualitas cairan yang tinggi

juga dinilai dari segi mikrobiologis.

Penyusunan cairan berkualitas tinggi untuk dialisis, dimulai dengan air keran dan

finishing dengan cairan dialisis ultra murni atau larutan substitusi steril, harus dipandang

sebagai suatu proses yang terintegrasi dimana setiap langkah dalam rantai memenuhi

didefinisikan obyektif dan divalidasi untuk tujuan tersebut (Gambar 8). Berdasarkan

kualitas mikrobiologis, cairan yang digunakan dalam dialisis dapat dibagi menjadi tiga

tingkatan—standar, ultrapure, dan steril—ketiganya memiliki relevansi dengan HDF (Gambar 8) [21]. Tingkat kontaminan mikrobiologi diukur berdasarkan unit pembentuk

(11)

mengacu berdasarkan rekomendasi dan standar ISO baru [22]. Dibawah ini dijabarkan

beberapa perbedaan dari tingkatan cairan dialisis.

a) Cairan standar dialisis

Cairan dialisis dengan kualitas standar mempunyai nilai hitung bakteri <100

CFU/ml dan level endotoxin <0.50 EU/ml. Cairan standar untuk dialisis dibuat

dari air keran melalui serangkaian filter untuk menghilangkan mikropartikel,

bahan organik, dan anorganik. Kemudian proses reverse osmosis digunakan untuk

menghasilkan air yang memenuhi tuntutan kualitas yang direkomendasikan, baik

dari segi komposisi maupun mikrobiologis (gambar). Kualitas air standar untuk

dialisis dapat berfungsi sebagai dasar persiapan cairan lainnya (Gambar 4).

Apabila air yang diolah tidak memenuhi target cairan standar maka tidak dapat

digunakan dalam segala bentuk dialisis [21].

b) Cairan Ultrapure

Cairan dialisis ultrapure memiliki nilai hitung bakteri <0.1 CFU/ml dan level

endotoxin <0.03 EU/ml. Cairan ultrapure didapat dengan mengkonversi cairan

standar dialisis melalui proses ultrafiltrasi [23]. Hingga saat ini, belum ada

penelitian terkontrol secara acak yang membandingkan efek cairan ultrapure

dengan standar mutu cairan dialisis cairan. Namun, banyak penelitian klinis

menunjukkan perbaikan yang signifikan dari parameter inflamasi ketika pasien

beralih dari cairan standar ke cairan ultrapure [24]. Berdasarkan temuan ini,

European Best Practice Guidelines dan pedoman Japanese Society for Dialysis

Therapy merekomendasikan penggunaan cairan dialisis ultra murni untuk semua

bentuk dialisis [25].

c) Cairan steril

Cairan kualitas steril tidak dapat didefinisikan oleh kandungan bakteri tertentu,

karena tidak dapat diuji. Cairan yang digunakan untuk setiap terapi harus bebas

dari bakteri hidup dengan yang dapat dilihat melalui mikroskop dengan

pembesaran 1000 000 kali. Cairan juga harus bersifat non-pirogenik, yang

didefinisikan sebagai tingkat endotoksin <0,03 EU / ml. Cairan dialisis steril

(12)

Cairan dialisis steril dapat digunakan sebagai subsitusi cairan tubuh melalui cairan

yang telah disiapkan dalam kantong ataupun pada on-line HDF [26].

Gambar 8. Proses pemurnian air keran menjadi air yang memenuhi standar untuk digunakan sebagai cairan dialisat hingga cairan subsitusi. Proses dimulai dengan penyaringan (pretreatment) dan reverse osmosis (RO) yang kemudian dimixasi agar sesuai konsentrasi cairan plasma. Proses ultrafiltrasi cairan

dilakukan untuk mendapatkan air yang lebih murni.

(13)

Air keran yang telah diolah menjadi cairan standar dialisis kemudian akan dicampur cairan

dialisat pekat dengan perbandingan 1:34 hingga 120L dimasukan dalam tangki air kemudian

mengalirkannya ke ginjal buatan dengan kecepatan 500 – 600 cc/menit. Pencampuran dilakukan untuk mencapai kadar konsentrasi yang sama dengan cairan plasma darah. Table

di bawah ini membandingkan cairan plasma dengan dialisat.

Table 1. perbandingan darah dan dialisat :

Tipe-Tipe Hemodiafiltrasi

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, HDF adalah kombinasi dari HD dan HF

(Gambar 1). Kombinasi konveksi dengan membran tipis high-flux memungkinkan

pembuangan zat terlarut kecil dan besar (Gambar 7). Kontribusi relatif dari konveksi

pada pembuangan zat terlarut secara keseluruhan meningkat secara progresif dengan

meningkatnya berat molekul (Gambar 5). Kedua konsep ini telah diterapkan dalam

(14)

Gambar 10. Evolusis dari hemodiafiltrasi. Classic HDF menggunakan sekitar 9 liter cairan subsitusi. Apabila cairan subsitusi kurang dari 9 liter (3-6 liter) maka teknik tersebut tergolong dalam soft HDF.

Begitu pula sebaliknya pada hard HDF (15-21 liter).

Bab ini meringkas aplikasi praktis dari HDF selama bertahun-tahun, diantaranya sebagai

berikut.

a) Classic HDF

Teknik ini didasarkan pada tingkat pemberian cairan subsitusi tubuh (reinfusion)

sekitar 9 liter per sesi. Biasanya cairan subsitusi diberikan pada darah yang telah

melewati tabung dialiser atau postdilution (Gambar 11). Cairan yang digunakan

biasanya merupakan cairan infus komersial. Aliran darah yang tinggi, >300

mL/menit, diperlukan untuk menghasilkan tingkat ultrafiltrasi yang cukup pada

tekanan gradien transmembran yang dapat diterima. Peralatan yang dibutuhkan

mencakup sistem kontrol ultrafiltrasi, pompa reinfusion, dan skala yang

mengukur berat kantong infus secara terus menerus. Teknik ini digunakan selama

bertahun-tahun sebelum modalitas on-line tersedia (Gambar 12). Dalam beberapa

kasus, jumlah reinfusion dapat serendah 3 L per sesi ("soft" HDF) seperti dalam

kasus biofiltrasi atau mencapai 15 L per sesi seperti pada "hard" HDF yang akan

(15)

Gambar 11. Classic HDF

b) Acetate-free biofiltration

Acetate-free biofiltration adalah bentuk khusus dari HDF di mana cairan dialisat

dan cairan subsitusi benar-benar terbebas dari asetat. Jumlah rata-rata cairan

pengganti dititrasi berdasarkan tingkat bikarbonat darah dan bervariasi antara 6

hingga 9 L per sesi [8].

c) High-volume HDF (“hard” HDF)

Pada beberapa jenis tipe klasik HDF, jumlah pertukaran cairan dapat mencapai 15

L per sesi atau bahkan lebih. Karena tingkat ultrafiltrasi yang tinggi, arus darah

yang tinggi juga diperlukan, dan cairan subsitusi terkadang diberikan pada mode

predilution (sebelum darah masuk ke dalam tabung dialisat). Meskipun teknik ini

dapat menurunkan efisiensi terapi, tetapi memungkinkan distribusi aliran darah

secara optimal dalam hemodialyzer dan menurunkan konsentrasi polarisasi

protein polarisasi lebih rendah pada membran dialiser [18].

d) On-line HDF

Tingginya biaya cairan subsitusi komersial dan perkembangan dalam teknologi

persiapan cairan dialisat on-line telah mendorong pengembangan teknik baru

yang disebut HDF secara on-line (OLHDF) (Gambar 12). Cairan ultrapure dialisat

diambil dari baris inlet dialisat, diolah dengan beberapa langkah ultrafiltrasi, dan

kemudian diinfusikan kembali sebagai cairan pengganti. Dengan cara ini,

sejumlah besar cairan subsitusi dengan harga yang terjangkau dapat dihasilkan,

dan HDF dapat dilakukan dengan volume cairan yang sangat tinggi (hingga 30-40

L per sesi). Reinfusion cairan dapat diberikan secara pre-atau postdilution atau

(16)

Gambar 12. On-line HDF

e) Internal Filtration HDF

Teknik ini merupakan perkembangan dari teknik on-line HDF dimana

backfiltered dialisat digunakan sebagai solusi pengganti dan keseimbangan cairan

dikelola oleh fungsi kontrol volume mesin HD. Jumlah ultrafiltrasi biasanya tidak

dapat dikendalikan dapat menjadi konsekuensi dari pengobatan [28].

f) Paired Filtration Dialysis

Teknik hemodiafiltration ini dikembangkan di Italia. Teknik ini didasarkan pada 2

filter yang ditempatkan secara berurutan. Pertama, hemofilter yang membersihkan

cairan dan zat terlarut dengan proses konveksi, dan yang kedua hemodialyzer

yang membersihkan zat terlarut dengan proses difusi (Gambar 13). Penggantian

cairan infus diberikan di antara 2 unit. Terapi ini meminimalkan interaksi antara

konveksi dan difusi, mencegah backfiltration pada hemodialyzer, dan ultrafiltrasi

dapat diukur sewaktu-waktu untuk sehingga dapat mengontrol pemberian cairan

(17)

Gambar 13. Paired Filtration Dialysis

g) Middilution HDF

Saat ini, filter khusus dengan 2 kompartemen membujur telah dikembangkan

untuk menciptakan teknik yang disebut middilution HDF (Gambar 14). Pada

teknik ini, darah mengalir di kompartemen pertama dan memproduksi sejumlah

ultrafiltrasi, pada akhir kompartemen, darah diarahkan berlawanan pada

kompartemen darah kedua. Di ujung vena dari dialyzer, di tempat pelabuhan

vena, terdapat ruang khusus yang dirancang untuk menerima penggantian infus

cairan dan untuk menyusun kembali komposisi darah. Darah kemudian

meninggalkan dialyzer dan masuk ke dalam tubuh. Dialisat dalam sistem ini

mengalir 50% berlawanan darah, sedangkan 50% mengalir bersamaan dengan

(18)

Gambar 14. Middilution HDF

h) Double High-Flux HDF

Teknik ini juga digunakan 2 dialyzers high-flux secara berurutan. Filtrasi terjadi

di filter proksimal, sedangkan backfiltration terjadi di unit distal (Gambar 15).

Arus darah yang tinggi digunakan dalam teknik ini, dan efisiensi yang tinggi telah

memungkinkan terapi dilakukan di bawah 2 jam tiap sesinya [5].

(19)

i) Push-Pull HDF

Teknik ini menggunakan mekanisme yang mendaorong dan menarik darah secara

bergantian. Hal dapat dilakukan dengan 2 pompa yang terdapat pada pre- dan

postfilter. Ketika pompa postfilter dihentikan, filtrasi terjadi, dan ketika pompa

prefilter dihentikan, tekanan negatif diinduksi dalam kompartemen darah

menghasilkan backfiltration. Terapi ini dapat meningkatkan proses konveksi

sehingga pembersihan darah dapat lebih optimal (Gambar 16) [31].

Gambar 16. Push-pull HDF

Dari modalitas HDF yang telah disebutkan di atas, teknik on-line hemodiafiltrasi menjadi

teknik yang paling efisien dibandingkan dengan teknik lainnya seperti high-flux HDF dan

classic HDF. Teknik on-line HDF, menghasilkan proses konveksi yang lebih tinggi

dibandingkan teknik lainnya sehingga hasil clearance yang diperoleh singnifikan. Selain

itu, terapi ini juga tergolong murah karena tidak membutuhkan cairan infus melainkan

menggunakan cairan dialisat sebagai cairan subsitusi. Meskipun demikian, on-line HDF

membutuhkan sistem penyaringan yang dapat mengubah air keran menjadi cairan steril

(20)

Studi Klinis Pada Hemodiafiltrasi

Terapi dialisis yang efisien merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi kualitas

hidup pasien dengan gagal ginjal. Keberhasilan dari dialisis dapat dinilai dari berbagai

aspek termasuk angka kematian, anemia, gizi, dan penyakit kardiovaskular. Beberapa

studi klinis menunjukkan HDF memiliki keunggulan dalam berbagai aspek yang dapat

meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa keunggulan HDF pada pembuangan zat

toxin dan perbandingannya dengan HD dapat dilihat di bawah ini.

a) Urea

Studi seperti Kerr et al dan Canaud et al, menunjukkan clearance urea dan

kreatinin meningkat pada terapi OLHDF sebesar 10% sampai 15% dari waktu ke

waktu dibandingkan dengan HD [32, 33].

b) Fosfat

Kalsium-fosfat, vitamin D, dan hormon paratiroid telah menjadi faktor penting

yang terkait dengan penyakit kardiovaskular pada patients gagal ginjal [33, 34].

Dengan adanya proses konveksi, clearance fosfat dapat ditingkatkan dengan

metode HDF hingga mencapai 30-35 mmol/L per sesi. Pasien yang mendapat

terapi HDF memiliki kadar fosfat serum lebig rendah dibandingkan dengan

mereka yang mendapat terapi HD [33],

c) β2-mikroglobulin dan Zat terlarut bermolekul besar lainnya

Studi terkontrol dan prospektif telah menunjukkan pengurangan 20% sampai 30% lebih besar dari β2-mikroglobulin per sesi dengan OLHDF dibandingkan dengan HD high-flux [35, 36]. Hal ini dapat membantu dalam mengurangi terjadinya

amyloidosis. Selain itu, molekul ini telah sering digunakan sebagai marker untuk

clearance dari berbagai zat dengan berat molekul sedang. Hal ini menunjukkan

bahwa HDF juga akan lebih efektif dalam menghilangkan racun uremik lebih

besar dibandingkan dengan modalitas difusi. Selain itu, HDF juga telah

menunjukkan dapat membersihkan zat terlarut yang lebih besar seperti mioglobin

dan retina-binding protein [37] serta beberapa protein yang mengikat zat terlarut

(21)

glycosylation endproducts) yang berkontribusi dalam terjadinya atherosclerosis

pada pasien gagal ginjal [39]. Selain itu kadar homocysteine, asam amino yang

juga dapat menyebabkan atherosclerosis, berkurang secara signifikan pada terapi

HDF [40]. Kadar leptin juga berkurang secara signifikan pada HDF, dan tingkat

leptin darah yang rendah dapat terlihat pada pasien dengan terapi HDF jangka

panjang. Hal ini berpotensi mendukung perbaikan status gizi pasien dan status

kardiovaskular, meskipun ini titik akhir klinis belum dievaluasi secara mendalam

[41].

Aspek Klinis Pada Hemodiafiltrasi

Sebuah inovasi teknologi dalam terapi, seperti hemodialysis, akan dianggap layak jika

menunjukkan hasil, setidaknya 1 dari berikut: meningkatkan kelangsungan hidup,

meningkatkan kualitas hidup, atau pengurangan komplikasi. Berbagai manfaat klinis

HDF dapat dilihat di bawah ini.

a) Hipotensi pada dialisis

Penghapusan zat terlarut dan cairan secara cepat dapat menyebabkan gejala

hipotensi yang merupakan komplikasi akut yang paling umum dari HD. Dua

puluh persen hingga 30% dari sesi dialisis berkomplikasi terjadi hipotensi dan

gejala yang mengikutinnya seperti kram otot, mual, muntah, dan nyeri kepala

[42]. Hal ini dapat berpengaruh terutama pada pasien lansia, pasien dengan

diabetes, serta pasien dengan penyakit jantung struktural.

Berkurangnya komplikasi tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan

untuk meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal. Pengurangann hipotensi

intradialytic juga memungkinkan penghapusan cairan yang cukup, membantu

memulihkan euvolemia dan kontrol tekanan darah yang lebih baik. Beberapa studi

observasional menunjukkan stabilitas hemodinamik intradialytic lebih baik ketika

pasien dirawat oleh terapi konvektif, termasuk HDF [42]. Studi meta-analisis

terkontrol acak menegaskan bahwa tekanan darah sistolik selama sesi dialisis

secara signifikan lebih tinggi, dan penurunan tekanan sistolik dapat terjadi secara

(22)

Mekanisme yang tepat dimana HDF dapat mempertahankan tekanan arteri selama

sesi dialisis tidak sepenuhnya dipahami. Beberapa faktor yang mungkin

berkontribusi pada adaptasi hemodinamik selama HDF, meskipun spekulatif,

diantaranya termasuk konsentrasi natrium yang tinggi dari cairan dialisis dan

cairan substitusi, pelepasan mediator vasokonstriktor, clearance mediator

vasodilator, dan peningkatan aktivitas simpatis memfasilitasi denyut jantung dan

resistensi vaskular.

b) Amyloidosis

Dialysis-related amyloidosis (DRA) adalah gangguan yang disebabkan oleh deposisi β2-mikroglobulin sebagai amiloid fibril pada jaringan. Pengendapan amiloid pada jaringan secara histologis terjadi jauh lebih awal daripada

manifestasi klinis atau radiografi penyakit. Sebuah studi postmortem prospektif

pada pasien yang mendapatkan terapi HD menemukan deposisi amiloid sekitar

21% dari pasien yang menerima HD kurang dari 2 tahun, 50% pada 4 sampai 7

tahun, 90% pada 7 sampai 13 tahun, dan 100% pada lebih dari 13 tahun. Hingga

sampai saat ini, belum ada penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan

persentase DRA pada pasien gagal ginjal yang menerima terapi HDF. Hal ini

dikarenakan manifestasi dari DRA timbul setelah deposisi β2-mikroglobulin selama bertahun tahun [43].

c) Anemia

Anemia merupakan faktor risiko independen pada hipertrofi ventrikel kiri dan

kardiovaskular dan kematian pada pasien gagal ginjal dan juga berdampak pada

kualitas hidup. Meski masih kontroversial, beberapa studi menunjukkan bahwa

anemia dapat ditingkatkan pada pasien yang dengan HDF sehingga dapat

mengurangi dosis penggunaan erythropoietin rekombinan (rHuEpo).

Pengkoreksian anemia juga terkait dengan penurunan faktor inflammation. Studi

menunjukkan bahwa HDF meningkatkan pembuangan racun uremik yang lebih

besar dan dengan mengurangi keadaan inflamasi pasien [44].

d) Kualitas hidup

Kualitas hidup telah dinilai secara khusus dalam 2 penelitian secara acak. Lin et al

(23)

mereka yang menjalani HD berdasarkan ukuran kesejahteraan pasien [45].

Meskipun demikian, penelitian tersebut masih menggunakan alat scoring yang

belum tervalidasi. Di sisi lain, penelitian lainnya menemukan tidak ada perbedaan

yang signifikan dalam kualitas hidup berdasarkan Kidney Disease Questionnaire

[46].

e) Mortalitas

Sebuah tinjauan sistematis dari 20 studi tentang HDF, HF, dan HD pada penderita

gagal ginjal memeriksa berbagai titik akhir, termasuk mortalitas.30 Meta-analisis

untuk kematian dalam 6 studi (ukuran sampel dikumpulkan = 388) dengan tindak

lanjut mulai dari 12 sampai 48 bulan dan menunjukkan bahwa angka kematian

tidak berbeda nyata untuk modalitas konvektif (HF, HDF, dan acetat-free

biofiltration) dibandingkan dengan HD (risiko relatif, 1,68; 95% confidence

interval, 0,23-12,13). Namun, penilitian tersebut mengingatkan bahwa tidak ada

kematian dalam 4 studi yang dianalisis, dan terdapat adanya heterogenitas

inter-trial yang signifikan [33].

Kesimpulan

Meskipun dengan kemajuan teknologi saat ini, pengobatan HD dan penghapusan zat

terlarut secara difusi memiliki tingkat kematian dan komplikasi yang tinggi. Oleh

karenanya, dibutuhkan modalitas terapi yang lebih baik bagi pasien dengan gagal ginjal.

Modalitas pengobatan yang melibatkan konveksi, seperti HDF, memungkinkan

penghapusan spektrum yang lebih luas dari toxin-toxin uremik, dengan clearance yang

lebih efisien pada molekul berukuran sedang-besar. Teknologi dalam pemurnian cairan

online ultrapure dialisat dan cairan reinfusate telah mengurangi biaya dan kompleksitas

HDF sambil memastikan keamanan dan efisiensi. HDF online memiliki banyak

keuntungan klinis yang potensial dibandingkan dengan HD high-flux seperti dapat

membantu meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan dan juga meningkatkan

kelangsungan hidup pasien gagal ginjal. Meskipun demikian, masih diperlukan adanya

penelitian yang dapat mengkonfirmasi lebih lanjut dari temuan modalitas pengganti ginjal

tersebut dengan uji coba terkontrol menggunakann ukuran sampel dan follow up yang

(24)

masing-masing teknik HDF dapat memungkinkan dokter untuk mendapatkan hasil

(25)

Daftar Pustaka

1. Kolff, W.J., First Clinical Experience with the Artificial Kidney. Ann Intern Med, 1965. 62: p. 608-19.

2. Henderson, L.W., et al., Blood purification by ultrafiltration and fluid replacement (diafiltration). Hemodial Int, 2004. 8(1): p. 10-8.

3. Henderson, L.W., The beginning of hemofiltration. Contrib Nephrol, 1982. 32: p. 1-19. 4. Henderson, L.W., et al., Hemodiafiltration. J Dial, 1977. 1(3): p. 211-38.

5. Miller, J.H., et al., Technical aspects of high-flux hemodiafiltration for adequate short (under 2 hours) treatment. Trans Am Soc Artif Intern Organs, 1984. 30: p. 377-81.

6. Leber, H.W., et al., Simultaneous hemofiltration/hemodialysis: an effective alternative to hemofiltration and conventional hemodialysis in the treatment of uremic patients. Clin Nephrol, 1978. 9(3): p. 115-21.

7. Kunitomo, T., et al., Clinical evaluation of postdilution dialysis with a combined ultrafiltration (UF)--hemodialysis (HD) system. Trans Am Soc Artif Intern Organs, 1978. 24: p. 169-77.

8. Ronco, C. and D. Cruz, Hemodiafiltration history, technology, and clinical results. Adv Chronic Kidney Dis, 2007. 14(3): p. 231-43.

9. Ledebo, I., On-line hemodiafiltration: technique and therapy. Adv Ren Replace Ther, 1999. 6(2): p. 195-208.

10. Sargent, J.A. and F.A. Gotch, Replacement of Renal Function by Dialysis, in Principles and biophysics of dialysis1996: Dordrecht, The Netherlands: Kluwer. p. 35–96.

11. Maduell, F., Hemodiafiltration. Hemodial Int, 2005. 9(1): p. 47-55.

12. Eknoyan, G., et al., Effect of dialysis dose and membrane flux in maintenance hemodialysis. N Engl J Med, 2002. 347(25): p. 2010-9.

13. Ledebo, I., Principles and practice of hemofiltration and hemodiafiltration. Artif Organs, 1998.

22(1): p. 20-5.

14. Beerenhout, C.H., et al., Pre-dilution on-line haemofiltration vs low-flux haemodialysis: a randomized prospective study. Nephrol Dial Transplant, 2005. 20(6): p. 1155-63.

15. Jaffrin, M.Y., Convective mass transfer in hemodialysis. Artif Organs, 1995. 19(11): p. 1162-71. 16. Joyeux, V., et al., Optimized convective transport with automated pressure control in on-line

postdilution hemodiafiltration. Int J Artif Organs, 2008. 31(11): p. 928-36.

17. Leber, H.W., et al., Hemodiafiltration: a new alternative to hemofiltration and conventional hemodialysis. Artif Organs, 1978. 2(2): p. 150-3.

18. Pedrini, L.A., et al., Transmembrane pressure modulation in high-volume mixed

21. Schiffl, H., High-flux dialyzers, backfiltration, and dialysis fluid quality. Semin Dial, 2011. 24(1): p. 1-4.

(26)

23. Ledebo, I., Ultrapure dialysis fluid--direct and indirect benefits in dialysis therapy. Blood Purif, 2004. 22 Suppl 2: p. 20-5.

24. Ledebo, I., Ultrapure dialysis fluid--how pure is it and do we need it? Nephrol Dial Transplant, 2007. 22(1): p. 20-3.

25. Ledebo, I., Ultrapure dialysis fluid: improving conventional and daily dialysis. Hemodial Int, 2004.

8(2): p. 159-66.

26. Ledebo, I., On-line preparation of solutions for dialysis: practical aspects versus safety and regulations. J Am Soc Nephrol, 2002. 13 Suppl 1: p. S78-83.

27. Canaud, B., et al., On-line hemodiafiltration as routine treatment of end-stage renal failure: why pre- or mixed dilution mode is necessary in on-line hemodiafiltration today? Blood Purif, 2004.

22 Suppl 2: p. 40-8.

28. Fiore, G.B., et al., A new semiempirical mathematical model for prediction of internal filtration in hollow fiber hemodialyzers. Blood Purif, 2006. 24(5-6): p. 555-68.

29. Mandolfo, S., et al., Evaluation of hygiene and safety controls for on-line paired hemodiafiltration (PHF). Int J Artif Organs, 2006. 29(2): p. 160-5.

30. Santoro, A., et al., Mid-dilution: the perfect balance between convection and diffusion. Contrib Nephrol, 2005. 149: p. 107-14.

31. Miwa, M. and T. Shinzato, Push/pull hemodiafiltration: technical aspects and clinical effectiveness. Artif Organs, 1999. 23(12): p. 1123-6.

32. Kerr, P.B., et al., Comparison of hemodialysis and hemodiafiltration: a long-term longitudinal study. Kidney Int, 1992. 41(4): p. 1035-40.

33. Canaud, B., et al., Mortality risk for patients receiving hemodiafiltration versus hemodialysis: European results from the DOPPS. Kidney Int, 2006. 69(11): p. 2087-93.

34. Lornoy, W., et al., Impact of convective flow on phosphorus removal in maintenance hemodialysis patients. J Ren Nutr, 2006. 16(1): p. 47-53.

35. Lin, C.L., et al., Long-term on-line hemodiafiltration reduces predialysis beta-2-microglobulin levels in chronic hemodialysis patients. Blood Purif, 2001. 19(3): p. 301-7.

36. Rabindranath, K.S., et al., Comparison of hemodialysis, hemofiltration, and acetate-free biofiltration for ESRD: systematic review. Am J Kidney Dis, 2005. 45(3): p. 437-47.

37. Maduell, F., et al., Osteocalcin and myoglobin removal in on-line hemodiafiltration versus low- and high-flux hemodialysis. Am J Kidney Dis, 2002. 40(3): p. 582-9.

38. Bammens, B., et al., Removal of the protein-bound solute p-cresol by convective transport: a randomized crossover study. Am J Kidney Dis, 2004. 44(2): p. 278-85.

39. Lin, C.L., et al., Reduction of advanced glycation end product levels by on-line hemodiafiltration in long-term hemodialysis patients. Am J Kidney Dis, 2003. 42(3): p. 524-31.

40. Gonella, M., et al., The achievement of normal homocysteinemia in regular extracorporeal dialysis patients. J Nephrol, 2004. 17(3): p. 411-3.

41. Wiesholzer, M., et al., Inappropriately high plasma leptin levels in obese haemodialysis patients can be reduced by high flux haemodialysis and haemodiafiltration. Clin Sci (Lond), 1998. 94(4): p. 431-5.

42. Donauer, J., et al., Reduction of hypotensive side effects during online-haemodiafiltration and low temperature haemodialysis. Nephrol Dial Transplant, 2003. 18(8): p. 1616-22.

43. Locatelli, F., et al., Comparison of mortality in ESRD patients on convective and diffusive extracorporeal treatments. The Registro Lombardo Dialisi E Trapianto. Kidney Int, 1999. 55(1): p. 286-93.

44. Sitter, T., A. Bergner, and H. Schiffl, Dialysate related cytokine induction and response to recombinant human erythropoietin in haemodialysis patients. Nephrol Dial Transplant, 2000.

(27)

45. Lin, C.L., et al., Clinical improvement by increased frequency of on-line hemodialfiltration. Ren Fail, 2001. 23(2): p. 193-206.

46. Ward, R.A., et al., A comparison of on-line hemodiafiltration and high-flux hemodialysis: a prospective clinical study. J Am Soc Nephrol, 2000. 11(12): p. 2344-50.

47. Ursino, M., et al., A mathematical model for the prediction of solute kinetics, osmolarity and fluid volume changes during hemodiafiltration with on-line regeneration of ultrafiltrate (HFR). Int J Artif Organs, 2006. 29(11): p. 1031-41.

Gambar

Gambar 1. Secara definisi, hemodiafiltrasi merupakan terapi pengganti ginjal yang menggabungkan
Gambar 2. Proses difusi terjadi dimana perpindahan zat terlarut melewati membran permeable
Gambar 3. Pada proses konveksi/ultrafiltrasi, zat terlarut berpindah dari area yang betekanan
Gambar 4. Perbedaan mekanism penyaringan pada hemodialisis dan hemofiltrasi. Pada hemodialisis terjadi perpindahan molekul secara difusi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dikarenakan partikel emas mempunyai mobilitas yang lebih baik pada membran nitroselulosa dibandingkan latex, tidak mudah mengendap sebelum kit dipakai dan

Nilai akhir kurva kadar glukosa darah di menit ke-120 pada susu cokelat lebih tinggi dibandingkan susu cair low-fat dan susu cair full cream. Susu cair full cream

Pada Gambar diatas dapat terlihat bahwa setting kurva koordinasi dari rele Relay10 tidak sesuai dengan BS 142 karena setting low-set yang terdapat dalam kurva lebih dari 1,3

Apoptosis memiliki kandungan DNA yang lebih sedikit dibandingkan kandungan DNA pada siklus sel, sehingga sel yang terapoptosis akan membentuk kurva lebih awal diikuti

dibandingkan ion bervalensi 1, sebagai contoh Ca ² + dapat mengikat 12 molekul air, maka ion bervalensi dua akan lebih sulit menembus membran dibandingkan ion..

Pada Gambar diatas dapat terlihat bahwa setting kurva koordinasi dari rele Relay10 tidak sesuai dengan BS 142 karena setting low-set yang terdapat dalam kurva lebih dari 1,3

Universitas Indonesia Dari kurva adsorpsi diatas, dapat dilihat bahwa OCT dapat menyerap lebih banyak senyawa p-klorofenol dibandingkan dengan bentonit alam pada tiap titik

Dapat dilihat bahwa kadar padatan perekat pati dan kulit lebih tinggi dibandingkan perekat tanin sehingga jumlah molekul polimer yang memainkan peranan penting pada perekatan kayu