BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga 2.1.1 Anatomi telinga luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus
acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga terdiri
dari tulang rawan elastin dan kulit yang berfungsi mengumpulkan gelombang
suara, sedangkan liang telinga menghantarkan suara menuju membrana timpani
(Pearce,2008).
Liang telinga berbentuk huruf S dengan panjang 2,5-3 cm. Sepertiga
bagian luar terdiri dari tulang rawan yang banyak mengandung kelenjar serumen
dan rambut, sedangkan dua pertiga bagian dalam terdiri dari tulang dengan sedikit
serumen (Lee KJ, 2008).
2.1.2 Anatomi telinga tengah
Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrana timpani,
cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Bagian atas membran
timpani disebut pars flaksida (membran Shrapnell) yang terdiri dari dua
lapisan,yaitu lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan lapisan
dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Bagian bawah membran timpani disebut
pars tensa (membran propria) yang memiliki satu lapisan di tengah, yaitu lapisan
yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin (Tortora & Derrickson,
2009).
Tulang pendengaran terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan), dan
stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar ke dalam seperti rantai yang
bersambung dari membrana timpani menuju rongga telinga dalam (Pearce, 2008).
inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran
merupakan persendian. Tuba eustachius menghubungkan daerah nasofaring
dengan telinga tengah (Soetirto I; Hendarmin H; Bashiruddin J, 2007).
Prosessus mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang terletak di
belakang telinga. Ruang udara yang berada pada bagian atasnya disebut antrum
mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah. Infeksi dapat
menjalar dari rongga telinga tengah sampai ke antrum mastoideus yang dapat
menyebabkan mastoiditis (Pearce, 2008).
2.1.3 Anatomi telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan labirin
membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis
semisirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus,
duktus koklearis, dan duktus semisirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi oleh
lapisan tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar diisi oleh
trabekula (susunannya menyerupai spons) (Pearce, 2008).
Koklea (rumah siput) berbentuk dua setengah lingkaran. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala vestibuli
(sebelah atas) dan skala timpani (sebelah bawah). Diantara skala vestibuli dan
skala timpani terdapat skala media (duktus koklearis) (Sherwood L., 2001). Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan
Na+ 139 mEq/l, sedangkan skala media berisi endolimfa dengan konsentrasi K+
144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut membrana vestibularis (Reissner’s Membrane) sedangkan dasar
skala media adalah membrana basilaris. Pada membran ini terletak organ corti
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi
dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel
rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang
cenderung datar, dikenal sebagai membran tektoria. Membran tektoria disekresi
dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus
(Lee KJ, 2008).
Nervus auditorius atau saraf pendengaran terdiri dari dua bagian, yaitu:
nervus vestibular (keseimbangan) dan nervus kokhlear (pendengaran).
Serabut-serabut saraf vestibular bergerak menuju nukleus vestibularis yang berada pada
titik pertemuan antara pons dan medula oblongata, kemudian menuju cerebelum.
Sedangkan, serabut saraf nervus kokhlear mula-mula dipancarkan kepada sebuah
nukleus khusus yang berada tepat dibelakang thalamus, kemudian dipancarkan
lagi menuju pusat penerima akhir dalam korteks otak yang terletak pada bagian
[image:3.595.157.444.408.636.2]bawah lobus temporalis (Pearce, 2008).
2.2. Fisiologi Pendengaran
2.2.1 Fisiologi pendengaran normal
Daun telinga mengumpulkan suara dan menyalurkannya ke saluran telinga
luar kemudian membrana timpani bergetar sewaktu terkena getaran suara.
Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah berselang-seling
menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar masuk
seirama dengan frekuensi gelombang suara. Telinga tengah memindahkan gerakan
bergetar membrana timpani ke cairan di telinga dalam. Pemindahan ini
dipermudah oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) yang
berjalan melintasi telinga tengah. Ketika membrana timpani bergetar sebagai
respons terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak
dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari
membrana timpani ke jendela oval. Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran
yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti gelombang pada cairan telinga
dalam dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi gelombang suara semula.
Namun, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk menggerakkan cairan.
Tekanan tambahan ini cukup untuk menyebabkan pergerakan cairan koklea
(Sherwood L., 2001).
Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela oval
mengikuti dua jalur : (1) gelombang tekanan mendorong perilimfe pada
membrana vestibularis ke depan kemudian mengelilingi helikotrema menuju
membrana basilaris yang akan menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar dan
ke dalam rongga telinga tengah untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dan
(2) “jalan pintas” dari skala vestibuli melalui membrana basilaris ke skala timpani.
Perbedaan kedua jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui melalui
membrana basilaris menyebabkan membran ini bergetar secara sinkron dengan
gelombang tekanan (Tortora dan Derrickson, 2009).
Organ corti menumpang pada membrana basilaris, sehingga sel-sel rambut
tersebut akan membengkok ke depan dan ke belakang sewaktu membrana
basilaris menggeser posisinya pada membran tektorial sehingga menyebabkan
saluran-saluran ion gerbang-mekanis terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal
ini mengakibatkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, yang menimbulkan
perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga terjadi perubahan
pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Gelombang suara
diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dipersepsikan otak sebagai sensasi suara
[image:5.595.141.462.317.527.2](Sherwood L., 2001).
Gambar 2.3. Transduksi Suara (Sherwood, L., 2001)
Getaran membrana timpani
Getaran tulang-tulang pendengaran
Getaran jendela oval
Gerakan cairan dalam koklea
Getaran membrana basilaris
Pembengkokan sel-sel rambut sewaktu pergerakan membrana basilaris menyebabkan perubahan posisi rambut-rambut tersebut dalam kaitannya dengan membrana tektorial di atasnya tempat rambut-rambut tersebut terbenam
Perubahan potensial berjenjang (potensial reseptor) di sel-sel reseptor
Perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang terbentuk di saraf auditorius
Perambatan potensial aksi ke korteks auditorius di lobus temporalis otak untuk persepsi suara
Getaran jendela bundar
2.2.2 Fisiologi gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran atau ketulian dapat bersifat sementara atau
menetap, parsial atau total. Ketulian ada tiga jenis, yaitu tuli konduktif (hantaran),
tuli sensorineural (saraf), dan tuli campuran, bergantung mekanisme pendengaran
yang kurang berfungsi secara adekuat (Sherwood L., 2001).
Gangguan pendengaran atau ketulian dibagi menjadi 2 tipe : (1)
disebabkan oleh kerusakan koklea atau nervus auditorius (tuli saraf) dan (2)
disebabkan oleh kerusakan struktur fisik telinga yang menjalarkan suara ke dalam
koklea (tuli konduktif). Jika koklea atau nervus auditorius rusak, maka seseorang
akan mengalami tuli permanen (Corwin, 2000). Sedangkan, jika koklea dan
nervus tetap utuh tetapi sistem tulang pendengaran-timpani telah hancur atau
mengalami ankilosis, gelombang suara masih dapat dikonduksikan ke dalam
koklea melalui konduksi tulang dari pembangkit suara yang diletakkan pada
kepala di atas telinga (Guyton & Hall, 2008).
2.3. Gangguan Pendengaran
2.3.1 Definisi gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu atau kedua telinga (WHO,
2006). Gangguan pendengaran adalah perubahan tingkat pendengaran yang
mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan kehidupan normal, biasanya dalam
hal memahami pembicaraan (Buchari, 2007).
Normalnya telinga manusia dapat mendengar suara berfrekuensi 20 -
20000 Hz dengan intensitas dibawah 80 dB. Jika seseorang secara terus- menerus
mendengarkan suara di atas ambang normal, maka akan merusak fungsi sel-sel
2.3.2 Klasifikasi derajat gangguan pendengaran
Tabel 2.1. Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut ISO
(International Standard Organization) dan ASA (American
Standard Association)
Derajat Gangguan Pendengaran ISO (dB) ASA (dB)
Pendengaran Normal 10-25 10-15
Ringan 26-40 16-29
Sedang 41-55 30-44
Sedang Berat 56-70 45-59
Berat 71-90 60-79
Sangat Berat > 90 > 80
2.3.3 Jenis gangguan pendengaran
A. Gangguan Pendengaran Konduktif
Gangguan pendengaran konduktif terjadi apabila terdapat kerusakan di
telinga luar atau telinga tengah sehingga gelombang suara tidak dapat dihantarkan
untuk menggetarkan cairan di telinga dalam (Sherwood L., 2001)
Gangguan pendengaran konduktif bisa disebabkan oleh gangguan pada telinga luar atau telinga tengah. Gangguan pada telinga luar yang dapat
menyebabkan tuli konduktif misalnya atresia liang telinga, sumbatan oleh
serumen, otitis eksterna sirkumskripta, osteoma liang telinga. Sedangkan
gangguan pada telinga tengah yang dapat menyebabkan tuli konduktif adalah tuba
katar/ sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis,
hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran (Soetirto I., Hendarmin H.,
Bashiruddin J., 2007).
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai adanya sekret dalam kanal telinga
tes fungsi pendengaran, yaitu tes berbisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata
yang mengandung nada rendah (Soetirto I., Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).
B. Gangguan Pendengaran sensorineural
Pada gangguan pendengaran sensorineural gelombang suara dapat
disalurkan ke telinga dalam, tetapi tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang
diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara yang disebabkan adanya
kerusakan pada organ Corti (Sherwood L., 2001).
Gangguan pendengaran sensorineural dibagi dua, yaitu gangguan
pendengaran sensorineural koklea dan retrokoklea. Gangguan pendengaran
sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia (kongenital), labirinitis (bakteri/
virus), intoksikasi streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin,kina, asetosal
atau alkohol. Selain itu, bisa juga disebabkan oleh tuli mendadak (sudden
deafness), trauma kapitis, trauma akustik, dan pajanan bising. Sedangkan
gangguan pendengaran sensorineural retrokoklea disebabkan oleh neuroma
akustik, tumor sudut pons serebellum, mieloma multiple, cedera otak, perdarahan
otak, dan kelainan otak lainnya (Soetirto, I; Hendarmin, H; Bashiruddin, J., 2007).
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi dijumpai kanal telinga luar dan selaput
gendang telinga tampak normal. Pada tes berbisik dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara berbisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata
Tabel 2.2. Hasil pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan garpu tala
Tes Rinne Tes Weber Tes Swabach Diagnosis
Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan
pemeriksa
Normal
Negatif Lateralisasi ke telinga yang
sakit
Memanjang Tuli konduktif
Positif Lateralisasi ke telinga yang
sehat
Memendek Tuli sensorineural
Catatan : pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif (Soetirto I.,
Hendarmin H., Bashiruddin J., 2007).
C. Gangguan Pendengaran Campuran
Gangguan pendengaran campuran merupakan kombinasi antara gangguan
pendengaran konduktif dan sensorineural. Gejala yang timbul juga merupakan
kombinasi kedua gangguan pendengaran tersebut. Pada pemeriksaan fisik atau
otoskopi dijumpai tanda-tanda seperti gangguan pendengaran sensorineural. Pada
tes berbisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara berbisik pada jarak
lima meter dan sukar mendengar kata-kata bernada rendah maupun bernada
tinggi. Tes garpu tala Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, dan
Swabach memendek (Bashiruddin J, 2009).
2.3.4 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan pendengaran Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh pekerjaan (occupational
hearing loss), misalnya akibat kebisingan, trauma akustik, dapat juga bukan
disebabkan oleh pekerjaan (non-occupational hearing loss). Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap gangguan pendengaran akibat pekerjaan adalah intensitas
suara yang terlalu tinggi, usia karyawan, gangguan pendengaran yang sudah ada
sebelum bekerja, tekanan dan frekuensi kebisingan, lama masa kerja, jarak dari
Gambar 2.4. Faktor yang Berpengaruh terhadap Gangguan Pendengaran
2.4. Audiometri Nada Murni
Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur
sensivitas pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni
(pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat
didengar selama satu atau dua detik melalui hantaran udara (AC) ataupun hantaran
tulang (BC) (Arini,2005).
Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis
lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC, yaitu
dibuat dengan garis terputus-putus (250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai
warna biru, sedangkan telinga kanan dipakai warna merah (http:// scribd.com).
Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher:
Ambang dengar (AD) =
3
AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
Faktor internal:
- Umur - Masa kerja - Riwayat
penyakit
Gangguan pendengaran
Faktor eksternal:
- Alat pelindung telinga
- Riwayat pekerjaan Sumber kebisingan:
Kepustakaan terbaru menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan
ketiga ambang dengar diatas, kemudian dibagi 4.
Ambang dengar (AD) =
4
[image:12.595.151.322.257.378.2]AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz
Gambar 2.5. Gambaran audiogram pendengaran normal (Arini, 2005).
Normal : AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB
AC dan BC berimpit, tidak ada gap
Gambar 2.6. Gambaran audiogram gangguan pendengaran sensorineural (Arini,
2005).
Gangguan pendengaran sensorineural : AC dan BC lebih dari 25 dB
[image:12.595.124.345.481.631.2]Gambar 2.7. Gambaran audiogram gangguan pendengaran konduktif (Arini,
2005).
Gangguan pendengaran konduktif : BC normal atau kurang dari 25 dB
AC lebih dari 25 dB
[image:13.595.158.360.408.556.2]Antara AC dan BC terdapat gap
Gambar 2.8. Gambaran audiogram gangguan pendengaran campuran (Arini,
2005).
Gangguan pendengaran campuran : BC lebih dari 25 dB