SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S. Sos) dalam Bidang Sosiologi
Oleh:
DEVI ROSYIDA
NIM. B95213069
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU SOSIAL
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
ABSTRAK
Devi Rosyida, 2017. Kontruksi Mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an Tentang Nilai-nilai al-Qur’an Dalam Kehidupan Sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya “ Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.”
Kata kunci:Upaya Mahasiswa Tahfidzul Qur’an, Nilai-nilai Al-Qur’an
Semakin banyak masyarakat yang menghafalkan al-Qur’an. Namun semakin banyak pula dizaman saat ini yang mampu dalam mengaplikasikan nilai-nilai dalam al-Qur’an, peneliti membatasi rumusan masalah yang hendak dikaji dalam skripsi ini yaitu: Bagaimana mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an Mengkontruksi Nilai-Nilai al-Qur’an dalam Kehidupan Sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya ? dan Bagaimana Tipologi Mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an dalam mengkontruksi sosial dengan nilai-nilai al-Qur’ani dalam kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya?
Metode yang digunakan oleh peneliti adalah kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode ini dipilih agar diperoleh data penelitian yang bersifat mendalam dan menyeluruh mengenai upaya mahasiswa tahfidzul Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nilai yang al-Qur’an di UIN Sunan Ampel Surabaya. Teori yang digunakan dalam menganalisis data yang diperoleh adalah teori konstruksi sosial oleh Peter L Berger.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Definisi Konseptual ... 11
F. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II : KONTRUKSI SOSIAL-PETER L BERGER ... 20
A. Penelitian Terdahulu ... 20
B. Kajian Pustaka ... 25
a. Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an ... 26
b. Aplikasi Nilai-nilai al-Qur’an ... 26
c. Kerangka Teori... 32
A. Jenis Penelitian ... 51
B. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 53
C. Pemilihan Subyek Penelitian ... 53
D. Tahap-Tahap Penelitian ... 55
E. Teknik Pengumpulan Data ... 57
F. Teknik Analisis Data ... 58
G. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 60
BAB IV : UPAYA MAHASISWA DALAM MENGAPLIKASIKAN NILAI-NILAI AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN SOSIAL ... 60
A. Profil UPTQ ... 60
B. Sejarah UIN Sunan Ampel ... 63
C. Bentuk Upaya mahasiswa UPTQ dalam Mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an ... 72
D. Analisis Data Upaya Mahasiswa UPTQ dalam Teori KONSTRUKSI SOSIAL ... 88
BAB IV : PENUTUP ... 95
A. Kesimpulan ... 95
B. Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara
2. Dokumen lain yang relevan
3. Jadwal Penelitian
4. Surat Keterangan (bukti melakukan penelitian)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisikan kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat jibril secara
berangsur-angsur yang terjamin keshahihanya, dan tidak ada keraguan didalamnya dan yang
hanya membacanya sudah bernilai ibadah. Al-Qur’an menjadi pegangan wajib umat
Islam sebagai penuntun dan landasan hidup untuk menjalani dan menyelesaikan
permasalahan yang terjadi di dunia dan sebagai petunjuk untuk menuju jalan pada
kebahagian yang haqiqi. Isi yang terkandung dalam al- Qur’an sudah memberikan
petunjuk yang sangat lengkap beserta dengan hukumnya untuk kesejahteraan umat
manusia dalam segala perkembangan zaman, bahkan al-Qur’an seringkali sudah lebih
dulu menjelaskan atau menggambarkan kejadian yang saat ini terjadi sementara
al-Qur’an sudah berabad-abad lalu diturunkan oleh Allah SWT.Al-Qur’an merupakan
sumber hukum dan petujuk yang tiada tandinganya, bagi siapa saja yang selalu
mengakrabkan diri dengan al-Qur’an dan mengamalkan nilai-nilai al-Qur’an dalam
kehidupan sehari-hari sudah jelas tak akan salah dalam memilih jalan dan akan selalu
merasakan kebahagiaaan dan kedamaiaan dalam menjalani hidup. Sementara bagi
mereka yang jauh dengan al-Qur’an akan slalu merasakan kecemasan dan
kebingungan setiap kali permasalahn hidup datang mengampiri hingga akhirnya
memeka memilih jalan yang salah untuk memecahkan permasalahan mereka dan
1
menjadikan mereka semakin jauh dengan jalan yang penuh dengan ridho Allah SWT.
Sudah menjadi kewajiban umat islam untuk mempelajri dan memahami ayat-ayat
al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat islam yang di yakini
kebenaranya, karena didalamnya terdapat kandungan-kandungan hukum tata hidup
manusia.
Kaum muslimin mengkaji kitab sucinya dengan berbagai hal. Mulai dari
sekedar membaca dan memahami artinya hingga menghafal dan menafsirkan
al-qur’an secara jelas dan terperinci.Salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan
al-Qur’an adalah menghafalnya. Hati, fikiran, sikap, dan perilaku seseorang akan
senantiasa teriringi nilai-nilai spiritual dengan menghafal al-Qur’an sehingga akhlak
al-Qur’an akan melekat pada diri orang tersebut. Sebagaimana Aisyah RA
menyampaikan bagaimana akhlak Rasulullah, "نٰاْرقْلا هقلخ ناك" yang artinya akhlak
Rasulullah adalah al-Qur’an.1 Menghafal al-Qur’an merupakan ciri khas masyarakat
muslim terbukti jumlah penghafal al-Qur’an di dunia ini mencapai angka yang
fantastis. Penghafal al-Qur’an di Pakistan mencapai angka 7 juta orang dari sekitar
134 juta penduduk, jalur Gaza Palestina 60 ribu orang, Libya 1 juta orang dari 7 juta
penduduk, Arab Saudi 6 ribu orang, dan Indonesia sendiri jumlah penghafalnya 30
ribu dari sekitar 250 juta penduduk. Data jumlah penghafal al-Qur’an di Indonesia
yang diketahui ada sekitar 0,01% dari total 250 juta penduduk. Jumlah minimnya
penghafal al-Qur’an disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; kondisi keislaman
1Khairul akhmad, “ensiklopedi akhlak nabi SAW: akhlak nabi adalah al
1
orang tua, sedikitnya jumlah muhafizh (guru hafalan), ketersediaan sarana menghafal
al-Qur’an, dan minimnya lembaga Tahfizhul Qur’an.2
Wilayah yang memiliki para penghafal al-Qur’an dan menyumbang angka
0,01% tersebut diantaranya di daerah Surakarta. Jumlah tersebut lebih banyak
ditemukan di pondok pesantren daripada di rumah-rumah. Pesantren-pesantren
tersebut memiliki kiprah yang besar dalam mencetak generasi-generasi penghafal
al-Qur’an. Terdapat beberapa pesantren tempat menghafal para santri yang sering
dinamakan dengan pesantren Tahfizhul Qur’an yaitu; Baitul Hikmah, Isykarima,
Baitul Qur’an, Ulul Albab, Ibadurrahman,Pesantren Kota Barat, Darul Qur’an, Al
Manar Kleco dan lain sebagainya. Banyak ayat yang menerangkan keutamaan
menjadi penghafal al-Qur’an, salah satunya terdapat dalam al-Qur’an Surat Faathir
ayat 32 yang artinya:
“kemudian kitab ini kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih diantara hamba-hamba kami”3
Ada juga hadist yang menerangkan bahwa al-Qur’an dapat menolong 7
saudara dari api neraka. Menghafalkan al-Qur’an selain berniali ibadah, bagi
penghafalnya juga akan mendapatkan manfaat secara nyata langsung didunia, yaitu
berupa:
1. Hafalan al-Qur’an bisa menjadi mahar pernikahan
1
2. Akan mendapatkan berkah dan kenikmatan dalam hidup
3. Orang-orang yang di istimewakan oleh Nabi Muhammad SAW
4. Merupakan ciri orang yang diberi ilmu
5. Mendapatkan keistimewaan sebagai keluarga Allah di bumi
6. Apabila menghormati penghafal al-Qur’an berarti mengagungkan Allah.4
Begitu besar keutamaan yang akan di peroleh bagi penghafal al-Qur’an bukan
hanya terjamin hidup di dunia pasti juga akan mulia ketika di akhirat nanti. Dan
manfaatnya pun buka hanya dirasakan oleh penghafal al-Qur’an tetapi juga bisa
menolong orang tua dan saudaranya ketika di akhirat nanti. Hal ini seringkali menjadi
motivasi bagi para penghafal al-Qur’an, selain untuk mencari ridho Allah juga
bertujuan untuk bisa menjadi penolong dan sebagai rasa balas budi terhadap orang tua
agar orang tuanya di muliakan di dunia hingga akhirat. Seorang yang menghafal
al-Qur’an diumpamakan seperti buat limau buahnya harum dan rasanya enak. Mengapa
buah limau sebagai perumpamaan dibandingkan dengan buah-buah yang lainnya
yang sama-sama memiliki rasa yang enak dan bau yang harum adalah dikarenakan
kulitnya bisa dipergunakan untuk berobat dan bijinya bisa mengeluarkan minyak dan
berbagai macam manfa’at. Bahwa jin tidak akan masuk rumah yang di dalamnya
terdapat buah limau, maka cocok sekali bila al-Qur’an diperumpamakan dengannya,
yang mana syetan tidak akan masuk rumah yang di dalamnya ada bacaan Al-Qur’an.
Kulit luarnya berwarna putih disesuaikan dengan hati seorang mukmin. Dan di
dalamnya juga terdapat banyak keistimewaan yang diantaranya bentuknya besar,
4
1
terlihat bagus, warnanya membuat orang senang, sentuhannya halus, dan jika
dimakan rasanya enak, dan membaguskan pencernaan otak dan lambung.
Para penghafal al-Qur’an pun beragam mulai dari kalangan remaja dan
orang-orang dewasa keinginan untuk menghafal dan mengkaji makna yang terkandung
dalam al-Qur’an pun semakin meningkat, bahkan banyak anak-anak yang masih kecil
sudah dibiasakan untuk membaca al-Qur’an dan menghafal surat-surat pendek.
Menghafal al-Qur’an Menurut etimologi, kata menghafal berasal dari kata dasar
hafal yang dalam bahasa Arab dikatakan al-Hifdz dan memiliki arti ingat. Maka kata
menghafal juga dapat diartikan dengan mengingat. Dalam terminologi, istilah
menghafal mempunyai arti sebagai, tindakan yang berusaha meresapkan ke dalam
pikiran agar selalu ingat. Menghafal adalah suatu aktifitas menanamkan suatu materi
di dalam ingatan, sehingga nantinya dapat diingat kembali secara harfiah, sesuai
dengan materi yang asli. Menghafal merupakan proses mental untuk mencamkan dan
menyimpan kesan-kesan, yang suatu waktu dapat diingat kembali ke alam sadar.
Didukung dengan semakin banyaknya kemajuan teknologi yang
menyediakan fitir-fitur lengkap untuk membantu memudahkan seorang dalam
mengkaji dan menghafal isi dalam al-Qur’an.Namun banyak juga yang masih
mempelajari al-Qur’an dengan setengah-setengah sehingga tak jarang yang salah
menafsirkan makna al-Qur’an hingga menimbulkan banyak menimbulkan
perselisihan. Seseorang yang menghafal Qur’an harus memiliki rasa ikhlas dan rela
menjauhi maksiat, hal ini merupakan modal utama yang harus di miliki oleh seorang
1
makna yang terkandung dalam isi al-Qur’an tidak akan mecari pengakuan orang lain
untuk dikatakann sebagai seorang yang pandai dalam ilmu al-Qur’an tidak berdebat
kesana-kemari untuk mematahkan argumen orang lain karna meresa dirinya paling
benar dan tidak memancing perselisihan, justru orang yang benar-benar menguasai
makna al-Qur’an akan mengerti waktu dan tempat yang sesuai kapan ia harus
menyampaikan makna yang terkadung dalam al-Qur’an, memberikan petunjuk
kepada mereka yang salah dan tidak melihat permasalahan hanya dalam satu sisi.
Orang-orang seperti inilah yang sangat dibutuhkan saat ini untuk tetap memberikan
petunjuk menuju jalan terang dan tidak mengarahkan pada kesesatan. Dan untuk tetap
menjaga hafalanya seorang penghafal al-Qur’an harus selalu bisa menjaga dirinya
dari segala perbuatana maksiat dan dosa. Karan hal itu bisa mempengaruhi bagus dan
buruknya hafalan seseorang. Seperti diterangkan dalam oleh imam syafi’i:
Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukkan untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan kepadaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.5
Di zaman modern saat ini banyak yang sudah mengabaikan dan meninggalkan
al-Qur’an,terbukti dengan masih langka nilai-nilai al-Qur’an yang membudaya dan
menyatu dalam kehidupan. Tanpa di sadari bahwa lebih sering membaca dan
mengkaji al-Qur’an lebih banyak memberikan manfaat untuk diri sendiri maupun
orang lain daripada meghabiskan waktu dengan aktivitas yang bersifat duniawi.
Banyak orang-orang yang saat ini lebih asyik bermain dengan gadged mereka yang
5
1
serba canggih lengkap dengan berbagai media sosial sebagai sarana untuk berbagi
cerita dan informasi serta untuk menambah jaringan pertemanan sehingga banyak
yang dapat memuaskan dan memenuhi setiap keingin tahuan mereka terhadap
perkembangan zaman. Informasi apapun bisa mereka dapatkan hanya dengan melalui
gadget canggih mereka.
Tak sedikit orang yang menghabiskan banyak waktu untuk selalu
mengup-date segala kegiatan mereka disosial media agar tidak dikatakan kurang pergaulan
atau ketinggalan jaman. Mereka sudah tak punya waktu untuk membaca dan
mengkaji makna al-Qur’an, hingga al-Qur’an menjadi suatu hal yang asing bagi
mereka. Banyak sekali larangan dalam al-Qur’an yang sudah diabaikan dan tidak
diperdulikan lagi. Saat ini para muslimat yang lebih bangga memperlihatkan
auratnya, bahkan banyak yang memakai jilbab namun menampakkan sertiap lekuk
tubuhnya, laki-laki dan perempuan bergaul secara bebas tanpa menghiraukan
batasan-batasan pergaulan yang semestinya mereka patuhi dalam pergaulan antara
laki-laki dan perempuan, banyak orang-orang yang saat ini tidak merasa bersalah
ketika meninggalkan sholat bahkan melakukan sholat hanya ketika mereka ingin
melakukan saja, sementara jika tidak ingin mereka dengan mudah dan ringan
meninggalkan sholat yang sudah menjadi kewajiban setiap muslimnya.
Banyak yang melakukan hal sesuai kehendak mereka tanpa menghiraun
aturan-aturan yang ada dengan mengatakan bahwa mereka tidak ingin menjadi
munafik dengan berpura-pura baik namun masih banyak melakukan kesalahan,
1
lupa, memiliki hawa nafsu yang beragam dan banyak mencari kepuasan duniawi,
maka sebagai manusia yang berakal dan berilmu harus bisa mengendalikan hawa
nafsu dan selalu memperbaiki diri meskipun belum sepenuhnya bisa menjadi baik.
Hal ini merupakan beberapa contoh dari sekian banyak ajaran al-Qur’an yang belum
dilaksanakan oleh jutaan kaum muslimin baik di negeri ini maupun di negeri muslim
lainnya.6
Seorang penghafal al-Qur’an yang notabenenya memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang lebih tentang makna yang terkandung daalam al-Qur’an secara
jelas dan terperinci di harapkan bisa membantu memberikan petunjuk kepada
orang lain untuk membantu dalam memperbaiki akhlak dan hidup mereka yang
masih banyak melakukan salah. Sesorang penghafal al-Qur’an bukan berarti
seorang yang sempurna jauh dari kekurangan dan kesalahan, penghafal al -Qur’an
juga tetap manusia biasa memiliki nafsu yang selalu ingin terpenuhi dan selalu
melakukan hal-hal yang bisa memberikan kepuasan dalam setiap keinginanya,
namun mereka telah banyak mengkaji dan mengetahui pemahaman tentang
makna al-Qur’an yang seharusnya mereka lebih baik dalam berperilaku dan
menjalalani hidup sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam al-Qur’an.
Karena seorang penghafal al-Qur’an memiliki kewajiban untuk mengamalkan isi
kandungan dalam al-Qur’an yang telah mereka pelajari dan memberikan
6
1
peringatan dan petunjuk kepada seseorang yang masih melakukan berada dijalan
yang salah.
Mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an UIN Sunan Ampel
contohnya, sudah banyak dari mereka yang memiliki hafalan al-Qur’an, baik yang
sudah selesai menghafal maupun masih dalam tingkat penyelesaian hafalanya. Tidak
hanya kegiatan meroja’ah dan setor hafalan, mahasiswa di UIN Sunan Ampel juga
memiliki banyak kegiatan yang dipersiapkan untuk bekal ketika hidup di dalam
masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah tersruktur ketika mereka berada dalam
lingkungan kampus UIN Sunan Ampel, namun bagaimana kehidupan mereka di luar
kegitan yang mengatur mereka yang mewajibkan mereka untuk tetap
mempertahankan dan mengamalkan hafalan mereka, bagaimana mereka mengatur
pergaulan mereka dengan lawan jenis dan bagaimana mereka menyesuaikan obrolan
mereka ketika bersama dengan mahasiswa yang bukan penghafal al-Qur’an. Hal ini
menarik untuk diteliti karena untuk mengetahui bagaimana upaya seorang penghafal
al-Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nial al-Qur’an yang telah mereka kaji dan
mereka hafalkan, mereka terapkan dalam kehidupan sosialnya bersama masyarakat
yang mana masyarakat pada era globalisasi ini banyak yang sudah mengabaikan kitab
suci al-Qur’an sebagai pedoman dan pegangan hidup. Karena peranan seorang
penghafal al-Qur’an diharapkan sedikit banyak dapat mengajarkan ilmu mereka
sebagai petunjuk dan penuntun masyarakat yang lebih baik dalam menjalani
1
Dengan adanya berbagai latar belakang di atas, upaya yang dilakukan
mahasiswa penghafal al-Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an tentang
kehidupan sosialdalam menjalani kehidupan sosial pastinya sangatlah beragam.
Upaya tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengamalkan ilmu yang mereka
dpatkan dari menghafal al-Qur’an. Maka dalam hal ini peneliti akan mengangkat
judul “KONTRUKSI MAHASISWA UNIT PENGEMBANGAN TAHFIDZUL
QUR’AN TENTANG NILAI-NILAI AL-QUR’AN DALAM KEHIDUPAN
SOSIAL DI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an
Mengkontruksi Nilai-Nilai al-Qur’an dalam Kehidupan Sosial di UIN Sunan
Ampel Surabaya ?
2. Bagaimana Tipologi Mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an
dalam mengkontruksi sosial dengan nilai-nilai al-Qur’ani dalam kehidupan
sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an dalam
mengkontruksi Nilai-nilai al-Qur’an dalam Kehidupan Sosial di UIN Sunan
Ampel Surabaya
2. Untuk mengetahui tipologi mahasiswa Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an
dalam mengkontruksi sosial dengan nilai-nilai al-Qur’ani dalam kehidupan
1 D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, diharapkan dapat memenuhi, antara lain:
1. Secara teoritis, hasil ini dapat memotivasi para penghafal qur’an dapat berperan
aktif dimasyarakat dan memotivasi seseorang untuk lebih giat belajar dan
mengkaji kandungan dari al-Qur’an dan mengakrabkan diri dengan Al-qur’an
dalam kehidupan sehari-hari
2. Penelitian ini akan memberikan pengalaman kepada mahasiswa, bagaimana cara
peneliti dan bagaimana cara menggunakan teori sebagai kacamata untuk
melakukan penelitian.
3. Penelitian ini juga merupakan kesempatan bagi penulis untuk belajar
mengaplikasikan teori-teori yang telah penulis dapatkan selama ini dibangku
perkuliahan, khususnya prodi sosiologi.
Hasil penelitian ini akan memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa
penghafal Al-qur’an dapat mengaplikasikan keilmuannya untuk membantu
mensejahterakan dan menjadikan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
E. Definisi Konseptual
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang arah penulisan skripsi ini
maka penulis menjelaskan terlebih dahulu definisi istilah dalam pemilihan judul ini
yaitu :
1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiaupaya berarti usaha, ikhtiar (untuk
mencapai suatu maksud, memecahkan persoalan, mencari jalan keluar).7
Berdasarkan makna dalam kamus Besar Bahasa Indonesia itu , dapat disimpulkan
bahwa kata upaya memiliki kesamaan arti dengan kata usaha, dan demikian pula
dengan kata ikhtiar, dan upaya dilakukan dalam rangka mencapai suatu maksud,
memecahkan masalah, mencari jalan keluar dan sebagainya.
Adapun yang dimaksudkan upaya disini adalah upaya seorang mahasiswa
tahfidzul qur’an yang telah banyak memahami isi dan makna dalam al-Qur’an
untuk mereka amalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana usaha
seorang tahfidzul Qur’an tetap bisa mempertahankan nilai-nilai yang dijelaskan
dalam al-Qur’an dan tetap mnjaga keharmonisan dalam hubungan sosialnya
dimasyarakat.
2. Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an (UPTQ)
Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an atau sering disebut UPTQ
merupakan suatu unit kegiatan mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya yang merupakan tempat berkumpulnya para hafidz dan hafidzah
sebagai wadah bagi mahasiswa yang ingin menghafalkan al-Qur’an maupun yang
sudah memiliki hafalan al-Qura’an untuk menyelesaikan dan menjaga hafalan
mereka dengan berbagai kegiatan sebagai pembelajaran dan memperbanyak bekal
ketika mereka hidup bermasyarakat.
7
1
UPTQ sampai sekarang memiliki kurang lebih memiliki anggota aktif 120
mahasiswa dari berbagai jurusan. Dalam setiap tahunya UPTQ membuka
pendaftaran keanggotanya setahun setahun sekali dan syarat untuk menjadi
anggota hanya bisa membaca al-Qur’an dan berniat untuk menghafalkan
al-Qur’an. Disamping itu UPTQ juga banyak anggotanya yang sudah menegukir
banyak prestasi dan mengharumkan kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, mulai
dari tingkat daerah, provinsi, nasional hingga internasional.
3. Aplikasi
Istilah aplikasi pada dasarnya berasal dari bahasa inggris yaitu dari kata
application yang berarti penerapan ataupun penggunaan. Namun jika ditinjau dari
istilah aplikasi berarti suatu progam yang telah siap untuk dipakai yang sengaja
sengaja di buat untuk melakukan suatu fungsi bagi pemakai jasa aplikasi serta
untuk pemakai semua aplikasi jenis lainya yang akan di pakai untuk sebuah
sasaran yang di tuju.
4. Nilai-nilai Al-Qur’an
Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan.8 Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon
penghargaan. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan
8
1
melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.9 Menurut Sidi Gazalba yang
dikutip Chabib Thoha mengartikan nilai sebagai berikut:
Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda
konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menunutut
pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehedaki dan tidak
dikehendaki.10
Sedangkan menurut Chabib Thoha nilai merupakansifat yang melekat
pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang
memberi arti (manusia yang meyakini).11 Jadi nilai adalah sesuatu yang
bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.
Menurut para ulama, al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang
diturunkan kepada nabi muhammad SAW, yang membacanya merupakan satu
ibadah.12 Menurut Ari Hendri, al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang
diturunkan kepada nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur dengan
perantaraan malaikat jibril, yang di riwayatkan secara mutawattir, dan
membacanya merupakan ibadah.13 Dari beberapa definisi menurut pakar dapat
disimpulkan bahwa definisi nilai-nilai al-Qur’an ialah makna yang terkandung
9
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran pendidikan islam,( Bandung: Trigenda Karya, 1993), 110
10
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 61
11Ibid
12Shaikh Manna’ al
-Qaththan, Pengantar Studi Al-qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 18
13
1
dalam al-Qur’an yang dapat memberikan manfaat dan pengaruh untuk siapa saja
yang menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
5. Kehidupan Sosial
Kehidupan sosial berarti kehidupan masyarakat. Mengingat kehidupan
masyarakat adalah sistem, maka kehidupan sosial di kenal juga dengan istilah
sistem sosial. Ketika berbicara sistem, maka kitaa bicara tentang unsur-unsur
yang membangunya atau unsur-unsur yang membentuk kehidupan sosial. Paling
tidak dalam sebuah sitem harus ada individu-individu yang berkumpul bersama
dalam satu wilayah tertentu dan ada norma atau aturan yang mengatur hubungan
di antara individu tersebut.
Berikut adalah unsur-unsur terbentuknya kehidupan sosial dalam
masyarakat:
a.) Adanya Interaksi sosial
Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis baik
yang menyangkut antara orang perseorangan, antara perseorangan dengan
kelompok manusia maupun antara kelompok dengan kelompok manusia
lainnya. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Sebab,
tanpa adanya interaksi, tidak akan ada kehidupan bersama. Dalam interaksi
sosial, hubungan yang terjadi harus secara timbal balik. Artinya kedua belah
1
1.) Terjadi proses dalam interaksi, yaitu berlangsungnya hubungan antara
individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok
dengan kelompok.
2.) Terjadinya komunikasi, yaitu hubungan timbal balik antarindividu,
individu dengan kelompok, atau hubungan antarkelompok.
3.) Terjadi saling memengaruhi dari dua orang atau dua kelompok yang
saling berhubungan.
4.) Tindakan dan pikiran yang saling memengaruhi dua pihak yang
berkomunikasi.
Faktor-faktor Yang mempengaruhi terjadinya interaksi sosial antara lain:
a. Motivasi
Motivasi adalah dorongan yang diberikan seseorang kepada orang lain
sehingga orang yang diberi motivasi melaksanakan apa yang disarankan
dengan penuh tanggung jawab, kritis dan rasional.
b. Sugesti
Sugesti adalah pengaruh dari seseorang kepada orang lain sehingga
orang yang diberi sugesti menuruti/melaksanakan tanpa berpikir kritis dan
rasional. Sugesti bukan merupakan proses belajar, melainkan proses
meningkatkan suatu reaksi yang sudah ada pada dirinya. Sugesti terjadi karena
pihak yang menerima anjuran itu tergugah secara emosional tanpa dipikir
terlebih dahulu.
1
Simpati adalah perasaan tertarik kepada orang lain karena sikap,
penampilan, wibawa, perbuatannya yang sedemikian rupa. Rasa simpati akan
muncul karena adanya perasaan. Faktor simpati yang utama adalah ingin
mengerti dan ingin bekerja sama dengan orang lain.
d. Empati
Empati adalah perasaan tertarik dan ikut merasakan apa yang
dirasakan orang lain tersebut. Sebagai contoh, jika ada orang yang sedang
dilanda kesusahan (sakit misalnya), kita tertarik untuk memerhatikan dan ikut
merasakan apa yang dirasakan orang tersebut.
e. Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang
untuk menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat berlangsung
dengan sendirinya, sehingga pandangan dan sikap orang lain bisa masuk ke
dalam jiwanya.
f. Imitasi
Imitasi adalah tindakan seseorang yang meniru orang lain baik dalam
hal tingkah laku, penampilan maupun gaya hidup. Faktor imitasi akan
memunculkan dampak positif dan negatif. Dampak positif kalau yang
diimitasinya itu berupa kaidah-kaidah (norma) dan perilaku yang baik.
Sebaliknya imitasi ini akan berdampak negatif kalau yang ditiru itu berupa
perilaku yang tidak baik. Selain itu imitasi juga bisa melemahkan daya kreasi
1
b) . Proses sosial
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan para individu maupun
kelompok yang saling bertemu, kemudian terjadi perubahan-perubahan yang
mampu menggoyahkan cara-cara hidup yang telah ada. Proses sosial
merupakan cara-cara berhubungan dalam kehidupan masyarakat yang dapat
dilihat apabila individu atau kelompok manusia saling bertemu dan
menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut.
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah pembahasan serta pemahaman dalam penulisan skripsi
ini, maka penulis membahasnya dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini peneliti memberikan gambaran tentang latar belakang masalah
yang akan di teliti. Selanjutya, peneliti menentukan Fokus Penelitian atau Rumusan
Masalah dan menyertakan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi
Konseptual, dan Sistematika Pembahasan.
BAB II: KERANGKA ANALISA STRATEGIMAHASISWA UNIT
PENGEMBANAGAN TAHFIDZUL QUR’AN PERSPEKTIF PETER L BERGER
Dalam bab ini, peneliti memberikan gambaran tentang penelitian terdahulu
yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Serta peneliti memberikan
gambaran tentang kajian pustaka yang di arahkan pada penyajian informasi terkait
1
dengan jelas. Disamping itu juga harus memperhatikan relevansi teori yang akan
digunakan dalam menganalisis masalah yang akan dipergunakan guna adanya
implementasi judul penelitian STRATEGI MAHASISWA UNIT PENGEMBANAGAN
TAHFIDZUL QUR’AN DALAM MENGAPLIKASIKAN NILAI-NILAI AL-QUR’AN
TENTAG KEHIDUPAN SOSIAL DI UIN SUNAN AMPEL SURABAYA.
BAB III: METODE PENELITIAN
Dalam bab metode penelitian ini, peneliti memberikan gambaran mengenai
kegiatan yang dilakukan di lapangan yang terdiri dari Jenis Penelitian, Lokasi dan
Waktu Penelitian, Tahap-Tahap Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, Teknik
Analisis Data dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data.
BAB IV: KONTRUKSI MAHASISWA UNIT PENGEMBANGAN TAHFIDZUL
QUR’AN TENTANG NILAI-NILAI AL-QUR’AN DALAM KEHIDUPAN
SOSIAL.
Dalam bab ini, peneliti memberikan gambaran tentang data-data yang
diperoleh, baik data primer maupun data sekunder. Penyajian data dibuat secara
tertulis dan dapat juga disertakan gambar, tabel atau bagian yang mendukung data.
Dalam bab ini peneliti juga memberikan gambaran tentang data-data yang dikemas
dalam bentuk analisis deskripsi. Setelah itu akan dilakukan penganalisahan data
dengan teori yang relevan dengan tema penelitian. Peneliti juga memberikan
gambaran tentang data-data yang di peroleh, baik data primer maupun data sekunder.
Penyajian data akan di buat secara tertulis dan juga di sertakan gambar-gambar atau
1
menggunakan teori yang sesuai, yaituStrategi Mahasiswa Unit Pengebangan Tahfidz
Qur’an Dalam Mengaplikasikan Nilai-nilai al-Qur’an Tentang Kehidupan Sosial
BAB V: PENUTUP
Dalam bab ini, peneliti akan memberikan kesimpulan dari setiap
permasalahan dalam penelitian. Kesimpulan ini menjadi hal terpenting pada bab
penutup ini. Selain itu, peneliti juga memberikan rekomendasi kepada para pembaca
laporan penelitian ini. Pada bab ini, menyertakan saran dan rekomendasi kepada para
BAB II
KONSTRUKSI SOSIAL-PETER L BERGER
A. Penelitian Terdahulu
Dalam rangka membantu menyajikan penulisan penelitian ini, maka peneliti
juga mencantumkan hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini.
Pencantuman penelitian terdahulu sebagai telaah pustaka tentunya bertujuan untuk
mengetahui gambaran umum tema penelitian dan juga menunjukkan karakter dan ciri
khas yang membedakannya dengan penelitian sebelumnya.1 Untuk itu peneliti
menyertakan beberapa penelitian sebelumnya yang relevan sebagai berikut:
1. Upaya Peningkatan Pemahaman al-Qur’an Pengaruhnya Terhadap Perilaku Sosial
ParaHafidz Dan Hafidzah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga
Penelitian ini dilakukan oleh Muntaha Al Misbah, mahasiswa Pendidikan
Agama IslamSekolah Tinggi Agama Islam NegeriSalatiga pada tahun 2010.
Penelitian ini dilakukan berkat ketertarikan peneliti untuk mengetahui pengaruh
positif pemahaman al-Qur’an terhadap perilaku sosial para mahasiswa. Dalam
penelitianya peneliti menggunakan pendekatan psikologi. Analisis data yang
dilakukan dengan metode kuantitatif Proses pelaksanaan penelitian ini,
respondennya sebanyak 40 mahasiswa dan pengumpulan data menggunakan
angket. Sehingga hipotesis yang menyatakan pemahaman al-Qur’an ada
1
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Sosiologi 2015 (Surabaya: FISIP UINSA, 2015), 16
pengaruhnya dalam merubah perilaku social para mahasiswa. Hasil penelitianya
adalah sebagai berikut:
a. Dari upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an para mahasiswa hafidz
dan hafidzah dapat diketahui:
b. Untuk upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an yang mendapat nilai
tinggi (SR) sebanyak 17 mahasiswa dan mahasiswi ada 42,5%
c. Untuk upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an yang mendapat nilai
sedang (KK) sebanyak 20 mahasiswa dan mahasiswi ada 50%
d. Untuk upaya peningkatan pemahaman al-Qur’an yang mendapat nilai
rendah (TP) sebanyak 3 mahasiswa dan mahasiswi ada7,5%
Dari perubahan perilaku sosial para mahasiswa hafidz dan hafidzah
dapat diketahui:
a. Untuk perilaku sosial yang mendapat nilai baik (SR) sebanyak 20
mahasiswa dan mahasiswi ada 50%
b. Untuk perilaku sosial yang mendapat nilai sedang (KK) sebanyak 13
mahasiswa dan mahasiswi ada 32
c. Untuk perilaku sosial yang mendapat nilai kurang baik (TP) sebanyak7
mahasiswa dan mahasiswi ada17,5%
Jadi ada pengaruh positif antara upaya peningkatan pemahaman
al-Qur’an terhadap perilaku sosial para mahasiwa hafidz dan hafidzah Sekolah
Dari beberapa ulasan yang telah dikutip untuk memberikan gambaran
singkat mengenai penelitian diatas, yang dimana letak perbedaan dengan
penelitian yang akan peneliti kerjakan adalah mengenai metode penelitian dan
tujuan penelitianyang mana pada penelitian yang dilakukan olehMuntaha Al
Misbahmenggunkan metode kuantitatif, sedangkan untuk penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti sendiri menggunakan penelitian kualitatif dan tujuan
penelitian terdahulu lebih berfokus pada pengaruh positif pemahaman al-Quran
terhadap perubahan perilaku sosial para mahasiswa. Sebagai suatu upaya untuk
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami al-Qur’an dalam
menghadapi perubahan perilaku sosial. Sedangkan penelitian yang akan
dilakukan berfokus pada upaya para penghafal al-Qur’an dalam mengaplikasikan
nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan sosial. Persamaan penelitian yang
dilakukan oleh Muntaha Al Misbah dengan penelitian yang akan dilakukan oleh
peneliti terletak pada tema yang mana sama membahas tentang penghafal
al-Qur’an.
2. Budaya Menjaga Hafalan al-Qur’an bagi Hafidz dan Hafidzah di Lingkungan
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Penelitian ini dilakukan oleh Riswandi Fakultas Adab dan Ilmu Budaya
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga pada tahun 2013. Dalam penelitian ini
peneliti ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui
metode observasi dan menggunakan wawancara mendalam. Hasil penelitian
1) Beberapa cara para mahasiwa hafidz dan hafidzah dalam mempertahankan
menjaga hafalan al-Qur’an mereka dalah dengan beberapa cara berikut:
a) Wirid al-Qur’an
b) Menjadi imam sholat berjamaah
c) Mengajarkan orang lain dengan cara menyimak hafalan mereka ketika
setoran dan diskusi.
2) Peran hafidz dan hafidzah di UIN Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut:
a) Sebagai imam di laboratorium agama masjid UIN Sunan Kalijaga
b) Wadah untuk baca tulis al-Qur’an
c) Ikut berpartisipasi dalam barbagai event Musabaqoh Hifdzil Qur’an
(MHQ)
Dari beberapa ulasan yang telah dikutip untuk memberikan gambaran
singkat mengenai penelitian diatas, yang dimana letak perbedaan dengan
penelitian yang akan peneliti kerjakan adalah mengenai fokus pembahasan dan
sasaran penelitianyang mana pada penelitian yang dilakukan oleh
Riswandimemfokuskan padamasalah untuk mengetahui dan memahami kebiasaan
para hafidz Qur’an dalam menjaga dan mempertahankan hafalan mereka,
mengetahui motivasi para penghafal al-Qur’an sehingga memunculkan semangat
dalam menjaga dan mempertahankan hafalan mereka, mengetahui pengaruh peran
hafidz pada aktifitas penghafal al-Qur’an di dalam maupun di luar kampus UIN
Sunan Kalijaga dan penelitian yang akan dilakukan berfokus pada upaya yang
mengaplikasin nilai-nilai al-Qur’an tentang kehidupan sosial di UIN Sunan
Ampel Surabaya. Persamaanpenelitian yang dilakukan oleh Riswandidengan
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada metode penelitian yang
mana penelitian terdahulu maupun penelitian yang sekarang sama menggunakan
penelitian kualitatif dantopik penelitian pun sama-sama berfokus pada penghafal
al-Qur’an.
3. Hubungan self regulation learning dengan prestasi akademik pada mahasiswa
penghafal al-Qur’an di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang.
Penelitian ini dilakukan oleh Linda Miftahul Husna mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
pada tahun 2014. Penelitian ini dilakukan berkat ketertarikan peneliti untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan antara self regulation learning dengan
prestasi akademik pada mahasiswa penghafal al-Qur’an di Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penelitian ini menggunakan metode
penelitan kuantitatif korelasional dengan self regulation learning sebagai
variabel bebas dan prestasi akademik sebagai variabel terikat. Kemudian
mengkategorikasikan tingkat self regulation learning degan menentukan
mean hipotetik dan standart deviasi terlebih dahulu dan mengkategorikan
tingkat prestasi akademik dengan yudisium S1. Sampel penelitian sebesar
53,4% yang didapatkan dari teknik random dengan mengundi nama-nama
didapatkan sejumlah 70 mahasiswa. Adapun hasil penelitian menunjukkan
sejumlah 70 mahasiswa penghafal al-Qur’an mempunyai tingkat self
regulation learning tinggi dengan prosentase 81,4% sedang 18,6% dan 0%
rendah. Kemudian terdapat 65,7% mahasiswa dengan kategori coumlade
dalam prestasi akademik 34,28% sangat baik, dan kategori baik dan sangat
baik adalah 0%. Artinya terbukti bahwa terdapat hubungan (korelasi) antara
self regulation learning dengan prestasi akademik.
Dari beberapa ulasan yang telah dikutip untuk memberikan gambaran
singkat mengenai penelitian diatas, yang dimana letak perbedaan dengan
penelitian yang akan peneliti kerjakan adalah mengenai fokus penelitian dan
metode penelitian yang mana pada penelitian yang dilakukan olehLinda
Miftahul Husna adalah pada hubungan self regulation learning dengan
prestasi akademik pada mahasiswa penghafal al-Qur’an di Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dengan menggunakan metode
kuantitatif. Sedangkan fokus penelitian yang akan peneliti teliti adalah upaya
mahasiswa penghafal al-Qur’an dalam mengaplikasikan nilai-nilai tentang
kehidupan sosial di UIN Sunan Ampel Surabaya dengan menggunakan
metode kualitatif.Persamaanpenelitian yang dilakukan oleh Linda Miftahul
Husna dengan peneliti terletak pada sasaran penelitian yang mana sama
membahas mengenai mahasiswa penghafal al-Qur’an.
Penjelasan konsep yang mendasari pengambilan judul di atas sebagai
bahan penguat sekaligus spesifikasi penelitian yang akan dilakukan
a. Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an (UPTQ)
Unit Pengembangan Tahfidzul Qur’an atau sering disebut UPTQ
merupakan suatu unit kegiatan mahasiswa di Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya yang merupakan tempat berkumpulnya para
hafidz dan hafidzah sebagai wadah bagi mahasiswa yang ingin
menghafalkan al-Qur’an maupun yang sudah memiliki hafalan al-Qur’an
untuk menyelesaikan dan menjaga hafalan mereka dengan berbagai
kegiatan sebagai pembelajaran dan memperbanyak bekal ketika mereka
hidup bermasyarakat.
b. Aplikasi Nilai-nilai al-Qur’an tentang Kehidupan Sosial
Nilai-nilai al-Qur’an yang akan dibahas disini Setidaknya ada 10
nilai-nilai al Quran tentang kehidupan sosial yang dapat dilihat dari sosok
seorang generasi qurani.
a.) Menghargai Waktu
Seorang yang menerapkan nilai al Quran dalam kehidupannya,
maka dia akan memanfaatkan tiap detik yang dikaruniakan Alloh
dengan hal-hal yang positif dan produktif. Mereka tidak akan telat
melakukan hal sia-sia dan sebagainya. Cukuplah tiga ayat di Q.S
Al-Ashr ayat 1-3 menerangkan pada kita tentang pentingnya waktu.
“demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian,
kecuali mereka yang beriman dan saling menasihati dalam kebenaran
dan kesabaran”2
b.) Menghargai Ilmu Pegetahuan
Generasi qurani adalah generasi yang luar biasa. Setiap
perkataannya adalah kebenaran dan mempunyai dasar, dia tidak akan
mengeluarkan statemen-statemen yang dia tidak punya pengetahuan
tentangnya (sok tahu). Pengetahuan disini tidak dibatasi sempit pada
pengetahuan tentang agama saja, tetapi pengetahuan secara umum.
Pengetahuan mengenai teknologi, kebudayaan, kesehatan, politik dan
sebagainya sehingga generasi qurani tidak akan berbuat ataupun
berbicara dengan tanpa pengetahuan. Mereka takut dengan ayat yang
cukup dalam surat Al Isra
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya” (QS 17:36)3
c.) Memiliki Budaya Kerja Keras
Kerja keras adalah salah satu kunci sukses dalam menjalani
hidup. Kalau kita ingin mencapai suatu tujuan atau target besar dimana
2
H. Andi Subarkah, Lc. Cordova Al-Qur’an dan Terjemah, ( Bandung: Syamil Qur’an, 2012)
hal 601
target tersebut menurut sebagaian orang mustahil untuk kita lakukan,
tetapi dengan kerja keras, maka sunnatullah, target tersebut akan
tercapai. Generasi qurani adalah generasi pekerja keras. Mereka tidak
akan melakukan suatu pekerjaan setengah-setengah untuk
mendapatkan rezeki atau menghasilkan karya dan ilmu, karena mereka
yakin Alloh melihat mereka dan nanti di akhirat pekerjaan mereka
akan ditampakkan Allah.
“Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul
-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang
telah kamu kerjakan”
d.) Memiliki Orientasi ke depan (visioner)
Visi merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh seseorang dalm
hidupnya. Seorang pemimpin harus mempunyai visi membawa
orang-orang yang di pimpinnya ke arah yang lebih baik. Seorang-orang suami harus
punya visi dalam memimpin anak istrinya menggapai berkah sakinah
mawaddah warohmah, seorang individu pun harus punya visi yang
lebih jauh lagi yaitu the end of life nya mau syurga atau neraka.
Harga diri berkaitan dengan kemuliaan. Generasi qurani akan
mnjaga ketaqwaan nya di segala macam kondisi, baik senang maupun
sedih. Lapang atau sempit. Hal ini dikarenakan mereka mengingat ayat
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (QS.49: 13)5
f.) Memiliki Networking dan Akses yang luas (Silaturahim)
Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk meraih kesukesan,
seseorang harus mempunyai networking yang luas. Mereka tidak
boleh mengekslusifkan diri kita atau kuper. Banyak buku yang
mengupas tentang pentingnya memiliki networking sehingga
buku-buku yang berkaitan dengan networking ini banyak beredar. Saat ini
berapa banyak buku tentang komunikasi, mempengaruhi orang,
membangun networking dan sebagainya yang beredar. Generasi qurani
pun demikian, mereka harus memperluas silaturrahim karena hal
tersebut jauh-jauh hari sudah dicantumkan dalam Al Qur’an
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
g.) Pandai Belajar dari Sejarah
Sepertiga dari isi ayat Al Quran berisi sejarah ataupun kisah
tentang tokoh-tokoh penting dalam agama. Dicantumkannya sejarah
dalam Al Quran adalah untuk diambil pelajaran agar menjadi pribadi
yang lebih baik. Kalau kita berpikir lebih luas lagi, sejarah yang
didalamnya mengandung unsure kemajuan meskipun bukan dari islam,
boleh kita ambil selama tidak merusak akidah. Kita bisa belajar dari
Negara Jepang bagaimana mereka bangkit setelah bom nuklir
meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Atau juga kita belajar
sejarah Thomas Alva Edison yang tidak pantang menyerah setelah
berkali-kali gagal bereksperimen menemukan lampu dan listrik. Tetapi
dari sekian banyak sejarah tersebut, sejarah dalam Al Quran lah yang
luar biasa, bagaimana sejarah Nabi Adam yang turun dari Syurga,
Keluarga Nabi Nuh yang hanyut karena banjir akibat adzab Allah,
Kisah ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail, kisah Musa dengan Fir’aun,
dan kisah Nabi Muhammad beserta sahabat dalam menegakkan islam,
bermasyarakat, berbisnis dan bernegara.
“Sudah sampaikah kepadamu (ya Muhammad) kisah
Musa? Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah
Lembah Thuwa; “Pergilah kamu kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah
(kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”. Dan kamu akan
kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut
kepada-Nya?” Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mukjizat yang
Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu
berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: “Akulah
tuhanmu yang paling tinggi”. Maka Allah mengazabnya
dengan azab di akhirat dan azab di dunia. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut
(kepada Tuhannya).” QS (79 ; 15-26)7
h.) Tidak tertutup, terbuka pada kemajuan
Generasi Qur’ani bukanlah generasi yang tidak menutup mata
pada kemajuan, generasi qurani bisa menerima dan mengadaptasi
perkembangan teknologi dan zaman, tanpa mengesampingkan aqidah
dan syariah tentunya. Perkembangan teknologi dijadikan sarana
dakwah yang efektif dan tepat sasaran, sedangkan perkembangan
zaman membuat mereka semakin dewasa menyikapi perbedaan.
“yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa
yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah
orang-orang yang mempunyai akal.” (QS 39:18).8
i.) Selalu dinamis, tidak merasa cukup dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki
Generasi qurani sadar bahwa salah satu elemen penting dalam
kehidupan adalah ilmu pengetahuan, karena itu mereka yang
memahami kandungan (QS 58:11) akan selalu mendatangi ilmu, baik
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan” (QS 58:11).9
j.) Konsisten, Istiqomah
Dari Sembilan nilai-nilai diatas, kunci utama dalam meraih
kesuksesan adalah istiqomah, konsisten. Orang yang konsisten akan
mempunyai daya tahan yang baik dari gempuran dari berbagai arah.
Mereka mempunyai komitmen untuk meyakini apa yang mereka
anggap benar dan berpegang teguh dengan pendirian nya tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
“Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah
maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka
tiada (pula) berduka cita.” (QS 46:13).10
2. Konstruksi Sosial gagasan Peter L Berger
Dalam mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan sosial tentu
bukan hal yang mudah, membutuhkan beberapa langkah-langkah yang harus di lalui
agar tercapainya suatu tujuan tersebut, maka di sini peneliti menggunakan teori Peter
L Berger yang akan menjelaskan mengenai tahapan-tahapan untuk mengkonstruk
suatu masyarakat.
Konstruksi sosial oleh Peter L Berger. Peter L Berger merupakan sosiolog
dari New School for Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman
9
Ibid, 543
10Ibid
adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya
dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis
mengenai sosiologi pengetahuan.
Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger ini, terlihat cukup utuh di
dalam buku mereka berjudul “The Social Construction of Reality: A Treatise in
the Sociology of Knowledge”. Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa
dari berbagai pihak, khususnya para ilmuan sosial, karena saat itu pemikiran
keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik.
Berger meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan
manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di
seklilingnya, “reality is socially constructed”.
Tentu saja, teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat
realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang
merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang
dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki
kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya
dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif
nya. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas
sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality)
didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu
bersama secara subyektif. Asal-usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme
yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von
Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin
yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila
ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah
dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, ia adalah cikal
bakal Konstruktivisme.11
Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak
Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal
budi dan id.12 Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles
mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan
sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap
pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah
fakta.13 Aristoteles pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogito ergo
sum’yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang
terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan
konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima
Italorum Sapientia’, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah
pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Dia menjelaskan
bahwa ‘mengetahui’ berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu ’ini berarti
11
Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, ( Yogyakarta:Kanisius, 1997), 24
12
Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,( Yogyakarta: Kanisius. 1999), 89-106
13Ibid
seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang
membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat
mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan
dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu
yang telah dikontruksikannya.
Sejauh ini ada tiga macam Konstruktivisme yakni konstruktivisme radikal,
realisme hipotesis, dan konstruktivisme biasa.
a. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh
pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum
konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan
kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak
merefleksi suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang
dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan
konstruksi dari individdu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada
individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya
terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya
konstruksi itu.
b. Realisme hipotesis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas
yang mendekati realitas dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki.
c. Konstruktivisme biasa mengambil semua konsekuensi konstruktivisme dan
pengetahuan individu dipandang sebagai gambaran yang dibentuk dari realitas
objektif dalam dirinya sendiri.
Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana
konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan
dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan
yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut
dengan konstruksi sosial.
Terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger
dapun asumsi-asumsinya tersebut adalah Realitas merupakan hasil ciptaan
manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di
sekelilingnya. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat
pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan. Kehidupan
masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus membedakan antara realitas
dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam
kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak
bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan
sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik yang spesifik.
Berger mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau
institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya
dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa
terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang
memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling
tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu
pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur
bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger berlangsung
melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry
concept, yakni subjective reality symbolic reality dan objective reality. Selain itu
juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi,
objektivikasi dan internalisasi.
Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas
(termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang
telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum
sebagai fakta. Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa
yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media,
seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di
film-film.Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki
individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang
dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam
sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif
berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive
reality yang baru.
a) Konstruksi Sosial Peter L. Berger dan Thomas Luchmann
Dua istilah dalam sosiologi pengetahuan Berger adalah kenyataan dan
pengetahuan. Berger dan Luckmann mulai menjelaskan realitas sosial dengan
memisahkan pemahaman kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan
sebagai suatu kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas yang diakui
sebagai memiliki keberadaan (Being) yang tidak tergantung pada kehendak
kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa
realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik.14
Menurut Berger dan Luckmann, terdapat dua obyek pokok realitas
yang berkenaan dengan pengetahuan, yakni realitas subyektif dan realitas
obyektif. Realitas subyektif berupa pengetahuan individu. Disamping itu,
realitas subyektif merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki
individu dan dikonstruksi melalui peoses internalisasi. Realitas subyektif yang
dimilik masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam
proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam
sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara
kolektif berkemampuan melakukan obyektivikasi dan memunculkan sebuah
14
konstruksi realitas obyektif yang baru.15sedangkan realitas ooyektif dimaknai
sebagai fakta sosial. Disamping itu realitas obyektif merupkan suatu
kompleksitas definisi realitas serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang
telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum
sebagai fakta.
Berger dan Luckmann mengatakan institusi masyarakat tercipta dan
dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. meskipun
institusi sosial dan masyarakat terlihat nyata secara obyektif, namun pada
kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses
interaksi. Obyektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang
yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama.
Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam
makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh,
yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi
makna pada berbagai bidang kehidupan. Pendek kata, Berger dan Luckmann
mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan
masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui
eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.16
15
Margaret M. Polomo, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 301.
16
Teori konstruksi sosial dalam gagasan Berger mengandaikan bahwa
agama sebagai bagian dari kebudayaan, merupakan konstruksi manusia.
artinya terdapat proses dialektika ketika melihat hubungan masyarakat dengan
agama, bahwa agama merupakan entitas yang objektif karena berada diluar
diri manusia. dengan demikian, agama mengalami proses objektivasi, seperti
ketika agama berada dalam teks atau menjadi tata nilai, norma, aturan dan
sebagainya. Teks atau norma tersebut kemudian mengalami proses
internalisasi kedalam diri individu, sebab agama telah diinterpretasikan oleh
masyarakat untuk menjadi pedomannya. Agama juga mengalami proses
eksternalisasi karena ia menjadi acuan norma dan tata nilai yang berfungsi
menuntun dan mengontrol tindakan masyarakat.17
Ketika msyarakat dipandang sebagai sebuah kenyataan ganda, objektif
dan subjektif maka ia berproses melalui tiga momen dialektis, yakni
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dengan demikian, bisa dipahami
bahwa realitas sosial merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial karena
diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Masyarakat yang hidup dalam konteks sosial tertentu, melakukan
proses interaksi secara simultan dengan lingkungannya. Dengan proses
interaksi, masyarakat memiliki dimensi kenyataan sosial ganda yang bisa
saling membangun, namun sebaliknya juga bisa saling meruntuhkan.
17
Masyarakat hidup dalam dimensi-dimensi dan realitas objektif yang
dikonstruksi melalui momen eksternalisasi dan objektivasi, dan dimensi
subjektif yang dibangun melalui momen internalisasi. Momen eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi tersebut akan selalu berproses secara dialektis.
Proses dialektika ketiga momen tersebut, dalam konteks ini dapat
dipahami sebagai berikut:
1.) Proses Sosial Momen Eksternalisasi
Proses eksternalisasi merupakan salah satu dari tiga momen atau
triad dialektika dalam kajian sosiologi pengetahuan. Proses ini diartiakan
sebagai suatu proses pencurahan kemandirian manusia secara terus
menerus kedalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya.
Atau dapat dikatakan penerapan dari hasil proses internalisasi yang selama
ini dilakukan atau yang akan dilakukan secara terus menerus kedalam
dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Termasuk
penyesuaian diri dengan produk-produk sosial yang telah dikenalkan
kepadanya. Karena pada dasarnya sejak lahir individu akan mengenal dan
berinteraksi dengan produk-produk sosial. Sedangkan produk sosial itu
sendiri adalah segala sesuatu yang merupakan hasil sosialisasi dan
interaksi didalam masyarakat.
Proses Eksternalisasi adalah suatu keharusan antropologis.
setiap perkembangan organism individu. Tatanan sosial yang terjadi
secara terus-menerus dan selalu diulang ini merupakan pola dari kegiatan
yang bisa mengalami proses pembiasaan (habitualisasi).
Tindakan-tindakan yang dijadikan pembiasaan ini tetap mempertahankan sifatnya
yang bermakna bagi individu dan diterima begitu saja. Pembisaan ini
membawa keuntungan psikologis karena pilihan menjadi dipersempit dan
tidak perlu lagi setiap situasi didefinisikan kembali langkah demi langkah.
Dengan demikian akan membebaskan akumulasi ketegangan-ketegangan
yang diakibatkan oleh dorongan-dorongan yang tidak terarah. Proses
pembiasaan ini mendahului setiap pelembagaan. Manusia menurut
pengetahuan empiris kita, tidak bisa dibayangkan terpisah dari pencurahan
dirinya terus menerus kedalam dunia yang ditempatinya.
Manusia merupakan sosok makhluk hidup yang senantiasa
berdialektika dengan lingkungan sosialnya secara simultan. Eksternalisasi
merupakan momen dimana seseorang melakukan adaptasi diri terhadap
lingkungan sosialnya. Dunia sosial, kendati merupakan hasil dari aktivitas
manusia, namun ia menghadapkan dirinya sebagai sesuatu yang bersifat
eksternal bagi manusia, sesuatu yang berada diluar diri manusia.
Realitas dunia sosial yang mengejawantah, merupakan
pengalaman hidup yang bisa dijadikan sebagai dasar seseorang untuk
membentuk pengetahuan atau mengkonstruksi sesuatu. Realitas sosial,