A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan atau pernikahan dalam istilah ilmu fiqh klasik berarti
suatu akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan melakukan hubungan
seksual dengan memakai lafadz inkah atau tazwij. Akan tetapi menurut penulis
definisi tersebut sangat kaku dan sempit, sebab nikah hanya sebagai perjanjian
legalisasi hubungan seksual antara pria dan wanita saja. Seolah-olah hakikat
pernikahan hanya pelampiasan nafsu dan syahwat saja.
Dalam kaitannya untuk menghilangkan pandangan masyarakat tentang
arti nikah, sekaligus menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang
mempunyai kedudukan mulia, para ulama’ muta’akhirin berupaya menjelaskan
dan meluaskan arti nikah, dengan memberikan gambaran yang komprehensif
dengan definisinya adalah “Nikah ialah suatu akad yang menyebabkan
kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dan perempuan dan saling
tolong-menolong diantara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban
diantara keduanya.”1
Pengertian yang dikemukakan para ulama’ mutaakhirin selaras dengan
pengertian yang diinginkan menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang
termuat pada pasal 1, yang berbunyi sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan
1 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (CV. Pustaka Setia, 2000), hal. 13
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”2
Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar menikah, seperti
yang tercantum dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32:
Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.3
Menurut hemat penulis, bahwa pernikahan adalah lembaga yang
diperlukan dan suatu keharusan, menikah berarti memenuhi sunnah nabi SAW
yang dianggap penting.
Dalam ajaran Islam, pernikahan memiliki dwifungsi, dan hanya
dengan pernikahanlah tujuan-tujuan itu bisa tercapai. Pertama, memenuhi hasrat
pasangan baik yang bersifat fisikal dan spiritual. Firman Allah SWT dalam
AlQur’an surat Ar-Ruum ayat 21, yang berbunyi:
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.4
Yang kedua, prokreasi atau keturunan, firman Allah SWT dalam
AlQur’an surat an-Nahl ayat 72, yang berbunyi:
Artinya : Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?5
Oleh karena itu, pernikahan harus dapat dipertahankan oleh kedua
belah pihak agar dapat mencapai tujuan dari pernikahan tersebut. Dengan
demikian perlu adanya kesiapan-kesiapan dari kedua belah pihak, baik mental
maupun material.
Untuk menjembatani antara kebutuhan kodrati manusia dengan
pencapaian esensi dari suatu perkawinan, negara Indonesia dalam UU
Perkawinan No.1 tahun 1974 telah menetapkan dasar dan syarat yang harus
dipenuhi dalam perkawinan. Salah satu diantaranya adalah ketentuan dalam
pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: ”Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.6
Akan tetapi walaupun batas umur di Indonesia relatif rendah, dalam
pelaksanaannya sering tidak dipatuhi sepenuhnya. Sebenarnya untuk
mendorong agar orang melangsungkan pernikahan diatas batas umur terendah,
UU Perkawinan No.1 tahun 1974 pasal 6 ayat (2) telah mengaturnya dengan
berbunyi: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapatkan izin kedua orang tua”.7
Jadi bagi pria atau wanita yang telah mencapai umur 21 tahun tidak
perlu ada izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan. Yang perlu
memakai izin orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria yang telah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan bagi wanita yang telah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun. Dibawah umur tersebut berarti belum boleh
melakukan perkawinan sekalipun diizinkan orang tua.8
Dalam UU Perkawinan No.1 tahun 1974, sebagaimana dijelaskan
dengan bertujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak, agar
pemuda-pemudi yang akan menjadi suami-istri benar-benar telah masak jiwa
raganya dalam membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal.
Begitu pula dimaksudkan untuk dapat mencegah terjadinya perceraian muda
dan agar dapat membenihkan keturunan yang baik dan sehat, serta tidak
6UU Perkawinan & Kompilasi …, hal. 5 7UU Perkawinan & Kompilasi …, hal. 4
8 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, Cet. I, 1990),
berakibat laju kelahiran yang lebih tinggi sehingga mempercepat pertambahan
penduduk.9
Menurut hukum adat, kedewasaan seseorang diukur dengan
tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak wanita sudah haidh (datang bulan), buah dada
sudah menonjol, berarti ia sudah sudah dewasa. Bagi anak pria ukurannya
hanya dilihat dari perubahan suara, bangun tubuh, sudah menegeluarkan air
mani atau sudah mempunyai nafsu seks. Jadi, bukan diukur dengan umur
karena orang tua dimasa lampau kebanyakan tidak mencatat tanggal lahir
anak-anaknya, karena kebanyakan buta huruf.10
Sedangkan menurut hukum Islam, seperti halnya hukum adat tidak
terdapat kaidah-kaidah yang sifatnya menentukan batas umur perkawinan. Jadi
berdasarkan hukum Islam pada dasarnya semua tingkatan umur dapat
melakukan ikatan perkawinan.11
Sesuai dengan penjelasan diatas, andai kata terjadi hal-hal yang tidak
terduga. Misalnya mereka yang belum mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun bagi pria dan belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun bagi wanita,
karena pergaulan bebas, sehingga wanita hamil sebelum perkawinan. Apakah
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, masih dapat memberikan kemungkinan
untuk menyimpang dari batas umur tersebut?
B. Rumusan Masalah
Mengingat permasalahan yang dikemukakan dalam latar belakang
masalah diatas sifatnya masih umum, untuk itu penulis merasa perlu membatasi
masalah dengan jelas, agar dalam penelitian nantinya tidak terjadi
kesimpang-siuran yang nantinya berakibat mengaburkan tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini.
Dengan demikian penulis hanya menfokuskan penelitian ini terhadap
”DISPENSASI KAWIN KARENA HUBUNGAN LUAR NIKAH (Studi
Penetapan Hakim Pengadilan Agama Tulungagung Tahun 2010).”
Sehubungan dengan itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah dasar yang digunakan Pengadilan Agama Tulungagung untuk
menerima permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh pemohon?
2. Bagaimana penetapan hakim dalam dispensasi kawin karena hubungan
luar nikah di Pengadilan Agama Tulungagung?
3. Bagaimana latar belakang pertimbangan hakim dalam penetapan
dispensasi kawin karena hubungan luar nikah di Pengadilan Agama
Tulungagung?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah salah satu faktor penting dalam suatu
penelitian yang akan dilakukan. Sebagai konsekuensi dari permasalahan
pokok, maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dasar yang digunakan Pengadilan Agama Tulungagung
untuk menerima permohonan dispensasi kawin yang diajukan oleh
pemohon.
2. Untuk mengetahui penetapan hakim dalam dispensasi kawin karena
hubungan luar nikah di Pengadilan Agama Tulungagung.
3. Untuk mengetahui latar belakang pertimbangan hakim dalam penetapan
dispensasi kawin karena hubungan luar nikah di Pengadilan Agama
Tulungagung.
D. Kegunaan Hasil Penelitian
Sesuai dengan penulisan di atas maka kegunaan hasil penelitian ini
adalah:
1. Praktis
a. Bagi Pembaca
Sebagai tambahan konstribusi informasi untuk lebih memahami
tentang kaitannya dengan permasalahan perkawinan khususnya dispensasi
kawin dan bisa dijadikan bekal untuk terjun dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sebagai bahan rujukan terhadap pejabat yang berwenang dalam
mengambil kebijakan terhadap masalah perkawinan khususnya dispensasi
kawin karena hubungan luar nikah.
2. Teoritis
a. Agar dapat dijadikan sebagai tambahan khasanah ilmu
pengetahuan khususnya dalam suatu perkawinan. Dan menambah
kepustakaan STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Tulungagung.
b. Untuk memenuhi sebagian syarat dalam rangka meraih gelar
kesarjanaan Strata Satu Hukum Islam (S.HI) pada Program Studi
Al-Ahwalus Al-Syakhsyiyah Jurusan Syariah STAIN Tulungagung.
E. Penegasan Istilah.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya pemahaman yang
berbeda dengan maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul,
maka kiranya perlu penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi variabel
penelitian.
Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut :
1. Penegasan Konseptual
a. Dispensasi Kawin
Dispensasi kawin terdiri dari 2 kata, yaitu dispensasi dan kawin.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, dispensasi adalah suatu
ataupun undang-undang yang seharusnya berlaku secara formil.12
Sedangkan kata kawin adalah pengikatan diri pada suatu perjanjian
dalam suatu hubungan perdata dengan mematuhi syarat-syarat, baik
untuk calon pengantin laki-laki ataupun calon pengantin perempuan.13
b. Hubungan Luar Nikah
Hubungan luar nikah terdiri dari 3 kata, yaitu hubungan, luar dan
nikah. Yang dimaksud hubungan adalah pertalian, ada ikatan.14 Luar
adalah kedudukan atau tempat yang bukan bagian dari sesuatu itu
sendiri, bukan dari lingkungan keluarga, bukan dari lingkungan
negeri/daerah, dsb, bagian yang tidak dari dalam.15 Sedangkan nikah
adalah perkawinan yang dilakukan dengan diawali mengikat perjanjian
antara seorang pria dengan seorang wanita untuk menjalin hubungan
rumah tangga, perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjalin
hubungan suami-istri secara sah, yang disaksikan oleh beberapa orang
dan dibimbing oleh wali (dari pihak perempuan).16
2. Penegasan Operasional
Adapun yang penulis maksudkan dengan dispensasi kawin karena
hubungan luar nikah adalah suatu pengecualian yang diberikan oleh
12 Dzulkifli Umar dan Ustman Handoyo, Kamus Hukum (Dictionary of Law New Edition),
(Surabaya: Quantum Media Press, Cet. I, 2010), hal. 124
13Ibid., hal. 213
14 Em Zul Fajri & Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Difa Publisher,
2005), hal. 363
Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk
melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 (sembilan
belas) tahun dan wanita belum mencapai 16 (enam belas) tahun karena
disebabkan hubungan seksual yang dilakukan oleh pria dan wanita yang
tidak terikat perkawinan yang sah.
F. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika penyusunan skripsi model penelitian kualitatif
dapat dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu:17
Bagian awal, terdiri dari: halaman sampul depan, halaman judul,
halaman persetujuan, halaman pengesahan, motto, persembahan, kata
pengantar, daftar isi, daftar lampiran, dan abstrak.
Bagian utama (inti), terdiri dari:
BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini akan penulis uraikan tentang: latar belakang masalah,
tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, penegasan istilah serta diakhiri
dengan sistematika skripsi.
BAB II Kajian Pustaka
Dalam bab ini, akan penulis uraikan tentang: pengertian perkawinan,
asas-asas dan prinsip perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, hukum
17 STAIN Tulungagung, Pedoman Penyusunan Skripsi: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
melakukan perkawinan, dispensasi kawin, Penolakan perkawinan oleh
pegawai pencatat nikah.
BAB III Metode Penelitian
Dalam bab ini akan penulis uraikan tentang: Jenis penelitian, lokasi
penelitian, kehadiran peneliti, sumber data, prosedur pengumpulan data,
tehnik analisis data, pengecekan keabsahan temuan dan tahap-tahap
penelitian.
BAB IV Paparan Hasil Penelitian
Dalam bab ini akan penulis uraikan tentang: paparan data yang
meliputi: Pengadilan Agama Tulungagung sebagai obyek penelitian dan
proses pelayanan perkara di Pengadilan Agama Tulungagung; temuan
penelitian yang meliputi: kewenangan Pengadilan Agama untuk mengadili
kasus-kasus masyarakat muslim, dasar dan pertimbangan majelis hakim dalam
menetapkan perkara terkait dispensasi kawin serta dilanjutkan dengan
pembahasan.
BAB V Penutup
Dalam bab ini akan penulis uraikan tentang: Kesimpulan dan saran.
Bagian akhir, terdiri dari: daftar rujukan, lampiran-lampiran, surat