PENERAPAN
KAIDAH
TIKRAR
DAN HIKMAHNYA DALAM
SURAT
AL-SHU'ARA'
PRESPEKTIF AHMAD MUSTHAFA
AL-MARAGHI DAN MUHAMMAD ALI AL-SHABUNI
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata
Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
IHSANUDDIN
NIM: E03212052
PROGRAMSTUDIILMUAL-QUR'ANDANTAFSIR
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTASUSHULUDDINDANFILSAFAT
UNIVERSITASISLAMNEGERISUNANAMPEL
SURABAYA
ABTRAKSI
Nama : Ihsanuddin
Judul : Penerapan Kaidah Tikrar dan Hikmahnya dalam Surah Al-Shu’ara’ Prespektif Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al-Shabuni
Terjadinya perbedaaan dalam menafsirkan pengulangan yang ada pada surah
Asy Syu’ara, serta bagaimana Ahmad Musthofa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al Shabuni Memaknai Kata “Dza>lik” merupakan persoalan yang dibahas dalam skripsi ini.
Skripsi ini dibuat untuk mengetahui penerapan kaidah tikrar dalam menafsirkan ayat ke-8, 67, 103, 121, 139 oleh Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Ash Shabuni dalam menafsirkan surah Asy Syu’ara. Sekaligus untuk mengetahui dan menganalisis terjadinya perbedaan pendapat dalam menafsirkan pengulangan yang ada pada surah Asy Syu’ara ialah merupakan tujuan dari penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan metode penelitian library research (penelitan perpustakaan). Kajian kepustakaan berupa data primer berasal dari kitab tafsir al-maraghi karya Ahmad Musthafa Al Maraghi dan tafsir Shofwatut Tafasir karya Muhammad Ali Ash Shabuni dan data Skunder yang berasal dari literature tentang tikrar yang relevan dengan penelitian ini. Untuk teknik pengumpulan data menggunakan kartu data, selanjutnya analisis datanya menggunakan metode diskriptif kualitatif.
Ahmad Musthafa Al-Maraghi juga menafsirkan bahwa pengulangan pada ayat tersebut adalah sebagai salah satu cara Allah membuktikan kepada orang yang berakal atas segala kekuasaan dan ciptaanya didunia, sehingga orang-orang kafir mengerti dan mau beriman, akan tetapi mereka terus-menerus kafir dan melakukan kesesatan, serta tenggelam dalam kezaliman dan kejahilan. Sementara Muhammad Ali Ash-Shabuni mengemukakan bahwa terdapat Istifham terhadap kaum kafir, Istifham yang berupa celaan kepada kaum kafir karena mendustakan berita-berita yang dibawa oleh para rasul-rasul meskipun kabar tersebut adalah sesuatu yang benar, akan tetapi mereka tetap mendustakanya.hal ini menjelaskan bahwa orang kafir pada masa tersebut adalah mereka yang sudah di berkali-kali memperoleh tanda kekuasaan Allah tetapi enggan beriman.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN SKRIPSI ... iv
MOTTO ...v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ...x
PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Identifikasi Masalah ...7
C. Rumusan Masalah ...8
D. Tujuan Penelitian ...8
E. Kegunaan Penelitian ...9
F. Kajian Pustaka...10
G. Metode Penelitian ...10
H. Metode Analisis Data. ...12
I. Sistematika Pembahasan. ...13
1. DefinisiTikrar ...15
2. Pembagian Tikrar ...15
a. Tikrar al-Lafdzi. ...15
b. Tikrar Ma’nawi. ...17
3. Kaidah-Kaidah Tikrar. ...18
a. Kaidah Pertama. ...18
b. Kaidah Kedua. ...20
c. Kaidah Ketiga. ...21
d. Kaidah Keempat. ...23
e. Kaidah Kelima. ...24
f. Kaidah Keenam ...25
g. Kaidah Ketujuh ...27
4. Fungsi Tikrar. ...30
BAB III PENAFSIRAN PENGULANGAN KATA ‚DZA>LIK‛ DALAM SURAT AS-SYU’ARA’ AYAT 8, 67, 103, 121, 139 A. Analisis Penafsiran Ahmad Musthofa Al-Maraghi dan Muhammad Ali Ash-Shabuni terhadap pengulangan kalimat “Inna Fi> Dza>lika La A>yah Wa Ma> Ka> na Aktsaruhum Mu‟mini>n” pada ayat 8, 67, 103, 121, 139 Dalam Menafsirkan Surah Asy-Syu‟ara‟...34
1. Penafsiran Pada ayat ke-8 ...35
3. Penafsiran Pada Ayat ke-103. ...44
4. Penafsiran Pada Ayat ke-121. ...47
5. Penafsiran Pada Ayat ke-139. ...52
B. Hikmah Pengulangan’ Pada ayat 8, 67, 103, 121, 139 dalam
surah Al-Shu’ara’menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi dan
Muhammad Ali Al Shabuni ...55
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ...61
B. Saran ...62
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an merupakan landasan hukum Islam paling sentral yang berfungsi sebagai pedoman hidup manusia agar selamat di dunia dan di akhirat. Tidak bisa
dipungkiri bahwa Al-Qur‟an memiliki mutu sastra yang tinggi dan gaya bahasa yang indah, sehingga tidak mudah bagi seseorang dalam memahami makna yang
terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, dibutuhkan penafsiran yang mendalam
agar makna yang terkandung dalam Al-Qur‟an dapat dipahami.1
Al-Qur‟an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan isnpirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis, tapi juga disaat yang sama,
Al-Qur‟an adalah sumber segala kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, semua apa yang terdapat dalam Al-Qur‟an selalu menyimpan makna dan hikmah meski kadang pikiran manusia belum sampai pada hal-hal tersebut. Sebagian orang,
khususnya orientalis mengklaim bahwa sistematika Al-Qur‟an sangat kacau. Banyak hal yang tak perlu dan sia-sia didalamnya, mereka memberi
contoh, ziyadah, naqs dan tikra>r atau pengulangan ayat-ayat dalam Al-Qur‟an.2
1
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wayu dalam Kehidupan Masyarakat
(Bandung: Mizan, 1994), 03.
2
Ayat-ayat Al-Qur‟an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainya. Dan tidak mustahil
bila orang lain melihat lebih banyak ketimbang apa yang anda lihat. Inilah
sebagaian kata yang diungkapkan oleh Dr.Abdullah Durraz dalam bukunya
al-Naba‟ al-Adzim :
“Apabila anda membaca Al-Qur‟an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi apabila anda membacanya sekali lagi akan andatemukan pula makna-makna lain yang sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (ayat-ayat Al-Qur‟an) bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang memancar dari sudut-sudut yang lain memandangnya, maka ia akan melihat
lebih banyak dari apa yang anda lihat”3
Kata ini menggambarkan tentang i‟jaz Al-Qur‟an yang tidak pernah habis
ditelan zaman. Karena itu, aspek i‟jaz Al-Qur‟an akan terus berevolusi pada tiap generasi, dengan dalih bahwa meskipun Al-Qur‟an telah melewati berabad-abad dari masa penurunanya, Al-Qur‟an masih tetap hangat dikaji, diteliti, dan
diperbincangkan. Usaha-usaha untuk mengetahui rahasia-rahasia yang
terkandung didalamnya masih terus dilakukan. Tidak hanya itu musuh-musuh
islam pun masih agresif mengkaji kitab suci ini walaupun tujuanya tidak lain
untuk mendapatkan kelemahan-kelemahan didalam dan merekapun tidak
mendapatkanya.4
3
Adapun Adapun segi i`jaz Al-Qur‟an yang begitu berpengaruh pada awal turunya Al-Qur‟an adalah al-I`ja>z al-Lughawi yaitu i`jaz Al-Qur‟an dari segi bahasa. Sebagaimana telah ma`lum bahwa nabi Muhammad Saw diutus di
tengah-tengah kaum yang sangat fasih dalam berbahasa arab baik dari aspek
balagah, Syi`ir, khitabah. Maka sebagai Rasul yang membawa risalah kepada
ahlu al-fasahah nabi Muhammad Saw dituntut untuk bisa menunjukkan kepada
kaumnya bukti kebenaran risalahnya, maka turunlah Al-Qur‟an.
Dan Al-Qur‟an pun datang dengan mu`jizat yang tak tertandingi, mereka pun mengakui hal tersebut dan tidak sedikit dari mereka yang beriman hanya dengan
mendengarkannya dan merasakan keindahan susunan Al-Qur‟an. Lalu mereka yakin bahwa Al-Qur‟an ini bukan buatan nabi Muhammad Saw, dan juga bukan syi`ir. Namun kesombonganlah yang membuat mereka terus terseret dalam
kesesatan.5
Dari salah satu al-i`jaz yang terdapat dalam Al-Qur‟an adalah pengulangan yang terjadi pada ayat-ayatnya atau yang lebih dikenal dalam cabang ilmu
Al-Qur‟an al-tikra>r. Begitu juga dengan persoalan tikra>r atau pengulangan ayat-ayat dalam Al-Qur‟an. Diperoleh banyak fungsi dan hikmah dari bentuk ini, salah satunya adalah penegasan dan pembaharuan dari ayat sebelumnya. Sebagai
contoh, pengulangan kisah-kisah dalam Al-Qur‟an mengenai nabi-nabi dan umat terdahulu.
4
Salah satu metode yang digunakan Al-Quran untuk menyampaikan
pesannya adalah metode pengulangan satu kata atau satu kalimat atau satu ayat
secara penuh. Pengulangan ini memiliki faedah dan manfaat dan merupakan
metode penggunaan pembicaraan (kalam) secara baik. Kadang-kadang
pengulangan terjadi dalam satu kalimat karena adanya jarak/pemisah ayat-ayat
dalam satu surah.6
Imam Qutaibah menjelaskan bahwa Al-Qur‟an diturunkan dalam kurun waktu yang tidak singkat, tentunya keberagaman kabilah yang ada dikomunitas
arab waktu itu cukuplah banyak, sehingga jika tidak ada pengulangan ayat, maka
bisa jadi hikmah dan ibrah dari berbagai kisah tersebut hanya terbatas pada kaum
tertentu saja. Dengan kata lain, tanpa tikra>r dalam Al-Qur‟an, kisah-kisah yang sarat hikmah tersebut hanya akan menjadi sekedar kisah basi yang hanya bisa
dikenang.7
Para mufasir dan Sarjana Ulumul Quran terkait dengan hubungan falsafah
dan tujuan pengulangan dalam Al-Quran berkata: Pada umumnya pengulangan
dimaksudkan untuk penegasan suatu perkara dan untuk menetapkan kalam atau
untuk menunjukkan pentingnya permasalahan dan untuk menarik perhatian
pendengar terhadap kandungan yang ada dalam surah itu. Dengan kata lain
6 Ja‟fari. Ya‟qub, Seiri dar Ulumul Qurān, hal. 270-272, Tehran, Uswah, Cet. 3, 1382.
5
tujuan pengulangan adalah untuk menggiring pendengar supaya mengingatkan
kembali maksud yang diinginkan.8
Dalam pada itu skripsi ini akan membahas dan mengkaji pengulangan
Al-Qur‟an pada kata “”Dza>lik” dalam surah al-Shu‘ara>‟ untuk mengetahui tentang rahasia-rahasia yang tersembunyi dari pengulanagan-pengulangan dalam
Al-Qur‟an melalui penafsiran Ahmad Musthofa al Maraghi dan Muhammad Ali Ash Shabuni. Surah ini secara garis besar menjelaskan tentang dakwah para Rasul
terdahulu dan juga secara khusus dakwah Nabi Muhammad. Dalam surah ini
dijelaskan bahwa para Rasul terdahulu telah mendapat penentangan yang sangat
keras dari kaumnya, perlawanan, cemoohan, hinaan, siksaan, dan bahkan
konsirasi untuk membunuh Rasul itu.
Dalam surah al-Shu„ara>‟ ini juga dijelaskan bahwa watak umat yang
dihadapi Muhammad sebenarnya tak jauh berbeda dengan umat-umat terdahulu
dalam menyambut dakwah, yaitu: keras kepala, sok pintar, suka mendebat
kebenaran, mengumat, menghina, sombong karena menjadi tokoh masyarakat,
sombong karena merasa punya ilmu, sombong karena merasa punya harta,
bahkan melakukan kekerasan fisik, penyiksaan dan pembunuhan. Lalu di ujung
setia kisah penentangan terhada dakwah para Rasul atau disetiap akhir pokok
pembahasan, Allah SWT selalu menutu dengan ayat yang makna dan berbunyi
sama yaitu: “inna fi> dha>lika laa>yah wa m>a ka>na aktharuhum mukmini>n, wa inna
6
Rabbaka lahuwal „azi>zur rahi>m.” Dan ternyata ayat seperti ini diulang-ulang
sebanyak 8 kali yaitu pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139.
Pengulangan dalam ayat ini memiliki makna dan atau maksud tertentu,
sebagaimana berikut:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda kekuasaan Allah. dan kebanyakan mereka tidak beriman”.9
Adanya pengulangan kalimat dalam ayat di atas, pertama, ialah merupakan
sebuah perhatian khusus, sebagaimana kaidah yang berbunyi:
راَرْ ِتلا
دَي
يَلَع
ءاَنِتْع ِِا
10Pengulagan menunjukkan perhatian atas hal tersebut”.
Yaitu: begitu banyak kekuasaan Allah yang dianugerahkan kepada
umat-umat para nabi akan tetapi mereka kebanyakan tidak beriman.
Kedua, Ayat di atas diletakkan setelah peristiwa kisah penentangan
terhadap dakwah para Rasul. Dan diulang sebanyak 8 kali sekaligus meneliti
terhadap mufassir tentang penerapan kaidah tikra>r dalam ayat tersebut dipakai
atau bahkan diabaikan tanpa memperdulikan kaidah tikra>r.
9
Al-Qur‟a>n, 26: 8.
10
7
Dalam kaitanya dengan pemilihan tokoh atau mufasir yang dipilih dalam
topik pembahasan ini, ialah Muhammad Ali Ash-Shabuni sebagai mufasir
kontemporer yang yang kontroversi di Syiria sekaligus seorang cendekiawan
Islam khususnya dalam bidang perundangan Islam (Syari’ah). Sementara Ahmad
Musthafa Al-Maraghi adalah ulama’ Kontemporer yang menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an menggunakan metode tahlili.
B. Identifikasi Masalah
Untuk menetapkan masalah-masalah yang akan dibahas supaya tidak
melebar ke pembahasan diluar topik skripsi ini, maka penulis membatasi pada
masalah berikut:
1. Penjelasan terkait kaidah tikra>r yang digunakan oleh Ahmad Musthofa al
Maraghi dan Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam menafsirkan surah
al-Shu‘ara>’ ?
2. Bagaimana penafsiran Ahmad Musthofa al Maraghi terhadap surah
al-Shu‘ara>’ pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139.?
3. Bagaiman penafsiran Muhammad Ali Ash-Shabuni terhadap surah
al-Shu‘ara>’ pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139.?
8
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalah di atas maka penelitian ini dapat
dirumuskan pada beberapa permasalahan untuk menfokuskan pembahasan pada
skripsi ini maka dapat dirumaskan permaslahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penafsiran Ahmad Musthofa al-Maraghi dan Muhammad Ali
Ash-Shabuni terhadap pengulangan kata Dza>lik pada ayat 8, 67, 103, 121
dan 139 dalam surah al-Shu„ara>‟?
2. Apa hikmah dari pengulangan kata dalam surah al-Shu„ara>‟ pada ayat ke- 8,
67, 103, 121 dan 139 menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad
Ali Al Shabuni?.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan yanyg disesuaikan dengan rumusan
masalah, yaitu:
1. Mengetahui penafsiran Ahmad Musthofa al Maraghi dan Muhammad Ali
Ash-Shabuni terhadap pengulangan kata Dza>lik dalam surah al-Shu‘ara>’
pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139.
2. Mengetahui hikmah pengulangan ayat dalam surah al-Shu‘ara>’ pada ayat 8,
67, 103, 121 dan 139 menurut Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad
9
E. Kegunaan penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam
bidang tafsir. Agar penelitian ini benar-benar berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan penelitian ini. Adapun
kegunaan tersebut ialah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis,
sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dunia pendidikan
Islam.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penulis
Menambah wawasan penulis mengenai wacana nilai yang terkandung
dalam surah al-Shu„ara>‟ pada ayat ke- 8, 67, 103, 121 dan 139, untuk
selanjutnya dijadikan sebagai acuan menjalani kehidupan bermasyarakat
dan menegakkan Agama Allah.
b. Bagi Lembaga Pendidikan
Sebagai bahan kajian ilmiah di Fakultas, khususnya bagi mahasiswa
fakultas Ushuluddin prodi ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang akan
mengerjakan suatu karya ilmiah yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan
10
c. Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai kontribusi pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan,
baik untuk pembahasan ilmiah maupun pengetahuan dalam bidang tafsir
dan sebagai bahan referensi peneliti selanjutnya.
F. Kajian Pustaka
Dalam penulisan skripsi ini telaah pustaka sangat diperlukan untuk
memberikan pemantapan dan penegasan terkait dengan penulisan dan
kekhasan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian ini belum pernah dibahas
sebelumnya, akan tetapi penelitian terkait dengan ilmu tikra>r-nya ialah karya
Misbahul Munir dengan judul skripsinya “Tikra>r al-A>yah fi> Su>rah al-Rahman>:”
karya ini ditulis dalam bahasa arab oleh Mahasiswa Fakultas Adab Jurusan Sastra
Arab dan “Tikra>r al-A>yah fi> Su>rah al-Rahma>n : Nurul Hidayah” Karya ini
ditulis oleh mahasiswa Fakultas Adab 2013.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif beberapa
kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diamati dan diteliti.11 Di
samping itu, penelitian ini juga menggunakan metode penelitian library
11
research (penelitian perpustakaan), dengan mengumpulkan data dan
informasi dari data-data tertulis baik berupa literatur berbahasa arab maupun
literatur berbahasa indonesia ataupun yang lain yang mempunyai relevansi
dengan penelitian.
2. Sumber data
Untuk mendukung tercapainya data penelitian di atas, pilihan akan
akurasi literatur sangat mendukung untuk memperoleh validitas dan kualitas
data. Karenanya, sumber data yang menjadi objek penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer
Adapun data primer dalam penelitian ini, yaitu Tafsir almaraghi
karya Ahmad Musthafa Al Maraghi dan shofatut tafasir karya
Muhammad Ali Al Shabuni.
b. Sumber data sekunder
Sedangkan data sekunder meliputi literatur-literatur seperti artikel
dan buku-buku karya yang menunjang penelitian ini, seperti:
1) Al-Tikra>r al-Us}lubi> fi> al-lughah al-„Arabiyyah karya Sayyid
Khadar.
2) Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an karya Abd. Rahman Dahlan.
3) Asrar al-Tikra>r fi> al-Qur‟a>n karya Mahmud al-Sayyid Syaikhun.
12
5) Zubdah Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n karya Muhammad al Maliki
bin Alawi.
6) Qawa>‘id al-Tafsi>r, Jam‟an wa Dira>sah. Karya Khali>d bin Uthma>n.
7) Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wayu dalam Kehidupan Masyarakat. Karau Quraisy Shihab.
H. Metode Analisis Data
Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis
menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan muncul
di sekitar penelitian ini.
a. Deskriptif
Deskriptif yaitu menggambarkanatau melukiskan keadaan obyek
penelitian(seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) berdasarkan
fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya dengan menuturkan atau
menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan
fenomena yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan apa
adanya.12
Penelitian Deskritif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk
mendeskripsikan yang saat ini berlaku. di dalamnya terdapat upaya
13
mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang
sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif akualitatif ini
bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang
ada.13
I. Sistematika Pembahasan
Supaya skripsi ini terlihat sistematis dan mnarik untuk dibaca , maka perlu
disusun kerangka dalam menyusun skripsi ini diantaranya yaitu seperti berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang merupakan pertanggung jawaban
metodologis penelitian, terdiri atas latar belakang masalah, identifikasi dan
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, ,
telaah pustaka, metodologi penelitian, metodologi analisis data dan sistematika
pembahasan.
Bab dua ialah berisi landasan teori yang akan digunakan sebagai batu
pijakan dalam penelitian ini, antara lain berisikan tentang segala macam yang
dibutuhkan dalam menganalisis bab selanjutnya yaitu: teori kaidah tikra>r,
macam-macam tikra>r, rahasia tikra>r dalam Al-Qur’an, perkembangan ilmu tikra>r
dalam Al-Qur’an serta urgensi mempelajari tikra>r.
Bab tiga, merupakan pokok terpenting dalam skripsi ini yaitu data dan
analisis. Yaitu penafsiran Ahmad Musthofa al Maraghi dan Muhammad Ali Al
Shabuni dalam menafsirkan ayat dan disusul dengan analisis.
14
Dan yang terakhir merupakan akhir dari skripsi ini yaitu bab empat yang
berisikan tentang kesimpulan dan saran yang akan menjadi pemungkas skripsi ini
sekaligus permasalahan yang masih belom dibahas akan disampaikan pada saran
BAB II
TEORI
“
TIKRA
>
R
”
DAN URGENSINYA
A. Tikra>r (Pengulangan) 1. Definisi Tikra>r
Kata al-tikra>r ( ا كتلا ) adalah masdar dari kata kerja " ك" yang
merupakan rangkaian kata dari huruf - - . Secara etimologi berarti
m e n g u l a n g a t a u m e n g e m b a l i k a n s e s u a t u b e r u l a n g k a l i .1
Adapun menurut istilah al-tikra>r berarti "ى ع لا ي تل هف ا م وا ظفللا عا"
mengulangi lafal atau yang sinonimnya untuk menetapkan (taqrir) makna.
Ada pula yang memaknai kata al-tikra>r dengan "ا ع اصف ام م ايلا اك "
menyebutkan sesuatu dua kali berturut-turut atau penunjukan lafal
terhadap sebuah makna secara berulang-ulang itu adalah definisi al tikra>r.2
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan al-tikra>r fi> Al-Qur‟a>n adalah pengulangan redaksi kalimat atau
ayat dalam Al-Qur’an dua kali atau lebih, baik itu terjadi pada lafalnya
ataupun maknanya dengan tujuan dan alasan tertentu.
2. Pembagian Tikra>r
a. Tikra>r al-lafz}i, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam Al-Qur’an baik berupa huruf-hurufnya, kata ataupun redaksi kalimatnya dan
ayatnya.
1Abu> al-Husain Ahmad , Maqayis al-Lughah, Juz. V (Beirut: Ittih , 2002 ), 126.
2 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>‟id al-Tafsi>r, Jam‟an wa Dirasah, (Saudi Arabia: Da>r bin
16
1) Contoh pengulangan huruf
Pengulangan huruf pada akhir beberapa Q.S. Al-Nazi„at (79):
6-14: 3
“6. (Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam, 7. tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan kedua. 8. hati manusia pada waktu itu sangat takut, 9. pandangannya tunduk. 10. (orang-orang kafir) berkata: "Apakah Sesungguhnya Kami benar-benar dikembalikan kepada kehidupan semula? 11. Apakah (akan dibangkitkan juga) apabila Kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat?" 12. mereka berkata: "Kalau demikian, itu adalah suatu
pengembalian yang merugikan". 13. Sesungguhnya
pengembalian itu hanyalah satu kali tiupan saja, 14. Maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi”.
Pengulangan huruf akhir seperti contoh ini merupakan salah satu
bentuk kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi susunan kata dan
kalimatnya. Hal ini disebabkan karena pengulangan huruf -huruf
tersebut, melahirkan keserasian bunyi dan irama dalam ayat-ayatnya
yang memiliki dampak pada psikologis bagi pendengarnya.4
2) Contoh pengulangan kata, dapat dilihat pada Q.S. Al-Fajr (89):
21-22:
3 Al-Qur’an, 79:6-14.
17 5 “21. jangan (berbuat demikian). apabila bumi digoncangkan berturut-turut, 22. dan datanglah Tuhanmu; sedang Malaikat berbaris-baris”.
3) Contoh pengulangan ayat terdapat pada Q.S. Al-Rahma>n (55): 13:
6
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?”
Ayat tersebut berulang kurang lebih 30 kali dalam surah tersebut.
b. Tikra>r al-ma’nawi, yaitu pengulangan redaksi ayat di dalam Al-Qur’an yang pengulangannya lebih di titik beratkan kepada makna atau maksud
dan tujuan pengulangan tersebut.7
contoh Q.S. Al-Baqarah (2): 238:
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa.
Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'”.
Al-s}ala>t al-wust}a> yang disebut dalam ayat diatas adalah
pengulangan makna dari kata al-s}alawa>t sebelumnya, karena masih
merupakan bagian darinya. Adapun penyebutannya sebagai penekanan
atas perintah memeliharanya. Selain seperti contoh diatas,
5Al-Qur’an, 89:21-22.
6Al-Qur’an, 55:13.
7 Hasan Bisri, “Makalah balagah asrar al tikra>rfi al quran”,
18
bentuk tikra>r seperti ini biasanya dapat dilihat ketika Al-Qur’an
bercerita tentang kisah-kisah umat terdahulu, menggambarkan azab dan
nikmat, janji dan ancaman dan lain sebagainya.8
3. Kaidah-Kaidah al-Tikra>r Fi al-Qur’a>n
Ada beberapa kaidah yang berkaitan al-tikra>r fi> al-Qur‟a>n
dengan , sebagai berikut:
a. Kaidah Pertama:
ِقِلَعَ تْما ِدُدَعَ تِل راَرْكِتلا ُدِرَي ْدَق
. 9
“Terkadang Adanya pengulangan karena banyaknya hal yang berkaitan dengannya (maksud yang ingin disampaikan)”.
Adanya pengulangan beberapa ayat Al-Qur’an disurah dan tempat
yang berbeda menyisakan pertanyaan dibenak para ilmuan sekaligus
bahan perdebatan dikalangan mereka. Hal ini bertolak belakang dari
realitas metode Al-Qur’an sendiri yang dalam penjelasannya terkesan
singkat padat dalam mendeskripsikan sesuatu. Karena itu, Al-Qur’an
oleh sementara orang dinilai kacau dalam sistematikanya.10
Namun pertanyaan ini telah dijawab oleh para ilmuan Islam,
bahwa bentuk pengulangan dalam Al-Qur’an adalah bukan hal yang
sia-sia dan tidak memiliki arti. Bahkan menurut mereka setiap lafal
yang berulang tadi memiliki kaitan erat dengan lafal sebelumnya.
Sebagai contoh ayat-ayat dalam Q.S. Al-Rahma>n (55): 22-27:
8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Jil. I ( Jakarta: Lentera Hati, 2009), 626-627.
9Khali>d ibn Uthma>n al-Sabt, Mukhtas}ar fi Qawa> >„id al-tafsi>r, (Saudi Arabia: Da>r ibn Affa>n: 1996), 22.
19
“22. dari keduanya keluar mutiara dan marjan. 23. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? 24. dan kepunyaanNya lah bahtera-bahtera yang Tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. 25. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? 26. semua yang ada di bumi itu akan binasa. 27. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. 11
Dalam surah di atas terdapat ayat yang berulang lebih dari 30 kali
yang kesemuanya menuntut adanya ikrar dan pernyataan rasa syukur
manusia atas berbagai nikmat Allah. Jika dilihat, tiap pengulangan ayat
ini didahului dengan penjelasan berbagai jenis nikmat yang Allah
berikan kepada hambanya . jenis nikmat inipun berbeda-beda, maka
setiap pengulangan ayat yang dimaksud, berkaitan erat dengan satu
jenis nikmat. Dan ketika ayat tersebut berulang kembali, maka
kembalinya kepada nikmat lain yang disebut sebelumnya. Inilah yang
dimaksud oleh kaidah, bahwa terkadang pengulangan lafal karena
banyaknya hal yang berkaitan dengannya.12
Contoh lain bisa dilihat dalam Q.S. Al-Mursalat (77): 19, 24:
13
11Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta; CV. Kathoda, 2005), 774. 12 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r, 702.
20
“Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan”.
Dalam Surah di atas lafal اك لل اذممي ايو berulang sampai sepuluh
kali. Hal itu dikarenakan Allah swt. menyebutkan kisah yang berbeda
pula. Setiap kisah diikuti oleh lafal tersebut yang menunjukkan bahwa
celaan itu dimaksudkan kepada orang-orang yang berkaitan dengan
kisah sebelumnya.14
b. Kaidah Kedua:
نيروجتم نبراركت ها باتك عقي م
.
15„Tidak terjadi pengulangan antara dua hal yang berdekatan dalam kitabullah”.
Maksud dari kata “mutajawirayn” dalam kaidah ini adalah
pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama tanpa
fashil diantara keduanya. Sebagai contoh lafal “basmalah” dengan
QS. Al-Fatih}ah (1): 3:
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.
Ibn Jarir mengatakan bahwa kaidah ini justru nerupakan hujjah
terhadap orang-orang yang berpendapat bahwa basmallah merupakan
bagian dari surah Al-Fatih}ah, karena jika demikian, maka dalam
Al-Qur’an terjadi pengulangan ayat dengan lafal dan makna yang sama
21
tanpa adanya pemisah yang maknanya dengan makna kedua ayat yang
berulang tersebut.16
Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa ayat 2 dari surah Al-Fatih}ah
adalah fas}l (pemisah) diantara kedua ayat tersebut, maka hal ini dibantah
oleh para ahli ta’wil dengan alasan bahwa ayat “arrah}ma>nirrah}i>m”
adalah ayat yang diakhirkan lafalnya tapi ditaqdimkan maknanya. Makna
secara utuhnya adalah :
ها دم ا
لا بر ميحرلا نمرلا
.نيدلا موي كلم نم اع
17
c. Kaidah Ketiga :
ْلَْْا َْنَ ب ُفِلاََُُا
ْ
ما ِف ََِتْخِِِ ااِإ ِظاَف
ِناَع
18
“Tidak ada perbedaan lafal kecuali adanya perbedaan makna”.
Contoh sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Ka>firu>n (109):
1-6:
‚1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, 3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak
16 Ibid., 703.
22
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6.
untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." 19
Lafal ا و ْعا ام ْعاأ اَ sekilas tidak berdeda dengan ْم ا اع م ٌ اع ا اأ اَاو,
akan tetapi pada hakikatnya memiliki perbedaan makna
yangamendalam.dLafald ا و ْعا ام ْعاأ اَdyangdmenggunakandbetuk mud}
a>ri‘ mengandung arti bahwa Nabi Muhammad saw. tidak menyembah
berhala pada waktu tersebut dan akan datang. Adapun lafal ٌ اع ا اأ اَاو
ْم ا اع م dengan s}igah ma>d}i mengandung penegasan fi’il pada waktu
lampau. Seperti telah diketahui, bahwa sebelum kedatangan Islam,
kaum musyrikin menganut paham politheisme atau menyembah
banyak tuhan. Oleh karena itu, lafal ini menegaskan Nabi Muhammad
Saw tidak menyembah berhala termasuk berhala yang telah lebih
dulu mereka sembah.20
Itulah yang dimaksud oleh kaidah ini, tidak ada perbedaan lafal
kecuali terdapat perbedaan makna didalamnya. Kedua lafal ini
mempertegas unsur kemustahilan dulu, selalu dan selamanya
Muhammad tidak akan menyembah tuhan kaum Quraiys
(berhala). Penyebutan salah satu lafal saja tidak bisa mencakup semua
makna tersebut.Disisi lain, ungkapan dengan bentuk ا ه ع ف مه م lebih
tinggi maknanya jika dibandingkan dengan ungkapan هلعفي م, Karena
ungkapan yang pertama betul-betul menegasikan adanya
19 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002), 604.
23
kemungkinan terjadinya fi’il atau perbuatan, berbeda dengan
ungkapan yang kedua.21
d. Kaidah Keempat:
ُءياشلا َرارَكَت ُبَرَعلا
ُهَل ًاداَعْ بِتْسِإ ِماَهْفِتْس ِِا
22
“Kaum Arab senantiasa mengulangi sesuatu dalam bentuk pertanyaan untuk menunjukan mustahil terjadinya hal tersebut”.
Sudah menjadi kebiasaan dikalangan bangsa arab dalam
menyampaikan suatu hal yang mustahil atau kemungkinan kecil akan
terjadi pada diri seseorang. Maka bangsa arab mempergunakan bentuk
( افتاسإ) pertanyaan tanpa menyebutkan maksudnya secara langsung.
Maka dipergunakanlah pengulangan guna menolak dan menjauhkan
terjadinya hal itu. Contohnya jika si-A kecil kemungkinan atau
mustahil untuk pergi berperang, maka dikatakan kepadanya( اه ج ت أ
اه ج تا أأ). Pengulangan kalimat dalam bentuk istifham pada contoh
tersebut untuk menunjukkan mustahil terjadinya fi‘il dari fa>‘il, Hal ini
seperti apa yang telah dicontohkan dalam firman Allah:
َنوُجَرُُْ ْمُكانَأ اًماَظِعَو اًباَرُ ت ْمُتْنُكَو ْمُتِم اَذِإ ْمُكانَأ ْمُكُدِعَيَأ
“Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu Sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?”23Kalimat "مااااك ا مك ااااعيا" kemudian diikuti oleh kalimat ` مااااك ا"
" ماج م mengandung arti mustahilnya kebangkitan setelah kematian.
21 Ibid.,707
22 Ibid.
24
Ayat ini merupakan jawaban dari pengingkaran orang-orang kafir
terhadap adanya hari akhir.24
e. Kaidah Kelima.
ءاَنِتْع ِِا يَلَع ُلُدَي ُراَرْكِتلا
25
“Pengulangan menunjukkan perhatian atas hal tersebut”.
Sudah menjadi hal yang maklum, bahwa sesuatu yang penting
sering disebut-sebut bahkan ditegaskan berulangkali. Ini berarti setiap
hal yang mengalami pengulangan berarti memiliki nilai tambah
hingga membuatnya diperhatikan dan terus disebut-sebut. Sifat-sifat
Allah SWT yang kerap berulang kali dalam Al-Qur’an pada setiap
surah menegaskan pentingnya untuk mengetahui dan kewajiban
mengimaninya. Begitu juga dengan berbagai kisah umat terdahulu
sebagai contoh yang sarat pesan dan hikmah.26 Sebagai contoh dari
aplikasi kaedah ini Q.S. Al-Naba>‟ (78): 1-5:
“1. tentang Apakah mereka saling bertanya-tanya? 2. tentang
berita yang besar, 3. yang mereka perselisihkan tentang ini. 4. sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, 5. kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka mengetahui”.27
Surah diatas bercerita tentang hari kiamat yang waktu terjadinya
diperdebatkan banyak orang. Dalam surah tersebut lafal ااااك
24 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>‟id al-Tafsi>r, Jam‟an, 709. 25 Ibid., 710.
26 Ibid.
25
م لع اس diulang dua kali menunjukkan bahwa hal yang diperdebatkan
tersebut benar-benar tidak akan pernah bisa diketahui tepatnya.
f. Kaedah Keenam:
ِةَفِرْعَمْلا ِف ََِِِ ,ُدُدَعا تلا يَلَع ْتالَد ْتَرارَكَت اَذِإ ُةَرِكانلا
28
“Jika hal yang berbentuk nakirah (umum/tidak diketahui) mengalami pengulangan maka ia menunjukkan berbilang, berbeda dengan hal yang bentuknya ma„rifah(khusus/diketahui)”.
Dalam kaedah bahasa arab apabila isim (kata benda) disebut dua
kali atau berulang , maka dalam hal ini ada empat kemungkinan,
yaitu: (1) keduanya adalah isim nakirah, (2) keduanya isim
al-ma’rifah, (3) pertama isim al-nakirah dan kedua isim al-ma‘rifah,
serta (4) pertama isim al-ma‘rifah dan kedua isim al-nakirah.29
Pertama, (kedua-duanya isim al-nakirah) maka isim kedua
bukanlah yang pertama, dengan kata lain maksudnya menunjukkan
pada hal yang berbeda.30 Sebagaimana contoh ayat berikut:
ٍةاوُ ق ِدْعَ ب ْنِم َلَع َ اُُ ًةاوُ ق ٍفْعَض ِدْعَ ب ْنِم َلَعَج اُُ ٍفْعَض ْنِم ْمُكَقَلَخ يِذالا ُهاللا
اًفْعَض
ُريِدَقْلا ُميِلَعْلا َوَُو ُءاَشَي اَم ُقُلَُْ ًةَبْيَشَو
‛Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha
Kuasa‛.31
28 Khali>d bin Uthma>n al-Sabt, Qawa>‘id al-Tafsi>r, Jam‟an, 711.
29 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m Al-Qur’a>n, (Beirut: Da>r al-Kutub, 2011), 65.
30 Ibid., 65.
26
Maksud daripada kelemahan yang pertama adalah air mani, yang
kedua adalah masa kanak-kanak, dan yang ketiga adalah masa tua.32
Kedua, jika keduanya dalam bentuk ma’rifat, maka umumnya
yang kedua adalah yang pertama, sebab merujuk pada alif dan lam
atau id}afah yang menunjukkan pada makna yang diketahui. Seperti
firman Allah dalam surah Al-Fatih}ah (1): 6-7:
‚6. Tunjukilah Kami jalan yang lurus, 7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat.33
Lafal s}ira>t yang terdapat pada ayat di atas terulang dua kali,
pertama dalam bentuk ism al-ma’rifah yang ditandai dengan memberi
kata sandang alif lam طا صلا dan kedua dalam bentuk ma’rifah juga,
yang ditandai dengan susunan id}a>fah ي لا طا ص
.
maka isim yangdisebut kedua sama dengan yang pertama.34
Ketiga, (isim al-nakirah pertama dan al-ma’rifah kedua) dalam
hal ini keduanya memiliki arti yang sama.35 Sebagai contoh firman
Allah dalam surah Al-Muzammil (73): 15-16:
32 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n, 65. 33 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 01. 34 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n, 65.
27
“15. Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada Fir'aun. 16. Maka Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat”. 36
Quraish Shihab menjelaskan dalam ayat ini Allah
memberitahukan kepada kaum Quraish bahwa ia telah mengutus
Muhammad untuk menjadi saksi atas mereka sebagaimana Allah
mengutus kepada Fir’aun seorang rasul yaitu nabi Musa as. Kemudian
mereka ingkar dan mendurhakai nabi Musa as. dan menjadikan patung
sapi menjadi sembahannya. Berdasarkan kaedah yang ketiga ini, maka
yang dimaksud dengan rasul pada penyebutan kedua adalah sama
dengan yang pertama, yaitu nabi musa. Jadi makna nabi pada ayat 15
yang diutus kepada Fir’aun adalah juga nabi yang diingkarinya pada
ayat setelahnya.37
Keempat, (pertama isim ma‟rifah dan kedua isim al-nakirah)
maka kaidah yang berlaku tergantung kepada indikatornya (qarinah).
Oleh karena itu ia terbagi ke dalam dua:
Adakalanya indikator menunjukkan bahwa keduanya memiliki
makna yang berbeda. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh firman
Allah dalam surah al-Ru>m (30): 55:
36 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 575.
28
“55. dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; "Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". seperti Demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran)”. 38
Lafal ( ع سلا) pada ayat diatas terulang sebanyak dua kali, yang
pertama menunjukkan isim ma„rifahsedang kedua menunjukkan isim al-nakirah.39
Dalam kasus ini lafal yang disebutkan kedua pada hakikatnya
bukanlah yang pertama. Pengertian ini dapat diketahui dari siya>q
al-kala>m dimana yang pertama berarti سحلا مي (hari kiamat) sedangkan
yang kedua lebih terkait dengan waktu.40
Di sisi lain ada indikator yang menyatakan bahwa keduanya
adalah sama, contohnya firman Allah dalam Q.S. Al-Zumar (39):
27-28:
“27. Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini Setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran. 28. (ialah) Al Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa”. 41
38 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 411. 39 Muhammad bin Alawi al-Maliki, Zubdah al-Itqa>n, 65. 40 Ibid.
29
Lafalh ( آ لا) pada ayat di atas juga terulang sebanyak dua kali,
yaitu pertama dalam bentuk isim ma‘rifah dan yang kedua dalam
bentuk isim al-nakirah.42
Dalam kasus ini yang dimaksud dengan Al-Qur’an yang disebut
kedua, hakikatnya sama dengan “Al-Qur’an” yang disebutkan
pertama.
g. Kaedah Ketujuh:
ِا َذ
ِا ا
َاّ
َد
َا ْل
اش
ْر َط
َو
َْ ا َ
ز َءا
َل ْف
ًاظ
َد
ال
َع َل
َا ى
ْل َف
َخ
َما ِة
.
43“Apabila ketetapan dan jawaban bergabung dalam satu lafal maka hal itu menunjukkan keagungan (besarnya) hal tersebut”.
Dalam kaidah ini apabila terjadi pengulangan dengan lafaz yang
sama, maka penyebutan yang pertama sebagai satu ketetapan sedang
penyebutan yang kedua sebagai jawaban (keterangan) dari ketetapan
tersebut, maka itu menunjukkan besarnya hal yang dimaksud. Lebih
jelasnya adalah sebagai berikut seperti dalam Q.S. Al-H{a>qqah (69):
1-2: 44
“1. hari kiamat, 2. Apakah hari kiamat itu?”
atau surah. Al-Wa>qi‟ah (56): 27:
30
“Dan golongan kanan, Alangkah bahagianya golongan kanan itu”. 45
Dalam dua contoh diatas, lafal yang menjadi ketetapan
(mubtada‟) dan keterangan (khabar) adalah lafal yang sama.
Kata ق حلا diulang dan bukan menggunakan lafal ه م , pengulangan
lafal mubtada‟ sebagai jawaban atau keterangan seperti ini, menurut Ibn al-Dausy bermaksud sebagai pengagungan dan menggambarkan
besarnya hal tersebut.
4. Fungsi Tikra>r
Fungsi dari adanya tikra>r dalam Al-Qur’an, al-Shuyuthi memberikan
penjelasan dalam kitabnya Al-Itqa>n fi> „Ulu>m Al-Qur‟a>n. Diantara ialah
sebagai berikut :
a. Sebagai taqri>r (penetapan)
Dikatakan ucapan jika terulang berfungsi menetapkan. Diketahui
bahwa Allah SWT telah memperingatkan manusia dengan
mengulang-ulang kisah nabi dan umat terdahulu, nikmat dan azab, begitu juga janji
dan ancaman. Maka pengulangan ini menjadi satu ketetapan yang
berlaku.Ini sejalan dengan fungsi dasar dari kaedah tikra>r bahwa setiap
perkataan yang terulang merupakan tikra>r (ketetapan) atas hal tersebut.
sebagai contoh Allah berfirman Q.S. Al-An„a>m (6) : 19:
31
“Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)”. 46
Pengulangan jawaban dalam ayat tersebut merupakan penetapan
kebenaran tidak adanya Tuhan (sekutu) selain Allah.47
b. Sebagai Ta‟ki>d (penegasan) dan menuntut perhatian lebih
Pembicaraan yang diulang mengandung unsur penegasan atau
penekanan, bahkan menurut imam al-Suyuthi penekanan dengan
menggunakan pola tikra>r setingkat lebih kuat dibanding dengan
bentuk ta‟ki>d. Hal ini karena tikra>r terkadang mengulang lafal yang
sama, sehingga makna yang dimaksud lebih mengena.
Selain itu, Agar pembicaraan seseorang dapat diperhatikan secara
maksimal maka dipakailah pengulangan tikra>r agar si obyek yang
ditemani berbicara memberikan perhatian lebih atas pembicaraan tadi.
Contohnya, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Mu‟min (40 ): 38-39:
46 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 131.
32
“38. orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah Aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. 39. Hai kaumku, Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan Sesungguhnya akhirat Itulah negeri yang kekal”. 48
Pengulangan kata “ya> qawmi” pada kedua ayat diatas yang
maknanya saling berkaitan, berfungsi untuk memperjelas dan
memperkuat peringatan yang terkandung dalam ayat tersebut.
Pembaruan terhadap penyampaian yang telah lalu. Jika ditakutkan
poin-poin yang ingin disampaikan hilang atau dilupakan akibat terlalu
panjang dan lebarnya pembicaraan yang berlalu maka, diulangilah
untuk kedua kalinya guna menyegarkan kembali ingatan para
pendengar.
c. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Q.S.
Al-Baqarah (2): 89:
“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang
membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada
33
mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. 49
Pengulangan kataمهم ج لف pada ayat diatas untuk mengingatkan
atau mengembalikan bahasan pada inti pembicaraan yang sebelumnya
terpisah oleh penjelasan lain.
d. Sebagai ta„z}i>m (menggambarkan agung dan besarnya satu perkara)
Mengenai hal ini, telah dipaparkan dalam kaidah bahwa salah satu
fungsi dari tikra>r atau pengulangan adalah untuk menggambarkan
besarnya hal yang dimaksud, sebagaimana pemberitaan tentang hari
kiamat dalam QS. Al-Qa>ri‘ah (101) : 1-3:
50
“1. hari kiamat, 2. Apakah hari kiamat itu? 3. tahukah kamu Apakah hari kiamat itu?”
34
BAB III
PENAFSIRAN PENGULANGAN KATA “DZA>LIK” DALAM SURAH AL-SHU’ARA’ AYAT 8, 67, 103, 121, 139
A. Analisis Penafsiran Ahmad Musthafa Al Maraghi dan Muhammad Ali Al Shabuni Terhadap pengulangan kalimat “Inna Fi> Dza>lika La A>yah Wa Ma> Ka> na Aktsaruhum Mu’mini>n” pada ayat 8, 67, 103, 121, 139 Dalam Surah Al-Shu’ara’
Surah al-Shu’ara’ adala surah Makkiyah, diturunkan setelah surah Al
-Waqi’ah, kecuali ayat 197 dan dari ayat 224 sampai akhir, surat adalah
Madaniyyah, seluruhnya berjumlah 227 ayat. pendahuluan tentang penawar
kesedihan hati Rasulullah saw, atas berpalingnya kaumnya dari agama, dan
penjelasan kaumnya bukan umat pertama yang melakukan hal demikian.
Hubungan dengan surat sebelumnya terlihat pada beberapa segi:
a. Dalam surah ini terdapat penjabaran dan uraian tentang beberapa
topik yang terdapat dalam surah terdahulu.
b. Kedua surah ini dimulai dengan memuji Al-Kitab (Al-Qur’an).
35
1. Penafsiran Pada Ayat ke-8
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu
tanda kekuasaan Allah. dan kebanyakan mereka tidak beriman.”1
Sesungguhnya, pada penumbuhan dengan cara yang indah ini
benar-benar terdapat bukti bagi orang-orang berakal atas kekuasaan Penciptanya,
untuk membangkitkan dan mengumpulkan makhluk pada hari akhir. Sebab,
Tuhan yang kuasa menumbuhkan tanah yang mati dan menumbuhkan
padanya kebun-kebun yang rindang dan pepohonan yang semerbak tidak
lemah untuk membangkitkan makhluk dari kuburnya dan mengembalikan
mereka, kepada keadaannya, semula. Akan tetapi, kebanyakan manusia
lengah terhadap hal ini, sehingga mereka mengingkarinya, mendustakan
Allah, para Rasul dan Kitab-kitab-Nya, mengingkari segala perintah-Nya
dan berani mendurhakai-Nya. Kata-kata mutiara mengatakan :2
رظناودرولا ضاير لمأت
۞
كيلما عنصامراثآ ىإ
ع
تاصخاش ن نم نوي
۞
كيبس ب ذاهاد أ ىلع
لع
ٰ
تاد اشدجربزلا بضق ى
۞
كيرش هل سيل ها ناب
“Perhatikantah taman-taman mawar; lihatlah bekas-bekas ciptaan
Penguasa. Mata-mata perak terbelalak; pada kelopaknya berkilau
1
Al-Qur’an, 26:227.
2
36
leburan emas. Pada kepingan-kepingan zabarjad terdapat bukti, Allah
tidak punya sekutu”.
Pada hal, ini dan lain-lain yang serupa dengannya benar-benar terdapat
tanda yang besar dan pelajaran yang agung, yang membuktikan apa yang
wajib diimani. Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak beriman, padahal telah
banyak bukti-bukti yang menuntut mereka untuk berjalan, namun
terus-menerus kafir dan melakukan kesesatan, serta tenggelam dalam kezhaliman
dan kejahilan.3
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu
tanda kekuasaan Allah,” pada penumbuhan tersebut terdapat tanda yang jelas
atas keesaan dan kekuasaan Allah. “Dan kebanyakan mereka tidak beriman,”
mayoritas dari mereka tidak beriman menurut ilmu Allah. Karena itu,
meskipun dalilnya jelas, mereka tetap kafir4
Sebelumnya, ayat terdahulu adalah ayat yang menceritakan kegelisahan
Nabi Muhammad SAW lantaran beliau merasa didustakan oleh kaumnya
sendiri. Mereka tidak beriman meskipun sudah telah datang mukjizat
berkali-kali, mereka selalu berpaling daripadanya.
3
Ibid.,82.
4
37
Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam mengartikan kata “Dza>lik‛ beliau
memperinci mengenai maksud dari kata “Dza>lik‛ tersebut, yaitu sebagai
berikut:
Bukti bagi mereka yang berakal.
Yakni : setiap manusia tentunya dianugerahi oleh Allah akal
yang mana, dengan akal tersebut manusia dapat membedakan
mana yang baik dan buruk dan juga dapat mengidentifikasi
mana yang salah dan yang benar. Setiap apa yang telah Allah
ciptakan, adalah merupakan salah satu dari sekian banyak
kekuasaan-Nya. Dengan menyebut-nyebut apa yang
diciptakan-Nya seperti menumbuhkan tanah yang mati dan menumbuhkan
padanya kebun-kebun yang rindang dan pepohonan yang
semerbak
Bahwa kaum musyrikin berpaling dari berfikir.
Yakni: pengingkaran mereka terhadap ajakan para Rasul untuk
mengimani ajaran Allah. Mereka mengetahui mukjizat-mukjizat
para rasul, akan tetapi mereka menolak untuk beriman.
Seandainya mereka mau berpikir bagaimana datangnya
mukjizat-mukjizat para rasul niscaya mereka adalah golongan
38
memperolok-olok berita yang disampaikanpara utusan Allah
SWT.
Sementara Muhammad Ali Al Shabuni menjelaskan makna kata
‚Dza>lik‛ adalah salah satu tanda kekuasaan Allah. Beliau memberikan
penjelasan lebih singkat dari pada penjelasan menurut Ahmad Musthafa Al
Maraghi.
2. Penafsiran Pada Ayat ke-67
Sesungguhnya pada peristiwa yang terjadi tentang laut benar-benar
terdapat suatu ibarat atau pelajaran yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT
dan kenabian serta kebenaran Musa AS. Karena yang demikian itu adalah
mukjizat untuk bagi beliau. Dan juga merupakan suatu peringatan bagi setiap
orang agar tidak berani menentang pada perintah Allah dan Rasul-Nya5
. Kemudian dijelaskan bahwa mereka tidak menemukan tanda-tanda
dan peringatan apapun. Semua mukjizat itu sama sekali tidak berguna bagi
mereka.6
5
Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir, 117
6
39
Sesungguhnya kebanyakan mereka tidak beriman, sekalipun mereka
telah melihat berbagai bukti yang besar dan mukjizat yang nyata.7
Disini terdapat penawar hati bagi Rasulullah saw. Yang berduka cita
karena menerima kedukaan, perdustaan dari kaumnya. Maka, Allah
mengingatkanya akan peristiwa ini, bahwa beliau mempunyai teladan pada
Musa as. Berbagai mukjizat yang tampak padanya, yang membingungkan
akal itu tidak dapat menghalangi kebanyakan orang Qibthi untuk
mendustakanya dan kafir kepadanya, sekalipun telah menyiksakan mukjizat
itu dilaut dan tempat-tempat lainya. Demikian pula tidak dapat mengalangi
Bani Israil untuk mendustakanya, yang setelah mendapat keselamatan lalu
menyembah anak sapi lalu berkata, “Kami sekali-kali tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan nyata”8
Sesungguhnya kami benar-benar pasti terkejar lalu binasa ditangan
mereka, sehingga tidak akan ada seorangpun diantara kami yang tersisa,
karena kita telah mencapai tepi laut, sedangkan Fir’aun dan tentaranya dapat
menyusul kita.
7
Ibid.,117
8
40
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu
tanda kekuasaan Allah. “
Yakni, bahwa dalam tenggelamnya firaun dan kaumnya merupakan
suatu peristiwa yang agung atas penyelamatan Allah terhadap wali-walinya,
dan perusakannya terhadap musuhnya. 9
“dan kebanyakan mereka tidak beriman.”10
Yakni, dengan melihat tanda yang besar ini, masih saja kebanyakan
manusia tidak mempercayai. Di dalam ayat ini juga mengandung suatu
hiburan Allah kepada Nabi SAW dan ancaman untuk orang yang
memaksiatinya.
Sebelum melihat makna kata “Dza>lik” pada ayat ini, ayat sebelumnya adalah ayat yang menceritakan tentang Nabi Musa as yang diutus Allah pergi
ke bukit Thur untuk pergi kepada kaum yang menganiaya dirinya sendiri
dengan melakukan kekufuran dan kemaksiatan, serta menganiaya Bani Israil
dengan memperbudak dan membunuh anak-anak mereka, yaitu kaum Fir’aun
yang sombong, sewenang-wenang, melampaui batas dan pembohong besar.
99
Muhammad Ali Ash-Sabuni, Shafwatut Tafasir, 607
10
41
Nabi musa berdakwah pada kaum ini namun beliau takut sebelum
tersampaikanya risalah beliau akan dibunuh, sehingga beliau meminta dua
pertolongan kepada Allah yaitu:
1. Menolak kejahatan atas dirinya
2. Mengutus Nabi Harun bersamanya
Kemudian mereka berdua berangkat menuju Fir’aun, tetapi baru
setahun kemudian mereka diberi izin untuk menghada kepadanya
pertama-tamaFir’aun menyebut-nyebut kebaikanya kepada Nabi Musa
as, yaitu memelihara dan membesarkanya hingga dewasa, kemudian
mencelanya karena telah membunuh tukang roti yang termasuk orang-orang
terdekat Fir’aun. Dengan demikian Nabi Musa as telah mengingkari nikmat
dan kebaikan yang diberikan oleh Fir’aun.
Nabi Musa as tidak menjawab perkara pemeliharaan Fir’aun
terhadapnya, karena hal itu sudah maklum dan tidak mempunyai andil
sedikitpun dalam mengarahkan risalah. Nabi Musa as hanya menjawab :
embunuhan yang kamu celakan kepadaku itu bukan maksudku, karena
sesungguhnya aku meninjunya dengan maksud mendidiknya semata. Karena
itu, tidak ada alasan bagiku untuk menerima penakut-nakutan yang
membuatku lari. Jika kalian berbuat jahat kepadaku maka sesungguhnya
Tuhanku telah berbuat baik kepadaku. Kebaikan itu tidak berarti sama sekali
jika dibandingkan dengan apa yang telah kamu perbuat terhadap Bangsa itu
42
Selanjutnya Nabi Musa memperkenalkan Tuhanya dihadapan Fir’aun,
ketika itu Fir’aun merasa kagum dengan perkataan Nabi Musa, lalu berpaling
terhadap pembesar yang ada disekililingnya , mendorong mereka agar heran
terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Musa, namun setelah tidak mampu
membantah apa yang dikemukakan oleh Nabi Musa , maka Fir’aum berusaha
membuat kaumnya ragu terhadap kemampuan Musa dan menuduh Nabi Musa
adalah orang gila dan seterusnya sampai pada akhirnya karena keras
kepalanya Fir’aun dan para pengikutnya sehingga dilimpahkan balasan atas
perbuaanya tersebut yaitu ditenggelamkanya di Laut yang terbelah karena
Mukjizat Nabi Musa yaitu dengan memukulkan tongkatnya ke permukaan
laut, dengan seketika laut terbelah menjadi jalan keselamatan bagi Nabi Musa
dan para pengikutnya.11
Kata “Dza>lik” pada ayat ke 67 ini menurut Ahmad Musthafa Al
Maraghi merujuk pada peristiwa yang terjadi pada Nabi Musa as, yakni
tengg