• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN : STUDI KASUS KOMERSIALISASI GANTANGAN DI TIGA DESA MISKIN SUBANG YANU ENDAR PRASETYO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN : STUDI KASUS KOMERSIALISASI GANTANGAN DI TIGA DESA MISKIN SUBANG YANU ENDAR PRASETYO"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN :

STUDI KASUS KOMERSIALISASI GANTANGAN DI TIGA

DESA MISKIN SUBANG

YANU ENDAR PRASETYO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis Pertukaran Sosial di Pedesaan : Studi Kasus Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012 Yanu Endar Prasetyo I 353100031

(3)

ABSTRACT

YANU ENDAR PRASETYO. Social Exchange In Rural Communities : Case Study Of “Gantangan” Commercialization In The Three Poor Villages in Subang West Java. Under direction of TITIK SUMARTI, NURAINI W. PRASODJO and AKMADI ABBAS

Gantangan is a social exchange system that develops from the rural traditional custom in Subang regency, West Java. Through this Gantangan we can see how the general reciprocity in rural societies transformed into balanced reciprocity, social exchange and lead to social commercialization. Gantangan that thrive in this traditional celebration party (pesta hajatan) arena is a phenomenon that reflects the changing values in the rural communities into individualistic and contractual exchange. The study purpose is to analyze the transformation of the pattern of Gantangan in three villages which have different poor socio-demographic characteristics, that is in the coastal area (North Subang), lowlands (Central Subang) and uplands (South Subang). The results of this study found the existence of three patterns of exchange in each community, namely: type A (nyambungan), type B (gintingan), type C (golongan).

Commercialization rate realized in several stages, including the

commercialization on stage 1 (the commodification of traditional-celebration party) and the commercialization on stage 2 (rent seeking).

Keywords : commercialization, gantangan, reciprocity, social exchange, rural, subang

(4)

RINGKASAN

YANU ENDAR PRASETYO. Pertukaran Sosial di Pedesaan : Studi Kasus Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI, NURAINI W. PRASODJO dan AKMADI ABBAS

Gantangan adalah sistem pertukaran sosial yang terbangun dari kebiasaan atau tradisi nyumbang di pedesaan Subang, Jawa Barat. Dari sistem pertukaran sosial Gantangan ini kita dapat melihat bagaimana resiprositas umum di dalam masyarakat berubah menjadi resiprositas sebanding, pertukaran sosial hingga munculnya komersialisasi sosial. Pertukaran sosial Gantangan yang berkembang dalam arena pesta hajatan ini adalah fenomena yang merefleksikan perubahan nilai solidaritas dan pola relasi sosial di dalam masyarakat pedesaan yang semakin individualistik dan kontraktual. Studi ini mencoba untuk melihat bagaimana perubahan pola pertukaran sosial Gantangan ini di tiga desa miskin yang memiliki perbedaan karakteristik sosio-demografis, yaitu di daerah pesisir (Subang Utara), dataran rendah (Subang Tengah) dan daerah perbukitan (Subang Selatan). Metode yang digunakan dalam penelitian ini antara lain wawancara kelompok terfokus, wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi audio-visual.

Proses komersialisasi sosial di pedesaan yang tercermin dalam sistem pertukaran Gantangan ini ternyata terjadi beriringan dengan perubahan nilai-nilai masyarakat pedesaan yang kolektif-idealistik menjadi individual-materialistik. Perubahan ini menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pada komunitas miskin di pedesaan Subang, baik di pesisir, dataran rendah maupun perbukitan/pegunungan. Proses perubahan tersebut dapat digambarkan melalui tipe-tipe resiprositas yang berkembang, yaitu mulai melunturnya pemberian murni (gift) sebagai ciri gotong royong dan semakin meningkatnya resiprositas sebanding (balanced reciprocity) dalam pesta hajatan dan pertukaran Gantangan.

Munculnya sistem pencatatan Gantangan (hutang-piutang), komodifikasi hajatan (perubahan nilai anak, beras, dan uang) dan masuknya bandar hajatan semakin mempertegas bahwa pesta hajatan dan Gantangan di pedesaan Subang ini telah berubah fungsi dari sekedar raramean (seremonial) menjadi pasar dalam sistem ekonomi lokal. Hasil dari studi ini menemukan adanya tiga pola dalam sistem pertukaran Gantangan yang eksis secara bersamaan di masing-masing komunitas, yaitu tipe A (Non-Gantangan/Nyambungan), tipe B (Gantangan umum/Gintingan) dan tipe C (Gantangan khusus/Golongan). Pesta hajatan dan pertukaran Gantangan di pedesaan Subang ini tetap eksis karena tradisi ini juga memiliki manfaat sosial (simbolik) dan ekonomi yang cukup signifikan bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa motivasi personal

(5)

dan fungsi sosial dari pertukaran Gantangan ini antara lain : Hayang kapuji (ingin dipuji), Hayang Kasohor (ingin terkenal), Hayang ditarima lingkungan (kontrol sosial), Hayang katingali (ingin dilihat/kebanggaan), Loba babaturan (banyak teman),

Silih bantu (resiprositas), Raramean & Ngabring. Sedangkan fungsi ekonomi dari Gantangan ini adalah untuk Nyimpen (nabung), Ngarep untung (leuwinhna), Itung-itung Arisan, Neangan modal (mencari pinjaman modal), Ngagolangkeun simpenan

(memutar simpanan), Teu sampai potol (jangan sampai rugi) dan sebagai sumber penghasilan tambahan.

Model teori permainan yang digunakan untuk menganalisis interaksi sosial dalam pertukaran sosial Gantangan ini menunjukkan bagaimana kecenderungan ekonomi tersebut, yaitu Gantangan sebagai suatu kegiatan investasi. Sehingga, meskipun selama ini ruang ekonomi dan ruang sosial dianggap bertentangan satu sama lain, namun rekonsilisasi keduanya justru nampak jelas secara empiris dalam fenomena pertukaran sosial Gantangan ini. lebih dari itu, pola pertukaran semacam ini sesungguhnya dapat diterapkan dalam tradisi-tradisi lain (dengan beberapa konsensus tertentu yang tidak memberatkan) sebagai senjata bagi kehidupan tradisional masyarakat pedesaan dalam menghadapi kapitalisme modern.

Kata Kunci : komersialisasi, gantangan, resiprositas, pertukaran sosial, pedesaan, subang

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; untuk pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(7)

PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN :

STUDI KASUS KOMERSIALISASI GANTANGAN DI TIGA

DESA MISKIN SUBANG

Oleh :

YANU ENDAR PRASETYO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(8)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr

(9)

Judul Tesis : Pertukaran Sosial di Pedesaan : Studi Kasus Komersialisasi Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang

Nama : Yanu Endar Prasetyo

NIM : I353100031

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Titik Sumarti, MS Ketua

Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS Dr. Ir. Akmadi Abbas, M.Eng.Sc

Anggota Anggota

Diketahui :

Koordinator Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allas SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Desember 2011 ini adalah Pertukaran Sosial dan Kemiskinan di Pedesaan dengan judul “Pertukaran Sosial di Pedesaan Studi Studi Kasus Komersialisasi Gantangan Tiga Desa Miskin di Kabupaten Subang Jawa Barat”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Titik Sumarti, MS, Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS dan Dr. Ir. Akmadi Abbas M.Eng. Sc selaku pembimbing, serta mas Hokky Situngkir dari Bandung Fe Institut yang telah memperkaya tesis ini dengan perspektif sosiologi komputasional. Selain itu, penulis memberikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa penuh kepada penulis, juga kepada Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI Subang sebagai tempat pengabdian penulis selama ini. Penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari Tita Irama Susilawati dan Didi S. Sopyan yang telah membantu dalam pengumpulan data dan juga dukungan dari seluruh aparat desa, tokoh masyarakat dan warga di Desa Jayamukti (Kec. Blanakan), Desa Pasirmuncang (Kec. Cikaum) dan Desa Cimenteng (Kec. Cijambe).

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 23 Januari 1985 dari Ayah bernama Supranta dan Ibu bernama Sudarti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Blitar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta melalui jalur PMDK. Penulis mengambil jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pada tahun 2006, penulis meraih predikat juara I Mahasiswa Berprestasi FISIP UNS. Setelah lulus dari UNS tahun 2007, penulis lulus tes penerimaan CPNS LIPI pada akhir tahun 2007. Penulis kemudian bekerja di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI Subang sejak tanggal 1 Januari 2008. Pada tahun 2010, penulis lulus seleksi penerimaan Karyasiswa LIPI untuk mendapatkan beasiswa tugas belajar dalam negeri dari Kementrian Negara Riset dan Teknologi (KNRT) selama dua tahun (4 semester) di Intitut Pertanian Bogor (IPB). Penulis mengambil mayor Sosiologi Pedesaan di Magister Sains dan Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang 1

1.1.1. Komersialisasi ekonomi di pedesaan Jawa 1

1.1.2. Gejala komersialisasi sosial di pedesaan Jawa 7

1.2. Rumusan masalah 15

1.3. Tujuan penelitian 17

1.4. Manfaat penelitian 17

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gantangan 18

2.2. Resiprositas 20

2.3. Pilihan Rasional, Pertukaran sosial dan Jaringan Pertukaran

2.3.1. Pilihan Rasional 22 2.3.2. Pertukaran Sosial 25 2.3.3. Jaringan Pertukaran 32 2.4. Komersialisasi sosial 38 2.5. Kemiskinan 39 2.6. Teori Permainan 41 BAB 3. METODOLOGI

3.1. Metode Penelitian Studi Kasus 44

3.2. Wawancara kelompok terfokus 45

3.3. Wawancara mendalam dan Pendekatan Informan Kunci 50

3.4. Observasi 51

(13)

BAB 4. LOKASI PENELITIAN 54 4.1. Subang Utara 56 4.2. Subang Tengah 58 4.3. Subang Selatan 61 BAB 5. PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Sosio-Historis

5.1.1. Arkeologi kebudayaan masyarakat Sunda 65

5.1.2. Sistem sosial budaya masyarakat pedesaan Subang 70

5.2. Pengorganisasian Gantangan dalam Pesta Hajatan 74

5.2.1. Seremonial Hajatan 78

5.2.2. Fungsi Sosial Gantangan 88

5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan 95

5.3. Bentuk Pertukaran Sosial Gantangan di Pedesaan Subang

5.3.1. Gantangan di Subang Utara 98

5.3.2. Gantangan di Subang Tengah 108

5.3.3. Gantangan di Subang Selatan 114

5.4. Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke Pertukaran Sosial

120

5.4.1. Buku Catatan Gantangan : Simbol Hubungan

Sosial-Kontraktual

5.4.2. Komodifikasi Hajatan : Nilai Anak, Beras dan Uang

5.4.3. Peran Bandar dalam Pertukaran Sosial Gantangan

5.4.4. Komersialisasi Sosial dalam Pertukaran Sosial Gantangan

121

124 129 131

5.5. Dinamika Aktor Dalam Pertukaran Sosial Gantangan

5.5.1. Kelompok Non-Gantangan (Nyambungan) 134

5.5.2. Kelompok Gantangan Umum (Gintingan) 137

5.5.3. Kelompok Gantangan Khusus (Golongan) 150

(14)

BAB 6. REFLEKSI TEORITIS 169

BAB 7. KESIMPULAN DAN SARAN 172

DAFTAR PUSTAKA 174

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Batas Tingkat Pengeluaran (Garis Kemiskinan) Untuk

Penduduk Perkotaan dan Penduduk Perdesaan Menurut Kategori Kemiskinan

39

2 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 2007-2010 di

Provinsi Jawa Barat

40

3 Perbedaan penggunaan teori permainan dan analisis terkait

permainan dalam kajian sosiologi dari tahun 1950-2000

42

4 Perbandingan Pola Pendekatan dalam Wawancara

Kelompok terfokus

45

5 Jadwal dan Jumlah Partisipan dalam Forum Komunitas

“Komersialisasi Gantangan” di 3 Desa

49

6 Payoff Matrix Prisoner’s Dilemma 52

7 Lokasi Penelitian dan Gambaran Umum Tradisi Sosial di 3

Desa

64

8 Karakteristik Masyarakat berbasis Agro-Ekologis 67

9 Aktor-Aktor dalam Modal Sosial Gantangan 76

10 Jenis dan Tarif Sewa Hiburan Untuk Hajatan di Wilayah Blanakan (Desa Jayamukti)

80

11 Masalah di Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Pada Tradisi Telitian

101

12 Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan 118

13 Perbandingan Pola dalam Sistem Pertukaran Sosial Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012)

119

14 Dinamika aktor dalam pertukaran sosial gantangan (contoh kasus rumah tangga di 3 desa)

156

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan 2

2 Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya.

Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat (2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi penyebab perceraian di Kab. Subang adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan ekonomi.

3

3 Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya.

Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan.

5

4 Perspektif dalam melihat Fenomena Gantangan 19

5 Relasi Mikro-Makro Coleman 23

6 Struktur dan Sistem Pertukaran Sosial 27-28

7 Perbandingan Jumlah Informan wawancara kelompok

terfokus di tiga desa lokasi penelitian

50

8 Rata-Rata Pengeluaran perkapita/bulan Penduduk

Kabupaten Subang tahun 2009

54

9 Komposisi Penduduk dan Etnis di Desa Jayamukti, Kec.

Blanakan, Kabupaten Subang

56

10 Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian di Desa Jayamukti tahun 2011

57

11 Komposisi Jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah)

58

12 Komposisi Pekerjaan/Matapencaharian penduduk Ds. Pasirmuncang tahun 2011

60

13 Komposisi Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Ds. Cimenteng tahun 2010

61

14 Komposisi Pekerjaan Penduduk di Desa Cimenteng, Kec. Cijambe tahun 2010

62

15 Perbandingan jumlah KK Total dan KK miskin di tga kecamatan tempat lokasi penelitian tahun 2010

(17)

16 Gotong Royong di Pedesaan Subang 72 17 Hajatan dengan jamuan prasmanan yang sangat sederhana

(kiri) tetapi beras gantangan yang dikumpulkan mencapai ratusan karung (kanan).

75

18 Proses dan mekanisme perijinan “rame-rame” di Kab. Subang

81

19 Hiburan sisingaan untuk hajatan khitan dan jaipong untuk pernikahan

82

20 Contoh undangan narik Gantangan 83

21 Warga yang bertugas atau ditunjuk oleh bapak hajat untuk membagikan undangan Gantangan

84

22 Sesajen lengkap di Pendaringan (ruang penyimpanan) 85

23 Pencatatan oleh Juru Tulis Gantangan 86

24 Pulangan berupa kerupuk atau pisang dimasukkan kembali oleh bapak hajat ke dalam wadah beras tamu undangan

86

25 Beras Hasil Gantangan 87

26 perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang (2005-2009)

90

27 Pasar dadakan PKL diluar arena hajatan 98

28 Tradisi nyumbang sukarela (Kiri) dan pola Telitian di Subang Utara (Kanan)

100

29 Frekuensi hajatan “rame-rame” di desa Jayamukti (Subang Utara) yang semakin meningkat

103

30 Hasil Telitian 104

31 Tradisi Nyumbang Pola Golongan di Subang Utara 107

32 Pola Talitihan di Subang Tengah sama dengan pola Telitian (Subang Utara)

110

33 Pola Rombol dalam pertukaran Sosial Gantangan 112

34 Hasil Rombol 113

35 Hasil Gintingan 116

36 Pola Gintingan di Subang Selatan sama dengan pola Telitian (Subang Utara) dan Talitihan (Subang Tengah)

117

37 Buku Catatan Gantangan 124

38 Relasi mikro-makro dalam komersialisasi gantangan 131

39 Proses Transformasi Modal Sosial Gantangan 132

40 Aktifitas replikator dinamika populasi dengan motif ekonomi ( ), motif sosial ( ), dan Aktor yang memilih untuk absen/tidak mengikuti pertukaran sosial Gantangan

(18)

41 Keseimbangan antara dorongan ekonomi dan sosial aktor gantangan dapat menjamin keberlanjutan pertukaran sosial ini (The Lotka-Volterra-like phase-map of the interacting social and economic spheres in evolutionarily harmonious dynamics)

166

42 Dorongan/motif sosial yang terlalu kuat tanpa memperhatikan kemampuan pemenuhan kebutuhan ekonomi justru dapat merusak keberlanjutan tradisi Gantangan

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil Telitian (umum) 10 rumah tangga di Dusun

tegaltangkil, Desa Jayamukti (tahun bervariasi, 2001 s.d 2009)

Xvi

2 Catatan Panitia Rombol I. Simpanan ke. Rombol dari

Dusun Awilarangan kepada kel. Rombol Waladin, Purwadadi

Xvii

3 Catatan Panitia Rombol II . Simpanan Kel. Rombol

Waladin kepada Kel. Rombol Awilarangan, Pasir Muncang

Xviii

4 Hasil Gintingan warga dusun Cimenteng (Subang Selatan) Xix

5 Peta Desa Jayamukti, Kec. Blanakan (Subang Utara) Xx

6 Peta Desa Pasirmuncang, Kec. Cikaum (Subang Tengah) Xxi

7 Desa Cimenteng, Kec. Cijambe (Subang Selatan) Xxii

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

1.1.1.Komersialisasi Ekonomi di Pedesaan Jawa

Arus modernisasi, globalisasi dan bahkan liberalisasi ekonomi memang telah memberikan dampak nyata pada transformasi struktur dan kultur masyarakat, khususnya di pedesaan. Meluasnya kemiskinan, ketimpangan hingga memudarnya nilai-nilai dan ikatan tradisional masyarakat desa adalah kondisi yang paling sering dicontohkan sebagai dampak liberalisasi ekonomi tersebut. Dengan kata lain, semakin ekonomi uang mempengaruhi sistem-sistem ekonomi tradisional, maka ciri kesamarataan (pedesaan) juga semakin pudar dan kerenggangan antar kelompok semakin lebar (Tjondronegoro, 2008:167). Selain itu, hubungan sosial menjadi bersifat kontraktual, pragmatis, berorientasi pemenuhan diri sendiri (self fulfillment) serta determinasi manusia sebagai homo economicus (Somantri, 2006:466). Dalam konteks memahami transformasi sosial, institusional dan kebudayaan dalam arti luas inilah kemudian sosiologi pedesaan berkembang.

Seberapa jauh dan dalam dampak modernisasi, globalisasi

dan liberalisasi ekonomi tersebut terhadap keterbukaan1 dan

transformasi kebudayaan masyarakat desa-tradisional merupakan ranah penelitian yang menarik dan penting untuk dikaji. Mengingat,

1

Popkin (1986:1) menjelaskan bahwa kebanyakan petani sekarang hidup dalam desa-desa yang terbuka (open villages), yaitu desa dengan tanggung jawab individual terhadap pembayaran pajak, batas-batas desa yang tidak lagi jelas dengan dunia luarnya, tiadanya pembatasan terhadap kepemilikan tanah, kekaburan pengertian kewargadesaan (village citizenship) dan pemilikan tanah secara pribadi.

(21)

seperti yang dikemukakan oleh Prof Sajogjo (1982), bahwasanya untuk memahami sistem ekonomi masyarakat, kita harus mempelajari budayanya dan untuk mempelajari budaya masyarakat, haruslah memahami perilaku ekonominya. Salah satu kajian terkait dampak sistem ekonomi pasar terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan pernah dilakukan oleh D.H. Penny (1990), dimana ia menyimpulkan bahwa kerawanan pangan dan kemiskinan di pedesaan adalah akibat dari sistem ekonomi pasar (yang kini bahkan diperkuat oleh gelombang modernisasi, globalisasi dan liberalisasi).

Gambar 1. Dimensi dan dampak Komersialisasi di pedesaan (Peny, 1990:81-85).

Dalam kajiannya, D.H. Peny (1982) menyimpulkan bahwa liberalisasi ekonomi telah gagal memberikan kemakmuran bagi masyarakat petani di pedesaan Jawa. Liberalisme juga gagal memberikan penjelasan serta petunjuk tentang langkah-langkah yang

Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Budaya

1. Cara (moda) ekonomi yang dominan

2. Peranan harga dalam alokasi sumber daya

3. Pasar tenaga kerja 4. Persewaan tanah/lahan 5. Peminjaman dan gadai

tanah serta pemilikan yang lainnya

6. Kemiskinan absolut dan relatif

1. Frekuensi Gotong royong 2. Partisipasi dalam

acara/upacara sosial 3. Tingkat perceraian 4. Tingkat migrasi terpaksa 5. Tingkat apatisme individu

dan sosial 6. Tingkat

kejahatan/kriminalitas Komersialisasi

(22)

harus diambil dalam memecahkan persoalan kemiskinan yang membelenggu petani di pedesaan. Paham dan teori liberalisme - yang

diwujudkan dalam proses komersialisasi atau pasarisasi

(marketization) – ini tidak cocok untuk masyarakat pedesaan di Indonesia2. Buktinya, proses komersialisasi yang sama persis terjadi di Barat dengan di Jawa, ternyata membawa hasil akhir yang bertolak belakang.

Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010 Gambar 2. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya (Kiri). Tingkat Perceraian di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat (2006-2010) dan (Kanan) Faktor Tertinggi penyebab perceraian di Kab. Subang

adalah Tidak ada tanggung jawab dan alasan ekonomi.

2

Liberalisme ekonomi yang diadopsi dan kemudian melahirkan pemiskinan dan kemiskinan bagi petani juga diungkapkan dalam catatan Mohamad Sadly (1965) tentang “pemiskinan ilmu ekonomi” dimana ilmu ekonomi yang diajarkan di UI mengikuti kelazimanan yang ada di Belanda (ekonomi pemerintahan). Berbeda dengan di UI, ilmu ekonomi di UGM lebih bercorak sosial ekonomi (ekonomi pertanian). Hal ini penting untuk dipahami, sebab jika dilacak secara genealogi pengetahuan, di UI inilah kemudian lahir para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia yang biasa disebut sebagai The Berkeley Mafia yaitu para murid dari Soemitro (seorang sosialis) yang sepulang dari menempuh pendidikan di Amerika justru menjadi pembela utama ekonomi pasar di tanah air, seperti Widjojo, Suhadi, Subroto, Emil Salim, Sumarlin dan Ali Wardhana (Nugroho, 2010:249-254). Sementara itu, dari UGM lahir pemikir yang lebih sosialis, seperti Mubyarto dengan ekonomi pancasila-nya yang terinspirasi pemikiran James C. Scott. Todaro (1987) dalam Nugroho (2010:272) juga mengatakan bahwa teori ekonomi tradisional (neoklasik dan keynesian) terbatas relevansinya untuk memahami segi-segi khusus perekonomian di negara berkembang.

(23)

Jika masyarakat Barat mendapatkan kemakmuran melalui proses komersialisasi, maka masyarakat di pedesaan Jawa – dan Asia Tenggara pada umumnya - justru semakin kehilangan keterampilan-keterampilan non-pertanian dan laju kemiskinan serta kemelaratan jauh lebih cepat daripada sebelumnya (Soedjatmoko, 1980:46). Ditandai dengan terjadi erosi bertahap dari berbagai bentuk hubungan produksi lama dan meningkatnya dominasi buruh serabutan seiring berkembangnya kapitalisme agraria (Pincus, 1994;38). Ditambah dengan gejala pengasingan (alienasi), kemerosotan dalam hidup bermasyarakat serta tidak adanya perhatian terhadap kepentingan bersama telah melanda sebagian besar kehidupan wong cilik di pedesaan Jawa.

Secara sosiologis, beberapa kelemahan dan dampak dari komersialisasi telah secara nyata muncul ditengah masyarakat pedesaan di Jawa. Sebagian pihak mungkin mengatakan fenomena ini sebagai bentuk transisi masyarakat menuju “kemajuan”. Mereka yang menganggap bahwa komersialisasi merupakan wujud transisi masyarakat menuju kemajuan setidaknya memiliki lima dasar argumentasi tentang keuntungan komersialisasi, yakni (1) mendorong peningkatan produksi, kesejahteraan jasmani, bertambahnya pilihan jenis pekerjaan, teman hidup dan paham-paham politik (2) memungkinkan suatu bangsa melakukan spesialisasi (keuntungan komparatif) (3) meningkatkan mobilitas bangsa-bangsa, terobosan-terobosan baru yang berani di bidang intelektual (4) orang menjadi lebih rasional dalam tindakan dan perilaku ekonomi, politik, dan sosial lainnya serta (5) perbaikan komunikasi dan berkurangnya kepercayaan kepada takhayul (Peny dalam Sajogyo, 1982:167-168).

(24)

Namun di pihak lain, ada yang mengatakan bahwa

komersialisasi merupakan penyebab “kemunduran”. Sebab,

komersialisasi dianggap telah melahirkan ketidakseimbangan antara “kekayaan untuk diri sendiri” dan “kesejahteraan umum”, merosotnya “perasaan bermasyarakat”, lunturnya kemampuan memperoleh teman, polusi, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya. Selain itu, kebanyakan rumah di kota maupun desa di jawa kini berjeruji besi dan berpagar tinggi karena banyaknya pencurian dan kriminalitas lainnya, ijon kerja diganti dengan upah, upacara-upacara adat menjadi tidak lagi dihargai, ada beberapa petani yang menjadi lebih kaya dan berkuasa daripada sebagian besar petani lain di kampungnya, meningkatnya kebiasaan berhutang dalam masyarakat, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, desa-desa yang dulunya makmur dan aman dengan lumbung-lumbung pangan mereka, kini bahkan tidak mampu lagi untuk berswasembada.

Sumber : BPS, Subang dalam angka 2010:115 Gambar 3. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya.

Tingkat kriminalitas di Kab. Subang tahun 2006-2010 yang terus meningkat. Jenis kejahatan tertinggi adalah pencurian dan penipuan.

Meskipun demikian drastis perubahan sosial di pedesaan, namun masyarakat desa terkadang memiliki cara penyelesaian dan

(25)

adaptasi terhadap perubahan yang unik. Sebagai contoh, ketika involusi pertanian terjadi di pedesaan - sebagai akibat dari tekanan penduduk dan sumber daya yang semakin menurun - maka struktur sosial di pedesaan Jawa tidak lantas terpolarisasi3, melainkan cenderung tetap berusaha untuk menjaga homogenisasi sosial dan ekonomi diantara mereka. Dalam istilah Geertz (1983:102) fenomena ini disebut sebagai “berbagi kemiskinan” atau “kemiskinan yang dibagi rata” (shared poverty). Dalam konteks “memiskinkan bersama” ini, masyarakat desa membagi-bagi rezeki yang mereka punya bersama-sama, hingga lama-kelamaan makin sedikit bagian yang diterima oleh setiap orang atau rumah tangga. Pola inilah yang barangkali juga menular pada hubungan-hubungan sosial lainnya, dimana aturan-aturan (rules) dalam masyarakat juga turut berubah sedemikian hingga mengikuti semangat berbagi kemiskinan. Lebih-lebih dengan makin kencangnya arus globalisasi-modernisasi-liberalisasi ekonomi seperti saat ini, maka tidak menutup kemungkinan pola-pola berbagi kemiskinan ini telah berkembang,

bermutasi dan bahkan menghilang mengikuti semangat

individualisme dan komersialisme yang menjadi ruh masyarakat hari ini.

3

Meskipun mekanisasi atau modernisasi teknologi pertanian berlangsung, struktur masyarakat di pedesaan Jawa tidak lantas juga terpolarisasi, melainkan yang terjadi adalah masih dalam taraf stratifikasi. Hal inilah yang ditemukan dalam kajian Hayami & Kikuchi (1981). Memang diakui kecenderungaan perubahan ke arah polarisasi dapat saja terjadi, namun selama interaksi sosial dalam komunitas petani yang diikat oleh prinsip moral tradisional bisa dijaga dan dipertahankan tentu saja akan menghambat adanya polarisasi. Masalahnya adalah seberapa kuat dan seberapa lama nilai moral tersebut mengikat dan dapat menghambat sifat “personal/individualistik” dan menjaga dari pasar bebas (marketisasi)? Jika institusi atau kelembagaan sosial gagal menjaga ikatan solidaritas antar anggotanya, maka yang terjadi di pedesaan tidak hanya stratifikasi atau polarisasi akibat masuknya teknologi saja, melainkan juga akan mengarah pada individualisme yang meluas dan berakibat pada memudarnya ikatan tradisional komunitas, khususnya yang selama ini bersifat altruistik, seperti gotong royong dan adat-istiadat.

(26)

1.1.2.Gejala Komersialisasi Sosial di Pedesaan Jawa

Kondisi pedesaan - di Pulau Jawa khususnya – yang timpang secara struktural, baik dari segi kepemilikan, penguasaan, pendapatan

hingga distribusi sumber daya, ternyata juga diiringi dengan

perubahan sikap dan perilaku warganya yang semakin berwatak “modern” yang ditandai dengan sikap komersil4, individualistik, rasional, dan berorientasi material5. Pandangan kita tentang masyarakat desa yang guyub, memiliki rasa solidaritas tinggi, gotong royong, egaliter dan berorientasi nilai (ideal) hampir-hampir musnah akibat terpaan modernisasi, globalisasi dan liberalisasi pasar ini. Salah satu indikasi paling mencolok dari berubahnya pola relasi dan mindset warga desa adalah makin terpinggirkannya tradisi-tradisi dan ritual-ritual tertentu yang menjadi warisan nenek moyang mereka secara turun menurun. Sebagian tradisi itu hilang, namun ada juga yang masih bertahan, seperti misalnya tradisi nyumbang yang dapat ditemui di hampir setiap etnis dan wilayah di Nusantara. Tradisi nyumbang ini memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya dapat bertahan meski ditempa oleh arus modernisasi yang demikian kencang.

Beberapa alasan yang menyebabkan tradisi nyumbang ini

tetap eksis ditengah masyarakat adalah, pertama, tradisi ini

merepresentasikan sifat dan kepribadian asli orang Indonesia yang terbiasa hidup secara komunal (extended family) dan oleh karena itu bersifat suka menolong. Kedua, tradisi ini sangat terkait dengan

4

Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas, maka golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung individualistik (Peny, 1990:xvviii).

5

(27)

pranata sosial lainnya seperti perkawinan, yang merupakan institusi yang sangat dihargai di dalam kehidupan sosial. Ketiga, tradisi ini disadari oleh setiap anggota masyarakat bersifat timbal balik (resiprokal), sehingga orang tidak ragu melakukannya karena pada suatu saat ia juga akan mendapatkan balasan pertolongan serupa dari anggota masyarakat lainnya. Menariknya adalah, bagaimana tradisi nyumbang ini beradaptasi dengan arus perubahan yang melanda desa tersebut? Bagaimana orang desa menilai tradisi nyumbang ini ditengah kondisi kehidupan (living condition) yang menurut para ahli dikonstruksikan sebagai kondisi kemiskinan dan disharmonisasi sosial pedesaan? Sebelum sampai kesana, barangkali dapat kita simak sebagian contoh atau bentuk tradisi sosial (nyumbang) yang ada di Pulau Jawa, antara lain :

Jagong : Tradisi Nyumbang di Jawa Tengah

Tradisi mendatangani undangan pernikahan di Jawa Tengah

biasa disebut Jagong. Masyarakat yang mengadakan upacara

pernikahan atau resepsi biasanya mengundang kerabat, tetangga, dan teman-temannya. Orang-orang berdatangan ke acara resepsi dengan membawa amplop berisi uang sumbangan maupun membawa kado. Namun, pada beberapa acara pernikahan ada peraturan untuk tidak menyumbang berupa barang ataupun karangan bunga. Ketentuan tersebut dicantumkan dalam undangan, biasanya digambarkan dengan gambar “kendi” atau “celengan” yang biasa digunakan untuk menyimpan uang. Jika dalam undangan tertera gambar tersebut,

masyarakat sudah paham bahwa yang mempunyai hajat

menginginkan sumbangannya berupa uang. Besarnya sumbangan juga disesuaikan dengan mewah atau tidaknya acara, jadi jumlah sumbangan yang harus diberikan akan berbeda ketika acara tersebut

(28)

diselenggarakan di rumah atau di gedung pertemuan. Pada masyarakat pedesaan, banyak yang masih memberikan bahan makanan seperti beras, telur, gula, teh, sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Akan tetapi saat ini untuk kepentingan praktis, masyarakat pedesaan pun mulai memilih nyumbang dalam bentuk uang. Hanya anggota keluarga saja yang biasanya nyumbang dalam bentuk bahan makanan. Jika yang mempunyai hajatan tersebut masih ada hubungan saudara, maka jumlah sumbangan yang diberikan pun semakin besar. Belakangan, di beberapa daerah muncul gejala “standarisasi” jumlah sumbangan yang berupa uang.

De’-Nyande’ : Tradisi Nyumbang di Madura

Tidak jauh berbeda dengan tradisi nyumbang di Jawa Tengah, pada umumnya, masyarakat Madura juga mengenal tradisi nyumbang. Yang membedakan adalah, ketika mengisi buku tamu, para tamu undangan juga dicatat jumlah sumbangannya dan disebutkan namanya melalui pengeras suara beserta jumlah sumbangannya. Sehingga para tamu undangan mengetahui besar sumbangan dari masing-masing tamu. Kemudian catatan tersebut akan disimpan orang yang mempunyai hajatan dan dipakai acuan untuk mengembalikan sumbangan dengan jumlah yang sama dengan yang diterimanya.

Mbecek : Tradisi Nyumbang di Jawa Timur

Tradisi mbecek atau buwuh sering kali diartikan sebagai pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk sumbangannya dapat berupa barang (beras, gula, kentang, mie, roti, pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya) yang bisanya akan

(29)

dibawa oleh kaum perempuan disamping uang, Sedangkan untuk laki-laki sumbangan tersebut biasanya berupa uang saja. Tradisi mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu keluarga yang menggelar hajatan (saudara dan tetangga) dan ada yang berperan sebagai penyumbang (tetangga, saudara, sahabat, teman dan kenalan). Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan yang ada di desa seringkali aktivitas mbecek ini merupakan kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari usaha yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan tradisi hajatan pada umumnya, tradisi mbecek bisa berlangsung beberapa hari. Dari mulai persiapan (rewang), ketika berlangsungnya acara, hingga selesainya acara. Selama itulah anggota masyarakat akan membantu. Tradisi ini melibatkan semua orang dewasa, sehingga waktu yang sedianya digunakan untuk bekerja terkuras untuk tradisi mbecek atau buwuh ini.

Gantangan : Tradisi Nyumbang di Subang-Jawa Barat

Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Telitian”, atau “Talitihan” adalah salah satu contoh kebiasaan yang

berkembang di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sistem hajat6

gantangan seperti ini dijalankan dengan kuat di Subang wilayah

6

Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti perhitungan kalender/bulan “baik” dan “tidak baik/dilarang” untuk melakukan hajatan. Bulan yang dijauhi untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid (2), Muharram/Sura(4), dan Sapar (5). Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal (1), Raya Agung (3), maulud (6), Silih Mulud (7), Jumadil Awal (8), Jumadil Akhir (9), Rajab (10), Ruwah (11), dan Puasa (12).

(30)

tengah dan utara yang juga dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional. Nuansa pertukaran ekonomi dalam tradisi ini terasa sangat kuat. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun jauh, teman kerja, atau para tamu undangan bisa “menyimpan” beras atau uang dalam jumlah tertentu. Sejumlah uang atau beras yang diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang sifatnya “pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat. Jika kelak si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang serupa, maka si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan sumbangan itu dengan nilai yang sama (Prasetyo, 2010).

Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras (5 gantang) dan uang Rp. 200.000,- kepada tuan B yang sedang hajatan menikahkan anaknya, maka ketika tuan B membuat hajatan untuk mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik kembali beras dan uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan nilai yang sama ditambah dengan sejumlah simpanan yang ingin diinvestasikan oleh tuan A. Sedangkan tuan A, mau tidak mau, punya tidak punya, harus mengembalikan beras dan uang tuan B, bagaimanapun caranya. Padahal, bisa jadi harga beras sudah naik beberapa kali lipat dari saat menerimanya dulu. Akibat sistem “tabungan” seperti ini, maka orang yang memiliki uang atau modal, berbondong-bondong untuk menyimpan uang atau beras dalam jumlah yang besar. Dengan harapan, kelak ketika dia hajat, dia akan memanen semua “tabungannya” tadi.

Menurut kesimpulan dari hasil penelitian Ari Prasetiyo (2003), tradisi nyumbang yang menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan gotong royong ini, ternyata belakangan sistem timbal baliknya

(31)

(resiprositi) semakin dirasa memberatkan oleh sebagian rumah tangga atau anggota masyarakatnya. Namun mereka juga tidak dapat serta merta meninggalkannya karena kontrol sosial yang masih kuat berupa gunjingan dan juga karena faktor status, gengsi atau martabat.

Tradisi nyumbang diatas, menurut Wolf, sebenarnya dapat

dikategorikan sebagai “biaya sosial” yang harus ditanggung oleh rumah tangga di pedesaan atau disebut juga sebagai dana seremonial (ceremonial fund) (Wolf, 1966:10). Beragam bentuk dan pola tradisi nyumbang di atas menunjukkan ada banyaknya variasi tata cara dalam tradisi nyumbang, tergantung pada kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Akan tetapi, semua tradisi sosial diatas menunjukkan gejala perubahan ke arah yang hampir sama, yaitu komersialisasi. Sebagai contoh dari gejala komersialisasi tradisi nyumbang ini ada pada pola dan sifat-sifat dalam tradisi gantangan di pedesaan Subang, Jawa Barat, antara lain :

a. Tidak Sukarela (Sumbangan = hutang). Sumbangan tidak

dianggap sebagai bantuan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang bagi penerima dan simpanan bagi si penyumbang.

b. Terbuka, siapapun boleh masuk dalam sistem gantangan ini

meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Namun jika sudah masuk ke dalam sistem gantangan, maka seseorang tidak dapat keluar sebelum semua hutang-hutangnya terlunasi.

c. Mengikat, karena tercatat hitam di atas putih. Baik penyumbang maupun yang disumbang memegang catatannya masing-masing dan diharapkan setiap orang memiliki komitmen yang kuat dan kejujuran untuk saling menyimpan dan mengembalikan.

d. Memaksa, ada kewajiban untuk membalas/mengembalikan

(32)

maka pemilik hajat akan mendatangi langsung untuk menarik semua simpanannya.

e. Akumulatif, jumlah sumbangan terus bertambah dan pada kasus tertentu dikenakan bunga dalam pengembaliannya (hutang yang belum terlunasi, khususnya kepada Bandar)

f. Turun-menurun, karena hutang gantangan tersebut dapat

diwariskan/dialihkan pada anak, istri, atau keluarga lainnya (misalnya ketika yang bersangkutan meninggal dunia atau menjadi TKI/TKW di luar negeri)

g. In-elastis terhadap naik turunnya pendapatan rumah tangga. Tidak peduli sedang susah ataupun banyak rejeki, sedang panen atau gagal panen, jumlah hutang dan simpanan tidak dapat dikurangi/disesuaikan dengan pendapatan saat itu.

h. Negosiatif, dalam beberapa kasus terjadi tawar menawar besarnya

sumbangan antara tuan rumah/pemilik hajat dengan penyumbang. Biasanya pemilik hajat akan melihat kemampuan dia dalam membayar kembali setelah hajat selesai. Sebab, jumlah sumbangan yang terlalu besar jika diterima begitu saja dapat menjadi hutang yang menakutkan dan merugikan di kemudian hari.

i. Sistem Bandar, bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki modal untuk menyelenggarakan hajat, maka selain berharap sumbangan dari tetangga, ia juga dapat meminjam (berhutang) kepada Bandar (beras, daging, telur, gula, dan sebagainya). Kemudian setelah hajatan usai, ia akan membayarnya kembali dengan harga atau jumlah yang telah disepakati sebelumnya.

(33)

Dalam kondisi dan relasi seperti yang digambarkan diatas, tindakan sosial dapat dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomi (Damsar, 2006:13). Sebagaimana teori pertukaran yang dikemukakan oleh George C. Homans, bahwa suatu tindakan adalah rasional berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dengan kata lain, interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Meskipun, tidak semua pertukaran sosial dapat diukur dengan uang (Poloma, 2004:52). Manusia, dalam interaksi sosial senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mencerminkan cost dan reward yang membuat manusia selalu mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio).

Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai kemiskinan ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana masyarakat desa yang “dipandang miskin” itu justru memelihara tradisi yang nampak “mahal” tersebut? Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit, bagaimana harus menolong dan berbagi dengan orang lain? Apakah tesis dan proposisi yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa “orang makin miskin makin bersikap komersil dan individualistik” menjadi tidak berlaku? Atau justru tesis tersebut benar adanya, mengingat pola tradisi nyumbang ini telah berubah sedemikian rupa

menjadi medan akumulasi keuntungan sebagian anggota

masyarakatnya? Atau sejarah dan kultur masyarakat tertentulah yang

membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah dan derajat

(34)

1.2.Rumusan Masalah

Serupa dengan tradisi nyumbang di tempat lain, pada mulanya modal sosial Gantangan ini merupakan bentuk bantuan sosial untuk meringankan beban orang-orang yang masih dalam kelompok primer (ikatan keluarga dan tetangga dekat). Biasanya diberikan ketika si penerima akan menjalankan hajatan, ketika dalam kesulitan atau seremonial tradisi lainnya. Namun lambat laut, tradisi gantangan ini makin

meluas hingga melibatkan keluarga besar7 dan mereka yang berada di luar

kelompok primer (non-family) dan bahkan melintas batas desa. Orientasi tradisi ini pun bergeser menjadi semakin bersifat ekonomi daripada sebagai sebuah kebiasaan tolong-menolong biasa. Dari sisi budaya, jika dahulu Gantangan adalah sebuah kebiasaan (folkways), maka kini ia telah menjadi adat istiadat (custom) dengan beragam peran (roles), aturan (rules), prosedur (procedures), dan sanksi (sanction) yang melingkupinya. Perubahan ini juga membawa konsekuensi pada munculnya berbagai gejala perilaku yang berbeda dari tujuan “sosial”8 dari tradisi ini semula. Gejala ini ditandai oleh resiprositas yang bersifat makin mengikat, memaksa, formal (tercatat hitam di atas putih) serta dalam kondisi tertentu cenderung memberatkan dan merugikan.

Namun yang lebih menarik dari itu adalah bagaimana persoalan tradisi ini ketika dikaitkan dengan konsep kemiskinan di pedesaan. Sebab,

7

Enam ciri dan fungsi potensial dari keluarga besar antara lain (1) tinggal bersama (2) rumah tangga bersama (3) produksi bersama (4) pembagiaan alat-alat produksi (5) penopang solidaritas dan jaminan sosial (6) wewenang membuat keputusan ekonomi yang sangat penting (Planck, 1990:32-33)

8Kata “sosial” adalah salah satu kata sifat yang paling luas digunakan dalam bahasa

Inggris. Ini terkait dengan kata benda “masyarakat” yang berasal dari bahasa Latin “socius” yang berarti “teman atau kawan”. Hal ini mengindikasikan bahwa apa itu “sosial” aslinya diturunkan dari fenomena “pertemanan”, yang menyiratkan makna

kerjasama, solidaritas, saling respek/menghargai, dan kepekaan terhadap kepentingan umum (Uphoff, 2000:222)

(35)

subjek atau pelaku-pelaku dalam tradisi gantangan ini notabene adalah rumah tangga di pedesaan yang seringkali didefinisikan “miskin”, baik oleh institusi negara maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi internasional. Bahkan dalam banyak kajian di perguruan tinggi juga ditemukan kecenderungan fakta bahwa kehidupan rumah tangga di pedesaan ini semakin sulit dan menderita. Bagi penulis, fenomena gantangan yang semakin komersil di satu sisi, dengan fakta-fakta objektif tentang kemiskinan di sisi lain adalah gejala yang menarik untuk dicari kaitan atau benang merahnya.

Apakah fenomena tersebut sebenarnya mengindikasikan fenomena terkikisnya solidaritas sosial yang telah tertanam dan mengakar di dalam masyarakat selama bertahun-tahun? Jika ini benar, maka wacana tentang kehancuran institusi-institusi di pedesaan itu semakin benar adanya. Atau jangan-jangan letak permasalahan utamanya adalah pada konstruksi sosial kita tentang kemiskinan itulah yang berbeda dengan konstruksi masyarakat (perspektif emik)? Ibarat peribahasa “what we measures, affect what we do”. Oleh karena itu, setelah memperhatikan berbagai permasalah diatas, maka penelitian ini hadir untuk menjawab beberapa pertanyaan utama sebagai berikut:

a) Bagaimana bentuk dan pola (relasi antar aktor) dalam sistem pertukaran sosial gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda ? b) Bagaimana transformasi pola hubungan dalam sistem pertukaran sosial

gantangan tersebut berlangsung (komersialisasi sosial) ?

c) Bagaimana model strategi dan pengambilan keputusan para aktor dan kelompok dalam pertukaran sosial gantangan ini?

(36)

1.3.Tujuan Penelitian

a) Menganalisis bentuk-bentuk pertukaran sosial gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda

b) Menjelaskan sejarah dan proses komersialisasi sosial Gantangan di pedesaan Subang

c) Membuat suatu model strategi dan pengambilan keputusan para aktor dan kelompok dalam pertukaran sosial gantangan melalui pendekatan analisi teori permainan evolusioner

1.4.Manfaat Penelitian

Studi tentang pertukaran sosial gantangan di tiga desa miskin di pedesaan Subang ini akan dapat memberikan penjelasan historis maupun sosiologis terkait peran dan keberadaan modal sosial terkini yang masih tersisa di tengah masyarakat pedesaan, khususnya di Kabupaten Subang. Dengan diperolehnya gambaran serta penjelasan tersebut, maka dapat dibuat suatu model jaminan sosial informal berbasis modal sosial gantangan yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat di pedesaan.

(37)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gantangan

Gantangan berasal kata dari “gantang”, yaitu satuan ukur dengan nilai 1 gantang = 10 liter beras. Artinya, gantangan adalah pertukaran beas (beras) dan artos (uang) yang dilakukan antar tetangga/kenalan kepada bapak hajat (penyelenggara hajatan) sebelum atau ketika pesta hajatan berlangsung dan jumlahnya dicatat dalam buku catatan oleh juru tulis pencatat Gantangan. Beas dan artos tersebut akan menjadi simpanan bagi tamu undangan/penyumbang dan menjadi hutang yang kelak harus dibayarkan oleh bapak hajat.

Gantangan dapat dilihat sebagai suatu kelompok sosial (social group) karena didalamnya terdapat “two or more individuals who are connected by and within social relationships”. Kelompok sosial gantangan ini juga memiliki struktur (the underlying pattern of roles, norms, and relations among members that organizes group), kesalingtergantungan (the state of being dependent to some degree on other people, as when one’s outcomes, actions, thoughts, feelings, and experiences are determined in whole or in part by others) dan kohesivitas kelompok (the strength of the bonds linking individuals to and in group) (Forshyth, 2010:2-10)

Gantangan dapat pula dilihat sebagai kebiasaan (folkways) yang berubah menjadi adat istiadat (custom) karena di dalamnya terkandung beragam peran (roles), aturan (rules), prosedur (procedures), dan sanksi (sanction) yang membangunnya. Segenap perangkat itulah yang membentuk keteraturan dalam sistem sosial masyarakat pedesaan sehingga pola pertukaran tersebut dapat terus dilakukan berulang-ulang. Gantangan juga dapat dilihat sebagai sebuah sistem arisan, karena gantangan ini memiliki pola yang mirip dengan arisan, dimana setiap

(38)

anggota yang terlibat di dalamnya pada waktu tertentu mendapatkan giliran untuk mendapatkan akumulasi simpanan (narik) dari seluruh anggota lainnya, tentu saja setelah dia juga secara rutin menyimpan kepada rumah tangga lainnya.

Gambar 4. Perspektif dalam melihat Fenomena Gantangan

Gantangan juga dapat dianggap sebagai sebuah sistem jaminan sosial informal berbasis komunitas. Sebab, melalui gantangan yang bisa digelar sewaktu-waktu ini, rumah tangga di pedesaan dapat memenuhi kebutuhan mendesaknya melalui bantuan (pinjaman atau hutang) kepada saudara dan tetangga di desanya. Tentu saja tanpa persyaratan atau jaminan tertentu, kecuali janji dan kepercayaan antar sesama anggota masyarakat itu sendiri. Gantangan juga dapat dilihat sebagai sebuah pola resiprositas atau hubungan timbal balik, dimana setiap rumah tangga saling memberi (menyimpan) dan menerima (narik) dalam jumlah dan waktu pengembalian yang tidak tentu, tetapi pasti. Gantangan ini juga dapat dilihat sebagai sebuah pola pertukaran sosial, dimana setiap anggota

Gantangan

Arisan

Pertukaran Sosial

Modal Sosial

Perspektif

Jaminan Sosial Informal Kelompok Sosial

Kebiasaan & Adat Istiadat

(39)

gantangan ini telah mempertimbangkan secara rasional aspek biaya dan manfaat dari keterlibatannya. Setiap rumah tangga berupaya untuk

mendapatkan keuntungan (sunda : aya leuwihna, indonesia : ada

lebihnya) melalui sistem gantangan ini. Selain itu, gantangan ini juga merupakan bentuk modal sosial lokal, dimana pola jaringan (network), norma (norms) dan kepercayaan (trust) telah terbangun dengan mapan untuk mewadahi tujuan-tujuan individual maupun kolektif masyarakat di pedesaan Subang.

2.2. Resiprositas

Resiprositas merupakan transaksi antara dua kelompok, dimana barang dan jasa yang memiliki nilai setara dipertukarkan. Hal ini mencakup pula pemberian hadiah. Motif dalam pertukaran adalah untuk memenuhi kewajiban sosial dan mungkin untuk memperoleh semacam prestise dalam proses tersebut. Bronislaw Malinowski (1884-1942) pada tahun 1922 melakukan sebuah studi tentang kegiatan ekonomi suku asli kepulauan Papua Melanesia. Dari hasil studinya, selain menekankan pentingnya peran kekeluargaan dan kepala suku dalam sistem produksi dan pertukaran, ia juga mengidentifikasi adanya berbagai bentuk pemberian murni (suami kepada istri, orang tua kepada anak). Selain itu, ada juga pertukaran barang-barang untuk hal non-ekonomis, seperti hak (privileges) dan gelar. Beberapa tahun kemudian, Marcell Mauss (1872-1950) menulis sebuah buku berjudul “The Gift” (pemberian hadiah) yang mengungkapkan adanya kewajiban-kewajiban yang mengikat kepada si pemberi untuk memberi, si penerima untuk menerima dan si penerima untuk membalas (reciprocate) dengan waktu dan jumlah pengembalian yang terbuka untuk berbagai kemungkinan (Smelser, 1990:33-35).

Sementara itu, Karl Polanyi (1886-1964) mengatakan bahwa resiprositas merupakan salah satu dari ciri yang melekat dalam masyarakat pra-industri disamping redistribusi rumah tangga. Resiprositas itu sendiri

(40)

menurutnya merupakan gerakan di antara kelompok-kelompok simetris yang saling berhubungan dan hal ini dapat terjadi jikalau hubungan timbal balik antar individu itu sering dilakukan (Damsar, 2006:24). Dari berbagai literatur yang ada, maka kita dapat klasifikasikan beberapa bentuk dari resiprositas, antara lain:

2.2.1 Resiprositas umum (generalized reciprocity)

Suatu model pertukaran dimana nilai pemberian (hadiah) maupun waktu pembayaran kembali tidak dikalkulasikan secara spesifik. Misalnya, praktek pendistribusian makanan. Umumnya resiprositas umum berlangsung antar kerabat dekat atau antar orang yang memiliki ikatan sangat erat

2.2.2 Resiprositas seimbang (balanced reciprocity)

Suatu model pertukaran dimana si pemberi maupun si penerima memiliki kekhususan dalam nilai barang dan waktu pemberiannya. Misalnya, arisan. Pemberian, penerimaan, dan berbagi bersama digambarkan membangun suatu bentuk jaminan sosial atau asuransi sosial. Mekanisme bertingkat juga bekerja dalam proses resiprositas umum maupun seimbang

2.2.3 Resiprositas negatif (negative reciprocity)

Suatu bentuk pertukaran dimana si pemberi mencoba mendapat lebih baik dari pertukaran tersebut. Kelompok yang terlibat memiliki kepentingan berbeda, dan tidak berhubungan dekat. Bentuk ekstrim dari resiprositas negatif adalah mengambil sesuatu dengan kekerasan atau paksaan

(41)

Dalam konteks pedesaan, norma-norma dan prosedur-prosedur yang berlaku di sebuah desa tidak lain merupakan pencerminan dari masalah-masalah berat yang dihadapi oleh petani. Pada titik inilah etika subsistensi menemukan ekspresi sosialnya dalam bentuk pola-pola kontrol sosial dan resiprositas yang memberi struktur pada tindak-tanduk sehari-hari. Dalam desa pra-kapitalis, lembaga-lembaga yang dikuasai para petani diorganisir untuk memberi jaminan kepada yang lemah dari kejatuhan dengan memberikan tuntutan-tuntutan tertentu kepada petani yang lebih kaya. Jadi, dalam hubungan petani dengan sesama warga desanya, titik perhatiannya adalah keterikatannya pada norma dan peran mereka (Popkin, 1986:8-9).

2.3. Pilihan Rasional, Pertukaran Sosial dan Jaringan Pertukaran 2.3.1.Pilihan Rasional

Seperti kita tahu, banyak dari para peletak dasar teori sosiologi klasik menempatkan evolusi masyarakat sebagai titik tolak bangunan teoritisnya, misalnya Comte yang melihat evolusi masyarakat dari sisi tahap-tahap perkembangan intelektual, Sorokin melihatnya dari mentalitas budaya, Marx dari konflik kelas, Durkheim dengan konsep solidaritas sosial, dan Weber dengan perkembangan rasionalitasnya (Johnson, 1986:207). Dalam konteks tersebut, Teori Pilihan Rasional merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori tentang perkembangan rasionalitas manusia. Teori ini adalah salah satu cabang sosiologi yang paling banyak dipengaruhi oleh ilmu ekonomi. Meskipun demikian, teori pilihan rasional dalam sosiologi berbeda dengan yang diterapkan dalam ilmu ekonomi.

Sosiologi dalam teori pilihan rasional ini mengasumsikan bahwa aktor bertindak secara rasional dalam arti yang luas. Tidak seperti teori-teori sosiologi lainnya yang menganggap bahwa tindakan individu dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab yang

(42)

ada di belakangnya, teori pilihan rasional menganggap aktor sebagai pembuat keputusan yang memiliki kesadaran penuh dan secara signifikan dipengaruhi oleh nilai biaya dan manfaat dari berbagai tindakan alternatif lainnya (Hedstrom & Steren, 2007:2). Sebagian besar teori pilihan rasional tidak hanya menjelaskan tindakan individu tunggal, tetapi juga berfokus pada penjelasan makro tentang kemunculan sebuah norma, pola-pola kelembagaan dan beragam bentuk tindakan kolektif. Oleh karenanya, teori ini berfokus pada berbagai tindakan dan interaksi yang membentuk institusi sosial tersebut (Hechter & Kanazawa, 1997:2009).

Contoh :

Gambar 5. Relasi Mikro-Makro Coleman (1986) dalam Hedtsrom & Stern (2007:9, Coleman (2010:11)

Dalam teori pilihan rasional, kita harus lebih menekankan perhatian pada hubungan antara makro-mikro. Kita harus berfokus pada bagaimana jaringan, norma-norma sosial, proses sosialisasi, dan

lain sebagainya mempengaruhi orientasi tindakan individu

A D

B C

Makro :

Mikro :

Doktrin religius protestan

Nilai-nilai ekonomi Perilaku

(43)

(kepercayaan, preferensi, dan lain sebagainya) (A  B). Kemudian, bagaimana orientasi tindakan tersebut mempengaruhi individu dalam bertindak (B  C). Dari tindakan-tindakan individu itulah kemudian kita dapat menerangkan tentang fenomena sosial sebagai hasil interaksi sosial makro-mikro tersebut (CD). Berbeda dengan ilmu ekonomi yang cenderung matematis, pendekatan dalam sosiologi bersifat induktif dan empiris.

Selain itu, sebagaimana pemahaman Weber tentang tindakan rasional, menurutnya tidak semua perilaku dapat dimengerti sebagai

manifestasi dari rasionalitas. Emosi-emosi tertentu seperti

kemarahan, penderitaan, cinta, ketakutan dan lain sebagainya seringkali diungkapkan individu dalam bentuk perilaku yang sepintas lalu terlihat tidak rasional. Tetapi orang pasti dapat mengerti (verstehen) perilaku itu kalau dia tahu emosi mendasar yang sedang

diungkapkannya. Dengan demikian, tindakan rasional itu

berhubungan dengan pertimbangan sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan/diwujudkan (Johnson, 1980:220).

Namun demikian, rasionalitas itu sendiri secara metodologi

dapat didekati melalui dua pendekatan, yaitu : pendekatan

individualistik dan komunitarian. Pendekatan individualistik berakar dari pemikiran ekonom neoklasik dan filsafat pilihan rasional yang dikemukakan oleh Hobbes, Hume dan Kant (Di Caccio, 2005:44). Dalam pendekatan ini, individu dianggap sebagai makhluk yang bebas dan independen dalam mengambil suatu keputusan. Sebagai agen yang rasional, individu mengambil keputusan atau tindakan hanya berdasarkan pada pertimbangan konsekuensi dan kegunaan dari pilihan mereka (the consequences-utilities-of their acts). Pendekatan ini sama sekali tidak mempertimbangkan aspek diluar

(44)

individu itu sendiri, seperti sistem nilai, kebudayaan, solidaritas dan sebagainya.

Berlawanan dengan pendekatan individualistik adalah pendekatan komunitarian, yaitu pendekatan yang percaya bahwa pilihan rasional atau perilaku individu itu sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai kebudayaan yang melekat dalam diri individu yang dipelajarinya secara pasif dalam komunitas tradisional. Seperti dikemukakan oleh Becker (1996) dalam Di Caccio, 2005:49

“individual’s preferences are also inffluenced by the decisions of the people whom the individual is related to”.

Maka dari itu, implikasi dari pandangan komunitarian ini adalah kita harus memberikan interpretasi yang holistik terhadap struktur sosial yang mendasarinya. Selain itu, otomatis kebebasan individual (individual’s freedom) dalam memilih menjadi masalah nomor dua. Disinilah tarik menarik antara kebebasan (freedom) dan solidaritas (solidarity) itu menjadi menarik, mana sebenarnya yang lebih dominan mempengaruhi pilihan rasional individu?

2.3.2. Pertukaran Sosial

Jika teori pilihan rasional dapat menjelaskan mengapa orang melakukan suatu tindakan/perilaku? maka kita dapat menggunakan teori pertukaran sosial dengan tujuan untuk memprediksi (predict) dan menjelaskan (explain) suatu perilaku. Teori pertukaran ini merupakan hasil mutasi atau varian dari model pilihan rasional dan behaviorisme. Ia adalah kombinasi antara asumsi dasar behaviorisme (operant psychology) dan teori kegunaan (utility maximization) dalam ilmu ekonomi (Zafirovski, 2005:31). Selain dari ekonomi dan

(45)

psikologi, teori pertukaran juga berhutang pada Simmel - yang disebut Homans sebagai “the ancestor of small-group research” – yang telah memberikan basis teori tentang perilaku sosial dasar (elementary social behaviour) (Homans, 1958:597). Beberapa definisi dan penjelasan tentang pertukaran sosial ini antara lain (Cook, 1977:62-82):

 Hubungan pertukaran (exchange relations) (contoh Ax:By)

dibangun dari beragam transaksi intensif yang menghasilkan transfer sumberdaya (x, y, …) antara dua aktor atau lebih (A,B, …) untuk mendapatkan manfaat bersama (mutual benefit)

 Dalam berbagai hubungan pertukaran Ax:By maka kekuasaan

(power) A terhadap B (Pab) adalah kemampuan dari A untuk menurunkan rasio x/y

 Ketergantungan A terhadap B (Dab) adalah fungsi dari (1)

penilaian A terhadap sumberdaya yang diterimanya dari B dan (2) ada tidaknya alternatif lain untuk melakukan hubungan pertukaran

 Hubungan pertukaran Ax:By dikatakan seimbang jika Dab=Dba,

tidak seimbang jika Dab-Dba

Selain itu, teori pertukaran ini memiliki beberapa asumsi dasar dan proposisi kunci, antara lain :

 Perilaku sosial adalah bentuk dari pertukaran, baik material maupun non-material seperti simbol penerimaan dan gengsi (G.C.Homans, 1958:597)

 Manusia memberikan sesuatu dengan harapan akan mendapatkan

(46)

 Seseorang yang memberi banyak kepada orang lain sebenarnya sedang berharap mendapatkan lebih banyak dari mereka dan seseorang yang menerima banyak dari orang lain akan berada dalam tekanan untuk memberi/mengembalikan lebih banyak pula. This process of influence tends to work out at equilibrium to a balance in the exchange (G.C. Homans:1958:606)

 Setiap hubungan sosial berbasis pada pertimbangan biaya dan manfaat. Orang akan tetap mempertahankan hubungan jika manfaat (material dan non-material) yang diperolehnya lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya (G.C. Homans)

 Frekuensi dalam interaksi sosial (intensitas) akan mempengaruhi struktur dan keseimbangan dalam pertukaran sosial (Peter M. Blau)

b + j

b + j

A B

6.1.Pertukaran Barter

6.2.Pertukaran dengan janji bayar b + j Pa A B Pa b + j A B Waktu 1 Waktu 2

(47)

Gambar 6. Struktur dan Sistem Pertukaran Sosial (Coleman, 2010:165-166)

6.3.Pertukaran dengan janji bayar pihak ketiga b + j Pa A B Waktu 1 b + j Pa A B Waktu 2 Waktu 3 b + j Pa A B Pd Pb

6.4.Pertukaran dengan janji dari bank sentral b+j b+j b+j b+j Pa Pa Pa Pa E B D C A Keterangan : b = barang, j = jasa, P =janji A-E = Aktor

(48)

Konsep pertukaran sosial Peter M. Blau (1964) mengungkapkan bahwa tindakan seseorang akan berhenti jika reaksi yang diharapkan tidak kunjung datang. Artinya, ketika ikatan antara individu dengan individu atau kelompok terbentuk, maka hadiah yang saling mereka pertukarkan di dalamnya akan membantu mempertahankan ikatan diantara mereka. Ketika hadiah dirasa tidak memadai oleh satu pihak atau keduanya, maka ikatan diantara mereka bisa jadi melemah atau hancur. Selain itu, ketika ada seseorang membutuhkan sesuatu dari orang lain tetapi ia tidak memiliki sesuatu yang sebanding untuk dipertukarkan, maka akan terjadi empat kemungkinan, pertama, ia akan memaksa orang lain

untuk membantunya, kedua, ia akan mencari sumber lain untuk

memenuhi kebutuhannya, ketiga, ia akan terus mencoba bergaul

dengan baik tanpa mendapatkan apa yang dibutuhkannya dari orang lain dan keempat, ia akan menundukkan diri terhadap orang lain (ciri esensial dari kekuasaan).

Blau sendiri memulai dari premis dasar bahwasanya interaksi sosial itu memiliki nilai bagi individu. Dengan mengeskplorasi beragam nilai inilah kemudian Ia memahami hasil kolektif dari interaksi sosial tersebut, termasuk didalamnya distribusi kekuasaan di dalam masyarakat (Scott & Calhoun, 2004:10-11). Menurut Peter M. Blau, seseorang melakukan interaksi sosial untuk satu alasan yang sama, yaitu mereka membutuhkan sesuatu dari orang lain. Selain itu, seseorang berinteraksi dan melakukan pertukaran dengan orang lain tidak semata hanya karena motif transaksi ekonomi dan norma resiprositas saja, melainkan juga karena dengan pemberian (gives)

(49)

mereka itu dapat memberikan peluang untuk mendapatkan kekuasaan (power).

“the tendency to help others is frequently motivated by the expectation that doing so will bring social rewards” (Blau, 1964)

Blau percaya bahwasanya struktur sosial itu terbentuk dari interaksi sosial, akan tetapi ia juga meyakini bahwa segera setelah struktur sosial itu terbentuk maka ia akan sangat mempengaruhi interaksi sosial itu sendiri (fakta sosial). Dengan demikian, pendekatan pertukaran sosial Blau bergerak dari aras mikro subjektif hingga ke makro objektif (struktur sosial) dengan memberikan penjelasan saling pengaruh diantara keduanya. Penghubung antara kedua aras itu menurut Blau adalah Nilai dan Norma (konsensus) yang berkembang dalam masyarakat setempat. Menurut Blau, “konsensus mengenai nilai sosial menyediakan basis untuk memperluas jarak transaksi sosial melampaui batas-batas kontak sosial langsung dan untuk mengekalkan struktur sosial melampaui batas umur manusia” (Ritzer & Goodman, 2010:373). Kita bisa melihat dalam konteks modal sosial gantangan dimana norma dan nilai silih bantu (resprositas) yang disepakati ini dapat tertanam dengan kuat dan berjalan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sekalipun dengan perubahan dan transformasi pola yang terus berkembang.

Sebagaimana dikemukakan oleh Peter M. Blau, terdapat empat (4) langkah proses atau tahapan dari pertukaran antar pribadi ke struktur sosial hingga perubahan sosial (Ritzer & Goodman, 2010:369) antara lain :

Gambar

Gambar 2. Pengaruh komersialisasi dalam dimensi Sosial-Budaya (Kiri).
Gambar 4. Perspektif dalam melihat Fenomena Gantangan
Gambar 6. Struktur dan Sistem Pertukaran Sosial (Coleman,  2010:165-166)
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 2007-2010 di Provinsi Jawa  Barat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan apa yang sudah dipaparkan panjang di atas, bahwa al- Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad (hadis) menjadi dasar utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, karena

Tema yang diusung pada perencanaan dan perancangan interior Islamic Center Muhammadiyah Yogyakarta ini “ Centre Of Life “. Bila di artikan perkata, Center berarti

You need to know the content of this book's prequel, Learning IPython for Interactive Computing and Data Visualization: Python programming, the IPython console and notebook,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dalam mengambil langkah diskresi dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa hak asuh anak

Menjelang perilisan kolaborasi baru mereka, BLACKPINK membagikan klip video call yang menggemaskan dengan penyanyi Amerika itu.. Pada 24 Agustus, BLACKPINK merilis klip

Ada tiga hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini yaitu H1: Menguji perbedaan rata-rata (average) abnormal return pada waktu sebelum dan saat peristiwa bom

Diameter tali baja yang dipakai adalah berukuran 24 mm dapat dikomparasikan dengan menggunakan tali baja berdiameter 23 mm dikarenakan nilai tarikan maksimum pada sistem

Berbeda dengan concatenative morphology yang memiliki definisi yang lebih jelas, nonconcatenative morphology lebih merupakan properti yang menggunakan operasi