• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi pedesaan - di Pulau Jawa khususnya – yang timpang secara struktural, baik dari segi kepemilikan, penguasaan, pendapatan hingga distribusi sumber daya, ternyata juga diiringi dengan perubahan sikap dan perilaku warganya yang semakin berwatak “modern” yang ditandai dengan sikap komersil4, individualistik, rasional, dan berorientasi material5. Pandangan kita tentang masyarakat desa yang guyub, memiliki rasa solidaritas tinggi, gotong royong, egaliter dan berorientasi nilai (ideal) hampir-hampir musnah akibat terpaan modernisasi, globalisasi dan liberalisasi pasar ini. Salah satu indikasi paling mencolok dari berubahnya pola relasi dan mindset warga desa adalah makin terpinggirkannya tradisi-tradisi dan ritual-ritual tertentu yang menjadi warisan nenek moyang mereka secara turun menurun. Sebagian tradisi itu hilang, namun ada juga yang masih bertahan, seperti misalnya tradisi nyumbang yang dapat ditemui di hampir setiap etnis dan wilayah di Nusantara. Tradisi nyumbang ini memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya dapat bertahan meski ditempa oleh arus modernisasi yang demikian kencang.

Beberapa alasan yang menyebabkan tradisi nyumbang ini tetap eksis ditengah masyarakat adalah, pertama, tradisi ini merepresentasikan sifat dan kepribadian asli orang Indonesia yang terbiasa hidup secara komunal (extended family) dan oleh karena itu bersifat suka menolong. Kedua, tradisi ini sangat terkait dengan

4

Di dalam sektor pertanian dalam perekonomian pasar dimana kemiskinan meluas, maka golongan miskinlah yang berperilaku semakin komersil dan cenderung individualistik (Peny, 1990:xvviii).

5

pranata sosial lainnya seperti perkawinan, yang merupakan institusi yang sangat dihargai di dalam kehidupan sosial. Ketiga, tradisi ini disadari oleh setiap anggota masyarakat bersifat timbal balik (resiprokal), sehingga orang tidak ragu melakukannya karena pada suatu saat ia juga akan mendapatkan balasan pertolongan serupa dari anggota masyarakat lainnya. Menariknya adalah, bagaimana tradisi nyumbang ini beradaptasi dengan arus perubahan yang melanda desa tersebut? Bagaimana orang desa menilai tradisi nyumbang ini ditengah kondisi kehidupan (living condition) yang menurut para ahli dikonstruksikan sebagai kondisi kemiskinan dan disharmonisasi sosial pedesaan? Sebelum sampai kesana, barangkali dapat kita simak sebagian contoh atau bentuk tradisi sosial (nyumbang) yang ada di Pulau Jawa, antara lain :

Jagong : Tradisi Nyumbang di Jawa Tengah

Tradisi mendatangani undangan pernikahan di Jawa Tengah biasa disebut Jagong. Masyarakat yang mengadakan upacara pernikahan atau resepsi biasanya mengundang kerabat, tetangga, dan teman-temannya. Orang-orang berdatangan ke acara resepsi dengan membawa amplop berisi uang sumbangan maupun membawa kado. Namun, pada beberapa acara pernikahan ada peraturan untuk tidak menyumbang berupa barang ataupun karangan bunga. Ketentuan tersebut dicantumkan dalam undangan, biasanya digambarkan dengan gambar “kendi” atau “celengan” yang biasa digunakan untuk menyimpan uang. Jika dalam undangan tertera gambar tersebut, masyarakat sudah paham bahwa yang mempunyai hajat menginginkan sumbangannya berupa uang. Besarnya sumbangan juga disesuaikan dengan mewah atau tidaknya acara, jadi jumlah sumbangan yang harus diberikan akan berbeda ketika acara tersebut

diselenggarakan di rumah atau di gedung pertemuan. Pada masyarakat pedesaan, banyak yang masih memberikan bahan makanan seperti beras, telur, gula, teh, sayuran, buah-buahan dan sebagainya. Akan tetapi saat ini untuk kepentingan praktis, masyarakat pedesaan pun mulai memilih nyumbang dalam bentuk uang. Hanya anggota keluarga saja yang biasanya nyumbang dalam bentuk bahan makanan. Jika yang mempunyai hajatan tersebut masih ada hubungan saudara, maka jumlah sumbangan yang diberikan pun semakin besar. Belakangan, di beberapa daerah muncul gejala “standarisasi” jumlah sumbangan yang berupa uang.

De’-Nyande’ : Tradisi Nyumbang di Madura

Tidak jauh berbeda dengan tradisi nyumbang di Jawa Tengah, pada umumnya, masyarakat Madura juga mengenal tradisi nyumbang. Yang membedakan adalah, ketika mengisi buku tamu, para tamu undangan juga dicatat jumlah sumbangannya dan disebutkan namanya melalui pengeras suara beserta jumlah sumbangannya. Sehingga para tamu undangan mengetahui besar sumbangan dari masing-masing tamu. Kemudian catatan tersebut akan disimpan orang yang mempunyai hajatan dan dipakai acuan untuk mengembalikan sumbangan dengan jumlah yang sama dengan yang diterimanya.

Mbecek : Tradisi Nyumbang di Jawa Timur

Tradisi mbecek atau buwuh sering kali diartikan sebagai pemberian bantuan baik berupa barang dan atau uang kepada pihak yang sedang menyelenggarakan hajat atau pesta. Adapun bentuk sumbangannya dapat berupa barang (beras, gula, kentang, mie, roti, pisang, kelapa, boncis, dan lain sebagainya) yang bisanya akan

dibawa oleh kaum perempuan disamping uang, Sedangkan untuk laki-laki sumbangan tersebut biasanya berupa uang saja. Tradisi mbecek banyak melibatkan orang yang mana masing-masing orang memiliki peran yang berbeda. Ada yang berperan membantu keluarga yang menggelar hajatan (saudara dan tetangga) dan ada yang berperan sebagai penyumbang (tetangga, saudara, sahabat, teman dan kenalan). Pelaksanaan pesta perkawinan ataupun khitanan yang ada di desa seringkali aktivitas mbecek ini merupakan kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan. Hubungan sosial anggota masyarakat yang memberikan bantuan atau sumbangan tidak semata-mata karena keikhlasan hati akan tetapi ada hal yang diinginkan yaitu adanya keinginan untuk mendapatkan pengembalian yang setimpal dari usaha yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan tradisi hajatan pada umumnya, tradisi mbecek bisa berlangsung beberapa hari. Dari mulai persiapan (rewang), ketika berlangsungnya acara, hingga selesainya acara. Selama itulah anggota masyarakat akan membantu. Tradisi ini melibatkan semua orang dewasa, sehingga waktu yang sedianya digunakan untuk bekerja terkuras untuk tradisi mbecek atau buwuh ini.

Gantangan : Tradisi Nyumbang di Subang-Jawa Barat

Gantangan, yang memiliki nama lain “Gintingan”, “Telitian”, atau “Talitihan” adalah salah satu contoh kebiasaan yang berkembang di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sistem hajat6 gantangan seperti ini dijalankan dengan kuat di Subang wilayah

6

Bagi masyarakat Subang tradisional, sistem penyelenggaraan hajat juga mengikuti perhitungan kalender/bulan “baik” dan “tidak baik/dilarang” untuk melakukan hajatan. Bulan yang dijauhi untuk penyelenggaraan hajatan adalan bulan Hapid (2), Muharram/Sura(4), dan Sapar (5). Sedangkan bulan baik antara lain bulan syawal (1), Raya Agung (3), maulud (6), Silih Mulud (7), Jumadil Awal (8), Jumadil Akhir (9), Rajab (10), Ruwah (11), dan Puasa (12).

tengah dan utara yang juga dikenal sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional. Nuansa pertukaran ekonomi dalam tradisi ini terasa sangat kuat. Yakni, ketika ada seseorang yang punya hajat dan menggelar syukuran, maka siapapun, baik tetangga dekat maupun jauh, teman kerja, atau para tamu undangan bisa “menyimpan” beras atau uang dalam jumlah tertentu. Sejumlah uang atau beras yang diberikan oleh undangan tadi, adalah sumbangan yang sifatnya “pinjaman” dan menjadi hutang bagi penyelenggara hajat. Jika kelak si pemberi bantuan tadi menyelenggarakan hajat yang serupa, maka si penerima bantuan tadi, harus mengembalikan sumbangan itu dengan nilai yang sama (Prasetyo, 2010).

Misalnya, jika tuan A pernah menyimpan 50 liter beras (5 gantang) dan uang Rp. 200.000,- kepada tuan B yang sedang hajatan menikahkan anaknya, maka ketika tuan B membuat hajatan untuk mengkhitankan anaknya, maka dia berhak menarik kembali beras dan uang sumbangannya kepada tuan A tadi, dengan nilai yang sama ditambah dengan sejumlah simpanan yang ingin diinvestasikan oleh tuan A. Sedangkan tuan A, mau tidak mau, punya tidak punya, harus mengembalikan beras dan uang tuan B, bagaimanapun caranya. Padahal, bisa jadi harga beras sudah naik beberapa kali lipat dari saat menerimanya dulu. Akibat sistem “tabungan” seperti ini, maka orang yang memiliki uang atau modal, berbondong-bondong untuk menyimpan uang atau beras dalam jumlah yang besar. Dengan harapan, kelak ketika dia hajat, dia akan memanen semua “tabungannya” tadi.

Menurut kesimpulan dari hasil penelitian Ari Prasetiyo (2003), tradisi nyumbang yang menunjukkan nilai-nilai solidaritas dan gotong royong ini, ternyata belakangan sistem timbal baliknya

(resiprositi) semakin dirasa memberatkan oleh sebagian rumah tangga atau anggota masyarakatnya. Namun mereka juga tidak dapat serta merta meninggalkannya karena kontrol sosial yang masih kuat berupa gunjingan dan juga karena faktor status, gengsi atau martabat. Tradisi nyumbang diatas, menurut Wolf, sebenarnya dapat dikategorikan sebagai “biaya sosial” yang harus ditanggung oleh rumah tangga di pedesaan atau disebut juga sebagai dana seremonial (ceremonial fund) (Wolf, 1966:10). Beragam bentuk dan pola tradisi nyumbang di atas menunjukkan ada banyaknya variasi tata cara dalam tradisi nyumbang, tergantung pada kebiasaan dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Akan tetapi, semua tradisi sosial diatas menunjukkan gejala perubahan ke arah yang hampir sama, yaitu komersialisasi. Sebagai contoh dari gejala komersialisasi tradisi nyumbang ini ada pada pola dan sifat-sifat dalam tradisi gantangan di pedesaan Subang, Jawa Barat, antara lain :

a. Tidak Sukarela (Sumbangan = hutang). Sumbangan tidak dianggap sebagai bantuan sukarela, melainkan dimaknai sebagai hutang bagi penerima dan simpanan bagi si penyumbang.

b. Terbuka, siapapun boleh masuk dalam sistem gantangan ini meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan. Namun jika sudah masuk ke dalam sistem gantangan, maka seseorang tidak dapat keluar sebelum semua hutang-hutangnya terlunasi.

c. Mengikat, karena tercatat hitam di atas putih. Baik penyumbang maupun yang disumbang memegang catatannya masing-masing dan diharapkan setiap orang memiliki komitmen yang kuat dan kejujuran untuk saling menyimpan dan mengembalikan.

d. Memaksa, ada kewajiban untuk membalas/mengembalikan sumbangan jika tiba pada waktunya. Seandainya tidak datang,

maka pemilik hajat akan mendatangi langsung untuk menarik semua simpanannya.

e. Akumulatif, jumlah sumbangan terus bertambah dan pada kasus tertentu dikenakan bunga dalam pengembaliannya (hutang yang belum terlunasi, khususnya kepada Bandar)

f. Turun-menurun, karena hutang gantangan tersebut dapat diwariskan/dialihkan pada anak, istri, atau keluarga lainnya (misalnya ketika yang bersangkutan meninggal dunia atau menjadi TKI/TKW di luar negeri)

g. In-elastis terhadap naik turunnya pendapatan rumah tangga. Tidak peduli sedang susah ataupun banyak rejeki, sedang panen atau gagal panen, jumlah hutang dan simpanan tidak dapat dikurangi/disesuaikan dengan pendapatan saat itu.

h. Negosiatif, dalam beberapa kasus terjadi tawar menawar besarnya sumbangan antara tuan rumah/pemilik hajat dengan penyumbang. Biasanya pemilik hajat akan melihat kemampuan dia dalam membayar kembali setelah hajat selesai. Sebab, jumlah sumbangan yang terlalu besar jika diterima begitu saja dapat menjadi hutang yang menakutkan dan merugikan di kemudian hari.

i. Sistem Bandar, bagi anggota masyarakat yang tidak memiliki modal untuk menyelenggarakan hajat, maka selain berharap sumbangan dari tetangga, ia juga dapat meminjam (berhutang) kepada Bandar (beras, daging, telur, gula, dan sebagainya). Kemudian setelah hajatan usai, ia akan membayarnya kembali dengan harga atau jumlah yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam kondisi dan relasi seperti yang digambarkan diatas, tindakan sosial dapat dipandang ekuivalen dengan tindakan ekonomi (Damsar, 2006:13). Sebagaimana teori pertukaran yang dikemukakan oleh George C. Homans, bahwa suatu tindakan adalah rasional berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Dengan kata lain, interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Meskipun, tidak semua pertukaran sosial dapat diukur dengan uang (Poloma, 2004:52). Manusia, dalam interaksi sosial senantiasa dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mencerminkan cost dan reward yang membuat manusia selalu mempertimbangkan keuntungan yang lebih besar daripada biaya yang dikeluarkannya (cost benefit ratio).

Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai kemiskinan ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana masyarakat desa yang “dipandang miskin” itu justru memelihara tradisi yang nampak “mahal” tersebut? Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit, bagaimana harus menolong dan berbagi dengan orang lain? Apakah tesis dan proposisi yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa “orang makin miskin makin bersikap komersil dan individualistik” menjadi tidak berlaku? Atau justru tesis tersebut benar adanya, mengingat pola tradisi nyumbang ini telah berubah sedemikian rupa menjadi medan akumulasi keuntungan sebagian anggota masyarakatnya? Atau sejarah dan kultur masyarakat tertentulah yang membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah dan derajat komersialisasi yang berbeda-beda?