TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Progam Studi Ilmu Hadis
Oleh
Arofatul Muawanah NIM. F18214214
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya: Nama : Arofatul Mu’awanah
NIM : F18214214
Program : Magister (S-2)
Institusi : Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa TESIS ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian atau karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Surabaya, 24 Januari 2016 Saya yang menyatakan,
PERSETUJUAN
Tesis Arofatul Muawanah ini telah disetujui
pada tanggal Januari 2016
Oleh Pembimbing
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Tesis Arofatul Muawanah ini telah diuji Pada tanggal 10 Februari 2016
Tim Penguji:
1. Prof. Dr. H. Husein Aziz, M. Ag (Ketua/Penguji) ...
2. Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, M.A (Penguji Utama) ...
3. Prof. Dr. H. Idri, M. Ag (Pembimbing/Penguji) ...
Surabaya, 24 Februari 2016 Direktur,
ABSTRAKSI
Arofatul Mu’awanah. ‚Konektifitas Pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam Kritik Hadis‛. Program Studi Ilmu Hadis, Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Pembimbing: Prof. Dr. H. Idri, M.Ag.
Studi pemikiran orientalis terhadap hadis sepertinya selalu menarik untuk dikaji. Bagaimana tidak, pemikiran mereka membuat kajian ilmu hadis menjadi lebih menarik dan berwarna. Salah satunya adalah ketika mengkaji dua tokoh orientalis yang memilki alur pemikiran yang berbeda, seperti Ignaz Goldziher dan Nabia Abbott. Ignaz Goldziher selalu memberikan kritikan tajam terhadap bangunan keilmuan hadis. Pemikirannya terhadap hadis selalu bertentangan
dengan ulama’ hadis. Dia menuduh bahwa keberadaan hadis selama ini sudah
tidak orisinil lagi. Sebaliknya, pemikiran Nabia terhadap hadis cendrung lebih lunak dan tidak kaku. Secara garis besar pemikiran Nabia menguatkan pemikiran
ulama’ hadis selama ini. Bahkan Nabia mengakui bahwa kegiatan penulisan hadis
sudah ada semenjak Nabi masih hidup. Yang menjadi menarik untuk dikaji, Ignaz dan Nabia sama-sama orientalis yang selalu menggunakan paradigma Barat dalam mengkaji hadis. Lantas, adakah relasi dan konektivitas pemikiran di antara keduanya. Jika memang ada, faktor apa saja yang mempengaruhi kesamaan pemikiran di antara keduanya.
Penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analitis. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana relasi dan konektivitas antara kedua orientalis tersebut, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kesamaan pemikiran di antara keduanya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ternyata terdapat beberapa kesamaan pemikiran antara Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam kritik hadis. Kesamaan pemikiran tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor agama, kajian keilmuan, imperialisme, skeptisme, world view dan geografis.
Saran bagi peneliti berikutnya yang berminat untuk mendalami penelitian ini hendaknya lebih explore lagi dalam mengupas relasi dan konektivitas di antara dua orientalis tersebut agar lebih komperhensif dan mendapatkan pemahaman yang lebih utuh.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM………...
PERNYATAAN KEASLIAN... PERSETUJUAN... PENGESAHAN TIM PENGUJI... TRANSLITERASI... MOTTO... ABSTRAKSI... KATA PENGANTAR... BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... B. Identifikasi Dan Batasan Masalah... C. Rumusan Masalah... D. Tujuan Penelitian... E. Kegunaan Penelitian... F. Kerangka Teoritik... G. Tinjauan Pustaka... H. Metode Penelitian...
1. Jenis Penelitian... 2. Data dan Sumber Data... 3. Teknik Pengumpulan Data...
4. Metode Analisis Data... I. Sistematika Pembahasan... BAB II : PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER DAN NABIA ABBOTT TENTANG HADIS
A. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Hadis... 1. Biografi Ignaz Goldziher... 2. Pemikiran Ignaz Goldziher...
a. Pemikiran tentang Makna Hadis dan Sunnah... b. Pemikiran tentang Kodifikasi Hadis... c. Pemikiran tentang Hadis Pada Masa Umayyah dan
Abbasiyah... B. Pemikiran Nabia Abbott tentang Hadis...
1. Biografi Nabia Abbott... 2. Pemikiran Nabia Abbott tentang Hadis...
a. Pemikiran tentang Makna Hadis dan Sunnah...
b. Pemikiran tentang Penulisan Hadis... c. Pemikiran tentang Isnad: Explosive Isnad, Isnad
Family dan Isnad Non Family... d. Pemikiran tentang Hadis Pada Masa Umayyah Dan
Abbasiyah...
26 26
29 29 32 32 41
43 47 47 50 50 52
61
BAB III : KRITIK ULAMA HADIS TERHADAP PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER DAN NABIA ABBOTT
A. Kritik terhadap Pemikiran Ignaz Goldziher... 1. Kritik terhadap Pemikiran tentang Hadis dan
Sunnah...
2. Kritik terhadap Pemikiran tentang Kodifikasi Hadis...
3. Kritik terhadap Pemikiran tentang Hadis Pada Masa Umayyah Dan Abbasiyah... B. Kritik terhadap Pemikiran Nabia Abbott...
1. Kritik terhadap Pemikiran tentang Makna Hadis dan Sunnah... 2. Kritik terhadap Pemikiran tentang Penulisan dan
Kodifikasi Hadis... 3. Kritik terhadap Pemikiran tentang Teori Isnad:
Explosive Isnad, Isnad Family dan Isnad Non Family.... BAB IV : ANALISIS TENTANG KONEKTIFITAS SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
A. Konektifitas Pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher tentang Hadis... B. Faktor-Faktor yang Melatar Belakangi Terjadinya
73 74 77
87 91
91
97
103
112
Konektifitas Pemikiran Nabia Abbot dan Ignaz Goldziher dalam Kritik Hadis... 1. Faktor Agama... 2. Faktor Ideologi... 3. Faktor Wilayah (Geologi)... 4. Faktor Keilmuan... 5. Faktor Penjajahan... 6. Faktor Skpetisme... BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan... B. Kritik Dan Saran... DAFTAR PUSTAKA………... LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
147 152 155 157 159
KONEKTIFITAS PEMIKIRAN NABIA ABBOTT DAN IGNAZ GOLDZIHER DALAM KRITIK HADIS
Arofatul Mu’awanah
I
Berbagai kalangan secara intens mengkaji hadis, temasuk para orientalis yang kebanyakan memulai penelitiannya dari sikap skeptis. Secara terminologi, kata “orientalis” digunakan untuk setiap cendekiawan Barat yang mempelajari masalah ketimuran, baik dalam bidang bahasa, etika, peradaban, dan agama. Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa Timur juga tidak luput dari perhatian ini. Namun yang perlu disayangkan dari sikap para orientalis ini, mereka tidak pernah melakukan kajian secara teliti dan detail terhadap aliran agama selain Islam. Mereka tidak menunjukkan sikap skeptis ketika mempelajari agama Budha, Kong Hu Cu, dan filsafat-filsafat karya manusia. Mereka mau bersikap jujur ketika mengkaji obyek-obyek tersebut, namun bersikap menutupi dan skeptis ketika mengkaji Islam. Islam tidak lagi dikaji dengan norma-norma ilmiah, tetapi dianggap sebagai pesakitan yang harus diadili. Sebagian dari orientalis mengajukan berbagai tuduhan kejahatan yang dilakukan oleh Islam, termasuk pula merekayasa cerita-cerita yang penuh dengan kebohongan untuk menguatkan tuduhannya.
koleksi hadis mengandung semacam keraguan ketimbang dapat dipercaya. Ia menyimpulkan bahwa hadis-hadis itu bukan merupakan dokumen sejarah awal Islam, akan tetapi lebih merupakan refleksi dari tendensi-tendensi (kepentingan-kepentingan) yang timbul dalam masyarakat selama masa kematangan dalam perkembangan masyarakat itu. Goldziher mendasarkan pandangannya pada beberapa hal, diantaranya adalah material yang ditemukan pada koleksi yang lebih akhir tidak merujuk kepada referensi yang lebih awal, penggunaan isna>d juga mengindikasikan transmisi hadis secara lisan, bukan merujuk kepada sumber tertulis. Selain itu, dalam hadis-hadis banyak ditemukan riwayat yang bertentangan. Hal lain yang membuat Goldziher meragukan otentisitas hadis adalah fakta adanya sahabat-sahabat yunior yang meriwayatkan hadis lebih banyak dari pada sahabat-sahabat senior yang diasumsikan mengetahui lebih banyak karena lamanya mereka berinteraksi dengan Nabi.
Bisa dikatakan dalam beberapa sisi, pandangan Goldziher dan Nabia terhadap hadis terkesan bertentangan, salah satunya bisa kita lihat dari pendapat keduanya tentang orisinalitas dan kemunculan hadis. Jika Goldziher secara tegas meragukan keberadaan hadis, bahkan mengangggap hampir semua hadis yang telah beredar adalah dusta. Berbeda dengan Nabia, orientalis ini meyakini orisinalitas hadis karena pada masa abad pertama Hijriyah hadis telah eksis, bahkan pada masa tersebut sudah ada kegiatan penulisan hadis yang dilakukan oleh para sahabat. Namun di lain sisi muncul pertanyaan besar dalam benak penulis, yaitu adakah kemungkinan konektifitas pemikiran antara Nabia dan Goldziher. Munculnya pertanyaan tersebut berdasarkan beberapa faktor, yaitu pertama, dalam karya Nabia yang berjudul Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary And Tradition yang diterbitkan oleh The University of Chicago Press ditemukan fakta bahwa Nabia seringkali mencantumkan nama Ignaz Goldziher sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nabia dan Goldziher adalah seorang orientalis yang selalu menggunakan epistimologi Barat dalam mengkaji ketimuran. Hal demikian dimungkinkan terjadinya result yang tidak jauh berbeda mengingat epistimologi yang digunakan adalah sama. Ketiga, rata-rata kaum orientalis memulai penelitiannya dari sikap skeptis ketika mengkaji ketimuran. Hal ini sedikit banyak juga memberikan pengaruh kesamaan hasil pemikiran. Keempat, ditemukan beberapa statement janggal dari Nabia Abbott yang terkesan mendukung apa yang dianggap benar oleh Goldziher.
II
sejauh mana konektifitas serta pengaruh pemikiran Ignaz Goldziher terhadap pemikiran Nabia Abbott. Oleh karena itu, penelitian ini mengharuskan peneliti untuk menelaah hasil karya keduanya, sehingga model penelitian yang lebih tepat adalah dengan menggunakan jenis penelitian pustaka (library research) yang menggunakan berbagai referensi dan buku sebagai bahan utama penelitian. Oleh karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian ini.
Selanjutnya, semua data yang terkumpul baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Dalam hal ini, keberadaan sumber referensi dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah Studies in Arabic Literary Papyri I: Qur’anic Commentary And Tradition oleh Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary And Tradition oleh Nabia Abbott, Introduction to Islamic Theology and Law oleh Ignaz Goldziher, dan Muslim Studies oleh Ignaz Goldziher. Sedangkan sumber sekunder yang disajikan sebagai pelengkap untuk memperkaya substansi pembahasan antara lain Dirasah fi> al H{adi>th al Nabawi> wa Ta<rikh Tadwi>nihi oleh Muh{ammad Mustafa> ‘Azami>, Studies in Hadith Methodology and Literature oleh Muh{ammad Mustafa> ‘Azami>, Early Hadi>th Literature and The Theory of Ignaz Goldziher oleh Talal Maloush, al Sunnah wa Maka>natuha> fi al Tashri>’ oleh Must{afa> al Siba>’i, Studi Hadis oleh Idri, dsb.
content analysis (analisis isi), yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan. Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak (peneliti).
III
mengakui kodifikasi hadis terjadi pada akhir abad pertama Hijriyah, bahkan bagi Goldziher kodifikasi hadis baru terjadi pada masa akhir abad kedua dan awal abad ketiga Hijriyah. Keempat, Mengenai teori isnad, Goldziher meyakini bahwa penggunaan isnad dalam hadis dilakukan secara sembarangan. Pendapat ini berbeda dengan Nabia yang menguatkan sistem isnad menurut ulama’ hadis bahwa pencantuman nama perawi bukanlah didapatkan dari acak. Pencantuman para perawi diambil dari murid-murid yang benar-benar menerima hadis dari seorang guru, baik dari keluarga sendiri (family), teman dekat (mawa>li>) dan sebagainya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi para orientalis, hadis memiliki daya tarik tersendiri untuk dikaji urgensitas dan keorisinalitasnya. Secara masiv, para orientalis seakan berlomba-lomba mempublikasikan pendapatnya tentang hadis. Kondisi ini berangkat dari
status hadis yang tidak sama dengan al Qur’an. Problematika dalam hadis terasa semakin kompleks ketika hadis yang berperan sebagai sumber hukum dalam Islam diriwayatkan secara dzanni> al wuru>d, tidak seperti al Qur’an yang
diriwayatkan secara qat}’i> al wuru>d. Apalagi rentang waktu kodifikasi hadis yang terpaut sangat jauh dengan kemunculan hadis, yaitu hampir seabad lamanya. Dua faktor inilah yang cenderung mendominasi alasan dan sikap para orientalis melakukan pengkajian secara intens terhadap hadis.
Namun bagi umat Islam, meskipun periwayatan hadis berjalan secara dzanni> al wuru>d, keberadaan hadis tentu masih bisa dipertanggungjawabkan. Hadis menjadi baya>n bagi al Qur’an yang kajiannnya masih bersifat tah{ammul al wuju>h (mengandung multi-tafsir). Periwayatan hadis tersusun berdasarkan mata rantai dan perawi-perawi yang mempunyai hafalan yang kuat dan personalitas yang unggul, serta didukung oleh peran dan usaha para ulama’ hadis dalam
menyortir hadis dari berbagai penyelewengan. Beberapa ulama’ menganggap
disampaikan oleh Muhammad ‘Aja>j al-Khat}i>b1. Sebagian lagi menganggap bahwa posisi hadis terletak beriringan dengan al Qur’an, seperti pendapat Abu> Zahwu>.2 Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, hadis memang memegang posisi sentral dalam penetapan hukum. Makh{u>l mengatakan bahwa kebutuhan
al-Qur’an terhadap hadis itu lebih besar dari pada kebutuhan hadis terhadap
al-Qur’an. Diperkuat lagi dengan pernyataan Ah{mad bin H{ambal yang mengatakan bahwa sesungguhnya hadis itu menafsiri dan menjelaskan al Kita>b.3 Dari sini terlihat peranan hadis yang begitu besar terhadap al Qur’an, sehingga konsekuensi logisnya, kita selaku umat Islam dituntut untuk mengimani dan mengakui keberadaan hadis sebagai sumber hukum Islam, sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh generasi sahabat dan setelahnya.
Berbagai kalangan secara intens mengkaji hadis, temasuk para orientalis yang kebanyakan memulai penelitiannya dari sikap skeptis. Secara terminologi,
kata ‚orientalis‛ digunakan untuk setiap cendekiawan Barat yang mempelajari masalah ketimuran, baik dalam bidang bahasa, etika, peradaban, dan agama. Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar bangsa Timur juga tidak luput dari perhatian ini. Kajian-kajian yang dilakukan pihak orientalis terhadap Islam tidak diragukan lagi menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan internal muslim, ada yang memandang positif dan adapula yang memandang
1
Muhammad ‘Ajaj al-Khat}i>b, al Sunnah Qabla al Tadwi<n, (al Qa>hirah: Maktabah al Wahbah, 1988), 35.
2
Muhammad Muhammad Abu Zahwu, al-Hadi>th wa al-Muhaddithu>n, (Riyadh: al-Mamlakah al-‘Arobiyah as-Su’udiyyah, 1404), 20.
3 Muh}ammad bin Muh{ammad Abi> Shahbah, Difa>’ ‘an as-Sunnah, (Kairo: Maktabah
negatif.4 Namun para orientalis ini tidak pernah melakukan kajian secara teliti dan detail terhadap aliran agama selain Islam. Mereka tidak menunjukkan sikap skeptis ketika mempelajari agama Budha, Kong Hu Cu, dan filsafat-filsafat karya manusia. Mereka mau bersikap jujur ketika mengkaji obyek-obyek tersebut, namun bersikap menutupi dan skeptis ketika mengkaji Islam. Pemikiran dan mental mereka tidak lagi berjalan lurus. Islam tidak lagi dikaji dengan norma-norma ilmiah, tetapi dianggap sebagai pesakitan yang harus diadili. Sebagian dari orientalis mengajukan berbagai tuduhan kejahatan yang dilakukan oleh Islam, termasuk pula merekayasa cerita-cerita yang penuh dengan kebohongan untuk menguatkan tuduhannya.5
Adalah Ignaz Goldziher, yang disebut-sebut oleh Must}afa> al A’dzami<
sebagai orientalis pertama yang melakukan kajian hadis melalui karyanya yang berjudul Muhamedanische Studien pada tahun 1980.6 Dari kajiannya tersebut, Goldziher telah menanamkan sikap keragu-raguannya terhadap otentisitas hadis yang dilengkapi dengan studi-studi ilmiah yang dilakukannya sehingga karyanya dianggap sebagai kitab suci oleh para orientalis setelahnya7 Semenjak saat itu, karya Goldziher menjadi rujukan bagi orientalis-orientalis setelahnya ketika mengkaji hadis.
Goldziher merupakan orientalis yang sangat intens kajiannya terhadap hadis. Hal demikian bisa dibuktikan dari banyaknya pendapat dan penilaian
4 Erwin Hafid, Mustafa Azami dan Kritik Pemikiran Hadis Orientalis, (Majalah al Fikr
vol: 14, no: 2, 2010), 232.
5Sa’aduddin al Sayyi>d Shalih, Jaringan Konspirasi Menentang Islam terj. Muhammad
Thalib, (Yogyakarta: Wihdah Press, 1999), 124.
Goldziher yang tertuang dalam banyak karya yang kemudian diamini oleh para orientalis setelahnya. Diantara beberapa pandangannya terhadap hadis adalah kritik hadis dinilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kritik hadis sebenarnya telah dilakukan sejak dahulu, namun kritik-kritik tersebut masih perlu dikaji ulang karena metode yang digunakan lemah. Para ulama terdahulu lebih banyak menggunakan kritik sanad dan mengabaikan kritik matan, dan kritik semacam ini, menurut Goldziher hanya mampu mengeluarkan sebagian hadits palsu saja.8
Menurutnya hadis sudah tidak orisinil berasal dari Muhammad karena hadis telah banyak dipalsukan dengan berbagai motif dan tujuan. Goldziher beranggapan bahwa keberadaan hadis telah banyak dipalsukan oleh generasi setelah Muhammad. Setelah Muhammad wafat, para sahabat banyak menambahkan ucapan-ucapan yang dianggap bermanfaat agar diikuti oleh generasi berikutnya. Ucapan tersebut kemudian disandarkan kepada Muhammad agar terlihat lebih menguatkan dan meyakinkan.9 Beberapa sahabat yang
dianggap oleh Goldziher sebagai pemalsu hadis adalah Mu’a>wiyah bin Abi> Sufya>n, al Mughi>rah bin Shu’bah, ‘Abdulla>h bin Mas’u<d dan Abu> Hurairah.10
Kaum muslim sendiri tidak bisa mengelak keberadaan hadis palsu yang telah menyebar di berbagai daerah. Tidak sedikit orang-orang s}a>lih} yang diakui kealiman dan keilmuannya, ketika hendak meninggal mereka mengakui bahwa
8 Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits,
(Yogyakarta: LKiS, 2007), 116.
9 Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (New Jersey: Princeton:
Princeton University Press), 173.
telah melakukan pemfiktifan terhadap hadis.11 Para sarjana muslim lantas mengukuhkan kritk hadis sebagai metode awal untuk memilah hadis yang benar-benar orisinil berasal dari Muhammad. Namun yang sangat menarik bahwa bagaimana kritik hadis itu mampu memberikan hasil yang optimal sedangkan hadis sendiripun keberadaannya masih diragukan kebenaran dan keorisinalitasnya.12
Bagi Goldziher, hadis yang selama ini kita ketahui melalui periwayatan generasi Islam terdahulu mengandung sebuah pesan dari materi kuno, materi yang kemungkinan tidak murni berasal dari Muhammad, melainkan dari generasi setelahnya yang memiliki otoritas, kemudian mereka membuat hadis. Terdapat hubungan yang renggang dan jarak yang bertempo dari kemunculan hadis itu sendiri. Hubungan yang renggang dan jarak yang bertempo tersebut tentunya memberikan kesempatan bagi generasi Islam selanjutnya untuk membuat hadis palsu berikut rangkaian periwayat dengan melibatkan orang-orang yang dianggap memiliki otoritas yang unggul sampai kemudian mencapai otoritas tertinggi, yaitu Muhammad, serta menggunakan mereka untuk membuktikan kebenaran pesan dan doktrin. Hal demikian menunjukkan lemahnya sebuah hadis atau bahkan keseluruhan hadis.13
Apa yang dianggap benar oleh Goldziher bahwa beberapa bagian dalam hadis mengambil materi dari agama-agama terdahulu. Bahkan beberapa bagian
11 Ibid., 43.
dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, kata-kata dari seorang Rabi, kutipan dari Injil Aporki, dan doktrin para filusuf Yunani ditampilkan kembali dan dinyatakan sebagai sabda Muhammad.14 Ucapan-ucapan yang berkenaan dengan ajaran Nabi terdahulu, quote dari cerita yang sebenarnya diragukan Injil, bahkan doktrin para filsafat Yunani, pepatah Persia dan ajaran bijak India masuk dalam Islam dan menyamar sebagai ucapan Muhammad.15
Selain itu, Goldziher menambahkan bahwa kebanyakan hadis yang terdapat dalam kitab koleksi hadis mengandung semacam keraguan ketimbang dapat dipercaya. Ia menyimpulkan bahwa hadis-hadis itu bukan merupakan dokumen sejarah awal Islam, akan tetapi lebih merupakan refleksi dari tendensi-tendensi (kepentingan-kepentingan) yang timbul dalam masyarakat selama masa kematangan dalam perkembangan masyarakat itu. Goldziher mendasarkan pandangannya pada beberapa hal, diantaranya adalah material yang ditemukan pada koleksi yang lebih akhir tidak merujuk kepada referensi yang lebih awal, penggunaan isna>d juga mengindikasikan transmisi hadis secara lisan, bukan merujuk kepada sumber tertulis. Selain itu, dalam hadis-hadis banyak ditemukan riwayat yang bertentangan. Hal lain yang membuat Goldziher meragukan otentisitas hadis adalah fakta adanya sahabat-sahabat yunior yang meriwayatkan
hadis lebih banyak dari pada sahabat-sahabat senior yang diasumsikan mengetahui lebih banyak karena lamanya mereka berinteraksi dengan Nabi.16
Selanjutnya adalah Nabia Abbott. Dalam memahami hadis, Nabia Abbott terkesan luwes dan lunak, tidak sekaku sebagaimana pendapat Goldziher.
Beberapa pandangannya terhadap hadis sejalan dengan pandangan para ulama’
hadis, meskipun tidak menafikan beberapa pandangannya yang diduga memiliki konektifitas dan sejalan dengan pandangan Goldziher.
Diakui oleh Nabia, Muhamad adalah figur sentral yang telah berhasil menjadi teladan bagi generasi setelahnya, membangun masyarakat yang komunitasnya heterogen menjadi satu kesatuan masyarakat utuh yang tunduk pada satu peraturan yang sama. Ditambah lagi dengan kehadiran hadis dan sunnah, Muhammad menjadi teladan idaman tersendiri dalam memberikan motivasi kepada para pengikutnya untuk selalu memperhatikan larangan dan mengikuti petunjuknya, baik dalam urusan kemasyarakatan maupun dalam lingkup pribadi.17
Tidak seperti Goldziher, Nabia justru mengakui keberadaan hadis bersambung kepada Muhammad, bahkan hadis sudah eksis semenjak Muhammad masih hidup. Hadis sudah ditulis sebelum Muhammad wafat, meskipun kala itu perkembangan hadis kebanyakan berlangsung melalui sitem oral (penyampaian
16 Idri, ‚Perspektif Orientalis Tentang Hadis Nabi: Telaah Kritis dan Implikasinya
Terhadap Eksistensi dan Kehujjahannya‛, al Tahrir, Vol: 11, No: 1, (Mei 2011), 206.
17 Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri I: Historical Text, (Chicago: The
hadis dari lisan ke lisan). Periwayatan hadis secara oral yang lebih mendominasi kala itu tentu tidak menafikan proses kegiatan tulis menulis yang terjadi di lingkungan sahabat. Ada beberapa sahabat yang sudah mendokumentasikan hadis dalam beberapa mus}h}af dan kegiatan ini terus berlanjut bahkan setelah Muhammad wafat.18
Hadis telah tumbuh dan menyebar di berbagai kalangan, sehingga alur perkembangan Islam beserta kebudayaannya dapat dilacak melalui jalur hadis. Hadis berperan untuk merekam segala aktifitas Nabi. Antusiasme para sahabat dalam menulis dan meriwayatkan hadis sangatlah tinggi.19 Dukungan dan sikap kooperatif para sahabat yang selalu merasa haus akan ilmu, apalagi yang berkaitan dengan pondasi agama menjadi sumber semangat para sahabat dalam menjaga hadis agar tidak lenyap. Hal ini dilakukan oleh beberapa sahabat
terutama sahabat yang dekat dengan Nabi, seperti Anas bin Ma>lik, ‘Abdulla>h bin
‘Amr bin ‘As}, Ibn ‘Abba>s, Abu> Hurairah, dan ‘Amr ibn Hazm al Ans}a>ri> yang
memulai koleksi hadis dengan menuliskan beberapa hadis tentang sedekah, warisan dan beberapa topik lainnya yang dia terima secara langsung dari Muhammad pada tahun 631 H ketika penunjukannya ke Najran, guna menginstruksikan kepada masyarakat Najran agar mengumpulkan pajak dan
zakat. Terdapat juga Abu> al Yasr Ka’ab ibn ‘Umar yang menjadi pelayan
Muhammad dan menemaninya sehingga dia memiliki beberapa manuskrip hadis.
Adapula Masru>q ibn al Ajda>’, disebutkan bahwa Masru>q pernah diadopsi oleh
18 Ibid., vol: 2,7.
‘A>ishah sehingga dia memiliki beberapa koleksi hadis dari ‘A>ishah dan
melakukan perjalanan yang jauh juga untuk mencari ilmu ke berbagai negara.
‘Amr ibn Maimu>n al Awdi menjadi mu’allaf ketika Muhammad masih hidup meskipun dia sendiri mengakui bahwa dia tidak pernah bertemu secara langsung dengan Muhammad, tapi dia memiliki beberapa koleksi hadis seputar ibadah haji
yang dia dapatkan dari periwayatan ‘Umar, ‘Ali>, ‘Abdulla>h bin Mas’u>d dan
sebagainya.20
Terobosan terbaru Nabia dalam penelitiannya terhadap hadis adalah teori yang dikenal dengan nama explosive isnad. Nabia menyadari bahwa keberadaan jalur isna>d telah melibatkan sekian banyak orang dalam meriwayatkan hadis sehingga menghasilkan suatu explosive isnad (meledaknya isna>d) karena banyaknya orang yang terlibat dalam periwayatan hadis dan jumlahnya akan selalu bertambah banyak di setiap masing-masing t}abaqa>t (generasi).21 Selain itu juga terdapat term isnad family-isnad non family yaitu hubungan jalur periwayatan yang mencakup antara anggota keluarga dan teman karib (mawali>), yang biasanya disusun dengan formula so-and-so (periwayatan hadis yang bersumber dari ayahnya dan dari kakeknya). Formula so-and-so ini yang biasanya sering terjadi dalam periwayatan isna>d family. Hal ini bisa diartikan bahwa ahli hadis menyampaikan hadisnya kepada orang tertentu yang memiliki hubungan darah dengannya, atau kepada kerabat dekatnya.22
20 Ibid.,11.
Bagi Nabia, untuk mengatakan bahwa semua jalur isna>d patut untuk dicurigai dan diragukan keotentikannya, adalah hal yang tidak mendasar dan tidak dapat dibenarkan. Karena keberadaan para ahli hadis yang meriwayatkan hadisnya melalui isnad family tidak bisa dipisahkan dari kenyataan bahwa mereka pun juga menuliskan dan membukukan hadis hingga berbentuk manuskrip hadis, dan hal ini menjadi penyokong dan bukti kuat bahwa kegiatan penulisan hadis sudah dimulai semenjak awal perkembangan Islam, bahkan ketika Muhammad masih hidup. Beberapa sahabat yang tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang hebat yang mendokumentasikan hadis, diantaranya seperti
Zaid ibn Tha>bit dan Ibn ‘Umar.23
Bisa dikatakan dalam beberapa sisi di atas, pandangan Goldziher dan Nabia terhadap hadis terkesan bertentangan, salah satunya bisa kita lihat dari pendapat keduanya tentang orisinalitas dan kemunculan hadis. Jika Goldziher secara tegas meragukan keberadaan hadis, bahkan mengangggap hampir semua hadis yang telah beredar adalah dusta karena hadis sebenarnya muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Berbeda dengan Nabia, orientalis ini meyakini orisinalitas hadis karena pada masa abad pertama Hijriyah hadis telah eksis, bahkan pada masa tersebut sudah ada kegiatan penulisan hadis yang dilakukan oleh para sahabat.
Namun di lain sisi muncul pertanyaan besar dalam benak penulis, yaitu adakah kemungkinan konektifitas pemikiran antara Nabia dan Goldziher.
Munculnya pertanyaan tersebut berdasarkan beberapa faktor, yaitu pertama, dalam karya Nabia yang berjudul Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic
Commentary And Tradition yang diterbitkan oleh The University of Chicago Press ditemukan fakta bahwa Nabia seringkali mencantumkan nama Ignaz Goldziher sebagai bahan rujukannya. Kedua, Nabia dan Goldziher adalah seorang orientalis yang selalu menggunakan epistimologi Barat dalam mengkaji ketimuran. Hal demikian dimungkinkan terjadinya result yang tidak jauh berbeda mengingat epistimologi yang digunakan adalah sama. Ketiga, rata-rata kaum orientalis memulai penelitiannya dari sikap skeptis ketika mengkaji ketimuran. Hal ini sedikit banyak juga memberikan pengaruh kesamaan hasil pemikiran. Keempat, ditemukan beberapa statement janggal dari Nabia Abbott yang terkesan mendukung apa yang dianggap benar oleh Goldziher, yaitu:
Perubahan pusat pembelajaran dari Hijaz ke Iraq dan di daerah sebelah timur memicu terjadinya pertentangan, tidak hanya dalam masalah wilayah keagamaan secara geografis semata. Diantara para ahli hadis, yang menjadikan Hijaz sebagai pusat pencarian sumber dan inspirasi, dan
ahli ra’yi yang menjadikan Iraq sebagai tempat untuk belajar. Kondisi ini
lantas kemudian membuat ahli hadis untuk memalsukan apa yang mereka anggap bagus yang mampu mendukung dan menguatkan posisi mereka. Pemalsuan tersebut dilakukan oleh perawi hadis dan qa>d}i> yang mengharuskan mereka untuk berpendapat dengan kepalsuan tersebut dan memulai penyebaran pemalsuan kepada pengikut mereka. Tugas dari perawi yang jujur lantas menjadi sangat sulit. Situasi ini terefleksikan pada perkataan Zuhri> bahwa hanya kaum laki-laki yang terlibat dalam hadis beserta periwayatannya, sementara kaum perempuan tidak menyukainya –sebuah opini yang diakui oleh khalifah Abbasiyah al Mans}u>r dan yang lainnya-. Ahli ra’yi menyadari kesalahan para perawi
tersebut. Dari itu lantas terdeteksi bahwa terdapat kesalahan content (matan) terutama hadis-hadis yang beredar dikalangan para perawi yang terkait dengan faktor agama-politik. Kecurigaan pun juga lantas terdeteksi pada jalur sanad, dan ketika terdapat satu jalur isnad yang tidak waras maka ini cukup menjadi bukti munculnya kecurigaan pada seluruh jalur isnad dari sebuah hadis.24
Kesimpulannya, hadis yang terdapat dalam Islam sebanding dengan literatur-literatur lain seperti literatur dalam Yahudi dan Kristen. Sebagaimana literatur Yahudi dan Kristen, hadis juga terlibat banyak masalah di dalamnya seperti penyisipan, penambahan, pemalsuan ketidakkonsisitenan dan kontradiksi.25
Mengapa harus pemikiran Ignaz Goldziher yang menjadi tolak ukur dalam penelitian ini? Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Goldziher adalah orientalis pertama yang disebut-sebut telah menanamkan rasa ketidakpastian dan ketidakyakinan terhadap hadis. Meskipun apa yang diungkapkan oleh Goldziher hanya sebatas teori tanpa adanya bukti-bukti yang jelas, namun satu hal yang pasti bahwa hasil karya Goldziher, Muhamedanische Studien seakan menjadi magnet dan kitab suci bagi para orientalis setelahnya. Karya tersebut seakan menjadi pegangan pokok bagi para orientalis setelahnya dalam memahami hadis. Oleh karena itu, menarik sepertinya untuk ditelusuri lebih dalam lagi konektifitas pemikiran antara Nabia dengan Goldziher.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dalam melakukan penelitian ini, muncul beberapa kemungkinan yang dapat diduga sebagai masalah, diantaranya adalah:
1. Sejauh mana konektifitas pemikiran Nabia Abbott dengan Ignaz Goldziher dalam kritik hadis
24
Ibid., vol: 2, 82.
2. Sanggahan Nabia Abbott terhadap Ignaz Goldziher dalam penulisan hadis 3. Studi krits-analitis pemikiran Nabia Abbott dalam kritik hadis
4. Studi kritis-analitis pemikiran Ignaz Goldziher dalam kritik hadis
5. Pengaruh pemikiran Ignaz Goldziher dalam sejarah perkembangan orientalis
6. Geneologi pemikiran Nabia Abbott terhadap hadis
Dari beberapa kemungkinan masalah yang muncul di atas, peneliti mengambil poin pertama sebagai target pembahasan yang harus dikaji dan diteliti untuk kemudian dijadikan sebagai judul dalam penelitian ini. Sehingga penelitian ini hanya difokuskan pada konektifitas di antara dua orientalis tersebut.
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu meluas sehingga memudahkan dan mengarahkan para pembaca terhadap substansi pembahasan yang dikehendaki oleh peneliti, maka diperlukan adanya pembatasan masalah. Fokus pembahasan dalam penelitian ini hanya seputar pemikiran Ignaz Goldziher dan pemikiran Nabia Abbott, tentunya yang berkaitan dengan hadis saja. Karena kontribusi pemikiran kedua orientalis ulung tersebut tidak hanya tentang hadis saja, melainkan juga banyak aspek yang berkaitan dengan sejarah perkembangan
C. Rumusan Masalah
Identifikasi dan pembatasan masalah di atas mengantarakan kita kepada poin permasalahan yang akan dikaji sebagai substansi utama dalam penelitian ini, yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konektifitas pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam kritik hadis?
2. Faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya konektifitas pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam kritik hadis?
D. Tujuan Penelitian
Jika melihat pada rumusan permasalahan di atas, maka tujuan diadakannya penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui sejauh mana konektifitas pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam kritik hadis
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya konektifitas pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam kritik hadis
E. Kegunaan Penelitian
Keberadaan penelitian ini perlu untuk diketengahkan dalam diskusi keilmuan hadis karena beberapa sebab, diantaranya:
Goldziher dan tetap meyakini keberadaan hadis sebagai sumber hukum yang pasti kebenarannya sebagai wahyu dari Allah
2. Betapa pentingnya mengkaji pemikiran orientalis, setidaknya kita bisa memetakan beberapa orientalis yang sangat skeptis terhadap Islam, sehingga bisa lebih hati-hati dan sejak dini membentengi hati dengan keimanan yang tinggi agar tidak mudah terpengaruh
3. Dengan mengkaji pemikiran orientalis, kita bisa memilah dan memilih pendapat mana yang cenderung logis dan sesuai dengan fakta serta bukti yang ada. Apakah pendapat para orientalis ataukah pendapat para ulama’
hadis
4. Secara teoritis, keberadaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta memperkaya khazanah keilmuan di dunia Islam, khususnya dalam bidang hadis
5. Penelitian ini diadakan sebagai syarat kelulusan di Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
F. Kerangka Teoritik
Dalam sub bab ini, kita akan mendalami makna konektifitas sebagai bekal analisis dalam bab berikutnya. Hal ini diperlukan agar kita bisa memetakan dan mengkategorikan bagian-bagian mana dari pemikiran Nabia yang dianggap memilki konektifitas dengan pemikiran Goldziher.
akan ada lagi ketegangan (tension) antara sesuatu yang terkait, dengan cara meleburkan dan melumatkan bagian yang satu ke dalam bagian yang lain, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas keberagaman yang secara menyeluruh masuk ke wilayah historisitas keberagaman atau sebaliknya dengan membenamkan dan meniadakan seluruh sisi-sisi historisitas keberagaman masuk ke wilayah normativitas tanpa reserve (alternatif).26
Kata konektifitas merupakan kata benda yang berasal dari kata connect, kemudian diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi konektif dan ditambahi imbuhan itas. Imbuhan -itas pada kata tersebut berkaitan dengan keadaan atau sifat. Sedangkan makna dasar dari connect adalah to join, unite, atau link. Dari sini kemudian muncul kata benda berupa connection, dan kata sifat connected (mungkin lebih tepat ketimbang connective, karena connective pasti kata sifat, sedangkan connected bisa kata sifat dan bisa juga kata kerja).27
Integrasi dan konektifitas merupakan dua kata berbeda, tapi mempunyai maksud dan tujuan sama yaitu menggabungkan dan mengkaitkan dua persoalan yang terpisah. Dalam hal ini, mengkaji atau mempelajari tentang satu bidang tertentu dengan tetap melihat bidang keilmuan lain itulah integrasi, sedangkan melihat saling terkaitan dengan berbagai disiplin keilmuan adalah konektifitas.28 Kata integrasi di dalam kamus ilmiah popular bermakna penyatuan, penggabungan, dan penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh. Sedangkan kata
26 Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), vii-ix.
27 Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Suka Press, 2013),
85-86.
28 Rifda Elfiah, ‚Integrasi-Interkoneksi Keilmuan ala Abdul Malik Fadjar, (refleksi
konektifitas bermakna mempersatukan, bersatu, hubungan, keterkaitan. Jadi pada hakikatnya kedua paradigma tersebut ingin menunjukkan bahwa antar berbagai obyek sebenarnya saling memiliki keterkaitan, karena memang yang dibidik adalah realitas alam semesta yang sama, hanya saja dimensi dan fokus perhatian yang dilihat oleh masing-masing obyek berbeda. Oleh karena itu rasa superior, ekslusifitas, pemilahan secara dikotomis terhadap obyek-obyek yang dimaksud dianggap hanya akan merugikan diri sendiri, baik secara psikologis maupun secara ilmiah-akademis. Betapapun setiap orang ingin memiliki pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif, bukannya parsial dan reduktif. Maka dengan menimbang asumsi ini seorang ilmuwan perlu memiliki kedua paradigma tersebut. Jika dikaitkan dengan pembahasan konektifitas pemikiran Nabia dan Goldziher dalam kritik hadis, maka dapat diimplementasikan dalam empat level berikut:29
a. Level filosofis, suatu penyadaran eksistensial bahwa pemikiran Nabia selalu bergantung pada pemikiran Goldziher.
b. Level materi, merupakan proses pengintegrasian nilai-nilai yang dianggap benar Goldziher dan nilai-nilai yang dianggap benar Nabia dalam kritik hadis.
c. Level metodologi, dilakukan dengan menerapkan metodologi keilmuan Goldziher pada keilmuan Nabia, begitu sebaliknya.
d. Level strategi, dilakukan dalam proses pemahaman.
Implementasi paradigma pada keempat level di atas dapat dikembangkan dengan enam model, yaitu:30
a. Similarisasi, menyamakan begitu saja konsep-konsep keilmuan Nabia terhadap kritik hadis dengan konsep keilmuan yang berasal dari Goldziher b. Paralelisasi, menganggap paralel konsep yang berasal dari Goldziher
dengan konsep Nabia karena kemiripan konotasinya tanpa menyamakan keduanya.
c. Komplementasi, antara pemikiran Goldziher dan pemikiran Nabia saling mengisi dan memperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masing-masing.
d. Komparasi, membandingkan konsep/teori Goldziher dan Nabia dalam gejala-gejala yang sama.
e. Induktifikasi, asumsi-asumsi dasar dari teori-teori Goldziher yang didukung oleh temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara teoritis kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip pemikiran Nabia.
f. Verifikasi, mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah dari pemikiran Goldziher yang menunjang dan membuktikan kebenaran-kebenaran pemikiran Nabia.
Selain itu ada tiga model kajian lagi dalam implementasi pemikiran Goldziher dan Nabia dalam kritik hadis, yaitu:
a. Informatif, hal ini berarti disiplin pemikiran Nabia perlu diperkaya dengan informasi yang dimiliki oleh Goldziher.
b. Konfirmatif, suatu disiplin pemikiran tertentu yang diperlukan untuk membangun teori yang kokoh guna memperoleh penegasan dari pemikiran yang lain.
c. Korektif, suatu teori pemikiran tertentu yang perlu dipertemukan dengan pemikiran yang lain atau sebaliknya, sehingga yang satu dapat mengoreksi yang lain, dengan demikian perkembangan disiplin pemikiran akan semakin dinamis.
G. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher adalah:
1. Penelitian kolektif dengan judul Analisis Koneksitas Formulasi Teori Kritik Hadis di Kalangan Orientalis, oleh Idri, M. Syukrillah, Muhammad
Najih Arromadloni, Arofatul Mu’awanah, dan Muhammad Nabiel. Pembahasan penelitian ini difokuskan kepada beberapa hal, yaitu teori-teori kritik hadis yang dilakukan oleh orientalis dengan membatasi kajiannya pada empat orientalis saja, yaitu G.H.A. Juynboll, Joseph Schacht, Harald Motzki, dan Nabia Abbott.
2. Tesis dengan judul Kritik Abd al Fattah al Qadhi Terhadap Ignaz
Goldziher Tentang Qira’at oleh Moh. Fathurrozi. Penelitian ini
3. Skripsi dengan judul M. Mustafa al A’zami’s Critique to Ignaz
Goldziher’s Opinion on Multiple Qira’at oleh Dina Kamilah. Pembahasan skripsi ini juga tidak jauh berbeda dengan tesis sebelumnya, yaitu sama-sama berisikan kritik yang ditujukan kepada Ignaz Goldziher mengenai
perbedaan qira’at dalam al Qur’an. Bedanya jika pada tesis sebelumnya berisikan kritik Abd al Fattah al Qadli, maka skripsi ini berisikan kritik
M. Mustafa al A’zami terhadap Ignaz Goldziher.
4. Skripsi dengan judul Written Hadith in Early Islam and Explosive of Isnad: Nabia Abbott Refutation to Ignaz Goldziher Scepticism about the Authenticity of Hadith oleh Viky Izza Rahma. Pembahasan skripsi ini lebih memfokuskan pada bantahan-bantahan Nabia Abbott terhadap Ignaz Goldziher tentang penulisan hadis pada abad awal Hijriyah.
5. Jurnal dengan judul Hadis di Mata Orientalis: Studi Kritis atas Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Penulisan Hadis oleh Siti Mahmudah Noorhayatie. Materi pembahasan dalam penelitian ini mengkerucutkan permasalahan pada studi kritis-analitis pemikiran Ignaz Goldziher tentang penulisan hadis.
7. Skripsi dengan judul Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbott oleh Luthfi Nur Afidah, mahasisiwa UIN Sunan Kalijaga. Materi dari skripsi ini membahas tentang pemikiran Nabia Abbott terhadap hadis, serta analisis pemikiran Nabia Abbott, baik kelebihan maupun kekurangannya. Beberapa penelitian yang telah disebut di atas tentu memiliki fokus pembahasan yang berbeda dengan penelitian ini. Pertama, pada penelitian kolektif dengan judul Analisis Koneksitas Formulasi Teori Kritik Hadis di Kalangan Orientalis, jika dibandingkan dengan penelitian yang sedang dikaji ini, kedua penelitian tersebut bisa dikatakan memiliki alur tema yang sama namun berbeda pembahasan. Dikatakan sama karena kedua penelitian ini sama-sama membahas hubungan dan keterkaitan pemikiran di antara orientalis. Bedanya, jika penelitian kolektif tersebut secara luas membahas hubungan pemikiran empat tokoh orientalis yaitu G.H.A. Juynboll, Joseph Schacht, Harald Motzki, dan Nabia Abbott, sedangkan dalam penelitian yang sedang dikaji ini hanya membahas hubungan pemikiran antara Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher saja. Maka tentu penelitian ini berbeda dengan penelitian kolektif tersebut.
Kedua, penelitian tesis Moh. Fathurrozi yang berjudul Kritik Abd al Fattah al Qadhi Terhadap Ignaz Goldziher tentang Qira’at hanya memfokuskan pembahasan pada kritik Abd al Fattah al Qadhi terhadap Ignaz Goldziher tentang qira’at saja, selebihnya tidak ada kesamaan pembahasan dengan penelitian yang sedang dikaji ini.
Ketiga, skripsi Dina Kamilah dengan judul M. Mustafa al A’zami’s
jelas tidak memiliki hubungan dengan penelitian ini, karena penelitian skripsi ini
memfokuskan kajiannya hanya pada kritik Mustafa al A’zami pada Ignaz
Goldziher tentang qira’at, sedangkan pada penelitian ini sama sekali tidak
membahas pemikiran Ignaz Goldziher tentang qira’at.
Keempat, skripsi Written Hadith in Early Islam and Explosive of Isnad: Nabia Abbott Refutation to Ignaz Goldziher Scepticism about the Authenticity of Hadith oleh Viky Izza Rahma. Penelitian skripsi ini memang membahas dua tokoh orientalis yang sama dengan penelitian yang sedang dikaji, yaitu Ignaz Goldziher dan Nabia Abbott. Namun sekali lagi bahwa fokus dan arah pembahasan skripsi ini berbeda dengan penelitian yang sedang dikaji. Jika penelitian skripsi ini memfokuskan kajiannya pada penolakan Nabia Abbott terhadap pemikiran Ignaz Goldziher mengenai otentisitas hadis, maka justru sebaliknya, fokus pembahasan dalam penelitian yang sedang dikaji ini lebih kepada penelususran konektifitas pemikiran di antara kedua orientalis tersebut.
Kelima, jurnal Hadis di Mata Orientalis: Studi Kritis atas Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Penulisan Hadis yang ditulis oleh Siti Mahmudah Noorhayatie. Materi jurnal ini berisikan kritik-kritik penulis terhadap pemikiran Ignaz Goldziher tentang penulisan hadis, selebihnya tidak ada kesamaan pembahasan dengan judul penelitian yang sedang dikaji ini.
terhadap golongan orientalis yang skeptis terhadap hadis, diantaranya Ignaz Goldziher, Joseph Scahcht, William Muir, Henri Lamens, Joseph Horovitz, dsb. Kritikan ‘Azami terhadap Nabia Abbott pun tidak terdapat dalam kajian penelitian ini, apalagi membahas tentang konektifitas antara Ignaz Goldziher dengan Nabia Abbott. Sehingga penelitian Kamaruddin tidak sama dengan penelitian yang sedang dikaji ini.
Ketujuh, skripsi Otentisitas Hadis Perspektif Nabia Abbott oleh Luthfi Nur Afidah. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa materi skripsi ini tentu berbeda dengan penelitian yang sedang dikaji. Skripsi ini hanya mengkritisi pemikiran Nabia Abbott, tanpa menyangkutpautkan pembahasan dengan Ignaz Goldziher. Sedangkan penelitian yang sedang dikaji membahas pemikiran Goldziher secara detail dan meneliti konektifitas pemikiran Nabia dengan pemikiran Goldziher.
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melelui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka. Kualitatif juga dapat bermakna sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat dibalik fakta. Kualitas hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui linguistic atau bahasa.31
31 Penelitian studi kasus, http/ Penelitianstudikasus. Blogspot. com / 2009 /
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif 32 analitis 33 yang berusaha mendiskripsikan sejauh mana konektifitas serta pengaruh pemikiran Ignaz Goldziher terhadap pemikiran Nabia Abbott. Oleh karena itu, penelitian ini mengharuskan peneliti untuk menelaah melalui hasil karya keduanya, sehingga model penelitian yang lebih tepat adalah dengan menggunakan jenis penelitian pustaka (library research) yang menggunakan berbagai referensi dan buku sebagai bahan utama penelitian.34 Oleh karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian ini.
2. Data dan Sumber Data
Semua data yang terkumpul, baik primer maupun sekunder diklasifikasi dan dianalisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing. Dalam hal ini, keberadaan sumber referensi dibagi menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang menjadi rujukan utama dalam penelitian ini.
Adapun yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini adalah:
32 Deskriptif adalah menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta,
keadaan, variable dan fenomena yang terjadi pada saat penelitian berlangsung dan menyajikannya apa adanya. Lihat M. Sabana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiyah, (Bandung, Pustaka Setia, 2005), 89.
33 Analitis adalah uraian atau bersifat penguraian. Lihat, Pius A. Partanto Dan M dahlan
Barry, Kamus Ilmiyah Populer, ( Surabaya: Arloka, 1994), 29.
34 Anggota IKAPI DKI Jaya, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004), 20.
35Hilmy Muhammad Fu>dah al Rah{man S}a>lih{ ‘Abdilla>h, al Mursyid fi> Kita>batil Ibh}a>th,
a. Studies in Arabic Literary Papyri I: Qur’anic Commentary And Tradition
oleh Nabia Abbott
b. Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic Commentary And Tradition
oleh Nabia Abbott
c. Introduction to Islamic Theology and Law oleh Ignaz Goldziher d. Muslim Studies oleh Ignaz Goldziher
Sedangkan sumber sekunder yang disajikan sebagai pelengkap untuk memperkaya substansi pembahasan antara lain:
a. Dirasah fi> al H{adi>th al Nabawi> wa Ta<rikh Tadwi>nihi oleh Muh{ammad Mustafa> ‘Azami>
b. Studies in Hadith Methodology and Literature oleh Muh{ammad Mustafa>
‘Azami>
c. Studi Hadis, oleh Idri
d. Early Hadi>th Literature and The Theory of Ignaz Goldziher oleh Talal Maloush
e. al Sunnah wa Maka>natuha> fi al Tashri>’ oleh Must{afa> al Siba>’i 3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dimaksud adalah metode atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian, melalui prosedur yang sistematik dan standar, sedangkan yang dimaksud dengan data dalam penelitian adalah segala bahan keterangan atau informasi mengenai suatu gejala atau fenomena yang ada kaitannya dengan penelitian.36 Data yang
dikumpulkan dalam penelitian harus relevan dengan pokok pembahasan. Untuk mendapatkan data-data tersebut, diperlukan suatu metode yang tepat dan akurat sehingga obyek atau data penelitian dapat diperoleh secara efektif dan efisien.
Dalam metode pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi, yaitu dengan melacak data dari sumber data primer maupun sekunder, juga mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.37
4. Metode Analisis Data
Penelitian ini mengharuskan untuk menggunakan content analysis (analisis isi) sebagai metodologi alam melakukan analisis data. Selanjutnya dilakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek penelitian dengan menggunakan content analysis (analisis isi), yaitu suatu teknik sistematik untuk menganalisis isi pesan dan mengolahnya dengan tujuan menangkap pesan yang tersirat dari satu atau beberapa pernyataan.38 Selain itu, analisis isi dapat juga berarti mengkaji bahan dengan tujuan spesifik yang ada dalam benak (peneliti).
I. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian yang berjudul Konektifitas Pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam Kritik Hadis sistematika pembahasan akan dibagi menjadi beberapa bab, dengan tujuan agar para pembaca dengan jelas mengetahui maping dan substansi pembahasan. Berikut maping pembahasan dalam penelitian ini.
37 Suharsini Arikanto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1998), 32.
38 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,1993),
Bab satu adalah pendahuluan yang berisi tentang gambaran umum isi keseluruhan tesis. Dalam bab satu ini terdapat beberapa sub bab yaitu latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sitematika pembahasan.
Bab dua berisi tentang pemikiran Ignaz Goldziher dan Nabia Abbott tentang hadis. Bab dua ini dibagi menjadi dua sub bab, yaitu pemikiran Ignaz Goldziher tentang hadis dan pemikiran Nabia Abbott tentang hadis. Sub bab pertama terdiri dari beberapa pembahasan, yaitu biografi Ignaz Goldziher, pemikiran Ignaz Goldziher tentang hadis yang meliputi pemikiran tentang makna hadis dan sunnah, pemikiran tentang kodifikasi hadis, dan pemikiran tentang hadis pada masa Umayyah dan Abbasiyah. Sub bab yang kedua juga terdiri dari beberapa pembahasan, yaitu biografi Nabia Abbott, pemikiran Nabia Abbott tentang hadis yang meliputi pemikiran tentang makna hadis dan sunnah, pemikiran tentang penulisan hadis, pemikiran tentang explosive isnad, isnad family dan non family, serta pemikiran tentang hadis pada masa Umayyah dan Abbasiyah.
Bab tiga berisi tentang kritik ulama’ hadis terhadap pemikiran Ignaz
pemikiran tentang kodifikasi hadis, dan kritik terhadap pemikiran tentang hadis pada masa Umayyah dan Abbasiyah. Sub bab yang kedua juga berisi beberapa pembahasan, yaitu kritik terhadap pemikiran Nabia Abbott tentang makna hadis dan sunnah, kritik terhadap pemikiran tentang penulisan dan kodifikasi hadis, dan kritik terhadap pemikiran tentang explosive isnad, isnad family dan non family.
Bab empat berisi tentang analisis tentang konektifitas serta faktor-faktor yang melatarbelakangi, terdiri dari dua sub bab yaitu konektifitas pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam kritik hadis dan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya konektifitas pemikiran Nabia Abbott dan Ignaz Goldziher dalam kritik hadis.
BAB II
PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER DAN NABIA ABBOTT TENTANG
HADIS
A. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Hadis
1. Biografi Ignaz Goldziher
Goldziher dilahirkan pada tanggal 22 Juni 1850 di sebuah kota yang
bernama Szekesfehervar, Hungaria. Dia memulai pendidikan sekolahnya
semenjak usia dini dengan perkembangan yang sangat menarik dan luar biasa.
Semenjak berusia 5 tahun, dia sudah mulai belajar membaca teks Hebrew yang
terdapat pada Old Testament (Perjanjian Lama). Pada usia 8 tahun, dia sudah
membaca Talmud, ketika berusia 12 tahun dia sudah mulai aktif dalam kegiatan
tulis-menulis dan mempublikasikan monograf pertamanya di Origins and
Clasification of the Hebrew Prayers. Ketika anak seusianya masih bersekolah,
Goldziher sudah mengikuti banyak rangkaian pelajaran, seperti pelajaran sastra
Yunani dan Romawi Kuno, Filsafat, Bahasa Timur -termasuk Persia dan Turki-
di Universitas Budapest, tempat dia melanjutkan studinya di kemudian hari.
Dengan bantuan gurunya, Goldziher memperoleh beasiswa dari Hungarian
Minister of Education (Menteri Pendidikan Hungaria) dalam sebuah program
komperhensif pembelajaran dan penelitian yang dirancang untuk melengkapi
studinya pada sebuah universitas yang ditunjuk.1
1 Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton, New Jersey:
Untuk pertama kalinya Goldziher melakukan perjalanan ke luar negerinya
di negara Jerman di Universitas of Leipzig dan Berlin, tempat dia mengambil
gelar doktornya ketika berusia 19 tahun. Pada tahun berikutnya, Goldziher
diangkat menjadi dosen swasta (dosen luar biasa) di Universitas Budapest. Dari
Jerman, dia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Leiden Belanda dan
menetap di sana selama enam bulan, serta mengajar terutama di sekolah-sekolah
Islamic Studies (kajian-kajian keislaman) di Eropa.2
Ketika masih berada di Hungaria dan Jerman, Goldziher banyak mengkaji
buku-buku tentang Judaic (agama Yahudi) dan Semantik, termasuk pula bahasa
Arab. Pengalamannya di Leiden, sebagaimana yang ditulis di dalam buku
hariannya, menjadikannya tertarik pada dunia keislaman. Ketertarikannya
terhadap bangsa Timur dan dunia keislaman ini dikonfirmasi oleh Goldziher
ketika dia melakukan perjalanan pertamanya ke Timur Tengah yang dimulai dari
September 1873 sampai April 1874. Waktunya banyak dihabiskan di Damaskus
dan Kairo. Dia kemudian mendapatkan izin sebagai non muslim pertama untuk
belajar dan menjadi murid di Universitas al Azhar, Kairo.3
Tahun 1874, setelah kembali dari perantauannya di Timur Tengah,
Goldziher menerbitkan hasil karyanya di Imperial Academy (sekolah menengah
kerajaan), Wina. Hal ini membuat nama Goldziher semakin dikenal dan
mengantarkannya mendapatkan gelar kehormatan yang membawanya
mendapatkan pengakuan internasional sebagai salah satu great master peneliti
dunia ketimuran serta menjadikannya sebagai founder modern science of Islamic
(pendiri sains Islam modern). Dia juga terpilih sebagai extraordinary member of
the Hungarian academy (anggota luar biasa sekolah menengah Hungaria) pada
tahun 1876 dan ordinary member (anggota luar biasa) pada tahun 1892. Tahun
1894, Goldziher diberi gelar profesor. Kala itu, Goldziher menerima penghargaan
profesor sebatas gelar saja, tanpa menjadi staf pengajar yang memiliki hak
istimewa dan tanpa gaji. Pada tahun yang sama, Goldziher juga menjadi dewan
perwakilan rakyat. Secara formalitas, jabatan ini diakui penganut agama Yahudi
memiliki kekuatan hukum layaknya 3 sekta Kristen yang telah lama exis di
negara tersebut.4
Di tahun 1889, ketika berlangsungnya International Congress of
Orientalist (kongres internasional orientalis) yang ke 8, Goldziher memperoleh
medali emas berkat kajian ilmiahnya yang telah dipublikasikannya. Tahun 1894,
Goldziher mendapatkan kesempatan untuk menggantikan W. Robertson Smith
sebagai ketua Cambridge University, namun Goldziher menolaknya. Tidak
memiliki gaji di dunia akademik, menjadikannya kembali ke lingkungan asalnya
di komunitas Yahudi. Di komunitas Yahudi tersebut, Goldziher menjabat sebagai
sekretaris selama 30 tahun mulai dari tahun 1876 sampai 1905.
Pada tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1904, Goldziher mendapatkan
gelar kehormatan sebagai guru besar pertama bahasa Semit di Universitas
Budapest, kemudian dia juga menjadi ketua program Muslim Law and
Institutions (lembaga perundang-undangan Muslim) di fakultas Hukum. Pada
tanggal 13 November 1921, Goldziher menghirup nafas untuk yang terakhir
kalinya.5
2. Pemikiran Ignaz Goldziher
a. Pemikiran tentang Makna Hadis dan Sunnah
Secara bahasa, Goldziher memaknai hadis dengan tale yang dalam bahasa
Indonesia diartikan hikayat, kisah, cerita dan dongeng. Selain itu, hadis juga
bermakna communication yang berarti hubungan, komunikasi, kabar,
pengumuman dan pemberitahuan. Dalam arti luas, hadis adalah kabar atau
pemberitahuan yang tidak hanya berkaitan dengan permasalahan agama semata,
melainkan juga informasi yang berisikan sejarah, baik sejarah yang bersifat
secular (keduniawiaan) atau yang bersifat keagamaan yang terjadi dari masa ke
masa.6 Dalam pandangan Goldziher, keberadaan hadis tidak hanya sebagai
dokumen sejarah semata, tetapi lebih kepada sebuah refleksi yang muncul dari
kecenderungan yang kala itu muncul dari suatu komunitas pada masa awal
perkembangan Islam sehingga kemudian hadis terbentuk menjadi sesuatu yang
terorganisir dan rapi serta memiliki kekuatan hukum.7
Sementara sunnah dipahami sebagai tradisi atau kebiasaan yang berlaku
di komunitas umat muslim yang berkaitan dengan perihal keagamaan atau
hukum, baik setelah Islam datang ataupun sebelumnya, yang berlangsung secara
5 Ibid.,viii-x.
6 Ignaz Goldziher, Muslim Studies: Muhammedanische Studien, (Chicago: State
University of New York Press, 1971), vol: 2, 17-18.
terus menerus dan dianggap sebagai sebuah peninggalan yang mesti untuk
diikuti.8 Konsep sunnah terbentuk untuk memberikan pengaruh dan pembenaran
dalam memerintah suatu individu ataupun komunitas dalam peradaban Arab,
yang kemudian mengalami penyempitan makna ketika Islam muncul.
Keberadaan sunnah kemudian dibatasi hanya pada jalan hidup masyarakat yang
berkenaan dengan kepercayaan agama Islam.9 Goldziher kemudian menekankan
bahwa keberadaan sunnah pada mulanya terkait dengan kehidupan masyarakat
pra Islam sebagai perangkat tradisi dan kebiasaan leluhur yang kemudian menjadi
sumber kebiasaan dalam kehidupan. Sunnah dapat pula dipahami sebagai
perangkat tata nilai kehidupan mayarakat tertentu yang dalam perkembangannya
kemudian dipahami sebagai tradisi dan pola kehidupan yang bersifat universal.10
Perilaku dan keputusan dianggap benar jika melalui sebuah rantai
periwayatan yang dapat dipercaya, yaitu jika melalui generasi para sahabat
karena mereka hidup berdampingan dengan Muhammad. Kebiasaan yang
dipraktekkan di bawah persetujuan Nabi kemudian disebut dengan sunnah.
Sedangkan segala bentuk perintah dan larangan Muhammad yang disampaikan
melalui kata-kata, maka itu dinyatakan sebagai hadis. Hadis merupakan
dokumentasi dari sunnah.11
Sekali lagi Goldziher menekankan bahwa term sunnah sebenarnya telah
muncul dan exis pada masa Jahiliyah. Kala itu keberadaan sunnah selalu
dikaitkan dengan segala tradisi Arab, kebiasaan, dan adat para nenek moyang.
Term ini kemudian digunakan dan diadopsi Islam. Di bawah agama Islam,
konsep lama sunnah kemudian mengalami perubahan makna. Bagi para ulama’
pengikut Muhammad, sunnah dipahami sebagai segala bentuk yang dipraktekkan
oleh Muhammad dan pengikutnya pada masa awal-awal (sahabat).12
Penghormatan dan kepatuhan umat muslim terhadap sunnah ini sama halnya
dengan yang dilakukan oleh masyarakat pagan Arab dalam memuja-muja dan
mematuhi ketetapan hukum Arab kuno.13
Di sisi lain, Goldziher berkeyakinan bahwa keberadaan sunnah yang kala
itu digunakan sebagai pedoman hidup keagamaan bagi komunitas muslim
seluruhnya adalah suatu hal yang dinilai keliru dan tidak logis. Baginya,
kemunculan sunnah pada masa awal-awal Islam bersifat kasuistik dan hanya
melingkupi kebiasaan dan adat penduduk Madinah saja yang kemudian
mendapatkan legitimasi konstitusional sehingga memiliki kekuatan hukum yang
harus diikuti. Sedangkan masyarakat di luar kota Madinah sangat sulit menerima
sunnah sebagai pedoman kehidupan agamanya.14 Lebih lanjut Goldziher
menjelaskan bahwa sunnah sebenarnya hanyalah sebuah revisi atas adat istiadat
bangsa Arab yang sudah ada.15 Bagi Goldziher, umat muslim dianggap
12 Ibid., 25-26. 13 Ibid.
14 Ahmad Isnaeni, ‚Pemikiran Goldziher dan Azami Tentang Penulisan Hadis‛, Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol: 6, No: 2, (Desember 2012), 365-366.
menemukan sunnah semenjak kajian ilmu hukum dalam Islam menjadi begitu
pokok dan urgen.16
Goldziher lebih jauh menyatakan bahwa pada mulanya masyarakat Islam
di luar kota Madinah sangat sedikit pengetahuannya tentang ajaran Islam. Ajaran
Islam kala itu masih menjadi hal yang tabu dan asing bagi pemeluknya, sehingga
banyak sekali ajaran ritual Islam yang masih belum diketahui dan dipraktekkan
oleh masyrakat Islam. Mereka juga tidak mampu membedakan antara ayat-ayat
al Qur’an, hadis dan syair-syair yang berkembang karena minimnya pengetahuan
mereka terhadap kajian keislaman yang kala itu baru berkembang. Munculnya
pengetahuan terhadap sunnah baru muncul ketika pada babak kedua dan ketiga
Hijriyah. Pada akhir abad pertama Hijriyah, sunnah kemudian dikenal meluas
oleh masyarakat Islam dan bertransformasi menjadi norma Islam yang bersifat
formal dan memiliki kekuatan hukum untuk diikuti. Pergerakan sunnah menjadi
sumber hukum seiring terjadinya pergumulan politik dan masyarakat antara abad
kedua dan ketiga hijriyah. Dengan ini kumpulan kitab-kitab hadis yang notabene
memuat hadis dan sunnah Muhammad yang diakui kebenarannya oleh umat
muslim justru menimbulkan keraguan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya
seiring dengan berkembangnya hadis dan sunnah, keduanya kemudian
didudukkan dan disetarakan dengan kitab suci dalam membentuk hukum.17
Goldziher memaknai term hadis dan sunnah dengan makna yang berbeda.
Hadis merupakan bentuk komunikasi oral yang diperoleh dari Muhammad,
sedangkan sunnah adalah kebiasaan yang telah berlaku di kalangan komunitas
muslim lama yang berisikan norma-norma agama dan hukum tanpa memandang
apakah kemunculannya disebabkan karena tersampaikannya hadis atau tidak.
Dengan kata lain, sebuah norma yang berasal dari hadis maka dianggap sebagai
sunnah, dan sunnah harus mengandung hadis yang telah disepakati oleh
komunitas umum.18 Namun faktanya, dalam perkembangan kemunculan hadis
pada masa selanjutnya, hadis tidak hanya berasal dari ucapan Muhammad
semata, melainkan juga berasal dari gagasan masyarakat muslim yang memiliki
kecenderungan tertentu dalam kehidupannya.19
Goldziher menilai bahwa kemunculan hadis berangkat dari keseriusan
umat Islam pada masa awal untuk memberitahukan hal ihwal Muhammad atas
segala apa yang dihadapi dalam kehidupannya. Menurut Goldziher, Islam seperti
halnya agama Yahudi, dimana hukum agama dapat lahir di luar kitab suci yakni
berdasarkan sunnah Nabi.20 Goldziher juga menyebutkan bahwa hadis terdiri dari
dua bagian. Bagian yang pertama adalah silsilah para perawi, mulai dari perawi
awal sampai perawi terakhir. Rangkaian silsilah ini kemudian disebut dengan
sanad atau isna>d. Keberadaan isnad ini kemudian diikuti oleh redaksi hadis yang
disebut dengan matan yang merupakan teks hadis. Goldziher berasumsi bahwa
keberadaan matan hadis mula-mula tidak berasal dari Islam sendiri. Dalam teks
Arab kuno, istilah matan sudah digunakan untuk menunjukkan isi teks. Dalam
18 Ibid., 24. 19 Ibid., 19.
tradisi Arab kuno sudah dikenal istilah ayn yang merupakan nama lama untuk
menunjukkan pada sebuah teks yang disampaikan melalui sistem oral.21
Materi hadis pun dianggap mengandung sebuah materi kuno, materi yang
tidak selayaknya berasal langsung dari ide dan gagasan Muhammad. Padahal
materi hadis tersebut berasal dari generasi muslim yang hidup setelah
Muhammad. Adanya jarak dan tempo yang terpaut jauh dari sumber dimana
hadis tersebut muncul, menimbulkan kecurigaan terjadinya pemalsuan hadis.
Masyarakat Islam berpura-pura membenarkan hadis dengan mencantumkan
rantai periwayatan dengan melibatkan generasi sebelumnya sampai kepada
Muhammad. Rangkaian periwayatan ini digunakan untuk memperkuat
hadis-hadis yang berisi doktrin dengan tujuan agar dipraktekkan. Apalagi tidak adanya
sekolah dan tempat belajar yang mengkaji keagamaan, teologi, dan bahkan
hukum. Hal ini lantas memunculkan adanya kekurangan dan kecurigaan terhadap
hadis atau bahkan keseluruhan hadis yang telah beredar. Apalagi puncak
kemunculan metode kritik muslim terhadap hadis secara aktif muncul pada abad
ketujuh hijriyah, ketika enam koleksi kitab hadis diakui keberadaannya sebagai
kitab kanonik.22
Oleh karena itu, kecenderungan matan yang tidak sesuai dengan
dokumentasi aslinya sangat dimungkinkan, apalagi proses perjalanan matan yang
melewati rangkaian banyak orang yang harus dipertimbangkan untuk disangkal
penerimaan periwayatan redaksi hadisnya, ditambah lagi dengan adanya fakta
bahwa perkembangan hadis pada masa awal Islam hanya dikonfirmasi melalui
tradisi verbal dan tidak melaui tulisan.23
Keberadaan hadis tidak lagi menjadi hal yang sakral karena otentisitasnya
sudah diragukan, apalagi setelah Muhammad wafat. Goldziher memperkuat
asumsi ini dengan mengatakan:
Orang-orang yang hidup setelah Muhammad memang dengan penuh hormat meneladani dan kemudian menyampaikan ulang materi hadis sebagai bentuk peneli