DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK I
DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK I
JAKARTA, 25 FEBRUARI – 9 MEI 2008
JAKARTA, 25 FEBRUARI – 9 MEI 2008
Jl. Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta 11480
KATA PENGANTAR
Mengingat jumlah pertemuan untuk mata pelajaran PPN relatif cukup singkat
yaitu 4 jamlat, maka materi pelajaran dituangkan dalam bentuk bahan ajar yang
bersifat empiris dan lebih ditujukan untuk belajar mandiri. Pola ini diharapkan dapat
memenuhi sasaran karena peserta Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak adalah
karyawan Direktorat Jenderal Pajak yang tingkat profesionalismenya tidak diragukan
lagi. Untuk menjadi Pejabat Fungsional Pemeriksa harus melalui seleksi super ketat,
sehingga tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa jabatan fungsional ini tidak dapat
dijabat oleh sembarang karyawan.
Dalam modul ini pembahasan diawali dengan objek dan subjek pajak yang
bersifat spesifik karena pengetahuan dasar tentang objek pajak sudah dikuasai oleh
peserta diklat. Kemudian diikuti dengan pembahasan Faktur Pajak dan pengreditan
Pajak Masukan. Kedua faktor ini merupakan unsur yang relevan di PPN Indonesia
yang menggunakan indirect subtraction method.
Materi modul banyak disajikan dalam bentuk contoh-contoh perbuatan hukum
yang kemungkinan ditemukan dalam pemeriksaan dan diberikan solusinya beserta
argumentasi yuridisnya. Argumentasi seperti ini yang acapkali kurang mendaoat
perhatian dalam praktek.
Besar harapan kami, modul kecil ini dapat memenuhi materi yang diinginkan
oleh peserta diklat, dan sumbang saran positif untuk penyempurnaan di kemudian hari
sangat diharapkan.
Jakarta, November 2007
Penyusun
Untung Sukardji
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……… i
Daftar Isi ……… ii
1. PENDAHULUAN ………. 1
1.1. Pengantar ……… 1
1.2. Tujuan Instruksional Umum ……… 1
1.3. Tujuan Instruksional Khusus ……….. 2
2. KEGIATAN BELAJAR 1 OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG BERSIFAT SPESIFIK ……… 3
2.1. Uraian, contoh dan non contoh ………. 3
2.2. Latihan 1 ……… 16
2.3. Rangkuman ……… 18
3. KEGIATAN BELAJAR 2 FAKTUR PAJAK ……….. 20
3.1. Uraian, contoh dan non contoh ………. 20
a. Dasar Hukum ……….. 20
b. Mekanisme pembuatan Faktur Pajak ……… 21
c. Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pembuatan Faktur Pajak ………. 23
3.2. Latihan 2 ……… 28
3.3. Rangkuman ……… 30
4. KEGIATAN BELAJAR 3 PENGREDITAN PAJAK MASUKAN ……….. 32
a. Dasar Hukum Pengreditan Pajak Masukan ………. 32
b. Mekanisme Pengreditan Pajak Masukan ……….... 32
4.2. Latihan 3 ……….. 37
4.3. Rangkuman ……….. 38
5. Test Formatif ……….. 40
5.1. Kunci Jawaban Test Formatif ………. 42
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
1. PENDAHULUAN
1.1. Pengantar
Sebagaimana diketahui setelah perubahan pertama terhadap UU PPN 1984, mulai 1
Januari 1995 terjadi perubahan yang cukup mendasar terhadap objek PPN. Perubahan
yang pertama sebenarnya lebih merupakan upaya kodifikasi ketentuan yang mengatur
tentang objek PPN yang dilakukan baik dalam UU PPN 1984 sebelumnya maupun dalam
beberapa Peraturan Pemerintah bahkan ada yang hanya dengan Keputusan Menteri
Keuangan. Ketentuan yang semula tersebar dalam beberapa bentuk peraturan ini, dengan
UU Nomor 11 Tahun 1994 disatukan dalam Pasal 4 yang memang sejak semula mengatur
tentang objek pajak. Adapun perubahan yang kedua merupakan penambahan objek pajak
baru dengan cara membentuk pasal baru yaitu Pasal 16C dan Pasal 16D.
Selain pengetahuan tentang objek pajak beserta karakteristiknya, bagi petugas atau
pejabat di bidang pemeriksaan wajib memahami cara menghitung pajak dengan benar.
Khusus di bidang PPN, butir-butir yang wajib dipahami supaya dapat menghitung utang
pajak dengan benar adalah pemahaman terhadap ketentuan saat terjadi utang pajak,
pelaksanaan kewajiban membuat Faktur Pajak, seluk beluk Faktur Pajak Standar, kriteria
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
1.2. Tujuan Instruksional Umum
Peserta Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak
yang sudah dinagkat sebagai Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak sehingga sudah
memenuhi kriteria sebagai pejabat pajak yang profesional. Ketika menjalankan tugas dan
kewajibannya selaku Pemeriksa pajak, mereka sudah berulang kali melakukan
pemerik-saan semua jenis pajak sehingga sudah tidak asing lagi dengan peraturan-peraturan di
bidang PPN. Pada masa yang akan datang akan ikut berperan sebagai bagian dari pejabat
pengambil keputusan dan pembuat kebijakan di Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena
itu, para peserta Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak sudah seharusnya :
a. memahami peraturan-peraturan yang menyangkut penentuan objek pajak;
b. memahami mekanisme pembuatan Faktur Pajak yang merupakan kewajiban pokok
c. memahami peraturan-peraturan tentang mekanisme pengreditan Pajak Masukan.
d. memahami teknik penghitungan pajak terutang.
1.3. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak, para peserta diharapkan mampu :
a. mengawasi dan membina para PKP melalui kegiatan pemeriksaan;
b. menganalisis secara benar dan rasional, permasalahan di bidang Pajak Pertambahan
Nilai yang dihadapi di lapangan;
c. menghitung PPN yang terutang berdasarkan ketentuan yang benar;
d. menghitung PPN dan mengusulkan hasil pemeriksaan yang dapat
dipertanggungja-wabkan sampai tingkat Pengadilan Pajak dalam hal PKP setelah mengajukan
kebe-ratan, mengajukan banding.
2. KEGIATAN BELAJAR 1
OBJEK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
YANG BERSIFAT SPESIFIK
2.1. Uraian, contoh dan non contoh.
Objek PPN diatur dalam Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D UU PPN 1984 yang menurut
sifatnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a. Pasal 4 mengatur objek PPN yang murni karena sesuai dengan prinsip PPN ;
b. Pasal 16C dan Pasal 16D mengatur objek PPN yang menyimpang dari prinsip-prinsip
PPN. DALAM DAERAH PABEAN
Ps. 4 huruf e
Dalam memori penjelasan Pasal 4 huruf a dan huruf c ditegaskan kriteria suatu
penyerahan barang atau jasa dapat dikenakan pajak antara lain harus dilakukan dalam
kegiatan usaha atau pekerjaa PKP. Kriteria ini tidak diikuti oleh Pasal 16C dan Pasal 16D
bahwa PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan orang pribadi yang melakukannya.
Sebagaimana sudah diketahui dan dipahami, Pasal 4 UU PPN 1984 mengatur bahwa
PPN dikenakan atas :
1) penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
2) impor BKP
3) penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
4) pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
5) pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
6) ekspor BKP oleh Pengusaha Kena Pajak
Berdasarkan ruang lingkup yang berbasis pada prinsip destinasi (destination princi-
ple), pengaturan objek pajak dalam pasal 4 dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a. Penyerahan BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean
Kegiatan penyerahan yang masuk ruang lingkup ini adalah objek pajak yang diatur
dalam Pasal 4 huruf a dan huruf c, yaitu PKP menyerahkan BKP atau JKP yang
dilakukan di dalam Daerah Pabean kepada penerima BKP atau JKP yang juga berada
di dalam daerah Pabean, dan akan dikonsumsi atau dimanfaatkan di dalam daerah
Pabean.
b. Penyerahan BKP dari dan ke luar Daerah Pabean.
Kegiatan penyerahan yang masuk dalam ruang lingkup ini adalah kegiatan
penyerah-an ypenyerah-ang dilakukpenyerah-an oleh :
1) Orang pribadi atau badan yang berada atau berkedudukan di dalam Daerah
Pa-bean menerima BKP dari luar Daerah PaPa-bean. Kegiatan ini lebih dikenal dengan
nama impor BKP dalam Pasal 4 huruf b.
2) Orang pribadi atau badan yang berada atau berkedudukan di dalam Daerah Pabean
menerima BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, yang dalam Pasal 4
huruf d dirumuskan “pemanfaatan BKP Tidak Berwujud”.
3) Orang pribadi atau badan yang berada atau berkedudukan di dalam Daerah Pabean
menerima JKP dari luar Daerah Pabean, yang dalam Pasal 4 huruf e dirumuskan
“pemanfaatan JKP”.
4) PKP yang berkedudukan di dalam daerah Pabean menyerahan BKP ke luuar
Penyerahan dari dan ke luar Daerah Pabean ini, disebut “arus lintas batas wilayah”
sebagai terjemahan dari “cross border area”. Untuk memudahkan pemahaman dapat
disimak skema di bawah ini.
PKP
Pemahaman terhadap pemilahan ruang lingkup pengaturan objek pajak dalam Pasal 4
UU PPN 1984 ini patut dicermati untuk mencegah terjadi kerancuan penerapannya
terhadap kasus yang dihadapi oleh Pemeriksa pajak ketika melakukan pemeriksaan.
Contoh perbuatan hukum sehubungan dengan objek pajak yang bersifat spesifik :
a) PT Sekartanjung adalah perusahaan industri parfum menggunakan merek “la
Menor” yang berasal dari Perancis. Pada tanggal 21 Januari 2007 mentransfer
royalti sebesar USD 44,000.00 kepada La Monica PLc. di Paris atas penggunaan
formula parfum dan merek dagang tersebut. Selain itu ditransfer fee sebesar USD
16,500.00 kepada pengusaha yang sama atas jasa pemasaran yang
memung-kinkan PT Sekartanjung mengekspor produk parfumnya ke negara-negara di
Eropa.
Dalam kasus ini PT Sekartanjung memanfaatan BKP Tidak Berwujud berupa hak
menggunakan merek dagang dan menggunakan formula parfum yang berasal dari
luar Daerah Pabean, di dalam Daerah Pabean. Berdasarkan Pasal 4 huruf d,
pemasaran yang merupakan JKP dari luar Daerah Pabean, di dalam Daerah
Pabean. Kegiatan seperti ini berdasarkan Pasal 4 huruf e dikenakan PPN.
b) Selain menghasilkan parfum, perusahaan yang sudah dikukuhkan sebagai PKP
sejak tahun 1997 ini membuka bidang usaha baru memproduksi energy drink
dengan merek “LIMANKRODA” sebuah merek minuman energi produk PT
Perkasa yang berkedudukan di Jepara – Jawa Tengah. Sehubungan dengan itu
pada tanggal 22 Januari 2001 ditransfer royalti kepada PT Perkasa sebesar
Rp20.000.000,00.
Apabila diperhatikan sekilas, kegiatan ini tidak diatur dalam Pasal 4 UU PPN
1984. Kegiatan ini tidak dapat dimasukkan ke dalam ruang lingkup Pasal 4 huruf
d karena baik yang menyerahkan maupun yang menerima penyerahan berada di
dalam Daerah Pabean.
Namun, apabila diperhatikan dengan saksama, ternyata kegiatan yang oleh PT
Perkasa dan PT Sekartanjung ini masuk dalam ruang lingkup Pasal 4 huruf a yaitu
penyerahan BKP. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PPN 1984, BKP meliputi
barang berwujud dan barang tidak berwujud. Dengan demikian maka kegiatan PT
Perkasa menyerahkan hak menggunakan merek dagang kkepada PT Sekartanjung,
dikenakan PPN berdasarkan Pasal 4 huruf a UU PPN 1984.
c) Atas permintaan principalnya di Paris tersebut, divisi pengembangan dari PT
Sekartanjung melakukan riset di wilayah Sulawesi Selatan untuk menjajaki
kemungkinan didirikan sebuah perusahaan yang memiliki prospek di Indonesia.
Riset sudah dilakukan sejak pertengahan tahun 2006. Atas kegiatan riset ini, pada
tanggal 31 Januari 2007 diterima fee sejumlah USD 30,000.00 dari “la Monica”
– Paris.
Dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh PT Sekartanjung yaitu melakukan
riset atas permintaan La Monica PLc di Paris mengandung dua macam pengertian,
yaitu :
(1) PT Sekartanjung menyerahkan jasa riset yang merupakan JKP kepada La
Monica PLc di Paris.
Apabila disandingkan dengan kegiatan ekspor BKP, kegiatan PT Sekartanjung
ini dapat disebut ekspor BKP Tidak Berwujud. Berdasarkan destination
(2) La Monica PLc di Paris memanfaatkan jasa riset yang diterima dari PT
Sekartanjung.
Kegiatan investasi yang akan dilakukan di wilayah Indonesia bagian timur,
merupakan hasil (output) dari kegiatan pemanfaatan jasa riset.
Pemanfaatan-nya dilakukan di Paris, berarti JKP dari dalam Daerah Pabean, dimanfaatkan
di luar Daerah Pabean sehingga merupakan kebalikan dari kegiatan yang
diatur dalam Pasal 4 huruf d UU PPN 1984. Meskipun jasa riset dilakukan di
dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PT Sekartanjung di dalam Daerah
Pa-bean, Pasal 4 huruf c tidak dapat diterapkan disini. Ketentuan dalam Pasal 4
huruf c berkaitan dengan penyerahan oleh JKP kepada pihak lain di dalam
Daerah Pabean. Sedangkan kasus La Monica, kegiatan riset dilakukan di
da-lam Daerah Pabean, namun penyerahannya ke luar Daerah Pabean.
Sebagai-mana telah dikemukakan sebelumnya bahwa ketentuan Pasal 4 huruf a dan
huruf c tidak dapat diterapkan terhadap perbuatan hukum yang merupakan
arus lintas batas wilayah (cross border area).
Berdasarkan argumentasi tersebut, maka atas kegiatan PT Sekartanjung
melaku-kan kegiatan riset atas permintaan La Monica PLc. Di Paris, tidak dikenamelaku-kan PPN
berdasarkan UU PPN 1984.
Adapun sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 4 huruf d dan huruf e adalah Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 568/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2002 yang mengatur
sebagai berikut :
1) Saat mulai pemanfaatan adalah ditentukan oleh perbuatan/peristiwa hukum yang lebih
dahulu dilakukan atau diketahui diantara 5 perbuatan hukum yang dilakukan pada:
a) saat secara nyata BKP Tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut digunakan
b) saat harga perolehannya dinyatakan sebagai utang ;
c) saat harga jual atau penggantian ditagih oleh pihak yang menyerahkan ;
d) saat harga perolehan dibayar sebagian atau seluruhnya
e) saat ditandatangani surat perjanjian
2) BKP Tidak Berwujud dapat berupa hak patent, hak cipta, dan merek dagang.
3) Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dapat berupa :
a) Jasa berasal dari luar Daerah Pabean yang melekat atau ditujukan pada barang
tidak bergerak yang terletak di Dalam Daerah Pabean. Misalnya maket gedung
b) Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean, yang melekat pada atau ditujukan
untuk barang bergerak yang berada atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean.
Misalnya rig disewa dari pengusaha di Hong Kong untuk kegiatan pencarian
sumber-sumber minyak di lepas pantai Laut Jawa.
c) Jasa yang dilakukan secara fisik di dalam Daerah Pabean. Misalnya jasa
konsul-tan, pengacara, kantor akuntan publik, jasa surveyor yang dilakukan oleh
pengusa-ha dari luar Daerah Pabean tetapi dilakukan di dalam Daerah Pabean.
4) Cara penghitungan pajak terutang
a) 10% dari jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan dalam hal :
(1) jumlah yang dibayarkan belum termasuk PPN ;
(2) tidak diketemukan surat perjanjian untuk pembayaran dimaksud ;
(3) ada surat perjanjian tetapi tidak ada penegasan bahwa dalam harga kontrak
sudah termasuk PPN.
b) 10/110 dari jumlah pembayaran yang dinyatakan sudah termasuk PPN..
5) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari
Luar Daerah Pabean, wajib memiliki NPWP.
6) Penyetoran dan pelaporan pajak terutang
a) PPN yang terutang wajib disetor ke kas negara melalui Bank persepsi atau Kantor
Pos Dan Giro selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya.
b) Penyetoran dilakukan dengan cara sebagai berikut:
(1) setoran dilakukan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP)
(2) Kolom identitas diisi dengan identitas pengusaha yang berkedudukan di luar
Daerah Pabean
(3) Kolom NPWP diisi dengan sebagai berikut :
- 9 digit pertama diisi dengan angka 0 (nol)
- 3 digit berikutnya diisi kode KPP
- 3 digit yang terakhir diisi angka 0 (nol)
(4) Pada kolom tandatangan diisi oleh pihak yang memanfaatkan BKP Tidak
Berwujud dan JKP dari luar Daerah Pabean beserta NPWP-nya.
c) PPN yang disetor tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
7) Bagi non PKP, laporan dilakukan dengan cara mengirimkan lembar ke-3 SSP kepada
Contoh mekanisme penyetoran PPN :
a) PT Sekartanjung, sebuah perusahaan dengan bidang usaha industri kosmetika
de-ngan NPWP: 02.354.327.4.257-000 mentransfer royalty sebesar Rp396.000.000,00
kepada La Monica PLc. di Paris selaku pemilik merek dagang, yang digunakan untuk
produknya terutang PPN 10%. Dalam hal transfer royalti dilakukan pada tanggal 21
Januari 2007, PPN yang terutang disetor dengan tata cara sebagai berikut :
(1) Setoran dilakukan paling lambat 15 hari setelah akhir Masa Pajak dilakukan
transfer, berarti paling lambat tanggal 15 Februari 2007;
(2) Setoran dilakukan menggunakan SSP yang pengisian kolom-kolomnya dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
- Nama Wajib Pajak : La Menor
- Alamat : Paris
- NPWP : 000000000.257-000
- Masa Pajak : Januari 2007
- Jumlah PPN : Rp39.600.000,00
- Tempat dan tanggal : Jakarta, 12 Februari 2007
- Nama Wajib Pajak (penyetor) : PT Sekartanjung
NPWP : 02.354.327.4.257-000
(3) Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: 522/PJ/2000 jo
KEP-312/PJ/2001, SSP itu diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sehingga PPN
yang disetor merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan
ketentuan yang berlaku bagi PT Sekartanjung.
Supaya lebih jelas dapat disimak gambar di halaman 10 :
Apabila diperhatikan dalam SSP itu tertulis dua macam bulan yang menunjukkan
Masa Pajak berbeda, yaitu Masa Pajak Januari 2007 dan Februari 2007. Dalam hal
PPN yang disetor oleh PT Sekartanjung akan dikreditkan sebagai Pajak Masukan,
timbul pertanyaan :”Akan dikreditkan dalam SPT Masa PPN Januari atau SPT Masa
PPN Februari 2007 ?”. Hendaknya disadari bahwa SSP ini diperlakukan sebagai
Faktur Pajak Standar, sehingga lebih memiliki karakteristik Faktur Pajak dari pada
sebagai surat setoran pajak. Untuk menentukan SPT Masa PPN yang akan digunakan
sebagai sarana pengreditan Pajak Masukan, harus ditentukan lebih dulu Masa Pajak
dari Faktur Pajak Standar yang secara fisik berupa SSP. Sebagai sebuah Faktur Pajak
ROYALTY Rp396 juta
PEMANFAATAN BKP TIDAK BERWUJUD DAN JKP DARI LUAR DAERAH PABEAN
(Ps. 4 huruf d UU PPN 1984) PPN = PM dpt dikreditkan
Februari 2007. Sedangkan Masa Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak (SSP) ini
sebenarnya berfungsi sebagai penentu saat pajak terutang. Dengan demikian, maka
SSP yang berfungsi sebagai Faktur Pajak ini hendaknya dibaca :”Pajak terutang
dalam Masa Pajak Januari 2007, Faktur Pajak dibuat tanggal 12 Februari 2007”. Oleh
karena itu, PPN yang tercantum di dalamnya dapat dikreditkan dalam SPT Masa PPN
Februari 2007, sehingga tidak dapat dikreditkan dalam SPT Masa PPN Januari 2007.
Selain kegiatan secara spesifik yang diatur dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e, masih
ada lagi yang juga bersifat spesifik, yaitu objek pajak yang diatur dalam Pasal 16C dan
Pasal 16D UU PPN 1984. Sifat spesifik yang dimiliki oleh objek pajak ini memiliki
ka-rakteristik yang berbeda dengan yang diatur dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e.
Spesifi-kasi objek pajak yang diuraikan lebih dahulu meliputi dua hal, yaitu :
1) objek pajaknya tidak berwujud;
2) merupakan kegiatan arus lintas batas wilayah (cross border area).
Sedangkan spesifikasi objek pajak yang diatur dalam Pasal 16C dan Pasal 16D meliputi
dua hal pula, yaitu :
2) menyimpang dari prinsip dasar PPN, yaitu aktivitas itu dilakukan tidak dalam
kegi-atan usaha atau pekerjaan pihak-pihak yang terlibat.
Objek pajak yang bersifat spesifik berdasarkan Pasal 16C dan Pasal 16D UU PPN
1984 dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha/pekerjaan
Pasal 16C UU PPN 1984 : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan orang
pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang
batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
Sebagai peraturan pelaksanaan Pasal 16C telah ditetapkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 595/KMK.04/1994 tanggal 22 Desember 1994 yang kemudian
diubah menjadi Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 tanggal 26
Desember 2000 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.04/2002 tanggal
28 Juni 2002 jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-387/PJ./2002 tanggal
19 Agustus 2002.
Dalam kedua keputusan ini ditentukan bahwa syarat yang harus dipenuhi secara
kumulatif adalah :
a) yang dibangun adalah tempat tinggal atau tempat usaha
b) luasnya 200 m2 atau lebih (sebelum 1 Juli 2002 luasnya 400 m2 atau lebih)
c) bersifat permanen.
Dalam hal pembangunan dilakukan secara bertahap, sepanjang masih dalam jangka
waktu 2 tahun, diperlakukan sebagai satu paket bangunan.
Pajak terutang pada saat pembangunan dimulai, PPN yang terutang dihitung dengan
perkalian = 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan atau yang dibayarkan.
Perkalian “40% x jumlah biaya yang dikeluarkan” adalah Dasar Pengenaan Pajak,
sedangkan 10% adalah tarif PPN. Pengertian seluruh biaya yang dikeluarkan dengan
sendirinya termasuk PPN yang dibayar atas pembelian material dan lain-lain yang
terkait dengan kegiatan membangun sendiri karena merupakan Pajak Masukan yang
tidak dapat dikreditkan. Pajak yang terutang wajib disetor ke kas negara
mengguna-kan SSP pada setiap bulan dilakumengguna-kan pengeluaran paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya. Setelah melakukan setoran, pihak yang membangun sendiri wajib
me-nyampaikan laporan ke KPP tempat bangunan sedang didirikan paling lambat
mem-bangun sendiri adalah PKP maka laporannya menggunakan SPT Masa PPN 1107,
apabila yang membangun sendiri adalah non PKP maka SSP lembar ketiga sebagai
pengganti SPT Masa PPN.
Dalam Pasal 5 ayat (4) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-387/PJ./2002 tanggal 19 Agustus 2002 ditetapkan bahwa Pajak Masukan yang dibayar
sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.
Berdasarkan Pasal 8 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-387/PJ/2002 ditetapkan bahwa pengusaha Real Estate wajib melaporkan dimulainya
kegiatan membangun sendiri yang dilakukan oleh pemilik kaveling diatas tanah
kaveling yang diperoleh antara 1 Januari 1995 sampai dengan 31 Agustus 2002
kepada Kepala KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tanah kaveling berada
paling lambat satu bulan sejak kegiatan membangun sendiri dimulai. Apabila
kewajiban ini tidak dilaksanakan, maka kegiatan membangun sendiri diatas tanah
kaveling tersebut dianggap dilakukan oleh pengusaha real estate yang terkait.
Atas penyerahan tanah kaveling oleh perusahaan real estate yang dilakukan sejak 1
September 2002, berlaku ketentuan sebagai berikut :
a) pada saat penandatanganan Surat Pemesanan/Surat Perjanjian Pra Jual
Beli/Per-janjian Jual Beli/Akte Jual Beli atas transaksi penjualan tanah kavling, pembeli b)
wajib mengisi dan menandatangani Surat Pernyataan Kesanggupan Membayar
PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang diberikan oleh pihak real estate.
c) Pengusaha real estate wajib melaporkan transaksi penjualan tanah kaveling
kepada Kepala KPP yang wilayahnya meliputi tempat tanah kaveling berada
paling lambat satu bulan sejak tanggal penandatanganan formulir dimaksud.
d) Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan, maka kegiatan membangun sendiri
diatas tanah kaveling tersebut dianggap dilakukan oleh pengusaha real estate
Contoh perlakuan PPN atas kegiatan membangun sendiri :
a) Pada tanggal 2 Januari 2005 PT Sekartanjung dalam contoh tersebut diatas
memiliki divisi salon kecantikan, membangun sendiri sebuah gedung untuk salon
kecantikan yang dilakukan secara bertahap sebagai berikut :
(1) Tahap pertama dilakukan mulai 2 Januari 2005 seluas 180 m2. Dari
catat-annya daftar pembelanjaan untuk pembangunan gedung ini diketahui bahwa
pembangunan dilakukan mulai bulan Januari 2007 dan selesai pada akhir
Membangun sendiri adalah kegiatan membangun menggunakan jasa pemborong/ tukang harian yang tidak dikukuhkan sebagai PKP
M E M B A N G U N S E N D I R I
(Ps. 16C UU PPN 1984 jo KepMenKeu Nomor 553/KMK.04/2000 jo No.320/ KMK.03/2002, 28-6-2002 jo KepDirjenpa No.KEP-387/PJ./2002, 19-8-2002)
Sya ra t :
(2) Tahap kedua dimulai pada tanggal 12 Februari 2007 dilanjutkan bangunan
tahap II seluas 120 m2 dan selesai pada akhir Mei 2007.
Karena pembangunan tahap pertama luas bangunan masih kurang dari 200 m2,
maka atas kegiatan ini tidak dapat dikenakan PPN membangun sendiri
berdasar-kan Pasal 16C UU PPN 1984. Pembangunan tahap kedua yang dimulai 12
Februari 2007, merupakan tahun ke-3, sehingga jangka waktu pembangunan tahap
sendiri gedung seluas 300 m2 yang dilakukan dalam dua tahap ini tidak dapat
dikenakan PPN membangun sendiri.
b) PT MEJENG mengelola salon kecantikan "BEN KECHE". Sudah dikukuhkan
se-bagai PKP sejak tahun 1990.
Pada tanggal 27 Desember 2006, perusahaan ini memulai membangun sendiri
se-buah gedung seluas 450 m2 untuk usaha. Dari catatannya dapat dipetik daftar
pembelanjaan untuk pembangunan gedung ini sebagai berikut :
(1) Desember 2006 sebesar Rp 150.000.000,00 termasuk PPN atas pembelian
material sebesar Rp 12.000.000,00 ;
(2) Januari 2007 sebesar Rp 85.000.000,00 termasuk PPN atas pembelian
material sebesar Rp 7.000.000,00 ;
(3) Februari 2007 sebesar Rp 80.000.000,00 termasuk PPN atas pembelian
material sebesar Rp 6.000.000,00 ;
(4) Maret 2007 sebesar Rp 90.000.000,00 termasuk PPN atas pembelian material
sebesar Rp 5.000.000,00 ;
Bangunan selesai pada tanggal 5 April 2007.
Dalam contoh kasus ini terdapat informasi tentang luas bangunan, fungsi
bangun-an dbangun-an secara implisit dapat difahami bahwa bbangun-angunbangun-an ini pasti bersifat permbangun-anen
sehingga memenuhi syarat dikenakan PPN membangun sendiri berdasarkan Pasal
16C UU PPN 1984. Penghitungan pajak yang terutang perlu memperhatikan
bebe-rapa faktor yang kiranya cukup relevan, yaitu :
(a) Karena kewajiban membayar pajak yang terutang dilakukan tiap bulan
penge-luaran biaya, maka penghitungan dilakukan per-bulan sehingga apabila terjadi
pelanggaran, pengenaan sanksi berdasarkan UU KUP dapat dihitung lebih
cermat.
(b) PPN yang dibayar berkaitan dengan kegiatan membangun sendiri, merupakan
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sehingga merupakan bagian dari
biaya yang dikeluarkan oleh karena itu ketika menghitung PPN yang terutang,
unsur biaya yang berasal dari Pajak Masukan ini menjadi bagian dari DPP.
Kiranya perlu diperhatikan bahwa PPN yang dimaksudkan disini bukan PPN
atas kegiatan membangun sendiri, melainkan PPN atas pembelian material dan
PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan oleh PT
Sekartanjung, dapat dihitung sebagai berikut :
(1) Desember 2006 = 10% x 40% x Rp 150.000.000,00 = Rp 6.000.000,00;
(2) Januari 2007 = 10% x 40% x Rp 85.000.000,00 = Rp3.400.000,00 ;
(3) Februari 2007 = 10% x 40% x Rp 80.000.000,00 = Rp3.200.000,00 ;
(4) Maret 2007 = 10% x 40% x Rp 90.000.000,00 = Rp3.600.000,00;
PPN tersebut wajib disetor ke Kas Negara menggunakan SSP paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya, dan setelah disetor, wajib dilaporkan kepada Kepala
KPP yang wilayahnya meliputi tempat bangunan yang sedang dibangun sendiri
paling lambat tanggal 20 dalam bulan yang sama denngan bulan dilakukan
penye-toran. Dalam Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal
Pa-jak tidak pernah menetapkan bahwa SSP yang digunakan untuk menyetor PPN
yang terutang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar, sehingga PPN yang
ter-cantum di dalamnya tidak dapat diperlakukan sebagai Pajak Masukan atau Pajak
Keluaran. Ini merupakan satu-satunya pemungutan PPN yang tidak menggunakan
Faktur Pajak.
2) Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Pasal 16D UU PPN 1984 :
“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan
semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar
atas perolehannya merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.”
Apabila diperhatikan dalam rumusan pasal ini dapat disimpulkan bahwa dalam hal
suatu perusahaan menjual aktivanya yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, dapat dikenakan PPN sepanjang memenuhi 3 syarat, yaitu :
a) yang melakukan penyerahan sudah dikukuhkan sebagai PKP;
b) pada saat memperoleh aktiva tersebut, perusahaan ini memang membayyar PPN,
yang dapat dibuktikan melalui pembukuannya;
c) PPN yang dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Kata “dapat” pada syarat terakhir ini memberikan indikasi bahwa pengreditan
Pajak Masukan ini hanya bersifat normatif, apakah berdasar fakta memang benar
Contoh pengenaan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN 1984 :
Dalam suatu pemeriksaan pajak tahun 2004 pada sebuah perusahaan PMA
PT Mac Backon Indonesia, Pemeriksa Pajak menemukan suatu transaksi penyerahan
mesin pabrik yang merupakan assets perusahaan pada tanggal 25 Juli 2004 dengan
Harga Jual Rp600.000.000,00. Mesin pabrik ini diimpor pada tahun 1998 dengan
Nilai Impor Rp2.000.000.000,00 dan memperoleh fasilitas Penangguhan Pembayaran
PPN.
Dari kasus pemeriksaan ini, perlu diperhatikan dua hal, yaitu :
a) fasilitas Penangguhan Pembayaran PPN atas impor mesin;
b) penyerahan mesin pabrik sebagai assets perusahaan.
Memang fasilitas Penangguhan Pembayaran PPN atas impor barang modal berupa
mesin dan peralatan pabrik untuk menghasilkan BKP masih diberikan kepada PMA
sampai dengan impor yang dilakukan paling lambat 31 Maret 2001 sepanjang
persetujuan penanaman modalnya sudah ditandatangani paling lambat 31 Maret 1998.
Fasilitas ini memiliki makna Pajak Masukan (PPN atas impor) itu sudah dikreditkan,
sesuai dengan motivasi yang berada dibalik Penangguhan Pembayaran PPN, dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 827/KMK.04/1984 adalah mempercepat
pengreditan Pajak Masukan. Oleh karena itu atas penyerahan mesin pabrik yang
dilakukan oleh PT Mac Backon Indonesia, dikenakan PPN berdasarkan Pasal 16D UU
PPN 1984. (mekanisme yang sama juga berlaku atas perolehan BKP/JKP yang
mem-peroleh fasilitas pajak yang terutang tidak dipungut). PPN atas impor yang pernah
memperoleh fasilitas Penangguhan Pembayaran PPN, tidak perlu disetor kembali ke
Kas Negara karena secara ekonomi sudah diganti dengan PPN yang dikenakan atas
penyerahan mesin tersebut, sedangkan ditinjau dari sudut pandang yuridis tidak ada
dasar hukumnya..
2.2. Latihan 1
Lingkarilah pernyataan yang paling benar diantara empat pernyataan dari tiap
nomor soal dibawah ini.
1) Sebuah restoran yang menyediakan ayam goreng di Jakarta menggunakan merek
da-gang dari perusahaan ayam goreng di Los Angeles, ketika mentransfer royalti kepada
pemilik merek di Los Angeles, ………..
b. tidak terutang PPN karena sudah terutang PPh Pasal 26
c. tidak terutang PPN karena sudah terutang PPh Pasal 23
d. terutang PPN karena merek dagang adalah BKP
2) PPN atas transfer royalty kepada pengusaha di luar negeri sehubungan dengan
peng-gunaan merek dagangnya di Indonesia oleh sebuah industri minuman di Jakarta yang
sudah dikukuhkan sebagai PKP, disetor menggunakan SSP oleh pengusaha dimaksud
atas nama pengusaha pemilik merek dagang di luar negeri, merupakan Pajak Masukan
yang ………
a. tidak dapat dikreditkan karena SSP bukan Faktur Pajak
b. tidak dapat dikreditkan karena SSP hanya dapat diperlakukan sebagai Faktur
Pa-jak Sederhana
c. dapat dikreditkan karena SSP ini diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar
d. tidak dapat dikreditkan karena meskipun sebagai Faktur Pajak Standar, PPN yang
disetor itu merupakan Pajak Keluaran.
3) PT Advocasi adalah PKP dengan bidang usaha jasa konsultasi mengirim dua orang
tenaga akhlinya ke Hainan untuk memberikan jasa konsultasi di bidang investasi dan
tax planning kepada Wha Hing PLc. yang akan melakukan investasi di Indonesia.
Atas fee yang diterima oleh PT Advocasi dari Wha Hing PLc. ………
a. terutang PPN karena jasa konsultasi merupakan JKP
b. tidak terutang PPN karena penyerahan jasa dilakukan diluar daerah pabean RI
c. terutang PPN karena meskipun penyerahan jasa dilakukan diluar daerah pabean,
tetapi pemanfaatnnya dilakukan di dalam daerah pabean.
d. tidak terutang PPN karena jasa konsultasi bukan JKP
4) Pada tanggal 4 Mei 2007 PT Rahma, dealer kendaraan bermotor bekas yang sudah
dikukuhkan sebagai PKP menjual mobil dinas direksi berupa jip dengan Harga Jual
Rp 80.000.000,00. Atas penjualan jip sebagai kendaraan bermotor bekas ini ………..
a. dikenakan PPN Rp 8.000.000,00 berdasarkan Pasal 16D UU PPN 1984
b. dikenakan PPN Rp 800.000,00 berdasarkan Pasal 4 huruf a UU PPN 1984
c. tidak dikenakan PPN berdasarkan Pasal 16D UU PPN 1984
5) PT Ratih adalah PKP industri tekstil sejak tahun 1997, pada tanggal 18 Mei 2007,
menjual tiga unit mobil box yang dibeli pada tahun 1998, dan pada waktu itu Pajak
Masukannya tidak dikreditkan. Atas penjualan mobil box yang sebelumnya untuk
ke-giatan distribusi dengan Harga Jual Rp 180.000.000,00 ini ………
a. dikenakan PPN 10% x 10% x Rp 180.000.000,00 = Rp 1.800.000,00
b. dikenakan PPN 10% x Rp 180.000.000,00 = Rp 18.000.000,00
c. tidak dikenakan PPN karena tidak ada nilai tambah
d. tidak dikenakan PPN karena PPN atas pembeliannya tidak dikreditkan
6. PT Nuansa adalah PKP industri garmen sedang membangun sendiri sebuah gedung
untuk outlet seluas 450 m2. Biaya yang dikeluarkan dalam bulan Juli 2007 sebesar Rp
75.000.000,00 termasuk PPN atas pembelian material sebesar Rp4.500.000,00 ……
a. dikenakan PPN Rp 7.000.000,00 karena PT Nuansa adalah PKP
b. tidak dikenakan PPN karena dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
peker-jaannya selaku perusahaan garmen
c. dikenakan PPN Rp 3.000.000,00 meskipun dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya
d. dikenakan PPN Rp 7.050.000,00 meskipun dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya
7. Dalam bulan Januari 2007, Sopan mengeluarkan biaya untuk :
1) Membeli material bangunan sebesar Rp 16.500.000,00 termasuk PPN;
2) Membayar ongkos tukang sebesar Rp 500.000,00;
untuk membangun sendiri rumah dengan luas seluruhnya 220 m2 wajib membayar
PPN yang terutang sebesar ……..
a. 10% x 40% x (100/110 x Rp 16.500.000 + Rp 500.000) = Rp 620.000,00
b. 10% x 40% x Rp16.500.000,00 = Rp 660.000,00
c. 10% x 40% x (Rp 16.500.000 + Rp 500.000) = Rp 680.000,00
d. 10% x 40% x (100/110 x Rp 16.500.000) = Rp 600.000,00
2.3. Rangkuman
Diantara beberapa objek PPN yang diatur dalam Pasal 4 apabila diperhatikan ternyata
merupa-kan penyerahan BKP/JKP yang dilakumerupa-kan oleh PKP kepada pembeli BKP atau penerima
JKP di dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan juga di dalam Daerah Pabean, yang
dapat disebut dengan istilah inland delivery yaitu yang diatur dalam Pasal 4 huruf a dan
huruf c. Ruang lingkup yang satu lagi adalah yang mengatur arus lintas batas wilayah
yang disebut cross border area yaitu yang diatur dalam Pasal 4 huruf b, huruf d, huruf e,
dan huruf f.
Selain itu, ditinjau dari pola operasionalnya, terdapat objek pajak yang bersifat
spe-sifik yaitu yang diatur dalam Pasal 4 huruf d dan huruf e UU PPN 1984 karena
me-nyangkut arus lintas batas wilayah dari objek pajak yang tidak berwujud.
Lebih lanjut lagi, mulai 1 Januari 1995 melalui UU Nomor 11 Tahun 1994
ditambah-kan dua pasal baru yang mengatur objek pajak yaitu Pasal 16C dan Pasal 16D, yang
sebenarnya suatu penyimpangan dari prinsip PPN yang dianut dalam UU PPN 1984. Sifat
spesifik dari kedua objek pajak yang diatur dalam kedua pasal ini, meskipun dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan, toh tetap dikenakan PPN.
Suatu kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau
pekerjaan dilakukan oleh siapapun sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Keuangan, dikenakan PPN membangun sendiri berdasarkan
Pasal 16C UU PPN 1984. Jumlah PPN yang terutang dihitung melalui perkalian tarif PPN
sebesar 10% dengan Dasar Pengenaan Pajak yang ditetapkan sebesar 40% dari jumlah
biaya yang dikeluarkan. Dalam hal yang melakukan kegiatan ini (pemilik bangunan)
adalah PKP, PPN yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri ini
me-rupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Oleh karena itu yang dimaksud
dengan “jumlah biaya yang dikeluarkan” meliputi juga PPN atas pembelian material dan
lain-lain yang terkait tersebut.
Pasal 16D UU PPN 1984 yang menentukan bahwa terhadap pengusaha yang
menyerahkan aktiva perusahaan yang menuruttujuan semula tidak untuk diperjualbelikan
dapat dikenakan PPN sepanjang memenuhi tiga syarat, yaitu :
a. pengusaha yang melakukan penyerahan sudah dikukuhkan sebagai PKP;
b. ketika memperoleh aktiva dimaksud memang membayar PPN;
c. PPN yang dibayar itu merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Syarat ketiga menggunakan kata “dapat” bukan “telah”, sehingga pengreditan Pajak
3. KEGIATAN BELAJAR 2
FAKTUR PAJAK
3.1. Uraian, contoh dan non contoh
a. Dasar Hukum
Pembuatan Faktur Pajak merupakan refleksi dari kewajiban memungut pajak yang
terutang yang ditentukan dalam Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984. Dalam Pasal 1 angka 23
dirumuskan bahwa Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak sehingga sebagai
kon-sekuensi yuridis dari kedua ketentuan tersebut, Pasal 13 ayat (1) UU PPN 1984
menen-tukan bahwa PKP wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap melakukan penyerahan BKP
atau JKP. Jadi pembuatan PKP diwajibkan dalam hal :
1) Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP sudah dikukuhkan sebagai
atau menjadi PKP;
2) melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Tata cara pembuatan Faktur Pajak diatur dalam peraturan Direktur Jenderal Pajak sesuai
dengan jenisnya, yaitu :
1) Faktur Pajak Standar.
Mulai 1 Januari 2007 diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 sebagai pengganti Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000 beserta
perubahannya.
2) Faktur Pajak Sederhana.
Mulai 1 Januari 2001 diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal :Pajak Nomor
KEP-524/PJ./2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-128/PJ./2003.
3) Dokumen tertentu diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar
Mulai 1 Januari 2001 diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-522/PJ./2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-312/PJ./2001.
Bagi PKP yang dalam satu Masa Pajak melakukan beberapa kali penyerahan BKP atau
JKP kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang sama, dapat membuat Faktur Pajak
b. Mekanisme pembuatan Faktur Pajak
Mekanisme pembuatan Faktur Pajak sangat tergantung pada jenis Faktur Pajak yang
dibuat oleh PKP.
1) Faktur Pajak Standar
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31
Oktober 2006, secara garis besar dapat diuraikan tata cara pembuatan Faktur Pajak
oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP, sebagai berikut :
a) Formulir Faktur Pajak Standar yang sah secara yuridis adalah formulir yang
di-susun tidak bertentangan dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 yang kemudian
materinya diadaptasi menjadi materi Pasal 1 angka 3 Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-159/PJ./2006. Bentuk dan ukurannya boleh disesuaikan dengan
kepentingan tiap-tiap PKP. Keterangan yang wajib dicantumkan minimal sama
dengan jenis keterangan yang telah ditetapkan dalam kedua Pasal tersebut.
b) Faktur Pajak Standar wajib diisi dengan lengkap, benar, dan jelas, kecuali kolom
PPnBM yang wajib diisi hanya bagi PKP Pabrikan yang melakukan penyerahan
BKP Yang Tergolong Mewah yang menghasilkannya.
c) Setiap Faktur Pajak Standar wajib mencantumkan kode dan nomor seri yang
su-sunannya telah ditetapkan dalam peraturan ini. Setiap perubahan kecuali yang
ter-jadi pada setiap awal tahun buku, wajib diberitahukan secara tertulis kepada
Ke-pala KPP yang terkait.
d) Penandatanganan Faktur Pajak Standar dan contoh tandatangannya wajib
diberi-tahukan secara tertulis kepada Kepala KPP yang terkait paling lambat sebelum
penandatanganan dilakukan.
e) Terhadap Faktur Pajak Standar yang rusak, cacat, salah dalam pengisian atau
pe-nulisan, dapat dibetulkan dengan membuat Faktur Pajak Standar Pengganti.
f) Pembuatan dilakukan tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
g) Faktur Penjualan yang susunan dan cara pengisiannya sama dengan susunan dan
cara pengisian Faktur Pajak Standar dapat berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar.
2) Faktur Pajak Sederhana
a) Mekanisme pembuatan Faktur Pajak Sederhana diatur dalam Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor KEP-542/PJ/2000 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-128/PJ./2004 tanggal 25
b) Faktur Pajak Sederhana dibuat dalam hal PKP menyerahkan BKP atau JKP :
(1) kepada konsumen akhir; atau
(2) kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang nama, alamat, atau NPWP tidak
diketahui.
c) Bentuknya sederhana seperti bon kontan, faktur penjualan, kuitansi, segi kas
re-gister dan dokumen sejenis, sehingga tidak memerlukan formulir khusus.
d) Syarat minimal keterangan yang wajib dicantumkan dalam Faktur Pajak
Sederha-na, yaitu :
(1) Nama, alamat dan NPWP dari PKP yang menyerahkan BKP/JKP;
(2) Jenis dan kuantum BKP/JKP;
(3) Pernyataan bahwa dalam harga penyerahan sudah termasuk PPN atau disebut
secara terpisah;
(4) Tanggal pembuatan;
e) Faktur Pajak dibuat paling lambat pada saat penyerahanBKP/JKP, dalam hal
pem-bayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan, dibuat paling lambat pada saat
penerimaan pembayaran.
3) Dokumen tertentu diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar.
a) Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar merupakan
pe-laksanaan Pasa 13 ayat (6) UU PPN 1984 yang kemudian dijabarkan dalam
Kepu-tusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-522/PJ./2000 sebagaimana telah
di-ubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-312/PJ/2001 tanggal
23 April 2001.
b) Adapun dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak
Standar, adalah :
(1) SSPCP (Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak) dan PIB, diperlakukan
sebagai Faktur Pajak Standar atas impor BKP;
(2) SPPB (Surat Perintah Pengiriman Barang) diperlakukan sebagai Faktur Pajak
Standar yang dibuat oleh BULOG/DOLOG
(3) PNBP (Paktur Nota Bon Penyerahan) diperlakukan sebagai Faktur Pajak
Standar atas penyerahan BBM dan non BBM oleh Pertamina;
(4) Tanda pembayaran uang langganan telepon dan kuitansi listrik, diperlakukan
sebagai Faktur Pajak Standar atas penyerahan jasa telekomunikasi dan
(5) SSP untuk pembayaran PPN, diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar atas
pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean, di
dalam daerah Pabean.
(6) Ticket, Airway Bill/Delivery Bill, diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar
atas penyerahan Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri;
(7) Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai, diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar atas
ekspor BKP.
(8) Nota Penjualan Jasa diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar atas
penye-rahan jasa kepelabuhanan.
c) Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar tidak
memer-lukan kode dan nomor seri seperti yang berlaku bagi Faktur Pajak Standar yang
dibuat berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006.
Nomor serinya adalah nomor urut yang dibuat oleh PKP yang menerbitkan
doku-men tersebut.
d) Khusus bagi ticket sehubungan dengan penyerahan jasa angkutan udara dalam
negeri tidak memerlukan NPWP pemegang ticket, apalagi NPWP dari PKP yang
memerintahkan pemegang ticket melakukan perjalanan dinas perusahaan.
c. Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pembuatan Faktur Pajak.
Bagi siapapun termasuk PKP yang melakukan pelanggaran ketentuan pembuatan
Faktur Pajak, sanksinya diatur dalam pasal 14 UU KUP, sebagai berikut :
1) pengusaha sudah dikukuhkan sebagai PKP tidak membuat Faktur Pajak;
2) pengusaha sudah dikukuhkan sebagai PKP membuat Faktur Pajak namun diisi
tidak lengkap, selain :
(a) identitas pembeli yang dimnaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU PPN
1984; atau
(b) identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN 1984, dalam hal penyerahan
dilakukan oleh PKP Pedagang Eceran; atau
(c) PKP melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa pembuatan Faktur
dikenakan sanksi adminstrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak.
Contoh peristiwa/perbuatan hukum dalam bidang Faktur Pajak:
1) Dalam suatu pemeriksaan khusus SPT Masa PPN 1107 Masa Pajak Januari sampai
dengan Juni 2007 yang dilakukan dalam bulan Oktober 2007, Pemeriksa menemukan
beberapa lembar Faktur Pajak Standar yang diisi tidak lengkap oleh PKP Penjual
yaitu PKP Penjual tidak mengisi kolom NPPKP pembeli. Pajak Masukan yang
tercantum dalam Faktur Pajak ini telah dikreditkan dalam SPT Masa PPN.
NPPKP merupakan masalah lama yang dibangkitkan kembali dalam lampiran IA
dan IB Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006, yaitu contoh
for-mulir Faktur Pajak Standar yang mencantumkan kolom “NPPKP Pembeli
BKP/Pe-nerima JKP”. Pecantuman “NPPKP” dalam Faktur Pajak Standar yang dibuat setelah
1 Januari 2001 memiliki dua macam kelemahan, yaitu :
a) NPPKP sudah tidak ada lagi seiring dengan perubahan Pasal 3A ayat (1) UU PPN
1984 yang sejak 1 Januari 2001 yang mengganti kewajiban PKP (yang
sebelum-nya) wajib memiliki NPPKP menjadi “wajib melaporkan usahanya untuk
diku-kuhkan sebagai PKP”,
b) Kalau toh NPPKP dianggap masih layak untuk ditampilkan, seharusnya yang
di-cantumkan adalah NPPKP dari PKP yang menyerahkan BKP atau JKP untuk
me-yakinkan pembeli BKP/penerima JKP bahwa yang melakukan penyerahan sudah
dikukuhkan sebagai PKP sehingga berhak memungut PPN dengan cara membuat
Faktur Pajak. Namun pencantuman ini juga tidak ada manfaatnya baik dari sudut
pandang yuridis maupun dari sudut pandang ekonomi, karena kolom ini diisi
de-ngan angka sama dede-ngan NPWP.
c) Pasal 1 angka 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 yang
merumuskan pengertian Faktur Pajak Standar, tidak mencantumkan “NPPKP”
seba-gai salah satu keterangan minimal yang wajib dimuat dalam Faktur Pajak
Standar. Meskipun ketentuan ini secara implisit memungkinkan penambahan
keterangan tambahan selain yang disebut dalam Pasal 1 angka 3, Peraturan
Direktur Jenderal Pajak tidak boleh menggunakan lagi istilah ini sebagai contoh
keterangan tambahan yang dapat dicantumkan dalam Faktur Pajak Standar, karena
berdasarkan hirarhi bentuk produk hukum, kedudukan “Peraturan Direktur
menghapus istilah NPPKP dari pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984. Lex superiori
derogat lex inferiori.
Meskipun dalam Faktur Pajak Standar yang ditemukan oleh Pemeriksa ketika
melakukan pemeriksaan, tidak mencantumkan NPPKP Pembeli BKP/Penerima JKP,
Pemeriksa tidak dapat mengoreksi pengreditan yang telah dilakukan oleh PKP yang
sedang diperiksa dengan argumentasi Faktur Pajak Standar ini cacat. Berdasarkan
Pasal 5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 159/PJ./2006 yang menyitir
keten-tuan Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN 1984 bahwa Pajak Masukan untuk perolehan
BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimak-sud dalam Pasal 13 ayat (5), adalah Faktur Pajak (Standar) cacat sehingga Pajak
Ma-sukannya tidak dapat dikreditkan. Sedangkan pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 tidak
pernah mencantumkan “NPPKP” sebagai salah satu keterangan minimal yang wajib
dimuat dalam Faktur Pajak Standar.
Jadi, pencantuman “NPPKP” dalam Faktur Pajak Standar tidak memiliki dampak
yu-ridis terhadap PPN yang tercantum di dalamnya, sehingga apabila ada PKP Pembeli
BKP/ Penerima JKP memegang Faktur Pajak Standar tanpa mencantumkan “NPPKP”
PKP Pembeli, tidak ada pengaruhnya terhadap pengreditan Pajak Masukan.
2) Dalam suatu pemeriksaan, Pemeriksa menemukan Faktur Pajak Sederhana yang
dibuat oleh PKP yang sedang diperiksa. Faktur Pajak Sederhana ini dibuat atas
penyerahan BKP dengan Harga Jual Rp 300.000.000,00 kepada PKP Pembeli.
Atas temuan ini, Pemeriksa tidak dapat mengusulkan untuk mengenakan sanksi denda
sebesar 2% x Rp300.000.000,00 berdasarkan argumentasi :
a) Penyerahan BKP/JKP dalam jumlah pembayaran yang besar ( dalam contoh
Rp300 juta) tidak boleh dibuatkan Faktur Pajak Sederhana,
b) penyerahan BKP/JKP kepada pembeli yang telah dikukuhkan sebagai PKP wajib
dibuatkan Faktur Pajak Standar.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-524/PJ/2000 sebagaimana telah
di-ubah dengan Keputusan Direktur Jederal Pajak Nomor KEP-128/PJ./2004 tidak
per-nah memberikan pembatasan maksimum nilai nominal penyerahan BKP/JKP yang
dapat dibuatkan Faktur Pajak Sederhana.
Keputusan itu juga tidak pernah mengatur bahwa dalam hal pembeli BKP/penerima
JKP sudah dikukuhkan sebagai PKP tidak boleh dibuatkan Faktur Pajak Sederhana.
penerima JKP tidak diketahui oleh PKP yang melakukan penyerahan, dapat
dibuat-kan Faktur Pajak Sederhana. Justru dilarang membuat Faktur Pajak Standar tanpa
mencantumkan NPWP pembeli BKP/penerima JKP. Membuat Faktur Pajak Standar
tanpa mencantumkan NPWP pembeli BKP/penerima JKP, dapat berakibat dikenakan
denda sebesar 2% dari DPP. Jadi yang menentukan bukan status PKP dari pembeli
BKP/penerima JKP, melainkan NPWP-nya tidak diketahui.
3) Dalam suatu pemeriksaan terhadap PKP untuk PPN dan PPh 2006, ditemukan dalam
terdapat beberapa kali penyerahan BKP kepada Pemungut PPN yang
pembayaran-nya menggunakan valuta asing. Salah satu diantarapembayaran-nya sebagai berikut :
- Penyerahan BKP dilakukan pada tanggal 12 Juni 2006 dengan Harga Jual
sebesar USD 200,000.00, nilai kurs USD 1 = Rp8.900,00
- Penagihan disampaikan kepada Pemungut PPN pada tanggal 27 Juli 2006, nilai
kurs USD 1 = Rp 9.100,00
- Pembayaran diterima pada tanggal 29 Agustus 2006, nilai kurs USD 1 = Rp
9.000,00
Oleh PKP, Faktur Pajak Standar dibuat pada tanggal 27 Juli 2006 dengan struktur
sebagai berikut :
Harga Jual= 200.000 x Rp9.100,00 = Rp1. 280.000.000,00,
DPP = Rp 1.820.000.000,00
PPN = Rp182.000.000,00.
Faktur Pajak ini oleh PKP dilaporkan dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Agustus
2006, di lampiran 1195A3 dengan posisi yang berubah karena Faktur Pajak Standar
tertanggal 27 Juli 2006 tersebut oleh PKP dicoret dan dibubuhi paraf sehingga
terlihat sebagai berikut:
Harga Jual = Rp 1.820.000.000,00. Rp 1.800.000.000,00
DPP = Rp1.820.000.000,00 Rp 1.800.000.000,00
PPN = Rp182.000.000,00 Rp 180.000.000
Terhadap temuan itu, Pemeriksa tidak perlu melakukan koreksi karena yang
dilakukan oleh PKP selaku rekanan Pemungut PPN yang surat perjanjiannya dibuat
menggunakan valuta asing sudah berdasarkan peraturan yang berlaku pada waktu itu,
a) Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 yang menentukan
bahwa dalam hal pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian yang dilakukan
sehubungan dengan Pasal 16A UU PPN mempergunakan mata uang asing, maka
besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan
mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada
saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
b) Lampiran III huruf c Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./
2000 tanggal 29 Desember 2000 pada dasarnya ditentukan sebagai berikut :
- PKP rekanan wajib membuat Faktur Pajak Standar pada saat melakukan
penagihan kepada Pemungut PPN menggunakan nilai kurs menurut Keputusan
Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak;
- Besarnya pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah
dengan menggunakan nilai kurs menurut Keputusan Menteri Keuangan pada
saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut PPN;
- Dalam hal kurs dalam Faktur Pajak berbeda dengan kurs pada saat penerimaan
pembayaran, Pemungut PPN harus menyesuaikan nilai kurs dalam Faktur
Pajak dengan nilai kurs menurut Keputusan Menteri Keuangan dengan cara
mencoret angka yang akan diperbaiki kemudian mencantumkan angka yang
seharusnya serta membubuhkan paraf di samping angka yang diperbaiki (tidak
boleh dihapus atau di tippex).
c) Dalam lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-12/PJ./1995
tanggal 12 Februari 1995 yang memuat “Buku Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN
1195” di halaman 10 ditegaskan bahwa penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut
PPN dilaporkan oleh PKP Rekanan dalam SPT Masa PPN pada Masa Pajak
diteri-ma pembayaran.
Mekanisme ini tidak diserap dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 yang mencabut dan menggantikan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000. Dalam peraturan Direktur
Jenderal Pajak yang baru ini tidak memberi kemungkinan bagi Pemungut PPN untuk
menyesuaikan nilai kurs dalam Faktur Pajak dengan nilai yang berlaku pada saat
pembayaran yang dilakukan dengan cara mencoret angka dalam Faktur Pajak.
Demikian juga Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ./2006 tanggal
(1107) yang dilengkapi dengan lampiran “Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN 1107”
tidak mengadaptasi ketentuan yang terdapat dalam halaman 10 “Buku Petunjuk
Pengisian SPT Masa PPN 1195”. Di halaman 13 buku buku petunjuk ini ditegaskan
bahwa penyerahan kepada Bendaharawan Pemerintah dilaporkan dalam Masa Pajak
diterbitkannya Faktur Pajak kepada Bendaharawan Pemerintah. Ketentuan ini mulai
berlaku pada Masa Pajak Januari 2007.
3.2. Latihan 2
Lingkarilah pernyataan yang paling benar diantara empat pernyataan dari tiap
nomor soal dibawah ini.
1) Pasal 13 UU PPN 1984 memilah-milah Faktur Pajak ke dalam ………
a. Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana
b. Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Khusus, Faktur Pajak Gabungan
c. Faktur Pajak Standar, Dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar, Faktur
Pajak Sederhana
a. Faktur Pajak Standar, Dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar, Faktur
Pajak Gabungan, Faktur Pajak Sederhana.
2) Karena penandatangan Faktur Pajak tidak harus sama dengan pihak yang
menandata-ngani SPT, maka menanda tamenandata-ngani Faktur Pajak diperbolehkan …………..
a. menggunakan cap tanda tangan apabila PKP yang berwenang sedang berhalangan
b. menggunakan scaning tanda tangan PKP yang berwenang, bagi Faktur Pajak yang
dibuat menggunakan printer komputer
c. PKP yang berwenang dapat menunjuk pejabat lain dengan surat penunjukkan
d. dilakukan oleh pejabat pengganti a.n. PKP yang sedang berhalangan
3) Pabrik Jamu cap "Manjur" memasarkan jamu hasil produksinya melalui pedagang
eceran yang banyak tersebar di desa-desa. Penyerahan dilakukan secara kanvasing,
sehingga pada dasarnya Pabrik Jamu cap "Manjur" ………..
a. dapat membuat Faktur Pajak Sederhana
b. wajib membuat Faktur Pajak Sederhana
c. wajib membuat Faktur Pajak Standar
4) Mobil keliling jamu cap “Pastenan” menyerahkan sejumlah jamu kepada konsumen.
Atas kegiatan menyerahkan jamu menggunakan mobil keliling ini …………..
a. tidak boleh membuat Faktur Pajak Sederhana
b. wajib membuat Faktur Pajak
c. boleh membuat Faktur Pajak Sederhana
d. tidak boleh membuat Faktur Pajak Sederhana
5) Direksi PT Ribut pada tanggal 12 Juli 2004 melakukan perjalanan dinas ke kantor
cabang di Makassar menggunakan angkutan udara milik “Garuda”. PPN yang
tercan-tum dalam tiket tersebut bagi PT Ribut merupakan Pajak Masukan yang …………..
a. tidak dapat dikreditkan karena tiket merupakan Faktur Pajak Sederhana
b. tidak dapat dikreditkan karena dalam tiket tidak tercantum nama PT Ribut
c. tidak dapat dikreditkan karena pada tiket tidak tercantum NPWP PT Ribut
d. dapat dikreditkan karena tiket ini diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar
6) PT SAPALU selaku pedagang besar elektronika yang sudah dikukuhkan sebagai PKP
menyerahkan sejumlah OHP kepada PUSTEKOM DEPDIKNAS, maka……….
a. tidak perlu membuat Faktur Pajak karena penyerahan kepada instansi Pemerintah
b. cukup membuat Faktur Pajak Sederhana saja instansi pemerintah tidak punya
NPWP
c. wajib membuat Faktur Pajak karena PT SAPALU adalah PKP
d. tidak perlu membuat Faktur Pajak karena penyerahan kepada pemerintah tidak
terutang PPN.
7) Sebuah kuitansi yang di dalamnya tertulis kalimat “telah diterima uang sejumlah
Rp110.000.000,00 untuk pembelian 10 buah komputer” …………..
a. dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar
b. dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana
c. tidak dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar
d. tidak dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
8) Kuitansi tanda penerimaan pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi yang
a. Faktur Pajak Standar
b. Faktur Pajak Sederhana
c. Faktur Pajak Gabungan
d. Faktur Pajak Biasa
9) PT Media yang sudah dikukuhkan sebagai PKP menyerahkan komputer kepada
Pemda Bekasi pada tanggal 12 Mei 2006. Penagihan disampaikan pada tanggal 28
Juni 2006. Pembayaran diterima oleh PT Media pada tanggal 21 Juli 2006. PT
Medikom membuat Faktur Pajak Standar paling lambat pada :
a. 12 Mei 2006
b. 28 Juni 2006
c. 21 Juli 2006
d. 30 Juni 2006
10) Pada saat PT IMPORTA melakukan impor BKP, dokumen impor yang memenuhi
syarat berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar, adalah ………
a. INVOICE & SSPCP
b. B/L dan SSPCP
c. PIB dan SSPCP
d. PEB dan SSPCP
3.3. Rangkuman
Pasal 1 Angka 3 UU PPN 1984 merumuskan bahwa Faktur Pajak adalah bukti
pungutan pajak. Kemudian dalam memori penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984
ditegaskan bahwa Faktur Pajak merupakan sarana untuk mengreditkan Pajak Masukan.
Dari dua ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa Faktur Pajak memiliki 3 macam fungsi,
yaitu :
b. sebagai bukti pungutan pajak ditinjau dari sudut pandang pembuatnya;
c. sebagai bukti pembayaran pajak bagi pihak yang terpungut;
d. sebagai sarana pengreditan Pajak Masukan ditinjau dari sudut :
1) PKP pembeli BKP/ Penerima JKP;
2) PKP yang mengimpor BKP;
3) PKP yang memanfaatkan BKP tidak berwujud/JKP dari luar Daerah Pabean, di
Pasal 13 UU PPN 1984 membedakan tiga macam Faktur Pajak, yaitu Faktur Pajak
Standar, Dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak, dan Faktur Pajak Sederhana. Sedangkan
Faktur Pajak Gabungan sebenarnya adalah Faktur Pajak Standar yang dibuat untuk
seluruh penyerahan BKP/JKP dalam satu Masa Pajak kepada Pemberi BKP atau
Penerima JKP yang sama.
Sejak 1 Januari 2007, mulai berlaku Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 yang mencabut dan menggantikan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 beserta perubahannya.
Pencantuman NPPKP dalam formulir Faktur Pajak Standar yang merupakan
lam-piran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tidak memiliki
landasan yuridis, karena :
a. NPPKP sudah dihapus eksistensinya dari Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 dengan UU
Nomor 18 Tahun 2000 sejak 1 Januari 2001;
b. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 kedudukannya lebih
rendah dari pada UU Nomor 18 tahun 2000 sehingga tidak boleh menghidupkan lagi
terminologi yang sudah dihapud oleh undang-undang ini.
c. Berdasarkan Pasal 13 ayat (5) UU PPN 1984 dan Pasal 1 angka 3 Peraturan Di-rektur
Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006, NPPKP bukan merupakan salah satu
keterangan minimal yang wajib dicantumkan dalam Faktur Pajak Standar.
Berdasarkan argumentasi tersebut dan Pasal 5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No-mor
PER-159/PJ/2006, pencantuman NPPKP dalam Faktur Pajak Standar bukan fak-tor untuk
menentukan kelengkapan sebuah Faktur Pajak Standar, sehingga meskipun Faktur Pajak
Standar tanpa mencantumkan NPPKP, tidak berakibat menjadi Faktur Pajak Standar yang
cacat.
Faktur Pajak Standar wajib mencantumkan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang
strukturnya telah ditentukan dalam peraturan dan ditandatangani oleh pejabat yang
ber-wenang. Pejabat penandatangan dan contoh tandatangannya wajib diberitahukan secara
tertulis kepada Kepala KPP yang terkait sebelum pejabat dimaksud menandatangani
4. KEGIATAN BELAJAR 3
PENGREDITAN PAJAK MASUKAN
4.1. Uraian, contoh dan non contoh
a. Dasar Hukum Pengreditan Pajak Masukan
Pasal 1 angka 24 merumuskan bahwa Pajak Masukan adalah PPN yang
seharus-nya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan atau penerimaan JKP dan atau
pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan JKP
dari luar Daerah Pabean dan atau impor BKP. Yang patut memperoleh perhatian lebih
dari pada yang lain adalah kalimat “seharusnya sudah dibayar” yang memberi indikasi
bahwa penentuan eksistensi Pajak Masukan berbasis akrual sama dengan eksistensi
Pajak Keluaran.
Pasal 1 angka 25 merumuskan Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib
dipu-ngut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, atau ekspor BKP.
Kalimat “PPN terutang yang wajib dipungut” mempunyai pengertian berbeda dengan
“PPN terutang yang sudah dipungut”. Hal ini sejalan dengan ketentuan saat pajak
terutang yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) yang lebih menekankan pada saat
dilakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP tanpa dikaitkan dengan pembayaran.
Penjabaran lebih lanjut tentang mekanisme pengreditan Pajak Masukan diatur dalam :
1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 553/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah
dengan Kepuutusan Menteri Keuangan Nomor 252/KMK.03/2002 tanggal 31 Mei
2002 yang mengatur tentang pedoman pengreditan Pajak Masukan bagi PKP yang
penghitungan PPh-nya menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (7) UU PPN 1984.
2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember
2000 yang mengatur tentang pedoman penghitungan kembali Pajak Masukan yang
telah dikreditkan sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN 1984.
b. Mekanisme Pengreditan Pajak Masukan
Pasal 9 ayat (2) UU PPN 1984 mengatur prinsip dasar pengreditan Pajak Masukan
yang menentukan bahwa Pajak Masukan dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk
konsekuensi dari pasal 1 angka 24 dengan Pasal 11 ayat (1) UU PPN 1984, maka
dengan Pasal 9 ayat (8) dibuka kemungkinan melakukan pengreditan dalam Masa Pajak
yang tidak sama.
Pengreditan Pajak Masukan tidak harus menunggu BKP/JKP yang terkait sudah
menghasilkan Pajak Keluaran. Dalam Pasal 9 ayat (2a) ditentukan bahwa meskipun
Pajak Keluarannya belum ada, Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.
Kriteria Pajak Masukan yang dapat dikreditkan secara tersamar tersirat dalam
Pasal 9 ayat (5) yaitu Pajak Masukan untuk perolehan BKP/JKP yang digunakan untuk
melakukan kegiatan usaha penyerahan kena pajak. Sebaliknya dalam hal BKP/JKP
yang diperoleh digunakan untuk melakukan kegiatan yang tidak langsung berhubungan
dengan kegiatan usaha penyerahan kena pajak, maka Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN 1984.
Kriteria Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan ditentukan secara limitatif
dalam Pasal 9 ayat (8) yaitu Pajak Masukan:
1) untuk perolehan BKP/JKP atau sehubungan dengan pemanfaatan BKP tidak
berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean, sebelum dikukuhkan sebagai PKP;
2) untuk perolehan BKP atau JKP yang digunakan tidak berhubungan langsung dengan
kegaiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak.
3) untuk pembelian dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan, jip, station
wagon, van, dan kombi kecuali sebagai barang dagangan atau untuk disewakan
4) untuk perolehan barang atau jasa yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana
5) untuk perolehan BKP/JKP yang tercantum dalam Faktur Pajak Sederhana
6) yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak Standar yang cacat
7) yang tercantum pada SSP atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar
Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 13
ayat (6);
8) untuk perolehan BKP/JKP yang ditagih dengan penerbitan surat ketetapan pajak;
9) untuk perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan, ditemukan
pada waktu dilakukan pemeriksaan.
Contoh perbuatan hukum sehubungan dengan pengreditan Pajak Masukan:
a) Dalam suatu pemeriksaan SPT Masa PPN Januari 2007, ditemukan Faktu Pajak
Masukan tertanggal 28 Oktober 2006. Dalam Faktur Pajak dapat diketahui bahwa
PKP Penjual pada tanggal 30 Juni 2006. Berdasarkan catatan yang tercantum
dalam pembukuannya ternyataan pembayaran baru dilakukan oleh PKP Pembeli
pada tanggal 17 Januari 2007. Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak
ini dikreditkan dalam SPT Masa PPN Januari 2007.
Penyerahan BKP yang dilakukan oleh PKP Penjual pada tanggal 30 Juni 2006,
Faktur Pajak Standar-nya boleh dibuat paling lambat akhir bulan berikutnya setelah
bulan dilakukan penyerahan, berarti paling lambat dibuat pada tanggal 31 Juli
2006.Ternyata Faktur Pajak Standar ini baru dibuat tanggal 28 Oktober 2006, berarti
dalam bulan ketiga setelah batas waktu pembuatan Faktur Pajak yaitu bulan Oktober
2006. (Cara menghitungnya, bulan I : Agustus; bulan II: September; bulan III :
Oktober 2006).
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-424/PJ./2002 tanggal
16 September 2002, Faktur Pajak Standar yang dibuat terlambat namun masih
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah batas waktu pembuatan Faktur Pajak,
Pajak Masukan yang tercantum di dalamnya dapat dikreditkan oleh PKP Pembeli
BKP/Penerima JKP. Berarti Pajak Masukan dalam Faktur Pajak Standar tertanggal
28 Oktober 2006, dapat dikreditkan oleh PKP Pembeli.
Kemudian Pasal 9 ayat (9) UU PPN 1984 mengatur bahwa Pajak Masukan yang
belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama,
dikredit-kan pada Masa Pajak berikutnya atau selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai
biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Faktur Pajak tertangggal 28 Oktober 2006, diterima oleh PKP Pembeli dalam bulan
Januari 2007. Berarti dalam bulan ketiga setelah akhir Masa Pajak yaitu bulan
Oktober 2006 adalah bulan Januari 2008. Oleh karena Pajak Masukan dalam Faktur
Pajak tersebut dapat dikreditkan dalam SPT Masa PPN Januari 2008.
30/10 17/1
Batas waktu pembuatan FP