1
RELATIONSHIP LENDING DI PASAR KUTOARJO: MENGUAK EKSISTENSI
RENTENIR
Ardi Surya Satria Ridwan
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga [email protected]
Apriani Dorkas Rambu Atahau
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe formation of relationship lending between moneylenders and small traders in the Pasar Kutoarjo by the scope of the relationship, the distance from the borrower, the frequency of contact and the exclusivity of lenders. This study uses primary data from moneylenders and small traders in Pasar Kutoarjo and analysed qualitatively. The results show that relationship lending in terms of the scope of the relationship, the distance from the borrower, the frequency of contact and the exclusivity of lenders between moneylenders and small traders in the Pasar Kutoarjo developed well. It supports the characteristics of microfinance institution as stated by financial service authority (OJK) pursuant Act number 1/2013 in terms of simple, quick and non written general procedures and loan agreement.
Keywords: money lenders, relationship lending, informal financial institution, analysis
PENDAHULUAN
2
Namun demikian, berdasarkan penelitian Bank Dunia yang telah melakukan kajian terkait dengan alternatif sumber dana dalam format yang disebut Global Financial Index (Global Findex) tahun 2012 terungkap “hanya 32 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses ke perbankan”. Akses disini dapat diartikan dalam fungsi untuk tujuan simpanan dan kredit. Kondisi ini diperkirakan berkaitan dengan suburnya pertumbuhan lembaga keuangan informal atau biasa disebut rentenir di daerah pasar-pasar pedesaan. (World Bank 2014).
Fenomena ini sejalan dengan hasil penelitian Nugroho (2001) yang menyatakan bahwa mayoritas pedagang kecil mengandalkan kredit dari lembaga keuangan informal yang mudah tanpa syarat dan jaminan. Sebaliknya Wahyudi (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa kebijakan perbankan Indonesia cenderung rumit untuk pedagang berskala kecil. Keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit kepada pedagang kecil karena bertujuan untuk mengurangi risiko kredit macet, hal ini pada gilirannya menyebabkan pedagang kecil memilih melakukan kredit melalui tawaran lembaga keuangan informal yang dikenal dengan istilah rentenir (Nugroho 2001). Meskipun dengan stereotipe masyarakat tentang rentenir sebagai lintah darat yang mengeksploitasi pedagang kecil dengan cara menarik bunga yang sangat tinggi dan dibukanya kredit lunak jangka pendek, ternyata tidak mengurangi minat masyarakat untuk meminjam kredit pada rentenir (Hari 2009). Rentenir sebagai lembaga informal di pasar-pasar pedesaan mudah membangun jaringan mulai dari mulut ke mulut sampai iklan yang beredar di jalan-jalan untuk mempromosikan usahanya sehingga memiliki banyak nasabah dengan persyaratan mudah, pencairan yang cepat dan tanpa jaminan (Qodarini 2013).
3
senilai sepuluh persen. Hal ini dikarenakan setiap kredit sebesar Rp 1.000.000 maka nasabah harus mengembalikan sebesar Rp 1.100.000. Atau “ngrolasan”, berarti ditunjukkan dengan dua belasan untuk tingkat bunga kredit yaitu dua puluh persen, karena dengan kredit yang sama, nasabah harus mengembalikan uang sebesar Rp 1.200.000.
Ditinjau dari penelitian sebelumnya, lebih banyak penelitian yang fokus kepada pendekatan kredit di lembaga keuangan formal. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Cole et al. (2004) dan Morduch (1999) menyatakan bahwa ada perbedaan pendekatan yang digunakan oleh bank besar dan bank kecil dalam proses evaluasi persetujuan aplikasi kredit mikro dan kecil. Disampaikan pula dari hasil studinya Berger et al. (2005) dan Sihaloho (2011) mengenai pendekatan yang dilakukan oleh bank besar yaitu menggunakan kriteria kuantitatif standar bersumber dari laporan keuangan debitur disertai laporan pendukung lainnya, sementara bank kecil dan koperasi menggunakan kriteria kualitatif yang diperoleh dari informasi di lapangan yang menggambarkan karakter debitur dan asesmen terhadap aplikasi kredit. Oleh karena itu, yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini lebih berfokus pada lembaga keuangan informal khususnya rentenir dengan melihat pendekatan yang dilakukan dalam pemberian kredit kepada pedagang kecil yang didasarkan pada hubungan kedekatan atau relationship lending.
Kajian penelitian ini dilaksanakan di Pasar Kutoarjo tepatnya di Kabupaten Purworejo yang memiliki 263 pedagang kecil (Dikoperindagpar 2014). Banyaknya jumlah pedagang serta ditunjang lokasi pasar yang dekat pusat pemukiman warga Kutoarjo menjadikan Pasar Kutoarjo cukup ramai dan padat, baik pagi ataupun siang hari. Padatnya aktivitas ekonomi yang terjadi didalam pasar tersebut menjadikan interaksi yang terjadi antar pelaku ekonomi semakin kompleks dan heterogen. Begitupun dengan aspek permodalan para pedagang pasar yang banyak menggunakan modal sendiri dan berhutang cenderung kepada rentenir (Nugroho 2001). Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka persoalan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimana gambaran terbentuknya relationship lending antara rentenir dan pedagang kecil di Pasar Kutoarjo berdasarkan ruang lingkup hubungan, jarak dari peminjam, frekuensi kontak dan eksklusifitas pemberi pinjaman?
4
ingin dicapai adalah: (1) Bagi peneliti dan masyarakat umum, penelitian ini akan menambah wawasan mengenai gambaran relationship lending yang dapat dikaji implementasinya pada lembaga keuangan informal yang beroperasi di pasar tradisional (2) Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan masukan mengenai perlunya aksesibilitas masyarakat pada lembaga keuangan formal dan pentingnya pengawasan pada lembaga keuangan informal.
TELAAH PUSTAKA Keputusan Pendanaan
Keputusan pendanaan menurut Suad dan Pudjiastuti (2006) adalah menyangkut keputusan tentang bentuk dan komposisi pendanaan yang dipergunakan untuk usaha. Keputusan ini merupakan keputusan manajemen keuangan dalam melakukan pertimbangan dan analisis perpaduan antar sumber-sumber dana yang paling ekonomis bagi usahanya untuk mendanai kebutuhan-kebutuhan baik untuk investasi serta kegiatan operasional usaha. Keputusan pendanaan ini sering disebut juga sebagai kebijakan struktur modal (Harmono 2011). Pada keputusan ini pemilik usaha dituntut untuk mempertimbangkan dan menganalisis kombinasi dari sumber-sumber dana yang ekonomis bagi usahanya guna membelanjakan kebutuhan-kebutuhan investasi serta usahanya.
Lembaga Keuangan Informal
Menurut UU Nomor 21 Tahun 2011 bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan seperti lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank. Lalu sejak tanggal 8 Januari 2013 dikeluarkan kembali Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang akan menjadi diawasi oleh OJK. Di Indonesia lembaga ini terutama beroperasi di pedesaan atau masyarakat kelompok bawah, umumnya prosedur serta perjanjian peminjaman amat cepat, sederhana dan berdasarkan perjanjian lisan atau tertulis yang sederhana (OJK 2014). Namun pada saat ini kondisinya, terjadi perubahan dimana selain lembaga keuangan mikro hadir pula lembaga keuangan informal yang melakukan pemungutan dana pihak ketiga dan menyalurkan dana tersebut untuk pihak ketiga pula. Sehingga atas hal ini peran OJK sebenarnya sangat dibutuhkan.
5
lembaga keuangan informal yang ada di Indonesia antara lain riba dan ijon. Usaha riba adalah usaha memberi kredit dengan mengenakan bunga yang sangat tinggi, sehingga sering disebut sebagai rentenir. Praktik ijon terjadi di kalangan petani, dimana pemodal memberikan dana kepada petani, dengan syarat hasilnya nantinya harus dijual kepada pemodal. Yang menjadi persoalan dalam praktik ijon adalah seringkali harga jual hasil petani sangat rendah dibanding harga pasar yang berlaku.
Di satu sisi keberadaan lembaga keuangan informal ini amat menolong, karena menjangkau kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke lembaga keuangan formal (Sirait 2015). Di sisi lain biaya modal yang dibebankan kepada peminjam sangat tinggi. Misalnya, jika melalui perbankan masyarakat dapat memperoleh kredit dengan bunga sekitar dua sampai tiga persen per bulan, melalui riba beban bunga yang dipinjamkan lebih besar dari lima persen per bulan. Sebenarnya ada juga lembaga keuangan informal yang tidak menjerat namun umumnya kurang ekonomis untuk digunakan sebagai sumber dana usaha, yaitu lembaga arisan. Relationship Lending
6
Penyaluran kredit mikro dan kecil dengan menerapkan teknik pendekatan relationship lending memiliki kelebihan yaitu akan berdampak kepada ketersediaan dana kredit dan biaya (bunga) kredit yang diberikan. Berger et al. (2001) menambahkan bahwa melalui kedekatan hubungan dapat mengatasi masalah asimetri informasi, karena dengan dasar kedekatan hubungan tersebut maka informasi yang diperoleh akan lebih jelas antara kedua belah pihak serta dapat menurunkan biaya (bunga) kredit menjadi lebih murah dan mempengaruhi ketersediaan dana kredit menjadi lebih besar. Bahkan lebih dari itu debitur dapat dimungkinkan memperoleh berbagai jasa keuangan lainnya yang diperlukan, selain perolehan pinjaman untuk modal usahanya (Sunarto 2007). Hal ini sebagaimana disampaikan pula oleh Berger dan Udell (2002) dari hasil studinya yang mengatakan:
”Under relationship lending, banks acquire information over time through contact with the firm, its owner, and its local community on a variety of dimensions and use this information in their dicisions about the availability and terms of credit to the firm. Recent empirical evidence provides support for the importance of a bank relationship to small businesses in terms of both credit availability and credit terms such as loan interest rates and collateral requirements.”
Lebih detail lagi Berger dan Udell (2002) menyatakan bahwa relationship lending secara empiris berhubungan dengan tingkat bunga yang lebih rendah, mengurangi permintaan akan jaminan atau collateral, pengurangan terhadap hutang dagang, perlindungan terhadap pergerakan tingkat bunga, dan penambahan ketersediaan dana kredit. Berdasarkan penelitian lainnya dari Berger et al. (2005) dikatakan bahwa bank besar di Amerika dalam proses persetujuan kredit yang diajukan oleh calon debiturnya menggunakan pendekatan secara kuantitatif berdasarkan penilaian atas laporan keuangan debitur. Hasil studi di Amerika tersebut, digunakan sebagai rujukan oleh Uchida et al. (2007) untuk melihat penyaluran kredit berdasarkan relationship lending di Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa lembaga keuangan berskala kecil di Jepang dalam proses persetujuan kreditnya mengandalkan pendekatan atau relationship lending berdasarkan informasi yang diperoleh dari para pihak-pihak terkait. Adapun hasil studi di Jepang tersebut menghasilkan suatu temuan yang membuktikan bahwa lembaga keuangan berskala kecil di Jepang juga menggunakan pendekatan relationship lending untuk menyalurkan kredit SMEsnya, sebagaimana hasil studi Uchida et al. (2007) tersebut yang mengatakan:
“Our results indicate that small-scale creditors tend to have stronger relationships with their borrowers (SMEs) in terms of the scope of relationship, the distance from the borrower, the frequency of contact, and the exclusivity of lenders.”
7
yang sudah dilakukan dalam penerapan relationship lending membawa konsekuensi bagi lembaga keuangan informal seperti rentenir untuk mampu memutuskan melalui soft information dalam proses persetujuan kredit. Dalam hal ini, kredit yang disalurkan kreditur khususnya rentenir didasarkan ruang lingkup hubungan, jarak dari peminjam, frekuensi kontak dan eksklusifitas pemberi pinjaman. (a) Cakupan kedekatan hubungan antara kreditur dengan debiturnya atau the scope of relationship, (b) Kedekatan lokasi antara kreditur dengan debiturnya atau the distance from the borrower, (c) Frekuensi pertemuan antara kreditur dengan debiturnya atau the frequency of contract, dan (d) Eksklusifitas lembaga keuangan sebagai kreditur atau the exclusivity of lenders.
Ditinjau berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qodarini (2013), kreditur khususnya rentenir menunjukkan interaksi yang intensif pada para nasabahnya serta memberikan kesan yang baik terhadap para nasabah maupun calon nasabahnya. Kreditur memiliki cara yaitu dengan menjalin hubungan yang erat dan kekeluargaan melalui “jemput bola” dengan mengunjungi para nasabah maupun calon nasabahnya. Selain itu, mengajak berkomunikasi secara informal dengan sistem kepercayaan menjadikan nasabahnya tidak lagi enggan untuk meminta pinjaman walaupun dengan bunga yang relatif tinggi. Qodarini (2013) juga menyebutkan mempertahankan fleksibilitas pinjaman merupakan suatu hal yang penting bagi kreditur untuk menarik nasabahnya. Dalam hal ini, kreditur seperti rentenir memberikan persyaratan tanpa jaminan, memperbolehkan menunggak pembayaran, dan sistem jemput bola. Bahkan bila melunasi kredit tepat waktu terkadang nasabah memperoleh reward. Pada proses angsuran pinjaman yang fleksibel tidak ada ketentuan jangka waktu pengembalian yang mengikat serta dapat diangsur sewaktu-waktu, sehingga nasabah tidak terbebani dengan disiplin pembayaran angsuran dan batas pengembalian serta pembebanan denda keterlambatan seperti dalam sistem lembaga keuangan formal.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian
8 Jenis dan Sumber Data
Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data yang didapat oleh penulis dengan turun langsung mencari informasi dengan teknik wawancara terstruktur kepada informan yang mampu memberikan informasi yang akurat sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data
Ketertutupan aktivitas rentenir dengan nasabahnya terhadap pihak luar, dalam arti untuk didekati dan diwawancarai secara formal, merupakan fenomena yang unik dan sensitif jika dikaitkan dengan keuangan. Untuk itu, sebelum melakukan penelitian dilakukan observasi terlebih dahulu di lokasi penelitian. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode analisis kualitatif melalui cara patisipatif. Metode analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang digambarkan dengan menceritakan fenomena yang terjadi pada subyek yang diamati. Dalam hal ini, peneliti terjun menyatu bersama rentenir dan pedagang kecil sebagai informan. Sehingga dengan metode partisipatif, dapat mengeliminisasi hal-hal yang dapat memicu masalah sensitif dari rentenir dan pedagang kecil yang akan diteliti.
Pendekatan penelitan yang digunakan adalah dengan cara pemahaman terhadap fenomena yang terjadi. Pemahaman terhadap fenomena dan perilaku yang akan dijadikan informan tidak sebatas tentang bagaimana masyarakat berperilaku, namun juga tentang makna yang tersembunyi di dalamnya. Pemahaman makna yang bertransformasi ke wujud perilaku ini dilakukan dengan cara pendekatan fenomenologis, dimana kajian tersebut menggunakan intuisi sebagai sarana untuk mencapai kebenaran (Sulistiani 2008) Informan dipilih dengan cara purposive sampling, dimana informan dipilih sesuai dengan kriteria-kriteria yang layak untuk dijadikan sebagai informan.
1) Tiga rentenir (inisial (N), (K), (S))1
2) Enam pedagang kecil di Pasar Kutoarjo (inisial (P), (HD), (B), (HT), (KR), (J))
Untuk rentenir dipilih yang sudah melakukan usahanya >lima tahun dengan asumsi telah memiliki banyak pengalaman dan informasi mengenai sistem pinjam-meminjam uang/barang di Pasar Kutoarjo serta untuk nasabah yang dipilih adalah nasabah yang minimal sudah melakukan usaha berdagang di Pasar Kutoarjo >dua tahun dan pernah meminjam rentenir >satu kali sehingga memiliki banyak informasi terkait data yang dibutuhkan pada penelitian ini.
9
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode penelitian observasi partisipatif, dimana peneliti terjun secara langsung di dalam kegiatan di pasar tersebut. Di sela- sela kegiatan tersebut, peneliti akan mengobservasi, dan mewawancarai subjek penelitian secara terstruktur. Setelah data terkumpul, maka proses pengecekan dan validasi data untuk menunjang konsistensi data terhadap fenomena dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Triangulasi, dimana teknik ini digunakan untuk menyocokkan data dengan cara wawancara tak berstruktur dari berbagai sumber dalam waktu, tempat, dan orang yang berbeda.
2) Peer Examination, dengan cara meminta bantuan kolega melalui diskusi untuk memberikan komentar.
3) Audit trail, pengenalan terhadap lokasi penelitian.
4) Multi-side design, mengumpulkan seluruh data, termasuk juga yang terlibat sebagai subjek penelitian, yaitu gender, usia, di berbagai tempat dan situasi. (Bungin 2011)
Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka dilakukan wawancara terstruktur ke pedagang kecil yang berlokasi di Pasar Kutoarjo berdasarkan kerangka penelitian berikut:
Adapun pengukuran variabel dalam penelitian ini mengacu pada penelitian Uchida et al. (2007) adalah sebagai berikut:
10 Tabel 1
Pengukuran Relationship Lending
No Variabel Definisi Indikator Empiris
1 Ruang lingkup hubungan (The scope of relationship)
Cakupan kedekatan hubungan antara kreditur dengan debiturnya
Kedekatan hubungan antara rentenir dan debitur (the scope of relationship) dapat dibuktikan dengan:
- Pinjaman diberikan secara bergilir. Atas pelunasan kredit sebelumnya bisa mengajukan kredit kembali dengan kenaikan plafon dan jangka waktu pinjaman dapat lebih panjang. - Adanya ketertarikan sosial yang
tinggi, seperti: kepercayaan, tenggang rasa, jaminan sosial, dll. - Kreditur lebih mengenal kondisi
usaha debitur.
- Persyaratan pinjaman lunak/tanpa jaminan, proses dan persetujuan pinjaman lebih cepat dan mudah.
2
Jarak dari peminjam (The distance from the
borrower)
Kedekatan lokasi antara bank dengan debiturnya
Kedekatan jarak lokasi kreditur dengan debitur (the distance from the borrower) dibutktikan melalui:
- Sistem pinjaman debitur yang dibangun atas dasar kedekatan lokasi tempat tinggal, kesamaan profesi/usaha/gender, kedekatan kelompok usia, kelompok arisan, dll.
- Rentenir yang berada dilokasi sama dengan tempat usaha debitur, misal rentenir di pasar.
3 Frekuensi kontak (The frequency of contact)
Frekuensi pertemuan antara kreditur dengan debiturnya
Frekuensi pertemuan antara debitur dengan kreditur (the frequency of contact) dibuktikan melalui:
- Sistem “jemput bola” yang dilakukan oleh rentenir untuk penarikan angsuran pinjman secara harian, mingguan, bulanan, musiman atau sesuai kesepakatan. Umumnya waktu penarikan angsuran pinjaman dapat juga digunakan sekaligus untuk proses pengajuan/persetujuan kredit.
4
Ekslusifitas pemberi pinjaman (The exclusivity of lenders)
Eksklusifitas lembaga keuangan sebagai kreditur
Jumlah pemberi pinjaman per debitur (the exclusivity of lenders) dibuktikan melalui:
- Debitur meminjam kepada satu kreditur saja.
11
- Fasilitas kredit (diluar modal kerja) yang ditawarkan oleh kreditur kepada debitur yang dapat melunasi pinjaman selalu secara tepat waktu.
- Pemberian rewards atau potongan bunga kepada debitur yang dapat melunasi pinjaman sebelum jatuh tempo atau lebih cepat.
Sumber: Uchida, Udell, Watanabe, 2007
Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Moleong (2002) merupakan proses mengatur urutan data, kemudian mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan urutan dasar. Sedangkan menurut Bogdan & Biklen bahwa “Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensikanya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain” (Moleong 2005).
Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik analisa data dari Miles dan Huberman yaitu interactive mode. Dengan mengunakan penelitian kualitatif. Data-data yang telah didapat kemudian diklarifikasikan ke dalam tabel-tabel. Untuk kemudian dianalisa menggunakan proses penalaran secara ilmiah, penuturan, penafsiran, perbandingan dan kemudian penggambaran dari yang terjadi secara apa adanya, guna mengambil kesimpulan dan memberikan saran-saran dengan cara menguraikan dengan kata-kata. Pada metode analisa data ini terdiri tiga komponen yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan serta pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusions). (Pawito 2007)
12 Keterangan :
1. Reduksi data (data reduction). Disini, peneliti mengumpulkan informasi-informasi yang penting yang terkait dengan masalah penelitian, dan selanjutnya mengelompokkan data atau pengumpulan data tersebut sesuai dengan topik masalahnya.
2. Penyajian data (data display). Data yang terkumpul dan telah dikelompokkan itu kemudian disusun sistematis sehingga peneliti dapat melihat dan menelaah komponen-komponen penting dari sajian data.
3. Penarikan dan pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusions). Pada tahap ini, peneliti melakukan interpretasi data sesuai dengan konteks permasalahan dan tujuan penelitian. Dari interpretasi yang dilakukan akan diperoleh kesimpulan dalam menjawab masalah penelitian.
Untuk menghindari adanya perbedaan pemahaman atau informasi yang diberikan antara informan (tiga rentenir dan enam nasabah) maka peneliti pada akhir penelitian dilakukan triangulasi dengan metoda member check yang merupakan proses uji pemahaman dan pengecekan data yang dilakukan oleh peneliti kepada informan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh telah sesuai dengan yang disampaikan oleh informan. Uji keabsahan atau validitas ini dilakukan dengan cara mengonfrimasi kembali kepada informan untuk memastikan kembali hasil akhir penelitian terkait dengan informasi yang telah informan berikan sebelumnya dalam proses wawancara. Latar belakang rentenir dan nasabah yang menjadi informan juga ditanyakan agar memperoleh informasi yang menyeluruh tentang identitas mahasiswa. Selanjutnya hasil wawancara diketik dan dianalisis lebih lanjut.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Dari Ruang Lingkup Hubungan
13
Kutoarjo diminati oleh pedagang kecil dikarenakan peminjaman melalui bank harian (koperasi, BMT, dll) tidak perlu mengenal terlebih dahulu tapi prosesnya cukup berbelit (FC KTP, tidak langsung cair dananya, potongan adminsitrasi, dsb). Ketika memberikan pinjaman kepada nasabah rentenir melihatnya tanpa kriteria khusus, hanya bermodal kepercayan. Bahkan nilai pinjaman yang diberikan maksimal bisa mencapai Rp 20.000.000 tanpa jaminan apapun. Sehingga first impression dijadikan informasi pertama kali rentenir memberikan kredit ketika belum mengenal nasabahnya. Dalam hal ini, rentenir mengutamakan intuisi sebagai sumber utama melakukan analisis kredit.
Pada transaksi pinjam meminjam dana, rentenir akan selalu berhadapan dengan risiko gagal bayar (default risk). Risiko terjadi ketika debitur tidak membayarkan bunga (imbal jasa) atau bahkan tidak mengembalikan pokok pinjaman sebagaimana yang tertera di perjanjian awal yang disepakati bersama. Upaya untuk meminimalkan default risk dimulai dari tahap analisis kredit. Dalam praktik perbankan pada umumnya calon debitur dianalisis dalam hal character, capacity, capital, collateral, condition (5 C’s) untuk menentukan apakah calon debitur tersebut layak mendapatkan kredit. Sedangkan dari pendekatan manajemen risiko, dalam dunia perbankan dikenal metode kualitatif untuk mengukur risiko calon debitur. Dalam penerapan motode tersebut dibutuhkan semua informasi mengenai calon debitur (termasuk mengenai 5 C’s) yang berupa data laporan keuangan dan semua informasi yang bisa diperoleh. Setelah itu, berdasarkan kumpulan informasi tersebut seorang banker dengan menggunakan keahliannya akan memutuskan tingkat risiko dari calon debitur. Ketepatan analisis tersebut sangat tergantung dari pengalaman dan bersifat sangat subyektif. Tahap akhir dari metode qualitative ini, bisa disamakan dengan ‘metode analisis’ pelaku rentenir dalam menentukan ‘kelayakan’ calon nasabahnya. Pada praktik rentenir, meskipun calon peminjam tidak mempunyai informasi laporan keuangan atau data tertulis yang menunjang pengambilan keputusan oleh rentenir mengenai disetujui atau tidak permintaan pinjaman, seorang rentenir tetap melakukan ‘analisis kredit’. Analisis kredit dilakukan berdasarkan ‘intuisi’ untuk ‘membaca’ kesungguhan dan karakter dari peminjam. Keahlian menganalisis dengan memakai intuisi didapat berdasarkan pengalaman dan terasah dengan semakin seringnya berinteraksi dengan para peminjam. Seperti yang diceritakan oleh rentenir berinisial (K) sebagai berikut:
14
awak iki, mbujuki opo ora. Kalih yen bahasa jawine taksih kenthel niku rata -rata taksih lugu. (melihat wajah orang tersebut saja, wajahnya orang nakal dan tidak saya tahu, sungguh cirinya terletak pada mata. Lha iya, pada mulanya yang enak atau tidak ya, jadi [misalnya] Anda meminjami uang, anda beri pertanyaan terlebih dahulu. Anda lihat sungguh-sungguh, maksudnya sungguh-sunguh, sungguh-sungguh bahwa orang ini ndhelewer atau tidak. Maksudnya itu orang tersebut betul-betul pinjam kepada kita, berbohong atau tidak)”. Apabila masih pandai berbahasa jawa rata -rata masih jujur.
Dari pengalaman rentenir (K), ciri dari seseorang yang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan dana dapat dilihat dari mata calon nasabah tersebut. Sehingga dengan intuisi tersebut risiko dapat terminimalisir. Selain itu, rentenir (K) juga melihat tanda-tanda lain terhadap calon nasabah.
“Kulo yen rupane tiyang sampun gawe ragu-ragu, ningali mawon niku mboten wani ngutangi dhuwik. Lha kulo kathah sing ilang riyin niku. Lha niku tiyang pinter! Oleh utangan emoh nyaur. Benten tiyang pinter rupanya ragu-ragu”. (melihat yang demikian tidak usah diberi dana. Saya banyak kehilangan dahulu itu. Lha itu yang disebut dengan orang pinter! Dapat hutangan tidak mau membayar. Berbeda antara orang pinter dan orang ngerti iku, harus teliti dan waspada).
Pengakuan informan pelaku rentenir tersebut menjelaskan bahwa proses analisis kredit yang dilakukan ditekankan pada analisis karakter. Seperti halnya pada lembaga keuangan formal, faktor karakter nasabah menjadi faktor kunci untuk memutuskan kelayakan kredit, dalam arti meskipun dari faktor jaminan, kapasitas, dan modal seorang nasabah layak mendapatkan kredit, namun jika karakternya memungkinkan untuk melakukan moral hazard maka penilaian akhir danggap tidak layak mendapatkan kredit. Sedangkan pada lembaga keuangan informal (rentenir), salah satu alasan mengapa faktor karakter yang menjadi dasar pemberian kredit, karena pada umumnya nasabah tidak memiliki kemampuan dalam hal permodalan maupun jaminan. Sehingga penilain kelayakan kredit didasarkan pada karakter dan kapasitas. Kapasitas nasabah didasarkan pada profesi atau mata pencaharian sebagai pedagang, atau bisa dikatakan keberadaannya sebagai pedagang memungkinkan nasabah untuk mempunyai sumber pengembalian pinjamannya. Namun tetap kunci terakhir ada pada hasil penilaian pada karakter nasabah. Informasi mengenai karakter nasabah digali bukan dengan pertanyaan yang mendetil ataupun rekam jejak dari lembaga keuangan lain, namun dilakukan dengan mengandalkan intuisi dan tanda-tanda (gesture) dari nasabah (Hamka dan Danarti 2010).
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Berdasarkan Jarak Dari Peminjam
15
transportation cost) karena tidak perlu meninggalkan dagangan, hemat biaya dan waktu. Selain itu, mempermudah nasabah dalam membayar angsuran pinjaman dan mempermudah rentenir untuk mengambilnya langsung ke tempat lokasi berjualan. Seperti yang dikatakan oleh rentenir (N) sebagai berikut:
“Kulo ya gampang ngambil angsuran, sing ngutang ya gampang mbayar angsuran dadi ora perlu ngeterke neng omahku. Kuwi kepenake nek usahane nggone cedhakan podo-podo neng Pasar Kutoarjo”. (Saya lebih muda h untuk mengambil angsuran dan yang mengambil kredit lebih mudah dalam membayarkan angsuran karena tidak perlu repot-repot mengantarkan angsuran ke rumah saya. Usaha sama -sama di Pasar Kutoarjo).
Ketika nasabah memerlukan pinjaman dana maka pada saat itu dana yang dibutuhkan dapat langsung diberikan sang rentenir kepada nasabah karena usaha yang sama dalam satu lokasi Pasar Kutoarjo. Salah satu fleksibilitas dari rentenir adalah tercermin dari pada jam berapa mereka beraktivitas dan memiliki kesesuaian waktu dengan pedagang tradisional. Selain itu, terdapat jejaring yang telah terbangun dengan nasabahnya yang mayoritas pedagang. Hal tersebut yang menjadikan rentenir semakin diminati. Hampir setiap hari rentenir akan bertemu dengan nasabah yang mengambil pinjaman karena lokasi usaha yang sama yaitu di Pasar Kutoarjo, selain itu rentenir semakin dimudahkan ketika akan melakukan penaksiran pinjaman yang akan diberikan karena mengetahui langsung lokasi berjualan sang nasabah dan jenis usaha yang dijalankan. Sistem pinjaman kepada debitur yang dibangun atas dasar kedekatan lokasi tempat usaha dan kedekatan hubungan yang terjalin. Dalam hal ini, dengan dana pinjaman yang diterima debitur karena kedekatan tersebut maka dapat membantu memudahkan debitur untuk mengelola usahanya dan hasilnya untuk penghidupannya. Bahkan bagi debitur yang berkualitas dapat dimungkinkan untuk diberikan penawaran kredit lainnya diluar modal kerja yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya yang mendesak yang mana pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya. (Yustika 2010)
16
eksternal. Pada umumnya, jenis rentenir yang berada di dalam pasar merupakan wujud dari optimalisasi sumber daya finansial para pedagang dalam mencari keuntungan, rentenir (N) memilliki usaha pengisian air minum dan laundry di sekitar Pasar Kutoarjo dan rentenir (K) memiliki usaha berjualan snack di Pasar Kutoarjo. Dimana rentenir yang berasal dari intern, pekerjaan utamanya adalah berdagang dan praktik ‘bank thithil’ yang dilakukan hanya sebagai kegiatan off-trading. Pada dasarnya semua rentenir ditinjau berdasarkan besar kecilnya modal yang dimiliki mempunyai kesempatan untuk menjalankan kegiatan off trading sebagai rentenir.
Kondisi tersebut didorong oleh intensnya interaksi antar pedagang yang kemudian secara alami membentuk jaringan, sehingga memudahkan terjadinya transaksi dana di antara rentenir dan nasabah. Sekedar informasi dalam observasi ditemukan pula bahwa di Pasar Kutoarjo ada yang dikenal bank harian yang mengaku sebagai pegawai koperasi, BMT ataupun BPR. Namun, dilapangan pinjaman yang ditawarkan bank harian kurang diminati pedagang kecil yang diwakili dari informan karena pinjaman yang diterima tidak utuh (dipotong biaya adminitrasi, materai, dsb). Dari informasi diatas terdapat fakta perihal ‘pinjam bendera’ yang dilakukan oleh bank harian dengan meminjam nama dari suatu koperasi, BMT ataupun BPR tempat dia menyimpan dananya, untuk kemudian digunakan sebagai cara untuk memudahkan bank harian beroperasi menawarkan kredit di Pasar Kutoarjo agar tidak kalah bersaing dengan rentenir.
Gambaran Relationship Lending Ditinjau Dari Frekuensi Kontak
17
pedagang yang bukan nasabah hakikatnya adalah sebagai nasabah potensial bagi rentenir karena hubungan di antara mereka terjalin sehari-harinya. Rentenir menjadikan jejearing sebagai instrumen untuk mendapatkan dan mempertahankan nasabahnya.
Berbeda dengan bank harian, karena bank harian tersebut jarang terlihat berbaur dengan pedagang setempat. Mereka hanya menarik “harian” kepada pedagang yang menjadi nasabahnya kemudian pergi tanpa berbincang-bincang dengan pedagang yang lain. Kredit yang ditawarkan pun sangat procedural sekali, sehingga menjdikan bank harian kurang diminati pedagang di Pasar Kutoarjo. Keterbatasan interaksi tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana cara memperluas jaringan yang ada di pasar. Padahal untuk mendapatkan nasabah, membuat jaringan dengan pedagang yang ada di dalam pasar merupakan faktor yang penting. Seperti yang dijelaskan oleh pedagang berinisal (HT) penjual sayuran yang berjualan di lokasi pasar yang menaruh barang dagangannya di trotoar Jalan MT Haryono, sebagai berikut :
“Menawa badhe ngampil arta saking Bu (S) niku gampil Mas, benten sanget ka lih ngampil arta saking bank harian…ngono iku Bu (S) gelem srawung karo konco-konco, nek bank harian sing neng Pasar Kutoarjo jarang srawung, dadi males meh njupuk jilihan merga penak neng Bu (S) barang…”.
Dengan demikian jelas bahwa ‘aturan main’ yang berlaku bagi para pedagang untuk mengakses “kreditan pasar” disyaratkan untuk memiliki suatu jaringan tertentu terhadap pedagang lain yang mempunyai akses langsung kepada rentenir. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Yustika (2006), dimana untuk memasuki kelembagaan tersebut harus memiliki jaringan tertentu untuk menembus eksklusivisme dari sifat rentenir, karena di dalam kelembagaan itu sendiri terdapat larangan-larangan (prohibitions) dan persyaratan-persyaratan (conditional permission).
Gambaran Relationship Lending Berdasarkan Eksklusifitas Pemberi Pinjaman
18
informan memang menawarkan pinjaman kredit yang meringankan dikarenakan nasabah dapat memperoleh kredit baru atas kredit lamanya yang belum lunas. Hanya saja untuk pinjaman yang diberikan rentenir (N) diketahui bahwa ada potongan Rp 100.000,- bila pinjaman sebelumnya belum lunas sebagai biaya default risk, sedangkan untuk rentenir (K) dan (S) tidak ada potongan apapun sehingga pinjaman yang diterima diberikan full dengan bunga yang dikenakan tetap ngrolasan. Untuk fasilitas kredit yang diberikan untuk rentenir (N) dan (K) hanya memberikan kredit berupa uang saja, tetapi rentenir (S) melayani juga kredit berupa uang dan barang. Ketika memasuki hari raya lebaran dikarenakan mayoritas nasabah beragama muslim, maka dari rentenir akan memberikan rewards kepada nasabahnya yang nilainya berbeda-beda ditinjau berdasarkan jumlah pinjaman yang pernah diambil, tetapi berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan baik nasabah ataupun rentenir menunjukkan nilai rewards yang diberikan berupa THR Rp 50.000 – Rp 250.000. Ada salah satu nasabah yaitu pedagang (P) yang pernah mendapatkan THR berupa lemari kayu jati dari rentenir (N) karena dirasa sang rentenir sudah langganan kurang lebih 5 tahun dengan nilai pinjaman minimal Rp 1.000.0000. Rentenir yang berada di Pasar Kutoarjo dirasakan pedagang kecil yang menjadi informan dalam penelitian ini sangat membantu aktivitas berdagang nasabahnya karena ketika membutuhkan pinjaman akan langsung cair.
SIMPULAN DAN REKOMENDASI Simpulan
1. Relationship Lending ditinjau dari ruang lingkup hubungan menunjukkan rentenir yang merupakan lembaga keuangan informal diminati pedagang kecil di Pasar Kutoarjo dengan alasan peminjaman yang mudah, cepat, tanpa agunan, tanpa biaya potongan (biaya administrasi, materai, dll), bahkan dikarenakan sudah mengenal lama dengan rentenir, nilai pinjaman bebas dan bayar angsuran bisa bolong dengan pertimbangan tertentu. Rentenir mengutamakan intuisi sebagai sumber utama melakukan analisis kredit dengan ‘membaca’ kesungguhan dan karakter dari peminjam berdasarkan tanda-tanda (gesture).
19
meninggalkan dagangan, hemat biaya dan waktu. Lokasi usaha yang sama di Pasar Kutoarjo menjadikan proses pembayaran angsuran nasabah kepada rentenir dirasakan menjadi lebih mudah serta mempermudah rentenir pula untuk mengambil angsuran langsung ke tempat lokasi berjualan nasabah.
3. Relationship Lending ditinjau berdasarkan frekuensi pertemuan antara rentenir dan nasabah menunjukkan kalau mayoritas pedagang kecil Pasar Kutoarjo yang mengambil kredit di rentenir lebih memilih mengambil kredit pinjaman secara harian dikarenakan dirasa lebih ringan dalam pembayaran angsurannya, serta rentenir hampir setiap hari melakukan sistem “jemput bola” kepada para nasabahnya sehingga hal itu yang dirasa memudahkan oleh nasabah.
4. Relationship Lending ditinjau berdasarkan eksklusifitas lembaga keuangan informal sebagai kreditur, menunjukkan bahwa semua nasabah yang menjadi informan pernah memperoleh pinjaman dari kreditur lainnya, baik itu dengan meminjam kepada kreditur lain sesama rentenir, bank harian ataupun bank konvensional. Selain itu, nasabah yang sudah berlangganan kredit pada rentenir mendapatkan rewards dalam bentuk THR dengan nilai yang berbeda-beda.
Implikasi Terapan
1. Berdasarkan hasil penelitian, fakta empiris mendukung statement OJK bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 menunjukkan apabila di Indonesia lembaga keuangan informal banyak beroperasi di pedesaan atau masyarakat kelompok bawah, umumnya prosedur serta perjanjian peminjaman amat cepat, sederhana dan berdasarkan perjanjian lisan atau tertulis yang sederhana. Untuk itu, bagi lembaga keuangan formal apabila hendak melayani segmen tersebut hendaknya mampu untuk terus melakukan penyesuaian agar dapat terus bersaing dengan lembaga keuangan informal.
20 Saran Untuk Penelitian Mendatang
1. Melakukan analisis dengan penghitungan menggunakan rasio-rasio keuangan untuk menentukan skala manajemen risiko dari rentenir dalam memberikan kredit kepada nasabah.
2. Melakukan analisis pada keputusan kredit dari lembaga peminjaman lainnya seperti bank, BMT, koperasi dan sebagainya yang beroperasi di pasar tradisional dengan membandingkan tiap lembaga peminjaman serta dilihat pula prosedur-prosedur peminjaman yang ditetapkan.
Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini belum memasukkan kalkulasi antara kredit yang diberikan lembaga keuangan informal dan lembaga keuangan informal.
2. Tidak tersedianya data tentang jumlah rentenir yang beroperasi di Pasar Kutoarjo dan sifat data yang confidential sehingga menimbulkan kesulitan mencarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar. 2011. Pranata Gadai Sebagai Alternatif Pembiayaan Berbasis Kekuatan Sendiri (Gagasan Pembentukan UU Pergadaian). Universitas Padjajaran.
Anonim. 2013. Perlu Dana Mendesak, Jangan Pinjam Ke Rentenir. http://www.neraca.co.id/article/33713/Perlu-Dana-Mendesak-Jangan-Pinjam-Ke-Rentenir Arthesa, A. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta: Indeks.
Badan Pusat Statistik. 2016. Jumlah Koperasi Aktif Menurut Provinsi. Diunduh 21 Juni 2016, dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1314
Bank Indonesia. 2009. Peranan Bank Indonesia di Dalam Mendukung Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Berger, A.N., Leora F.K, and G.F. Udell. 2001. The Ability of Banks to Lend Informally Opaque
Small Business, Journal of Banking & Finance 25, 2127-2167.
Berger, Allen N., and Gregory F. Udell. 2002. Small Business Credit Availability and Relationship Lending: The Importance of Bank Organizational Structure. The Economic
21
Berger, A. N., Miller, N.H., Petersen, M.A., Rajan, R.G., and Stein, J.C. 2005. Does Function Follow Organizational Form ? Evidence From The Lending Practices of Large and Small Banks. Journal of Financial Economics, Vol. 76, pp. 237-269.
Bungin, B. 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Social Lainnya. Jakarta: Kencana.
Cole, R.A., Goldberg, L.G., & White, L.J. 2004. Cookie-Cutter Versus Character: The Micro Structure of Small-Business Lending by Large and Small Banks. Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol. 39, pp. 227-251.
Damsar. 1997. Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ______. 2006. Sosiologi Uang. Padang: Andalas University Press
David, F. 1978. The Philosophy of Money. Library of congress catalog in publication data. Dinas Pengelolaan Pasar Kabupaten Purworejo. 2014. Data Potensi Pasar Kabupaten Purworejo.
Purworejo
Hadiwiyono. 2011. Analisis Kinerja Pasar Tradisional di Era Persaingan Global di Kota Bogor. Skripsi Tidak Diterbitkan. Bogor. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Hamka, A.A., dan T. Danarti. 2010. Eksistensi Bank Thitil dalam Kegiatan Pasar Tradisional (Studi Kasus di Pasar Kota Batu). Journal of Indonesian Applied Economics, Vol. 4, (No. 1): 58-70.
Hari, J.F. 2009. Dampak Kredit Kredit Rentenir Terhadap Kesejahteraan Pedagang Pasar Tradisional dalam Tinjauan Ekonomi Islam, Skripsi, Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang.
Harmono. 2011. Manajemen Keuangan Berbasis Balanced Scorecard Pendekatan Teori, Kasus, dan Riset Bisnis (Edisi 1). Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayat dan Fadillah. 2014. ”Pengaruh Penyaluran Kredit Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Dan Pendapatan Operasional Terhadap Laba Operasional (Kasus Pada PT Bank Jabar Banten, Tbk.). Universitas Siliwangi.
Kartono, D.T. 2004. Pasar Modal Tradisional (Analisis Sosiologi Ekonomi Terhadap Rentenir). Vol.17, (No.1) : 1-9.
22
Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. _______. 2005. Metodologi Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Morduch, J. 1999. The Microfinance Promise. Journal of Economic Literature, Vol. XXXVII, pp. 1569-1614.
Navis, M. 2015. Preferensi Pedagang pasar Tradisional Terhadap Sumber Permodalan (Studi Pada Pedagang Pasar Merjosari, Kecamatan Lowokwaru-Kota Malang). Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
Nugroho, H. 2001. Uang, Rentenir, dan Hutang Piutang di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. OJK. 2014. Informasi Umum Lembaga Keuangan Mikro. Diunduh 21 Juni 2016, dari
http://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/Pages/Lembaga-Keuangan-Micro.aspx
OJK Rilis Peraturan Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Dalam: http://www.ojk.go.id/id/berita-
dan-kegiatan/info-terkini/Pages/ojk-rilis-peraturan-tentang-lembaga-keuangan-mikro.aspx(diakses pada 12 April 2016 pukul 09.20 WIB)
Pedagang Keluhkan Rentenir. Dalam:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/459439/ . (diakses tanggal 25 Februari 2016, pukul 11.25 WIB)
Perangi Rentenir dengan Program Pemberdayaan Pedagang. Dalam: http://nasional.kompas.com/read/2010/11/08/1958130/Perangi.Renternir.dengan.Program .Pemberdayaan.Pedagang. (diakses tanggal 24 Februari 2016, pukul 01.34 WIB)
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: Pelangi Aksara Yogyakarta. Prianto, A. 2008. Ekonomi Mikro. Malang: SETARA Press.
Qodarini, A. 2013. Rentenir dan Pedagang Muslim (Sebuah Studi Tentang Interaksi Sosial di Pasar Legi Kotagede). Skripsi. Samarinda: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Seibel. 2005. From Moneylenders To Microfinance: Southeast Asia's Credit Revolution In Institutional, Economic And Cultural Perspective An Interdisciplinary Workshop. Asia
Research Institute, Department of Economics, and Department of Sociology National University of Singapore.October.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-23
content/uploads/2009/03/penentuan ukuran sampel memakai rumus Slovin.pdf, 12 Juli 2010.
Sihaloho, H. 2011. Evaluasi Penyaluran Kredit Mikro dan Kecil dari Bank Umum di Indonesia. Tesis. Jakarta. Universitas Indonesia.
Sirait, L. 2015. Fenomena Rentenir di Pasar Bintan Center. Skripsi. Tanjungpinang. Universitas Wiraraja Sumenep.
Stoner, James A.F, Freeman R.E, Gilbert J.R, dan Daniel .R, 1996, Manajemen, Jilid 2, PT Prendhallindo, Jakarta.
Suad, H., dan Pudjiastuti. 2006. Dasar-Dasar Manajemen Keuangan. Edisi 5. UPP STIM YKPN, Yogyakarta.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta.
Sulistiani, E.H. 2008. Modal Sosial Pada Petani-Tengkulak Komoditas Kakao: Analisis Mikro dan Meso Relasional (Studi Kasus di Desa Donomulyo Kecamatan Donomulyo Kabupaten Malang). Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
Sunarto, H. 2007. Understanding the Role of Bank Relationships, Relationship Ma rketing, and Organizational Learning in the Performance of People’s Credit Bank. Thesis. Amsterdam. Tinbergen Institute and Vrije Universiteit.
Uchida, H., U. Gregory, dan W. Wako. 2007. Bank Size and Lending Relationships in Japan. NBER Working Paper Series 13005, NBER 1050 Massachusetts Avenue Cambridge, MA 02138.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dalam: http://www.ojk.go.id/id/regulasi/otoritas-jasa-keuangan/undang-undang/Pages/undang-undang-nomor-21-tahun-2011-tentang-otoritas-jasa-keuangan.aspx (diakses pada 21 Juni 2016 pukul 13.20 WIB)
Wahyudi, Hendra, dan Sismudjito. 2007. Strategi Adaptasi Sosial Ekonomi Keluarga Miskin Pasca Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Williams, C. dan G. Anjula. 2011. Pengusaha Perempuan Sektor Informal di India. Jurnal International, Vol 3, No 1. India
24
Yustika, A. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia Publishing: Malang.