• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Cijoho Wilayah Kerja Puskesmas Kuningan Tahun 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Cijoho Wilayah Kerja Puskesmas Kuningan Tahun 2017"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN CIJOHO WILAYAH KERJA

PUSKESMAS KUNINGAN TAHUN 2017

(Factor Of The Risk Wich combine with heppening to ispa for Infants To Village of Cijoho The Working Areas Of Puskesmas Kuningan 2017)

Neneng Aria Nengsih1, Nanang Saprudin1, Lisa Novita Arief1 1Program Studi Keperawatan STIKes Kuningan

ABSTRACT

ISPA is kind of disease it might infected. ISPA also kind of disease are still exsist and its become a big issue of global in all countries. The case of ISPA to an infants in Kuningan now isreach of 69,17% in area of work central population (PUSKESMAS) in the village of Cijoho Kuningan its become number 1 intotal of infants and tis is most highhest ranking of diseas in years 2015-2016 withISPA. The reason in this case is explain to analysis the factor of risk which combinate its happening ti ISPA for infants in the village of Cijoho working area Puskesmas Kuningan 2017. Type of reserch is quantitative analytic survey with design cross-sectional. The sample 250 infants with sampling techniques Proportionate Stratified Random Sampling. Research instrument used is the weight scale, measuring height, questionnaries and obsevation sheets that have tesed the validity. Data analysis using standard chii-square with significant (0,05). Factor whice combine with ISPA its happening to infants within research when in the family is smoking with p-value = 0,011 given breast feeding exclusiv of p-value = 0,017, in status of protein, the result of imunisation, the knowledge of being mother is not combine with the meaning of ISPA to the infants in the village of Cijoho working are Puskesmas Kuningan 2017. Informing the message to all mother who have an infants to more cares and given breast feeding exclusiv within 0-6 months and contynuesly until 2,5 years old of your infants, so your baby is not easy to have a virus or bacterial in any mamber in your family is smoking inside of the house, so please to stop it to avoid negativ health to your infants.

Keywords : Risk Factor, ISPA

(2)

PENDAHULUAN

Menurut WHO sebanyak 13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang. Berdasarkan data dari kementrian kesehat RI tercatat bahwa realisasi penderita ISPA pada tahun 2012 tercatat bahwa realisasi penderita ISPA mencapai 23.469 orang1.

Berdasarkan penelitian Hayati (2014)2 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat

menyatakan ISPA masih merupakan urutan pertama penyakit terbanyak pada balita di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 33,44%. Kasus kejadian ISPA di Kabupaten Kuningan adalah (69,17%) dari jumlah balita 155.544 pada tahun 20153. Berdasarkan data Dinas Kesehatan

Kuningan, didapatkan pada tahun 2016 kejadian ISPA terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Kuningan sebanyak 2.102 dengan total penduduk usia balita 4.302. Kejadian ISPA terbanyak dari 8 Kelurahan di Kuningan salah satunya di Kelurahan Cijoho.

Berdasarkan hasil wawancara 10 ibu yang mempunyai balita di Kelurahan Cijoho, didapatkan data 3 balita dengan status gizi kurang baik, 7 balita yang tinggal serumah degan anggota keluarga yang merokok, 3 balita tidak mendapatkan ASI secara ekslusif dikarenakan ibu yang sibuk bekerja, 7 balita dengan imunisasi lengkap serta 3 balita lain masih dalam proses imunisasi dan tidak didapatkan data balita dengan riwayat BBLR. Berdasarkan data tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Faktor Risiko yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Kelurahan Cijoho Wilayah Kerja Puskesmas Kuningan Tahun 2017, karena di Cijoho belum dilakukan penelitian sejenis.

BAHAN DAN METODE

Jenis penelitian ini merupakan analitik dengan rancangan cross-sectional. Populasinya seluruh balita yang berada di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Proportionate Stratified Random Sampling sebanyak 250 balita.

Data penelitian diambil melalui kuesioner dan observasi yang menggunakan skala ordinal dan nominal dengan jumlah pertanyaan 14 item, yaitu 1 item menggambarkan riwayat BBLR, 1item pemberian ASI secara eksklusif, 1 item menggambarkan riwayat imunisasi dan 11 item menggambarkan pengetahuan ibu. Observasi yang dilakukan untuk menggambarkan status gizi dan riwayat imunisasi. Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara variable bebas dengan variabel terikat yaitu menggunakan uji chi square.

HASIL

Berdasarkan hasil analisis univariat dan bivariat sebagai berikut : ISPA pada Balita

P value ISPA Tidak ISPA Status Gizi Normal 18 (89) 17(11,0) 0,983 Kurus 49 (87,5) 7(12,5) Kurus Sekali Gemuk 16 (88,9) 19(90,5) 2(11.1) 2(9,5) 57

(3)

Riwayat BBLR Tidak BBLR 132(87,4) 16(12,6) 0,421 BBLR 90(90,9) 12(9,1) Riwayat imunisasi Lengkap 131(89,1) 16(10,9) 0,842 Tidak lengkap 91(88,3) 12(11,7) Pengetahuan Ibu Baik 115(88,5) 15(11,5) 0,80 Cukup 52(96,3) 2(3,7) Kurang 55(83,3) 11(16,7) Keberadaan keluarga yang merokok Tidak Ada 40(100) 0(0)

0,011 Ada 182(88,7) 28(13,3)

Riwayat Pemberian ASI

ASI 90(83,3) 18(108) 0,017 Tidak ASI 132(93,0) 10(7,0)

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa dari 155 responden dengan status gizi normal, sebagian besar mengalami ISPA (89%), dan (11%) tidak mengalami ISPA. Sedangkan dari 56 responden dengan status gizi kurus, mengalami ISPA (87,5%) dan (12,5%) tidak mengalami ISPA. 18 responden dengan status gizi kurus sekali, sebagian besar mengalami ISPA (88,9%) dan (11,1%) tidak mengalami ISPA. 21 responden yang memiliki status gizi gemuk, sebagian besar mengalami ISPA (90,5 %) dan (9,5 %) tidak mengalami ISPA

Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,983, artinya tidak terdapat hubungan antara status gizi dengankejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan ditolak.

Diketahui bahwa dari 151 responden yang tidak mengalami BBLR, sebagian besar mengalami ISPA (87,4%) dan (12,6%) tidak mengalami ISPA. Sedangkan dari 99 responden balita dengan BBLR, sebagian besar mengalami ISPA (90,9%) dan (9,1 %) tidak mengalami ISPA

Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,421, artinya tidak terdapat hubungan antara riwayat BBLR dengan Kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijohowilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan ditolak.

Diketahui bahwa dari 147 responden dengan riwayat imunisasi lengkap, sebagian besar mengalami ISPA (89,1%) dan (10,9%) tidak menalami ISPA. Sedangkan dari 103 responden dengan riwayat imunisasi tidak lengkap, Sebagian besar mengalami ISPA (88,3%) dan (11,7%) tidak mengalami ISPA.

Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,404, artinya tidak terdapat hubungan antara riwayat imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijohowilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan ditolak.

Diketahui bahwa dari 130 responden dengan pengetahuan baik, sebagian besar balitanya mengalami ISPA (88,5%) dan (11,5%) tidak mengalami ISPA. 54 responden dengan pengetahuan cukup, sebagian besar balitanya mengalami ISPA (96,3%) dan (3,7%) tidak mengalami

(4)

ISPA. Sedangkan 66 responden ibu dengan pengetahun kurang, sebagian besar balitanya mengalami ISPA (83,3%) dan (16,7%) tidak mengalami ISPA

Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,80, artinya tidak terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan ditolak.

Diketahui bahwa dari 40 responden balita yang tidak mempunyai anggota keluarga yang merokok didalam rumah, (100,0%) yang mengalami ISPA dan (0%) yang mengalami tidak ISPA. Sedangkan untuk responden balita yang mempunyai anggota keluarga yang merokok didalam rumah dari 210 responden balita, (88,7%) yang mengalami ISPA dan (13,3%) yang mengalami tidak ISPA.

Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,011, Berdasarkan nilai OR disimpulkan bahwa keluarga yang merokok berisiko 1,09X balitanya mengalami ISPA, sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara keberadaan keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijohowilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan diterima.

Diketahui bahwa dari 108 responden balita yang mendapatkan ASI secara eklsusif , (83,3%) yang mengalami ISPAdan (16,7%) yang mengalami tidak ISPA. Sedangkan untuk responden balita yang tidak mendapatkan ASI secara ekslusif dari 142 responden balita, (93,0%)yang mengalami ISPA dan (7,0%)yang mengalami tidak ISPA

Hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,017, artinya terdapat hubungan antarariwayat pemberian ASI ekslusifdengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan diterima.

PEMBAHASAN

1. Hasil Analisis Univariat

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besarbalita memiliki status gizi normal. Hal ini dikarenakan pada saat dilakukan penelitian balita dalam kondisi sehat. Kondisi sehat padabalita tersebut disebabkan faktor pola asuh makan yang baik, ibu berusaha memberikan nutrisi yang cukup pada balita dengan memperhatikan pola makan balita. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh keterangan bahwa ibu senantiasa memperhatikan asupan makanan yang bergizi.

Hal ini sejalan dengan teori menurut Arendedo, et al (2011) dalam (Munawarah, 2015)4 menyatakan bahwa “ praktek pola asuh makan dalam memberikan makan pada anak meliputi memberikan makan yang sesuai umur, kepekaan ibu mengetahui waktu makan anak dengan cara membujuk anak sehingga nafsu makan meningkat, menciptakan situasi makan yang baik, hangat dan nyaman”. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar balita tidak mengalami BBLR. Hal ini dikarenakan faktor pengetahuan ibu yang baik mengenai BBLR, ibu akan lebih menjaga kesehatan saat hamil dan menghindari faktor-faktoryang dapat menyebabkan terjadinya BBLR sehingga anak akan lahir normal. Berdasarkan hasil wawancara saat penelitian bahwa ibu yang memiliki balita mempunyai pengalaman dari kehamilan pertama sehingga ibu lebih berhati-hati untuk menjaga kondisi janin saat di kandungan, dan ibu pun senantiasa memeriksakan kandungn kebidan puskesmas yang sedang posyandu.

Hal ini sejalan dengan teori Notoatmodjo (2007)5menjelaskan bahwa “ pengetahuan adalah hasil dari ‘tahu’, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu’’. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar balita mendapatkan imunisasi lengkap. Hal ini

(5)

dipengaruhi oleh faktor pengetahuan ibu. Kebanyakan dari balita yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap di Kelurahan Cijoho Wilayah Kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, memiliki ibu dengan rata-rata tingkat pendidikan menengah atas. Berdasarkan hasil wawancarasaat penelitian ibu selalu memperhatikan masalah imunisasi dan rutin melakukan imunisasi sesuai kebutuhan balita hal ini dapat dilihat dari buku KIA yang ibu balita bawa saat berkunjung ke posyandu. Adapun ibu yang menyatakan anaknya tidak mendapatkan imunisasi satu pun sejak usia balita disebabkan karena dilarang oleh suaminya“beliau tidak percaya bahwa imunisasi yang lengkap dapat meningkatkan kekebalan tubuh anaknya”

Hal ini sesuai dengan teori menurut Notoadmodjo (2010)5 yang menyatakan bahwa “tingkat pendidikan formal merupakan faktor yang ikut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan menekuni pengetahuan atau informasi yang diperoleh”. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar ibu memiliki pengetahuan baik karena dipengaruhi oleh banyaknya informasi yang didapatkan ibu mengenai ISPA dari berbagai sumber yang ada seperti: media elektronik media cetak dan pendidikan kesehatan yang didapatkan dari penyuluhan posyandu. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil dari jawaban kuisioner

tentang “pengertahuan ibu” rata-rata

menjawab dengan baik dan benar.

Hal ini sesuai dengan teori Wawan dkk (2010)6 menjelaskan bahwa “tingkat pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pengetahuan berupa pendidikan, pekerjaan dan usia”. Hal ini didukung oleh data yang didapatkan peneliti saat penelitidimana responden memiliki pendidikan menengah. Hal ini berdampak pula pada penerimaan informasi mengenai masalah khususnya kesehatan. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar responden

mempunyai anggota keluarga yang merokok didalam rumah dan terpapar asap rokok. Peneliti berpendapat bahwa banyaknya anggota keluarga yang merokok didalam rumah disebabkan karena kurangnya kesadaran dari anggota keluarga. Salah satunya faktor dari kurangnya pengetahuan ibu mengenai bahaya langsung jika asap rokok terhirup oleh balita secara langsung. Pengetahuan ibu sangat berpengaruh pada kesehatan keluarga, ibu yang berpengetahuan baik cenderung memiliki informasi mengenai berbagai hal terutama pencegahan penyakit. Balita dengan anggota keluarga yang merokok didalam rumah rata-rata pengetahuan ibu yang cukup dan kurang.

Hal ini sejalan dengan teori Notoatmodjo (2010)5 mengatakan bahwa “dengan memberikan informasi-informasi tentang cara menghindari penyakit dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut”. Hal ini didukung oleh data yang didapatkan saat melakukan penelitian dimana sebagian besar responden rata-rata menjawab ada anggota keluarga yang merokok didalamnya. Teori menurut Bustan dalam (Marhamah dkk, 2014)7 yang menyatakan bahwa “anak yang orang tuanya merokok didalam rumah akan mudah menderita penyakit gangguan pernapasan. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar responden tidak mendapatkan ASI secara ekslusif hal ini dikarenakan ibu balita yang sibuk bekerja, sehingga ibu balita menggantikan ASI ekslusif dengan susu formula. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh bahwa banyaknya ibu yang sibuk bekerja sehingga tidak terpenuhinya pemberian ASI secara ekslusif, hal ini sangat berdampak pada kesehatan balita itu sendiri .

Teori ini sejalan dengan Purwati (2012)8 menjelaskan bahwa Peran ASI pada kesehatan sangatlah penting agar bayi dapat memperoleh imunoglobulin dari serum ibu maupun ASI, bayi dapat perlindungan terhadap serangan kuman

(6)

Clostridium tetani, sigela, influenza, streptokokus, stafilokokus, virus polio, rotavirus, dan vibriocorela.Oleh karena itu, bayi yang mendapatkan ASI ekslusif akan terhindar dari berbagai penyakit infeksi, penyakit sistem pencernaan serta berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar responden mengalami ISPA. Peneliti berpendapat bahwa banyaknya balita yang mengalami ISPA dikarenakan berbagai faktor risiko yaitu keberadaankeluarga yang merokok didalam rumah. Asap rokok yang terhirup oleh balita akan mengganggu saluran pernapasan balita yang dapat menyebabkan iritasi sehingga virus dan bakteri ISPA mudah masuk melalui saluran pernapasan dan masuk kedalam tubuh balita.

Hal ini sejalan dengan teori Winarni (2010)9 yang menyatakan bahwa “adanya asap rokok apabila terpapar pada balita, dapat terjadi kerusakan pada saluran

pernapasan”. Berdasarkan tabel diatas

diketahui bahwa balita yang memiliki gizi normal sebanyak (89,0%) dengan ISPA hal tersebut tidak menjamin asupan gizi yang baik akanterhindar dari penyakit. Hal ini disebabkan oleh faktor lain yang mendukung seperti: adanya keluarga yang yang merokok didalam rumah dan tempat tinggal yang berada di lingkungan kotasehingga dengan mudah terpapar polusi kendaraan dan kurangnya pepohonan yang bisa menghirup polusi kendaraan yang melintas.Balita yang memiliki status gizi kurus sebanyak (87,5%) dengan ISPA hal ini disebabkan kurangnya nutrisi makanan pada balita mempengaruhi status gizi sehingga balita dengan mudah terkena penyakit khususnya ISPA dan balita dengan status gizi kurus sekali sebanyak (88,9%) sangatlah rentan terhadap penyakit sedangkan status gizi gemuk sebanyak (90,5%) dapat mempengaruhi karena sangat berisiko terkena beberapa penyakit.

Berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,983 lebih besar dari α:0,05 artinya tidak terdapat hubungan

antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah Kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hiotesis yang diajukan ditolak. Hasil penelitian sangat bertolak belakang dengan penelitian Hayati (2012) yang menyatakan bahwa “hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value= 0,000 lebih kecil dari nilai 0,05 sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan antara status gizi dengan Kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan ditolak.

Peneliti berpendapat bahwa status gizi pada balita bukan faktor dominan yang menyebabkan kejadian ISPA pada balita, namum faktor lain yang lebih dominan seperti keberadaan keluarga yang merokok dan riwayat pemberian ASI ekslusif.

2. Hasil Analisis Bivariat

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa balita yang memiliki riwayat tidak BBLR sebanyak (87,4%) dengan ISPA. Hal ini dikarenakan faktor pengetahuan ibu yang kurang baik dan pengalaman ibu saat hamil dan juga didukung dengan adanya anggota keluarga yang merokok didalam rumah sehingga masih banyak balita yang terkena ISPA tetapi tidak BBLR. Balita yang terlahir dengan riwayat BBLR sebanyak (90,9%) dengan ISPA, hal ini diakibatkan karena adanya masalah pada saat ibu sedang hamil, mayoritas ibu yang memiliki balita dengan riwayat BBLR umumnya berusia lebih dari 35 tahun dan ibu dengan kehamilan pertama yang sangat kurang mendapatkan informasi tentang kehamilan serta kepercayaan masyarakat yang mengurut perut saat hamil akan dipercaya dapat memperkuat janin.

Bayi yang lahir dengan tidak BBLR sebanyak (12,6%) dengan tidak ISPA. Hal ini dikarenakan pengetahuan ibu balita yang baik serta pengalaman ibu mengenai kehamilan berikutnya akan membuat ibu lebih menjaga kesehatan serta memperhatikan asupan makanan pada saat ibu sedang hamil dan menghindari faktor

(7)

lain yang dapat menyebabkan terjadinya BBLR sehingga bayi akan terlahir normal. Bayi yang memiliki riwayat BBLR sebanyak (9,15%) degan tidak ISPA. Hal ini dikarenakan pengetahuan ibu yang baik sehinga banyak bayi terlahir dengan normal.

Berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan nilai p value = 0,421 lebih besar dari α:0,05, artinya tidak terdapat hubungan antara riwayat BBLR dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan ditolak.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartanti dkk (2012) hasil statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,68 lebih besar dari α=0,05 sehingga disimpulkan tidak terdapat hubungan antara riwayat BBLR dengan ISPA.Hal ini dikarenakan faktor pengetahuan ibu yang baik sehingga angka riwayat BBLR berkurang.

Peneliti berpendapat bahwa riwayat BBLR pada balita bukan faktor dominan yang menyebabkan kejadian ISPA pada balita, namun faktor lain yang lebih dominan seperti keberadaan keluarga yang merokok. Hal ini dapat dipengaruhi jika balita lahir dengan riwayat BBLR namun pemberian gizi yang baik dan melakukan imunisasi sesuai prosedur serta mendapatkan ASI secara ekslusif bayi akan terhindar ISPA. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa balita yang memiliki riwayat imunisasi lengkap sebanyak (89,1%) dengan ISPA. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pengetahuan ibu. kebanyakan dari balita yang mendapatkan imunisasi lengkap memiliki ibu dengan rata-rata tingkat pendidikan SMA. Balita yang mendapatkan imunisasi lengkap namun memiliki anggota keluarga yang merokok didalam rumah akan berpengaruh terhadap kesehatan balita itu sendiri, karena ketika asap rokok terhirup oleh balita dan masuk kedalam saluran pernapasan akan menimbulkan kerusakan pada pernapasan dan apabila diikuti dengan iritasi akan

menimbulkan infeksi sehigga akan mengakibatkan ISPA pada balita. Balita dengan imunisasi tidak lengkap sebanyak (88,3%) dengan ISPA. Hal ini disebabkan karena ibu balita yang tidak percaya jika balitanya diberikan imunisasi akan meningkatkan kekebalan tubuh balita itu sendiri.

Balita dengan riwayat imunisasi lengkap sebanyak (10,9%) dengan tidak ISPA, hal ini dipengerahui faktor pengetahuan ibu yang baik akan pentingnya imunisasi untuk kesehatan balita dimasa yang akan datang, mayoritas balita yang mendapatkan imunisasi lengkap tidak memiliki anggota keluarga yang merokok didalam rumah. Balita dengan imunisasi tidak lengkap sebanyak (11,7%) dengan tidak ISPA. Hal ini disebabkan pengetahuan ibu yang baik dan didukung dengan pemberian ASI secara ekslusif sehingga balita yang tidak diberikan imunisasi lengkap sedikit yang terkena ISPA.

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,842 lebih besar dari nilai α=0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara riwayat imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan ditolak.

Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Irnawati dan Ningrum (2015)10 hasil uji statitik chi-square didapatkan nilai p value=2,07 lebih besar dari nilai α=0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara riwayat imunisasi dengan Kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017.

Peneliti berpendapat bahwa riwayat imunisasi pada balita bukan merupakan faktor dominan namun ada faktor yang lebih dominan yang menyebabkan ISPA pada balita yaitu keberadan keluarga yang merokok dan riwayat pemberian ASI secara ekslusif berdasarkan data yang diperoleh 131 balita yang mendapatkan imunisasi lengkap tidak jauh berbeda

(8)

dengan yang mendapatkan imunisasi lengkap pada ISPA. Hal ini dikarenakan status gizi kurus dan gemuk dan adanya anggota keluarga yang merokok didalam rumah dapat menyebabkan ISPA.

Balita yang mendapatkan imunisasi lengkap namun status gizi kurus dan tidak mendapatkan ASI ekslusif mempunyai risiko terkena berbagai penyakit karena daya tahan tubuh yang lemah. Sehingga dapat dengan mudah virus dan bakteri masuk kedalam tubuh yaitu melalui saluran pernapasan. Balita merupakan perokok pasif sebagaimana kita ketahui perokok pasif lebih berbahaya dibandingkan perokok aktif. Asap rokok yang masuk kedalam saluran pernapasan balita akan merusak saluran pernapasan dan apabiladiikuti dengan iritasi akan menimbulkan infeksi sehingga terjadinya ISPA pada balita.

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa ibu memiliki pengetahuan baik sebanyak (88,5%) dengan ISPA. Hal ini disebabkan oleh faktor pendidikan ibu, bahwa ibu yang memiliki pengetahuan baik belum tentu balitanya tidak terkena ISPA dan dapat diakibatkan oleh faktor lain seperti adanya anggota keluarga yang merokok didalam rumah serta tidak terpenuhinya pemberian ASI secara ekslusif sehingga masi banyak ibu dengan pengetahuan baik tetapi balitanya ISPA. Ibu yang memeiliki pengetahuan cukup sebanyak (96,3%) dengan ISPA hal ini disebabkan oleh pengetahuan ibu yang hanya sampai sekolah menegah pertama, sehingga ibu tidak begitubanyak mendapatkan informasi tentang kesehtan khususnya ISPA. Ibu dengan pengetahuan (83,3%) dengan ISPA mayoritas ibu dengan pengetahuan kurang tingkat pendidikannya hanya sampai sekolah dasar hal ini sangat berpengaruh karena pengetahuan yang tidak baik akan cenderung mendapatkan informasi yang sedikit mengenai kesehatan.

Ibu yang memeiliki pengetahuan baik sebanyak (11,5%) dengan tidak ISPA hal ini dikarenakan banyaknya ibu

mendapatkan informasi mengenai kesehatan balita sehingga tidak begitu banyak balita yang mengalami ISPA. Ibu yang memiliki pengetahuan cukup sebanyak (3,7%) dengan tidak ISPA mayoritas ibu dengan pengetahuan cukup tidak memiliki anggota keluarga yang merokok didalam rumah sehingga banyak balita yang tidak terkena ISPA walau degan pengetahuan ibu yang cukup. Ibu dengan pengetahuan kurang sebanyak (16,7%) dengan tidak ISPA mayoritas ibu yang memiliki pengetahuan kurang memberikan balitanya ASI secara ekslusif dan mendapatkan imunisasi yang lengkap sehingga balita tidak mudah terserang penyakit khususnya ISPA.

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,80 lebih besar dari nilai α=0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan ditolak.

Penlitian tersebut sejalan dengan penelitian Marhamah (2012)7 hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,790 lebih besar dari nilai α=0,05 sehingga dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis ditolak

Peneliti berpendapat bahwa pengetahuan ibu yang baik tidak menjamin balitanya akan terkena ISPA. Berdasarkan hasil data penelitan dapat disimpulkan masih banyak ibu yang memiliki pengetahuan baik yang mengalami ISPA, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengetahuan bukanlah faktor yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita namun ada faktor yang lebih berpengaruh seperti keberadaan kelurga yang merokok karena jika ibu berpengetahuan baik namun ada keluarga yang merokok didalam rumah dapat menyebabkan resiko ISPA pada balita. Asap rokok mengandung 4000 zat

(9)

berbahaya didalamnya. Zat berbahaya tersebut apabila masuk kedalam tubuh balita akan mengganggu kesehatan balita. Masa balita merupakan masa yang sangat rentan terhadap serangan berbagai macam penyakit karena daya tahan tubuhnya yang masih lemah.

Ibu yang memiliki pengetahuan baik namun masih banyak balita yang mengalami ISPA disebabkan karena faktor pekerjaan ibu. Sebagian besar ibu merupakan wiraswasta dan ada yang bekerja sebagai buruh dan juga PNS. Sering kali ibu menitipkan anaknya kepada nenek atau sodara terdekat. Sehingga ibu tidak dapat memberikan pengawasan dan pencegahan kepada balitanya karena nenek atau sodara yang menjadi pengasuh sementara belum tentu memiliki pengetahuan yang baik, ketika ada anggota keluarga yang merokok didalam rumah balita akan dibiarkan dan tidak dilakukan pencegahan untuk menghindarkan balita dari asap rokok tersebut. Sehingga berisiko terhadap balita untuk terserang penyakit seperti ISPA.

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa sebagian besar responden mempunyai anggota keluarga yang merokok didalam rumah sebanyak (88,7%)dengan ISPA. Banyaknya anggota keluarga yang merokok didalam rumah disebabkan karena kurangnya kesadaran dari anggota keluarga yang merokok. Salah satu faktor dari kurangnya kesadaran anggota keluarga yang merokok adalah karena pengetahuan ibu. Pengetahuan ibu sangat berpengaruh pada kesehatan keluarga. Ibu yang berpengetahuan baik cenderung memiliki informasi mengenai berbagai hal terutama mengenai pencegahan penyakit. Balita dengan anggota keluarga yang merokok didalam rumah rata-rata pengetahuan ibu cukup dan kurang, namun banyak juga yang berpengetahuan baik pula banyak anggota keluarga yang masih merokok didalam rumah. Balita dengan keberadaan keluarga yang merokok sebanyak (13,3%) tidak ISPA. Hal ini disebabkan karena kesadaran

keluarga untuk merokok diluar lingkungan rumah, sehingga balita yang berada dirumah tersebut tidak menghirup asap rokok.

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,11 lebih kecil dari nilai α=0,05 dapat disimpulkan ada hubungan antara keberadaan keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis di terima.

Peneletian tersebut sejalan dengan penelitian Mariza dan Trisnawati (2015)11 berdasarkan hasil penelitian dari 18 orang responden (62,2%) memiliki balita tidak ISPA, sedangkan 23 orang (71,9%) memiliki batita terkena ISPAhasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,04 lebih kecil dari nilai α=0,05. Sehingga dapat disimpulkan ada hubungan antara keberadaan keluarga yang merokok dengan kejadianISPA pada balita.

Menurut Suyono (2014) dalam Mariza dan trisnawati (2015)11 menyatakan bahwa asap rokok mengandung CO dengan kosentrasi lebih dari 20.000 ppm selama dihisap. Konsentrasi tersebut terencanakan menjadi 400 sampai 500 ppm. Konsentrasi yang tinggi dalam darah meningkat. Selain berbahaya terhadap orang yang merokok, artinya asap rokok juga berbahaya bagi orang yang berada disekitarnya karena asapnya dapat terhisap. Semakin banyak jumlah rokok yang terhisap oleh keluarga semakin besar memberikan resiko terhadap kejadia ISPA. Hal ini didukung dengan hasil penelitian banyaknya anggota keluarga yang merokok.

Peneliti berpendapat bahwa banyaknya anggota keluarga yang merokok didalam rumah disebabkan kurangnya kesadaran dari anggota keluarga yang merokok. Salah satunya faktor dari kurangnya kesadaran anggota kluarga yang merokok karena pengetahuan ibu sangat berpenagaruh padakesehatan keluarga. Ibu yang berpengetahuan baik cenderung memiliki informasi yang banyak mengenai

(10)

berbagai hal terutama mengenai pencegahan penyakit. Balita dengan anggota keluarga yang merokok didalam rumah rata-rata pengetahuan ibu cukup dan kurang. Ibu yang berpengetahuan baik akan menghindari anaknya dari berbagaifaktor yang dpat menimbulkan penyakit salah satunya dengankomunikasi ibu dengan anggota keluarga yang merokok untuk tidak merokok didalam rumah. Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa balita yang mendapatkan ASI ekslusif sebanyak (83,3%) dengan ISPA. Balita yang mendapatkan ASI ekslusif namun memiliki status gizi kurus sekali akan mempuyai risiko terkena serangan berbagai macam penyakit, karena daya tahan tubuh yang lemah. Sehingga dengan mudah virus dan bakteri masuk kedalam tubuh balita melalui pernapasan serta didukungnya anggota keluarga yang merokok didalam rumah sehingga masihbanyak balita yang mendapatkan ASI ekslusif tetapi dengan ISPA. Balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif sebanyak (93,0%) dengan ISPA. Hal ini dikarenakan kesibukan ibu balita yang bekerja keluar kota sehingga anak tersebut di titipkan kepada neneknya dan saudara terdekatnya, kesibukan ibu yang bekerja diluar kota tersebut tidak memungkinkan ibu balita memberikan ASI ekslusif ada pula ibu yang mengatakan produksi ASInya sangat sedikit sehingga balita di berikan susu formula,bahwa kita ketahui susu formula bukanlah susu pengganti ASI melaikan susu untuk pertumbuhan balita hal ini akan berpengaruh dengan kesehatan balita itu sendiri karena akan mudak terserang beberbagai penyakit khususnya ISPA.

Balita yang mendapatkan ASI ekslusif sebanyak (16,7%) dengan tidak ISPA. Hal ini disebabkan karena sebagian besar ibu balita memiliki pengetahuan yang baik dan kesadaran ibu balita akan pentingnya pemberian ASI ekslusif sehingga angka kejadian ISPA pada balita dengan tidak ISPA lebih sedikit dibandingkan dengan ISPA. Balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif sebanyak

(7,0%) dengan tidak ISPA hal ini disebabkan karena pengetahuan ibu balita yang baik serta didukungnya dengan pemberian imunisasi yang lengkap sehingga angka kejadian ISPA balita dengan tidak diberikan ASI ekslusif lebih sedikit dibandingkan dengan ISPA.

Berdasarkan hasil uji statistik chi-square didapatkan nilai p value = 0,25 lebih kecil dari nilai α=0,05. ada hubungan antara riwayat pemberian ASI ekslusif dengan kejadianISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan tahun 2017, maka hipotesis yang diajukan di terima.

Hal ini sesuai dengan penelitian Asriati dkk (2012)12 menyatakan bahwa

balita dengan status ASI ekslusif sebanyak 20 balita yaitu 3 balita pada kasus dan 17 balita pada kontrol, sedangkan balita dengan kasus bukan ASI ekslusif berjumlah 116 balita yaitu 65 balita pada kasus dan 51 balita pada kontrol. Hal ini menunjukan balita dengan status bukan ASI ekslusif (47,8%) lebih banyak persentasenya dibandingkan pada kontrol (37,5%) hasil uji statistik didapatkan nilai p value= 0,03 lebih kecil dari α=0,05 sehingga ada hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA.

Begitu juga dengan teori Purwati (2012)8 yang menjelaskan bahwa peran ASI pada kesehatan sangatlah penting agar bayi dapat memperoleh imunoglobulin dari serum ibu maupun ASI, bayi dapat perlindungan terhadap serangan kuman clostridium tetani, sigela, influenza, streptokokus, stafilokokus, virus polio, dan vibriocerela. Oleh karena itu bayi yang mendapatkan ASI ekslusif akan terhindar dari berbagai penyakit infeksi, penyakit sistem pencernaan serta berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus hususnya ISPA.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

(11)

Tidak terdapat hubung antara status gizi, antara riwayat BBLR, riwayat imunisasi, pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Cijoho wilayah kerja Puskesmas Kuningan. Terdapat hubungan antara keberadaan keluarga yang merokok pemberian ASI secara ekslusif dengan kejadian ISPA pda balita di Kelurahan Cijoho Wilayah Kerja Puskesmas Kuningan.

Saran

Disarankan kepada seluruh ibu yang memiliki balita untuk lebih memperhatikan pemberian ASI secara ekslusif selama 0-6 bulan dan di lanjut sampai 2,5 tahun usia balitanya, dengan memberikan ASI secara ekslusif untuk balitanya agar tidak mudah terkena virus atau bakteri. Anggota keluarga yang merokok didalam rumah agar menghentikan kebiasaan merokok didalam rumah karena berdampak negatif terhadap kesehatan balita kedepannya.

Disarankan kepada petugas kesehatan untuk lebih giat lagi dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama ibu yang memiliki balita mengenai faktor risiko penyebab kejadian ISPA yaitu pemberian ASI secara ekslusif dan keberadaan keluarga yang merokok. Penyuluhan yang diberikan mengenai pentingnya memberikan ASI secara ekslusif (tidak ditambahkan makanan atau minuman apapun selain ASI) dan mengenai bahaya paparan asap rokok untuk kesehatan balita.

KEPUSTAKAAN

1. WHO.(2007).Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang cenderung menjadi epidemi & pademi difasilitas pelayanan kesehatan.pedoman interm WHO juni 2007

2. Hayati.(2014).Gambaran Faktor Penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita di Puskesmas Kaliki Kota Bandung.Jurnal Ilmu Keperawatan.vo 1 April 2014

3. Dinas Kesehatan Kabupaten Kuningan (2015) Profil Kesehatan Kabupaten Kuningan

4. Munawarah, 2015

5. Notoatmojo, S.(2012).Metode Penelitian Kesehatan.Jakarta:Rineka Cipta

6. Wawan, A., and M. Dewi. "Teori dan

pengukuran pengetahuan, sikap dan

perilaku manusia." Yogyakarta: Nuha

Medika (2010): 16-8.

7. Marhamah dkk. (2012). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Anak Balita di Desa Bontongan

Kabupaten Enrekan.

http://www.repository.unhas.ac.id.Artik el

8. Purwati, Yuni. "Korelasi Partisipasi Ibu

Menyusui Pada Kelompok Pendamping Asi Dengan Keberhasilan Pemberian

Asi Eksklusif." Tugas Akhir11.1 (2015):

73-82.

9. Winarni dkk. (2010).Hubungan Antara Perilaku Merokok Orang Tua Dan Anggota Keluarga Yang Tinggal Dalam Satu Rumah Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sempor di Kabupaten Kebumen Tahun 2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. Vol. (6), .16-21

10.Irnawati dan Ningrum (2015)

11.Mariza &Trianawati.(2015).Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Raja Basa Indah Bandar Lampung .Jurnal kebidanan.Vol 1, No 2 , juli 2015:57-62

12.Asriati, Asriati, Zamrud Zamrud, and

Dewi Febrianty Kalenggo. "Analisis

Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut Pada Anak

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah Kabupaten Bogor telah menetapkan pada sebagian besar wilayah daerah penyangga atau yang berbatasan langsung dengan TNGHS dengan peruntukan bagi tanaman

Hal ini seperti halnya yang disimpulkan peneliti bahwa mereka lebih cenderung dalam memilih informasi personal dengan informasi tentang agama, dan informasi terkait

Petani juga berhubungan dengan sistem perusahaan atau industri pengolahan kopi dimana perusahaan membutuhkan bahan baku dari yang di hasilkan, petani juga membutuhkan

Puji syukur dan doa setulus-tulusnya, penulis panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi, Tuhan semesta alam. Atas segala ridha, rahmat, hidayah serta inayah-Nya kepada kami

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : (a) terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang mengikuti

Beberapa pernyataan remaja yang selisih usia dengan pasangannya 1-3 tahun dan lebih dari 5 tahun yang memiliki penyesuaian diri yang tinggi terhadap pasangan menyatakan

KUBE SEJAHTERA VII, PROJO TAMANSARI 019.. KUBE SEJAHTERA VII, PROJO

Guru perlu mengerti tentang pentingnya peta konsep dalam proses belajar dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengingat kembali tentang apa saja yang mereka