• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAP.COM - 1 JURNAL KEUANGAN PUBLIK DIMENSI EKONOMI-POLITIK PEMBANGUNAN ...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TAP.COM - 1 JURNAL KEUANGAN PUBLIK DIMENSI EKONOMI-POLITIK PEMBANGUNAN ..."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

J

URNAL

K

EUANGAN

P

UBLIK

Vol. 5, No. 1, Oktober 2008

Hal 1 - 17

DIMENSI EKONOMI-POLITIK PEMBANGUNAN INDONESIA

1

Oleh: Prof. Dr. Boediono2

(2)

Yang saya hormati Ketua, Sekretaris dan para Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada,

Yang saya hormati Ketua, Sekretaris dan para Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yang saya hormati Ketua, Sekretaris dan

para Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, Yang saya hormati Rektor, para Wakil

Rektor Universitas Gadjah Mada,

Sivitas Akademika dan Para Hadirin yang saya muliakan,

Suatu kebahagiaan yang tak terhingga bagi saya dapat berdiri di sini untuk menyampaikan beberapa pemikiran saya kepada sidang Majelis yang terhor-mat ini. Apa yang akan saya sampaikan di sini menyangkut masalah yang, menurut pandangan saya, menyentuh kepentingan kita semua sebagai warga dari bangsa ini, dan bahkan kepentingan anak-cucu kita. Masalah itu adalah mengenai reformasi yang kita laksanakan.

Hampir sembilan tahun sudah kini bangsa Indonesia menempuh jalur perjalanan baru dalam sejarahnya, jalur demokrasi dan pluralisme. Keputusan itu kita ambil sendiri secara sadar sebagai bangsa tanpa didikte oleh siapa pun. Sekarang, setelah mengalami serentetan peristiwa sosial-politik yang menentukan sejarah bangsa dan bahkan dibarengi dengan berbagai cobaan alam, dan masih dalam suasana eforia reformasi yang belum juga reda, kita sepatutnya meng-hela nafas dan merenung sejenak dan menanyakan pada diri kita: ke mana arus peristiwa dan perkembangan selama ini akan membawa kita, apakah kita akan sampai pada apa yang kita

impikan dulu sewaktu kita mengambil sikap sejarah yang krusial itu? Are we on the right track? Apakah ada yang perlu kita koreksi?

Pertanyaan-pertanyaan besar ini tentu tidak mungkin dijawab dalam satu jam. Namun dengan segala kerendahan hati perkenankan saya mengajak para hadirin sekalian untuk bersama saya mengeksplorasi beberapa segi penting dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya sangat sadar bahwa uraian saya maksimal hanya akan dapat memberikan jawaban parsial terhadap sebagian dari pertanyaan-pertanyaan besar tersebut.

Saya akan memulai dengan mengingat kembali apa sebenarnya yang kita inginkan sewaktu kita menggulirkan reformasi beberapa tahun lalu. Kemu-dian, berdasarkan itu dan mengacu kepada hasil-hasil riset yang dapat kita baca akhir-akhir ini, saya akan mencoba mendefinisikan secara umum pengertian ”jalur yang benar”. Karena hanya dengan menyepakati apa yang kita maksud dengan ”the right track”, baru kita bisa menjawab apakah kita ”on the right track”. Sisa waktu yang tersedia akan saya gunakan untuk mengupas simpul-simpul kritis sepanjang jalur perjalanan kita ke depan dan apa yang seyogyanya kita lakukan dan siapkan untuk menghadapinya.

Tuntutan Reformasi

Marilah kita mulai dengan me-ngajukan pertanyaan: sebenarnya apa motif dasar yang mendorong kita sebagai bangsa memutuskan untuk melakukan perubahan mendasar dalam tata kehidupan sosial-politik kita lebih dari delapan ta-hun lalu?

(3)

peristiwa-peristiwa sebelumnya yang membawa kita ke momen yang krusial itu. Selama lebih dari 30 tahun mena-khodai negara, Orde Baru telah berhasil mengangkat kondisi kehidupan ekonomi dan sosial di Indonesia secara sangat berarti. Penghasilan per kapita mening-kat dari sekitar hanya USD 70 pada pertengahan 1960an menjadi lebih dari USD 1000 pada pertengahan 1990an. Prasarana yang langsung melayani ma-syarakat maupun yang mendukung kegiatan ekonomi dibangun secara luas. Kemiskinan menurun drastis dan berbagai indikator kesejahteraan sosial mulai dari harapan hidup, tingkat kecukupan gizi, tingkat kematian ibu dan anak, sampai ke tingkat partisipasi pendidikan, keter-sediaan air bersih dan perumahan, semuanya menunjukkan perbaikan yang berarti. Indonesia menjadi contoh pem-bangunan yang sukses.3

Dengan perbaikan taraf hidup seperti itu, mengapa timbul keresahan dan tuntutan yang makin mengental untuk perubahan di kalangan masya-rakat atau, lebih tepatnya, diantara para

elite masyarakat? Jawabannya terletak pada perkembangan di segi lain dari kehidupan masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan itu, terutama dalam dasawarsa terakhir Orde Baru, tumbuh persepsi di kalangan masyarakat, yang makin mengental setiap hari, bahwa praktek korupsi, penyalahgunaan kewe-nangan di jajaran pemerintahan dan kroniisme di kalangan dunia usaha makin meluas. Meskipun pers dikenda-likan, ceritera mengenai hal itu terus merebak dan kasus-kasus nyata terung-kap. Rasa keadilan masyarakat terusik. Namun dalam konstelasi politik yang

3

Hill (1996), World Bank (1993).

ada, saluran-saluran untuk kritik, disensi, protes dan koreksi, tersumbat. Keresahan dan ketidakpuasan berakumulasi, siap meledak apabila ada pemicu.4

Dan pemicu itu akhirnya tiba. Krisis keuangan yang mulai muncul pada pertengahan 1997 terus memburuk dan memasuki tahun 1998 berkembang menjadi krisis ekonomi skala luas dengan dampak negatif yang langsung dirasakan oleh masyarakat banyak. Har-ga barang kebutuhan pokok naik tajam dan PHK terjadi dimana-mana.5

Keresa-han yang semula sebatas kalangan elite

berkembang menjadi ketidakpuasan sosial yang akhirnya menjadi kerusuhan masal. Indonesia memasuki tahap krisis multidimensi dan perubahan politik mendasar kemudian terjadi.

Dari peristiwa yang penuh ketegangan dan hiruk-pikuk itu tidak mudah untuk menyarikan aspirasi masyarakat yang berkembang pada waktu itu. Namun apabila kita telusuri motif dasar gerakan reformasi, barang-kali empat tema merangkum sebagian besar dari tuntutan tersebut, yaitu: (1) perbaikan ekonomi, (2) perbaikan tata pemerintahan atau governance, (3) supremasi hukum dan (4) demokrasi. Singkatnya, masyarakat menginginkan Indonesia yang makmur, bersih dari KKN, taat hukum dan demokratis.6

Bukan tuntutan yang mudah, tapi itulah keinginan rakyat.

The “Right” Track

Sekarang marilah kita kembali kepada pertanyaan: Are we on the right track? Agar jelas arah pembahasan saya, perkenankan saya memberikan jawaban

4 O’Rourke (2002)

5 Johnson (1998)

(4)

terhadap pertanyaan ini sejak awal. Dengan berbagai catatan penting yang akan saya uraikan nanti, jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah: ya, kita di jalur yang benar. Ini sama sekali tidak berarti bahwa kita sudah pasti akan sampai pada tujuan yang kita inginkan. Tidak ada jaminan seperti itu. Pada setiap tahap dalam perjalanan, kita sebagai bangsa harus melewati momen pilihan dan titik persimpangan yang memerlukan keputusan dan langkah strategis. Marilah kita melihat lebih dalam apa yang kita maksud dengan “the right track”.

Tidak ada suatu jalur yang paling benar. Sejarah mencatat bahwa rute yang dilalui oleh berbagai bangsa sangatlah beragam. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak dapat meng-identifikasi pola-pola umum dalam sejarah kemajuan bangsa-bangsa. Iden-tifikasi pola-pola umum dan penje-lasannya merupakan bagian penting dari kegiatan para ahli sejarah dan ilmu sosial lainnya. Sekarang sudah banyak studi, baik teoritis maupun empiris, yang dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan: pola-pola umum mana yang terbuka bagi kita. Bagi Indonesia pilihan itu sebenarnya lebih mudah, karena gerakan reformasi telah menjatuhkan pilihannya pada jalur demokrasi.

Dalam literatur ekonomi-politik terdapat kristalisasi pandangan menge-nai garis besar proses transformasi dari masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan tidak demokratis menuju masyarakat yang makmur, terbuka dan demokratis.

Fondasi Ekonomi. Salah satu kristalisasi pandangan itu adalah mengenai fondasi ekonomi dari

demokrasi. Intinya adalah bahwa pada tahap awal perjalanannya masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan belum demokratis seyogyanya memusatkan upayanya pada pembangunan ekonomi lebih dahulu.7 Secara intuitif dalil ini

masuk akal karena pada tingkat penghasilan rendah, masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan yang paling mendasar, yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya dari hari ke hari. Kebutuhan atau (menggunakan jargon ekonomi) ”permintaan” akan demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.8

Pengalaman berbagai negara juga menunjukkan bahwa begitu permintaan akan demokrasi ini merebak dan memperoleh momentumnya, biasa-nya tidak bisa dihentikan lagi.9 Kita bisa

perdebatkan, tetapi menurut penilaian saya Indonesia saat ini sudah mencapai tahap ini.

Sejumlah studi juga menunjuk-kan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu penting bagi keberlanjutan demokrasi. Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bah-wa, berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan

Purchasing Power Parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada tingkat pengha-silan per kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di

7 Barro (2000), hal 104-7. Bremmer (2006)

menyebut faktor non-income (seperti pendidikan) juga penting untuk persiapan berdemokrasi. Tetapi secara umum faktor-faktor ini berkorelasi dengan income.

(5)

atas 6000 dolar daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500.10

Posisi Indonesia dimana? Apabila kita hitung berdasarkan PPP-dolar 2006 penghasilan per kapita Indonesia diper-kirakan sekitar 4000 dolar sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6600 dolar. Kita belum 2/3 jalan menuju batas aman bagi demokrasi. Kita akan kembali membahas ini nanti.

Sejumlah studi empiris lain, terutama oleh para ekonom, menyim-pulkan bahwa demokrasi bukan penentu utama prestasi ekonomi.11 Menurut

pan-dangan ahli-ahli ini, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah,

rule of law lebih menentukan kinerja ekonomi daripada demokrasi per se. Apabila kesimpulan ini benar maka negara-negara berpenghasilan rendah dapat memacu pertumbuhan ekonomi-nya, meskipun mereka belum siap menerapkan demokrasi, asalkan mereka dapat memperbaiki rule of law. Tetapi, seperti yang saya singgung tadi, dengan meningkatnya kemakmuran demokrasi akan makin ”diminta” oleh masyarakat. Sementara itu, pada tahap ini demokrasi juga makin penting bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi. Seorang ahli ekonomi pembangunan kenamaan meli-hat demokrasi sebagai suatu meta-institution atau institusi induk yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya institusi-institusi lain yang berkualitas, artinya efektif dan dengan tatakelola atau governance yang baik.12

Hal ini penting mengingat konsensus yang sekarang berkembang di kalangan

10 Zakaria (2003) , hal 69-70. Przeworski dan

Limongi (1997).

11 Barro (2002), Friedman (2005), Bab 13. 12 Rodrik (2000).

ahli dan praktisi adalah bahwa mutu institusi atau governance merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Apabila institusi yang baik menentukan keberhasilan pembangunan, dan demokrasi adalah sistem yang kondusif bagi perkembangan institusi semacam itu, maka demokrasi menjadi penentu bagi pembangunan ekonomi. Pada tahap kemajuan ekonomi yang makin tinggi, pertumbuhan ekonomi akan makin mengandalkan pada fleksibilitas sistem ekonominya, kemajuan teknologi dan peningkatan mutu faktor produksi, yang kesemuanya bersumber dari inisiatif dan inovasi oleh para pelaku ekonomi. Dan kita tahu bahwa inisiatif dan inovasi tumbuh paling subur di alam demokrasi.13

Jadi apa kesimpulan umum kita? Pada tahap awal, pembangunan ekonomi diprioritaskan karena hal itu akan sangat mengurangi risiko kegagalan demokrasi. Pada tahap selanjutnya interaksi antara ekonomi dan demokrasi makin erat dan keberadaan demokrasi makin menentukan kinerja ekonomi dan keberlanjutannya. Tetapi demokrasi adalah tanaman jangka panjang. Menabur benih lebih dini lebih baik.

Dilema14. Dilema mendasar

yang dihadapi demokrasi, sejak Plato, adalah bagaimana memadukan rasiona-lisme dengan popurasiona-lisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, teknokrasi dengan demokrasi. Dilema ini sangat kongkrit, dan akut, bagi demokrasi yang baru berkembang, seperti di negara kita. Di satu sisi, kita ingin memacu pembangunan ekonomi yang pada hakekatnya memerlukan langkah cepat dan kebijakan ekonomi

(6)

yang rasional, konsisten dan berwawa-san jangka panjang – short term pain for long term gain. Di sisi lain, sistem politik yang berjalan, karena mekanisme yang belum mantap, tidak mendukung pengambilan keputusan yang cepat dan

decisive. Risiko distorsi terhadap kebijakan yang rasional juga tinggi karena tidak jarang kepentingan sempit dan jangka pendek mendominasi wacana pengambilan keputusan di lembaga legislatif dan bahkan eksekutif, tanpa ada mekanisme koreksi yang efektif. Inilah sebabnya mengapa para ahli berpendapat bahwa kebijakan ekonomi, sampai batas tertentu, perlu diinsulasikan dari hiruk-pikuk politik sehari-hari. Independensi bank sentral, yang sekarang sudah umum diterima, adalah satu perwujudan dari pemecahan dilema ini. Apakah pemecahan serupa dapat diterapkan di bidang lain seperti kebijakan fiskal, industri dan perdagangan atau lingku-ngan hidup, sekarang masih diperdebatkan para ahli.

Yang penting, posisi strategis mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi harus diambil oleh setiap bangsa pada setiap tahap perjalanannya. Di masa Orde Baru, dengan plus dan minusnya, proses kebijakan ekonomi diproteksi dari proses politik sehari-hari, paling tidak selama dua dasawarsa pertama. Sekarang, format itu tidak cocok lagi. Format yang baru harus kita temukan dan posisi strategis yang pas harus kita ambil. Ia tidak bisa dibiarkan hanya sebagai hasil sampingan dari proses politik praktis. Taruhannya terlalu besar.

Kelompok Pembaharu. Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang

makmur, demokratis dan terbuka di-tentukan oleh keberadaan kelompok pembaharu. Kelompok inilah yang men-jadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi itu. Tanpa kelompok pembaharu, proses transformasi akan berisiko mandeg atau keluar dari jalur yang kita inginkan. Pertumbuhan ekonomi membantu tumbuhnya kelom-pok pembaharu, tapi ia harus memenuhi 2 syarat, yaitu: (1) pertumbuhan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat (broad based) dan (2) prosesnya lebih mengandalkan pada kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif dan ingenuitas sumberdaya ma-nusianya dan bukan semata dari hasil penjualan kekayaan alam, bantuan luar negeri atau pada rezeki nomplok lainnya. Untuk mendukung berkem-bangnya kelompok pembaharu, pertum-buhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup. Dua syarat tersebut harus juga dipenuhi.

Siapakah kelompok pembaharu itu dan apa peran mereka dalam proses transformasi?15 Sejarah mencatat bahwa

kelompok ini bisa datang dari latarbe-lakang sosial yang berbeda. Di Inggris pada tahap krusial transformasinya inti dari kelompok pembaharu adalah para pengusaha – kaum bourgeoisie – atau kaum borjuis. Istilah kaum borjuis mempunyai konotasi buruk di negeri ini karena dikaitkan dengan teori Marx yang memposisikannya sebagai kelas yang menguasai alat-alat produksi masyarakat dan menggunakannya untuk mengeks-ploitir buruh. Dalam konteks teori sosial non-Marxist kelompok ini diposisikan lebih netral. Studi para ahli sejarah ekonomi umumnya melihat bahwa di

15 Zakaria (2003) dan Bremmer (2006) memberikan

(7)

Inggris kelompok ini telah berperan sebagai pembaharu sosial, pada awalnya dalam meruntuhkan struktur feodal yang ada dan selanjutnya menjadi ujung tombak dan pengawal proses moder-nisasi dan demokratisasi16. Pola seperti

itu kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa lainnya. Di Amerika Serikat proses transformasi oleh kelompok ini berlangsung lebih cepat karena dari awal tidak ada struktur feodal yang harus diruntuhkan.

Di negara-negara seperti Jerman dan Jepang kaum borjuis, paling tidak pada tahap awalnya, bukan penggerak utama transformasi. Mereka tidak sekuat dan seindependen rekan-rekannya di Inggris atau Amerika Serikat. Di Jerman, justru kaum birokrat (yang terdiri dari para ex-aristokrat) yang menjadi kelompok pembaharu. Jerman pada abad 19 mem-punyai sistem birokrasi paling modern di dunia dan, melalui reformasi birokrasi, mereka menciptakan rule of law yang mantap dan sistem jaminan sosial modern. Di Jepang cikal-bakal dari kelompok pembaharu adalah kaum samurai yang mentransformasikan diri menjadi motor penggerak modernisasi. Di Jerman dan terutama di Jepang proses modernisasi tidak serta merta melahirkan demokrasi. Di kedua negara ini, demo-krasi baru berakar setelah Perang Dunia II. Dan prosesnya pun tidak sepenuhnya berasal dari dinamika intern, tetapi sebagian karena tekanan dari negara-negara penakluknya, khususnya Amerika Serikat, yang menginginkan demokrasi diterapkan di negara-negara tersebut.

Bagi negara berkembang barang-kali akan terlalu lama untuk menunggu terbentuknya kelompok pembaharu secara alamiah seperti di negara-negara

16 Landes (1999)

tersebut. Negara berkembang seyogyanya tidak mengandalkan satu atau dua kelompok sosial saja sebagai kelompok pembaharunya. Yang terbaik adalah mendorong terbentuknya koalisi luas, yang terdiri dari para demokrat dari semua segmen sosial. Kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM dan lain-lain. Mereka diikat oleh kesamaan platform, yaitu memper-juangkan nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebeba-san berusaha, good governance, rule of law dan sebagainya. Di sementara negara berkembang, termasuk Indonesia, kelompok semacam ini sudah mulai terbentuk dan berperan, meskipun masih terbatas. Mereka adalah elemen strategis dalam proses modernisasi dan demo-kratisasi.

Jalur Yang Penuh Risiko. Proses modernisasi dan demokratisasi adalah perjalanan yang panjang dan penuh risiko.17

Ada yang mengibaratkan alur tranformasi itu sebagai kurva-J yang menggambarkan risiko kegagalan yang besar pada awal proses itu tetapi kemudian berangsur menyurut pada tahap selanjutnya.18 Ada yang

menggam-barkannya sebagai proses meniti jalur yang penuh pusaran-pusaran vicious circles dan, kalau beruntung, virtuous circles.19

Ada pula yang menggambar-kannya sebagai perjalanan di jalan yang penuh persimpangan yang menuntut keputusan yang benar.20

Proses sejarah tidak mengenal belas kasihan. Hanya

17 Huntington (1968): “Modernity breeds stability,

but modernization breeds instability”.

(8)

bangsa yang mempunyai pandangan ke depan, keyakinan, keuletan dan kecer-dasan yang dapat menyelesaikan perja-lanannya. Yang lainnya tidak beranjak dari posisi awalnya, atau menjadi negara gagal (failed states) atau bahkan hilang dari peta sejarah. Hukum Darwin juga berlaku bagi seleksi antara bangsa.

Jalur Kita Ke Depan

Dalam uraian kita tadi, tersirat risiko-risiko yang mungkin dihadapi oleh bangsa yang hendak melaksanakan modernisasi dan demokratisasi. Marilah kita sekarang mencermati risiko-risiko tersebut secara lebih mendalam, dan sekaligus mengkaitkannya dengan kondisi yang dihadapi bangsa kita dewasa ini. Saya akan menguraikannya dibawah tiga rubrik besar, yaitu:

(1) Kohesi sosial

(2) Kinerja ekonomi dan (3) Kelompok pembaharu

Kohesi sosial. Syarat yang paling mendasar bagi keberhasilan proses trans-formasi setiap bangsa adalah kemampu-annya untuk mempertahankan eksistensi dan keutuhannya sepanjang perjalanan. Pada akhirnya kemampuan itu tergan-tung pada kekuatan kohesi sosialnya. Setiap bangsa memiliki kapasitas kohesi sosial yang berbeda. Ada bangsa yang – karena sejarah, kultur dan struktur sosialnya – mempunyai kohesi sosial yang kuat dan tahan terhadap tekanan dan bantingan. Jepang, Korea dengan kultur yang homogen adalah contoh untuk ini. Bangsa lain, seperti India dan Indonesia, karena keragaman kultur dan heterogenitas masyarakatnya, memiliki daya tahan yang intrisik lebih rendah. Bangsa lain yang kurang beruntung, seperti Yugoslavia dan Irak, memiliki

sejarah panjang pertikaian antar kelompok didalamnya, sehingga begitu orang kuat pemersatunya tiada, pertikaian muncul kembali dan bangsa itu pecah.

Yang perlu diwaspadai, terutama pada tahap-tahap awal yang rawan, adalah bahwa suatu bangsa harus pandai-pandai menjaga keseimbangan antara kekuatan kohesi sosialnya di satu sisi dan kecepatan perubahan yang ingin dilaksanakannya di sisi lain. Setiap perubahan selalu membawa stress dan

strain. Imbangan mana yang paling tepat bagi suatu bangsa, pada akhirnya terpulang pada kenegarawanan dan kearifan pemimpin bangsa atau kaum

elitenya.

(9)

ekonomi yang tersebar (broad based) dan penerapan good governance akan memperkuat kohesi sosial.21

Yang juga perlu kita ingat adalah bahwa modal politik berupa kesadaran berbangsa yang diwariskan oleh para pendahulu kita, meskipun sampai sekarang masih tetap kuat, dengan pergantian generasi akan terus berkurang apabila tidak ada upaya sadar untuk mengisinya kembali. Upaya nation building dari para pendiri bangsa ini belum selesai dan mungkin tidak pernah selesai. Kita wajib meneruskannya, meskipun (atau lebih tepatnya, justru karena) kita hidup dalam era globalisasi. Kita mendambakan suatu kesadaran kebangsaan memaknai bahwa, apapun perbedaan kita, kita tetap saudara, bahwa lawan politik adalah lawan bertanding dan bukan musuh yang harus dilenyapkan. Seperti kata ki dalang:

Tego larane ora tego patine. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan. Hanya apabila kita telah mendekati kematangan berbangsa seper-ti itu kita dapat sedikit relaks dalam upaya

nation building kita. Tapi itu adalah kemewahan yang barangkali baru akan dinikmati oleh anak-cucu kita.

Stagnasi, Kemunduran dan Krisis Ekonomi. Risiko besar lain yang menghadang perjalanan transformasi bangsa adalah stagnasi ekonomi, atau kemunduran ekonomi atau, lebih serius lagi, krisis ekonomi. Apabila ini terjadi besar kemungkinan proses transformasi akan kandas di tengah jalan. Tadi saya mensitir sebuah studi yang mengatakan bahwa sistem demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita rendah (di bawah 6600 PPP-dolar 2006) rawan

21 Friedman (2002), Bab 12.

terhadap kegagalan. Saya juga sebutkan bahwa prioritas utama bagi negara-negara berpenghasilan rendah seyogya-nya adalah tumbuh untuk secepatseyogya-nya meninggalkan daerah penuh risiko ini. Stagnasi, apalagi kemunduran ekonomi, akan meningkatkan lagi risiko kegagalan demokrasi yang sudah tinggi bagi negara-negara tersebut. Krisis ekonomi hampir pasti akan menjatuhkan rejim politik yang ada – yang akan menimbulkan diskontinuitas dalam perjalanan bangsa itu.

Pengalaman Indonesia sendiri membuktikan dalil tersebut. Mari kita menoleh ke belakang sejenak.22

Pada masa Demokrasi Parlementer 1950-1958 ketidakstabilan politik yang dicerminkan oleh kabinet yang terlalu sering berganti mengakibatkan kebijakan ekonomi yang terputus-putus dan tidak efektif. Problema defisit ganda – defisit APBN dan neraca pembayaran – tak tertangani dengan baik, stabilitas ekonomi makin memburuk dan pertumbuhan ekonomi lambat.23

Karena tidak dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat banyak, sistem politik yang ada makin kehilangan legitimasinya. Kegagalan di bidang ekonomi, menyebabkan eksperimen demokrasi kita yang pertama setelah kemerdekaan gagal.

Sistem politik yang mengganti-kannya, Demokrasi Terpimpin – dan padanannya di bidang ekonomi, yaitu Ekonomi Terpimpin – 1959-1965 menjanjikan pemerintahan yang lebih stabil dan peran negara yang lebih besar dalam pengendalian kehidupan ekonomi. Namun sistem ini juga tidak

22 Sebagian besar dari materi yang disajikan di sini

mulai dari tahun 1950an sampai masa sekarang diambil dari Boediono (2005).

(10)

dapat memberikan hasil yang didambakan masyarakat. Inflasi lepas kendali, produksi nasional merosot dan kehidupan sehari-hari semakin berat. Pada waktu itu bangsa kita sebenarnya mengalami suatu krisis ekonomi yang berat, yang akhirnya bermuara pada perubahan sistem politik.24

Bagi generasi yang mengalami masa itu (termasuk saya sendiri) tentu masih ingat betapa sulitnya kehidupan sehari-hari pada waktu itu. Namun, di tengah-tengah kesulitan hidup itu kita, terutama mereka yang muda usia, juga merasakan adanya suatu kebanggaan yang luar biasa di hati kita masing-masing sebagai warganegara dari bangsa yang, di arena internasional, disegani dan terkadang ditakuti. Namun itu semua tidak mengubah berlakunya dalil bahwa kemerosotan ekonomi, apalagi krisis ekonomi, berakibat fatal terhadap suatu orde politik.

Masa Orde Baru 1966-1998 adalah masa kestabilan politik yang terpanjang dalam sejarah Indonesia merdeka. Kestabilan politik itu telah memungkinkan dilaksanakannya kebijakan ekonomi yang konsisten dan berkesinambungan. Hasilnya berupa pertumbuhan ekonomi sebesar rata-rata 7% selama tiga dasawarsa yang dibarengi dengan stabilitas ekonomi yang cukup mantap, pemba-ngunan infrastruktur besar-besaran yang memperlancar kegiatan ekonomi dan makin menyatukan Indonesia serta perbaikan yang berarti dari berbagai indikator sosial dan pembangunan manusia. Pada gilirannya semua perbai-kan itu makin memperkuat stabilitas

24 Sumber yang terbaik untuk masa ini adalah

Bulletin of Indonesian Economic Studies yang diterbitkan setiap empat bulan sejak tahun 1965.

politik, sampai terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. Suatu prestasi sosial-ekonomi yang, kalau kita jujur, sangat mengesankan.25

Orde ini akhirnya jatuh karena konfluensi dari paling tidak tiga perkembangan, yaitu: akumulasi dari kepengapan politik, makin meluasnya kroniisme dan korupsi, dan pada tahap akhirnya, kondisi kehidupan yang berat sebagai akibat dari krisis ekonomi. Krisis tersebut menyingkap kelemahan dan kerentanan institusional yang sebelum-nya terselubung oleh tempo ekonomi yang tinggi. Lembaga-lembaga penting penyangga kehidupan ekonomi dan masyarakat serta pemerintahan mengala-mi paralisis atau semengala-mi-paralisis dengan akibat antara lain respons kebijakan yang tidak koheren terhadap krisis. Kemudian terjadilah reaksi berantai yang membawa Indonesia ke jurang krisis yang lebih dalam.

Masa Orde Baru memberikan paling tidak tiga pelajaran. Pertama, kinerja ekonomi yang berkesinam-bungan disertai perbaikan taraf hidup masyarakat luas merupakan syarat wajib (necessary conditions) bagi kelangsungan hidup suatu orde politik. Kedua, dalam jangka panjang selain kinerja ekonomi yang mantap, kelangsungan hidup suatu orde politik ternyata juga ditentukan oleh faktor-faktor lain, yaitu keterbu-kaannya dan mutu tatakelola atau

governance-nya (sufficient conditions). Ketiga, dalil bahwa krisis ekonomi yang berat diikuti oleh pergantian orde politik kembali terbukti.

Alur sejarah kita menggambar-kan suatu progresi proses challenge and response. Pada akhir masa Demokrasi Parlementer rakyat mendambakan

(11)

merintahan yang stabil dan kuat untuk memecahkan masalah bangsa. Respons yang timbul adalah orde Demokrasi Terpimpin yang menjanjikan pemerin-tahan yang kuat dan stabil. Pemerinta-han memang tidak lagi jatuh bangun, tetapi kehidupan ekonomi makin mem-buruk. Pada akhir masa orde ini tuntutan masyarakat yang paling dominan adalah perbaikan ekonomi. Orde Baru berhasil menjawab tuntutan ini dengan mewu-judkan perbaikan ekonomi dan sosial yang mengesankan, tetapi gagal merespons tuntutan lain yang makin mengkristal, yaitu dambaan akan demokrasi, keterbu-kaan, pemberantasan KKN dan pene-gakan hukum.

Orde Reformasi kemudian lahir, dan jangan lupa Universitas Gadjah Mada ikut membidaninya! Orde ini mencoba menjawab tantangan tersebut. Sampai saat ini sudah ada empat presiden yang, dengan gaya beliau masing-masing dan dalam konteks situasi kongkrit yang dihadapi, telah berupaya melaksanakan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Pergantian presiden tidak mengganti orde politik. Suatu pertanda baik bagi kestabilan sistem politik. Di negeri ini demokrasi sudah mekar dan bersemi, meskipun unsur-unsurnya belum berfungsi sepenuhnya seperti yang kita inginkan. Keterbukaan dan kebebasan berpendapat, dengan plus dan minus-nya, sudah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan di bidang ini Indonesia diakui yang paling maju di kawasan ini. Pemberantasan KKN secara sistematik sudah bergulir, meskipun ada sementara kalangan yang masih meragu-kan keberlanjutannya. Kerangka reformasi di bidang hukum sudah mulai kelihatan bentuknya dan langkah-langkah awal sudah diambil, meskipun kepastian

hukum masih tetap menjadi keluhan utama dari para investor.

Menurut hemat saya, kita seka-rang berada pada jalur menuju tuntutan reformasi, meskipun masih banyak PR yang belum selesai. Risiko utama yang kita hadapi pada tahap ini adalah apa-bila kita sebagai bangsa kehilangan gairah dan stamina untuk melanjutkan perjalanan kita, atau apabila kita kehila-ngan kepercayaan atau kesabaran pada proses reformasi yang kita jalankan, atau apabila kita asyik terlena dalam eforia dan hingar-bingar ”demokrasi” sehingga melupakan tujuan reformasi yang sebe-narnya. Apabila itu terjadi, maka itu sungguh sebuah tragedi (lagi) dalam sejarah bangsa kita. Pengalaman kita menunjukkan bahwa kemungkinan-kemungkinan seperti itu bukanlah sekedar risiko teoritis.

(12)

Apabila PDB kita tumbuh di bawah 7% waktu untuk mencapai zona aman bagi demokrasi tentu lebih panjang lagi. Yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa 9 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengawal demokrasi Indonesia yang baru mekar. Risiko-risiko yang saya sebutkan tadi dapat terjadi. Tanpa harus mengorbankan demokratisasi yang kita jalankan, hambatan-hambatan terhadap pertumbuhan ekonomi yang timbul karena proses demokrasi atau, apalagi, karena ekses-eksesnya, harus kita hilangkan. Kita harus berani me-ngambil posisi strategis yang jelas mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi. Ini semua justru demi keberlanjutan demokrasi itu sendiri.

Kelas Pembaharu. Seperti yang telah saya sebutkan tadi, salah satu simpul kritis dalam pembangunan demokrasi adalah terciptanya suatu kelas pembaharu yang handal yang berperan sebagai pendorong dan pengawal demokratisasi. Saya ingin tegaskan bahwa demokrasi di sini harus kita artikan secara substantif dan mencakup tidak hanya mekanisme formal demo-krasi (pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multi-partai, pembagian kekua-saan antara eksekutif, legislatif dan yudi-katif, peran pers dan organisasi kemasya-rakatan dan sebagainya), tetapi juga

nilai-nilai dasar yang memberi sukma pada demokrasi. Pembedaan antara demokrasi dalam arti mekanisme formal-nya dan demokrasi dalam arti substantif, teramat penting karena tidak jarang kita merasa bahwa hampir semua persya-ratan formal demokrasi telah kita penuhi, tetapi kita kecewa karena dalam kehidupan nyata kita belum merasakan suasana demokrasi seperti yang

dijan-jikan konseptornya atau seperti yang dinikmati oleh masyarakat di negara demokrasi yang telah mapan. Itu adalah kasus demokrasi tanpa sukma.

Tanpa adanya kelas pembaharu yang handal proses demokratisasi akan menghasilkan demokrasi tanpa sukma, atau berhenti di tengah jalan, atau berjalan tanpa arah atau, lebih buruk, melahirkan antitesis dari demokrasi. Kemungkinan-kemungkinan ini pernah terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa.

Saya akan mengambil beberapa contoh.

Pengalaman Sejarah. Haiti adalah sebuah republik yang secara formal demokratis selama lebih dari 200 tahun setelah mendapatkan kemerdekaan dari Perancis pada tahun 1804. Sekarang Haiti tetap negara miskin dengan penghasilan per kapita USD 450 dan hampir selalu dirundung kekacauan setiap pergantian pemerintahan (yang dalam kenyataan memerintah dengan cara yang jauh dari kaidah-kaidah demokrasi). Masalah utamanya, menurut hemat saya, adalah karena tidak pernah ada kelom-pok masyarakat yang mampu berperan sebagai pengawal demokrasi beserta nilai-nilai dasarnya.

(13)

dan perdagangan. Pada saat kemerdeka-annya kelompok elite ini memutuskan untuk mengadopsi demokrasi dan berkomitmen untuk mengawalnya. Apa-bila ada satu orang yang merupakan pengejawantahan komitmen itu, ia adalah Nehru. Nehru adalah seorang demokrat sejati. Menghadapi realitas sosial yang jauh dari ideal untuk demo-krasi, dan pada waktu para pengamat pada tahun 1950an dan 1960an ramai-ramai meng-kontraskan prestasi ekonomi India yang medioker dengan pertum-buhan ekonomi Republik Rakyat Cina yang spektakuler, Nehru dan para elite

India tetap tegar pada komitmennya pada demokrasi.26 Hasilnya, di India demokrasi,

dengan segala kelebihan dan kekura-ngannya, merupakan realita hidup selama enampuluh tahun, di Cina masih berupa cita-cita, sampai sekarang.

Sejarah juga mencatat bagai-mana demokrasi ”dibajak” di tengah jalan karena kelompok pengawalnya tidak cukup kuat menghadapi pihak anti-demokrasi.27 Jerman pada masa Republik

Weimar (1919-1933) adalah negara demokratis dan bukan negara miskin. Krisis ekonomi yang berkepanjangan (hiperinflasi dan kemudian depresi) dan ketidakberdayaan pemerintah untuk menanganinya menyebabkan Hitler dan partai Nazi-nya, yang menjanjikan peng-akhiran kesengsaraan itu, meraih suara mayoritas dalam pemilihan umum. Krisis ekonomi telah sangat memperlemah kelas menengah, pembawa panji demo-krasi. Melalui proses demokrasi Hitler mengambil kendali negara, dan dari sana ia membunuh demokrasi.

Bagaimana di Indonesia? Kelom-pok pembaharu di Indonesia barangkali

26 Das (2002), Bab 19 dan 21.

27 Friedman (2002), Bab 11.

masih jauh lebih kecil daripada di India. Tetapi ia berkembang cepat, terutama sejak masa reformasi dan khususnya di kalangan kaum muda. Kita juga punya satu plus dibanding India – kondisi stratifikasi dan mobilitas sosial di Indonesia jauh lebih baik. Oleh karena itu kita semestinya tidak boleh terlalu pesimis mengenai prospek perkemba-ngan demokrasi di Indonesia. Perta-nyaan yang relevan adalah bagaimana kelompok ini dapat lebih didorong untuk memperkuat proses modernisasi dan demokratisasi di negara kita. Mengenai hal ini perkenankan saya menyampaikan sekedar pemikiran awal.

Pertumbuhan Ekonomi. Langkah yang paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu, kembali lagi, adalah memacu pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based), karena dari situlah awal terciptanya kelas menengah. Sebaliknya, kemunduran ekonomi dan krisis ekonomi harus dihindari karena dari situlah awal dari kepunahan kelas menengah. Saya telah singgung bahwa selain pertumbuhan ekonomi itu harus tersebar, ia harus memenuhi satu syarat lain, yaitu bersumber dari kegiatan-kegiatan enterpreunerial dalam iklim kompetisi yang sehat28. Hal ini penting

karena akhirnya ia menentukan kelas menengah macam apa yang akan timbul. Pengalaman di sejumlah negara, dan sebagian dari pengalaman kita sendiri, mengindikasikan bahwa pertum-buhan ekonomi yang berasal dari rezeki nomplok hasil penjualan kekayaan alam (seperti minyak) dapat menciptakan kelas menengah, tetapi lebih berupa kelompok konsumen kelas menengah. Kelompok ini belum tentu kelas

(14)

ngah yang mempunyai komitmen untuk mengawal demokrasi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada praktek-praktek kroniisme, kolusi antara penguasa dan pengusaha serta praktek-praktek monopolistik lainnya. Ia mungkin dapat menghasilkan laju yang tinggi, tapi ia tidak akan sustainable

karena tidak akan melahirkan kelas menengah yang mau memperjuangkan demokrasi, goodgovernance dan kepas-tian hukum. Yang muncul bukanlah kelompok pembaharu tetapi kelompok pemburu rente, bukan sistem ekonomi pasar yang penuh vitalitas tetapi kapita-lisme palsu atau ersatz capitalism, yang lebih kompatibel dengan oligarki dari-pada dengan demokrasi.

Pengembangan UKM. Selain menciptakan iklim usaha dan iklim kompetisi yang sehat pemerintah dapat memacu terbentuknya kelompok pem-baharu dengan mendorong perkembangan kelompok wirausaha yang tangguh melalui program-program khusus untuk menghilangkan kendala-kendala yang dihadapi oleh usaha kecil dan mene-ngah untuk mengakses pembiayaan, teknologi, layanan infrastruktur dan pasar. Pengusaha kecil dan menengah adalah embrio dari kelas menengah yang tangguh. Karenanya program pengembangan UKM merupakan elemen penting dalam upaya pengembangan demokrasi.

Pribumi-Non Pribumi. Satu per-masalahan khusus dan sensitif yang dihadapi Indonesia sejak kemerdekaan adalah hubungan pengusaha pribumi dan nonpribumi. Saya tidak berpretensi dapat menyarankan solusi untuk perma-salahan yang rumit ini. Saya hanya bisa

mengatakan bahwa persoalan ini seyo-gyanya dibahas secara terbuka dan dicarikan pemecahannya bersama. Menurut pandangan saya, untuk kepen-tingan pembangunan Indonesia dalam jangka panjang, tidak ada solusi lain kecuali menyatukan kedua kekuatan itu untuk membangun bangsa. Upaya itu harus menjadi bagian dari program besar integrasi bangsa, dengan mengikis secara bertahap tapi sistematis sekat sosio-ekonomi-kultural antara kedua kelompok ini. Masing-masing kelom-pok, atau lebih tepatnya kaum elite dari masing-masing kelompok, harus lebih membuka diri dan mengambil inisiatif untuk saling menjangkau dan dengan kejujuran mencari titik-titik temu, dengan seluas mungkin melibatkan generasi mudanya. Negara patut mendorong dan memfasilitasi secara adil dan sungguh-sungguh proses ini. Thailand dan Filipina, dengan cara mereka masing-masing, sudah melang-kah lebih maju daripada kita. Malaysia barangkali belum terlalu jauh dari kita. Kita harus melihat proses ini sebagai bagian integral dari perjalanan panjang bangsa.

(15)

di negara kita hal itu belum terjadi. Mengapa? Kuncinya terletak pada materi pendidikan yang pas dan proses belajar-mengajar yang efektif. Keduanya masih perlu terus kita upayakan. Ada dua catatan penting di sini. Pertama, penye-diaan pendidikan bermutu bagi elite

bangsa harus didasarkan pada sistem seleksi terbuka berdasarkan prestasi atau

merit system dan bukan berdasarkan hak-hak dan kedudukan istimewa. Kedua, agar demokrasi mengakar, pendidikan

elite itu harus tetap dibarengi dengan pelaksanaan program pendidikan dasar yang bermutu dan terbuka lebar bagi semua anak Indonesia. Di bidang pendidikan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.

Keterbukaan. Faktor pendukung penting lain bagi perkembangan kelas pembaharu adalah keterbukaan dengan dunia luar. Semakin terbuka dan semakin terintegrasi negara tersebut dengan komunitas dunia, semakin subur pertum-buhan kelas pembaharu di negara itu. Arus informasi, manusia, barang dan jasa serta investasi dari luar adalah katalis bagi perkembangan kelompok pembaharu. Indonesia sekarang tergo-long negara yang paling bebas dari segi arus informasi. Sepanjang yang bisa kita lihat tidak ada hambatan sistemik bagi wartawan, akademisi, pengusaha, profe-sional, LSM asing untuk masuk ke Indo-nesia. Ini semua dapat dipastikan akan sangat membantu tumbuhnya kelompok pembaharu di negeri ini. Risiko keama-nan memang ada, dan akan selalu ada. Tetapi, demi tujuan yang lebih besar, masalah itu harus tetap dikelola secara proporsional. Keikutsertaan Indonesia di banyak forum, baik regional maupun global, telah dan akan makin membuka

pikiran kita terhadap praktek-praktek terbaik di dunia dan sangat berguna bagi upaya kita untuk membangun institusi-institusi pendukung modernisasi dan demokratisasi. Investasi dari luar negeri, terutama dari negara-negara yang menjunjung tinggi asas-asas good governance di negaranya, perlu kita buka lebar, bukan hanya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi kita, tetapi juga untuk meningkatkan mutu institusi-institusi bisnis dan pemerintahan kita. Ingat tidak jarang dunia usaha kita belajar praktek-praktek terbaik dari interaksi dan kemitraan mereka dengan perusahaan-perusahaan asing. Ingat pula bahwa perbaikan kinerja birokrasi ka-dangkala dipicu dan dipacu oleh adanya keluhan atau protes dari perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di sini. Dalam hal keterbukaan, menurut hemat saya, kita sudah di jalur yang benar. Jangan kita putar kembali jarum jam.29

Rekapitulasi

Sekarang marilah kita rekapitulasi apa saja yang telah kita bicarakan sampai saat ini.

Kita memulai dengan bertanya ke mana perjalanan yang kita lakukan selama hampir sembilan tahun ini akan membawa kita? Apakah kita pada jalur yang akan membawa kita ke tujuan reformasi atau tidak? Jawabannya, dengan sejumlah catatan penting, adalah: ya, kita pada ”jalur yang benar”. Kita telah menjatuhkan pilihan, yaitu memilih jalur demokrasi untuk membangun bangsa kita. Dengan pilihan tersebut, serta dengan menarik pelajaran dari

29 Tragedi kemunduran Argentina karena menutup

(16)

laman kita sendiri dan pengalaman negara-negara lain yang mengikuti jalur ini, kita memperoleh gambaran mengenai jalan yang kemungkinan akan kita lalui ke depan.

Pada tahap awal faktor ekonomi sangat menentukan. Kemungkinan ke-gagalan demokrasi sangat tinggi pada tingkat penghasilan per kapita rendah dan secara progresif menurun dengan kenaikan penghasilan. Ekonomi dapat tumbuh tanpa demokrasi, selama rule of law dapat ditegakkan. Pada tingkat kemakmuran yang lebih tinggi, demo-krasi pada gilirannya akan makin menjadi penentu keberlanjutan pening-katan kemakmuran. Hubungan positif timbal balik antara ekonomi dan demokrasi makin kuat.

Pada setiap tahap, peran kelom-pok pembaharu, yaitu suatu koalisi kekuatan lintas kelompok masyarakat yang disatukan oleh platform yang mendukung modernisasi dan demokra-tisasi, sangat krusial. Kelompok ini akan tumbuh subur dalam lingkungan ekono-mi yang tumbuh secara tersebar (broad based) dan dilandasi oleh tatakelola yang baik dan iklim usaha yang sehat.

Risiko yang paling mendasar bagi Indonesia adalah bagaimana menjaga eksistensi dan keutuhan bangsa sepanjang perjalanan transformasinya. Kita memiliki modal politik yang cukup untuk ini, tetapi ia harus terus-menerus dipupuk kembali dan diperkuat. Program penguatan kesadaran berbangsa dan

nation building harus tetap menjadi bagian integral dari pembangunan Indonesia. Keikutsertaan kita dalam globalisasi tidak boleh melengahkan kita dalam nation building.

Risiko besar kedua yang kita hadapi adalah tingkat kemakmuran

ekonomi bangsa kita yang masih rendah sehingga risiko kegagalan demokrasi masih tinggi. Pada tahap ini Indonesia seba-iknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan sejauh mungkin menghindari krisis ekonomi. Untuk mendukung kinerja ekonomi, kita harus berani menarik garis strategis mengenai imbangan yang pas antara teknokrasi dan demokrasi. Apa-bila hasil riset yang ada dapat kita jadikan pegangan, Indonesia masih akan memer-lukan waktu paling tidak sembilan tahun lagi untuk mencapai ”zona aman” bagi demokrasinya. Sementara itu, berbagai kerawanan akan bersama kita dan demokrasi yang baru mekar ini perlu dikawal.

(17)

Itulah inti dari pembahasan kita hari ini. Semua langkah yang saya sebutkan hanya akan membuahkan hasil dalam jangka panjang. Generasi kita ditakdirkan untuk menanam, anak-cucu kita yang memanen.

Ungkapan Terimakasih

Terlalu banyak pihak yang berhak menerima apresiasi dan rasa terimakasih saya untuk saya sebut satu per satu. Untuk mengurangi risiko ada yang terlewatkan perkenankan saya menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada semua sejawat dan rekan kerja di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Universitas Gadjah Mada atas kerjasama dan persahabatan kita selama ini. Di Kampus Biru ini saya dibentuk dan dibesarkan. Universitas Gadjah Mada sudah menjadi bagian dari diri saya. Saya juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada semua rekan kerja dan sahabat di berbagai instansi di Jakarta atas kerjasama dan persaha-batannya selama ini. Dengan segala keterbatasan, kita bersama-sama telah berupaya memberikan yang terbaik bagi bangsa. Keluarga saya meminta saya untuk tidak menyampaikan terimakasih bagi mereka. Tidak perlu, kata mereka. Mereka hanya meminta saya untuk memberikan lebih banyak perhatian dan waktu bagi mereka. Untuk sementara ini, nampaknya permintaan ini belum dapat saya penuhi. Terakhir saya mengu-capkan terimakasih kepada seluruh hadi-rin yang telah berkenan meluangkan waktu untuk hadir pada acara hari ini.

Demikianlah seluruh uraian saya. Semoga Tuhan selalu melimpahkan rakhmat-Nya kepada kita semua.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Di antara permasalahan tersebut, keterbatasan ketersediaan bibit/induk ratu terutama lebah unggul menduduki urutan pertama, Dana menjadi persoalan yang sangat

Dibawah ini akan dijelaskan teorema mengenai dua barisan pada ruang metrik yang konvergen ke suatu titik yang berbeda maka jarak dari anggota tiap barisan akan konvergen

Subdirektorat Usaha Ekonomi Masyarakat Desa mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis

PPL adalah suatu kegiatan intra kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa program studi Kependidikan sebagai latihan mengajar di Sekolah Latihan agar praktikan

Namun demikian, ada beberapa daerah yang telah mampu mengembangkan produk industri kecil sebagai produk unggulan daerahnya, sebagai contoh adalah industri kerajinan rambut

proses enkripsi maupun dekripsi, oleh karena itu terdapat dua buah perulangan, perulangan yang pertama adalah proses pembangkitan kunci internal, sedangkan perulangan yang

Dengan demikian kebaruan (novelty) pada penelitian yang dilakukan adalah terbangunnya model pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi

Berdasarkan THR LLN perlakuan pencampuran sap yang menunjukkan THR diatas 70%, maka sebanyak 15 ekstrak tanaman yaitu anyelir, bogenvil, cemara kipas, jengger ayam, pagoda, pukul