1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP AL-HIKMAH KARANGMOJO GUNUNGKIDUL
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Desy Dwi Wulandari NIM 10110241016
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v MOTTO
vi
PERSEMBAHAN
Seiring rasa syukur kepada Allah SWT, atas karunia dan nikmat yang tak terhingga. Sebuah karya ini penulis persembahkan kepada:
1. Kedua orangtuaku tercinta, Bapak Satidjan dan Ibu Murtinem yang telah
memberikan kasih sayang, doa dan dukungan yang tak pernah terputus untuk
keberhasilan anakmu ini.
vii
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP AL-HIKMAH KARANGMOJO GUNUNGKIDUL
Oleh
Desy Dwi Wulandari NIM 10110241016
ABSTRAK
Penelitian ini untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah serta faktor pendukung dan penghambat kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan kajian dokumen. Subjek penelitian adalah kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa. Analisis data penelitian yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Uji keabsahan data dengan triangulasi teknik yaitu hasil penelitian wawancara dicek dengan observasi dan kajian dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Kebijakan pendidikan karakter dicetuskan untuk membentuk perilaku siswa yang memiliki karakter yang baik; 2) Program pendidikan karakter yaitu program intrakurikuler dan ektrakurikuler. Pendidik dalam pendidikan karakter adalah diri sendiri, orang tua, guru, kepala sekolah, karyawan, teman, lingkungan masyarakat, dan media massa. Strategi pendidikan karakter melalui integrasi pembelajaran di sekolah dan pelajaran pesantren. Metode pendidikan karakter yaitu inkulkasi (penanaman) nilai, keteladanan, fasilitasi, dan pengembangan ketrampilan. Evaluasi dilakukan pada rapat-rapat sekolah; 3) Faktor pendukung kebijakan adalah kemauan siswa, integrasi pendidikan di sekolah dan pesantren. Faktor penghambat yaitu input
siswa yang berasal dari berbagai daerah, sarana dan prasarana, dana, konsistensi guru dalam mengajar, pengaruh lingkungan, serta tidak adanya inovasi kurikulum di pesantren.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, petunjuk, serta karunia-Nya sehingga penulis
dapat melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul
“Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul”
ini disusun dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
S1 Kebijakan Pendidikan, Fakultas IlmuPendidikan, Universitas Negeri
Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dariberbagai
pihak skripsi ini tidak akan terwujud.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih
setinggi-tingginya kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan
dan fasilitas untuk menimba ilmu selama masa studi di Universitas Negeri
Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
memberikan ijin penelitian untuk keperluan Tugas Akhir Skripsi.
3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
yang telah memberikan pengesahan hasil Tugas Akhir Skripsi.
4. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan
pengarahan dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi.
5. Ibu Dr. Rukiyati, M. Hum dan Ibu Dr. Siti Irene Astuti D., M. Si selaku
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi.
6. Ibu Y. Ch. Nany Sutarini, M. Si selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang
telah membimbing dan memberi pengarahan dalam menyelesaikan studi.
7. Bapak dan Ibu dosen dan pengajar di Jurusan Filsafat dan Sosiologi
Pendidikan, yang telah memberikan banyak ilmu dan bekal pengalaman.
x DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Batasan Masalah ... 8
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kebijakan Pendidikan ... 10
1. Pengertian Kebijakan ... 10
2. Pengertian Kebijakan Pendidikan ... 11
B. Pendidikan Karakter ... 12
1. Pengertian Karakter ... 12
xi
3. Tujuan Pendidikan Karakter ... 16
4. Materi Pendidikan Karakter ... 18
5. Pendidik dalam Pendidikan Karakter... 27
6. Strategi dan Metode Pendidikan Karakter ... 30
7. Evaluasi Program Pendidikan Karakter ... 39
C. Pondok Pesantren ... 41
1. Pengertian Pondok Pesantren ... 41
2. Model-model Pondok Pesantren ... 43
3. Peran Pondok Pesantren ... 46
D. Kerangka Berpikir ... 50
E. Pertanyaan Penelitian ... 53
F. Penelitian Relevan ... 53
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 56
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 56
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 57
D. Teknik Pengumpulan Data ... 57
E. Intrumen Penelitian ... 61
F. Metode Analisis Data ... 61
G. Keabsahan Data... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi SMP Al-Hikmah Karangmojo ... 65
B. Deskripsi Pondok Pesantren Al-Hikmah Karangmojo ... 72
C. Hasil Penelitian ... 77
1. Latar Belakang Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo... 77
xii
a. Program Pendidikan Karakter ... 82
b. Proses Pendidikan Karakter ... 126
c. Evaluasi Kebijakan Pendidikan Karakter ... 133
3. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Pendidikan Karakter ... 137
D. Pembahasan ... 140
1. Latar Belakang Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo ... 140
2. Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo ... 142
a. Program Pendidikan Karakter ... 142
b. Proses Pendidikan Karakter ... 144
c. Evaluasi Kebijakan Pendidikan Karakter ... 150
3. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Pendidikan Karakter ... 152
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 155
B. Saran ... 157
DAFTAR PUSTAKA ... 158
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter ... 21
Tabel 2. Kisi-kisi dalam Wawancara ... 58
Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Observasi ... 59
Tabel 4. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi ... 60
Tabel 5. Daftar pendidik dan tenaga kependidikan SMP Al-Hikmah ... 70
Tabel 6. Sarana dan Prasarana SMP Al-Hikmah Berupa Kepemilikan Tanah ... 71
Tabel 7. Sarana dan Prasarana SMP Al-Hikmah Berupa Bangunan ... 71
Tabel 8. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Berupa Kepemilikan Tanah .... 76
Tabel 9. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Berupa Bangunan ... 76
Tabel 10. Jadwal Aktivitas Siswa/Santri ... 90
Tabel 11. Indikator Nilai-nilai Karakter di SMP Al-Hikmah ... 105
Tabel 12. Form Penilaian Afektif Siswa SMP Al-Hikmah ... 136
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Komponen karakter yang baik ... 14
Gambar 2. Desain Pendidikan Karakter dalam Tataran Mikro ... 35
Gambar 3. Alur Kerangka Pikir ... 52
Gambar 4. Tahap Analisis Data ... 61
Gambar 5. Struktur Organisasi SMP Al-Hikmah ... 69
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
1. Pedoman Observasi, Dokumentasi dan Wawancara ... 161
2. Transkrip Hasil Wawancara ... 170
3. Catatan Lapangan ... 200
4. Dokumentasi Foto ... 208
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan upaya terencana dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar tumbuh kembang menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak mulia. Pendidikan saat ini dihadapkan pada tuntutan yang berat, terutama dalam mempersiapkan anak didik menghadapi dinamika perubahan yang semakin berkembang pesat. Perubahan dinamika zaman yang semakin modern telah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun perubahan tersebut tidak serta merta mengiringi perkembangan moral yang semakin baik, tetapi justru sebaliknya. Perubahan dinamika zaman telah mengakibatkan menggesernya moral-moral anak bangsa.
2
menunjukkan adanya peningkatan tindakan kriminalitas yang dilakukan oleh remaja serta memperlihatkan adanya krisis karakter generasi bangsa serta gagalnya pendidikan dalam upaya mewujudkan pendidikan moral maupun penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik.
Selain permasalahan krisis karakter yang dilakukan oleh remaja, masih banyak masalah-masalah kriminal, permasalahan dalam pendidikan yang terjadi di Indonesia antara lain seperti kecurangan pada saat Ujian Nasional (UN), pergaulan bebas, tawuran antar sesama pelajar, dan ada pula kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh guru dalam sertifikasi maupun penyelenggaraan UN. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan pendidikan tidak hanya pada peserta didik tetapi juga pada segi kurikulum, manajemen, dan juga pendidik. Berbagai macam permasalahan moral tersebut telah menjadi bukti terjadinya krisis karakter.
Paul Suparno, dkk (2000: 74) mengatakan saat ini gambaran orang bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah, berbudaya, dan berbudi luhur telah hancur lebur. Kekerasan dan tindakan tidak manusiawi terjadi di mana-mana dan berlangsung lama. Tudingan yang tidak dapat dihindari dan sulit disangkal adalah tudingan yang tertuju pada kegagalan pendidikan di sekolah pada umumnya dan secara khusus pendidikan nilai atau pendidikan budi pekerti sebagai penyebabnya.
3
pendidikan sekolah yang klasikal dan semakin bercorak massal dan formal, sehingga proses pendidikan di sekolah menjadi dangkal atau tidak mendasar. Pelajaran-pelajaran hanya dianggap menjadi sekedar upacara atau acara formal. Proses dan isinya tidak dipandang terlalu penting. Nilai-nilai ujian dapat diatur, yang paling mencolok adalah minimnya aktivitas yang mendorong peserta didik untuk berefleksi dan berafeksi untuk mengembangkan pemikiran yang kritis (critical thinking), pemikiran yang reflektif (reflektive thinking), daya afektif dan daya kreatif, yang menjadi motor penggerak aktivitas hidup yang positif, produktif, dan konstruktif.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Darmiyati Zuchdi (2011: 467) bahwa:
“Pendidikan perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan siap menghadapi dunia masa depan yang penuh problema dan tantangan serta dapat menghasilkan lulusan yang memiliki karakter mulia, yakni: memiliki kepandaian sekaligus kecerdasan, memiliki kreativitas tinggi sekaligus sopan dan santun dalam berkomunikasi, serta memiliki kejujuran dan kedisiplinan sekaligus tanggung jawab yang tinggi. Dengan kata lain, pendidikan harus mengemban misi pembentukan karakter (character building) sehingga para peserta didik dan para lulusannya dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dengan baik dan berhasil tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia.”
4
teknologi, tetapi juga dalam karakter dan kepribadian (Azyumardi Azra, 2002: 176).
Dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 3 menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.”
Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, seharusnya memberikan pencerahan bahwa keberhasilan pendidikan itu ditunjukkan dengan berkembangnya kemampuan peserta didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya, menjadikan peserta didik memiliki watak yang bermoral, berakhak mulia dan berkepribadian luhur serta menjadikan peserta didik sebagai manusia yang berakal budi dan beradab. Pendidikan nasional juga harus mampu membangun manusia yang utuh yang memiliki nilai-nilai karakter yang baik di samping juga memiliki keimanan dan ketakwaan. Fungsi tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sangat memperhatikan pendidikan karakter, tetapi dalam pelaksanaannya masih belum sesuai dengan yang diharapkan.
5
terkandung dalam Pancasila dalam pola pikir, pola rasa, dan perilaku sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Darmiyati Zuchdi (2011: 33) bahwa:
“Pendidikan karakter itu sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good.Knowing the good dapat mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang dapat membuat orang senantiasa mau berbuat kebaikan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan perilaku kebajikan karena cinta pada kebajikan tersebut. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, acting the good itu akan berubah menjadi kebiasaan.” SMP Al-Hikmah Karangmojo merupakan salah satu Sekolah Berbasis Pesantren (SBP) di Gunungkidul. Sekolah ini telah menerapkan kebijakan pendidikan karakter sejak tahun 2010. SMP Al-Hikmah Karangmojo juga sebagai sekolah berasrama atau boarding school dimana siswanya wajib tinggal di Pondok Pesantren Al-Hikmah. Kehadiran sekolah berbasis pesantren telah memberikan alternatif pendidikan untuk membentuk karakter siswa. Sebagai Sekolah Berbasis Pesantren (SBP), sekolah ini mengintegrasikan pendidikan pesantren di dalam pembelajaran sekolah.
6
kehidupan yang ditanamkan di dalam pondok pesantren bertujuan untuk membentuk santri yang bermoral, akhlakul karimah sesuai ajaran agama Islam. Nilai-nilai karakter di dalam pondok pesantren diintegrasikan di sekolah. Ada setidaknya 17 nilai dari pondok pesantren yang diintegrasikan di sekolah. Penanaman nilai-nilai karakter ini tidak hanya dalam bentuk pembelajaran yang terus menerus berupa teori namun diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dimulai dari saat bangun tidur hingga tidur kembali. Kedisiplinan, kemandirian, kejujuran, kerja keras, tanggung jawab, dan nilai-nilai karakter yang lain ditanamkan dalam berbagai kegiatan baik di sekolah maupun di pondok pesantren, baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.
Keberhasilan sekolah dan pondok pesantren dalam mendidik para peserta didiknya dapat mengantarkan sekolah ini menjuarai berbagai perlombaan di tingkat kabupaten maupun provinsi di bidang akademik seperti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), Olimpiade Sains Nasional (OSN), Festival dan Lomba Senin Siswa Nasional (FLSSN), dan di bidang non akademik seperti pencak silat, tenis meja, atletik, tapak suci, dan lain-lain. Keberhasilan yang lain tentunya adalah keberhasilan dalam membentuk peserta didik yang memiliki moral dan akhlak sesuai dengan ajaran Islam.
7
berjalan dengan baik yaitu adanya siswa yang masih melanggar peraturan sekolah, nilai karakter kebersihan juga belum tercermin di sekolah dan pesantren karena masih banyak coretan tembok maupun sarana prasarana sekolah serta lingkungan pesantren yang kurang bersih. Kedisiplinan di sekolah juga masih kurang , kreatif, semangat kebangsaan, belum tercermin di sekolah dan pesantren. Adanya siswa maupun santri yang tidak dapat mengikuti peraturan atau kehidupan di sekolah dan pondok pesantren ini sebenarnya menunjukkan bahwa pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah belum mampu dilaksanakan secara menyeluruh. Siswa di sekolah ini hanya mampu memahami nilai-nilai baik dan buruk (knowing the good) namun belum dapat merasakan (feeling the good) dan menerapkan (acting the good) dalam kehidupan sehari-hari. Atas pertimbangan tersebut perlu
dilakukan penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul” untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah dan di pondok pesantren. B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan kajian latar belakang masalah, dapat diidentifikasikan beberapa masalah yaitu :
8
2. Terjadinya krisis karakter generasi bangsa serta gagalnya pendidikan dalam upaya mewujudkan pendidikan moral maupun penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik.
3. SMP Al-Hikmah Karangmojo merupakan salah satu Sekolah Berbasis Pesantren (SBP) yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak tahun 2010 tetapi masih belum berjalan maksimal.
4. Masih ada siswa yang melanggar peraturan sekolah, nilai karakter kebersihan juga belum tercermin di sekolah dan pesantren karena masih banyak coretan tembok maupun sarana prasarana sekolah serta lingkungan pesantren yang kurang bersih. Kedisiplinan di sekolah juga masih kurang , kreatif, semangat kebangsaan, belum tercermin di sekolah dan pesantren. Pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah diketahui pelaksanaannya belum mampu secara menyeluruh.
C. Batasan Masalah
Terbatasnya kemampuan peneliti dan luasnya cakupan penelitian, maka dalam penelitian ini peneliti membatasi tentang “Implementasi Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo”
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, diajukan rumusan masalah sebagai berikut :
9
2. Bagaimana implementasi kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo?
3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui latar belakang adanya kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo.
3. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan pendidikan karakter di SMP AL-Hikmah.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Menambah dan memperkaya khasanah keilmuan dalam dunia pendidikan khususnya tentang pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah.
2. Secara Praktis
a. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang sekolah yang menerapkan pendidikan karakter di sekolah yang berbasis pondok pesantren.
10 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kebijakan Pendidikan 1. Pengertian Kebijakan
Secara harfiah, kebijakan adalah terjemahan dari policy. Kata policy secara etimologisberasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Dunn (Maryono, 2010: 20) masuk dalam bahasa Inggris lama (middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau
administrasi pemerintah. Dalam pengertian umum kata ini seterusnya diartikan sebagai “...a course of action intended to accomplish some end” Jones (Maryono: 2010: 20) atau sebagai “...whatever government
choose to do or not to do” Dye (Maryono, 2010: 20).
Thomas R, Dye (Riant Nugroho, 2008: 32) mendefinisikan kebijakan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
11
Sedangkan Friedrich (Joko Widodo, 2008: 13) mendefinisikan kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
2. Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan salah satu dari kebijakan publik di suatu negara. Kebijakan pendidikan menurut H.A.R. Tilaar (Riant Nugroho, 2008: 140) adalah keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.
Sedangkan menurut Arif Rohman (2009: 108) kebijakan pendidikan merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah tindakan, program serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.
12
pemerintah untuk mengatasi suatu masalah dan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Sedangkan kebijakan pendidikan dapat disimpulkan sebagai serangkaian tindakan yang di dalamnya memuat pedoman dalam pengaturan penyelenggaraan pendidikan.
B. Pendidikan Karakter 1. Pengertian Karakter
Wynne (Darmiyati Zuchdi (2009: 10) Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai). Istilah ini lebih difokuskan pada bagaimana upaya pengaplikasian nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.
Wynne (Darmiyati Zuchdi, 2009: 10) menyatakan ada dua pengertian tentang karakter yaitu pertama karakter menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk, sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan “personality”. Seseorang dapat disebut “orang yang berkarakter” (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
13
secara moral. Secara singkat karakter diartikan sebagai tersusun atas ciri-ciri yang akan memandu seseorang melakukan hal-hal yang benar atau tidak akan mengerjakan hal-hal yang tidak benar.
Zubaedi (2011: 10) menyatakan karakter (character) mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills). Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.
14
Thomas Lickona (2012: 81) karakter yang baik merupakan hal yang kita inginkan bagi anak-anak kita. Karakter baik, terdiri dari mengetahui hal yang baik, menginginkan hal baik, dan melakukan hal yang baik yakni kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati, dan kebiasaan dalam tindakan. Ketiga hal ini diperlukan untuk mengarahkan suatu kehidupan moral: ketiganya ini membentuk kedewasaan moral. Dengan demikian pendidikan karakter yang baik, menurut Lickona, harus melibatkan bukan saja aspek knowing the good (moral knowing), tetapi juga “desiring the good” atau “loving the
good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action).
Thomas Lickona (2012: 84) menggambarkan diagram tentang kualitas atau ciri-ciri karakter yang membentuk pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral.
Gambar 1. Komponen karakter yang baik Sumber: Thomas Lickona, 2012: 84
15
Dari beberapa definisi tentang karakter, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah ciri-ciri dari individu yang mengacu pada pengetahuan, perasaan, dan perbuatan yang dimilikinya. Seseorang memiliki karakter baik ialah orang yang memiliki pengetahuan, perasaan, dan perbuatan yang baik sesuai dengan kaidah moral. Sebaliknya orang memiliki karakter buruk adalah orang yang memiliki pengetahuan, perasaan, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah moral.
2. Pengertian Pendidikan Karakter
Zamroni (Darmiyati Zuchdi, 2011: 158) menyatakan pendidikan karakter merupakan proses untuk mengembangkan pada diri setiap peserta didik kesadaran sebagai warga bangsa yang bermartabat, merdeka dan berdaulat dan berkemauan untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan tersebut.
Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter baik (good characters) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues), secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.
16
Menurut Dharma Kesuma, dkk (2011: 8) mendefinisikan pendidikan karakter dalam seting sekolah sebagai “Pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu niali tertentu yang dirujuk oleh sekolah”. Definisi ini mengandung makna bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran. Pendidikan karakter ini juga diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh. Asumsinya anak merupakan organisme manusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan dikembangkan. Penguasaan dan pengembangan perilaku didasarkan oleh nilai yang dirujuk sekolah (lembaga).
Dari beberapa definisi tentang pendidikan karakter dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan tentang nilai-nilai budi pekerti untuk mengembangkan karakter yang baik yang melibatkan aspek pengetahuan (knowing), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
3. Tujuan Pendidikan Karakter
17
bukan pendidikan akademik semata. Karena ukuran keberhasilan pendidikan itu tidak hanya berhenti pada angka ujian tetapi bagaimana proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Zubaedi (2011: 18) pendidikan karakter secara perinci memiliki lima tujuan yaitu yang pertama mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia memiliki nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
18
sekolah; c) Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggungjawab pendidikan karakter secara bersama.
Jadi, tujuan kebijakan pendidikan karakter adalah untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki pengetahuan tentang moral, perasaan bermoral, serta perilaku bermoral sesuai dengan cita-cita di dalam Undang-Undang Sisdiknas yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.
4. Materi Pendidikan Karakter
19
Immaginative (berdaya imajinasi); n) Ambitious (berambisi); o) Courageous (berani); p) Caring (perhatian); q) Mature (matang); r) Loyal (setia); s) Self-controlled (penguasaan diri); t) Independent (independen).
Zubaedi (2011: 72) menyatakan pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi dasar karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Pendidikan karakter pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
20
21
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya; o) Gemar membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; p) Peduli lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; q) Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; r) Tanggungjawab yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, maupun Tuhan Yang Maha Esa.
Puskur Kemdiknas (Asmaun Sahlan & Angga Teguh P., 2012: 178) indikator keberhasilan integrasi pendidikan karakter dengan kehidupan siswa dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter
Nilai Indikator Sekolah Indikator Kelas Religius • Merayakan hari besar
keagamaan.
22
Toleransi • Menghargai dan memberikan perlakuan
23 Kerja Keras • Menciptakan suasana
kompetisi yang sehat. Kreatif • Menciptakan situasi yang
menumbuhkan daya Mandiri • Menciptakan situasi
sekolah yang membangun Demokratis • Melibatkan warga sekolah
24
25
• Kekerabatan di kelas yang penuh kasih sayang.
26
• Pembiasaan hemat energi.
• Membuat biopori di area sekolah.
• Peran serta aktif dalam kegiatan sekolah.
• Mengajukan usul pemecahan masalah.
Sumber: Asmaun Sahlan & Angga Teguh P., 2012: 178
27
5. Pendidik dalam Pendidikan Karakter
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja, dan terarah, yang dilakukan oleh pendidik yang profesional, dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang tertentu, mulai dari tingkat Kanak-Kanak (TK) sampai Pendidikan Tinggi (PT) (Wiji Suwarno, 2009: 42).
Sekolah memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang berkarakter. Agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik memerlukan pemahaman yang cukup dan konsisten oleh seluruh personalia pendidikan. Di sekolah, kepala sekolah, pengawas, guru, dan karyawan harus memiliki persamaan persepsi tentang pendidikan karakter bagi peserta didik. Setiap personalia pendidikan, mempunyai perannya masing-masing. Kepala sekolah sebagai manajer, harus mempunyai komitmen yang kuat tentang pendidikan karakter. Kepala sekolah harus mampu membudayakan karakter-karakter unggul di sekolahnya (Zubaedi, 2011: 162).
28
berpotensial sekali dalam memberi pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap perkembangan karakter seorang anak.
Selanjutnya Thomas Lickona (2012: 112) juga menyatakan bahwa guru memiliki kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai dan karakter pada anak, setidaknya dengan tiga cara, yaitu: a) Guru dapat menjadi penyayang yang efektif, menyayangi dan menghormati murid-murid, membantu mereka meraih sukses di sekolah, membangun kepercayaan diri mereka, dan membuat mereka mengerti apa itu moral dengan melihat cara guru mereke memperlakukan mereka dengan etika yang baik; b) Guru dapat menjadi seorang model, yaitu orang-orang yang beretika yang menunjukkan rasa hormat dan tanggung jawabnya yang tinggi, baik di dalam maupun di luar kelas. gurupun dapat memberi contoh dalam hal-hal yang berkaitan dengan moral beserta alasannya, yaitu dengan cara menunjukkan etikanya dalam bertindak di sekolah dan di lingkungannya; c) Guru dapat menjadi mentor yang beretika, memberikan instruksi moral dan bimbingan melalui penjelasan, diskusi di kelas, bercerita, pemberian motivasi personal, dan memberikan umpan balik yang korektif ketika ada siswa yang menyakiti temannya atau menyakiti diriya sendiri.
29
menerapkan sebelas prinsip yang minimal diperlukan dalam pendidikan karakter yang kemudian disosialisasikan dengan integrated learning dalam proses pembelajaran. Nilai-nilai yang dibutuhkan
dalam pendidikan karakter sebaiknya sudah menyatu dalam diri seorang pendidik, hal ini dimaksudkan agar sebagai seorang pendidik memiliki keyakinan baru, bahwa dalam dirinya sangat dituntut untuk menjadi orang yang memiliki karakter yang kuat, sehingga dalam proses transformasi kepada anak didik dapat menjadi “model” atau “teladan” sebagai orang yang memiliki karakter. Aspek lain yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik adalah tetap mengajarkan nilai-nilai penting yang dibutuhkan dalam proses pendidikan, yakni care (kasih sayang), respect (saling menghormati), responsible (bertanggungjawab), integrity (integritas), harmony (keseimbangan), resilience (daya tahan atau tangguh), creativity (kreativitas), dan
lain-lain.
30
Pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik). Baik lembaga informal, non formal, dan formal harus berbagi tanggungjawab terhadap keberhasilan pendidikan karakter. Pendidikan karakter diintegrasikan pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Semua unsur berperan dalam melakukan pendidikan karakter baik guru, orangtua, atau siapa saja yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak.
Jadi, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran yang penting dalam mewujudkan kebijakan pendidikan karakter. Kepala sekolah, guru, dan karyawan memiliki perannya masing-masing dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter di sekolah. Kepala sekolah bereperan dalam manajerial sekolah agar sekolah dapat mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter dengan baik. Guru menjadi pendidik dan sekaligus sebagai model atau figur yang harus dicontoh oleh peserta didik. Pengawas berperan dalam mengawasi dan membimbing sekolah dalam mengatasi permasalahan sekolah, serta karyawan sekolah juga berperan dalam membantu terlaksananya kebijakan pendidikan karakter di sekolah. 6. Strategi dan Metode Pendidikan Karakter
31
seseorang. Pendidikan karakter tidak dapat hanya diceramahkan, atau dipaksakan lewat proses indoktrinasi berselubung pendidik. Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat.
32
memanfaatkan kultur sekolah dalam pengembangan karakter peserta didik. Nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma, semboyan-semboyan sampai kondisi fisik sekolah yang ada perlu dipahami dan didesain sedemikian rupa sehingga fungsional untuk mengembangkan karakter siswa. Ketujuh, pada hakikatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari khususnya di sekolah yang dapat dimonitor dan dikontrol oleh kepala sekolah dan guru.
33
sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik.
Kemendiknas (Udin Saripudin Winatraputra, 2010: 12) pada tataran mikro, pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school culture), kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra ko-kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.
34
Dalam lingkungan satuan pendidikan (sekolah) harus dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
Kegiatan ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter. Kegiatan ko-kurikuler yaitu kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dan lain-lain.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orangtua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.
35
Gambar 2. Desain Pendidikan Karakter dalam Tataran Mikro Sumber: Udin Saripudin Winatraputra , 2010: 14
Sesuai dengan Desain Induk Pendidikan Karakter yang dirancang Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010 strategi pengembangan pendidikan karakter yang akan diterapkan di Indonesia antara lain melalui transformasi budaya sekolah (school culture) dan habituasi melalui kegiatan ekstrakurikuler. Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan pengembangan diri, menyarankan empat hal yang meliputi kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengondisian.
36
salat berjamaah, berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran berakhir, berbaris saat masuk kelas, dan lain-lain.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang bersifat spontan, saat itu juga, pada waktu terjadi keadaan tertentu, misalnya mengumpulkan sumbangan bagi korban bencana alam, mengunjungi teman yang sakit atau sedang tertimpa musibah, dan lain-lain.
Keteladanan merupakan munculnya sikap dan perilaku siswa karena meniru perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan di sekolah, bahkan perilaku seluruh warga sekolah yang dewasa lainnya sebagai model, termasuk misalnya petugas kantin, satpam sekolah, penjaga sekolah dan sebagainya. Pengondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaaan pendidikan karakter, misalnya kondisi meja guru dan kepala sekolah yang rapi, kondisi toilet yang bersih, disediakan tempat sampah yang cukup, halaman sekolah yang hijau penuh pepohonan, tidak ada puntung rokok di sekolah.
Sedangkan Howard Kirschenbaum (Zubaedi, 2011: 233) mengatakan pembelajaran pendidikan karakter secara komprehensif dapat dilakukan dengan metode inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill building).
37
Kirschenbaum (Zubaedi, 2011: 234) mengatakan metode inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri yaitu mengkomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya, memberikan perlakuan kepada orang lain secara adil, menghargai pandangan dan pendapat orang lain, mengungkapkan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai alasan, dan dengan rasa hormat, tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan tidak mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki, menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara ekstrem. Metode ini juga ditandai dengan adanya pembuatan aturan, pemberian penghargaan, dan memberikan konsekuensi yang disertai alasan, tetap terbuka dengan kritik dan saran dan tidak menutup komunikasi dengan pihak yang tidak setuju dengan pendapat seseorang. Dalam inkulkasi (penanaman) nilai ini memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.
38
Dalam pendidikan nilai dan spiritualitas, permodelan atau pemberian teladan merupakan strategi yang biasa digunakan. Hal ini mengingat karakter merupakan perilaku (behavior), bukan pengetahuan, sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh peserta didik, maka harus diteladankan bukan diajarkan. Dalam mendidik karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model. Model dapat ditemukan oleh peserta didik di lingkungan sekitarnya. Semakin dekat model pada peserta didik akan semakin mudah dan efektiflah pendidikan karakter tersebut. Peserta didik butuh contoh yang nyata, bukan hanya contoh yang tertulis dalam buku apalagi contoh khayalan.
Mukhamad Murdiono (2010: 103) menyatakan strategi keteladanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu keteladanan internal (internal modelling) dan keteladanan ekstrernal (external modelling. Keteladanan internal dapat dilakukan melalui
pemberian contoh yang diberikan oleh guru dalam pembelajaran, sementara keteladanan ekstrenal dilakukan dengan pemberian contoh-contoh yang baik dari pada tokoh yang dapat diteladani, baik tokoh lokal maupun tokoh internasional.
c. Fasilitasi
39
sedangkan fasilitasi melatih subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dari fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik (Zubaedi, 2011: 239). d. Keterampilan
Ada beberapa keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan ini antara lain berpikir kritis, kreatif, komunikasi secara jelas, menyimak, bertindak, asertif, dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan sosial. Dua dari keterampilan akademik dan keterampilan sosial ini, yaitu keterampilan berpikir kritis dan keterampilan mengatasi konflik (Zubaedi, 2011: 239).
40
7. Evaluasi Program Pendidikan Karakter
Evaluasi menurut Ralph Tyler (Farida Yusuf Tayibnapis, 2008: 3) evaluasi ialah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Cronbach dan Stufflebeam (Suharsimi Arikunto, 2012: 3) menambahkan bahwa proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan.
Scriven (Farida Yusuf Tayibnapis, 2008: 4) evaluasi memiliki dua fungsi yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Evaluasi formatif berarti bahwa evaluasi tersebut dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program, orang, produk, dan sebagainya). fungsi sumatif, evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.
Menurut Stufflebeam (Farida Yusuf Tayibnapis, 2008: 5) evaluasi dapat berfokus pada empat aspek yaitu konteks, input, proses implementasi, dan produk.
41
diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun, hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri (Djemari Mardapi, 2014: 4)
C. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Manfred Ziemek (Wahjoetomo 1997: 70) kata pondok berasal dari funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah ‘tempat para santri’.
Zamakhsyari Dhofier (1985: 44) sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”.
42
“Pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok), kyai (encik, ajengan, atau tuan guru sebagai tokoh utama), dan masjid atau mushalla sebagai pusat lembaganya. Istilah pesantren menurut beberapa ahli pada mulanya lebih dikenal di Pulau Jawa karena pengaruh istilah pendidikan Jawa kuno, yang dikenal dengan sistem pendidikan asrama yakni kyai dan santri hidup bersama.”
Zamakhsyari Dhofier (1985: 44) menyebutkan bahwa pondok, masjid, santri, kitab-kitab Islam klasik dan kyai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Sedangkan Sugeng Haryanto (2012: 40) dalam keputusan lokakarya intensifikasi pengembangan pondok pesantren yang diselenggarakan pada tanggal 2-6 Mei 1978 di Jakarta, pengertian pondok pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu kyai/Syeh/ Ustadz yang mendidik serta mengajar, santri dengan asramanya, dan masjid atau mushalla.
Kegiatan-kegiatan dalam pondok pesantren ini adalah mencakup “Tri Dharma Pondok Pesantren” yaitu: a) Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT; b) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; c) Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.
43
santri), masjid, santri, kajian tentang kitab-kitab, serta kyai yang membimbing santri.
2. Model-model Pondok Pesantren
Wahjoetomo (1997: 83) membedakan model-model pesantren ke dalam dua bentuk yakni :
a. Pesantren Salaf
Pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
44
memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan keterangan tentang kata-kata atau pemikiran yang sukar.
b. Pesantren Khalaf
Wahjoetomo (1997: 87) Pesantren Khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMU, dan bahkan perguruan tinggi dalam lingkungannya. Pesantren khalaf tidak meninggalkan sistem salaf. Hampir semua pesantren modern, meskipun telah menyelenggarakan sekolah-sekolah umum, tetap menggunakan sistem salaf di pondoknya.
Dalam fase pertumbuhan pesantren telah mengalami beberapa perkembangan termasuk di dalamnya ada yang memasukkan program pendidikan jalur sekolah di bawah naungan Depag dan Diknas, dan ada yang tidak memasukkan program pendidikan jalur sekolah formal. Manfred Ziemek (1986: 98-99) mengklasifikasikan jenis-jenis pesantren dalam lima jenis yaitu:
1) Jenis A
45
pesantren jenis ini, snatri hanya datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri.
2) Jenis B
Pesantren ini terdiri dari rumah kyai, masjid, dan asrama bagi para santri untuk bertempat tinggal dan sekaligus tempat belajar yang sederhana. Para santri yang belajar di pesantren jenis ini datang dari berbagai daerah.
3) Jenis C
Jenis pesantren ini telah mengembangkan komponen pranatanya dan program pendidikan jalur sekolah formal seperti madrasah.. sistem pengajaran kitab-kitab Islam klasik menggunakan sistem klasikal dan jenjang tingkat kelas. Kurikulum yang digunakan ada yang berorientsi pada sekolah-sekolah pemerintah, gabungan dari kurikulum pemerintah dan pesantren, dan kurikulum pesantren masing-masing. Pesantren ini terdiri dari rumah kyai, masjid, asrama santri dan gedung madrasah.
4) Jenis D
46
pendidikan keterampilan, tempat-tempat perbengkelan, produksi, peternakan, dan pertanian.
5) Jenis E
Pesantren jenis ini di samping terdapat pengajaran kitab-kitab klasik dengan sistem non-klasikal dan klasikal, juga menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah yang mengacu pada kurikulum pemerintah mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, dan terdapat program pendidikan keterampilan seperti misalnya koperasi, perbengkelan, komputer, pertanian, dan lain-lain. Jenis pesantren ini sering mengambil prakarsa program-program yang berorientasi pada lingkungan dan bekerjasama dengan pesantren-pesantren kecil yang ada di sekitarnya serta pesantren-pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para lulusannya.
Jadi, model-model pesantren dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pondok pesantren tradisional dan pondok pesantren modern. Pondok pesantren tradisional disebut juga pondok pesantren salaf, sedangkan pondok pesantren modern disebut juga pondok pesantren khalaf.
3. Peran Pondok Pesantren
47
mendidik para santri mengenai pendidikan agama saja, tetapi juga mengusahakan agar mereka dapat memahami, menguasai, serta mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam sebagai sumber ajaran dan motivasi di segala bidang kehidupan.
Sugeng Haryanto (2012: 48) menyatakan bahwa pondok pesantren memiliki peranan penting sebagai alat transformasi kultural yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Peran yang dimainkan oleh pondok pesantren adalah sebagai jawaban terhadap panggilan keagamaan untuk menegakkan ajaran dan nilai-nilai agama melalui pendidikan keagamaan dan pengayoman serta dukungan kepada kelompok-kelompok yang bersedia menjalankan perintah agama dan mengatur hubungan antar mereka. Peranan pondok pesantren sebagai alat transformasi kultural akan tetap berfungsi dengan baik jika pondok pesantren masih dilandasi oleh seperangkat nilai-nilai utama yang senantiasa berkembang di dalamnya. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut;
a. Cara memandang kehidupan sebagai peribadatan, baik meliputi ritus keagamaan murni maupun kegairahan untuk melakukan pengabdian masyarakat.
b. Kecintaan yang mendalam dan penghormatan terhadap pengabdian kepada masyarakat.
48
M. Dafi Nafi’, dkk (2007: 11) menyatakan pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan Islam yang sekaligus juga memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarkat, dan sekaligus menjadi simpul budaya, maka itulah pondok pesantren.
Pengembangan apapun yang dilakukan dan dijalani oleh pesantren tidak mengubah ciri pokoknya sebagai lembaga pendidikan dalam arti luas. Ciri inilah yang menjadikannya tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Disebut dalam arti luas, karena tidak semua pesantren menyelenggarakan madrasah, sekolah, dan kursus seperti yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan di luarnya.
49
dapat mengikuti pelatihan agar dapat menjadi anggota komunitas yang aktif dalam rombongan belajarnya. Santri berlatih bermusyawarah, menyampaikan pidato, mengelola suara saat pemillihan organisasi santri, mengelola tugas organisasi santri jika terpilih, mengelola urusan operasional di pondok , dan mengelola tugas dan membimbing santri juniornya.
M. Dafi Nafi’ dkk (2007: 20) pesantren menjadi tempat bertanya masyarakat dalam hal keagamaan. Di beberapa daerah, identifikasi lulusan pesantren kali pertama adalah kemampuannya menjadi pendamping masyarakat untuk urusan ritual keagamaan. Faktor yang mendukung pesantren sebagai lembaga bimbingan keagamaan adalah kualifikasi kyai dan jaringan kyai yang memiliki kesamaan pandangan keagamaan, terutama dibidang fiqih, dan kesamaan pendekatan dalam merespon masalah-masalah yang berkembang di masyarakat.
Pesantren dan simpul budaya itu sudah seperti sisi dua mata uang yang sama. Bidang garapannya yang berada ditataran pandangan hidup dan penguatan nilai-nilai luhur. Pesantren hadir sebagai sebuah sub kultur, budaya sandingan, yang bisaselaras dengan budaya setempat sekaligus tegas menyuarakan prinsip syariat (M. dafi Nafi’ dkk, 2007: 20).
50
ilmu agama Islam serta mengusahakan agar santri dapat mengamalkan ilmu-ilmu agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Selain sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren juga berperan lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, dan sekaligus menjadi simpul budaya.
D. Kerangka Berpikir
Perubahan dinamika zaman telah mengakibatkan menggesernya moral-moral anak bangsa. Permasalahan krisis karakter ini ditunjukkan dari banyaknya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh remaja seperti tawuran, narkoba, pembunuhan, sex bebas, kecurangan pada saat UN, plagiasi, dan lain-lain. Selain itu ada pula kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh guru dalam sertifikasi maupun penyelenggaraan UN. Krisis karakter generasi bangsa menunjukkan gagalnya pendidikan dalam upaya mewujudkan pendidikan moral maupun penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik.
51
pendidikan karakter yang ada di sekolah masih sebatas pemberian pengetahuan (knowing) tentang nilai-nilai moral dan belum melibatkan perasaan (feeling) dan tindakan (action).
52
Gambar 3. Alur Kerangka Pikir KEBIJAKAN PENDIDIKAN
KARAKTER
Kebijakan:
1. Latar belakang kebijakan
2. Tujuan kebijakan 3. Faktor pendukung 4. Faktor
penghambat
Impelementasi Kebijakan:
1. Program 2. Pendidik 3. materi 4. Strategi 5. Metode 6. Evaluasi
53 E. Pertanyaan Penelitian
1. Apa yang melatarbelakangi adanya kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah?
2. Apa saja program pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah?
3. Apa saja nilai-nilai karakter yang ditanamkan di SMP Al-Hikmah? 4. Bagaimana proses kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah? 5. Siapa pendidik dalam pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah? 6. Bagaimana strategi dan metode pendidikan karakter di SMP
Al-Hikmah?
7. Bagaimana evaluasi kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah? 8. Apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat pendidikan karakter
di SMP Al-Hikmah? F. Penelitian Relevan
54
membentuk karakter-karakter mulia seperti jujur, kasih sayang, kesederhanaan, mandiri, sungguh-sungguh, tanggungjawab, disiplin, peduli, kebersamaan, dan kerja keras. Upaya pengasuh dan asatiz dalam menanamkan nilai-nilai karakter santri dilakukan dengan menciptakan sistem penanaman di dalam lingkungan pondok pesantren. Upaya-upaya yang dilakukan merupakan unsur-unsur pembentuk dari sistem penanaman karakter itu sendiri, diantaranya : 1) rutinitas dan pembiasaan, 2) adanya figur keteladanan, 3) menciptakan lingkungan yang kondusif dan bersifat asuh, 4) olah jiwa dan riyadoh. Faktor pendukung dalam proses pendidikan karakter santri adalah lingkungan sekeliling pondok pesantren yang kondusif dan strategis dan adanya dukungan dari masyarakat sekitar. Faktor penghambatnya terdapat beberapa santri yang memang sulit untuk dibimbing dan dikendalikan, dan kadang kala mempengaruhi santri-santri yang lain, dan adanya anak-anak luar pesantren yang masuk ke dalam lingkungan pesantren dan kadang menciptakan kegaduhan di lingkungan pesantren.
55
56 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Adapun pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono, 2011: 15).
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diambil sendiri oleh peneliti, berupa hasil wawancara yang dilakukan kepada subjek penelitian. Sedangkan data sekunder adalah data yang didapat dari sumber lain, yaitu beberapa dokumen-dokumen yang berkaitan.
B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian
57 2. Waktu Penelitian
Persiapan penelitian ini dilakukan sejak bulan Januari 2014. Sedangkan untuk penelitian dan pengumpulan data yang berupa observasi, wawancara dan dokumentasi telah dilakukan sejak Bulan Mei sampai Bulan Juli 2014.
C. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah informan yang memberikan data yang akan diteliti dan diamati oleh peneliti. Subjek penelitian ini terdiri dari kepala sekolah, guru, satu ketua pondok pesantren, satpam sekolah, penjaga kantin sekolah, serta beberapa siswa di SMP Al-Hikmah. Objek penelitian ini adalah kebijakan pendidikan karakter di SMP AL-Hikmah Karangmojo.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Wawancara
58
Wawancara dilakukan kepada satu kepala sekolah, empat guru, satu orang ketua pondok pesantren, serta beberapa siswa di SMP Al-Hikmah. Adapun kisi-kisi wawancara termuat dalam tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Kisi-kisi dalam Wawancara
No Aspek yang Dicari Indikator yang Dicari Sumber Data 1 Alasan sekolah d. Hasil yang ingin dicapai e. Karakter yang diharapkan di
sekolah
f. Karakter yang diharapkan di pondok pesantren
a. Kepala sekolah b. Guru
2 Program kebijakan pendidikan karakter
a. Program pendidikan karakter di sekolah dan pondok pesantren b. Program yang paling unggul
a. Kepala sekolah
e. Hasil pendidikan karakter di sekolah dan di ponpes
59
pengamatan terhadap aktivitas sekolah. Kisi-kisi observasi termuat dalam tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Observasi
No Aspek yang Dicari Indikator yang dicari 1 Keadaan sekolah a. Halaman sekolah
b. Lingkungan sekolah
a. Perilaku kepala sekolah dengan guru b. Perilaku kepala sekolah dengan siswa c. Perilaku kepala sekolah dengan karyawan d. Sikap dalam pengambilan keputusan
e. Sikap dan perilaku yang menunjukkan penanaman nilai karakter
4 Perilaku guru a. Perilaku guru terhadap kepala sekolah b. Perilaku guru terhadap guru yang lain c. Perilaku guru terhadap siswa dalam KBM
d. Sikap dan perilaku yang menunjukkan penanaman nilai pendidikan karakter
5 Perilaku karyawan a. Sikap dan perilaku dalam melayani siswa
b. Sikap dan perilaku terhadap guru dan karyawan lain 6 Perilaku siswa a. Sikap dan perilaku saat pembelajaran
b. Perilaku saat di kelas dengan guru c. Perilaku di kelas terhadap siswa lain
d. Perilaku di pondok pesantren terhadap ustadz e. Sikap dan perilaku yang menunjukkan penanaman
nilai pendidikan karakter 7 Perilaku
kyai/ustadz
a. Sikap dan perilaku terhadap santri
8 Perilaku santri a. Sikap dan perilaku saat di pondok pesantren
b. Sikap dan perilaku saat mengikuti kegiatan di pondok pesantren
60 3. Dokumentasi
Sugiyono (2011: 329) mengatakan dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Pengambilan dokumen dalam penelitian ini berupa catatan peristiwa yang bersangkutan. Adapun kisi-kisi pedoman dokumentasi termuat dalam tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 4. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi
No Aspek yang dicari
Indikator yang dicari Sumber Data 1 Profil sekolah a. Sejarah sekolah
b. Profil sekolah
h. Sarana dan prasarana di pesantren
Dokumen
sekolah/arsip sekolah
3 Prestasi sekolah a. Data prestasi akademik dan non akademik
b. Data hasil ujian nasional
Dokumen
a. Tata tertib pondok pesantren b. Buku pelanggaran santri
61 E. InstrumenPenelitian
a. Peneliti
Peneliti merupakan instrument karena peneliti sekaligus sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penganalisis, penafsir data, dan pada akhirnya menjadi pelapor penelitiannya.
b. Lembar Observasi c. Pedoman Wawancara
F. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data kualitatif. Berikut tahapan dalam analisis data kualitatif yang digambarkan dalam gambar 4:
Gambar 4. Tahap Analisis Data
62 1. Reduksi Data
Sugiyono (2011: 338) mengatakan mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. Dalam penelitian ini reduksi data dilakukan dengan cara melakukan analisis pada hasil catatan lapangan dan wawancara dari beberapa informan untuk dirangkum dan dikategorisasikan.
2. Penyajian Data
63
dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks atau uraian singkat yang bersifat naratif.
3. Verifikasi/Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan diperoleh dari reduksi data dan display data. Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada di lapangan. G. Keabsahan Data
Untuk melihat keabsahan data dari penelitian ini dapat dilihat melalui triangulasi data. Sugiyono (2011: 330) menyatakan bahwa triangulasi data adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Apabila peneliti melakukan pengumpulan data dengan trianggulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.
64
65 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi SMP Al-Hikmah Karangmojo 1. Sejarah SMP Al-Hikmah
SMP Al-Hikmah Karangmojo terletak di Dusun Sumberjo, Desa Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Sekolah ini terletak di daerah yang strategis, yaitu jauh dari keramaian kota dan dalam lingkungan Pondok Pesantren Al-Hikmah sehingga sangat kondusif untuk kegiatan pembelajaran.
66
mendapat fasilitas asrama dan makan gratis dari Pondok Pesantren Al-Hikmah.
Berdirinya SMP Al-Hikmah ini merupakan salah satu wujud kepedulian Yayasan Al-Hikmah terhadap peran sertanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia, serta memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada anak-anak usia sekolah yang kurang mampu dari segi ekonomi sehingga mereka dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
2. Visi dan Misi SMP Al-Hikmah
Sebagai salah satu lembaga pendidikan, SMP Al-Hikmah memiliki visi dan misi sebagai berikut:
a. Visi
“Religius dan Berprestasi”
Dengan indikator sebagai berikut: 1) Unggul dalam aktivitas keagamaan. 2) Santun dalam bertindak.
3) Unggul dalam disiplin.
67 a. Misi
Untuk mewujudkan visi sekolah, maka SMP Al-Hikmah Karangmojo memiliki misi sebagai berikut:
1) Mengedepankan akhlak mulia dan dinul Islam.
2) Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara aktif dengan menerapkan prinsip pembelajaran “PAKEM” dan “CTL”, sehingga setiap siswa dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
3) Optimalisasi kegiatan pengembangan diri melalui karya ilmiah remaja baik dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (ektrakurikuler).
4) Optimalisasi pembelajaran berbasis TIK yang mencakup penggunaan IPTEK/TIK dan akses internet dalam KBM.
5) Melakukan kegiatan keagamaan untuk menumbuhkan penghayatan dan pengamalan terhadap agama yang dianut sehingga menjadi kearifan dalam bertindak.
6) Mengembangkan sikap 3A, “Asah, Asih, Asuh” terhadap semua warga sekolah.