• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

B. Pendidikan Karakter 1. Pengertian Karakter 1.Pengertian Karakter

5. Pendidik dalam Pendidikan Karakter

Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara resmi menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja, dan terarah, yang dilakukan oleh pendidik yang profesional, dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang tertentu, mulai dari tingkat Kanak-Kanak (TK) sampai Pendidikan Tinggi (PT) (Wiji Suwarno, 2009: 42).

Sekolah memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang berkarakter. Agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik memerlukan pemahaman yang cukup dan konsisten oleh seluruh personalia pendidikan. Di sekolah, kepala sekolah, pengawas, guru, dan karyawan harus memiliki persamaan persepsi tentang pendidikan karakter bagi peserta didik. Setiap personalia pendidikan, mempunyai perannya masing-masing. Kepala sekolah sebagai manajer, harus mempunyai komitmen yang kuat tentang pendidikan karakter. Kepala sekolah harus mampu membudayakan karakter-karakter unggul di sekolahnya (Zubaedi, 2011: 162).

Thomas Lickona (2012: 111) menjelaskan bahwa moralitas berkaitan dengan cara seseorang memperlakukan orang lain. Dalam komunitas kecil di kelas, siswa memiliki dua hubungan: hubungan dengan guru dan hubungan dengan siswa lainnya. Kedua hubungan ini

28

berpotensial sekali dalam memberi pengaruh, baik positif maupun negatif terhadap perkembangan karakter seorang anak.

Selanjutnya Thomas Lickona (2012: 112) juga menyatakan bahwa guru memiliki kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai dan karakter pada anak, setidaknya dengan tiga cara, yaitu: a) Guru dapat menjadi penyayang yang efektif, menyayangi dan menghormati murid-murid, membantu mereka meraih sukses di sekolah, membangun kepercayaan diri mereka, dan membuat mereka mengerti apa itu moral dengan melihat cara guru mereke memperlakukan mereka dengan etika yang baik; b) Guru dapat menjadi seorang model, yaitu orang-orang yang beretika yang menunjukkan rasa hormat dan tanggung jawabnya yang tinggi, baik di dalam maupun di luar kelas. gurupun dapat memberi contoh dalam hal-hal yang berkaitan dengan moral beserta alasannya, yaitu dengan cara menunjukkan etikanya dalam bertindak di sekolah dan di lingkungannya; c) Guru dapat menjadi mentor yang beretika, memberikan instruksi moral dan bimbingan melalui penjelasan, diskusi di kelas, bercerita, pemberian motivasi personal, dan memberikan umpan balik yang korektif ketika ada siswa yang menyakiti temannya atau menyakiti diriya sendiri.

Dwiningrum (2010: 53) menyatakan bahwa dalam menghadapi tantangan global, guru atau pendidik menjadi agen transformasi. Sebagai agen transformasi, guru diharapkan memahami dan

29

menerapkan sebelas prinsip yang minimal diperlukan dalam pendidikan karakter yang kemudian disosialisasikan dengan integrated learning dalam proses pembelajaran. Nilai-nilai yang dibutuhkan dalam pendidikan karakter sebaiknya sudah menyatu dalam diri seorang pendidik, hal ini dimaksudkan agar sebagai seorang pendidik memiliki keyakinan baru, bahwa dalam dirinya sangat dituntut untuk menjadi orang yang memiliki karakter yang kuat, sehingga dalam proses transformasi kepada anak didik dapat menjadi “model” atau “teladan” sebagai orang yang memiliki karakter. Aspek lain yang perlu dimiliki oleh seorang pendidik adalah tetap mengajarkan nilai-nilai penting yang dibutuhkan dalam proses pendidikan, yakni care (kasih sayang), respect (saling menghormati), responsible (bertanggungjawab), integrity (integritas), harmony (keseimbangan), resilience (daya tahan atau tangguh), creativity (kreativitas), dan lain-lain.

Proses pendidikan karakter menjadi tanggung jawab semua guru, termasuk juga guru bimbingan dan konseling (konselor sekolah). Konselor sekolah dalam konteks pendidikan karakter setidak-tidaknya dapat menjalankan sebagai pendidik karakter, manajer pendidikan karakter, konselor pembimbingan karakter, konsultan, panutan/contoh/figur sentral, perancang kegiatan, healer/problem solver dan mediator atau partner.

30

Pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik). Baik lembaga informal, non formal, dan formal harus berbagi tanggungjawab terhadap keberhasilan pendidikan karakter. Pendidikan karakter diintegrasikan pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Semua unsur berperan dalam melakukan pendidikan karakter baik guru, orangtua, atau siapa saja yang penting ia memiliki kepentingan untuk membentuk pribadi peserta didik atau anak.

Jadi, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran yang penting dalam mewujudkan kebijakan pendidikan karakter. Kepala sekolah, guru, dan karyawan memiliki perannya masing-masing dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter di sekolah. Kepala sekolah bereperan dalam manajerial sekolah agar sekolah dapat mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter dengan baik. Guru menjadi pendidik dan sekaligus sebagai model atau figur yang harus dicontoh oleh peserta didik. Pengawas berperan dalam mengawasi dan membimbing sekolah dalam mengatasi permasalahan sekolah, serta karyawan sekolah juga berperan dalam membantu terlaksananya kebijakan pendidikan karakter di sekolah. 6. Strategi dan Metode Pendidikan Karakter

Menurut Zamroni (Darmiyati Zuchdi, 2011: 174) pendidikan karakter berkaitan dengan nilai-nilai, penalaran, dan perilaku dari

31

seseorang. Pendidikan karakter tidak dapat hanya diceramahkan, atau dipaksakan lewat proses indoktrinasi berselubung pendidik. Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat.

Zamroni (Darmiyati Zuchdi, 2011: 174-177) menyatakan ada tujuh strategi yang ditawarkan dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah yaitu yang pertama tujuan, sasaran, dan target yang akan dicapai harus jelas dan konkret. Kedua, pendidikan karakter dikerjakan tidak hanya oleh sekolah, melainkan harus ada kerjasama antara sekolah dengan orangtua siswa sehingga akan lebih efektif dan efisien. Ketiga menyadarkan pada semua guru akan peran yang penting dan bertanggung jawab dalam keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru harus mengembangkan kesadaran akan pentingnya keterpaduan antara hati, pikiran, tangan, cipta, rasa, dan karsa di kalangan peserta didik guna mengembangkan karakter masing-masing. Keempat, perlu adanya kesadaran guru akan “hidden curriculum”, dan merupakan instrumen yang amat penting dalam pengembangan karakter peserta didik. Kelima, guru harus menekankan pada daya kritis dan kreatif peserta didik (critical and creative thinking), kemampuan bekerja sama, dan keterampilan mengambil keputusan. Metode pembelajaran yang paling tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah Cooperative Learning dan Problem Based Teaching and Learning. Keenam,

32

memanfaatkan kultur sekolah dalam pengembangan karakter peserta didik. Nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma, semboyan-semboyan sampai kondisi fisik sekolah yang ada perlu dipahami dan didesain sedemikian rupa sehingga fungsional untuk mengembangkan karakter siswa. Ketujuh, pada hakikatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari khususnya di sekolah yang dapat dimonitor dan dikontrol oleh kepala sekolah dan guru.

Muchlas Samani & Hariyanto (2011: 111) strategi pengembangan karakter secara makro dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang dirumuskan menggunakan berbagai sumber ideologi bangsa, perundangan yang terkait, pertimbangan teoritis seperti teori tentang otak, psikologis, nilai dan moral, pendidikan, dan sosio-kultural, serta pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktik terbaik (best practice) dari tokoh-tokoh, kelompok kultural, pesantren, dan lain-lain. Pada tahap pelaksanaan (implementasi) dikembangkan pengalaman belajar (learning experience) dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini berlangsung di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pada tahap evaluasi hasil dilakukan pengukuran (asesmen) untuk perbaikan berkelanjutan yang

33

sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik.

Kemendiknas (Udin Saripudin Winatraputra, 2010: 12) pada tataran mikro, pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan (school culture), kegiatan ko-kurikuler dan/atau ekstra ko-kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.

Pengembangan nilai dan sikap karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan mengintegrasikan dalam semua mata pelajaran (embeded approach) terutama untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects). Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter dalam diri peserta didik.

34

Dalam lingkungan satuan pendidikan (sekolah) harus dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilai/karakter.

Kegiatan ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (reinforcement) dalam rangka pengembangan nilai/karakter. Kegiatan ko-kurikuler yaitu kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dan lain-lain.

Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orangtua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.

Desain pendidikan karakter dalam tataran mikro dapat digambarkan sebagai berikut:

35

Gambar 2. Desain Pendidikan Karakter dalam Tataran Mikro Sumber: Udin Saripudin Winatraputra , 2010: 14

Sesuai dengan Desain Induk Pendidikan Karakter yang dirancang Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010 strategi pengembangan pendidikan karakter yang akan diterapkan di Indonesia antara lain melalui transformasi budaya sekolah (school culture) dan habituasi melalui kegiatan ekstrakurikuler. Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan pengembangan diri, menyarankan empat hal yang meliputi kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengondisian.

Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan siswa secara terus-menerus dan konsisten. Misalnya upacara bendera setiap hari Senin, salam dan salim didepan pintu gerbang sekolah, piket kelas,

36

salat berjamaah, berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran berakhir, berbaris saat masuk kelas, dan lain-lain.

Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang bersifat spontan, saat itu juga, pada waktu terjadi keadaan tertentu, misalnya mengumpulkan sumbangan bagi korban bencana alam, mengunjungi teman yang sakit atau sedang tertimpa musibah, dan lain-lain.

Keteladanan merupakan munculnya sikap dan perilaku siswa karena meniru perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan di sekolah, bahkan perilaku seluruh warga sekolah yang dewasa lainnya sebagai model, termasuk misalnya petugas kantin, satpam sekolah, penjaga sekolah dan sebagainya. Pengondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaaan pendidikan karakter, misalnya kondisi meja guru dan kepala sekolah yang rapi, kondisi toilet yang bersih, disediakan tempat sampah yang cukup, halaman sekolah yang hijau penuh pepohonan, tidak ada puntung rokok di sekolah.

Sedangkan Howard Kirschenbaum (Zubaedi, 2011: 233) mengatakan pembelajaran pendidikan karakter secara komprehensif dapat dilakukan dengan metode inkulkasi (inculcation), keteladanan (modeling), fasilitasi (facilitation), dan pengembangan keterampilan (skill building).

37

Kirschenbaum (Zubaedi, 2011: 234) mengatakan metode inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri yaitu mengkomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya, memberikan perlakuan kepada orang lain secara adil, menghargai pandangan dan pendapat orang lain, mengungkapkan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai alasan, dan dengan rasa hormat, tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan tidak mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki, menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang dikehendaki secara ekstrem. Metode ini juga ditandai dengan adanya pembuatan aturan, pemberian penghargaan, dan memberikan konsekuensi yang disertai alasan, tetap terbuka dengan kritik dan saran dan tidak menutup komunikasi dengan pihak yang tidak setuju dengan pendapat seseorang. Dalam inkulkasi (penanaman) nilai ini memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.

38

Dalam pendidikan nilai dan spiritualitas, permodelan atau pemberian teladan merupakan strategi yang biasa digunakan. Hal ini mengingat karakter merupakan perilaku (behavior), bukan pengetahuan, sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh peserta didik, maka harus diteladankan bukan diajarkan. Dalam mendidik karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model. Model dapat ditemukan oleh peserta didik di lingkungan sekitarnya. Semakin dekat model pada peserta didik akan semakin mudah dan efektiflah pendidikan karakter tersebut. Peserta didik butuh contoh yang nyata, bukan hanya contoh yang tertulis dalam buku apalagi contoh khayalan.

Mukhamad Murdiono (2010: 103) menyatakan strategi keteladanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu keteladanan internal (internal modelling) dan keteladanan ekstrernal (external modelling. Keteladanan internal dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang diberikan oleh guru dalam pembelajaran, sementara keteladanan ekstrenal dilakukan dengan pemberian contoh-contoh yang baik dari pada tokoh yang dapat diteladani, baik tokoh lokal maupun tokoh internasional.

c. Fasilitasi

Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik cara yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah,

39

sedangkan fasilitasi melatih subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dari fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik (Zubaedi, 2011: 239). d. Keterampilan

Ada beberapa keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan ini antara lain berpikir kritis, kreatif, komunikasi secara jelas, menyimak, bertindak, asertif, dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan sosial. Dua dari keterampilan akademik dan keterampilan sosial ini, yaitu keterampilan berpikir kritis dan keterampilan mengatasi konflik (Zubaedi, 2011: 239).

Dwiningrum (2010: 47) pendidikan karakter harus dikembangkan secara holistik sehingga hasilnya akan lebih optimal. Karena dalam membangun manusia yang berkarakter bukan hanya dari dimensi kognitif saja, tetapi dalam prosesnya harus mampu mengembangkan potensi manusia. Pendidikan karakter harus dirancang secara sistemik dan holistik agar hasilnya lebih optimal.

40

Dokumen terkait