• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kelembagaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Kelembagaan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Kelembagaan merupakan aturan main (rules of the game) atau prosedur yang mengatur interaksi antar masyarakat dan organisasi yang mengimplementasikan aturan-aturan tersebut untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Institusi dapat memberikan insentif bagi pelaku organisasi atau individu. Aturan main tersebut terdiri dari aturan formal (sistem kontrak, undang– undang, hukum, regulasi) dan aturan informal (konvensi, kepercayaan dan norma sosial dan budaya) beserta aturan penegakan (enforcement) yang menfasilitasi atau membentuk perilaku (behaviour) individu atau organisasi di masyarakat (ICNIE, 2007).

Pada level makro, kebijakan kelembagaan disebut dengan lingkungan institusi (institutional environment) pada level mikro disebut kesepakatan kelembagaan (institutional arrangement). Di dalam masyarakat peranan institusi adalah mengurangi ketidakpastian dengan cara membentuk struktur interaksi masyarakat yang stabil (ICNIE, 2007).

Beberapa asumsi mengenai bentuk dari institusi formal dan informal, yaitu a) institusi informal memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap fungsional dari organisasi formal, b) institusi formal mempengaruhi core dari institusi informal, c) institusi formal dapat disusun dengan baik ketika institusi informal dijalankan secara berkelanjutan, dan d) institusi formal dan informal memiliki tahapan yang berbeda dalam melakukan perubahan (ICNIE, 2007).

Kasryno dalam Syahyuti (2002) mendefinisikan kelembagaan sebagai suatu perangkat aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat. Sedangkan menurut Uphoff dalam Syahyuti (2002), lembaga adalah himpunan perilaku dan norma yang tetap yang berlaku dari waktu ke waktu melayani beberapa tujuan sosial yang baik.

Penyelenggaraan kelembagaan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik menimbulkan berbagai masalah, bahkan menyebabkan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah dan berbagai bidang (Krina P, 2003). Menurut World Bank, karakteristik tata pemerintahan yang baik adalah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi,

(2)

eksekutif yang bertanggungjawab, birokrasi yang professional dan aturan hukum (World Bank dalam Krina P, 2003).

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) menyebutkan sejumlah indikator tata pemerintahan yang baik seperti: transparansi, akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, serta kesinambungan. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka (MTI dalam Krina P, 2003).

Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Prinsip ini memiliki dua aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak masyarakat terhadap akses informasi (Krina P, 2003).

Akuntabilitas mencakup dua hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability) yaitu berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara periodik pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang mereka, kemana sumberdaya telah dipergunakan dan apa yang telah dicapai dengan menggunakan sumberdaya tersebut, dan (2) konsekuensi (consequences) (Krina P, 2003).

Menurut Budiardjo dalam Krina P (2003), akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu. Guy Peter dalam Krina P (2003) menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu: (1) akuntabilitas keuangan, (2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik.

Studi Dharmawan (2006) di dalam mengkaji permasalahan otoritas kelembagaan desa dalam reformasi tata-kelola pemerintahan desa, menemukan permasalahan: (1) lemahnya atau tidak efektifnya kinerja sistem tata-pemerintahan yang mewadahi beragam kepentingan di tingkat lokal (desa) sebagai akibat akumulasi kekuatan kewenangan kelembagaan di hierarki atas-desa maupun dalam-desa; (2) ketidakmandirian desa dalam menopang dan

(3)

mewujudkan masyarakat desa yang berdaya dalam menghadapi segala persoalan sosial-ekonomi-kemasyarakatan, (3) tidak kondusifnya tata-pemerintahan desa sebagai akibat berbagai persoalan yang melekat secara struktural seperti dominasi kekuasaan oleh otoritas atas-desa serta adanya faktor kultural lainnya, (4) ketiadaan wadah kebersamaan yang bisa menjadi infrastruktur sosial kelembagaan penyambung kepentingan atau aspirasi di tingkat lokal maupun regional untuk menekan munculnya ketidakselarasan dalam tata-pengaturan desa.

Tindakan Komunikasi

Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Universitas Frankfurt, Habermas dalam (Hardiman, 1993) tidak hanya berpendapat bahwa paham kebebasan-nilai ilmu-ilmu sosial itu keliru dan berbahaya, tapi juga memperlihatkan bahwa tujuan ilmu-ilmu kritis dengan kepentingan emansipatorisnya adalah membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan. Ditunjukkan juga bahwa otonomi kolektif ini berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi.

Sampai tahun 80-an, Habermas dalam Hardiman (1993) mengandaikan bahwa konsensus semacam itu bisa dicapai dalam sebuah masyarakat yang reflektif (cerdas) yang berhasil melakukan komunikasi yang memuaskan. Di dalam komunikasi itu, para partisipan ingin membuat lawan bicaranya mengerti maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebutnya sebagai klaim-klaim kesahihan (validity claims). Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus.

Dalam The Theory of Communication Action, Habermas dalam Hardiman (1993) menyebut empat macam klaim. Kalau kita bisa sepakat tentang dunia alamiah dan obyektif, kita mencapai klaim kebenaran (truth). Kalau sepakat tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia sosial, kita mencapai klaim ketepatan (rightness). Kalau sepakat tentang kesesuaian dunia batiniah dan ekspresi seseorang, kita mencapai klaim autentitas atau kejujuran (sincerety). Akhirnya kalau kita bisa menjelaskan macam-macam klaim itu dan mencapai kesepakatan atasnya, kita mencapai klaim komprehensibilitas (comprehensibility). Setiap komunikasi yang efektif harus mencapai klaim ini. Orang-orang yang

(4)

mampu berkomunikasi dalam arti menghasilkan klaim-klaim itu, disebut sebagai memiliki kompetensi komunikatif.

Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui revolusi dengan kekerasan, melainkan melalui argumentasi. Habermas dalam Hardiman (1993) membedakan dua macam argumentasi yaitu, perbincangan atau diskursus (discourse) dan kritik. Perbincangan dilakukan jika mengandaikan kemungkinan untuk mencapai konsensus rasional. Meskipun dilakukan untuk mencapai konsensus, komunikasi juga bisa terganggu, sehingga tidak perlu mengandaikan konsensus.

Tindakan komunikatif selalu merujuk pada wilayah komunikasi dimana setiap klaim kebenaran dilakukan dalam keterlibatan dan pengujian timbal balik dalam rangka saling-pengertian (mutual understanding). Habermas dalam (Robet, 2004) berkeyakinan bahwa bahwa prosedur penyelesaian perselisihan nilai dan moral kolektif serta pertengkaran sosial dan politik yang terbaik adalah dengan maksimalisasi argumentasi publik yang rasional dan terbuka, makin luas pihak-pihak yang berpartisipasi dalam proses tersebut, semakin kuat legitimasi politik yang terbentuk.

Habermas dalam Robet (2004) mengatakan bahwa dalam usaha menyelesaikan tes dialogisnya kemudian menurunkan argumen tersebut dan menyatakannya sebagai situasi pembicaraan yang ideal. Dia merumuskan kondisi ideal ini sebagai berikut:

1. Seluruh partisipan yang potensial harus memiliki kesempatan yang sama untuk menggunakan tindakan pembicaraan komunikatif melalui pertanyaan dan jawaban.

2. Seluruh partisipan harus memiliki kesempatan yang sama untuk mengemukakan interpretasi, pernyataan, rekomendasi, penjelasan dan pembenaran, dan mempermasalahkan klaim validitas mereka, mendirikan atau menolaknya, sehingga tidak ada opini yang dikonsepsikan sebelumnya luput dari pembahasan atau kritik untuk jangka waktu apa pun, semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk memulai pembicaraan sebagai tindakan, untuk menanyakan, menginterogasi, dan membuka perdebatan;

(5)

3. Semuanya memiliki hak menanyakan topik percakapan yang ditetapkan; dan semuanya memiliki hak memprakarsai argumen reflektif mengenai aturan prosedur dan cara di mana aturan tersebut diterapkan atau dilaksanakan.

4. Hanya memperkenankan pembicara yang memiliki kesempatan yang sama sebagai subyek aktif untuk menggunakan tindakan pembicaraan regulatif, yaitu, untuk mengajukan dan menentang, mengizinkan dan melarang, membuat dan menarik kembali janji, mempertanggungjawabkan sesuatu dan berhutang penjelasan. Tidak ada aturan yang jelas yang membatasi agenda percakapan, atau identitas partisipan, selama setiap kelompok atau orang yang dikecualikan dapat menunjukkan bahwa mereka secara relevan dipengaruhi oleh norma yang diusulkan yang sedang dipersoalkan.

Habermas dalam Bari (2007) mengungkapkan bahwa dalam paradigma komunikasi, situasi subyek-obyek bisa dihindarkan. Sebab, komunikasi mengandaikan dua hal: Pertama, manusia berhadapan satu sama lain sebagai dua pihak yang sejajar dan berdaulat; Kedua, adanya ruang kebebasan dalam menangkap maksud orang dalam suatu komunikasi sama sekali tidak dipaksakan.

Ruang atau, katakanlah, panggung tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan merupakan inti ide ruang publik politis. Konsep ruang di sini bukanlah metafora, melainkan real, sejauh kita tidak memahaminya sebagai ruang geometris yang terukur dan berciri fisis. Ruang sosial terbentuk lewat komunikasi (Hardiman, 2004).

Terdapat dua tipe ruang publik politis dalam masyarakat kita: Tipe pertama adalah ruang publik autentik yaitu ruang publik yang terdiri atas proses komunikasi yang diselenggarakan oleh institusi nonformal yang mengorganisasikan dirinya sendiri. Komunikasi disini terjalin secara horizontal, inklusif, dan diskursif. Para aktor dalam tipe pertama ini berasal dari publik itu sendiri, hidup dari kekuatan mereka sendiri, dan berpartisipasi dalam diseminasi, multiplikasi, dan proteksi ruang publik; Tipe kedua adalah ruang publik tak autentik yaitu kekuatan pengaruh atas keputusan para pemilih, konsumen, dan klien untuk memobilisasi loyalitas, daya beli, dan perilaku mereka lewat media massa. Berbeda dari yang pertama, para aktor di sini hanya memakai ruang publik

(6)

yang sudah ada dengan bantuan sumber-sumber dari luar mereka, yakni uang dan kuasa. Partai politik dan asosiasi bisnis dalam masyarakat kita tercakup dalam tipe kedua ini. Ruang publik macam inilah yang dominan di dalam masyarakat yang menjalankan kesehariannya (Hardiman, 2004).

Sejarah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)

Taman Nasional Ujung Kulon merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa dan terluas di Jawa Barat, serta merupakan habitat terakhir bagi kelangsungan hidup satwa langka Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan satwa langka lainnya. Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional sebagian besar adalah suku Sunda Banten yang terkenal dengan kesenian saktinya, yaitu Debus. Masyarakat tersebut pemeluk agama Islam yang kuat, namun mereka masih mempertahankan kebiasaan-kebiasaan, tradisi, dan kebudayaan nenek moyang mereka (PHKA, 2004).

Sejak jaman Belanda, wilayah yang saat ini dikukuhkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) telah didiami oleh warga 6 desa (Desa Ujung Jaya, Taman Jaya, Cigorondong, Tunggal Jaya, Kerta Mukti dan Kertajaya) di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten. Keenam desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Cigorondong pada tahun 1977 (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Keberadaan masyarakat Desa Ujung Jaya yang terdiri dari 5 kampung, yaitu: Kampung Cikawung Sabrang, Kampung Legon Pakis, Kampung Cikawung Girang, Kampung Sempur, Kampung Taman Jaya Girang telah berlangsung turun temurun dengan mengandalkan penghidupannya dari mengolah lahan pertanian (sawah dan kebun). Sebagian besar penduduk hingga saat ini menjadi petani. Dari penuturan masyarakat, Kampung Cikawung Girang, Kampung Legon Pakis dan Kampung Cikawung Sabrang merupakan hadiah (upah kerja) dari Pemerintah Kolonial Belanda setelah masyarakat melaksanakan kerja pembuatan Lapangan Banteng dan jalan (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Secara administratif, Desa Ujung Jaya merupakan hasil dari pemekaran Desa Taman Jaya pada tahun 1982, terdiri dari 3.641 jiwa dengan 869 kepala keluarga, luas desa mencapai 900 Ha, termasuk tanah yang diakui milik TNUK. Berdasarkan catatan yang dimiliki oleh BTNUK mengenai sejarah Ujung Kulon,

(7)

kekayaan alam dan keanekaragaman flora dan fauna Ujung Kulon pertama kali dikenalkan oleh seorang ahli botani Jerman, F. Junghun pada tahun 1846. Pada waktu itu ujung kulon merupakan tempat berburu bagi pejabat Belanda yang datang dari Batavia (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Tahun 1921, berdasarkan rekomendasi dari perhimpunan The Netherlands Indies Society For The Protection of Nature, Semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui SK. Pemerintah Belanda No. 60 tanggal 16 Nopember 1921. Tahun 1932, diadakan pengukuran tanah oleh Belanda di Ujung Kulon yang dibuktikan melalui Peta Tanah Milik (PTM) tahun 1935. Kepada warga yang menempati lahan di Desa Ujung Jaya pada saat itu diberikan surat kepemilikan tanah berbentuk Girik (cap singa) bagi masyarakat. Tahun 1937, dengan Keputusan Pemerintah No. 17 tanggal 24 Juni 1937 status Suaka Alam tersebut kemudian diubah menjadi Suaka Margasatwa dengan memasukkan Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Tahun 1958, oleh Kantor Tjabang Pendaftaran Tanah Milik Serang dikeluarkan Surat Tanda Pendaftaran Tanah Milik Indonesia yang dibuktikan melalui sertifikat cap Garuda (Tim Peneliti SAINS, 2007). Sejak tahun 1965 masyarakat telah mendapatkan Bukti Surat Pembayaran Pajak Hasil Bumi dari aktivitas pengolahan lahan pertanian dari Kantor Padjak Tjabang Serang. Pada tahun yang sama, status kawasan berubah kembali menjadi Kawasan Suaka Alam berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 48/UM/1958 tertanggal 17 April 1958 dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 Meter dari batas air laut surut terendah Semenanjung Ujung Kulon, dan memasukkan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Pulau Peucang, Pulau Panaitan, dan pulau-pulau Handeuleum, yaitu Pulau Boboko dan Pulau Pamanggan (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Tahun 1967, melalui SK Menteri Pertanian No. 16/KPTS/UM/3/1967 tanggal 16 Maret 1967, kawasan Cagar Alam Ujung Kulon diperluas dengan memasukkan Gunung Honje Selatan seluas 10.000 hektar. Tahun 1979, area kawasan Cagar Alam Ujung Kulon kembali diperluas dengan SK. Menteri Pertanian No. 39/KPTS/UM/1979 tanggal 11 Januari 1979 memasukkan lahan seluas 9.498 hektar di Gunung Honje sebelah Utara yang didiami penduduk yang

(8)

terbagi dalam beberapa desa di kecamatan Cimanggu ke dalam kawasan Cagar Alam (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Tahun 1984 dibentuklah kelembagaan Taman Nasional Ujung Kulon, melalui SK Menteri Kehutanan No. 96/KPTS/II/1984 yang wilayahnya meliputi: Semenanjung Ujung Kulon seluas 39.120 Ha, Gunung Honje seluas 19.498 Ha, Pulau Peucang dan Panaitan seluas 17.500 Ha, Kepulauan Krakatau seluas 2.405,1 Ha, dan hutan Wisata Carita seluas 95 Ha (BTNUK, 2007). Tahun 1984 saat program relokasi warga, Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim berkunjung ke Kampung Legon Pakis. Emil Salim menjanjikan kepada warga untuk tidak langsung menjalankan relokasi sebelum adanya jaminan hidup yang memadai bagi warga (rumah, tanah pertanian, sekolah dsb). Emil Salim menjanjikan akan melindungi warga sebelum jaminan relokasi dipenuhi (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Tahun 1990 berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 44/Kpts/DJ/1990 tanggal 8 Mei 1990, Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon mangalami pengurangan yaitu Kepulauan Krakatau pengelolaannya diserahkan kepada Badan Koordinasi Sumber Daya Alam (BKSDA) II Tanjung Karang, Hutan Wisata Carita diserahkan kepada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Tanggal 26 Februari 1992, Ujung Kulon ditetapkan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992, dengan luas areal 120.551 Ha, yang terdiri dari daratan 76.214 ha dan laut 44.337 ha. Meliputi wilayah Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Panaitan, Pulau Peucang, Pulau Handeuleum dan Gunung Honje. Pada tahun yang sama Komisi Warisan Dunia dari UNESCO menetapkan TNUK sebagai World Heritage Site dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409 (BTNUK, 2007).

Perubahan bentuk pengelolaan kawasan mulai menimbulkan ketegangan. Pengukuhan wilayah taman nasional menjadikan sejumlah desa di Kecamatan Cimanggu dan Sumur masuk pada wilayah kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Kampung Legon Pakis dan beberapa kampung lainnya serta areal perkebunan atau lahan sawah milik masyarakat yang merupakan kawasan permukiman yang berada dalam zona kelola masyarakat dalam kawasan taman

(9)

nasional menjadi permukiman yang mula-mula akan direlokasi (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Perubahan tapal batas taman nasional membuat perubahan pula pada penempatan Pos Jaga Suaka. Yang awalnya berada di Cilintang, dimana di tempat tersebut telah dibuat batas wilayah secara bersama oleh warga dan petugas Suaka, juga ikut dipindahkan. Menurut masyarakat Kampung Legon Pakis, seharusnya batas wilayah antara TNUK dengan lahan masyarakat berada di sebelah timur: Cipakis, sebelah barat: Cilintang dan sebelah selatan: Cihujan (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Masyarakat Kampung Legon Pakis sejak itu dipaksa pindah ke Desa Pamatang Laja. Namun masyarakat tidak bersedia pindah, karena objek relokasi sangat jauh dari tempat asal, tidak terdapat areal pertanian atau lahan sawah untuk penghidupan masyarakat dan tanah tidak dapat ditanami. Sejak saat itu, masyarakat yang berdiam di wilayah yang diklaim sebagai kawasan taman nasional mengalami intimidasi, kekerasan dari petugas Balai Taman Nasional. Pengadaan listrik secara swadaya tidak diperbolehkan, masyarakat dilarang menebang tanaman kayu untuk kebutuhan sehari-hari, pekerjaan mengolah lahan juga terganggu, lahan pertanian, saung dan kebun warga dirusak. Masyarakat dituduh melakukan perambahan hutan dan ditangkap (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Di Kampung Legon Pakis, dari 155 KK, jumlah penduduk menyusut menjadi 85 KK akibat masyarakat dilarang menebang pohon yang ditanamnya, dilarang membangun rumah (jumlah rumah dilarang bertambah), sekolah madrasah swadaya masyarakat ditutup, dan bahkan perbaikan masjid yang telah berdiri sejak tahun 1950an harus melalui perundingan yang alot (Tim Peneliti SAINS, 2007).

Penyelesaian Konflik

Menurut Rauf (2001), konflik adalah pertentangan atau perbedaan pendapat antara paling tidak dua orang atau kelompok. Menurut Fuad dan Maskanah (2000), konflik adalah benturan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. Ted Robert Gurr dalam Rauf (2001), menyebut ada paling tidak

(10)

empat ciri konflik, yaitu (1) ada dua atau lebih pihak yang terlibat, (2) mereka terlibat dalam tindakan-tindakan yang saling memusuhi, (3) mereka menghancurkan, melukai, dan menghalang-halangi lawannya, dan (4) interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi dengan mudah oleh pada pengamat yang independen.

Pengamat yang independen yang berinisiatif untuk turut serta dalam menyelesaikan konflik disebut sebagai pihak ketiga. Pihak ke-3 yang netral, artinya terlibat secara aktif di dalam konflik sebagai penengah, adanya empati, kemauan untuk mendengarkan, mengikuti proses pembicaraan, melihat sesuatu secara jernih, tidak langsung secara gegabah menentukan keputusan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan psikologi konflik merupakan hal-hal yang sangat diperlukan bagi seorang penengah. Selama proses penyelesaian konflik dialog interaktif antara pihak-pihak yang berkonflik secara terbuka amat diperlukan, sehingga dalam hal ini suatu proses komunikasi dapat berjalan secara intensif.

Konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu terdapat di dalam setiap masyarakat dalam setiap kurun waktu (Rauf, 2001). Oleh karenanya konflik bukanlah sesuatu yang dapat dihindari atau disembunyikan tetapi harus diakui keberadaannya, dikelola, dan diubah menjadi suatu kekuatan bagi perubahan positif (Fuad dan Maskanah, 2000).

Menurut Fisher et al. (2000), terdapat beberapa teori yang menerangkan pemicu konflik yaitu: (1) teori kebutuhan manusia yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia –fisik, mental, dan sosial- yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Kebutuhan yang paling sering menjadi pemicu konflik adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi; (2) teori tranformasi konflik yang berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi.

Konflik yang dipicu oleh adanya ketidakseimbangan secara sosial, politik dan ekonomi mengandung perhitungan-perhitungan yang rasional, untung-rugi, menuntut adanya keadilan distributif. Oleh karena itu langkah-langkah penyelesaian yang dilakukan melalui perhitungan-perhitungan rasional. Contoh sederhana sebagai ilustrasi konflik yang rasional adalah pertentangan mengenai

(11)

perebutan lahan usaha yang dapat diselesaikan melalui langkah-langkah kompromi antara dua pihak yang bertikai dengan membagi lahan usaha menurut proporsi yang disepakati (Chalid, 2005).

Untuk memahami dinamika konflik, Fisher menyarankan menggunakan alat bantu berupa pemetaan konflik untuk menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Pemetaan konflik adalah sebuah teknik visual yang menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuannya untuk: (1) memperoleh pemahaman terhadap situasi dengan lebih baik; (2) melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas; (3) menjelaskan dimana letak kekuasaan; (4) memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi; (5) melihat para sekutu atau sekutu yang potensial berada dimana; (6) mengidentifikasi mulainya intervensi atau tindakan; (7) mengevaluasi apa yang telah dilakukan.

Terdapat tiga model penjelasan yang dapat dipakai untuk menganalisis kehadiran konflik dalam kehidupan masyarakat, pertama penjelasan budaya, kedua, penjelasan ekonomi, ketiga penjelasan politik. Penjelasan konflik dari sisi ekonomi, Stewart dalam Chalid (2005) mengemukakan empat hipotesis. Hipotesis tersebut oleh Stewart dipakai untuk menganalisis sebab-sebab peperangan antar negara. Keempat hipotesis tersebut adalah, i) motivasi kelompok dan kesenjangan horisontal; ii) motivasi perorangan; iii) Kontrak sosial yang gagal; iv) hipotesis perang hijau.

Bertolak dari empat hipotesis di atas, kemudian Stewart dalam Chalid (2005) memformulasikan resolusi konflik melalui mekanisme politik yang inklusif dan sistem sosial dan ekonomi yang inklusif. Politik inklusif bertujuan mengurangi dominasi politik satu kelompok dan mendistribusikannya kepada kelompok lain, dengan demikian membuka peluang partisipasi politik yang luas dari berbagai kelompok atau kalangan yang berbeda.

Model kedua resolusi konflik adalah implementasi sistem sosial dan ekonomi inklusif. Sama halnya dengan politik inklusif, model ini bertujuan mengurang kesenjangan horisontal. Kebijakan sosial dan ekonomi inklusif mencakup sektor pemerintah dan sektor swasta. Dalam sektor pemerintahan, kebijakan yang dikeluarkan diarahkan untuk mendistribusikan manfaat

(12)

antarkelompok secara berimbang dalam hal bantuan dan pemberian layanan umum, seperti mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama, layanan kesehatan, air dan sanitasi lingkungan, perumahan dan subsidi konsumen. langsung turut menciptakan diferensiasi kelompok (Chalid, 2005).

Penyelesaian konflik adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan atau menghilangkan konflik dengan mencari kesempatan antara pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik (Rauf, 2001). Sedangkan menurut FAO (2006), penyelesaian konflik berhubungan dengan semua strategi yang berorientasi kepada tercapainya kesepakatan diantara pihak-pihak yang berkonflik yang memungkinkan mereka untuk menyelesaikan konflik, tanpa perlu menangani penyebab-penyebab yang mendasari konflik.

Definisi penyelesaian konflik menurut FAO, disebut Coser dalam Jhonson (1981) sebagai katup pengaman. Katup pengaman merupakan suatu saluran alternatif untuk mengungkapkan perasaan bermusuhan dari sumber yang sebenarnya yang merupakan konsekwensi karena dipendamnya konflik. Alternatif seperti itu adalah sejenis katup pengaman dengan mana dorongan-dorongan agresif atau permusuhan bisa diungkapkan dengan cara-cara yang tidak mengancam atau merusakkan solidaritas.

Tanpa memandang bentuknya yang khusus, mekanisme katup pengaman itu menguntungkan kelompok dengan membiarkan rendahnya ketegangan yang muncul dari antagonisme internal dan konflik dengan cara yang tidak terang-terangan mengancam solidaritas itu. Tetapi mekanisme seperti itu tidak memungkinkan pengakuan secara eksplisit akan konflik atau perundingan yang realistik mengenai perbedaan-perbedaan mendasar yang berhubungan dengan itu. Perbedaan dan permusuhan yang mendasar tetap ada di bawah permukaan solidaritas dan kekompakan yang nampak (Jhonson, 1981).

Berdasarkan analisa fungsional tentang konflik yang disumbangkan oleh Coser dalam Jhonson (1981), konsekwensi dipendamnya konflik atau dipendamnya kepentingan-kepentingan yang berlawanan atau perasaan-perasaan bermusuhan hasilnya akan bermacam-macam, tergantung pada keterlibatan timbal-balik, intensitas hubungan emosional, besarnya kelompok, dan faktor lain-lain. Tetapi umumnya ada dua konsekwensi dipendamnya konflik: 1)

(13)

dipendamnya konflik dapat mengakibatkan putusnya hubungan. Kalau keterlibatan emosional pihak yang yang terlibat dalam konflik sudah tinggi, berakhirnya hubungan itu mungkin dipercepat dengan meledaknya konflik secara tiba-tiba dan parah, dimana ketegangan dan permusuhan yang menggunung sejak masa lampau meledak dalam bentuk amukan yang keras. Dalam situasi seperti itu, peristiwa yang mempercepat meledaknya konflik mungkin remeh, pentingnya faktor pencetus harus dimengerti latar belakang sejarah terakumulasinya permusuhan yang terpendam itu. Sebaliknya kalau hubungan itu bersifat sekunder, putusnya hubungan yang ditimbulkan oleh konflik yang terpendam mungkin hanya berupa sikap apatis yang semakin bertambah dan akhirnya mundur; 2) yang mungkin terjadi karena dipendamnya konflik adalah mengelakkan perasaan bermusuhan itu dari sumber yang sebenarnya, dan mengembangkan suatu saluran alternatif untuk mengungkapkannya. Alternatif seperti itulah yang disebut sebagai katup pengaman (Jhonson, 1981).

Menurut Fisher et al, (2000), penyelesaian konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri konflik, tetapi juga mencapai suatu penyelesaian dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya. Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian.

Menurut Rauf (2001), ada dua cara penyelesaian konflik yaitu penyelesaian konflik secara persuasif dan penyelesaian konflik secara kekerasan atau koersif. Cara penyelesaian konflik secara persuasif menghasilkan penyelesaian konflik secara tuntas, artinya tidak ada lagi perbedaan antara pihak-pihak yang tadinya berkonflik karena titik temu telah dihasilkan atas keinginan sendiri. Cara koersif menghasilkan penyelesaian konflik dengan kualitas rendah karena konflik sebenarnya belum selesai secara tuntas. Titik temu atau mufakat terbentuk secara terpaksa.

Banyak cara untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan warga, baik melalui peradilan maupun tanpa melalui peradilan dengan melakukan musyawarah, tawar-menawar, dan kesepakatan-kesepakatan informal lainnya. Mengingat tujuan awal penyelesaian konflik adalah menemukan suatu

(14)

pilihan yang menjamin akses pada keadilan, maka diperlukan adanya suatu proses komunikasi dan empati. Selama proses tersebut dialog yang interaktif antara pihak-pihak yang berkonflik secara terbuka amat diperlukan, sehingga dalam hal ini suatu proses komunikasi dapat berjalan secara intensif (Fuad dan Maskanah, 2000).

Dalam konteks konflik kehutanan, UU N0. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur penyelesaian konflik kehutanan, yaitu terdapat dalam pasal 74 dan 75. Disebutkan dalam pasal 74 ayat 1) bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa, 2) apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dapat dilakukan setelah tidak dicapai kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa. Dalam pasal 75 disebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana. Penyelesaian di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.

Selain hal-hal di atas, konflik juga bisa diselesaikan melalui pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan mempunyai relevansi penting dengan penyelesaian konflik dalam rangka mewujudkan perdamaian di Papua (Marvic, 2008).

Penekanan dalam pemberdayaan masyarakat meliputi beberapa hal, pertama, adanya kemampuan menyeluruh dari masyarakat dalam mempengaruhi lingkungan mereka, dan hal ini dapat dicapai jika proses pengembangan masyarakat merupakan proses pengembangan kemandirian mereka. Kedua, peningkatan pendapatan sebagai akibat peningkatan kemampuan menguasai lingkungan tidak terbatas pada kelompok masyarakat tertentu saja atau kelompok masyarakat yang kuat, melainkan harus merata ditiap penduduk (Chalid, 2005).

Pemberdayaan masyarakat juga terkait dengan negara sebagai sistem yang lebih luas yang berfungsi menjamin kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, struktur masyarakat Indonesia yang paternalistik menempatkan tokoh masyarakat dalam posisi yang penting. Untuk itu, keterlibatan tokoh masyarakat menjadi faktor yang cukup menentukan dalam proses pemberdayaan (Chalid, 2005).

(15)

Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Wulan et al (2003) di Kalimantan Timur mengenai konflik di Taman Nasional Kutai menyimpulkan bahwa penyebab konflik bisa digolongkan menjadi lima kategori, yaitu, perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas atau akses dan alih fungsi kawasan. penyebab yang paling menonjol ditingkat nasional dan terutama terjadi di Kalimantan Timur (dengan mayoritas 8%) adalah karena ketidakjelasan tata batas kawasan dan keterbatasan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Anau et al (2002) mengenai pembuatan kesepakatan antar stakeholder hutan mengambil beberapa kesimpulan utama sebagai berikut: dalam era desentralisasi, adanya manfaat baru dari hutan telah mendorong desa-desa untuk mengadakan negosiasi satu sama lain, tetapi lembaga-lembaga untuk memfasilitasi negosiasi mereka belum berkembang; Ketidakpastian dan perubahan yang cepat dalam kesempatan ekonomis dan politik membuat desa-desa sulit untuk mencapai kesepakatan yang stabil mengenai batas-batas lahan; Perbedaan dalam kekuasaan dan pengaruh di antara warga desa adalah penyebab utama apakah suatu perjanjian atau kesepakatan yang stabil dalam diwujudkan, tetapi hanya ada sedikit perlindungan untuk memastikan keterwakilan secara adil dan peran serta kelompok yang lebih lemah; Kesepakatan yang dicapai biasanya tidak adil bagi suatu kelompok.

Membangun masyarakat politik yang mendukung pada kedua desa dan desa-desa berpengaruh lainnya melalui konsultasi dan pengambilan keputusan yang transparan adalah penting bagi desa-desa untuk mencapai dan mempertahankan suatu perjanjian. Bila para stakeholder tidak bisa membangun masyarakat itu, fokus dalam mengatasi konflik secara konstruktif bisa lebih produktif daripada memaksakan suatu perjanjian yang lemah. Suatu pihak ketiga dengan kewenangan dan kekuasaan di atas tingkat desa perlu ada untuk menetapkan kriteria untuk mengatasi konflik dan untuk mengesahkan dan memberlakukan perjanjian yang sah (Anau et al, 2002).

Dharmawan (2006) telah melakukan analisis konflik sosial dengan fokus kajian di Kalimantan Barat. Dari analisis tersebut, Dharmawan membuat kerangka umum penyelesaian konflik. Jika konflik Negara vis a vis Masyarakat maka

(16)

penyelesaian konflik sebaiknya berbasis atau berorientasi nilai-kultural (etik, norma) yaitu melalui edukasi publik sebagai pendekatan penerapan etika pemihakan (affirmative action) kepada pihak yang lemah. Penyelesaian konflik sebaiknya juga berbasis atau berorientasi pada pengembangan struktur kelembagaan, forum komunikasi dan memberdayakan “ruang komunikasi publik” dan pengembangan kelembagaan kolaboratif atau kemitraan.

Studi kelembagaan yang dilaksanakan oleh Dharmawan (2003) mengenai pengelolaan DAS Citanduiy, menyimpulkan bahwa ruang masyarakat sipil bukanlah ”ruang homogen” dimana semua komponen kelembagaan dan organisasi sosial yang hidup di dalamnya berideologi dan berkepentingan sama. Komunitas desa dengan dinamika kelembagaannya merupakan ruang heterogen dimana tidak ada ideologi dan kepentingan yang seragam, selaras, sejajar dan harmonis di kalangan elemen-elemen pembentuknya. Pada aras grass-root, konflik-konflik kepentingan dan friksi sosial juga berlangsung sangat tajam, sehingga mengantarkan sistem ekologi DAS memasuki konflik sosial yang sangat beresiko terhadap ancaman disintegrasi sosial atau konflik sosio-ekologi. Untuk menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut, pendekatan kolaboratif ditempuh.

Kajian Dharmawan (2003) mengemukakan bahwa konsekuensi dinamika di ruang masyarakat sipil mengharuskan tiga kelembagaan yang sepantasnya segera bermitra, yaitu: kelembagaan produksi desa, kelembagaan konservasi termasuk kelompok tani dan kelembagaan koperasi yang memiliki peran khas. Pada aras lokal, kelembagaan (NGO/non governmental organization), CSA/Civil Society Association dan organisasi natural resources users) dianggap sebagai asset kelembagaan komunitas lokal penting dan dapat dipandang sebagai stok modal sosial (sosial capital) yang dimiliki oleh komunitas desa. Kekuatan sinergis ketiga organisasi sosial itu diperlukan untuk mengimbangi kekuatan negara dan swasta yang selama ini mendominasi kekuasaan dan menentukan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan.

Studi yang dilakukan oleh Dewantama et al (2007) mengenai efektivitas pengelolaan kolaboratif kawasan perairan Taman Nasional Bali Barat terhadap tutupan Karang Hidup dan Sosial Ekonomi masyarakat menemukan bahwa Pengelolaan kolaboratif di kawasan perairan TNBB berjalan efektif dengan

(17)

indikator terjadinya peningkatan kualitas ekosistem terumbu karang (peningkatan tutupan karang hidup) dari 3,72% pada tahun 1998 menjadi 37,1% pada tahun 2006, yang didukung (berkorelasi) oleh fakta kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sistem pengaturan proses pengelolaan melalui kerjasama antara Balai TNBB dan FKMPP. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pengelolaan kolaboratif melalui kegiatan patroli dan kegiatan pariwisata mempunyai korelasi yang negatif dengan tutupan karang hidup.

Berdasarkan pengalaman CIFOR, kolaborasi sebaiknya dilakukan berdasarkan ikatan antara para pemangku kepentingan untuk memecahkan masalah-masalah yang telah dirumuskan bersama. Adanya tujuan yang jelas dan mudah dicapai dapat dipandang sebagai tali pengikat untuk secara bersama-sama melakukan kegiatan. Bentuk-bentuk ikatan formal sebaiknya dilakukan jika kolaborasi melibatkan lembaga-lembaga. Umumnya pimpinan lembaga membutuhkan formalitas agar prosedur birokrasi dan administrasi tidak dilanggar. Kondisi Taman Nasional Danau Sentarum sangat kompleks karena merupakan kawasan transisi antara ekosistem akuatik dan daratan. Model-model kolaboratif untuk menangani permasalahan akuatik akan berbeda dengan model-model kolaboratif untuk menangani permasalahan yang dijumpai pada ekosistem daratan. Teknik berkolaborasi dengan suku Dayak juga akan berbeda dengan teknik berkolaborasi dengan suku Melayu. Untuk mengurangi biaya transaksi dan komunikasi yang terlalu mahal, kolaborasi dapat dilaksanakan oleh 2 sampai 3 pemangku kepentingan (Anshari. 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Pemahaman bahwa semakin sulitnya mencari bahan baku bambu Hitam berpengaruh pada kesadaran masyarakat (pengguna) untuk melakukan konservasi dengan cara penanaman

Dari hasil penelitian ini akan terlihat bagaimana mahasiswa menerapkan peraturan tata guna lahan pada hasil tugas SPA 3 sesuai ketentuan yang telah diatur dalam RTRW

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 merupakan riset kedua yang mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan setelah tahun 2007 yang merepresentasikan gambaran

dalam rangkaian acara yang digelar hingga 12 Februari ini juga terdapat prosesi pengangkatan jabatan yang dilakukan langsung oleh Dirut Sumber Daya Manusia

Hasil penelitian terhadap penulisan ini menunjukan bahwa, Kewenangan Pemerintah Kabupaten Badung dalam upaya mempertahankan lahan pertanian tercantum dalam Peraturan

Manakala untuk menyelesaikan masalah kita perlu berfikir sejenak dan men(ari jalan serta memeikirkan langkah#langkah tertentu yang mungkin tidak pernah di(uba sebelum itu,

Melalui surat ini saya mengajukan lamaran untuk dapat diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Formasi Tahun 2013 di Lingkungan Kementerian Sosial RI

Empat komponen dasar pada bauran pemasaran adalah formulasi produk yang sesuai dengan perubahan kebutuhan target pelanggan, harga yang sesuai digunakan untuk