KEHAMILAN DENGAN LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
dr. I Ketut Surya Negara,SpOG(K), MARS
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA / RSUP SANGLAH DENPASAR
2014
BAB I PENDAHULUAN
Kehamilan pada ibu dengan penyakit Lupus Eritematosus sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu dan janin, yang sampai saat ini masih menjadi salah satu indikator kesehatan nasional. Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik pada berbagai organ yang penyebabnya belum diketahui secara jelas, serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis yang sangat beragam.1 Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES.1
Insiden tahunan LES di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki- laki antara 9-14 : 1. Belum terdapat data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien LES atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.2,3 Data pasien LES pada kehamilan masih sulit didapat, dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-2 kasus LES.2,3 Dari kunjungan pasien yang datang kontrol ke Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah Denpasar, didapatkan 3 kasus dari tahun 2011- 2013.4
Manifestasi klinis LES sangat luas, meliputi keterlibatan kulit, dan mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut- turut adalah arthritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitifity 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4%, dan demam 16,6%. Sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8%, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.5
Survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan
terhadap 108 orang pasien LES yang berobat dari tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas LES berkaitan dengan aktifitas penyakit dan infeksi ( termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.5
Tingginya kasus LES ini merupakan salah satu hal yang harus diwaspadai karena banyak faktor merugikan yang mempengaruhi fungsi tubuh akibat gangguan sistem autoimun. Penyakit LES menyerang hampir 90% wanita yang terjadi pada rentang usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki adalah 9:1. Penyakit LES yang kebanyakan terjadi pada wanita di usia reproduksi seringkali menimbulkan masalah kesehatan terutama pada masa kehamilan yang dapat membahayakan kondisi ibu dan janin. Dilaporkan wanita hamil yang menderita LES memiliki komplikasi yang buruk terhadap kondisi ibu dan janin. Oleh karena itu penyakit LES sangat berisiko tinggi pada kehamilan.6
Masalah yang memperburuk keadaan selama kehamilan adalah terjadinya flare penyakit, terutama bila aktifitas penyakit LES tinggi sebelum hamil. Flare pada kehamilan dilaporkan antara 13 sampai 68% pada penderita LES yang hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jumlahnya meningkat selama kehamilan dan pada masa post partum antara 30 sampai 50%.6
Di bidang Obstetri penyakit ini dianggap penting karena LES dapat merupakan satu penyakit kehamilan, di mana mempunyai potensi untuk mengakibatkan kematian janin, kelahiran preterm, maupun kelainan pertumbuhan janin.Bayi yang lahir dari ibu yang mengidap LES dapat menyebabkan Lupus Eritematosus Neonatal, walaupun jarang (1: 20.000 kelahiran hidup). Risiko kematian ibu hamil yang menderita LES memiliki dampak 20x lebih tinggi karena komplikasi yang disebabkan oleh pre-eklampsia, thrombosis, infeksi dan kelainan darah.7 Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam dan risiko kematian yang tinggi maka penulis tertarik membuat sari pustaka ini, untuk bisa mengenali lebih awal ibu hamil dengan LES, melakukan perawatan antenatal,
intranatal dan postnatal yang lebih komprehensif dan terarah pada kehamilan dengan lupus eritematosus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi dan Pathogenesis LES
Etiologi dan pathogenesis LES masih belum diketahui dengan jelas.Meskipun demikian terdapat banyak bukti yang mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun.Kerusakan jaringan disebabkan oleh autoantibodi komplek imun dan limfosit T. Seperti halnya penyakit autoimun yang lain, suseptibilitas LES tergantung oleh gen yang multiple. Interaksi antara faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkait akan menimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita LES. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya LES adalah stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan LES adalah procainamine, hidralasin, quidine dan sulfasalasine. Pada LES ini sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen.8
Faktor lingkungan memegang peranan penting, melakukan interaksi dengan sel yang suseptibel sehingga akan menghasilkan respon imun yang abnormal dengan segala akibatnya. Faktor genetik mempunyai peran penting, di mana 10-20 % pasien penderita LES mempunyai kerabat penderita LES. Adapun gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikat komplemen telah terbukti. Gen-gen lain yang berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, immunoglobulin dan sitokin.8
Ditemukan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun. Pada LES, cirinya adalah adanya gangguan sistem imun pada sel T dan sel B serta pada interaksi antara kedua sel tersebut, hal ini akan menimbulkan aktifasi sistem neuroendokrin . Di dalam tubuh sebenarnya terdapat kelompok limfosit B yang memproduksi autoantibodi maupun sel T yang bersifat sitotoksik terhadap diri sendiri.8
Populasi sel yang autoreaktif ini diatur dan dikendalikan oleh sel limfosit T supresor.Kegagalan mekanisme kendali mengakibatkan terbentuknya autoantibodi yang kemudian membentuk kompleks imun atau berkaitan dengan jaringan.Sel T sitotoksik dapat menyerang sel tubuh secara langsung, sambil mengeluarkan mediator yang mengakibatkan reaksi peradangan. Antibodi dan komplemen yang melapisi sel tersebut mengakibatkan perusakan sel oleh sel fagosit dan sel Killer.7,8
Bagian yang penting dalam pathogenesis ini adalah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Dalam keadaan normal,kompleks imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut, ukuran kompleks merupakan faktor yang penting. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karenanya dapat lebih lama berada dalam sirkulasi.8
Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.Meskipun kompleks imun berada di sirkulasi dalam jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks tersebut mengendap di jaringan. Terjadinya pengendapan kompleks imun dikarenakan ukuran kompleks imun yang kecil dan permeabilitas vaskuler yang meninggi, antara lain disebabkan oleh pelepasan histamin. Kompleks imun lebih mudah diendapkan pada tempat-tempat dengan tekanan darah yang tinggi yang disertai turbulensi, misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid dan siliar mata.Akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut.Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal,sendi,pleura,pleksus koroideus,kulit dan sebagainya.6-8
2.2 Gejala Klinis LES
Penderita LES umumnya mengeluh lemah, demam, malaise, anoreksia dan berat badan menurun.Pada penyakit yang sudah lanjut (berbulan - bulan sampai tahunan) barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung melibatkan multiorgan. Manifestasinya bisa ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa.9
Tabel 1. Manifestasi klinis LES (dikutip dari Lahita)9
Sistem Organ Manifestasi Klinis Persentase
(%) Sistemik Mudah lelah, lemah, demam, penurunan
berat badan
95
Muskuloskeletal Athralgia, mialgia, poliarthritis, miopati 95 Hematologik Anemia, hemolisis, leukopenia,
trombositopenia, dll
85
Kutaneus Ruam malar, ruam discoid, ruam kulit, photosensitif,dll
Neurologik Sindrom otak organik, psikosis, serangan kejang
60
Kardiopulmoner Pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis Libmann Sacks.
60
Renal Proteinuria, sindrom nefrotik, gagal ginjal 50 Gastrointestinal Anoreksia, nausea, diare, vaskulitis 45
Trombosis Arterial(5%) dan venosa(10%) 15
Okuler Konjungtivitis 15
Kehamilan Abortus berulang, preeklampsia, kematian janin dalam rahim
30
1.Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednisone.9
2. Penurunan Berat Badan
Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi pada beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau yang diakibatkan oleh gejala gastrointestinal.5,9
3. Demam
Demam sebagai gejala konstitusional sulit dibedakan dengan penyakit lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.5,9
4. Manifestasi muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering dijumpai pada penderita LES, lebih dari 90%.Keluhan dapat berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (athralgia) atau merupakan suatu arthritis di mana tampak adanya inflamasi sendi.Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi arthritis rheumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Pada LES, keterlibatan sendi pada umumnya tidak akan menyebabkan deformitas.5,9
5. Manifestasi kulit
Ruam kulit merupakan manifestasi LES yang telah lama dikenal. Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian dari LES dapat berupa suatu reaksi fotosensitifitas,
discoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), lupus
profundus/paniculitis, alopesia, lesi vaskuler berupa eritema periungual, livedo retikularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s dan lain-lain.5,9
6. Manifestasi paru
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau berlanjut menjadi kronik.Pada keadaan akut perlu dibedakan dengan pneumonia bakterial.Apabila terjadi keraguan untuk diagnosis dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkoalveolar. Pneumonitis lupus memberikan respon yang baik terhadap pemberian kortikosteroid.5,9
7. Manifestasi kardiologi
Baik perikardium, miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah koroner dapat terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, friction rub, silhouette sign pada foto dada, ataupun melalui gambaran EKG dan ekokardiografi. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplikasi lain yang juga sering ditemukan.5,9
8. Manifestasi renal
Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita, yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun penderita LES. Wanita lebih sering menderita kejadian ini (9:1) dibandingkan pria, puncak insidensi antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindrom nefrotik. Pemeriksaan terhadap pyuria (>5/LPB) tanpa disertai bukti adanya
infeksi serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita LES.10
9. Manifestasi gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis vasculitis tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus, mesenteric inflammatory bowel disease(IBS), pancreatitis dan penyakit hati5,9
10. Manifestasi neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinisnya begitu luas.Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremis, dan hipertensi berat. Pembuktian adanya keterlibatan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses penegakkan diagnosis LES. Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi saraf cranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal.Sedangkan lesi pada susunan saraf tepi dapat bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau mononeuritis multipleks. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organik dan non organik.11
11. Manifestasi hemik-limfatik.
Limfadenopati baik menyeluruh maupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita LES. Organ limfoid lain yang sering terkena adalah limfa yang biasanya disertai pembesaran hati. Kelainan hematologik sangat bervariasi dan bahkan dapat menyerupai gangguan darah perifer. Anemia dapat dijumpai pada satu periode dalam perkembangan penyakit LES.12
2.3 Kriteria Diagnosis
American rheumatism association (ARA) mengumumkan kriteria untuk
klasifikasi LES yang mengandung 14 item. Namun karena sensitivitasnya sangat bervariasi (57,2-98%), maka dilakukan revisi ulang pada tahun 1982, dengan kriteria
revisi ini didapatkan sensitivitas sebesar 96 % dan spesifisitasnya antara 78-87%.13 Kemudian the American College of Rheumatology (ACR) melakukan revisi lagi tahun 1997.14
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit LES, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. LES pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya arthritis rheumatoid, glomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit LES menjadi penting.9,14
Tabel 2. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik.14
No Kriteria Difinisi
1. Ruam Malar Ruam berupa erithema terbatas,rata atau meninggi, letaknya di daerah macular, biasanya tidak mengenai lipat nasolabialis.
2. Ruam Discoid Lesi ini berupa bercak eritematosa yang meninggi dengan sisik keratin yang melekat disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama mungkin terbentuk sikatriks.
3. Fotosensitifitas Terjadi lesi kulit sebagai akibat reaksi abnormal terhadap cahaya matahari. Hal ini diketahui melalui anamnesis atau melalui pengamatan dokter.
4. Ulkus mulut Ulcerasi di mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri, diketahui melalui pemeriksaan dokter.
5. Arthritis Arthritis non erosive yang mengenai 2 sendi perifer ditandai oleh nyeri, bengkak atau efusi.
6. Serositis a. Pleuritis: adanya riwayat nyeri pleural atau terdengarnya bunyi gesekan pleura oleh dokter atau adanya efusi pleura.
b. Perikarditis: diperoleh dari gambaran EKG atau terdengarnya bunyi gesekan perikard atau adanya efusi perikard.
7. Gangguan Renal a. Proteinuria yang selalu > 0,5 g/hari atau >3+ atau
b. Ditemukan silinder sel, mungkin eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran. 8. Gangguan Neurologi a. Kejang yang timbul spontan tanpa adanya obat-obat yang dapat menyebabkan atau kelainan metabolik seperti uremia, ketoasidosis, dan gangguan keseimbangan
elektrolit atau
b. Psikosis yang timbul spontan tanpa adanya obat-obatan yang dapat menyebabkan kelainan metabolik seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
9. Gangguan Hematologi
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau b. Leukopenia, kurang dari 4000/mm3 pada 2x
pemeriksaan atau lebih atau
c. Limfopenia, kurang dari 1500/mm3 pada 2x pemeriksaan atau lebih atau
d. Trombositopenia, kurang dari 100.000/mm3 tanpa adanya obat yang mungkin menyebabkannya.
10. Gangguan Imunologi a. Adanya sel LE atau
b. Anti DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer abnormal atau
c. Anti Sm : adanya antibodi terhadap antigen inti atau otot polos atau
d. Uji serologis untuk sifilis yang positif semu selama paling sedikit 6 bulan dan diperkuat oleh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluoresensi absorbs antibodi treponema. 11. Antibodi antinuclear
positif(ANA)
Titer abnormal antinuclear antibodi yang diukur dengan cara imuno fluoresensi atau cara lain yang setara pada waktu yang sama dan dengan tidak adanya obat-obat yang berkaitan dengan sindroma lupus karena obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria di atas, diagnosis LES memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%.Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.15
Pemeriksaan penunjang minimal lain, yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring:15
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam dan bila diperlukan kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid). 4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4) 6. Foto polos thorax:
- Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.
- Setiap 3-6 bulan bila stabil
- Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi LES.Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
2.4 Pemeriksaan Serologi pada LES
Diagnosis LES didasarkan pada gejala klinis yang mendukung, dipastikan dengan adanya autoantibodi yang ada dalam sirkulasi.Banyak sekali autoantibodi yang telah dikenal dan berhubungan dengan LES.Autoantibodi yang baik dalam mendiagnosis LES adalah yang berhubungan langsung terhadap nuclear antigen yaitu antinuclear antibodi (ANA). Fenomena sel LE tidak lagi penting dalam diagnosis LES, telah digantikan dengan imunofluorescent assay for ANA.Nilai ANA yang positif dapat diinterpretasikan pada berbagai tingkatan tergantung pola ikatannya. Empat pola dasar ikatan tersebut adalah homogenous, peripheral,
speckled dan nucleolar.Ikatan homogenous ditemukan pada 65% penderita LES,
sedangkan ikatan peripheral adalah ikatan yang paling spesifik untuk LES walaupun tidak terlalu sensitif. Pola ikatan speckled dan nucleolar lebih spesifik terhadap penyakit autoimun yang lain.16
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis LES adalah tes ANA (ANA IF dengan Hep 2 Cell).Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed
connective tissue disease, arthritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau
pada orang normal.17
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES, seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya diagnosis LES dapat disingkirkan.15,17
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La(SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifisitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti diagnosis LES, dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien bukan LES.17
Antibodi terhadap double stranded (native) DNA (dsDNA) adalah yang paling spesifik terhadap LES dan ditemukan pada 80-90% penderita yang tidak diobati. Kehadiran titer anti-dsDNA dikaitkan dengan aktifitas LES. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peningkatan titer anti-DNA mendahului lupus
flares pada lebih dari 80% penderita. Hal ini telah dikaitkan dengan eksaserbasi
penyakit dan prematuritas dalam kehamilan.7,17
Tabel 3. Autoantibodi yang dihasilkan pada pasien dengan LES (dikutip dari Cunningham).12
Antibodi Incidency(%) Clinical Associations
Antinuclear 95 Multiple antibodies, repeated negative test make lupus unlikely
Anti-DNA 70 Associated with nephritis and clinical actively
Anti-Sm 30 Spesific for lupus
Anti- RNP 40 Polimyositis, scleroderma,lupus,mixed connective tissue disease
Anti Ro(SSA) 30 Sjorgen Syndrome, cutaneous lupus, neonatal lupus
Anti-La(SSB) 10 Always with anti-Ro ; Sjorgens syndrome Antihistone 70 Common in drug-induced lupus(95%) Anticardiolipin 50 Antiphospolipid antibody, increased
thrombosis, spontaneous abortion; early preeclampsia placental infarction; fetal death; prolonged partial thromboplastin time; false positive VDRL.
Antierythocytic 60 Overt hemolysis uncommon Antiplatelet - Thrombocytopenia
Antibodi terhadap single-stranded DNA (ssDNA) juga ditemui pada persentase yang cukup tinggi pada penderita LES yang tidak diobati, tetapi kurang spesifik jika dibandingkan dengan anti-ds DNA. Penderita LES juga mempunyai antibodi terhadap RNA yang meliputi Sm antigen, nuclear ribonucleoprotein (nRNP), Ro/SSA antigen dan La/SSB antigen.17
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis LES, sementara bila anti-dsDNA negatif tidak menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15-30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan untuk diagnosis LES.Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.15,17
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa yaitu:18
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjogren
c. Sindroma antibody antifosfolipid (APS) d. Fibromyalgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik f. Lupus imbas obat
g. Artritis rheumatoid dini h. Vaskulitis
2.5 Derajat Berat Ringannya Penyakit LES
Seringkali terjadi kebingungan dalam pengelolaan LES, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES. Penyakit LES dapat dikatagorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.19
1. LES derajat ringan, bila memenuhi kriteria: a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit. 2. LES derajat sedang, bila memenuhi kriteria:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) b. Trombositopenia (trombosit 20-50 x 103/ mm3
c. Serositis mayor
3. LES derajat berat atau mengancam nyawa:
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, fibrosis interstitial, shrinking lung c. Gastrointestinal: pancreatitis, vaskulitis mesenterika d. Ginjal: nefritis proliperatif. Dan atau membranous
f. Neurologi: kejang, acuteconfusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma demielinasi
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit < 1000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
2.6 Pengaruh Kehamilan terhadap Lupus Eritematosus Sistemik
LES merupakan penyakit autoimun yang melibatkan berbagai sistem organ. Flare LES dapat terjadi kapan pun, termasuk saat hamil dan pasca persalinan tanpa pola yang pasti. Perubahan hormonal dan fisiologis dapat terjadi selama kehamilan dan mempengaruhi aktivitas lupus. Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan, namun umumnya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS). Peningkatan respon inflamasi selama lupus flare dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan selama kehamilan. Membedakan preeklampsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya mengalami hipertensi, proteinuria, edema dan perburukan fungsi ginjal. Pada renal flare terjadi penurunan kadar C3/C4, peningkatan kadar anti-dsDNA dan membaik dengan pemberian steroid. Sedangkan pada preeklampsia, kadar C3/C4 membaik, tidak ada perubahan pada kadar anti-dsDNA, dan memburuk dengan pemberian steroid.7 Gejala dan tanda kehamilan fisiologis yang dapat menyerupai aktivitas lupus selama kehamilan:7,18,23
1. Lemas
Keluhan lemas dapat terjadi pada kehamilan fisiologis maupun pada aktivitas lupus selama kehamilan sebagai bagian dari fibromyalgia.
Pada kehamilan fisiologis peningkatan estrogen dapat mengakibatkan blushing pada kulit, namun lupus flare juga memiliki tanda tersebut.
3. Artralgia dan efusi sendi
Pada kehamilan juga bisa disertai dengan nyeri kepala dan nyeri punggung bawah akibat hormon relaksin, peningkatan level estrogen, dan retensi cairan.
4. Sesak napas
Pada kehamilan hal ini terjadi akibat pendesakan diafragma. 5. Rambut rontok
Dapat terjadi kerontokan rambut selama puerpurium dan pasca persalinan pada kehamilan normal
6. Penurunan hemoglobin dan platelet
Selama kehamilan terjadi peningkatan volume darah sebesar 50% dan berakibat pada hemodilusi. Akan tetapi hemolitik anemia dan jumlah platelet kurang dari 100.000/mm3 biasa muncul pada aktivitas lupus selama kehamilan ataupun bagian dari HELLP syndrome.
7. Peningkatan volume dan laju filtrasi glomerular mengakibatkan penurunan kreatinin
serum dan peningkatan proteinuria biasa terjadi pada kehamilan normal. Level kreatinin serum yang stabil selama masa kehamilan merupakan petunjuk adanya insufisiensi renal yang biasa terjadi pada nefritis lupus. Peningkatan proteinuria lebih dari 2 kali proteinuria basal merupakan hal abnormal, dimana pada kehamilan normal biasa mencapai hingga 300 mg/24 jam. Level kreatinin serum >140 µmol/L berkaitan dengan 50% pregnancy loss yang dapat meningkat hingga 80% saat level kreatinin serum >400 µmol/L.
Bertahannya alograf janin in utero pada kehamilan normal diduga terjadi akibat terbentuknya toleransi maternal terhadap alograf janin yang merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor seperti peranan plasenta, aktifitas sistem imunitas janin, imunitas seluler dan humoral maternal, blocking faktor maternal dan janin dalam kehamilan.7,18,23
Plasenta merupakan sawar selektif terhadap pelintasan sel imunokompeten dan faktor humoral antara ibu dan janin.Diduga plasenta merupakan suatu organ penyerap imunologik, yang terutama berperanan dalam melakukan pembersihan antibodi maternal yang dapat menyebabkan pembentukan dan pengendapan kompleks imun atau antibodi sitotoksik terhadap antigen janin.Plasenta juga mengikat dan menginaktivasi antibodi maternal terhadap berbagai antigen paternal seperti antigen kompleks selaras jaringan utama (MHC antigen) paternal yang melintasi plasenta. Dengan demikian semua antigen maternal, kompleks imun dan agregat IgG yang melintasi lapisan trofoblas plasenta akan dieliminasi oleh makrofag janin.18,23
Perubahan imunitas humoral maternal pada kehamilan normal juga berperanan dalam mencegah terjadinya penolakan alograf janin. IgG calon ibu dalam kehamilan normal dapat menghambat sifat limfositotoksis maternal terhadap sel trofoblast janin. Peningkatan kadar hormone progesterone, estrogen dan kortisol, human Chorionik Gonadotropin(hCG) dan somatotropin dapat menghambat imunitas seluler pada pertemuan(interface) antara janin dan ibunya. Hormon estrogen dan progesterone kehamilan diduga bersifat imunosupresif secara lokal pada situs plasenta, sedangkan hCG dapat menghambat proliferasi limfosit. Terbentuknya faktor penghambat dalam kehamilan serum pregnancy blocking factors (SPBF) merupakan salah satu dari beberapa mekanisme yang telah diketahui berpengaruh dalam melindungi fetus dalam penolakan sistem imunitas maternal.23
Sistem imunitas janin juga berperanan dalam menghambat pengaruh antibodi maternal.Mekanisme ini diduga terjadi karena terdapatnya suatu soluble suppressor
factor yang disekresi oleh sel T penekan janin yang melintasi plasenta dan masuk ke
dalam sirkulasi ibu untuk menekan antibodi maternal.Selain itu α feto protein (AFP) juga diduga memiliki sifat imunosupresif dan dapat mengaktivasi sel T penekan janin.Perubahan yang terjadi selama kehamilan dapat mempengaruhi keparahan lupus yang melibatkan hormone ibu dan plasenta, peningkatan sirkulasi, peningkatan volume cairan, peningkatan laju metabolik, hemodilusi, sel fetal dalam sirkulasi,
serta faktor-faktor lainnya yang terjadi selama kehamilan. Lupus flare biasa terjadi selama kehamilan dengan risiko sebesar 0,06-0,136 selama bulan kehamilan.7,23
Tabel 4. Pengaruh kehamilan terhadap aktivitas LES (dikutip dari Megan 2007)7
Lupus Activity Index in Pregnancy merupakan salah satu alat bantu untuk mengenali
gejala dan tanda aktivitas lupus selama kehamilan yang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Aktivitas lupus saat kehamilan dapat berupa flare yang sangat parah. Terjadi peningkatan risiko aktivitas lupus selama kehamilan sebesar 2-3 kali, dibandingkan pasien wanita yang tidak hamil, dimana sebagian besar mengalami flare ringan, 1/3 kasus mengalami flare sedang hingga berat.Sebagian besar aktivitas lupus selama kehamilan dapat melibatkan kulit, persendian, dan gejala konstitusional. Hal tersebut juga nampak pada kehamilan biasa, sehingga seringkali tidak terdiagnosis sebagai aktivitas lupus.24
Penilaian aktivitas penyakit LES (lupus flare) dapat menggunakan kriteria
MEX SLEDAI, yang meliputi:15
a. Gangguan neurologi (bobot 8)
- CVA (Cerebrovascular accident): sindrom baru,eksklusi arteriosklerosis. - Kejang: onset baru, eksklusi metabolik, infeksi, atau pemakaian obat.
- Sindrom otak organik: eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau penggunaan obat.
- Mononeuritis
- Myelitis: eksklusi penyebab lainnya. b. Gangguan ginjal ( bobot 6)
- Cast, heme granular atau sel darah merah.
- Hematuria: >5/lpb, eksklusi penyebab lainnya (batu atau infeksi) - Proteinuria: onset baru > 0,5 g/l pada random spesimen.
- Peningkatan kreatinin (>5 mg/dl)
c. Vaskulitis (bobot 4): ulserasi, ganggren, nodul pada jari yang lunak, infark
periungual, splinter haemorrhages.
d. Hemolisis( bobot 3): Hb<12,0 g/dl dan koreksi retikulosit > 3%, trombositopenia < 100.000 bukan disebabkan oleh obat.
e. Miositis (bobot 3) f. Artritis(bobot 2)
g. Gangguan mukokutaneous(bobot 2):
- Ruam malar: onset baru atau malar eritema yang menonjol - Mucous ulcers
- Abnormal alopenia
h. Serositis(bobot 2): pleuritis, pericarditis, peritonitis i. Demam(bobot 1)
j. Lekopenia(bobot 1): sel darah putih < 4000/mm3, bukan akibat obat, limfopeni( limfosit < 1200 mm3, bukan akibat obat)
Masukkan bobot MEX SLEDAI bila terdapat gambaran deskripsi pada saat pemeriksaan atau dalam 10 hari terakhir. Interpretasinya:15
≥ 12 : flare berat, diperlukan pulse dose metilprednisolon 500-1000 mg perhari selama 3 hari.
9-11 : flare moderate, 4-8 : flare ringan, < 4 : bukan flare.
Untuk flare ringan- moderate, bila sudah mendapat therapi steroid, dilanjutkan pemberian steroid dengan imunosupresan.
Walaupun demikian terjadinya eksaserbasi LES selama kehamilan, menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu, terutama pada masa peripartum.Pada suatu penelitian retrospektif, telah dibuktikan bahwa eksaserbasi LES dalam kehamilan 3 kali lebih besar pada 20 minggu kehamilan dan 8 kali lebih besar pada 8 minggu post partum.Beberapa ahli menganggap bahwa kehamilan mempresipitasi timbulnya LES, di mana kematian yang terkait dengan penyakit tersebut secara bermakna lebih tinggi.Hal ini merupakan alasan sebagian ahli bahwa penderita LES tidak diperbolehkan untuk hamil.Dewasa ini para klinisi menganggap bahwa sesungguhnya hal ini tidak tepat, di mana diagnosis dan penatalaksanaan LES saat ini tidak lebih baik. Penelitian baru-baru ini telah menunjukkan bahwa wanita dengan LES akan mengalami eksaserbasi selama kehamilan dan masa post partum.25
Pada suatu penelitian telah membuktikan bahwa tidak ada perbedaan bermakna flare score antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Peneliti yang sama mengikuti kehamilan 80 wanita dengan LES, disimpulkan bahwa kejadian eksaserbasi LES dengan kehamilan kurang dari 25% dan sebagian besar dengan klinis yang ringan. Jika hanya menggunakan gejala dan tanda spesifik untuk LES, maka kejadiannya hanya 13%.Abortus merupakan suatu tindakan yang sangat tidak dianjurkan pada penderita LES, karena dapat menyebabkan timbulnya eksaserbasi klinis pasca abortus.Bila abortus harus dilakukan maka tindakan tersebut harus dilakukan sedini mungkin. Pasca abortus harus dilindungi dengan pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi selama 6 bulan.7,25
2.7 Pengaruh LES terhadap Kehamilan
Pada penderita LES, gangguan imunoregulasi seluler seperti peningkatan aktivitas sel T penolong dan inhibisi sel T penekan akan menyebabkan peningkatan proliferasi dan aktifitas sel B sehingga menimbulkan hiperaktifitas respon imunitas humoral.7,8,25
Peningkatan aktifitas respon imunitas humoral akan menyebabkan terjadinya produksi autoantibodi poliklonal yang berlebihan terhadap antigen tubuh sendiri seperti antibodi terhadap komponen inti sel, struktur sitoplasma, sel mononuclear
(MN), polimorfonuklear (PMN), trombosit, eritrosit dan berbagai bentuk molekul antigenik tubuh lainnya seperti imunoglobulin tertentu dan phospolipid. Autoantibodi yang berikatan dengan antigennya akan menyebabkan terbentuknya komplek imun.8,25
Kompleks imun selanjutnya akan mengaktifasi sistem komplemen untuk melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan amina vasoaktif seperti histamine yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler terutama pada arteri kecil dan arteriole. Peningkatan permeabilitas vaskuler ini akan menyebabkan terjadinya pengendapan kompleks imun pada sel endotel arteri dan arteriol jaringan, yang selanjutnya akan menginduksi terjadinya agregasi trombosit, membentuk mikrotrombus pada jaringan kolagen membran basalis sel endotel. Sel radang seperti PMN, MN, basofil, dan sel mast, yang tertarik ke arah lesi oleh peptide kemotaktik komplemen, tidak mampu untuk melakukan fagositosis terhadap seluruh endapan kompleks imun ini dan akan membebaskan enzim lisosomal yang merupakan mediator inflamasi yang akan menyebabkan terjadinya kerusakan vaskuler yang lebih jauh. Pada LES aktif dapat dijumpai infiltrasi perivaskuler oleh sel MN.8,25
Selanjutnya sistem komplemen akan membentuk membrane attack complex yang akan menyebabkan terjadinya lisis selaput sel sehingga akan memperberat kerusakan jaringan yang telah terjadi. Pada plasenta proses ini akan menyebabkan terjadinya vaskulitis desidual. Selain gangguan respon imunitas seluler dan humoral pada ibu penderita LES, terbentuk pula antibodi maternal seperti antibodi terhadap membran phospolipid sel yang bermuatan negatif yang lebih dikenal sebagai
antibody antifosfolipid (APL).Terdapat dua jenis APL yang berperan penting pada
LES yaitu lupus anti coagulant (LAC) dan antibodi anti kardiolipin (ACL). Kedua jenis antibodi ini telah diketahui berhubungan dengan kejadian abortus habitualis pada wanita hamil tanpa kelainan ginekologis atau gangguan fertilitas yang jelas.26
Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan bahwa terjadinya abortus spontan atau kematian janin sangat mungkin disebabkan oleh vaskulitis desidual plasenta, diathesis trombotik akibat pengaruh LAC dan ACL, trombositopenia serta
hipokomplementemia pada calon ibu penderita LES. Kelainan di atas akan menyebabkan berkurangnya ukuran berat plasenta, dan penebalan membrane basalis trofoblast yang akan mengganggu aliran darah ke arah plasenta sehingga menyebabkan terjadinya deprivasi janin sampai abortus atau kematian janin.26
Wanita penderita LES juga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan sindroma lupus neonatal (SLN), bahkan lama sebelum mereka sadari.SLN berhubungan dengan terjadinya perlintasan transplasental dari antibodi IgM terhadap protein ribonuklear janin seperti Anti-Ro (SS-A), Anti-La (SSB) dan Anti-RNP. Gejala klinik yang paling sering dijumpai pada SLN adalah lesi kutaneus lupus subakut yang bersifat fotosensitif, sedangkan blok jantung kongenital relatif jarang dijumpai. Namun demikian, pada beberapa kasus dapat dijumpai pula manifestasi kelainan tersebut secara bersamaan.27
Wanita penderita LES umumnya tidak mengalami gangguan dalam fungsi reproduksinya dan dapat mengalami kehamilan kecuali jika penyakit yang dideritanya telah sangat berat dan aktif. Gangguan fertilitas pada wanita penderita LES lebih berhubungan dengan keterlibatan organ vital terutama ginjal.28
Kelainan organ vital merupakan kontraindikasi bagi wanita penderita LES untuk hamil.Dengan berkembangnya penatalaksanaan LES seperti yang umum digunakan sekarang, prognosis penderita LES saat ini jauh lebih baik dibandingkan masa lalu.Saat ini kemungkinan untuk hamil dan melahirkan normal meningkat. Walaupun pada eksaserbasi LES selama kehamilan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas ibu terutama pada masa peripartum.29
Prognosis ibu pada penderita LES lebih banyak ditentukan pada saat konsepsi.Bila konsepsi pada masa tenang, prognosisnya lebih baik. Hal ini bisa dicapai dengan manipulasi terapeutik selama beberapa bulan sebelum konsepsi. Selama ini dilakukan evaluasi klinis dan laboratorium secara ketat. Pada penderita LES yang ingin hamil, kehamilan ditunda selama minimal 6 bulan dalam kondisi terkontrol, sebelum konsepsi dilakukan.30
Baik untuk LES ringan, sedang atau berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan.Pilar pengobatan LES ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Tujuan khusus pengobatan LES adalah:15
a. Mendapatkan masa remisi yang panjang
b. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin
c. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal
Pilar pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik:15, 23 1. Edukasi dan konseling
2. Program rehabilitasi 3. Pengobatan Medikamentosa a. OAINS b. Antimalaria c. Steroid d. Imunosupresan/ Sitotoksik e. Terapi lain
Butir-butir edukasi terhadap pasien LES antara lain:15,23 1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit LES dan perangai dari masing- masing tipe.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien LES, mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5. Pemakaian obat menyangkut jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai
jangka panjang contohnya obat antituberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotika.
6. Di mana pasien dapat memperoleh informasi tentang LES, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan LES dan sebagainya.
Secara garis besar, maka tujuan,indikasi dan teknis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini: istirahat, terapi fisik, terapi dengan modalitas, ortotik, dan lain-lain.23
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada LES serta pemantauannya.
Pengobatan LES berdasarkan aktivitas penyakitnya:30 a. Pengobatan LES Ringan
Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai yaitu:
Obat-obatan:
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan).
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kgBB/hari (150-300 mg/ hari) ( 1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa). Catatan: periksa mata pada saat awal pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan. Sementara hidroksiklorokuin dosis 5-6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednisone < 10 mg/ hari atau yang setara.
Tabir surya: gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).
b. Pengobatan LES Sedang
Pilar pengobatan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa regimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serositis yang refrakter: 20 mg/ hari prednisone atau yang setara.
c. Pengobatan LES Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum di bawah ini.
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40-60 mg/ hari (1mg/kgBB) prednisone atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intravena 500 mg sampai 1 gram/hari selama berturut-turut.
- Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan/ sitotoksik yang biasa digunakan pada LES yaitu: azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.
Algoritma penatalaksanaan LES
Bagan 2. Algoritma penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik.30
TR:tidak respon, RS: respon, RP: respon penuh, KS: kortikosteroid setara prednisone, MP: metilprednisolon, AZA: azatioprin, OAINS: obat anti inflamasi non steroid, CYC: siklofosfamid, NPSLE: neuropsikiatri SLE.
d. Terapi lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus LES mencakup:
- Intravena immunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/ kgBB/ hari selama 5 hari, terutama pada pasien LES dengan trombositopenia, anemia hemolitik, nefritis, neuropsikiatrik LES, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaparesis pada pasien LES dengan sitopenia, krioglobulinemia dan lupus serebritis.
- Thalidomide 25-50 mg/ hari pada lupus discoid. - Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone( DHEA) dikatakan memiliki steroid sparring effect pada LES ringan.
- Dapson dan derivate retinoid pada LES dengan menifestasi kulit yang refrakter dengan obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada LES yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi LES (saat ini belum tersedia di Indonesia).
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40 (CD40LmAb).
2.9 Penatalaksanaan LES pada kehamilan
Penatalaksanaan lupus pada wanita secara ideal dimulai sebelum terjadinya kehamilan.Konseling prakehamilan dibutuhkan dalam mengestimasti risiko pasien dan meninjau kembali pengobatan lupus.Peninjauan terhadap pengobatan diperlukan untuk mencegah efek teratogenik, penghentian obat-obat tertentu dan memulai pengobatan baru untuk melindungi ibu dan janin dari efek samping pengobatan tersebut. Penatalaksanaan ini memerlukan pengawasan dan evaluasi terhadap ibu setidaknya 6 bulan sebelum kehamilan agar tercapai luaran kehamilan yang baik.31 Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan kehamilan yaitu:7,31
1. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
2. Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari autoantibodi maternal sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya lupus eritematosus sistemik.
Sehingga penatalaksanaan LES pada kehamilan memerlukan pendekatan mutidisiplin dan koordinasi yang baik serta follow-up yang meliputi bidang rematologi dan obstetri yang berpengalaman terkait kehamilan risiko tinggi serta nefrologis terkait gangguan ginjal. Saat kehamilan sudah dipastikan, pemantuan serta evaluasi basal terkait aktivitas penyakit, keparahan, dan keterlibatan sistem organ sebaiknya segera dilaksanakan.31
Kunjungan prenatal dilakukan setiap 4 minggu hingga usia kehamilan 20 minggu, setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 28 minggu, dan setiap minggu hingga persalinan tercapai. Pasien LES yang hamil bisa mencapai luaran kehamilan yang baik dengan penanganan dan pengobatan lupus yang tepat sebelum maupun selama kehamilan. Pasien LES yang hamil yang memperoleh pengobatan imunosupresif memerlukan profilaksis terhadap risiko infeksi serta imunisasi influenza dan vaksin pneumokokus.7,31
Tabel 6. Guidelines for assessment of pregnant patients with lupus ( dikutip dari Osaimi).7
2.9.1 Pilihan Medikamentosa
Modalitas utama dalam pengobatan LES adalah penggunaan kortikosteroid, obat antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, antimalaria, dan imunosupresan.Akan tetapi untuk pengobatan LES dalam kehamilan terdapat kecenderungan untuk tidak memberikan pengobatan secara polifarmaka dan pemberian obat harus dimulai pada dosis serendah mungkin yang masih bermanfaat untuk penekanan aktifitas LES.Pengobatan LES yang aman selama prakonsepsi maupun selama konsepsi diperlukan termasuk meminimalisir risiko efek samping terhadap kesejahteraan janin.5,30,31 Klasifikasi pengobatan yang aman pada kehamilan ditunjukkan oleh klasifikasi FDA sesuai table 7.
Tabel 7. United State FDA pharmaceautical pregnancy categories (Management of pregnant lupus) dikutip dari Osaimi.7
Rekomendasi sebelum memberikan obat-obat LES pada kehamilan dan menyusui Tabel 8. Obat-obatan LES pada kehamilan dan menyusui32
1. OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid)
Efek OAINS (obat antiinflamasi nonsteroid) pada janin bergantung pada usia kehamilan itu sendiri. Berbagai studi kohort terkait penggunaan OAINS selama trimester pertama tidak menunjukkan adanya peningkatan risiko terkait efek teratogenik.Akan tetapi, efek OAINS yang menghambat sintesis prostaglandin dikaitkan dengan efek konstriksi duktus arteriosus, hipertensi pulmoner yang persisten, disfungsi renal pada neonatus, peningkatan perdarahan ibu, dan pemanjangan masa kehamilan serta persalinan.Prostaglandin meningkatkan kontraksi uterus, agregasi platelet, dan aliran darah renal janin.OAINS dapat berefek pada penurunan produksi urine janin. Jika OAINS memang diperlukan selama trimester pertama dan kedua, sebaiknya dipilih dari golongan ibuprofen.33
2. Obat Antimalaria
Hidrocloroquine (HCQ) merupakan obat antimalaria yang paling sering digunakan pada LES.Pada ibu hamil, obat ini juga digunakan sebagai profilaksis malaria tanpa efek teratogenik. Mekanisme kerja HCQ melibatkan inhibisi proses antigen dan
pelepasan sitokin inflamasi. Obat ini sangat efektif pada discoid lupus erythematosus (DLE) yang melibatkan lesi kulit.HCQ mengurangi efek fotosensitif berupa lesi kulit dan mencegah lupus flare.HCQ juga mencegah lupus renal dan cerebral lupus.Sehingga HCQ memiliki peranan sebagai agen profilaksis terkait morbiditas mayor pada LES dan efek dari pengobatan LES, terutama hiperlipidemia, diabetes mellitus, dan thrombosis.Waktu paruh HCQ dalam darah berkisar 8 minggu dan berakumulasi dalam jaringan tubuh, di mana penghentian HCQ yang segera dilakukan setelah konsepsi tidak mencegah paparan janin terhadap obat ini. HCQ sering digunakan untuk menangani hiperaktivitas lupus dan dapat menurunkan aktivitas lupus selama kehamilan.31,32,33
3. Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid cukup aman selama kehamilan, namun diperlukan pemantauan terkait hipertensi pada ibu hamil, diabetes mellitus gestasional, infeksi, peningkatan berat badan, akne, dan kelemahan otot proksimal. Pencapaian dosis terapeutik terendah disertai penambahan suplemen vitamin D dan kalsium diperlukan mengontrol flare penyakit. Kortikosteroid dimetabolisme oleh plasenta II-beta-hydroxy steroid dehydrogenase (II-beta-HSD) yang mengkonversi kortison aktif menjadi inaktif, sehingga konsentrasi kortikosteroid dalam darah janin sebesar 10% dari konsentrasi kortikosteroid dalam darah ibu. Hal ini memerlukan pertimbangan evaluasi adanya insufisiensi adrenal pada janin.Pemakaian kortikosteroid pada ibu hamil dengan lupus sebaiknya memilih golongan deksametason atau betametason, yang menjadi inaktif oleh placental II-beta hydorxysteroid dehydrogenase, sehingga risiko terjadinya kematian janin dan sindrom distress napas pada bayi preterm dapat menurun.Pemberian dosis tunggal kortikosteroid pada ibu hamil direkomendasikan untuk meningkatkan pematangan paru-paru.Sedangkan pemberian dosis berulang setiap minggu selama kehamilan sebaiknya dihindari pada ibu hamil dengan risiko persalinan preterm. Pasien yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang selama kehamilan sebaiknya mendapatkan hidrokortison stress dose yang diindikasikan pada pemanjangan waktu persalinan, seksio sesaria, ataupun operasi emergensi.31,32,33
Pemberian dosis stress kortikosteroid direkomendasikan pada keadaan stress, infeksi dan pada tindakan perioperatif, termasuk persalinan dan seksio sesaria.15
- Pemberian dosis stress kortikosteroid adalah dua kali atau sampai 15 mg prednisone atau setaranya.
- Pada tindakan operasi besar dapat diberikan 100 mg hidrokortison intravena pada hari pertama operasi, diikuti dengan 25 sampai 50 mg hidrokortison setiap 8 jam untuk 2 atau 3 hari, atau dengan melanjutkan dosis kortikosteroid oral atau setara secara parenteral pada hari pembedahan dilanjutkan dengan 25-50 mg hidrokortison setiap 8 jam selama 2 atau 3 hari.
- Pada bedah minor, cukup dengan meningkatkan sebesar dua kali dosis oral atau meningkatkan dosis kortikosteroid sampai 15 mg prednisone atau setara selama 1 sampai 3 hari.
Tabel 9. Rekomendasi suplementasi kortikosteroid15
Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan LES.Dosis yang digunakan bervariasi.Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Terminologi pembagian dosis kortikosteroid tersebut adalah:33 - Dosis rendah: ≤ 7,5 mg prednisone atau setara perhari
- Dosis sedang: > 7,5 mg, tetapi ≤ 30 mg prednisone atau setara perhari - Dosis tinggi: > 30 mg, tetapi ≤ 100 mg prednisone atau setara perhari - Dosis sangat tinggi: > 100 mg prednisone atau setara perhari
- Terapi pulse: ≥ 250 mg prednisone atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada LES yang relatif tenang.Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis
lupus, lupus cerebral.33
Tabel 10. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi34
Pengobatan dengan aspirin dosis rendah selama kehamilan diindikasikan pada ibu hamil dengan LES, hipertensi, riwayat preeklampsia, dan penyakit ginjal.Aspirin dapat melewati plasenta dan menyebabkan kelainan kongenital namun hal ini sangat jarang terjadi pada manusia.Wanita hamil yang menggunakan aspirin dosis rendah mengalami penurunan risiko terhadap persalinan preterm dibandingkan kelompok placebo.Aspirin sendiri memiliki efek antifosfolipid dan sebaiknya dihentikan penggunaannya 8 minggu menjelang persalinan untuk mencegah kehamilan postterm dan pemanjangan waktu persalinan, serta risiko perdarahan selama persalinan dan komplikasi perdarahan pada janin.31,32,33
5. Obat Antihipertensi
Hipertensi selama kehamilan merupakan salah satu penyebab kematian ibu terbesar. Tekanan darah(TD) selama kehamilan cenderung meningkat pada trimester pertama dan kedua. Batasan tekanan darah serta target tekanan darah selama pengobatan antihipertensif pada kehamilan masih kontroversial. Wanita dengan hipertensi berat ( TD sistolik ≥160 mmHg dan atau TD diastolic ≥110 mmHg) diperlukan pengobatan antihipertensi untuk menurunkan risiko ibu terkait komplikasi sistem saraf pusat. Target TD pada kehamilan adalah <140/90 mmHg.Pengobatan terbaik meliputi metildopa dan labetalol.Metildopa merupakan satu-satunya obat antihipertensi yang diteliti terkait efek jangka panjang pada janin. ACE inhibitor dan ARB sebaiknya dihindari penggunaannya terkait efek samping pada konsepsi dan gangguan pada fetus.31,32,33
6. Agen Imunosupresif a. Siklofosfamid
Pemberian siklofosfamid selama kehamilan dikaitkan dengan risiko terjadinya fetal
loss.Pasien yang menjalani pengobatan dengan siklofosfamid sebaiknya menunda
kehamilan setidaknya hingga 3 bulan setelah penghentian pengobatan. Obat ini berefek teratogenik, sehingga sebaiknya digunakan setelah melewati trimester pertama pada penyakit lupus yang sangat parah dan mengancam jiwa.31,32
AZA merupakan analog purin yang berperan dalam sintesis asam nukleat. AZA mampu melewati plasenta, namun konsentrasi yang mencapai aliran darah janin relatif sangat minimal.32
c. Methotrexate (MTX)
MTX merupakan golongan obat FDA kategori risiko X, sehingga sangat kontraindikasi pada kehamilan.Perencanaan kehamilan sebaiknya dilakukan setelah 3 bulan penghentian MTX karena metabolit aktifnya masih beredar dalam darah selama 2 bulan setelah penghentian.MTX bekerja sebagai antagonis folat dan mengakibatkan deplesi folat selama kehamilan. Pemberian suplemen folat direkomendasikan selama masa kehamilan untuk mengatasi hal tersebut.32
d. Mycophenolate mofetil (MMF)
Obat ini digunakan pada lupus renal dan direkomendasikan penggantian atau
switching regimen ke AZA sebelum terjadinya konsepsi.MMF digunakan sebagai
terapi pemeliharaaan terhadap lupus nefritis, lupus kulit yang resisten, aktivitas penyakit lupus dan manifestasi hematologis.Wanita dengan lupus yang ingin hamil dan menjalani pengobatan dengan MMF sebaiknya menghentikan pengobatan tersebut setidaknya selama 6 bulan.31,32,33
e. Siklosforin (CSA)
CSA merupakan agen imunosupresan yang tidak memilki efek teratogenik, namun pemberiannya selama kehamilan dikaitkan dengan risiko prematur.
7. Agen Biologis a. Anti TNF-α
Konsentrasi immunoglobulin maternal dalam darah janin meningkat sejak awal trimester kedua melalui mekanisme aliran plasenta.Antibodi maternal ini diperlukan selama trimester ketiga.Penghambat TNF-α (infliximab, etanercept, adalimumab) dapat melewati sawar plasenta selama trimester pertama dan kemampuannya dalam menembus sawar plasenta meningkat selama trimester kedua dan ketiga.Pemakaian anti-TNF-α menurunkan aktivitas inflamasi pada LES. FDA mengakategorikan anti TNFα sebagai obat ketagori B. Pasien yang diobati dengan anti TNF-α sebelum
maupun setelah terjadinya konsepsi tidak diindikasikan untuk menjalani terminasi kehamilan kecuali pada kasus gawat janin.31,32,33
b. Rituximab
Obat ini merupakan chimeric dari antibody anti CD-20 β cell depleting monoclonal. Penggunaannya selama kehamilan berkaitan dengan sitopenia termasuk deplesi sel beta pada janin yang bersifat reversibel.Sehingga, penjadwalan kehamilan sebaiknya dilakukan setidaknya 12 bulan setelah penghentian pengobatan dengan rituximab.31,32,33
8. Terapi lainnya
a. Intravenous immunoglobulin (IVIG)
Penggunaan IVIG selama kehamilan tidak menimbulkan abnormalitas pada janin.IVIG selama kehamilan dapat mengontrol aktivitas lupus berat.
b. Plasma Pharesis
Plasma Paresis (PP) digunakan pada keadaan resistensi siklofosfamid dan penyakit lupus yang melibatkan ancaman multiorgan.Indikasi absolut pemberian PP meliputi hiperviskositas dan perdarahan pulmonal.PP cukup aman dan memerlukan pemantuan intensif selama pemberiannya. Apheresis dapat ditoleransi pada ibu hamil dan digunakan untuk membersihkan antibodi antifosfolipid dan anti-Ro (SSA).31,32,33
2.9.2 Persalinan pada penderita LES
LES sendiri bukan merupakan suatu indikasi seksio sesaria, meskipun risiko terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dengan LES lebih tinggi dibandingkan wanita hamil biasa. Indikasi seksio sesaria meliputi indikasi ibu seperti nekrosis avaskuler pada panggul yang disertai dengan abduksi panggul yang inadekuat, abrupsio plasenta, maupun indikasi janin, seperti gawat janin, prolaps tali pusat, hasil NST yang abnormal, disproporsi sefalopelvikum, dan letak melintang. Persalinan sebaiknya dilakukan di rumah sakit yang memiliki ruang intensif neonatus. Wanita hamil dengan lupus yang diterapi dengan steroid sistemik dalam 2 tahun sebelum kehamilan sebaiknya mendapatkan steroid stress coverage selama persalinan.34
2.9.3 Puerperium pada penderita LES
Masa nifas merupakan masa yang perlu diwaspadai pada wanita dengan lupus.Selama masa tersebut terdapat risiko terjadinya lupus flare.Pemantauan ketat setidaknya selama 4 minggu pertama masa nifas diperlukan, terutama pada pasien dengan lupus aktif maupun riwayat lupus berat.Akan tetapi penggunaan steroid sebagai profilaksis selama masa tersebut tidak dianjurkan.Masa ini juga masa dengan risiko terjadi komplikasi tromboemboli, terutama pada pasien lupus dengan APS.Pada kasus tersebut, profilaksis Low Molecular Weight Heparin (LMWH) sebaiknya diperpanjang hingga 4-6 minggu setelah persalinan. Pasien yang memiliki riwayat thrombosis dapat kembali menggunakan antikoagulan dengan dosis semula dalam 2-3 hari pertama pasca persalinan.32,34
2.9.4 Laktasi pada penderita LES
Beberapa obat yang diminum oleh ibu diketahui dapat terkandung dalam ASI. Berbagai macam faktor mempengaruhi kadar obat dalam ASI seperti yang ditunjukkan oleh tabel 6, obat yang terikat kuat dengan protein biasanya memiliki kadar dalam ASI yang lebih rendah.19
Ibu yang menyusui disarankan meminum obatnya setelah selesai menyusui untuk meminimalisir kadar obat dalam ASI dan sebisa mungkin memperoleh pengobatan yang aman terkait laktasi.31,32
1. Aspirin
Sebisa mungkin penggunaan aspirin dihentikan atau dihindari selama masa pemberian ASI.American Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan aspirin pada saat pemberian ASI dengan kewaspadaan yang tinggi dan sebisa mungkin dalam dosis terendah.
2. OAINS
Pemberian OAINS selama masa laktasi direkomendasikan cukup aman oleh
American Academy of Pediatrics. OAINS, terutama golongan ibuprofen,
indomethacin, dan naproxen memiliki kadar yang sangat rendah dan waktu paruh yang singkat dalam ASI.
3. HCQ
Pemberian HCQ pada pasien LES sebaiknya tetap dilanjutkan selama masa laktasi.HCQ direkomendasikan sebagai obat yang cukup aman mengingat kadarnya yang sangat rendah yang tidak bersifat toksik bagi bayi dalam ASI. Kadar puncak obat ini dalam ASI dicapai setelah 2 jam dan menurun setelah 9 jam konsumsi obat. Bayi yang mendapat ASI secara tidak langsung ikut mengkonsumsi obat ini dalam kadar 0,06-0,2 mg/kgBB/hari atau sebesar 2% dari dosis yang dikonsumsi oleh ibu.31,32,33
4. Kortikosteroid
American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemakaian prednisone dan
prednisolon aman pada saat menyusui. Paparan bayi terhadap prednisone dapat diminimalisir dengan pemberian prednison dalam interval jarang dan mulai menyusui setidaknya 4 jam setelah mengkonsumsi obat. 31,32,33
5. Siklofosfamid
Pasien LES dengan kondisi penyakit yang mengancam yang mengkonsumsi obat siklofosfamid selama trimester kedua dan ketiga dilarang untuk menyusui. Siklofosfamid memiliki kadar yang tinggi didalam ASI. Bayi sendiri perlu dimonitor terkait keadaan imunosupresif dan keganasan.34
6. AZA
Ibu yang memperoleh pengobatan dengan AZA juga dilarang untuk menyusui terkait efek samping jangka panjang berupa imunosupresif dan karsinogenesis pada bayi. Meskipun belum ada studi khusus yang menunjukkan hasil yang signifikan terhadap masalah tersebut.33,34
7. MTX
American Academy of Pediatrics melarang ibu untuk menyusui selama pengobatan
dengan MTX, mengingat efek samping yang ditimbulkan berupa imunosupresif, neutropenia, gangguan pertumbuhan, dan karsinogenesis pada bayi.34
8. Siklosforin
American Academy of Pediatrics melarang ibu untuk menyusui selama pengobatan
berupa imunosupresif, neutropenia, gangguan pertumbuhan, dan karsinogenesis pada bayi.34
9. Mycophenolate Mofetil (MMF)
Ibu yang mengkonsumsi obat MMF dilarang untuk menyusui terkait belum adanya data yang cukup yang menunjang keamanan obat ini selama menyusui.
10. Sulfasalazine
Pemberian ASI selama pengobatan dengan sulfasalazine dikatakan cukup aman, meskipun masih mungkin menimbulkan efek samping berupa kern ikterus pada bayi.
11. Anti TNF-α
Pemberian ASI selama pengobatan dengan anti-TNF-α masih belum banyak diteliti, sehingga belum diketahui secara pasti keamanannya selama menyusui.
12. Rituximab
Sebaiknya ibu tidak menyusui selama pengobatan dengan rituximab mengingat data yang belum cukup untuk menunjang keamanan obat ini selama menyusui.
13. IVIG
Sebaiknya ibu tidak menyusui selama pengobatan dengan IVIG mengingat data yang belum cukup terkait ekskresi obat ini dalam ASI.
Tabel 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan obat selama menyusui (dikutip dari Howard dan Lawrence,1999).5
2.9.5 Kontrasepsi pada penderita LES
Kontrasepsi yang efektif merupakan hal yang sangat penting.Kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen dapat menyebabkan eksaserbasi LES, mengingat estrogen juga dapat menimbulkan tromboembolik dan membentuk antibodi antikardiolipin.Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) tidak dianjurkan karena kemungkinan timbulnya infeksi. Kontrasepsi yang aman adalah preparat oral progesterone yang murni, kondom, atau diafragma.35
Perempuan dengan LES dalam masa pramenopause disarankan dapat mengakses kontrasepsi dalam mengontrol kehamilan secara aman. Perempuan yang