• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN POLA RUANG PADA PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI DI KOTA PALEMBANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN POLA RUANG PADA PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI DI KOTA PALEMBANG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KEARIFAN LOKAL DALAM PEMBENTUKAN POLA RUANG PADA

PERMUKIMAN TEPIAN SUNGAI DI KOTA PALEMBANG

Tutur Lussetyowati*1

1

Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Sriwijaya Palembang, Indonesia

*

Email: tutur_lus@yahoo.co.id Abstrak

Kota Palembang terletak di tepian sungai besar yaitu Sungai Musi, yang membagi wilayah kota menjadi dua bagian yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Permukiman penduduk pada awalnya berada di tepian sungai sebagai jalur transportasi utama. Kondisi alam tepian sungai ini sebagai besar berupa rawa, yang dipengaruhi pasang surut air dengan fluktuasi sekitar 2-3 meter. Bentuk rumah-rumah di sini berupa rumah panggung yang mengikuti ketinggian pasang surut air. Kondisi rumah yang demikian ini sangat sesuai untuk daerah yang terpengaruh oleh pasang surut air. Pada daerah rawa, terutama di tepian sungai, rumah-rumah yang tumbuh berikutnya masih menggunakan bentuk rumah panggung, sebagai antisipasi terhadap pasang surut air. Rumah-rumah ini dihubungkan dengan jalur jalan di atas air yang disebut ‘jerambah’.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa pembentukan pola ruang kota di permukiman tepian sungai yang dikaitkan dengan kearifan lokal dalam mengatasi keterbatasan alam yang berupa rawa. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitis, melalui tahapan survey lapangan dan wawancara, dan dilanjutkan analisa terhadap hasil survey.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa permukiman di tepian sungai mempunyai karakteristik yang unik karena sebagian besar aktifitas penduduknya dilakukan di atas air. Dengan kondisi yang demikian maka perilaku penduduknya akan terpengaruh dan menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Pembentukan pola ruang kotanya juga mempunyai ciri khas tersendiri, karena tumbuh secara alamiah tanpa mengadakan perubahan yang berarti pada lingkungan alamnya. Sementara itu kebutuhan orang akan ruang kota secara umum sama, baik pada daerah rawa maupun darat, Dalam batas-batas tertentu kebutuhan ini bisa terakomodasi walaupun terjadi penyesuaian. Hal ini menunjukkan kearifan lokal penduduk dalam penyesuaian dan pemanfaatan lahan rawa tanpa menyebabkan gangguan terhadap lingkungan alamnya.

Kata kunci: kearifan lokal, ruang kota, permukiman, tepian sungai, rawa

1. Pendahuluan

Kota Palembang secara administrasi merupakan ibukota Propinsi Sumatera Selatan. Kota ini sejak berdirinya terletak di tepian Sungai Musi yang sangat lebar dan bisa dilayari kapal-kapal besar. Sungai Musi membelah kota menjadi dua bagian yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Dengan potensi fisik yang demikian maka kota Palembang mempunyai karakter sebagai kota air.

Pada awalnya permukiman penduduk berada di tepian jalur transportasi utama yaitu sungai. Pemukiman yang berada di tepian Sungai Musi ini sebagain besar berada di area rawa yang terpengaruh pasang surut air. Bentuk rumah-rumah di sini berupa rumah panggung atau rumah rakit yang mengkuti ketinggian pasang surut air. Kondisi rumah yang demikian ini sangat sesuai untuk daerah yang terpengaruh oleh pasang surut air.

Pada daerah rawa, terutama di tepian sungai, rumah-rumah yang tumbuh berikutnya masih menggunakan bentuk rumah panggung, sebagai antisipasi terhadap pasang surut air. Rumah-rumah ini dihubungkan dengan jalur jalan di atas air yang disebut ‘jerambah’. Perkembangan permukiman seperti ini sangat cepat dan kemudian banyak memenuhi daerah-daerah rawa dan cenderung

(2)

berubah menjadi kumuh. Perkembangan yang cepat ini juga disebabkan makin banyaknya pendatang dari sekitar Palembang.

Berkaitan dengan permasalahan tersebut ada permasalahan yang mempengaruhi perkembangan permukiman di atas air yaitu: (1) Kondisi alam yang berupa rawa dan terpengaruh pasang surut; (2) Perubahan gaya hidup akibat budaya yang mempengaruhinya dan akan berakibat pada perubahan pola bermukim dalam upaya untuk penyesuaian terhadap perubahan gaya hidup tersebut; dan (3) Perubahan kepadatan penduduk dari kepadatan rendah menjadi kepadatan tinggi.

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengkaji pola permukiman pada daerah rawa sebagai dasar dalam penataan kawasan permukiman rawa; dan (2) menganalisa pembentukan pola ruang kota di permukiman tepian sungai yang dikaitkan dengan kearifan lokal dalam mengatasi keterbatasan alam yang berupa rawa.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) Sebagai masukan dalam penataan kota Palembang di mana permukiman di atas rawa merupakan salah satu karakter yang khas kota Palembang; dan (2) Membantu dalam membuat acuan untuk penataan kawasan permukiman di daerah rawa dan sebagai bahan bagi penelitian selanjutnya.

2. Tinjauan Literatur

Sistem pengetahuan lokal meliputi pengetahuan budaya; sosial, politik, ekonomi dan spiritual; kekerabatan, politik lokal dan faktor-faktor lain yang diikat bersama-sama dan mempengaruhi satu sama lain, sedangkan sifat spiritual mempengaruhi bagaimana sumber daya dikelola dan digunakan oleh orang-orang dari masyarakat tersebut (Ruheza, Sosthenes and Kilugwe, Zuena, 2012). Sistem pengetahuan lokal mengacu pada pengetahuan yang telah dihasilkan, diuji, diperbaiki sepanjang waktu melalui interaksi antara orang-orang lokal dengan ekosistem pendukungnya, dan dijaga oleh norma-norma, nilai-nilai, tabu, ritual dan kesucian dan yang juga terjalin dalam konteks politik lokal, spiritual dan karakteristik demografi masyarakat local yang bersangkutan.

Integrasi antara system pengetahuan lokal dan sistem pengetahuan ilmiah adalah proses pencampuran kedua sistem pengetahuan ini yang menghasilkan pengambilan keputusan secara rasional , berbagi informasi dan pemahaman tentang sudut pandang yang berbeda antara masyarakat lokal dan teknisi yang terlatih secara ilmiah (Ruheza, Sosthenes and Kilugwe, Zuena, 2012). Integrasi pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah adalah suatu proses partisipasi aktif masyarakat adat dengan pengetahuan mereka dan berbagi secara setara kekuasaan dan tanggung jawab antara ilmuwan dan orang-orang lokal. Integrasi pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah mengacu pada penggunaan yang luas untuk mengetahui dan melakukan dalam hubungan timbal balik dengan sistem pengetahuan ilmiah tanpa adanya bentuk subordinasi.

Sistem kearifan tradisional tidak membuat perbedaan antara pemahaman bidang fisik dan spiritual, dan meskipun bersifat dinamis dan beragam, pemikiran pengetahuan lokal sebagian besar bersifat holistik dan kontekstual (Ruheza, Sosthenes and Kilugwe, Zuena, 2012). Sistem kearifan lokal telah diperoleh melalui interaksi manusia dengan lingkungan mereka dalam konteks budaya tertentu, dan seperti sistem pengetahuan cenderung menghilang sejalan dengan budaya masyarakat yang memburuk. Sistem pengetahuan lokal telah sangat terkikis oleh interaksi dengan budaya barat. Dalam filosofi sistem pengetahuan lokal, kekerabatan dengan makhluk lainnya di bumi menjadi dasar pandangan masyarakat local/tradisional.

Rapoport menyatakan bahwa budaya sebagai suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia bersifat tidak terjaga. Kebudayaan ini akan terwujud melalui pandangan hidup (world view), tata nilai (values), gaya hidup (life style), dan akhirnya aktifitas (activities) yang bersifat konkrit (Antariksa, 2011). Selain itu Rapoport juga mengemukakan bahwa permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya, yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma–norma tradisi.

Menurut Habraken sebagai suatu produk komunitas, bentuk lingkungan permukiman merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan merupakan produk orang per orang (Antariksa, 2011). Artinya

(3)

komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri permukiman yang berbeda pula. Suatu rumah dirancang dan suatu permukiman di tata menggambarkan hubungan antara individu, keluarga dan komunitasnya yang tentu saja bergantung pada masing–masing budaya. Konsekuensinya adalah organisasi ruang dirumah, tatanan permukiman dan akses ke fasilitas umum dipengaruhi oleh pandangan hidup komunitas tesebut.

Permukiman merupakan salah satu hasil lanskap budaya. Lanskap budaya merupakan hasil dari proses sejarah yang kompleks (Rapoport, 1992). Lanskap budaya dihasilkan dari interaksi jangka panjang antara berbagai karakteristik budaya dari populasi dan kelompok yang berbeda dengan kondisi alam yang bervariasi secara fisik dan ekologi menghasilkan berbagai variasi yang komplek dari material budaya. Permukiman di daerah rawa di Palembang merupakan salah satu hasil dari proses tersebut.

Dalam pembangunan lingkungan hunian (neighborhood) secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh dalam pembangunan kota, karena kota sebenarnya merupakan gabungan dari beberapa unit lingkungan hunian (Andress Duanny, 1987). Jadi untuk mengarahkan pembangunan kota yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, kita bisa mulai dari pembangunan lingkungan hunian pada skala neighborhood tersebut. Konsep New Urbanism merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi dampak pembangunan kota yang cenderung menjadi urban sprawl (Roseland, 1998). Dalam arti luas Konsep New Urbanism ini adalah perancangan lingkungan untuk komunitas yang mempunyai kemudahan dalam pencapaian berupa ruang-ruang publik (jalan dan ruang terbuka) sebagai elemen struktur utama.

Menurut Rapoport (1977), pengertian tata ruang merupakan lingkungan fisik tempat terdapat hubungan organisatoris antara berbagai macam objek dan manusia yang terpisah dalam ruang-ruang tertentu. Ketataruangan secara konsepsual menekankan pada proses yang saling bergantung antara lain : (1) Proses yang mengkhususkan aktivitas pada suatu kawasan sesuai dengan hubungan fungsional tersebut; (2) Proses pengadaan ketersediaan fisik yang menjawab kebutuhan akan ruang basi aktivitas seperti bentuk tempat kerja, tempat tinggal, transportasi dan komunikasi; dan (3) Proses pengadaan dan penggabungan tatanan ruang ini antara berbagai bagian-bagian permukaan bumi di atas, yang mana ditempatkan berbagai aktivitas dengan bagian atas ruang angkasa, serta kebagian dalam yang mengandung berbagai sumber daya sehingga perlu dilihat dalam wawasan yang integratik. Sedang menurut Soltani (2006) kebutuhan ruang kota meliputi penggunaan lahan, tata bangunan, sirkulasi dan ruang publik. Bayu (2010) menyebutkan bahwa terdapat hubungan nilai-nilai sosial budaya masyarakat dengan wujud pola perkotaan. Ini juga relevan dengan teori dari Carmona (2010) yang menyebutkan bahwa salah satu dimensi dalam perancangan kota adalah dimensi sosial.

3. Metode Penelitian

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis yang dilakukan dengan cara survey lapangan dan wawancara dengan penduduk di lokasi penelitian, dalam hal ini yang dijadikan lokasi penelitian adalah Kelurahan 3-4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I Palembang. Hasil penelitian lapangan ini dipetakan untuk dilihat pola ruang kota yang ada. Selanjutnya dilakukan analisa data-data untuk mendapatkan temuan-temuan sehubungan keterkaitan antara pola ruang kota yang terbentuk dengan kondisi fisika alam yang berupa rawa pasang surut. Analisis yang digunakan meliputi analisis kualitatif dengan menggunakan pendekatan matriks hubungan antara kegiatan dan perilaku penghuni dengan pola ruang yang ada di kawasan permukiman tersebut. Analisis ini juga menggunakan teknik super impose dengan peta-peta.

4. Hasil dan Temuan 4.1. Kondisi Fisik Alamiah

Secara geografis, kota Palembang terletak pada 104o37’ – 104o52’ Bujur Timur dan 2o52’ – 3o05’ Lintang Selatan. Ketinggian rata-rata antara 12 m di atas permukaan laut. Kota Palembang

(4)

mempunyai karakter sebagai kota air. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya sungai besar yang melalui kota yaitu Sungai Musi, Sungai Ogan, Sungai Keramasan dan Sungai Komering serta 13 anak sungai. Sungai Musi sangat dipengaruhi oleh pasang surut dengan pengaruh sejauh 60 Km dari muara sungai. Pasang tertinggi terjadi pada bulan Oktober sampai dengan April, dengan fluktuasi muka air mencapai 2,5 – 3,5 m. Akibat pengaruh pasang surut ini berpengaruh juga pada kondisi fisik alamiah kotanya. Kondisi fisik alamiah Palembang sebagian besar terdiri dari rawa (sekitar 52,28 %) dan sisanya berupa daratan. Tetapi saat ini banyak rawa yang mulai hilang karena ditimbun.

Secara umum daerah rawa-rawa di Palembang bisa dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : (1)Rawa yang dalam dan terus menerus berair; (2) Rawa sedang, yang pada saat pasang terendam dan saat surut agak becek; dan (3) Rawa yang dangkal.

4.2. Kondisi Sosial Ekonomi

Tinjauan sosial ekonomi ini melihat pada beberapa aspek non fisik yang akan mempengaruhi pola permukiman. Di sini akan dilihat kecenderungan penduduk yang tinggal di kawasan permukiman di atas rawa di tepian Sungai Musi. Dilihat dari asal etnis penduduk yang tinggal di kawasan tersebut sebagian besar penduduk berasal dari daerah sekitar kota Palembang, seperti dari Ogan Komering Ilir, Ogan Komering Ulu, Musi rawas, Musi Banyuasin dan dari Palembang sendiri, yang termasuk dalam Suku Melayu. Selain itu terdapat juga penduduk yang berasal dari Jawa dan keturunan Cina serta Arab.

Mata Pencaharian penduduk sebagian besar terkait dengan keberadaan sungai sebagai sumber mata pencaharianya seperti nelayan, pedagang di tepi sungai, tukang perahu, dll. Hal ini juga berkaitan dengan pemilihan tempat bermukim di tepian sungai besar (Sungai Musi). Di samping itu juga terdapat beberapa fasilitas yang mendukung pekerjaan mereka, yaitu adanya dermaga-dermaga di depan setiap unit lingkungan permukimannya. Dermaga ini juga berfungsi untuk melayani transportasi penduduk melalui sungai.

Pada kondisi tertentu terlihat bahwa permukiman di daerah rawa di tepian sungai ini hanyalah bersifat transisi (Sarwadi, 1997), artinya penduduk yang mempunyai kemampuan lebih tinggi akan pindah ke daerah lain (karena alasan kenyaman dan kelengkapan fasilitas). Tetapi melihat lama tinggal penduduk di daerah tersebut, bisa diartikan bahwa walaupun hanya bersifat transisi, permukiman daerah rawa akan bertahan untuk waktu yang cukup lama. Karena begitu ada penduduk yang keluar, akan ada lagi yang memasuki kawasan permukiman tersebut.

Kegiatan sehari-hari penduduk di permukiman daerah rawa secara umum sama dengan penduduk di permukiman darat. Kegiatan tersebut meliputi memasak, makan, tidur, menerima tamu, berkumpul dengan keluarga, bersosialisasi dengan tetangga, Mencuci, menjemur, mandi (MCK), dll.

Kegiatan sehari-hari tersebut banyak dilakukan di dalam rumah dan sekitarnya. Kebiasaaan penduduk untuk mandi, mencuci dan buang air di sungai sampai sekarang masih banyak dilakukan, terutama oleh penduduk di tepian sungai. Selain kegiatan tersebut di atas penduduk juga melakukan kegiatan di lingkungan permukimanya untuk mencari penghasilan, seperti berjualan, mencari ikan, membuat perahu dan lain-lain. Kegiatan ini memperlihatkan adanya keterkaitan penduduk dengan kawasan permukimannya terutam di tepian sungai. Selain di tepian sungai para penarik perahu juga sering menambatkan perahunya pada saat tidak digunakan. Di sini kemudian muncul kebutuhan adanya dermaga di sekitar tempat permukimannya.

Seiring dengan perkembangan waktu, muncul juga kebutuhan penduduk untuk mempunyai kendaraan roda dua dan roda empat. Pada beberapa tempat yang jalan lingkungan (jerambahnya) cukup kuat bisa dilewati oleh kendaraan roda dua, tetapi tidak bisa dilewati kendaraan roda empat. Biasanya penduduk yang mulai mempunyai kemampuan untuk membeli mobil atau naik tingkat ekonominya kemudian pindah ke rumah darat.

(5)

4.3. Pola Ruang Eksisting

Pola permukiman daerah rawa di tepian sungai secara umum bisa dikategorikan menjadi dua yaitu yang berorientasi ke jalan dan yang berorientasi ke sungai dengan masing-masing karakteristiknya. Permukiman dengan orientasi ke jalan menggunakan jalan sebagai orientasi utama. Bangunan-bangunan mempunyai orientasi ke jalan, dan bangunan-bangunan pada lapis belakang berdiri menyambung ke jalan dengan jalan setapak yang menggunakan konstruksi di atas tiang (jerambah). Pola permukiman ini merupakan gabungan antara pola grid dengan pola linear. Ketergantungan pada sungai tidak terlalu besar terutama dalam hal transportasi.

Sementara permukiman dengan orientasi ke sungai sebenarnya merupakan pola awal permukiman di Palembang, karena dulunya sungai merupakan jalur transportasi utama. Permukiman dengan orientasi ke sungai mulai berubah dengan berkembangnya jalur transportasi ke darat dan sekarang permukiman dengan model tersebut hanya tinggal di lapisan tepian sungai yang lebar saja. Orientasi bangunan sebagian besar ke sungai dan biasanya di tiap unit lingkungan mempunyai dermaga kecil sebagai tempat tambatan perahu.

Gambar 1. Kondisi Permukiman Rawa di Tepi Sungai Musi a. Sirkulasi

Pada permukiman tepian sungai terdapat dua jalur sirkulasi utama yaitu jalur jalan dan jalur sungai. Di antara kedua jalur sirkulasi ini dihubungkan dengan jalan-jalan kecil berupa jerambah. Jalur jalan ini merupakan jalur pergerakan utama setelah berkembangnya transportasi darat. Jalan darat di daerah rawa ini merupakan rawa yang ditimbun dan kemudian diperkeras dengan asapal. Ketinggian timbunan biasanya diperhitungkan berdasarkan ketinggian pasang air tertinggi pada daerah tersebut. Daerah tepian jalan biasanya banyak digunakan sebagai tempat fasilitas umum seperti sekolah, masjid, kantor, puskesmas, toko, warung, dll. Selain itu pada bahu jalan atau tepian jalan yang ditimbun biasanya digunakan untuk parkir kendaraan roda empat atau becak. Hal ini disebabkan karena pada lapis belakang jalur jalan ini biasanya hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki atau kendaraan roda dua, sehingga penduduk yang memiliki kendaraan roda empat biasanya memarkir kendaraannya di tepi jalan. Di sini diperlukan pengaturan tempat parkir di tepian jalan agar tidak mengganggu kelancaran lalu lintas di daerah tersebut.

Selain jalur sirkulasi darat, pada permukiman ini juga menggunakan jalur sirkulasi sungai. Sungai dulunya merupakan jalur transportasi utama, tetapi dengan berkembangnya transportasi darat sungai hanya dijadikan jalur alternatif terutama pada tepian sungai besar, sedang pada sungai-sungai kecil sudah tidak dimanfaatkan lagi sebagai jalur transportasi karena banyak terjadi pendangkalan. Pada tepian sungai banyak terdapat dermaga yang digunakan untuk tempat tambatan perahu sekaligus tempat turun naik penumpang.

Jalur sirkulasi yang menghubungkan antara jalur jalan utama dengan unit hunian adalah jalan lingkungan, yang ada biasanya berupa jalan setapak dengan lebar antara 1-2 m dan berupa jalan di atas tiang yang disebut jerambah. Jerambah ini terbuat dari bahan kayu dnegan tiang dan papan-papan yang bisa dilewati oleh pejalan kaki. Pada beberapa tempat bahan jerambah ini menggunakan beton bertulang dan bisa dilewati kendaraan roda dua. Daerah dengan kondisi jalan seperti ini meliputi area yang cukup luas dan menimbulkan beberapa masalah terutama pada saat terjadi

(6)

kebakaran, mobil pemadam kebakaran tida bisa mencapai ke lokasi karena tidak ada jalan yang bisa dilaluinya.

b. Tata Bangunan

Pola tata bangunan yang digunakan menggunakan gabungan antara pola linear dan pola grid. Pertumbuhan permukiman tidak mengikuti pola tertentu, tetapi lebih cenderung sporadis dan organis. Pola linear yang terbentuk lebih disebabkan adanya material yang membentuk jalan-jalan setapak untuk menghubungkan rumah yang satu dengan yang lain yaitu dengan jerambah kayu. Keterbatasan material yang ada mempengaruhi bentukan jalan yang akhirnya juga mempengaruhi tata bangunan yang berorientasi ke jalan setapak tersebut.

Kondisi saat ini jarak antar bangunan sangat rapat dan menyebabkan kurang sehatnya lingkungan hunian tersebut. Kolong-kolong rumah menjadi tidak terkena sinar matahari dengan baik dan menjadi lembab, sehingga banyak nyamuk yang menghuni di kolong-kolong tersebut. Hal ini juga diperparah oleh cara hidup yang tidak sehat, misalnya membuang sampah atau limbah rumah tangga ke kolong rumah begitu saja.

c. Ruang Terbuka

Jenis ruang terbuka yang ada agak berbeda dengan permukiman di daerah kering. Ruang terbuka yang ada meliputi jalur pergerakan (jalan, jerambah, sungai) dan ruang antara bangunan. Ruang terbuka yang menjadi ruang publik terutama terletak pada areal yang bisa ‘diinjak’, artinya di sini adalah ruang-ruang yang bisa digunakan untuk ‘bergerak’, antara lain berupa jalan (darat) ataupun jerambah (jalan setapak di atas tiang). Ruang terbuka yang lain adalah ruang-ruang antara bangunan berupa rawa-rawa yang pada saat musim pasang digenangi air dan pada saat musim kering menjadi ‘daratan’. Untuk memenuhi kebutuhan akan ruang terbuka ini kadang-kadang penduduk berusaha ‘memperlebar’ daratan dengan cara menambah pelataran dari papan yang disusun di atas tiang. Selain itu serambi rumah juga merupakan bagian penting dari rumah sebagai tempat bersosialisasi dengan tetangganya.

Kebutuhan anak akan ruang bermain sama dengan anak-anak lain, ementara area bermain anak secara spesifik tidak ada. Di kawasan permukiman ini anak-anak mempunyai pola permainan sendiri yang sangat terkait dengan air seperti berperahu, berenang dan memancing atau mencari ikan. Di sini terlihat bahwa anak-anak mudah menyesuaikan diri dengan kondisi alamnya. Pada saat musim pasang mereka bermain di air dan pada saat musim surut dan daratan menjadi kering mereka bermain di darat.

4.4. Pendekatan Kearifan Lokal dalam Pembentukan Pola Ruang

Seperti telah dibahas di atas, terdapat kearifan lokal penduduk dalam membentuk pola ruang kota di kawasan permukiman tepian sungai. Hal itu tercermin dalam penanganan terhadap area rawa, dimana mereka lebih memilih untuk tetap mempertahankan rawa dan beradaptasi dengan lingkungan air. Hanya saja kawasan permukiman di tepian sungai cenderung menjadi kumuh karena kurangnya penataan dan minimnya infra struktur. Untuk perencanaan dan penataan ruang kota yang berdasarkan pendekatan kearifan lokal ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan yaitu :

 Pembangunan permukiman di daerah rawa tanpa mengganggu fungsi rawa.

 Pengembangan daerah rawa dengan pengaturan bangunan yang ketat untuk melindungi keberadaan ekologis rawa.

 Pembangunan sarana dan prasarana dasar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi alamnya.

a. Penggunaan Ruang

Berdasarkan pendekatan tersebut maka konsep penggunaan ruang akan meliputi:

 Pengaturan penggunaan ruang yang disesuaikan dengan daya dukung alam. Penggunaan ruang di sini diatur agar tidak mengganggu kelestarian alam (rawa) dengan tetap mempertimbagkan adanya kebutuhan akan ruang kota.

(7)

 Pemanfaatan ruang sesuai kebutuhan penduduk dan disesuaikan dengan kondisi alamnya.

 Penggunaan lahan yang optimal dengan mempertimbangkan keterbatasan lahan serta keterbatasan ruang untuk pergerakan.

Penggunaan ruang dalam perancangan kawasan permukiman tepian sungai di area rawa ini meliputi:

 Kawasan hunian, berupa areal untuk perumahan dalam satuan unit lingkungan (neighborhood unit).

 Jalur sirkulasi, yang terdiri dari sirkulasi darat (jalan utama), sirkulasi sungai dan jalan setapak (jeramba) yang menghubungkan keduanya serta sebagai jalur pergerakan di dalam unit lingkungan hunian.

 Areal parkir untuk kendaraan roda empat. Hal ini diperlukan karena penduduk yang memiliki kendaraan dan tinggal di bagian lapis belakang biasanya meletakkan kendaraan pada bahu jalan dan kadang mengganggu kelancaran lalu lintas. Untuk itu diperlukan areal parkir secara komunal untuk memenuhi kebutuhan penduduk.

 Fasilitas sosial dan fasilitas umum, yang meliputi fasilitas pendidikan, kesehatan, perdagangan, peribadatan yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan dalam skala unit lingkungan serta perletakannya mempertimbangkan jarak jangkau serta skala pelayanan.

 Ruang terbuka yang meliputi ruang terbuka bersama sebagai wadah interaksi sosial, ruang terbuka untuk bermain anak dan ruang terbuka tepian sungai.

 Ruang-ruang antar bangunan. Ruang antar bangunan ini terbentuk dari adanya pengaturan jarak bangunan. Pada permukiman daerah rawa ruang-ruang antar bangunan tidak bisa digunakan untuk taman seperti pada permukiman darat.

b. Sirkulasi

Dalam hal penataan sirkulasi, maka konsep penataan sirkulasi di pemukiman ini adalah:

 Jalur sirkulasi utama darat, yang berupa jalan raya yang sudah ada berupa rawa yang ditimbun, hanya saja perlu diperhatikan saluran drainase yang melintasi jalan tersebut. Jalur jalan ini sebagai jalur utama yang menghubungkan kawasan permukiman dengan kawasan lain di alam kota.

 Jalur sirkulasi sungai. Sungai-sungai besar biasanya masih digunakan sebagai prasarana transportasi utama selain jalan. Transportasi sungai ini dipertahankan sehubungan dengan visi pengembangan Kota Palembang sebagai kota air. Pengembangan sirkulais sungai ini juga didukung dengan pembuatan dermaga-dermaga pada tempat-tempat tertentu sebagai perpindahan moda transportasi.

 Jalur sirkulasi dalam unit lingkungan hunian, berupa jalan-jalan setapak yang disusun dengan pola-pola tertentu. Jalan setapak ini berupa jerambah (jalan di atas tiang) dari bahan beton maupun dari kayu. Beberapa jalan perlu menggunakan bahan beton untuk melokalisir gerakan api pada saat terjadi kebakaran, karena jerambah kayu biasanya sangat mudah terbakar.

c. Ruang Terbuka

Penataan ruang terbuka pada permukiman rawa harus mempertimbangkan kondisi alamnya. Ruang terbuka yang bisa digunakan hanya terbatas pada daerah yang bisa dijadikan jalur pergerakan. Kegiatan penduduk pada ruang terbuka juga agak berbeda, walaupun secara umum kebutuhannya sama. Ruang terbuka di permukiman tepian terdiri dari :

 Ruang terbuka sebagai jalur sirkulasi, terdiri dari jalan, jerambah dan sungai.

 Tepian sungai. Tepian sungai sering dimanfaatkan sebagai ruang publik dan tempat bermain anak.

 Area bermain anak. Tempat bermain anak di sini bisa memanfaatkan ruang-ruang terbuka yang ada. Anak-anak sering tidak bisa dibatasi dalam ruang bermainnya.

(8)

 Ruang terbuka bersama. Ruang terbuka bersama ini bisa dibuat secara khusus terutama pada simpul-simpul jalur sirkulasi (persimpangan, dekat dermaga, mulut gang, dll).

 Ruang antar bangunan. Penggunaan ruang antar bangunan di permukiman rawa sangat tergantung pada musim pasang surut. Pada saat air pasang ruang ini bisa terendam air dan bisa dilewati perahu, bisa untuk memancing atau mencari ikan. Tetapi pada saat air surut, tanahnya bisa kering dan bisa dimanfaatkan seperti ruang terbuka daratan.

d. Tata Bangunan

Tata bangunan pada daerah rawa memiliki karakter yang khas, dengan pengaturan yang agak berbeda dengan di darat. Konsep tata bangunan di sini meliputi pengaturan jarak antar bangunan, jarak dengan tepian sungai dan jarak dengan jalan dan pengaturan orientasi bangunan.

1) Jarak antar bangunan

 Jarak antar bangunan mempertimbangkan keamanan terhadap bahaya kebakaran, karena sebagian besar material rumah terbuat dari kayu yang mudah terbakar.

 Jarak antar bangunan diatur agar bagian kolong rumah tetap terkena sinar matahari (secara langsung pada jam-jam tertentu) dan tidak lembab, untuk itu jarak antar bangunan ditetapkan sama dengan tinggi dinding ditambah lebar tritisan.

2) Jarak bangunan dengan jalan

 Jarak bangunan dnegan jalan utama (darat) mempertimbangkan keamanan dan

kelangsungan fungsi jalan (pada daerah milik jalan).

 Jarak bangunan dengan jalan setapak mempertimbangkan pengaturan jarak antar bangunan dan fungsi jalan setapak sebagai tempat pergerakan di atas rawa.

3) Jarak bangunan dnegan tepi sungai

 Bangunan pada tepi sungai besar diarahkan tidak terlalu ke tengah sungai dengan cara memberi batas jalan pada tepian sungai dan bangunan diorientasikan ke jalan. Khusus untuk rumah rakit masih diperbolehkan berdiri di atas sungai (sesuai dengan bentuk dan karakter rumahnya), hanya saja perlu dibatasi jumlahnya agar tidak mengganggu fungsi sungai sebagai jalur transportasi.

 Jarak bangunan dengan tepi sungai besar mengikuti aturan batas sempadan sungai untuk kawasan permukiman, yaitu 15 m dari tepi sungai pada saat pasang tertinggi.

 Sungai-sungai kecil biasanya dipakai juga sebagai batas unit lingkungan hunian (neighborhood). Sungai-sungai ini pada saat pasang masih sering digunakan untuk jalur transportasi skala terbatas, sehingga bangunan pada tepian sungai kecil ini hendaknya tidak menjorok ke sungai karena akan mengganggu fungsi sungai. Pembatasan tepi sungai perlu diatur dengan peraturan garis sempadan sungai yang jelas dan bangunan rumah diorientasikan kearah sungai agar sungai dapat berfungsi sebagai bagian depan rumah.

 Jarak bangunan dengan tepi sungai minimal 3 m dari tepi tanggul dan sungai dijadikan orientasi depan (waterfront) dan bukan bagian belakang. Hal ini untuk mengurangi gangguan terhadap sungai itu sendiri.

4) Orientasi bangunan

 Orientasi bangunan meliputi dua macam yaitu bangunan dengan orientasi ke jalan dan bangunan dengan orientasi ke sungai. Bangunan dengan orientasi ke jalan meliputi jalan utama dan jalan setapak.

 Bangunan dengan orientasi ke sungai tetap dipertahankan dengan mempertimbangkan jarak bangunan dengan tepian sungai. Bangunan di tepi sungai ini juga bisa diakses dari sungai dengan adanya dermaga kecil (tempat naik turun dari perahu) dan sering disebut ‘tangga raja’.

 Bangunan dengan orientasi ke jalan utama bisa berupa bangunan panggung atau semi panggung dengan sedikit penimbunan dibagian depannya sebagai areal parkir.

(9)

 Bangunan dengan orientasi ke jalan setapak (jerambah) berupa bangunan panggung dengan tiang dan dihubungkan dengan jalan setapak di depannya.

4.5. Rancangan Model Penataan

Perancangan model di sini didasarkan pada pendekatan konsep kearifan lokal dengan memahami kondisi fisik alam yang terletak di tepian sungai dan merupakan area rawa. Rancangan model penataan permukiman tepian sungai adalah sebagai berikut :

 Daerah publik kawasan diletakkan di tepian jalan dan tepian sungai, sebagai jalur sirkulasi dan tempat pintu masuk kawasan. Pintu masuk utama terletak di tepi jalan karena saat ini jalur jalan lebih dominant sebagai jalur pergerakan, sedang jalur sungai hanya merupakan jalur alternatif.

 Pada daerah tepi jalan ini digunakan untuk fasilitas umum maupun pertokoan.

 Area parkir diletakkan pada bagian tepi jalan. Area parkir ini pada siang hari digunakan untuk melayani kawasan komersil, sedangkan pada malam hari digunakan untuk parkir komunal bagi penduduk di bagian dalam kawasan yang memiliki kendaraan roda empat.

 Pada tepian sungai diletakkan dermaga sebagai tempat turun naik penumpang sekaligus sebagai tempat penyimpanan/tambatan perahu bagi penduduk yang memiliki perahu di kawasan tersebut.

 Pola permukiman menggunakan pola linear karena areanya yang berbentuk sempit dan memanjang. Rumah-rumah dihubungkan dengan jerambah kayu yang pada beberapa bagian dibuat dari bahan beton untuk melokalisir api.

Jaringan utilitas dibuat terpadu dengan jalur jalan (jalan setapak) dengan menggunakan box

cuvert yang diangkat (di atas rawa) dengan mempertimbangkan ketinggian pasang surut air.

5. Kesimpulan

Dari hasil penelitian didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu :

1) Permukiman di daerah rawa mempunyai karakteristik yang unik, karena sebagian besar kegiatan penduduknya dilakukan di atas air atau daerah yang masih bisa diinjak.

Gambar 2. Model Penataan Permukiman

Huni an Huni an Daerah tepian sungai sebagai ruang publik Dermaga sebagai ‘pintu masuk’ alternatif ke kawasan

Fasilitas umum dan perdagangan dilengkapi dengan area parkir Pintu masuk utama ke kawasan dari jalan

(10)

2) Pola kegiatan sehari-hari penduduk di atas rawa tidak ada bedanya dengan penduduk di daratan, hanya saja dalam penggunaan ruangnya menyesuaikan dengan kondisi alam yang ada.

3) Pola perkampungannya bisa dibagi menjadi dua yaitu pola perkampungan dengan orientasi ke jalan dan perkampungan dengan orientasi ke sungai.

4) Pola-pola perkembangan permukiman daerah ini mempunyai ciri khas tersendiri, karena merupakan perkampungan yang tumbuh secara alamiah tanpa mengadakan perubahan yang berarti pada lingkungan alamnya (rawanya tidak ditimbun). Sementara itu kebutuhan orang akan ruang kota dalam permukiman secara umum sama, baik pada daerah rawa maupun darat. Dalam batas-batas tertentu kebutuhan ini bisa terakomodasi walaupun terjadi penyesuaian. Pola permukiman yang demikian ini menunjukkan kearifan lokal penduduk dalam mengelola daerah rawa tanpa menyebabkan gangguan terhadap lingkungan alam.

6. Daftar Pustaka

Alexander, Christopher, 1977, A Pattern Language, New Yperk : Oxford University Press. Antariksa, 2011, Struktur Ruang Budaya Dalam Permukiman, Architecture Articles.

Bayu, Chandra & Susanto, Agus, 2010, Perubahan Pola Ruang Perkotaan Dalam Transformasi

Sosial Budaya Masyarakat Tepian Sungai Kapuas Di Pontianak – Kalimantan Barat, Jurnal

Ilmu Pengetahuan Dan Rekayasa, Januari

Carmona, 2010, Public Places, Urban Spaces, Amazone Carr, S, et al, 1992, Public Space, Cambridge University Press,

DeChiara, Joseph and Lee Koppleman, 1975, Manual Housing, Planning and Design Criteria, London: Prentice Hall.

Hanafiah, Johan, 1988, Citra Palembang Tempo Doeloe, Pemda Kodya Palembang.

Katz, Peter, 1994, The New Urbanism, Toward An Architecture of Community, New York: McGraw-Hill, Inc.

Rapoport, Amos, 1992, On Cultural Landscape, TDSR Volule III no II tahun 1992 Rapoport, Amos, 1977, Human Aspect Of Urban Form, Pergamon Press

Ruheza, Sosthenes and Kilugwe, Zuena, 2012, Integration Of The Indigenous And The Scientific

Knowledge Systems For Conservation Of Biodiversity: Significances Of Their Different Worldviews And Their Win-Loss Relationship, Journal of Sustainable Development in Africa

(Volume 14, No.6, 2012) ISSN: 1520-5509 Clarion University of Pennsylvania, Clarion, Pennsylvania

Sarwadi, Ahmad, 1997, Study on Living Space Typology of Urban Riverside Settlement for

Improvement Planning-Case Study in Palembang Musi River Indonesia, Department of Global

Gambar

Gambar 1. Kondisi Permukiman Rawa di Tepi Sungai Musi
Gambar 2. Model Penataan Permukiman

Referensi

Dokumen terkait

Belanja online merupakan suatu trend yang digemari saat ini, karena konsumen tidak perlu repot-repot mendatangi toko untuk membeli barang yang diinginkan, tetapi cukup dengan

Metode perhitungan zakat dengan metode self assesment oleh pembayar zakat memungkinkan suatu kekeliruan dalam penilaian harta kekayaan yang dikenakan wajib zakat dalam

Kelompok Negara Non-ASEAN yaitu Amerika Serikat, Belanda dan India secara parsial memiliki bentuk kerjasama yang berbeda dengan konsep yang dibangun oleh ASEAN

Oleh karena itu dalam penelitian ini, akan dibuat sediaan emulgel minyak ikan salmon dengan geling agent Na-alginat yang berasal dari Sargassum sp dengan konsentrasi

Pada Triwulan IV TA. 2016 target antara dari indikator ini perkembangannya 100,00% dengan rencana kegiatan meliputi : pelaksanaan litbang, workshop, diseminasi,

nonstatistik. Me Meto todo dolo logi gi un untu tuk k mem memut utus uska kan n akseptabilitas populasi pada intinya sama baik untuk sampling atribut maupun akseptabilitas

Gagasan John Rawls tentang keadilan sebagai fairness memuat persoalan kesempatan yang adil sekaligus membatasi ketidakadilan ekonomi dan sosial bagi anggota masyarakat yang

c) Hukumanan tindak pidana korupsi adalah ta’zir , yaitu disesuaikan dengan keputusan hakim. Hukumanan berupa ta’zir ini bisa lebih berat mengingat korupsi membawa