• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANCANGAN DAN ARSITEKTUR KOTA: SOSIO-SPASIAL PENGATURAN KEPADATAN STRUKTUR TERBANGUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANCANGAN DAN ARSITEKTUR KOTA: SOSIO-SPASIAL PENGATURAN KEPADATAN STRUKTUR TERBANGUN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN JURUSAN ARSITEKTUR

Judul Kegiatan:

PERANCANGAN DAN ARSITEKTUR KOTA: SOSIO-SPASIAL

PENGATURAN KEPADATAN STRUKTUR TERBANGUN

Peneliti:

Dr. Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc. Ni Made Swanendri, ST., MT

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : PERANCANGAN DAN ARSITEKTUR KOTA: PENGATURAN KEPADATAN STRUKTUR TERBANGUN

Peneliti Utama :

Nama : Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc. PhD Jenis kelamin : Perempuan

NIP : 19691018 199412 2 001

Pangkat/golongan : Penata/IIIc Jabatan sekarang : Tenaga Pengajar Jurusan : Arsitektur Fakultas : Teknik

Perguruan tinggi : Universitas Udayana

Alamat kantor : Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran Bali-Indonesia 80361

Telepon kantor : +62 361 703384; 703320 Faksimili kantor : +62 361 703384; 701806

Alamat rumah : Jl Gandapura IIIK No. 7 Kesima Kertalangu Denpasar Timur, 80237, Bali-Indonesia

Telepon : +62 361 467887; +62 89685501932 Email : ayusuartika@unud.ac.id

Jangka waktu penelitian : 3.0 bulan

Biaya yang diusulkan : Rp. 10.000.000,00 Biaya dari instansi lain : Tidak ada

Mengetahui: Denpasar, 03 September 2015

Ketua Jurusan Arsitektur, Ketua Peneliti Universitas Udayana

Ir. I Made Suarya, MT. Gusti Ayu Made Suartika, ST., MEngSc. PhD NIP. 19561015 198601 1 001 NIP. 19691018 199412 2 001

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Judul Lembar Pengesyahan i Daftar Isi ii Abstrak Penelitian 1 1 Latar Belakang 2

2 Topik dan Fokus Penelitian 4

3 Tujuan Penelitian 5

4. Kajian Pustaka 5

4.1. Bangunan/Struktur sebagai Produk Arsitektur 5

4.2. Pembangunan Spasial Berkelanjutan 6

5. Metode Penelitian 8 5.1. Pendekatan 8 5.2. Metode 9 6. Luaran Penelitian 9 6.1. Hasil Penelitian 9 6.2. Studi Lanjutan 10

7. Kajian Sosio-Spasial dalam Pengaturan Kepadatan Struktur Terbangun 11

8. Kesimpulan dan Saran 17

8.1. Kesimpulan 17

8.2. Saran 18

Daftar Pustaka 18

Lampiran 22

1. Dukungan terhadap Pelaksanaan Penelitian 22

2. Jadwal Pelaksanaan 22

(4)

ABSTRAK PENELITIAN

Kepentingan memposisikan pengaturan ketinggian bangunan dalam skala prioritas manajemen pembangunan keruangan daerah perkotaan dan perdesaan terkait dengan adanya peningkatan kebutuhan ruang yang tidak diikuti penambahan suplai lahan, sumber daya alamiah yang terbatas skalanya dan tidak bisa diperbaharui keberadaannya. Sementara itu, pembangunan keruangan sendiri sarat akan dampak, baik terhadap lingkungan sosial maupun alamiah. Berdirinya gedung komersial bertingkat tinggi dalam jarak yang sangat dekat dengan tempat-tempat berfungsi religius sering menjadi sumber ketidakpuasan di masyarakat. Banjir terparah yang melanda Jakarta di awal tahun 2007 ditengarai salah satu penyebabnya adalah penyempitan skala permukaan tanah yang tersedia untuk menyerap guyuran air hujan, karena sebagian besar telah tertutup bangunan.

Opsi mengakomodasi peningkatan kepadatan daerah dengan ekspansi ke arah vertikal merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah, sehingga konversi lahan strategis bisa dikontrol. Akan tetapi di lain kesempatan di daerah yang memiliki view potensial, diperlukan pembatasan tinggi bangunan yang lebih ketat sehingga potensi ini bisa dinikmati masyarakat banyak. Inilah contoh peran strategis akan pentingnya pengaturan ketinggian bangunan.

Permasalahan di atas, tidak terjadi di kota-kota di Indonesia atau negara berkembang saja, tetapi adalah tantangan bagi perencanaan keruangan daerah di seluruh dunia. Penelitian ini dilandasi pada suatu konsep pengaturan ketinggian bangunan sebagai salah satu wahana menyeimbangkan pembangunan keruangan dengan mengkonsolidasikan pembangunan; memberi perlindungan; dan menjamin keberadaan ruang-ruang yang berfungsi sosial budaya dan alamiah lingkungan: taman kota; kawasan lindung; tempat suci; kawasan pantai; pegunungan; dan lain-lain. Implikasi perwujudannya adalah pendekatan kebijakan untuk zone-zone dimana gedung bertingkat tinggi diijinkan – dibutuhkan –, dan zone-zone dimana ketinggian bangunan dibatasi dengan ketat.

Pemilihan Bali sebagai ilustrasi kontekstual dilandasi pada keunikan posisi pulau ini sebagai daerah tujuan wisata dengan kehidupan berbudaya yang sangat kental pada kesehariannya. Memadukan kepentingan kebudayaan dan ekonomi kepariwisataan

(5)

memberi tantangan yang berat terhadap pengaturan keruangan. Bali memiliki Perda No. 2, 3, 4/1974 dan No. 3/2005 yang menetapkan 15 m sebagai batas tinggi bangunan. Perda ini ditujukan untuk melestarikan bentang budaya dan alamiah. Tetapi, pesatnya industri pariwisata, pertumbuhan penduduk, aktivitas di bidang perdagangan, sosial, pemerintahan dan keamanan, memunculkan pertanyaan serius akan relevansi Perda ini dalam mengakomodasi tren peningkatan kebutuhan lahan. Dalam 30 tahun terakhir telah terjadi ekspansi ruang ke arah horisontal dan alih-fungsi lahan yang tinggi – khususnya lahan pertanian, hutan lindung dan bakau, ruang-ruang terbuka (Picard 1996, Pitana 1999, Suartika 2004). Dikhawatirkan, eliminasi ruang-ruang strategis secara kontinu akan mengganggu keseimbangan pembangunan dan lingkungan.

Penelitian ini secara khusus menelaah keberadaan praktek-praktek pembatasan ketinggian bangunan di tingkat global dari aspek sosio-spasialnya. Dengan mengadopsi pola pendekatan hermeneutic sebagai landasan teori dan filosofisnya, penelitian ini melandasi tahapan analisa dan sintesisnya dengan menginterpretasikan dan menerjemahkan keadaan-keadaan yang distudi. Pengambilan studi kasus dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan kontekstual basis pada fokus permasalahan penelitian yang sedang distudi.

1. Latar Belakang

Sejak diberlakukannya Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 2, 3, 4/1974 tentang batas ketinggian maksimum bangunan yang tidak boleh melebihi ketinggian pohon kelapa (≤ 15 m), tekanan dalam pembangunan keruangan telah mengalami peningkatan, baik skala maupun kompleksitasnya. Faktor kependudukan – pertambahan jumlah dan perpindahannya (migrasi) –; pembangunan bidang ekonomi – didominasi industri pariwisata dan sektor lain yang menunjang perkembangannya –; bidang pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat; bidang sosial dan kebudayaan, semua berjuang memperebutkan ruang-ruang – lahan – sebagai wadah untuk beraktivitas. Intensitas kompetisi semakin tinggi seiring peningkatan kompleksitas kehidupan ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan baik di tingkat lokal, nasional dan internasional.

(6)

Tantangan ini memaksa Pemerintah Daerah Propinsi Bali untuk pada keadaan-keadaan tertentu memberi ijin pembangunan yang melebihi batas ketinggian maksimum 15 m. Ratifikasi ini dituangkan dalam Perda No. 3 tahun 2005, tiga puluh tahun setelah diberlakukannya Perda No. 2, 3, 4/1974. Akan tetapi, Perda yang baru ini tidak mengidentifikasikan keadaan-keadaan khusus, dimana kelonggaran di atas akan dilaksanakan. Hal ini membuka peluang munculnya interprestasi yang berbeda-beda serta ketidakpastian dalam pengambilan keputusan. Kebijaksanaan yang diambil akan sangat tergantung pada kemampuan staf pemerintah/pimpinan lembaga untuk menganalisa keadaan yang sedang dihadapi. Faktor subyektifitas pandangan akan sangat berpeluang mempengaruhi kebijaksanaan yang diambil.

Kompetisi dalam penguasaan lahan seringkali tidak berjalan secara adil. Sektor ekonomi dan perdagangan, pada umumnya memiliki dominasi di atas sektor-sektor lainnya, khususnya bidang sosial dan budaya. Sebagai contoh lahan alun-alun yang beralokasikan di pusat kota Denpasar dialihfungsikan untuk perluasan kawasan pertokoan, sehingga skala ruang terbuka berfungsi sosial tereliminasi. Sering didengar keluhan jika akses masyarakat umum untuk melaksanakan aktivitas-aktivitas sosial dan menikmati pemandangan di daerah pantai atau pegunungan semakin terbatas. Lahan-lahan di sekitar area ini menjadi incaran pelaku industri pariwisata untuk mewadahi fungsi-fungsi komersial, seperti restoran, toko suvenir, hotel, dan lain-lain.

Jika seandainya kelonggaran ketinggian bangunan yang melebihi 15 m diijinkan di kompleks pertokoan pusat Kota Denpasar (yang dibicarakan di atas), kemungkinan konversi lahan terbuka umum itu tidak terjadi. Atau sebaliknya, jika saja ketinggian bangunan yang lebih ketat dibawah 15 m diberlakukan di daerah-daerah strategis, seperti halnya kawasan pantai atau gunung, kemungkinan akses masyarakat bisa dipertahankan. Jadi tujuan pemberlakuan Perda pembatasan tinggi bangunan untuk mencegah terjadinya pengikisan wujud dan praktek-praktek kebudayaan di Bali akan bisa ditindak lanjuti.

Tentunya pemecahan semacam ini tidak bisa diambil begitu saja. Diperlukan proses pendekatan dan telahan mendalam akan berbagai faktor pengaruh. Pada dasarnya Perda pembatasan ketinggian bangunan khususnya di daerah pariwisata berbasis

(7)

budaya, seperti halnya Bali merupakan hal yang sangat vital kebutuhannya. Akan tetapi, perlu diawasi bahwa keberadaannya bukan merupakan basis pendorong ekspansi pemanfaatan lahan ke arah horisontal. Bersamaan dengan dominasi sektor ekonomi dalam penguasaan lahan, keadaan ini akan membahayakan fungsi-fungsi lain yang rentan pengrusakan, seperti halnya hutan lindung, ruang-ruang terbuka hijau; area perairan; pegunungan; dan area-area untuk fasilitas umum.

Diakui, keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan keruangan yang bervariasi dari berbagai sektor bukanlah tugas yang mudah diemban oleh pihak mana saja termasuk institusi pemerintah daerah terkait dan stafnya. Sehingga studi pengaturan ketinggian bangunan ini diharapkan menjembatani sirkumstansi ini dengan menghasilkan pendekatan-pendekatan pembangunan keruangan yang memperkecil kemungkinan terjadinya konflik antar sektor kepentingan di dalam memperebutkan lahan-lahan yang terbatas adanya. Termasuk dalam hal ini adalah memanfaatkan nilai-nilai potensial yang dimiliki lahan-lahan tertentu secara efektif. Jika dikaitkan dengan keadaan di Bali khususnya, usaha ini memiliki hubungan yang kuat dengan objektivitas pembangunan di pulau ini yaitu pelestarian – konservasi – kebudayaan, lingkungan alamiah, sekaligus mewadahi pembangunan sektor ekonomi dan kepariwisataan.

2 Topik dan Fokus Penelitian

Sebagai langkah awal, riset ini mengkaji prinsip dan praktek pembatasan tinggi bangunan yang telah diterapkan di beberapa negara di dunia. Pertanyaan yang mendasar yang ingin dijawab dalam tahapan ini adalah:

Mengapa kepadatan struktur bangunan perlu dibatasi dan bagaimanakah penerapannya di beberapa daerah atau negara, khususnya jika dilihat dari keterkaitan isu ini dengan aspek sosio-spasialnya?

Investigasi ini akan menelaah dasar-dasar ide, pemikiran serta konsep dibalik pembatasan ketinggian bangunan. Adanya perbedaan di bidang geografi, sistem politik, tata nilai keruangan, nilai-nilai sosial dan budaya, dan lain-lain akan membawa tingkat variasi yang tinggi terhadap wujud pengaturan tinggi bangunan di masing-masing daerah/negara yang distudi. Di samping itu, rasionalitas berkaitan dengan masalah teknis: kepadatan penduduk dalam area tertentu, regulasi terkait

(8)

perbandingan luas lantai bangunan dengan luas site, perbandingan luas site tertutup bangunan dengan luas site secara keseluruhan, dan faktor-faktor penting penentu lainnya harus dipertimbangkan. Secara menyeluruh, penelitian ini dilaksanakan secara berkelanjutan dan diarahkan untuk:

Mengkaji implikasi dari aspek sosio-spasial dalam pengaturan kepadatan struktur terbangun. Penelitian ini diorientasikan sebagai studi tentang dasar-dasar konsepsual, merumuskan alternatif serta manifestasi pengaturan batas maksimum kepadatan struktur ditinjau dari aspek sosio-spasial.

3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan merumuskan landasan konsepsual keilmuan pembangunan keruangan yang berorientasikan pada tujuan utama:

Melaksanakan pendekatan-pendekatan fundamental untuk mengkaji potensi (kemungkinan) serta kendala dalam pengembangan pembangunan keruangan ke arah vertikal.

Sesuai dengan fokus studi secara keseluruhan, penelitian ini merupakan suatu tahapan studi untuk menyusun dasar-dasar pendekatan konsepsual dan wujud perubahan peraturan batas kepadatan struktur.

4. Kajian Pustaka

4.1 Bangunan/Struktur sebagai Produk Arsitektur

Tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan jumlah populasi dunia, proses pembangunan dan modernisasi baik di tingkat lokal maupun global telah mempengaruhi tingkah laku dan pola-pola pemanfaatan sumber daya keruangan – lahan – (Waters 2000, Askew and Logan 1994). Selain beberapa faktor penting yang telah disebutkan sebelumnya (lihat abstrak), tren peningkatan skala dan kompleksitas kebutuhan akan lahan juga disebabkan oleh beberapa faktor penentu lainnya. McGee (1994) dalam studinya tentang globalisasi bahkan menyatakan bahwa ada tiga faktor pendorong utama terjadinya pergeseran nilai-nilai dan praktek-prakek kebudayaan – termasuk budaya keruangan – di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Bali (Indonesia). Faktor-faktor tersebut adalah: struktur perekrutan tenaga kerja; sistem

(9)

finansial, perbankan dan perdagangan; serta pola konsumsi dan sosial di masyarakat. Keberadaan ketiga faktor ini berkaitan erat dengan adanya peningkatan hubungan antar wilayah dan negara.

Para ekspatriat membutuhkan ruang-ruang tertentu yang kemungkinan berbeda dari segi jenis dan ukuran dengan kebutuhan keruangan orang lokal dimana mereka bekerja. Hubungan ekonomi dan perdagangan antar negara atau antar individu dengan latar belakang kebangsaan yang berbeda, juga membutuhkan ruang-ruang yang pengaturannya bisa diterima oleh pihak-pihak terlibat. Kemudian perpindahan barang – consumer’s product – dari negara satu ke negara lain dan perubahan pola konsumsi di masyarakat juga merupakan faktor pengaruh yang menentukan kompleksitas kebutuhan akan ruang. Kondisi ini memperlihatkan bahwa di era dimana batas-batas geografi bukan merupakan halangan dalam melakukan hubungan diberbagai sektor kehidupan akan selalu ada proses mengakomodasi dan beradaptasi (Suartika 2004). Pertanyaannya sekarang, seberapa jauh suatu komunitas bersedia melaksanakan kedua hal ini, termasuk dalam pembangunan keruangannya. Atau seberapa jauh eksisting suatu tatanan keruangan bersifat relevan dan harus dipertahankan untuk melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan menjaga keberlangsungan lingkungan alamiah. Semua pertanyaan ini berperan dalam menjaga keseimbangan pembangunan dan ekosistem secara keseluruhan.

4.2 Pembangunan Spasial Berkelanjutan

Perlu ditekankan di sini bahwa, di satu sisi peningkatan kebutuhan akan ruang merupakan keadaan yang tidak terelakkan, tetapi di sisi lain, skala lahan yang akan mengakomodasi tren ini terbatas adanya dan tidak bisa diperbaharui – finite,

unrenewable resources. Pada kenyataan, beberapa negara telah melaksanakan

perluasan daratan – ekspansi horisontal – dengan reklamasi daerah perairan, usaha ini akan tetapi bersifat terbatas karena alasan teknis atau berbagai alasan sosial lainnya. Alternatif lain yang telah dilaksanakan di banyak negara adalah memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi dibidang konstruksi, dengan melaksanakan ekspansi pembangunan ke arah vertikal dengan meningkatkan

ketinggian bangunan (Abel 2004). Seperti halnya dengan reklamasi pantai, opsi ini

(10)

Kota Paris contohnya tidak mengeluarkan ijin pembangunan gedung bertingkat tinggi di dalam kota (Cuthbert 2006). Hongkong, selain memiliki koleksi berbagai macam bangunan pencakar langit, tetap memberlakukan pembatasan ketinggian bangunan untuk area-area tertentu. Penang (Malaysia) saat ini sedang bekerja keras menyusun suatu aturan baku yang mengatur ketinggian bangunan di kota Georgetown, sebuah kota bersejarah dengan berbagai macam rumah toko tuanya. Kota yang unik ini sekarang sedang berusaha memperjuangkan proposal untuk bisa tercantum dalam UNESCO’s World Heritage List. Contoh berikutnya Sydney kota yang perkembangannya diatur secara ketat yang juga memiliki regulasi pembatasan ketinggian bangunan.

Masing-masing contoh di atas memiliki alasan yang bervariasi dibalik pemberlakuan batas maksimum tinggi bangunan. Tentunya pembatasan ini tidak hanya menjawab masalah pemenuhan kebutuhan akan lahan dan ekspansi keruangan tetapi merupakan langkah fundamental untuk melindungi legasi sejarah, praktek-praktek sosial kemasyarakatan, nilai budaya atau faktor-faktor lainnya (Comedia 1991, Evans 2001). Keiser, Godschalk and Chapin (1995) dalam studinya tentang manajemen pembangunan keruangan dan pembangunan berkesinambungan mengatakan bahwa untuk mencapai pembangunan yang berkesinambungan, pembangunan keruangan harus memperhatikan 3 aspek penting, yaitu: nilai-nilai sosial (sosial values) yang mencakup kebutuhan ruang untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan manusianya, bermasyarakat dan mempertahankan praktek-praktek kebudayaan;

nilai-nilai ekonomis (economic values) melingkup kepentingan akan ruang untuk

aktivitas-aktivitas yang bertujuan memperoleh keuntungan secara finansial; dan nilai-nilai

kelestarian lingkungan (ecological values) yang berfokuskan pada penyediaan

ruang-ruang untuk pelestarian lingkungan alamiah.

Pandangan dari Keiser, Godschalk and Chapin (1995) menunjukkan bahwa ketiga kelompok tata nilai tersebut di atas dan implikasi wujud kebutuhannya dirangkul dalam sistem manajerial pembangunan keruangan yang menjadi komponen utama dalam pencapaian ide pembangunan yang berkelanjutan – sustainable development. Diakui bahwa mencari titik keseimbangan antara ketiga grup ini merupakan langkah yang seringkali tidak mungkin. Akan tetapi ada suatu formula yang ditawarkan,

(11)

dimana selalu terjadi proses tawar menawar antar kepentingan. Kekalahan satu grup merupakan kemenangan bagi grup lainnya. Tiap grup akan pernah menempati posisi sebagai pemenang ataupun sebagai pihak yang kalah. Untuk memeratakan dan menyeimbangkan kesempatan kalah dan menang bagi tiap-tiap grup inilah dibutuhkan suatu pendekatan pembangunan keruangan. Salah satu wujudnya adalah dengan mempromosikan usaha mengkonsolidasikan pembangunan dan di pihak lain memperketat pembangunan di daerah-daerah tertentu.

Studi ini juga menekankan bahwa, kesuksesan perencanaan pembangunan keruangan tergantung dari efektifitas hubungan kerjasama yang terjalin antar grup-grup yang terlibat di dalamnya, yaitu: pemerintah (government); berbagai kepentingan (interests); pasar (market) dan perencana (planner). Wujud kerjasamanya diatur oleh suatu peraturan (game rules).

Sebagai suatu pendekatan awal, studi-studi di atas memiliki relevansi untuk dipakai sebagai acuan dasar dalam mendekati batas ketinggian maksimum bangunan dengan studi kasus di Bali. Tentunya penelitian yang diajukan di sini akan melakukan studi teoretikal dan pustaka lanjutan yang lebih mendalam dan mendetail.

5. Metode Penelitian 5.1 Pendekatan

Secara keseluruhan studi ini mengadopsi pendekatan hermeneutic dalam meneliti permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Kata hermeneutic berasal dari Bahasa Yunani ‘hermeneuo’ yang berarti menterjemahkan atau menginterprestasikan. Sebagai salah satu kerangka kerja teori dan filosofis, pendekatan hermeneutic dilandasi oleh beberapa macam prinsip yaitu, tidak ada kebenaran yang mutlak; pengetahuan tidak diciptakan dengan sendirinya; dan pengetahuan tidak bisa diawali oleh kehampaan (Gadamer 1991, Ricoeur 2000, Ross 12 November 2003). Pendekatan ini menekankan pada keberadaan ilmu sebagai sebagai hasil suatu proses pembentukan yang didasari pada pengetahuan yang sudah ada sebelumnya, fakta-fakta, pemikiran, ide, konsep, dan pengalaman (Grondin 1994).

(12)

Keputusan untuk mempergunakan pola pendekatan hermeneutic akan memberi kami sebagai peneliti kesempatan pertama, menterjemahkan suatu konsep/ide dan relevansinya terhadap penelitian yang sedang ditangani (Thompson 1981); menginterpretasi keadaan-keadaan dan data-data yang diperoleh dari aktivitas pengkoleksian data, dan kedua mengobservasi dalam situasi dan proses yang bagaimana suatu keadaan terjadi (Cuthbert and Thompson 1993). Secara keseluruhan, pola pendekatan teoritis ini memfokuskan pada pencarian makna dan pengertian yang mendalam di balik suatu keadaan, bukan pada penemuan suatu fakta baru (Cuthbert 1988). Jadi, temuan dan kesimpulan yang dihasilkan dalam penelitian akan sangat tergantung pada kemampuan dan pengetahuan peneliti dalam mengkaji setiap keadaan yang dihadapi.

Dari pola pendekatan teori dan filosofis di atas, dapat disimak jika penelitian ini mengorientasikan tahapan studinya pada penerapan metodologi riset kualitatif. Studi kasus dipilih dengan tujuan memberikan kontekstual basis terhadap fokus penelitian dan menyediakan kesempatan untuk memahami berbagai sirkumstansi yang ada dengan pendekatan filosofis di atas. Jadi dalam konteks ini peneliti memiliki peran aktif dalam menentukan kualitas dan kedalaman pemahamannya tentang keadaan-keadaan yang dihadapi, termasuk disyaratkan kemampuannya untuk menterjemahkan, menginterpretasikan, menganalisa dan mensintesis permasalahan penelitian yang dihadapi.

5.2 Metode

Metodologi penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah studi literatur yang relevan serta kajian terhadap praktek-praktek pengaturan ketinggian bangunan yang secara dominan didasari oleh pertimbangan aspek sosio-sapasial di berbagai belahan dunia.

6. Luaran Penelitian 6.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian dicanangkan akan memberikan kontribusinya pada bidang keilmuan, – arsitektur, perencanaan dan pembangunan keruangan daerah perkotaan dan perdesaan –, pemerintah, komponen dan grup yang ada di masyarakat. Sebagai

(13)

wahana diseminasi hasil-hasil penelitian disini akan dituangkan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

1. Laporan penelitian

2. Sebagai wujud kontribusi penelitian kepada pihak atau kelompok tertentu yang memiliki perhatian yang mirip dengan permasalahan yang diangkat dalam studi ini, memperoleh masukan, saran, dan untuk mensosialisasikan hasil yang diperoleh dari tahapan-tahapan penelitian, maka publikasi di dua seminar nasional/internasional yang relevan juga merupakan bagian dari rencana yang disusun.

3. Untuk merealisasikan wujud kontribusi studi ini ke pembangunan keruangan di daerah dan mengingat urgensi permasalahan yang diajukan di dalam penelitian terhadap pembangunan keruangan di daerah, maka presentasi hasil penelitian ke badan-badan pemerintahan di daerah, seperti Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Departemen Pekerjaan Umum (PU) juga dimasukan ke dalam agenda penelitian untuk memperkenalkan pendekatan-pendekatan yang diperoleh dari studi ini.

6.2 Studi Lanjutan

Sebagai kelanjutan dari studi ini, dibutuhkan aktivitas pengkajian terhadap wujud fisik, realisasi dari konsep dan pedoman pembangunan keruangan dalam wujud pengaturan ketinggian bangunan. Format penelitian lanjutan ini belum bisa dideskripsikan secara mendetail, karena wujudnya tergantung dari landasan konsepsual yang dihasilkan oleh studi yang diajukan dalam proposal ini. Tetapi secara garis besar akan mencakup observasi lapangan untuk mengidentifikasi bentang alam Bali secara keseluruhan beserta potensi-potensi yang melekat di masing-masing area, yaitu potensi di bidang ekonomi, potensi di bidang sosial budaya kemasyarakatan dan potensi berkaitan dengan pelestraian lingkungan alamiah. Tugas utama dari studi lanjutan ini adalah – pen-zoning-an –: zone dengan batas ketinggian bangunan melebihi 15 m, zone dengan batas ketinggian bangunan 15 m, zone dengan batas ketinggian bangunan lebih rendah dari 15 m. Namun sebelumnya diperlukan suatu gambaran tentang daerah-daerah yang membutuhkan

(14)

perlindungan. Ada 9 dimensi keruangan yang perlu diperhatikan yang pada tahap ini yang dapat diidentifikasikan di sini, yaitu:

1. Daerah-daerah yang digunakan untuk aktivitas berkaitan dengan tradisi dan kebudayaan;

2. Daerah-daerah berkaitan dengan aktivitas yang bersifat religius; 3. Bentang alamiah;

4. Daerah-daerah yang tidak bisa dibangun;

5. Daerah penampungan air (water catchment area); 6. Daerah produksi pertanian pendukung kebudayaan; 7. Daerah pertanian penunjang industri;

8. Daerah pegunungan;

9. Daerah-daerah pesisir yang dimanfaatkan untuk pariwisata.

Dalam prakteknya, posisi studi lanjutan ini tidak terlepas dari kebijakan pengaturan pembangunan lainnya, seperti halnya bagaimana pembangunan itu di kontrol, diawasi dan bagaimana kapasitas institusi perencanaan pembangunan di tingkat nasional dan lokal mengintervensi serta mengatur tata guna tanah di daerah.

7. Kajian Sosio-Spasial dalam Pengaturan Kepadatan Struktur Terbangun Chapin (1959) dalam studi awalnya terkait perencanaan tata guna lahan mengidentifikasikan tiga faktor penentu patrun keruangan. Salah satunya adalah elemen yang dia kelompokan dan diberi nama sebagai tata nilai sosial yang telah berurat akar di dalam satu satuan kemasyarakatan. Seperti yang telah diungkapkan diatas, pandangan ini kemudian diperdalam oleh Kaiser, Godscalk, Chapin Jr (1995) Dengan peristilahan social values disini dimaksudkan berbagai sirkumstansi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, yang eksistensinya khusus dan terkadang unik untuk daerah ataupun sistem sosial tertentu. Menurut Chapin, kondisi-kondisi ini harus menjadi salah satu latar belakang utama dalam proses instigasi kebijakan-kebijakan strategis perencanaan yang relevan.

Jika diinterprestasikan komponen-komponen yang termasuk dalam tata nilai sosial disini antara lain adalah, sistem kepercayaan, mitos, sejarah, norma, tradisi, budaya, image akan sebuah tempat yang diinginkan, dan lain-lain. Kata ’unik’ yang melekat

(15)

pada masing-masing komponen memunculkan keinginan bahkan kepentingan untuk mempertahankan keberadaannya, agar tidak punah, memperpanjang pelaksanaan tata nilai serta praktek-prakteknya, mengingatkan memori sejarah, mengingatkan jati diri, membangkitkan asa patriotisme dan nasionalisme, menikmati keindahan-keindahan dari fenomena-fenomena yang ada yang dianggap akan mampu menambah kualitas hidup manusia dan lingkungan, atau menjaga tatanan sosial yang sudah dianggap sebagai suatu kebenaran, serta intensi-intensi lainnya. Semua ini menimbulkan kepentingan untuk melestarikan, baik dalam wujudnya untuk meng-konservasi, mem-preservasi atau me-reformasi sekalipun.

Eksistensi sebuah bangunan sebagai produk arsitektur tentunya tidak terlepas dari kondisi diatas, Termasuk juga, arsitektur tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan yang eksistensinya dilatarbelakangi oleh beragam sirkumstansi sosial. Pengaturan batas ketinggian bangunan (PBKB) sebagai salah satu wujud kebijakan yang secara langsung mendeterminasi penampilan fisik sebuah bangunan, eksistensinya tidak terpisahkan dari kondisi sosial yang ada dimana tata aturan tersebut diberlakukan. Malahan, kondisi ini menjadi landasan, bahkan alasan utama, akan kepentingan pengaturan serta penentuan batas ketinggian bangunan.

Di Paris, kota yang didesain oleh Georges-Eugène Haussmann di sepanjang abad ke 19 memiliki cerita tersendiri tentang PBKB. Di kota yang dijuluki kota terromantis di dunia, bangunan tidak boleh melebihi 37 m atau 18 m di beberapa area di pusat kota. Para pengambil keputusan secara ketat mentaati tata aturan ini, kecuali untuk pembangunan Tower Mountparnasse, dengan ketinggian yang melebihi 200 m (59 lantai), yang dibangun dari akhir tahun 60-an hingga awal tahun 70-an. Pelanggaran yang mengijinkan pembangunan skyscarapper yang menjulang tinggi meraih langitnya kota Paris ini, di satu sisi menuai banyak protes, akan tetapi di sisi lain, telah memperkuat kesetiaan parisian – orang Paris – untuk setiap kesempatan membatasi ketinggian struktur, di salah satu kota terindah di dunia, dengan perjalanan sejarah yang melebihi 4000 tahun.

Dari hasil kajian terhadap beberapa sumber literatur, PBKB di kota Paris secara dominant dilandasi fondasi kuat untuk mempertahankan karakter, image kota Paris itu sendiri, selain keinginan untuk mempertahankan serta melanjutkan legasi yang

(16)

diwariskan Haussmann kepada generasi Parisian ke berikutnya. Alasan mendasar ke berikutnya adalah usaha untuk mempertahankan kualitas kehidupan Parisian dengan terpeliharanya akses pandang ke langit (angkasa), baik di malam maupun siang hari. Pandangan ini dianggap sebagai elemen fundamental sebuah kehidupan kota. Paris menyadari, jika akses pandangan ke langit akan mempengaruhi interaksi – baik secara fisik maupun psikologis – keseharian yang terjadi di dalam kota itu sendiri. Ini pada akhirnya merupakan faktor penentu tingkat kenyamanan, kebahagiaan penduduk yang bertempat tinggal di dalam kota itu sendiri. Lebih lanjut ditekankan bahwa, keberadaan bangunan tinggi hanya secara logika akan mereduksi kesempatan Parisian untuk menikmati langit, angkasa, sirkulasi udara yang menyejukan, beserta keindahan dan kenyaman yang dimunculkan semua ini.

Contoh keberikutnya, Washington DC, Ibu Kota negara Amerika Serikat, salah satu negara bagian Amerika Serikat, juga memiliki PBKB yang ketat. PBKB di kota yang sering kali dijuluki Eropanya Amerika, diawali perjuangan keras dua ’Bapak Bangsa Amerika’: George Washington dan Thomas Jefferson yang dengan penuh heroisme memperjuangkan Washington – ibu kota USA – sebagai low city. Kepentingan akan regulasi ini semakin dirasa kebutuhannya dengan didirikannya apartment The Cairo di Q Street NW dengan ketinggian 160 kaki (+ 53 m). Kongres Amerika akhirnya mengeluarkan Act di tahun 1910 tentang ketinggian bangunan. Act ini menstipulasi bahwa PBKB disesuaikan dengan lebar jalan utama di sekitar site dari bangunan yang akan didirikan. Ketinggian yang diijinkan tidak melebihi lebar jalan utama ditambah 20 kaki (+ 6.6 m) (Lewis in Washington Post, 26/05/2007). Jadi semakin lebar jalan, semakin tinggi ketinggian bangunan yang diijinkan.

Seperti halnya Paris, American Act 1910 ini menekankan pentingnya akses pandangan ke langit, sirkulasi udara, dan terjadinya harmonisasi antara bangunan dengan lingkungan sekitarnya, sebagai komponen yang harus dipertahankan jika kualitas kehidupan di daerah perkotaan akan dijaga dan diperpanjang dampak positif yang dimunculkannya. Selain memiliki nilai historis, Act 1910 juga memiliki misi mempertahankan pandangan terhadap Washington Monument dan the United States

Capitol sebagai struktur tertinggi di ibu kota Negara ini (Rybczynski dalam

http://urbanplacesandspaces.blogspot.com/2008/04/cairo-hotel-washington-dc.html, diakses 10/07/08). Tidak ada bangunan yang diijinkan melebihi ketinggian

(17)

Washington Monument sebagai bangunan yang didedikasikan untuk George Washington, dan the Capitol, dimana segala aktivitas Konggress Amerika dipusatkan. Jadi keberadaan PBKB di Washington DC memiliki multi peran. Pertama memiliki pandangan sejarah, kedua, merupakan usaha mempertahankan pemenuhan kebutuhan dasar kehidupan penduduk kota ini, dan ketiga, juga berperan politik.

Akan tetapi seiring perkembangan pembangunan daerah perkotaan, keberadaan PBKB baik Paris maupun di Washington DC menimbulkan beragam pertanyaan. Hal ini berlanjut dengan munculnya keinginan-keinginan dari kelompok tertentu untuk melakukan perubahan menuju relaksasi batas ketinggian bangunan. Di Paris misalnya, Bertrand Delanoë – mayor kota Paris dari partai Sosialis – berhasil meyakinkan Paris Council pada bulan Juli 2008, akan pentingnya memberi ijin pembangunan bangunan yang melebihi batas ketinggian 37 m (Samuel dalam Telegraph UK 8 Juli 2008).

Delanoë beragumentasi bahwa, relaksasi ini merupakan keharusan sebagai solusi terhadap masalah keruangan yang Sangay serius yang Paris sedang hadapi, yaitu kurangnya jumlah perumahan – permukiman – yang tersedia bagi Parisian. Ketinggian bangunan yang melebihi 37 m, secara langsung dipandang akan memberi kesempatan dibangunnya apartment bertingkat tinggi di dalam kota. Persetujuan council ini diberikan walau bertentangan dengan hasil jajag pendapat yang menunjukan lebih dari dua per tiga Parisian menolak pemberian kelonggaran terhadap batas ketinggian bangunan yang berlaku saat ini.

Seiring usaha dari mayor dari partai buruh untuk kota Paris, kota London di Inggris telah mendahuliu dengan perubahan kebijakan yang sama. Sampai dengan abad ke-20 skyline di London dibatasi oleh ketinggian House of Parliament (dimana big ben berada) dan St’s Paul Cathedral (Simon, 1996). Di tahun 1956 mulai diijinkannya relaksasi terhadap pembatasan ketinggian bangunan (Attoe, 1981; Simon, 1996). London County Council (LCC) merumuskan delapan kriteria yang dipertimbangkan dalam mengevaluasi sebuah proposal pembangunan gedung bertingkat tinggi, yaitu intrusi pandangan visual, lokasi, ukuran site, bayangan bangunan, karakter lokal, pengaruhnya terhadap sungai Thames (yang melintasi kota London) dan ruang

(18)

terbuka, koalitas design arsitektur, dan pemandangan yang dimunculkan di malam hari (Holmes, 2004).

Di tahun 1969, the Greater London Council (GLC), penerus dari London County Council, mengidentifikasi tiga zone regulasi untuk konstruksi bangunan tinggi, i) area yang tidak tepat untuk bangunan tinggi; ii) area yang sensitive terhadap pengaruh visual yang dimunculkan oleh bangunan tinggi; iii) are dimana bangunan tinggi kemungkinan besar diijinkan (Simon, 1996). The GLC merumuskan criteria untuk masing-masing zone dan melengkapinya dengan montase photo sebagai acuan alat pengaturan dan penilaian (Attoe, 1981). Perubahan terhadap kebijakan ini terus berlanjut, mengarah pada pembukaan pintu regulasi terhadap pembangunan gedung bertingkat tinggi. Kondisi ini semakin menjauhi pembangunan kota London dari ide konservasi peninggalan gedung bernilai sejarah melalui pelestarian dan pemerataan kesempatan untuk menikmati pemandangan terhadap bangunan-bangunan bersejarah ini (Holmes 2004). Perkembangan peraturan yang berlaku saat ini melihat bangunan tinggi sebagai landmatk kreatif yang meningkatkan karakter kota London (Mayor kota London, 2002).

Sementara itu keinginan untuk memformulasikan PBKB juga terjadi untuk kota Washington. Relevansi PBKB di Washington DC telah menjadi bahan perdebatan yang berkepanjangan antara group yang pro dan kontra akan pemberian kelonggaran terhadap batas ketinggian bangunan yang ada. Berbeda halnya dengan kondisi di Paris, posisi Act 1910 Washington, secara hukum, belum tergoyahkan. Washington tetap mempertahankan batas ketinggian bangunan yang dimiliki saat ini.

Contoh kali ini adalah kota Kyoto – Kyodo – di Jepang, ibu kota tua dari negari Sakura. Jika keberadaan PBKB di Paris dan Washington dipertanyakan, maka eksistensi peraturan yang sama di kota Kyoto malah menunjukan arah yang berlawanan. PBKB Kyoto diperkuat secara legal hukum dan penerapannya. Mayor kota Kyoto, Yorikane Masumoto telah berhasil memperketat batas ketinggian bangunan dari 31 m – pada zone tertentu – menjadi 15, dan dari ketinggian 45 m menjadi 31 m – pada zone tertentu pula – (Japan Times 02/09/2007). Kalangan akademik dan para pemerhati perkembangan kota di Jepang sangat menghargai keberhasilan Yorikane Masumoto ini. Khususnya, jika kesuksesan ini dikaitkan

(19)

dengan misi penghormatan serta usaha Jepang mempertahankan Kyoto sebagai kota tua bersejarah.

Pemerhati perkembangan kota-kota di Jepang Sangat memandang perlu jika perkembangan daerah perkotaan Kyodo memiliki penampilan yang kalem jauh dari gebyar-gebyor gemerlapnya kehidupan modern. Hal ini diperlukan untuk membedakan kota ini dengan dengan kota Tokyo maupun Osaka, metropolisnya Jepang (Kerr 1996). Secara bersamaan, pengetatan PBKB di Kyoto ini juga dibarengi pelarangan terhadap pemasangan iklan di atas atap, termasuk iklan dengan atau tanpa lampu berkelap-kelip. Semua ini ditujukan untuk pelestarian Kyodo sebagai kota yang mewakili Jepang pada masa pra-modernisasi,.

Keseriusan pemerintah Kyoto ini bukan usaha yang bersifat setengah-setengah. Pemerintah bahkan menyediakan pinjaman khusus bagi para pemilik bangunan untuk membangun kembali bangunan-bangunan yang tidak memenuhi tata aturan yang baru. Pemberian pinjaman dana ini juga ditujukan para pemilik bangunan dan bisnis (mencapai 650 bangunan) yang mengharuskan sarana periklanan, akan tetapi bertentangan dengan tata aturan periklanan baru yang berlaku. Pemerintah memberikan tenggang waktu tujuh tahun masa transisi sebelum peraturan batas ketinggian bangunan dan periklanan Kyoto 2007 bisa diimplementasikan secara penuh.

Contoh keberikutnya adalah kota Xi’an, Xhaanxi Province, People Republic of China (PRC). Dalam sejarah Negeri Tiongkok, kota Xi’an merupakan kota tua yang memiliki posisi yang khusus. Kota ini telah menjadi pusat kerajaan dari 13 dinasti besar dan kecil di China, sebuah posisi yang tidak dimiliki oleh kota manapun di negeri ini, termasuk kota besar seperti Beijing, Shanghai, maupun Guangzhou. Posisi geografis yang strategis di pusat dataran Cina, dengan dikelilingi gunung serta sungai, memberi keunggulan tersendiri kepada Xi’an, baik dari segi keamanan maupun pemenuhan pada tata nilai tradisional Feng Shui. Sebagian peninggalan pusat kota tua Xi’an masih tetap berdiri sampai saat ini, walau keberadaannya telah banyak mengalami perubahan. Seperti halnya dengan berbagai eksisting pusat kota kuno pada umumnya, pusat kota Xian (sampai sekarang tetapi dijadikan sebagai pusat kota) dikelilingi aliran air dan dibatasi tembok kota yang tinggi.

(20)

Kota Xi’an memiliki PBKB yang menyatakan bahwa bangunan yang dibangun dengan jarak satu kilometer dari tembok kota, tidak diijinkan melebihi ketinggian tembok kota itu sendiri atau sebuang bangunn yang disebut Drum Tower yang merupakan pusat orientasi (Interview Liu,Yu 14/09/2008). PBKB Xi’an diberlakukan dengan tujuan melindungi keberadaan pusat kota sebagai tempat yang dengan legasi sejarahnya tersendiri, mempertahankan image kota, serta mengatur kepadatan area di sekitar kota tentunya. Akan tetapi, dalam kenyataan, perkembangan kota sampai saat laporan ini ditulis, pelanggaran terhadap produk regulasi ini telah berada pada level yang tidak terkontrol. Beragam bangunan yang melebihi ketinggian tembok kota telah dibangun dalam radus yang kurang dari 1km dari tembok kota. Pemandangan yang ada menggambarkan seolah-olah tata aturan terkait batad ketinggian bangunan tidak ada sama sekali.

Hal yang sama juga terjadi di ibu kota PRC, yaitu Beijing dimana secara aturan, seseorang tidak diijinkan membangun sebuah struktur dengan ketinggian yang melebihi 60 m. Akan tetapi pada kenyataannya, beragam skyscrapper telah diberi lampu hijau. Salah satu bangunan kontroversial di kota ini adalah dijinkannya pembangunan China Central Televisi dengan ketinggian 230 meter, dan the World Trade Centre dengan ketinggian 330 meter (China Daily, in

http://www.chinadaily.com.cn/english/doc/2005-03/03/content_421298.htm, diakses 10/08/08). Secara keseluruhan, China memiliki aturan ketinggian bangunan maksimum yang diijinkan adalah 0.7 dari jarak dua buah bangunan (Interview Liu,Yu 14/09/2008).

Demikianlah beberapa contoh bagaimana kepadatan/ketinggian bangunan diatur di beberapa satuan kedaerahan.

8. Kesimpulan dan Saran 8.1 Kesimpulan

Keunikan latar belakang sosial yang menginspirasi pengaturan kepadatan/ketinggian struktur tidak hanya terbatas pada beberapa kasus yang telah dipaparkan di atas. Kasus-kasus ini merupakan contoh yang diharapkan akan memberi pengertian bahwa kepadatan atau dalam konteks ini dipaparkan sebagai bagian dari pengaturan ketinggian bangunan, tidak hanya secara fisik sebagai produk regulasi yang bersangsi

(21)

hukum, tetapi memiliki sangsi konsepsual yang secara inheren bertujuan memperpanjang keberlangsungan tatanan sosial, tata nilai sejarah, budaya, tradisi, image dari kota, dan kaidah sosial lainnya.

8.2 Saran

Dalam rangka pengaturan densitas sebuah lingkungan terbangun, diperlukan pertimbangan serius terhadap elemen sosio-spasial. Ini termasuk pertimbangan akan perjalanan sejarah, tradisi dan praktek-praktek lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, pandangan-pandangan yang ada terkait tata nilai spasial, image kota yang ingin dibangun, dan atau elemen-elemen unik lainnya yang tidak termasuk ke dalam pertimbangan-pertimbangan secara teknis perencanaan keruangan.

Daftar Pustaka

Abel, C (2004) Architecture, Technology and Process Amsterdam (USA): Architectural Press, an imprint of Elsevier.

Askew, M and W S Logan (1994) Introduction: urban tradition and transformation in Askew, M and Logan, W S (Eds.) Cultural identity and Urban Change in

Southeast Asia: Interpretative Essays Australia: Deakin University Press.

Bassett, K (1993) Urban cultural strategies and regeneration. Case study and critique

Environment and Planning p:1773 – 1788.

Beckett, H E (1942) Population density and the heights of buildings Transactions of

the Illuminating Engineering Society London.

Calhoun, J (1962) Population Density and Social Pathology Scientific American 206, p:139-148.

Castells, M (1977) The Urban Question London: Arnold.

Chan, Y K and Man J L (1982) Density and Crowding: A Review of Theories,

Methods and Consequences The Chinese University of Hong Kong:

Department of Sociology.

Chan, Y K Urban densities and social relations Journal of The Chinese University of

Hong Kong 5(1), p: 315-322.

Comedia, (1991) London World City: The Position of Culture, London: London Planning Advisory Committee p: 78.

Conway, D (1977) Human Responses to Tall Buildings USA: Dowden. Strongsberg. Cuthbert, A R (1988) Ideology and Urban Planning: The Case of Hong Kong A PhD

Thesis, Department of Geography, London School of Economics and Political Science.

Cuthbert, A R (2006) The Form of Cities: Political economy and Urban Design United Kingdon: Blackwell Publishing.

(22)

Cuthbert, A R and Thompson, S Notes on Research and Preparation of the Thesis

Document Sydney, Australia: School of Planning and Urban Development,

University New South Wales.

Cuthbert, A R (1985) Architecture, Society and Space. The High Density Question

Revisited. Progress in Planning 24, Oxford (UK): Pergamon Press, p: 71-160.

Dove, M R (1988) Introduction: traditional culture and development in contemporary Indonesia in Dove, M R (Ed) The Real and Imagined Role of Culture in

Development: Case Studies from Indonesia Honolulu: University of Hawaii

Press.

Ellis, C (2002) The new urbanism: critiques and rebuttals The Journal of Urban

Design 7 (3), p: 261- 292.

Evans, G (2001) Cultural Planning: An Urban Renaissance? New York: Routledge. Gadamer, H G (1991) Gadamer and Hermeneutics Edited by Hugh J Silverman,

New York, London: Routledge.

Geertz C (1991)(Ed) State and Society in Bali: Historical. Textual and

Anthropological Approaches Leiden: KITLV Press

Geertz, C (1959) Forms and variations in the Balinese village structure American

Anthropologist 61, p: 991-1012.

Geriya, W (1995) Pola Partsipasi dan Model Pemberdayaan Sumber Daya Desa

Adat Dalam Perkembangan Pariwisata Denpasar: Upada Sastra.

Grondin, J (1994) Introduction to Philosophical Hermeneutics Translated by Joel Weinsheimer, New Haven: Yale University Press.

Hall, E T (1973) The Silent Language Garden City, New York: Anchor Press/Doubleday.

Hubbard P J (1993) The value of conservation: a critical review of behavioural research Town Planning Review 64 (4), p: 359-373.

Jenks, M and Burgess, R (2000) Compact Cities: Sustainable Urban Forms for

Developing Countries London: Spon.

Jiven J and Larkham P J (2003) Sense of place, authenticity and character: a commentary The Journal of Urban Design 8 (1), p: 67-82.

Kaiser, E J, D R Godschalk, F S Chapin Jr (1995) Urban land Use Planning United Governments of America: University of Illinois Press.

Kaler, G K (1983) Butir Butir Tercecer tentang Adat Bali Vol 1 Denpasar: Bali Agung.

Krueger, R.A. (1998) Developing Questions for Focus Group: Focus Group Kit. United States of America: Sage Publications Inc.

Lee, R P (1981) Human implications of high density settlement: the Hong Kong experience in Hill et al (Eds) Development with a Human Face Sydney: Unesco, The Australian Government.

Lynch, K (1981) A Theory of Good City Form USA: MIT Press Cambridge.

Mantra, I B (1993) Bali. Masalah Sosial, Budaya dan Modernisasi Denpasar: Upada Sastra.

(23)

Marcus, C C and Francis, C (1998) (Eds) People Places: Design Guidelines for

Urban Open Space New York: Van Nostrand Rheinhold.

McGee, T (1994) Foreword in Askew, M and Logan, W S (Eds.) Cultural Identity

and Urban Change in Southeast Asia, Interpretative Essays Australia: Deakin

University Press.

Miao, P (2001) Public Places in Asian Pacific Cities Amsterdam: Kluwer.

Mills, E S and Tan J P (1980) A comparison of urban population density functions in developed and developing countries Urban Studies 17 (3), p: 313-321.

Nas, P J M (Ed) (1986) The Indonesian City Dordrecht, The Netherlands: Foris Publications.

Orbash, A (2000) Tourists in Historic Towns London: Spon.

Ouf, A M S (2001) Authenticity and the sense of place in urban design The Journal

of Urban design 6 (1).

Picard, M (1996) Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture Singapore: Archipelago Press.

Pitana, G (1994) Desa Adat dalam arus modernasasi, in Pitana, G (Ed) Diinamika

Masyarakat dan Kebudayaan Bali Denpasar: Bali Post, p:137-169.

Pitana, I G (1999) Pelangi Pariwisata Bali: Kajian Aspek Sosial Budaya

Kepariwisataan Bali di Penghujung Abad Denpasar, Bali: Bali Post, p: 130.

Pun, K S (1994) Advantages and Disadvantages of High Rise Urban Development.

in High Densities: A Solution for our Cities? Consulate General of France in

Hong Kong.

Rappoport, A (1975) Towards a redefinition of density Environment and Behaviour 7 (2), p: 133-156.

Ricoeur, P (2000) The Conflicts of Interpretations: Essays in Hermeneutics Edited by Don Ihde, London: Athlone Press.

Ross, K L (2002) Foundationalism and Hermeneutics in

http://www.friesian.com/hermenut.htm, accessed on 12/11/2003.

Samadhi, N T (2004) Man, culture and environments: an anthropological approach to determining the Balinese urban design unit The Journal of Urban Design 9 (2), p: 205-224.

Schmitt, R E (1966) Density, health and social disorganisation The American

Institute of Planners Journal January.

Sentosa, L S (2001) Genius loci within Balinese dwelling environments: the unlikely scenarios of urban development in Bali Habitat International 25, p: 255-272. Suartika, G A M (2006) Vanishing Paradise: Planning and Conflict in Bali A thesis

submitted in fullfilment of the reqquirements for the degree of Doctor Philosophy, Sydney (Australia): University of New South Wales.

Sundstrom, A (1980) Crowding as a sequential process: review of research on the effects of population density on humans, in Baum, A and Epstein, Y M (Eds)

Human Responses to Crowding Hillsdale New Jersey: Laurence Erlbaum.

Thompson, J B (1981) Critical Hermeneutics: A Study in the Thought of Paul

(24)

Tiesdell, S (2002) The new urbanism and English residential design guidance: a review The Journal of Urban Design 7 (3), p: 353 – 376.

Wansborough, M and Mageean, A (2000) The role of urban design in cultural regeneration The Journal of Urban Design 5 (2), p: 181-198.

Warren, C (1993) Balinese Communities and the Indonesian State Singapore: Oxford University Press.

Waters, M (2000) Globalisation 2nd ed. London: Routledge.

Zhang, X Q (2000) High rise and high density compact urban form. The development of Hong Kong, in Jenks, M and Burgess, R Compact Cities:

Sustainable Urban Forms for Developing Countries London: Spon.

Hong Kong, http://www.The World FactBook.com, diakses tanggal 15/01/2007). The Tourist Industry, http://www.tourism.com, diakses tanggal 15/02/2007.

(25)

Lampiran

1. Dukungan terhadap Pelaksanaan Penelitian 1.1 Fasilitas Pendukung

Sekretariat : Sekretariat Juusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

Perpustakaan : - Perpustakaan Pusat Universitas Udayana, Denpasar; - Perpustakaan Fakultas Teknik Universitas Udayana;

- Ruang Baca Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana;

1.2 Fasilitas yang Telah Dimiliki

Penelitian ini melalui pendekatan secara kualitatif dan tidak memerlukan laboratorium yang khusus. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Ruang kerja untuk Tim Peneliti berkapasitas 2 orang telah ada termasuk: meja, kursi, filling cabinet, 2 unit laptop, dan 1 unit komputer desktop. Hanya saja perlu ada pemeliharaan selama proses penelitian.

 Ruang pertemuan-pertemuan berkapasitas dua puluh orang akan dilakukan kerja sama dengan pihak rektorat, dan dengan instansi terkait bila pertemuan dilakukan di wilayah penelitian.

 Alat-alat pendukung untuk survai lapangan seperti: kamera digital, handy camera, dan alat perekam akan disewa atau memanfaatkan yang ada di Jurusan, hanya saja perlu ada pemeliharaan selama dimanfaatkan selama proses penelitian. 2. Jadwal Pelaksanaan Alokasi Waktu Waktu (mgg) Tahun 2015 No. Minggu ke Tahap Kegiatan 1-2 3-4 5-6 7-8 9 10 11 12 Studi wujud-wujud pengaturan ketinggian bangunan di dunia 10 1. Penelusuran literatur 8  Pendekatan teori dan

filosofis

8  Kajian sebelumnya yang

relevan

8 2. Penelitian keterkaitan aspek

lingkungan dengan pengaturan ketinggian bangunan

8

(26)

3. Biografi/Daftar Riwayat Hidup Peneliti

Nama : GUSTI AYU MADE SUARTIKA, ST, MEngSc, PhD Jenis kelamin : Wanita

NIP. : 19691069 199412 2 001 Pangkat/Gol : Penata/IIIC

Jabatan : Lektor

Jurusan/Fakultas : Arsitektur/Teknik, Universitas Udayana

Alamat : Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas

Udayana, Kampus Bukit, Jimbaran Badung, (80364), Badung, Bali - Indonesia

Phone/Fax/Email : +62 361 239577 (Tel & fax); +62 89685501932 (M) ayusuartika@unud.ac.id; ayusuartika@yahoo.com.au

KUALIFIKASI PENDIDIKAN

No Gelar Bidang Institusi Tahun

1 PhD Perencanaan & Pembangunan

Wilayah

University of New South Wales, Australia

2005

2 Non gelar Perencanaan & Pembangunan

Wilayah

University of New South Wales, Australia

2000

3 MEngSc Manajemen Proyek University of New South Wales,

Australia

1999

4 ST Teknik Arsitektur Universitas Udayana 1994

PELATIHAN AKADEMIK

No Bidang Penyelenggara Tahun

1 Program Pendidikan Kurikululm Berbasis Kompetensi

Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana

2008

2 Foundation of University Teaching & Learning 2

University of New South Wales, Australia 2005

3 Foundation of University Teaching & Learning 1

University of New South Wales, Australia 2000

4 English Courses for Academic Purposes

Indonesian-Australian Languange Foundation

1997

(27)

PENGALAMAN PENELITIAN

No Peran Judul Penelitian Dibiayai oleh Tahun

1 Kordinator

peneliti

Pengendalian Kompetisi dalam Pemanfaatan Lahan: Merangkul

Kepentingan Tradisi, Ekonomi, Kebutuhan Dasar, dan Pelestarian

Lingkungan Alamiah Dalam Pembangunan Spasial di Bali

Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan 2015

2

Kordinator peneliti

Pengendalian Kompetisi dalam Pemanfaatan Lahan: Merangkul

Kepentingan Tradisi, Ekonomi, Kebutuhan Dasar, dan Pelestarian

Lingkungan Alamiah Dalam Pembangunan Spasial di Bali

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

2014

1 Kordinator

peneliti

Pelestraian Budaya Dan Perencanaan Spasial: Pemberdayaan

Sistem Kedinasan Dan Adat Dalam Mengatur Tata Guna Lahan Di Bali

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Indonesia 2013

2 Kordinator

peneliti

Turning a Blind Eye: Slum Housing and Sustainability in Bali

International research Scheme, Udayana

University 2012

3 Kordinator

peneliti

Pelestraian Budaya Dan Perencanaan Spasial: Pemberdayaan

Sistem Kedinasan Dan Adat Dalam Mengatur Tata Guna Lahan Di Bali

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Indonesia 2012

4 Kordinator

peneliti

Konservasi budaya dan pengendalian pemanfaatan lahan di Bali

Program Magister Arsitektur Universitas Udayana 2011 5 Kordinator peneliti Kolaborasi New South Wales Univ.

Housing, Home, and Culture: The Dimensions of Sustainable Practices

in Southeast Asian Countries

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia 2010

6 Kordinator

peneliti

Pengaturan Batas Ketingian Bangunan: Setinggi Pohon Kelapa II

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia 2009

7

Kordinator peneliti

Sustainable Practices in Housing Development in Xian Xity (China)

The Australian Department for Education

and Training dan NPU China

2009

8 Kordinator

peneliti

Pengaturan Batas Ketingian Bangunan: Setinggi Pohon Kelapa I

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia 2008

9 Kordinator

peneliti

Tourism, Spatial Development and Conflict: Socio-Cultural Significance of

Territoriality in Bali

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia 2008

10

Anggota Tenaga ahli

Perencanaan Keruangan Pembangunan Kawasan Soka: Pengembangan Zona Pariwisata Baru

Pemerintah Daerah Tingkat I Bali

2007

11 Kordinator peneliti Activation of Building Stocks in New Tama Town (Tokyo) Tokyo Metropolitan University

2006

12 Kordinator

peneliti

Re-Activation of Old Buildings and Spaces in Sydney

Tokyo Metropolitan University

(28)

13 Anggota Tim Peneliti Peter Graham, & Jane Castle

Beach Houses in New South Wales (Australia)

University of New South Wales, Australia 2005 14 Anggota Tim Peneliti – Prof. Martin Loosemore

Risk and Opportunity in Project Management

University of New South Wales, Australia

2005

HIBAH PENGAJARAN

No Peran Judul Kegiatan Dibiayai oleh Tahun

1 Kordinator

pelaksana

Pengembangan Sistem Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Rintisan Buku Ajar untuk Mata Kuliah Apresisi

Budaya, di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana

Program Hibah Kompetensi Institusi (PHKI) 2010 2 Kordinator pelaksana

Pembelajaran yang Berkreativitas melalui Pendekatan Collegiate

Learning

Program Hibah Kompetensi Institusi

(PHKI) 2009

PENGHARGAAN – LIMA TAHUN TERAKHIR

2011, Peneliti Terbaik III, Universitas Udayana, dalam rangka perayaan Dies Natalis Universitas Udayana 2011.

2011, Dosen Berprestasi I, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, dalam rangka perayaan Dies Naalis Fakultas Teknik Universitas Udayana, 2011.

2010, Penyaji Hasil-Hasil Penelitian Terbaik 2010, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

2010, Dosen Berprestasi Jurusan Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, dalam rangka perayaan Dies Natalis Fakultas Teknik, Universitas Udayana, 2010.

DAFTAR PUBLIKASI 1. BUKU:

 Suartika, G A M (Ed.) (2013) Vernacular Transformations: Architecture, Place, and Tradition Denpasar (Bali): Pustaka Larasan in Conjunction with Udaya University's Masters Program in Planning and Development for Urban and Rural Areas; Conservation of the Built Environment; and Ethnic Architecture.

 Suartika, G A M (2010) Morphing Bali: The State, Planning, and Culture, Germany: Lambert Academic Publishing.

2. BAB DALAM BUKU:

 Suartika, G A M (2013) 'Lost in Translation: Balinese Vernacular Open Space' in Suartika, GAM (Ed) Vernacular Transformations: Architecture, Place, and Tradition Denpasar (Bali): Pustaka Larasan in Conjunction with Udayana University's Masters Program in Planning and Development for Urban and Rural Areas; Conservation of the Built Environment; and Ethnic Architecture.

Suartika, G A M (2013) 'Introduction' in Suartika, G A M (Ed.) Vernacular Transformations: Architecture, Place, and Tradition Denpasar (Bali): Pustaka Larasan in Conjunction with Udayana University's Masters Program in Planning and Development for Urban and Rural Areas; Conservation of the Built Environment; and Ethnic Architecture.

 Suartika, G A M (2009) „Trading territoriality and the cry of culture: spatial development in Bali,‟ in Bouchou, N (Ed.) Strategic City: Planners for the Twenty-First Century Paris (France): Certu.

(29)

Cuthbert, A R, Suartika G A M (2006) Introduction to Part One, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika G A M (2006) Chapter 1. Home as Nature, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika G A M (2006) Chapter 2. Home as Defense, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika G A M (2006) Chapter 3. Home as Cloister, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika G A M (2006) Chapter 4. Home as Spirit, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika G A M (2006) Chapter 5. Home as Journey, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika G A M (2006) Chapter 6. Home as Art, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika G A M (2006) Chapter 7. Home as Facade, Home, Sydney: Millennium Press.

Suartika G A M (2006) Chapter 8. Home as Function, Home, Sydney: Millennium Press. 3. JURNAL ARTIKEL:

ARTIKEL DALAM INTERNATIONALLY REFEREED JOURNAL

 Suartika, G A M (2015), 'Sand, Sea and Ceremony: Conflict over the Littoral Public Realm in Sanur, Bali' Procedia - Social and Behavioral Sciences 179 (2015) p: 128-140.

 Cuthbert, A R, Suartika, GAM, (2014) „The Theatre of the Universe-Culture and Urban Design‟ Journal of Urban Design, Vol. 19 No. 3, 2014, p: 275-277, Routledge, Taylor and Francis Group, United Kingdom.

Suartika, G A M (2013) 'The Metonymic Slum: Home in the Developing World' Journal of Basic and Applied Scientific Research January 2013, p: 400-406.

 Suartika G A M (2009) „Tourism, Spatial Development and Conflict: Socio-Cultural Significance of Territoriality in Bali,‟ Abacus A Bi-Annual Internationally Refereed Journal on Architecture, Conservation and Urban Studies Monsoon 09 Volume 4, No.2, p: 10-22.

 Suartika G A M. (2009) Tenganan, Bali Aga and Development: A Socio-spatial Analysis of Culture,‟ Journal of Architecture & Planning Studies, Vol. 3 No.2, October 2009, p: 44-58.  Suartika, G A M (2007) „Territoriality and the market system – adat land vs. state regulations on

land matters in Bali,‟ Habitat International, 31 (2007), p: 167-176.

ARTIKEL DALAM JURNAL NASIONAL TERAKREDITASI

 Suartika, G A M (2013) 'Open Space Traditions, Development and Modernity: The Case of Bali' Journal Nasional Terakreditasi Mudra: Journal Seni Budaya Vol. 28, No. 3 Desember 2013, Institut, Seni Indonesia Denpasar, UPT Penerbit, (in press).

Suartika, G A M (2010) „Subtansi Budaya dalam Kebijakan Tata Ruang di Bali‟ Journal Nasional Terakreditasi Humaniora: Jurnal Budaya, Sastra, dan Bahasa Vol. 22, No. 3, Oktober 2010, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, p: 313-326.

 Suartika, G A M (2010), „Kebudayaan dan Kebijakan Keruangan: Esensi Budaya dalam Pengaturan Batas Ketinggian Bangunan Bali‟ Journal Nasional Terakreditasi Mudra: Journal Seni Budaya Vol. 25, No. 2 September 2010, Institut, Seni Indonesia Denpasar, UPT Penerbit, p: 131-149.

 Suartika, G A M (2010) „Pengaturan batas ketinggian bangunan dalam menjaga keberlanjutan bentang alam dan lingkungan terbangun‟ Journal Nasional Terakreditasi Bumi Lestari Vol. 10 No. 1, University of Udayana, Denpasar (Indonesia): Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana, p: 146-148.

Suartika, G A M (2007) ’Spasial ekonomi, kepadatan kota, dan ketinggian bangunan: Studi kasus Hong Kong,‟ Jurnal Ilimiah Desain dan Konstruksi, Vol.6, No. 2, December 2007, Lembaga Penelitian Universitas Guna Dharma, Jakarta (Indonesia), p: 171-184.

ARTIKEL DALAM JURNAL NASIONAL TIDAK TERAKREDITASI

 Suartika, G A M (2014) „Perumahan multi-lantai dan dimensinya: pembangunan hunian masyarakat perkotaan berpenghasilan rendah di Indonesia‟ Ruang-Space Jurnal Lingkungan Binaan Vol. 1, No. 1, April 2014, Program Magister Arsitektur, Universitas Udayana, Bali (Indonesia), p: 96-111.

(30)

 Suartika, G A M (2012) 'Belajar melalui Praktek Global: Pengaturan Densitas Daerah dan Batas Ketinggian Bangunan' Jurnal Kajian Bali Vol. 02, No. 01, April 2012, Universitas Udayana, p: 57-76

 Suartika, G A M (2007) „Perencanaan keruangan, wujud komunikasi kepentingan dalam pembangunan,‟ Journal Natah, Vol 5, No. 2, Denpasar, Bali: Laboratorium Permukiman, Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, p: 71-78.

4. TULISAN DALAM SEMINAR:

PAPER DIPUBLIKASIKAN DALAM PROSEDING SEMINAR INTERNASIONAL

Suartika, G A M (2010) ‟Indicator of Sustainable Practices in Housing Provision‟ Proceeding for 1st International Conference on Sustainable Technology Development Based on Environmental and Cultural Awareness, Denpasar 7-8 October 2010, Faculty of Engineering, Udayana University.

 Suartika, G A M (2010) ‟Balinese Postmodernity: Culture, Conflict and Space in a Tourist Paradise‟ Proceeding for Artepolis 3 International Conference – Creative Collaboration and the Making of Place: Learning from Creative Shared Experiences, Bandung 22-24 Juli 2010, Jurusan Arsitektur, Perencanaan, dan Pembangunan Kebijakan, Universitas Teknologi Bandung.

 Suartika, G A M (2009) „Tenganan, Bali-Aga and development: A socio-spatial analysis of culture,‟ Proceeding for International Conference on Making Space for A Better Quality of Living, The University of Gajah Mada, Yogakarta, 18 Augustus 2009.

Suartika, G A M (2009) „Re-housing slum dwellers: A conceptional approach‟ Proceedings for International Conference on Sustainable Slum Upgrading in Urban Area CIB Report Publication Surakarta: Unit of Research and Empowerment of Housing and Human Settlements Resources PIPW LPPM UNS and Program Study of Regional and Urban Planning PWK FT UNS and Department of Architecture ITS, 16 April 2009.

Suartika, G A M (2008) „Migration for leisure and spatial changes in Bali,‟ Proceedings for an International Conference on Architecture and Tourism, University of Sam Ratulangi, Manado, Indonesia, 28-29 October 2008.

 Suartika, G A M (2008) „The tourist industry, consumption of space, and spatial traditions in Bali,‟ Proceedings for an International Conference on Architecture and Tourism, University of Sam Ratulangi, Manado, Indonesia, 28-29 October 2008.

 Suartika, G A M (2008) „Commodification and nationalization of land matters across the Nusantara, the case of Bali,‟ Proceedings for the International Conference and Workshop of Urban Culture, Arte-Polis 2, Department of Architecture, Planning and Policy Development, Institute of Technology Bandung, 9-10 August 2008.

 Suartika,G A M (2006) „Cultural dimension of space and state urban planning practices: the conflicting interests in land development,‟ Proceedings for the International Conference and Workshop of Urban Culture, Arte-Polis 1, Department of Architecture, Planning and Policy Development, Institute of Technology Bandung, 21-23 July 2006.

 Suartika, G A M (2006) „The adaptive re-use of building and sites in Sydney Metropolitan Region,‟ International Workshop and Research Activity for Young Researcher and Doctoral Candidates, 25-28 September 2006, Tokyo: Graduate School of Urban Environmental Sciences, Department of Architecture and Building Engineering.

 Suartika, G A M (2006) „Examining the impacts of national social and political strategies on culture and territoriality across the Nusantara: the case study of Bali,‟ Proceedings for the 2nd Asean PGS 2006, Asean Postgraduate Seminar in Built Environment, 4-6 December 2006, Kuala Lumpur (Malaysia): University Malaya, Faculty of The Built Environment.

 Suartika,G A M (2003) 'Conforming to the process of land commodification and deterioration of territorial cultural interaction: the case study of Bali,' Proceeding for Public Art Observatory

Referensi

Dokumen terkait

Brez dvoma je elaborat Komisije pri Izvršnem svetu LR Slovenije, ki je preu č evala socialno-ekonomski položaj in demografsko podobo italijanske manjšine na obmo č ju Okraja Koper,

PENGARUH KOMPENSASI DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN REMBANG DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING..

Atas dasar keterbatasan tersebut, penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah variabel yang menjadi faktor-faktor yang dapat dikelola oleh bank untuk menghindari ancaman

Tab mailing merupakan fasilitas yang terdapat pada Microsoft word 2007, yang berfungsi untuk membuat sesuatu dokumen yang akan dicetak dalam jumlah banyak atau

Metode tidak langsung, yaitu dimulai dengan laba rugi periode berjalan dan menyesuaikan laba rugi tersebut dengan transaksi non kas, akrual, dan tangguhan dari pos yang

Discovering the best Rise Of The Olympians (Volume 1) By Belle Ward book as the appropriate need is sort of good lucks to have.. To start your day or to finish your day at night,

Skripsi ini membahas tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli menurut UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun khususnya Pasal 43 ayat (2) huruf c, dimana dalam pasal ini

Penulisan skripsi ini dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Pemanfaatan Sistem Informasi dan Penggunaan Sistem Informasi pada Industri Perbankan