• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN HUKUM RUMAH SUSUN SEBAGAI OBJEK JAMINAN KREDIT SETELAH BERLAKUNYA UU NO 20 TAHUN ( Studi Di Selagalas Kecamatan Sandubaya Mataram)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN HUKUM RUMAH SUSUN SEBAGAI OBJEK JAMINAN KREDIT SETELAH BERLAKUNYA UU NO 20 TAHUN ( Studi Di Selagalas Kecamatan Sandubaya Mataram)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN HUKUM RUMAH SUSUN SEBAGAI OBJEK JAMINAN KREDIT SETELAH BERLAKUNYA

UU NO 20 TAHUN 2011

( Studi Di Selagalas Kecamatan Sandubaya Mataram)

Oleh: DANIEL SAKKE D1A 007 061

Menyetujui,

Pembimbing Pertama Salim HS. SH,MS. NIP. 19600408 198603 1 004

(2)

JURNAL ILMIAH

KEDUDUKAN HUKUM RUMAH SUSUN SEBAGAI OBJEK JAMINAN KREDIT SETELAH BERLAKUNYA UU NO 20 TAHUN 2011

( Studi Di Selagalas Kecamatan Sandubaya Mataram)

Oleh : DANIEL SAKKE D1A 007 061 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2013

(3)

KEDUDUKAN HUKUM RUMAH SUSUN SEBAGAI OBJEK JAMINAN KREDIT SETELAH BERLAKUNYA UU NO 20 TAHUN 2011

( Studi Di Selagalas Kecamatan Sandubaya Mataram) DANIEL SAKKE

D1A 007 061 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum rumah susun dan hambatan-hambatannya setelah berlakunya UU NO 20 TAHUN 2011. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Normatif Empiris.

Hasil penelitian adalah status rumah susun sebagai objek jaminan kredit di bank, diperbolehkannya SKBG (setifikat kepemilikan bangunan gedung) satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, hambatan yang terjadi adalah tidak diperbolehkannya SKBG (setifikat kepemilikan bangunan gedung) sebagai jaminan untuk melakukan pinjaman kredit di bank tanpa adanya surat rekomendasi dari pihak pengelola Rusunawa tersebut.

Kesimpulan dan saran penelitian ini perlu adanya penyesuaian kepada pihak pengelola sebagai pelaksana Rusunawa Selagalas, dalam setiap mengambil keputusan dengan selalu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 mengenai Rumah Susun.

Kata kunci : Rumah Susun Sebagai Jaminan Kredit

LEGAL STANDING FLAT HOME LOAN GUARANTEES AS OBJECT AFTER ENTRY Act No. 20 OF 2011

(Studies In Selagalas Sandubaya Mataram District)

This study aims to determine the legal status of flats and constraints upon the enactment of Law No. 20 of 2011. This research uses Normative Empirical research.

Results of the study is the status of the apartment as collateral object credit in the bank, the permissibility SKBG (the building ownership certificates) apartment units can be used as security for the debt burdened with the fiduciary in accordance with the provisions of the legislation. However, the bottleneck is not the permissibility SKBG (the building ownership certificates) as collateral to bank loans in the absence of a letter of recommendation from the manager of the Rusunawa.

Conclusions and suggestions of this study need to be an adjustment to the manager as executor Rusunawa Selagalas, in any decision-making by always referring to Law No. 20 Year 2011 on the Flats.

(4)
(5)
(6)

I.PENDAHULUAN

Konsep pembangunan Rumah Susun ini lahir untuk menjawab keterbatasan tanah yang tersedia, dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas penggunaan tanah, mengingat kurang memungkinkan untuk membangun perumahan secara mendatar/horizontal. Dalam menunjang hal tersebut, pihak lembaga perbankan sangat diperlukan dikarenakan lembaga perbankan yakni sebagai salah satu lembaga keuangan memiliki nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu Negara. Lembaga ini dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of found) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of found). Oleh karena itu, perbankan akan bergerak dalam kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, dan bank juga melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.

Jenis rumah susun di Indonesia dibagi menjadi tiga yaitu, rumah susun, apartemen dan condominium. Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satu satuanyang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuktempat hunian, dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Apartemen adalah kepemilikan bersama, bangunan yang terdiri dari beberapa unit untuk tempat tinggal. Biasanya dikonsumsi oleh masyarakat konsumen menengah ke atas. Sedangkan condominium adalah milik bersama, daerah yang dikuasai bersama-sama, gedung bertingkat

Untuk mencapai kemanfaatan yang maksimal dari kegiatan perbankan maka terbentuk suatu sistem perbankan yang berlaku secara umum dan integral, yaitu sifat serta fungsi

(7)

pokok dari kegiatan yang hampir sama. Dengan kata lain, terhadap keterkaitan kehidupan dan kegiatan bank secara global yang melewati batas-batas Negara, sehingga tidak terbatas dalam suatu lingkup wilayan yang tidak tertentu, tetapi secara luas meliputi kehidupan perekonomian dunia. Indonesia memilliki kekhasan karakteristik corak perbankan yang sedikit berbeda dengan corak perbankan yang lazim di Negara lain, tetapi secara umum corak perbankan Indonesia tetap sama dengan yang berlaku menyeluruh di belahan dunia manapun. Kekhasan ini dipengaruhi oleh ideology pancasila dan tujuan Negara yang tercantum dalam undang-undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945. Pembangunan Rumah Susun diarahkan untuk mempertahankan kesatuan komunitas kampung asalnya. Pembangunannya diprioritaskan pada lokasi di atas bekas kampung kumuh dan sasaran utamanya adalah penghuni kampung kumuh itu sendiri yang mayoritas penduduknya berpenghasilan rendah. Mereka diprioritaskan untuk dapat membeli atau menyewa Rumah Susun tersebut secara kredit atau angsuran ringan (Peraturan Pemerintah RI No. 4/1988).

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa hambatan utama di dalam pelaksanaan pembebanan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit, ketika terjadi wanprestasi dari pihak debitur. Sedangkan masalah yang di timbulkan di dalam pelaksanaan pembebanan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit selama ini belum pernah terjadi.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah wanprepasi pihak debitur kepada pihak kreditur sebagai berikut :1.Usaha debitur mengalami kegagalan;2.Kredit yang disalurkan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya (tidak sesuai dengan tujuan pengajuan kredit) oleh debitur.3.Debitur tidak beritikad baik untuk memenuhi kewajibannya;4.Keadaan perekonomian secara nasional yang juga membawa pengaruh terhadap kondisi keuangan debitur. 5.Hal-hal lain yang diluar prediksi.

(8)

Masalah yang muncul dalam pelaksanaan pembebanan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit biasanya muncul ketika menggunakan jaminan fidusia. Dengan jaminan yang di dalam kondisi tersebut upaya eksekusi merupakan upaya yang harus dilakukan untuk menyelamatkan kredit yang telah disalurkan agar tidak menjadi Non Performance Loans (NPL) bagi pihak bank. Upaya eksekusi merupakan upaya terakhir yang ditempuh setelah upaya restrukturisasi dan upaya pendekatan secara musyawarah mufakat gagal dilakukan.

Namun dalam prakteknya terdapat beberapa kendala dalam melakukan eksekusi jaminan fidusia, yaitu:1.Sita eksekusi tidak dapat diletakkan pada Objek jaminan fidusia Meskipun Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan objek jaminan fidusia kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari penerima-fidusia. Namun dalam prakteknya timbul suatu permasalahan, dalam hal pemegang jaminan fidusia mohon sita eksekusi terhadap objek fidusia ternyata objek jaminan fidusia tersebut telah dibeli oleh pihak ketiga secara beritikad baik, pihak ketiga tersebut berdasarkan Pasal 1977 KUHPerdata dapat percaya bahwa barang bergerak orang yang menguasai (membezit) barang tersebut adalah pemiliknya (bezit geldt als volkomen title).2.Merupakan suatu kendala bagi bank selaku kreditor pemegang fidusia dalam hal akan menjual objek jaminan fidusia melalui mekanisme menjual atas kekuasaan sendiri dengan mohon bantuan Kantor Lelang/Balai Lelang untuk menjual objek jaminan fidusia sesuai dengan bunyi Pasal 15 ayat (3) Undang- Undang Jaminan Fidusia, akan tetapi barang yang menjadi objek jaminan fidusia tidak diketemukan atau dikuasai oleh orang lain, dalam hal ini tentunya Kantor Lelang/Balai Lelang tidak dapat melakukan penjualan lelang objek

(9)

fidusia tersebut.3.Objek Jaminan Fidusia Hilang. Apabila kita cermati lebih lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang mengatakan sebagai berikut :

“Sertifikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti”.4.Objek jaminan telah beralih/dijual kepada pihak ketiga lainnya.5.Objek jaminan sudah tidak ada/hilang.6.Objek jaminan telah berubah bentuk.7.Objek jaminan tagihan yang hanya merupakan daftar/surat pernyataan pemberian fidusia yang tidak terinformasikan dasardasar penerbitannya tidak dapat dilakukan eksekusinya.

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1) Manfaat Teoritis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu tambahan pada khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian ilmu hukum dan khususnya yang membicarakan tentang kedudukan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit, 2) Manfaat Praktis : Dari hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan informasi bagi semua pihak baik pada tataran akademis maupun pada masyarakat pada umumnya tentang kedudukan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit setelah berlakunya UU No 20 tahun 2011 dan dapat digunakan untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam penulisan karya ilmiah.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Normatif dan Empiris, sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 macam,yaitu : 1) Data Kepustakaan yang terdiri dari data hukum primer, sekunder dan tersier; 2) Data Lapangan.

Penelitian ini menggunakan tekhnik pengumpulan data dari Studi Dokumentasi dan Data Lapangan. Analisis Data dalam penelitian ini adalah analisis Dekriptif dengan penafsiran data secara Deduktif menggunakan teori yang terbatas.

(10)

I. PEMBAHASAN

Kedudukan Hukum Rumah Susun Sebagai Obek Jaminan Kredit Di Bank

Rumah susun Selagalas merupakan satuan rumah susun yang dibangun oleh pemerintah Kota Mataram, yang ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pembangunan rumah susun Selagalas dikategorikan sebagai rumah susun umum. Hal ini Berdasarkan undang-undang nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun pada pasal 1 ayat 7 :

“Rumah susun umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah”.1 Disamping pembangunan rumah susun yang ditujukan kepada masyarakar berpenghasilan rendah (MBR), sekaligus sebagai upaya pemerintah kota Mataram dalam mengantisipi terjadinya kepadatan penduduk di wilayah kota Mataram. Rumah susun Selagalas merupakan salah satu program pemerintah kota Mataram, sebagai bentuk bantuan kepada masyarakat kota Mataram yang memilliki rumah tidak layak huni atau sama sekali tidak memiliki rumah.2

Meningkatnya tingkat urbanisai di wilayah kota Mataram, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepadatan penduduk kota Mataram, sekaligus meningkatnya tingkat persaingan perekonomian di tengah-tengah masyarakat kota Mataram. Kesadaran tersebut, menjadi salah satu acuan bagi pemerintah kota Mataram untuk pentingnya dibangun rumah susun Selagalas.

Bagi penghuni Rumah Susun yang ingin menjadikan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit di bank, dalam hal ini pihak Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Rusunawa Selagalas mengacu kepada UU Rumah Susun Nomor 20 tahun 2011. Namun, sementara ini

1Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun 2

(11)

pihak UPTD Rusunawa Selagalas belum berani mengambil kebijakan, apabila ada penghuni Rumah Susun yang ingin menjadikan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit di bank. Berhubung baru-baru diresmikan yakni pada tahun 2011. Karena pada saat ini, kita masih memfokuskan kepada pengelolaan Rumah Susun secara optimal.3

Mengenai kedudukan hukum Rumah Susun yang dijadikan sebagai objek jaminan kredit di bank. Hal ini telah dijelaskan di dalam undang-undang nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun pada bab VI Pasal 47 butir 5 berbunyi :“SHM sarusun dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangan-undangan”.Adapun SHM (sertifikat hak milik) sarusun meliputi tanda bukti kepemilikan atas

sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai diatas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun, sesuai dengan Pasal 47 butir 1.

Kebutuhan akan jaminan fidusia, di mana benda yang dijaminkan masih dibutuhkan untuk mengembangkan dan melanjutkan usahanya. Maka untuk itu dibentuk Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 bahwa Fidusia adalah :“pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam

penguasaan pemilik benda.”4

Selanjutnya berdasarkan Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUHT yang mengatur mengenai obyek Hak Tanggungan yaitu : 1) Hak Milik; adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum, dan tidak

3

Wawancara dengan Ketua UPTD Rusunawa Selagalas pada tanggal 12 Maret 2013

(12)

mengganggu hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan Undang-Undang, dan dengan pembayaran ganti rugi, 2) Hak Guna Usaha; adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban untuk membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan, 3) Hak Guna Bangunan; adalah hak mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, 4) Hak Pakai, baik hak atas tanah negara. 5) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada.

Sertifikat hak milik diterbitkan oleh kantor pertanahan kabupaten/kota, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 47 ayat 4. Bagi pemiliki Rumah Susun dengan cara sewa yang dibuktikan dengan SKBG, maka berdasarkan Pasal 48 ayat 1 dan 2 berbunyi; 1) Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa, diterbitkan SKBG sarusun, 2) SKBG sarusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan yang terdiri atas: a) Salinan buku bangunan gedung; b) Salinan surat perjanjian sewa atas tanah; c) Gambar denah lantai pada tingkat Rumah Susun yang bersangkutan yang menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan d) Pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama dan benda bersama yang bersangkutan.

HMSRS merupakan suatu lembaga baru hak kebendaan yang diperkenalkan melalui UURS. Menurut UURS, HMSRS ini bersifat perorangan dan terpisah. Selain pemilikan atas SRS, HMSRS yang bersangkutan meliputi juga hak pemilikan bersama atas apa yang disebut

(13)

kesatuan yang tidak terpisahkan dengan SRS yang bersangkutan. Oleh karena pemilik SRS meliputi atas tanah bersama, SRS hanya dapat dimiliki perorangan/badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama (Pasal 8 UURS). Pemisahan hak dan batas pemilikan atas SRS tersebut telah diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Pasal 38 dan 41 PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. HMSRS ini bukan merupakan hak kebendaan atas tanah sebagaimana yang diatur dalam UUPA tersebut di atas.

Bagian bersama adalah bagian Rumah Susun yang dimiliki secara terpisah untuk pemakaian bersama dalam satu kesatuan fungsi dengan SRS. Misalnya kolom-kolom, tangga, atap, jalan keluar-masuk dari Rumah Susun, ruangan untuk umum, pondasi dan lain-lain. Bagian bersama ini tidak dapat dimanfaatkan sendiri oleh pemilik SRS karena merupakan hak bersama para pemilik SRS. Untuk menjamin kepastian hukum dan keteraturan hukum dalam hal kepemilikan seseorang akan SRS di dalam kerangka hukum benda, pemilikan seseorang atas SRS haruslah mempunyai suatu tanda bukti hak atas benda tanah. Sebagai tanda bukti adanya hak milik atas SRS maka disediakan alat pembuktian yang kuat berupa sertifikat hak milik atas satuan Rumah Susun. Bentuk dan tata cara pembuatan buku tanah serta penerbitan Sertifikat HMSRS diatur lebih rinci dalam Peraturan Ka. BPN No. 4 Tahun 1989. Adapun pembukuan HMSRS dan penerbitan sertifikat didasarkan atas keterangan/data yang dimuat dalam akta pemisahan yang telah memperoleh pengesahan Pemerintah Daerah.5

UURS dan PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun telah menetapkan bahwa sertifikat HMSRS adalah salah satu produk dari suatu rangkaian proses perizinan pada sistem Rumah Susun yang sangat tergantung kepada produk-produk perizinan yang dihasilkan sebelumnya, antara lain izin lokasi dan IMB. Berbagai perizinan yang ditetapkan PP No. 4 Tahun 1988 tersebut dinyatakan harus diatur oleh Pemda, sehingga harus ada Perda sebagai

5

(14)

landasan pengaturan lebih lanjut. Untuk itu, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Permendagri No. 3 Tahun 1992 tentang Pedoman Penyusunan Perda Rumah Susun. Permendagri ini diterbitkan agar Pemda mempunyai pedoman dalam menyusun Perda tentang Rumah Susun.

Rangkaian perizinan yang akhirnya sampai pada sertifikasi Rumah Susun antara lain: izin lokasi, pembebasan tanah, IMB, pengesahan pertelaan, izin layak huni, pengesahan akta pemisahan Rumah Susun menjadi satuan-satuan Rumah Susun, pendaftaran akta pemisahan, dan penerbitan sertifikat HMSRS.

Proses pengesahan pertelaan merupakan suatu penunjukan batas masingmasing SRS, bagian bersama, benda bersama, tanah bersama beserta nilai perbandingan proporsionalnya dalam bentuk gambar dan uraian yang dibuat pengembang adalah sebagai berikut ; 1) Developer mengajukan surat permohonan secara tertulis melalui Kanwil BPN kepada Gubernur Kepala Daerah, 2) Berkas permohonan tersebut di atas dilampiri dengan : a) Pertelaan Rumah Susun yang bersangkutan; b) IMB; Salinan sertifikat tanah bersama; 3) Menerima berkas permohonan tersebut Ka. Kanwil BPN akan mengundang instansi yang terkait (Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Dinas Perumahan, Biro Hukum Pemda dan Asisten Bidang Pemerintahan) guna membahas surat permohonan tersebut.6

Berdasarkan penelitian instansi terkait tersebut, disusunlah Surat Keputusan Pengesahan Pertelaan yang akan ditandatangani Wakil Gubernur bidang pemerintahan. Pertelaan merupakan pernyataan untuk SRS yang terdiri dari gambar, uraian dan NPP. Dalam NPP ini diatur hak dan kewajiban penghuni SRS. Hak penghuni berdasarkan akta pemisahan Rumah Susun yang terbit setelah izin layak huni sebagai dasar pemecahan sertifikat tanah menjadi SHMSRS. Keikutsertaan penghuni membentuk perhimpunan penghuni berdasarkan suatu badan hukum sesuai SK Menpera No. 06/KPTS/BPKP4N/1995. Dengan demikian, hak tanggungan

6

(15)

yang dibebankan meliputi selain SRS yang bersangkutan, juga bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama sebesar bagian pemilik HMSRS yang dijaminkan.

Hambatan-hambatan di Dalam Pelaksanaan Pembebanan Rumah Susun sebagai Objek Jaminan Kredit

Penghuni rumah susun Selagalas setiap bulan (perbulan) dikenakan biaya sewa. Penetapan besar biaya sewa perbulan yang harus dbayar, sampai sejauh ini belum ada peraturan secara tertulis oleh pihak Pemkot Mataram, Sehingga dalam penetapan besar biaya sewa yang harus dibebani kepada penghuni rumah susun merupakan kewenangan sementara diberikan kepada UPTD rumah susun Selagalas. Proses pembayaran sewa oleh penghuni rumah susun sering kali terjadi keterlambatan. Hal ini dari hasil data penelitian yang peneliti dapatkan di lapangan, terdapat ada beberapa yang menjadi faktor penyebab terjadinya keterlambatan membayar sewa oleh penghuni rumah susun.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam pembayaran sewa oleh penghuni rumah susun Selagalas sebagai berikut : 1) Belum adanya penetapan secara resmi oleh pihak Pemkot Mataram dalam menetapkan besar biaya sewa yang harus dibebani kepada penghuni rumah susun Selagalas, 2) Tidak adanya sanksi yang tegas oleh pihak UPTD Selagalas yang mengatur masalah keterlambatan dalam membayar sewa oleh penghuni rumah susun Selagalas, 3) Pada intinya, sampai sejauh ini Pemerintah Kota Mataram belum memiliki peraturan tata tertib atau AD/RT yang mengatur rumah susun Selagalas.7

Data di atas memberikan indikasi bahwa dengan tidak adanya aturan baku yang secara tertulis oleh Pemerintah Kota Mataram mengenai rumah susun Selagalas, sehingga hal ini juga menjadi alasan bagi pihak UPTD untuk tidak berani bertindak tegas, termasuk dalam

(16)

menyikapi penghuni rumah susun yang telat dalam membayar sewa. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak penghuni rumah susun untuk secara sewenang-wenangnya dalam melakukan pembayaran sewa.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa hambatan utama di dalam pelaksanaan pembebanan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit, ketika terjadi wanprestasi dari pihak debitur. Sedangkan masalah yang di timbulkan di dalam pelaksanaan pembebanan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit selama ini belum pernah terjadi.8

Masalah yang muncul dalam pelaksanaan pembebanan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit biasanya muncul ketika menggunakan jaminan fidusia. Dengan jaminan yang di dalam kondisi tersebut upaya eksekusi merupakan upaya yang harus dilakukan untuk menyelamatkan kredit yang telah disalurkan agar tidak menjadi Non Performance Loans (NPL) bagi pihak bank. Upaya eksekusi merupakan upaya terakhir yang ditempuh setelah upaya restrukturisasi dan upaya pendekatan secara musyawarah mufakat gagal dilakukan.

Namun dalam prakteknya terdapat beberapa kendala dalam melakukan eksekusi jaminan fidusia, yaitu: 1) Sita eksekusi tidak dapat diletakkan pada Objek jaminan fidusia Meskipun Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, menentukan bahwa pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan objek jaminan fidusia kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari penerima-fidusia. Namun dalam prakteknya timbul suatu permasalahan, dalam hal pemegang jaminan fidusia mohon sita eksekusi terhadap objek fidusia ternyata objek jaminan fidusia tersebut telah dibeli oleh pihak ketiga secara beritikad baik, pihak ketiga tersebut berdasarkan Pasal 1977 KUHPerdata dapat percaya bahwa barang bergerak orang yang menguasai (membezit) barang tersebut adalah pemiliknya (bezit geldt als volkomen title), 2) Merupakan suatu kendala bagi

8

(17)

bank selaku kreditor pemegang fidusia dalam hal akan menjual objek jaminan fidusia melalui mekanisme menjual atas kekuasaan sendiri dengan mohon bantuan Kantor Lelang/Balai Lelang untuk menjual objek jaminan fidusia sesuai dengan bunyi Pasal 15 ayat (3) Undang- Undang Jaminan Fidusia, akan tetapi barang yang menjadi objek jaminan fidusia tidak diketemukan atau dikuasai oleh orang lain, dalam hal ini tentunya Kantor Lelang/Balai Lelang tidak dapat melakukan penjualan lelang objek fidusia tersebut, 3) Objek Jaminan Fidusia Hilang. Apabila kita cermati lebih lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang mengatakan “Sertifikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti”, 4) Objek jaminan telah beralih/dijual kepada pihak ketiga lainnya, 5) Objek jaminan sudah tidak ada/hilang, 6) Objek jaminan telah berubah bentuk, 7) Objek jaminan tagihan yang hanya merupakan daftar/surat pernyataan pemberian fidusia yang tidak terinformasikan dasardasar penerbitannya tidak dapat dilakukan eksekusinya.

Kekuatan eksekutorial sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 tersebut adalah langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui Pengadilan Negeri dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Terhadap peiaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus mengacu pada ketentuan Pasal 195 HIR dan selanjutnya, artinya bahwa eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan bersifat serta merta harus dilakukan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Oleh karena Pasal 15 ayat (2) UU No. 42. Tahun 1999 menyebutkan sertifikat jaminan fidusia yang berisikan irah-irah

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mampunyai kekuatan hukum

(18)

tetap, maka eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang berjudul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Sebagaimana diketahui, proses eksekusi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau yang bersifat serta merta termasuk proses eksekusi sertifikat jaminan fldusia/hak tanggungan yang berjudul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai 3 (tiga) tahapan, yaitu : 1) Tahap peneguran, pada tahap ini debitor yang cidera janji diperingatkan untuk memenuhi kewajiban membayar utang dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah diberi peneguran, 2) Tahap sita eksekusi, dalam hat debitor dalam jangka 8 (delapan) hari tersebut di atas, tidak juga memenuhi kewajibannya membayar hutang kepada kreditor, maka kreditor pemohon eksekusi (penggugat pemenang perkara atau kreditor pemegang hak tanggungan/kreditor pemenang jaminan fidusia) mohon kepada Ketua Pengadilan yang berwenang untuk melakukan sita eksekusi.9

Dalam hal pemohon eksekusi adalah pemegang sertifikat jaminan fidusia atau pemegang hak tanggungan yang dirnohonkan sita eksekusi adalah objek jaminan fidusia, objek hak tanggungan. Atas permohonan sita eksekusi tersebut Ketua Pengadilan yang berwenang akan menerbitkan sita eksekusi dan kemudian jurusita melakukan sita eksekusi, 3) Tahap pelelangan, dalam hal setelah dilakukan sita eksekusi terhadap hak tanggungan atau objek fidusia (barang jaminan) debitor tetap tidak membayar hutangnya, maka atas permohonan pemohon eksekusi (kreditor pemegang sertifikat hak tanggungan atau sertifikat fidusia) Pengadilan yang berwenang akan menerbitkan penetapan pelelangan/penjualan umum, baru kemudian Kantor Lelang Negara akan melakukan pelelangan objek jaminan hak tanggungan atau objek fldusia. Tentunya setelah semua persyaratan yang diperlukan dipenuhi dan hasil penjualan lelang tersebut setelah dipenuhi dan hasil penjualan lelang tersebut setelah dikurangi biaya lelang dan biaya lainlain diserahkan

(19)

kepada kreditor pemohon eksekusi. Dalam hal ada sisa hasil penjualan lelang, tersebut harus diserahkan kembali kepada debitor.

(20)

II. PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan penelitian ini, yaitu :

1) Kedudukan Hukum Rumah Susun Sebagai Objek jaminan Kredit di Bank, berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun pada bab VI Pasal 47 butir 5 (lima), untuk diperbolehkannya SKBG (sertifikat kepemilikan bangunan gedung) sebagai jaminan fidusia dalam melakukan pinjaman kredit di bank. 2) Hambatan-hambatan di dalam pelaksanaan pembebanan Rumah Susun sebagai objek jaminan kredit, tidak diperbolehkannya SKBG (Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung) sebagai jaminan untuk melakukan pinjaman kredit di bank tanpa adanya surat rekomendasi dari pihak pengelola Rusunawa Selagalas.

Saran-saran

Menyikapi masalah kedudukan hukum Rumah Susun yang dijadikan sebagai obyek jaminan kredit di bank, perlu adanya penyesuaian kepada pihak UPTD sebagai pelaksana Rusunawa Selagalas, dalam setiap mengambil kebijakan dengan selalu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 mengenai Rumah Susun.

(21)

DAFTAR PUSTAKA Undang-undang nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian analisis terhadap morfologi serat, dan sifat fisis-kimia dari keenam jenis bambu yang dilakukan oleh Widya Fatriasari (2008),

Nustatėme šių rodiklių įtaką %PKMS praėjus 1 ir 5 metams po operacijos visoje tiriamųjų grupėje ir naudojant SAGB ir MiniMizer Extra juostas atskirai.. Iš veiksnių,

Dengan adanya motivasi kerja yang baik akan menghasilkan dorongan bagi karyawan untuk bekerja lebih baik namun tanpa adanya pelatihan yang akan meningkatkan

TBC adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyerang paru-paru sehingga pada bagian dalam alveolus terdapat

Kerajinan yang terbuat dari bahan tanah liat biasa dikenal orang dengan kerajinan gerabah/keramik. Gerabah merupakan salah satu hasil karya seni terapan yang banyak

Audit K3 bertujuan untuk menentukan apakah system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan perencanaan dan memenuhi persyaratan dari standar yang telah di terapkan oleh

Sistem kemanan tersebut selanjutnya diuji dengan penentuan metode dan jumlah NIR-LED yang digunakan pada perangkat pemindai vena jari, penentuan jumlah template yang tersimpan

Pada tanggal 22 Maret 2014 seperti yang telah dipersiapkan guru membuka pelajaran dengan salam, kemudian menjelaskan pada siswa tentang metode pembelajaran yang