IDENTIFIKASI DRP KATEGORI TERAPI TANPA INDIKASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM PENGOBATAN DEMAM BERDARAH DENGUE PASIEN PEDIATRIK DI RSUD DR. M.M DUNDA
LIMBOTO
Angraini S. Nur, Widysusanti Abdulkadir, Madania*) *)
Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan Universitas NegeriGorontalo
Email: angraini_farmasi2011@mahasiswa.ung.ac.id
ABSTRAK
Drug Related Problem (DRP) merupakan suatu kejadian yang tidak diharapkan dari pengalaman pasien karena disebabkan atau diduga akibat oleh terapi obat sehingga berpotensi mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Demam berdrah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak terjadi pada anak-anak dan mempunyai peluang besar terjadinya DRP. Antibiotik merupakan salah satu obat yang banyak menyebabkan terjadinya DRP. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui DRP kategori terapi tanpa indikasi penggunaan antibiotik dalam pengobatan DBD pasien pediatrik di RSUD DR. M.M Dunda Limboto. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan pendekatan cros sectional, data yang diambil berupa catatan rekam medik pasien anak dengan diagnosis akhir DBD umur 1 - 14 tahun yang menjalani perawatan selama bulan Januari - Desember 2014. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwadalam pengobatan DBD pasien pediatrik tidak terjadi masalah DRP kategori terapi tanpa indikasi penggunaan antibiotik.
Kata Kunci : Drug Related Problem, Antibiotik, Demam Berdarah Dengue
*)
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue
(DBD) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama (Hadinegoro dkk, 2006). DBD merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui gigitan nyamuk.
Angka terjadinya kasus DBD
mengalami peningkatan secara drastis diseluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir, diperkirakan 50-100 juta orang diseluruh dunia terinfeksi DBD setiap tahunnya (Zulaikhah, 2014). Penyakit DBD atau DHF masih
merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebaran DBD semakin bertambah setiap tahun. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, pada saat itu terjadi 58 kasus dengan 24 anak
meninggal dan pada akhirnya
menyebar keseluruh Indonesia
(Anonim, 2010).
DBD merupakan masalah besar
yang dihadapi oleh pemerintah
Indonesia setiap tahun dengan jumlah kasus kematian paling tinggi. Penyakit ini menyebabkan bertambahnya lama inap dan biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien (Yasin dkk, 2009). Terdapat sekitar 2,5 miliar orang di dunia beresiko terinveksi virus dengue terutama di daerah tropis maupun subtropis, dengan perkiraan 500.000 orang memerlukan rawat inap setiap tahunnya dan 90% dari penderitanya adalah anak-anak kurang dari 15 tahun (WHO, 2011). Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia, jumlah kasus DBD menunjukkan angka kesakitan yang cenderung meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang
terjangkit dan selalu terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) setiap tahun (Lestari, 2007). Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi demam berdarah dengue (DBD) oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak (Chen dkk, 2009). Menurut Ginanjar (2004) anak-anak cenderung lebih rentan dibandingkan kelompok usia lain, salah satunya adalah karena disebabkan oleh faktor imunitas (kekebalan) yang relatif lebih rendah dibandingkan orang dewasa.
Salah satu penyakit yang
terutama terjadi pada anak-anak dan
mempunyai peluang besar akan
tejadinya DRP adalah DBD, hal ini
disebabkan karena anak-anak
merupakan segmen terbesar dari individu rentan dalam populasi yang beresiko (Yasin dkk, 2009). DRP
merupakan kejadian yang tidak
diharapkan dari pengalaman pasien akibat atau diduga akibat terapi obat sehingga kenyataannya potensial
mengganggu keberhasilan
penyembuhan yang diharapkan (Cipole dkk, 1998). DBD merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, sehingga pemberian antibiotik dalam pengobatan DBD tidak diperlukan kecuali jika terdapat komplikasi infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri dan apabila terjadi DSS (Dengue Syok Syndrome), mengingat kemungkinan infeksi sekunder dapat terjadi dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Namun dalam beberapa kasus penanganan pasien DBD masih saja ditemukan pemberian antibiotik.
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yasin dkk (2009) yang berjudul Drug Related Problem
(DRP) dalam pengobatan Dengue Hemorragic Fever (DHF) pada pasien pediatri didapatkan bahwa jenis DRP yang paling banyak terjadi dimana salah satunya adalah terapi tanpa adanya indikasi yang terjadi pada 22 pasien dari total 65 pasien pediatri yang didiagnosis DBD, dan Antibiotik merupakan golongan obat yang paling besar menjadi penyebab terjadinya DRP. Selain itu dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Risky dkk (2014) yaitu Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Anak Demam Berdarah Dengue (DBD) di Instalasi Rawat Inap RSUD Undata Palu Tahun 2011 didapatkan hasilnya bahwa dari total 103 pasien yang memenuhi kriteria terdapat total seluruh kasus DRP adalah 171 kasus, dengan 103 kasus (57,89%) termasuk dalam kategori terapi obat tidak perlu. Kejadian DRP yang paling sering terjadi dalam penelitian ini adalah terapi obat tidak perlu sebesar 57,89% dari keseluruhan total kasus DRP.
METODOLOGI PENELITAN Lokasi dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di ruang rekam medik di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.M.M Dunda Limboto. Waktu penelitian selama bulan Mei - Juni 2015.
Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan
penelitian eksploratif dengan
pengambilan data secara cross
sectional. Data yang diambil berupa catatan rekam medis pasien anak yang didiagnosis demam berdarah dengue.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien dengan diagnosa DBD tanpa penyakit penyerta dengan jumlah sampel sebanyak 42 orang pasien rawat
inap yang memenuhi kriteria inklusi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M.M Dunda Limboto selama bulan Januari – Desember 2014
Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa teknik purposive sampling (non probability sampling) yaitu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki dan berdasarkan suatu pertimbangan peneliti yaitu dimana sampel yang diambil dianggap baik dan sesuai untuk dijadikan sampel
penelitian (Notoadmojo, 2010).
Metode yang digunakan untuk
menentukan jumlah sampel adalah menggunakan rumus Slovin (Sevilla, 1960).
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengambilan data
dilakukan dengan pengumpulan data melalui pencatatan rekam medik di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. M.M Dunda Limboto meliputi data pasien (nama, usia, jenis kelamin) dan nama obat yang diberikan untuk penyakit
DBD. Data yang telah diambil
kemudian ditulis kelembar
pengambilan data yang sudah
disiapkan.
Analisis Data
Analisis data yang dilakukan yaitu analisis univariate. Analisis univariate (analisis deskriptif) bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik variabel penelitian. Dalam analisis ini akan menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase variabel penelitian. Analisa
deskriptif dilakukan dengan
menguraikan data-data yang
didapatkan dari catatan rekam medik antara lain nama obat yang diberikan,
data demografi (usia, jenis kelamin pasien).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik pasien
1. Distribusi pasien berdasarkan
jenis kelamin
Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh bahwa pasien yang
berjenis kelamin laki-laki lebih banyak yaitu berjumlah 32 pasien
(74%) sedangkan perempuan
berjumlah 10 pasien (24%). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Munsyir dan Amiruddin (2009) yang menyebutkan bahwa penderita DBD sebagian besar adalah berjenis kelamin laki-laki sebanyak 56%, tingginya insidensi pada jenis
kelamin laki-laki ini dapat
disebabkan tingginya aktivitas yang menyebabkan resiko tergigit oleh nyamuk Aedes aegypti di setiap tempat sangat besar pada laki-laki. Selain itu menurut Pudjiadi (2010) aktifitas fisik yang banyak pada laki-laki dapat membuat kondisi
fisik tubuh cepat mengalami
penurunan termasuk penurunan
sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terhadap penyakit.
2. Distribusi pasien berdasarkan Umur Karakteristik Umur Jumlah Frekuensi % 1-4 5-8 9-14 10 16 16 24 38 38 Total 42 100
Hasil pada tabel 4.2 dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan besar pada kelompok umur 5-8 tahun dan 9-14 tahun dimana hasilnya didapatkan sama besar
sebanyak 16 pasien (38%),
kemudian diikuti oleh kelompok umur 1-4 tahun sebanyak 10 pasien (24%). Hal ini sesuai dengan
penelitian Febrianto (2013)
didapatkan bahwa kejadian DBD terbanyak ditemukan pada anak dengan kelompok umur 5-14 tahun dengan 20 kasus DBD (51,28%) sedangkan paling sedikit dengan kelompok umur 15-18 tahun dengan 1 kasus DBD (1%). Menurut peneliti hal ini disebabkan karena aktivitas bermain anak-anak dengan kelompok umur tersebut lebih banyak dibandingkan anak usia 1-4
tahun yang masih dalam
pengawasan ketat orang tua. Umur merupakan salah satu faktor internal yang berhubungan dengan perilaku seseorang atau masyarakat. Umur
berhubungan dengan kegiatan
sehari-hari apakah banyak dilakukan di dalam dan di luar rumah karena
banyak nyamuk Aedes yang
mempunyai banyak kebiasaan
menggigit pada pagi dan sore hari, sehingga yang lebih beresiko banyak terkena penyakit DBD adalah anak-anak karena mereka lebih melakukan aktivitas di dalam ruangan antara lain di sekolah (Azwar, 2009). Karakteristik Jenis kelamin Jumlah Frekuensi % Laki-laki Perempuan 32 10 76 24 Total 42 100
3. Distribusi Frekuensi Penggunaan Obat yang diresepkan pada pasien Anak
Hasil pada tabel 4.3 dapat dilihat bahwa dalam pengobatan
demam berdarah dengue pada
pasien anak di RSUD Dr. M.M Dunda Limboto tidak ditemukan adanya pemberian antibiotik, hal ini berarti dalam pengobatan DBD pada anak tidak ditemukan kasus DRP dalam hal ini penggunaan antibiotik yang tidak tepat atau tidak ada indikasi medis. Menurut peneliti pengobatan yang diberikan pada pasien anak sudah baik dan sesuai dengan standar terapi Depkes RI dan WHO dimana dalam pengobatan demam berdarah dengue tidak dianjurkan pemberian antibiotik kecuali jika terdapat infeksi sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kesadaran dalam diri tenaga medis yang terkait dalam hal
mendiagnosa, merawat, dan
menentukan terapi yang tepat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, DBD merupakan salah 1 penyakit yang disebabkan oleh virus dan bukan disebabkan oleh bakteri sehingga tidak diperlukan pemberian antibiotik.
Sepintas memang terlihat mirip dengan awal semua penyakit yang disertai demam, misalnya seperti
demam pada penyakit tifoid.
Diagnosa tifoid berdasarkan gejala klinisnya memang terlihat mirip dengan DBD diantaranya demam,
dan adanya gangguan
gastrointestinal serta pemeriksaan akurat bergantung pada pemeriksaan Laboratorium atau Uji Widal. Sedangkan pada penyakit DBD
diagnosa dapat ditegakkan
berdasarkan kriteria klinis dan kriteria laboratorium. Adapun kriteria klinis pada penyakit DBD yaitu demam tinggi mendadak yang berlangsung 2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan dengan uji tourniquest positif. Sedangkan untuk pemeriksaan laboratorium salah
satunya ditandai dengan
trombositopenia dimana kadar
trombosit dalam darah 100.000/µl
atau kurang. Trombositopenia
biasanya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat guna pada penyakit DBD dapat merugikan pasien, selain menimbulkan resistensi juga dapat menyebabkan bertambahnya lama
rawat inap sehingga dapat
meningkatkan biaya pelayanan
kesehatan yang harus dikeluarkan oleh pasien. Oleh karena itu penggunaan antibiotik secara tepat
dapat memberikan keuntungan
tersendiri untuk pasien.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan dalam beberapa kasus
yang tidak tepat guna akan
menimbulkan masalah yang serius dan sulit diatasi, diantaranya
pesatnya pertumbuhan
kuman-kuman yang resisten, efek samping
No Nama Obat Jumlah
n % 1 Antibiotik 0 0 2 Ringer Laktat 42 38 3 Paracetamol 26 24 4 Sanmol 12 11 5 Dumin 2 2 6 Anadex 2 2 7 Ranitidin 15 14 8 Antasida 9 8 9 Domperidon 1 1
yang potensial berbahaya bagi pasien, serta beban biaya untuk pasien yang tidak memiliki asuransi
kesehatan. Oleh karena itu
penggunaan antibiotik secara
bijaksana merupakan hal yang
sangat penting, disamping
penerapan pengendalian infeksi
secara baik untuk mencegah
berkembangnya kuman-kuman
resistensi dimasyarakat
(Hadinegoro, 2004).
Menurut jurnal penelitian
Senaka Rajapakse dkk (2012)
Department of Clinical Medicine, Faculty of Medicine University of Colombo Srilanka, dikatakan bahwa untuk pengobatan pengobatan DBD tidak ada terapi khusus selain mempertahankan terapi suportif dan terapi cairan secara bijaksana. Pada periode bahaya demam atau yang disebut “periode kritis” dimana
pasien mengalami kerusakan
mendadak yang relatif singkat antara 48-72 jam. Namun jika pasien dapat ditangani dengan baik pada fase ini kemungkinan hasil yang fatal dapat dihindari. Tetapi hal ini membutuhkan pemantauan ketat dan tinjauan manajemen cairan sering dilakukan. Untuk manajemen
dengue, gambaran manajemen
gejala selama fase demam yaitu
sebaiknya dengan pemberian
parasetamol. Pengobatan DBD pada dasarnya bersifat suportif dan simptomatik (Hadinegoro, 2004).
Pengobatan suportif berupa
pengobatan dengan pemberian
cairan pengganti seperti cairan
intravena dengan memahami
patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, sehingga diharapkan penatalaksanaannya dapat dilakukan
secara efektif dan efisien (Chen dkk, 2009).
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sangita G. Kamath dkk (2014)
Department of Pharmacology
Karnata India, dalam hasil
penelitiannya ditemukan bahwa pengobatan DBD pada pasien anak
yang paling umum digunakan
adalah terapi dengan antipiretik sebanyak (100%) antiulcer agen (94,1%) dan antiemetik (79,4%). Tidak ada pengobatan antivirus definitif untuk demam berdarah.
Pengobatan sepenuhnya hanya
mengurus dan mengawasi
komplikasi selama penyakit.
Pengobatan simptomatik dapat
berupa pemberian antipiretik
misalnya parasetamol bila suhu > 38,5oC (Hadinegoro, 2004). Hingga saat ini belum ditemukan terapi
utama seperti vaksin untuk
menangani penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue ini. Terapi antibiotik dapat diberikan jika terdapat infeksi sekunder (Yasin dkk, 2009). Pada penelitian ini terlihat pemberian ringer laktat pada 42 pasien dengan persentase (38%). Dimana ringer laktat termasuk dalam penatalaksaan DBD dalam hal ini terapi suportif. Terapi
suportif bertujuan untuk
mempertahankan kondisi pasien, mengganti cairan yang hilang agar nanti kondisi pasien tidak menjadi lebih buruk. Hal ini juga didukung oleh teori yang menyatakan bahwa dalam pengobatan DBD hanya bersifat simtomatik dan suportif, yaitu mengatasi keadaan sesuai keluhan dan gejala klinis pasien
sedangkan suportif mengatasi
akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat
perdarahan (Hadinegoro, 2004).
Terapi simptomatik pada
penderita DBD merupakan
pemberian terapi untuk mengatasi gejala yang timbul. Ada beberapa jenis simptomatik yang diberikan antara lain : terapi antipiretik, terapi antasida dan terapi antiemetik. Pada
tabel terlihat bahwa terapi
antipiretik terbanyak yaitu dengan pemberian parasetamol pada 26 pasien dengan persentase sebanyak (24%), selanjutnya diikuti oleh pemberian sanmol pada 12 pasien
dengan persentase (11%),
pemberian Anadex dan dumin pada 2 pasien dengan persentase (2%). Namun sanmol, anadex dan dumin masih termasuk ke dalam golongan asetaminofen (parasetamol) dalam bentuk brended.
Demam adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh di atas normal yaitu diatas 38oC (Neto, 2004). Dan pemberian parasetamol dianjurkan jika suhu tubuh >38,5oC (Hadinegoro, 2004). Dari berbagai standar yang ada menyebutkan bahwa dalam tatalaksana DBD
pemberian antipiretik yang
merupakan pilihan yang aman dan tepat untuk obat turun panas dan analgesik pada anak-anak adalah parasetamol dan diberikan bila suhu >38oC (Depkes RI, 1990).
Obat-obatan yang biasa dipakai
untuk mengatasi demam
(antipiretik) adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen.
Parasetamol cepat berekasi
menurunkan panas sedangkan
ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada
anak-anak dianjurkan pemberian
parasetamol sebagai antipiretik.
Penggunaan OAINS tidak
dianjurkan dikarenakan fungsi antikoagulan dan resiko sindrom reye pada anak-anak (Kaushik dkk, 2010). Selain itu obat-obat golongan OAINS juga dapat menyebabkan
gangguan fungsi trombosit
(trombositopenia) yang dapat
memperpanjang masa perdarahan sehingga justru dapat memperburuk
kondisi pasien. Serta dapat
menghambat tromboksan untuk
proses koagulasi sehingga dapat meningkatkan resiko perdarahan (Furst dan Ulrich, 2007).
Obat golongan AINS
digunakan sebagai analgetik dan
antipiretik yang sebenarnya
diperlukan bagi pasien pada fase awal, namun pemilihan biasanya
kurang tepat karena dapat
memperparah gastritis dan
menyebabkan pendarahan. Oleh
karena itu pada pengobatan demam terapi yang direkomendasikan oleh
WHO adalah terapi dengan
parasetamol (WHO, 2009). Adapun manifestasi klinis dari penyakit DBD adalah nyeri, mual, muntah, ruam, dll (Suhendro dkk, 2009). Pemberian antasida dapat diberikan jika pasien mengalami syok disertai
muntah-muntah dan epigastrum
yang tidak jelas yang disebabkan oleh perbesaran hati yang progresif (Hadinegoro, 2004). Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan terapi terbanyak ialah pemberian ranitidin sebanyak 15 pasien dengan persentase (14%) dan pemberian antasida sebanyak 9 pasien dengan persentase (8%) dan domperidon pada 1 pasien dengan persentase (1%). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Ni wayan Elan
Andriani dkk (2013), dimana dalam penelitiannya ditemukan pada terapi antipiretik terapi terbanyak adalah pemberian parasetamol (78,38%), selanjutnya pemberian ranitidin (16,22%), antasida (4,05%), dan
domperidon sebanyak (2%).
Antiemetik yang aman diberikan pada anak-anak adalah domperidon karena ditoleransi dengan sangat baik, karena tidak melintasi Blood Brain Barrier secara signifikan, efek neuropsikiatrik dan ekstrapiramidal jarang timbul (McQuaid, 2007).
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Umum
Dr.M.M Dunda Limboto dapat
disimpulkan bahwa dalam pengobatan DBD pasien pediatrik tidak terjadi masalah DRP kategori terapi tanpa indikasi dalam hal ini penggunaan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, N.W.E, Heedy, T, Paulina,
V.Y.Y. 2014. Kajian
Penatalaksanaan Terapi
Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) Pada Anak Yang Menjalani Perawatan di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Tahun 2013. Jurnal. Farmasi FMIPA Unsrat Manado. Manado
Anonim. 2004. Penelitian Mutakhir Demam Berdarah. Nature Buletin edisi Februari 2004. Jakarta
Azwar, A. 1999. Pengantar
Epidemiologi. Binarupa Aksara. Jakarta
Chen, K, Herdiman, T.P,Robet. 2009. Diagnosis dan terapi cairan pada demam berdarah dengue. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. RS. Dr.
Ciptomangunkusumo. Jakarta Cipole, R.J, Strand, L.M, Morley, P.C.
1998. Pharmaceutical Care
Practice, 73-101. The Me Graw Hill Companies
Febrianto, M.R. 2013. Analisis Spasiotemporal kasus demam berdarah dengue di kecamatan
ngaliyan bulan januari-mei
2012. Semarang
Furst, D.E dan Ulrich, R.W. 2007. Obat Antiinflamasi Nonsteroid : Obat Antireumatik Pemodifikasi Penyakit, Analgesik Nonopioid, & obat yang digunakan pada gout. Dalam : Katzug.B.G, Farmakologi Dasar & Klinik
Edisi 10, Alih Bahasa :
Nugroho, A.W., dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta Ginanjar, G. 2007. Apa yang dokter
anda tidak katakan tentang
demam berdarah. PT. Mizan Publika. Jakarta
Graneto, J.W. 2010. Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic
Mendicine of Midwestern
University. Availabele from : http://emedicine.medscape.com/a rticle/801598-overview. diakses Juni 2015.
Hadinegoro. 2004. Demam Berdarah Dengue. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
Hadinegoro SRH, Soegijanto S,
Wuryadi S, Suroso T. 2006. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta.
Kamath, S.G, Usha Rani D, Varun H.V, Sathisha Aithal, Umakant
Patterns in Dengue Fever in Pediatric Patients In A tertiary Care Hospital : A Retrospective Cross Sectional Study. Journal. Department Of Pharmacology. Karnataka. India
Kaushik, A., Pineda, C., Kest, H. 2010. Diagnosis and Management of
Dengue Fever in Children.
Pediatr. Rev., 31 (1), 28-35.
Available :
http://pedsinreview.aapppublicati ons.org/cgi/reprint/31/4/e28.pdf. diakses pada Juni 2015
Lestari, K. 2007. Epidemiologi dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia, Farmaka Vol 5 No.3 hal 12-29 McQuaid. K.. 2007. Obat yang
digunakan pada Terapi Penyakit Gastrointestinal, dalam : Katzug. B.G, Farmakologi Dasar & Klinik, edisi 10, Alih bahasa : Nugroho, A.W., dkk. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Munsyir, A.M, Ridwan Amiruddin. 2009. Pemetaan dan Analisis
Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009. FKM. Makasar
Neto. 2004. Evidence Based Pediatric and Child Health. BMJ Book. Canada
Notoatmojo S.2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka cipta. Jakarta
Rajapakse, S, Chaturaka Rodrigo, Anja Rajapakse. 2012. Treatment Of
Dengue Fever. Journal.
Department Of Clinical
Medicine Faculty Of Medicine
University Of Colombo.
Srilanka
Risky, M.Z, Alwiyah Mukaddas,
Inggrid Faustine. 2014.
Identifikasi Drug Related
Problem (DRPs) Pada Pasien Anak Demam Berdarah dengue (DBD) di Instalasi Rawat Inap RSUD Undata Palu Tahun 2011. Jurnal. Universitas Tadulako. Palu.
Sevilla, C. 1973. Pengantar Metode Penelitian. UI Press: Jakarta Suhendro, Nainggolan L, Chen K,
Pohan HT. 2009. Demam
Berdarah Dengue. In: Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Interna Publishing; Badan
Penerbit FKUI. Jakarta
World Health Organization. 2009. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit : pedoman bagi rumah sakit rujukan tingkat
pertama di kabupaten/kota.
WHO Indonesia. Jakarta
Yasin, NM, Joko.S, Eri.S. 2009. Drug Related Problems (DRP) dalam Pengobatan Dengue Hemoraggic
Fever (DHF) Pada Pasien
Pediatri. Jurnal. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta
(WHO, 2011)
Zulkoni A. 2011. Parasitologi. Nuha Medika : Yogyakarta