Gerhana Matahari Total 9 Maret 2016:
Lintasan dan Potensi Dampaknya
Terhadap Cuaca Antariksa dan Atmosfer
di Indonesia
Definisi dan Sejarah Gerhana Matahari Total
Gerhana (dalam bahasa inggris:
eclipse) secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani ekleipsis yang berarti menghilang, terabaikan, menjadi gelap. Definisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah Bulan (Matahari) gelap sebagian atau seluruhnya dilihat dari Bumi. Sementara wikipedia mendefinisikan gerhana sebagai peristiwa antariksa yang terjadi ketika salah satu obyek di langit bergerak ke bayangan obyek lain. Istilah ini paling sering digunakan baik untuk menggambarkan gerhana matahari, yaitu ketika bayangan Bulan menutupi sebagian permukaan Bumi, atau gerhana bulan, yaitu ketika Bulan tertutup oleh bayangan bumi.
Fenomena gerhana Matahari efeknya lebih jelas dibandingkan dengan gerhana Bulan seperti yang banyak tercatat dalam manuskrip-manuskrip kuno atau catatan sejarah peradaban manusia. Reaksi terhadap fenomena gerhana Matahari bervariasi tergantung kultur maupun keyakinan pada saat itu. Misalnya, anggapan sebagai pertanda buruk atau hilangnya matahari karena dimakan suatu makhluk tertentu. Fenomena gerhana Matahari pertama kali dijelaskan secara ilmiah oleh filsuf Yunani bernama Anaxagoras of Clazomenae (500-428 SM). Beliau menyatakan bahwa Matahari-lah yang menyinari Bulan, dan oleh karenanya pada saat terjadi gerhana Matahari, Bulan berada di antara Matahari dan Bumi sehingga cahaya Matahari yang
mengarah ke Bumi tertutup oleh bayangan Bulan. Ilustrasi pada Gambar 1 menggambarkan bayangan yang tampak saat proses gerhana Matahari yaitu umbra (bayangan inti), penumbra (bayangan sebagian), dan antumbra (perpanjangan umbra/bayangan inti).
Gambar 1. Umbra dan penumbra saat gerhana Matahari (sumber: http:// flatrock. org.nz/ static/ frontpage/ large_ umbra_ penumbra_antumbra.jpg)
Matahari adalah penggerak utama sistem tata surya dan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap cuaca antariksa.
Menurut Lodders & Fegley (1998), Matahari berkontribusi massa sebesar kira-kira 99.8% dari massa tata surya, dan memiliki diameter 400 kali lebih besar dibanding Bulan. Matahari dan Bulan terlihat berukuran hampir sama jika dilihat dari Bumi karena jarak Matahari dengan Bumi sekitar 400 kali jarak Bumi dengan Bulan. Oleh karena itu, dalam momen yang tepat dan pada posisi geometri tertentu, Bulan dapat menghalangi Matahari terlihat dari Bumi. Posisi geometri ini jarang terjadi, sehingga Gerhana Matahari Total (GMT) juga merupakan peristiwa yang jarang dapat diamati. Orbit Bulan yang berbentuk elips (sebagaimana orbit Bumi) menyebabkan Bulan terkadang tampak lebih besar atau lebih kecil jika dilihat dari Bumi. Posisi dan jarak Bulan inilah yang menyebabkan berbagai peristiwa gerhana Matahari tidak selalu tampak serupa secara visual.
Sementara terkait jarak dan posisi geometri antara Matahari, Bumi dan Bulan saat terjadi gerhana Matahari, terdapat beberapa bentuk visual Gerhana Matahari yang dapat diamati. Gerhana Matahari parsial terjadi ketika Matahari, Bulan dan pengamat di Bumi tidak tepat berada dalam satu garis lurus, sehingga sebagian Matahari masih tampak. Jika Bumi berada di bagian penumbra, maka gerhana yang teramati adalah gerhana Matahari sebagian. GMT teramati ketika bayangan Bulan secara penuh menutupi Matahari. Pada peristiwa GMT tampak suatu lapisan cahaya yang agak redup di sekeliling Bulan yaitu korona Matahari. Namun jika Bulan sedang berada pada jarak lebih jauh (sehingga pengamat melihat Bulan lebih kecil) maka Matahari akan tampak sebagai lingkaran cahaya berbentuk cincin.
Gambar 2. Bentuk visual gerhana matahari. Dari kiri kekanan: gerhana matahari parsial, total, dan cincin (sumber: adaptasi dari Forbes, MPE dan NASA)
Gambar 3: Proses terjadinya gerhana matahari total (atas) dan cincin (bawah) (sumber: http:// www. skyandtelescope.com/wp-content/uploads/Solar_eclipse_geometry_m.jpg)
Durasi gerhana Matahari umumnya bervariasi dan tergantung pada faktor-faktor tertentu misalnya posisi relatif Matahari, Bumi dan Bulan saat gerhana terjadi. Jika Bumi berada pada titik terdekatnya dengan Matahari, maka gerhana Matahari berlangsung lebih singkat. Jika saat gerhana Matahari berlangsung Bulan berada pada jarak terdekatnya dengan Bumi, maka diameter Bulan relatif akan lebih besar sehingga durasi akan lebih lama. Selain hal yang telah dijelaskan di atas, gerhana akan terjadi dalam durasi yang lebih lama jika titik totalitas berada di sekitar ekuator karena daerah ekuator adalah area yang memiliki kecepatan orbital terbesar.
Pengaruh gerhana pada lingkungan antariksa dan atmosfer
Selain dampak visual, gerhana matahari mempengaruhi sistem lingkungan antariksa. Tidak hanya menghalangi cahaya Matahari, Bulan juga sementara waktu akan menghalangi plasma angin matahari pembawa partikel dan energi radiasi yang memberikan pengaruh penting pada lingkungan antariksa dan Bumi. Sampai saat ini, telah banyak dilakukan riset untuk
mempelajari efek gerhana Matahari terhadap lingkungan antariksa. Dalam penelitian yang dilakukan pada 2012 oleh Babakharov et al., terhadap gerhana matahari total 1 Agustus 2008, terdapat gangguan signifikan yang teramati di ionosfer, atmosfer dan medan magnet Bumi.
Ionosfer adalah lapisan atmosfer atas (ketinggian antara 50-600 km) yang terionisasi oleh radiasi Matahari. Fungsi utama ionosfer adalah sebagai pemantul sinyal radio. Di lapisan ionosfer, efek akibat gerhana Matahari yang teramati berupa penurunan densitas elektron yang terjadi secara sinkron dengan gerhana Matahari. Dalam beberapa riset, nilai waktu tunda respons ini berbeda-beda, dengan salah satunya tergantung pada letak geografis gerhana Matahari. Farges et al (2001) mengamati bahwa gerhana Matahari berpengaruh terhadap perubahan frekuensi kritis (frekuensi maksimum yang dapat dipantulkan lapisan ionosfer).
Gambar 4 menjelaskan efek densitas elektron, akibat GMT 22 Juli 2009 terhadap saat hari tenang, baik profil variasinya maupun prosentase perubahannya. Data ini merupakan hasil pengamatan di India.
Gambar 4. (a) Profil variasi densitas elektron pada saat gerhana; (b) Persentase perubahan densitas (sumber: Kumar et al, 2013)
Sementara itu di atmosfer, akibat gerhana mencakup perubahan temperatur, turbulensi dan konsentrasi ion, terutama ion ringan. Menurut Manohar et al, 1995, ini terjadi karena proses ionisasi terhenti sementara akibat radiasi pengion dari matahari terhalang oleh bayangan Bulan. Ketika plasma matahari terhalang, energi termal menurun karena pasokan partikel dari matahari yang berinteraksi dengan magnetosfer, ionosfer dan atmosfer terhenti sementara, sehingga terdeteksi sebagai penurunan konsentrasi ion, penurunan tingkat turbulensi dan penurunan temperatur
di atmosfer. Gangguan kelistrikan di ionosfer akibat gerhana juga akan berimbas ke atmosfer.
Medan magnet Bumi (geomagnet) berfungsi sebagai perisai yang melindungi Bumi dari paparan plasma matahari. Oleh karena itu, gerhana matahari juga berefek pada medan geomagnet. Perlu diketahui untuk keperluan ilmiah, medan geomagnet dipetakan ke dalam tujuh komponen yaitu F (geomagnet total), X (utara-selatan geografis), H (utara-selatan medan magnet), Y(timur-barat), Z (vertikal), I (inklinasi) dan D (deklinasi), seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. (a) medan magnet Bumi (geomagnet) sebagai perisai Bumi (b) komponen geomagnet (sumber: http://sedonanomalies.com/images/geomagnetism_650.jpg)
Intensitas geomagnet dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kelistrikan di ionosfer. Menurut Babakhanov et al., 2012, berkurangnya tingkat ionisasi di ionosfer hingga mencapai 10% saat GMT mempengaruhi variasi medan magnet harian (Babakhanov et al., 2012). Sebelumnya pada 1933, Chapman telah mengestimasikan nilai deklinasi dan efek pada komponen horizontal geomagnet sebesar kira-kira sepertiga amplitudo variasi harian normal menggunakan model sederhana variasi hari tenang.
Ladynin et al., 2011, juga telah menunjukkan efek GMT yang terjadi 1 Agustus 2008 terhadap komponen X, Y, Z medan magnet Bumi di Novosibirsk Rusia.
Hasilnya seperti ditunjukkan pada Gambar 6. Pada gambar tersebut pukul 00:00 UT terlihat penurunan komponen X dan kenaikan komponen Y dari normalnya. Onovughe pada 2013 telah meneliti efek gerhana Matahari total, 29 Maret 2006 pada variasi medan magnet Bumi di Bangui, Mbour dan Tamarraset, Nigeria. Serupa dengan hasil yang diperoleh Ladynin, Onovughe melaporkan bahwa efek gerhana Matahari total 29 Maret 2006 menyebabkan penurunan komponen X medan geomagnet dan kenaikan komponen Y medan geomagnet. Sementara pada komponen Z medan magnet Bumi tidak terlihat jelas perubahannya akibat GMT.
Gambar 6. (a) komponen medan magnet, (b) komponen angular. Skala waktu UT dan pukul 00.00 UT merepresentasikan waktu puncak kejadian GMT (sumber: Ladynin et al, 2011)
Gerhana Matahari Total (GMT) 9 Maret 2016 dan Lintasannya di Wilayah Indonesia
Indonesia pernah dilintasi GMT pada 11 Juni 1983 dan 24 Oktober 1995 namun fenomena tersebut terjadi cukup singkat, hanya selama dua menit. Saat itu, GMT hanya melintasi pulau kecil di ujung utara Indonesia yaitu Pulau Sangihe di Sulawesi Utara. Gerhana tersebut merupakan GMT terakhir yang melintasi Indonesia pada abad ke-20. Secara statistik sederhana, sebetulnya peluang terjadinya gerhana matahari dapat terjadi sampai dengan 13 kali dalam setahun. Namun demikian dikarenakan sifat orbit Bumi, tidak semua gerhana tersebut dapat dilihat, hanya dua gerhana Matahari yang berpotensi untuk dilihat setiap tahunnya.
Pada 9 Maret 2016 mendatang, fenomena GMT kembali akan berlangsung dan dapat diamati dari sebagian wilayah Indonesia. Diprediksi gerhana akan diawali sekitar pukul 07:30 WIB di wilayah Sumatera, lalu bergerak dari barat ke timur menuju
Kalimantan, Sulawesi, dan kemudian pada pukul 08:00 WIB titik gerhana total diperkirakan sudah berada di utara kepulauan Maluku. Akhirnya, sekitar pukul 08:30 WIB titik gerhana sudah menjauhi Indonesia menuju kepulauan di sekitar Pasifik.
Dalam paparan sebelumnya disebutkan bahwa gerhana Matahari total akan memberikan dampak pada cuaca antariksa dan atmosfer. Seperti diamanatkan dalam Undang Undang Keantariksaan No. 21 tahun 2013 pasal 11-14, LAPAN sebagai lembaga litbang berkepentingan untuk melaksanakan dan menginformasikan kegiatan litbang dan pemantauan astrofisika yang salah satunya adalah kejadian GMT 9 Maret 2016 ini kepada masyarakat luas. Informasi dapat dilakukan melalui Pusat Sains Antariksa, yang kemudian diteruskan kepada kelompok-penelitian kelompok-kelompok-penelitian yang ada di satker tersebut.
Gambar 7. Ilustrasi prediksi path gerhana matahari total pada 2016 (sumber: http:// c.tadst. com/ gfx/ eclipses/20160309/path-1920.png)
Dalam rangka menyongsong GMT tersebut, beberapa persiapan telah dilakukan diantaranya adalah menyiapkan segala peralatan pengamatan cuaca antariksa dan atmosfer agar dapat beroperasi secara kontinyu terutama pada saat GMT melintas wilayah Indonesia, menyiapkan tim peneliti untuk meneliti potensi dampak GMT tersebut terhadap cuaca antariksa dan atmosfer, melaksanakan sosialiasi akan datangnya GMT 9 Maret 2016 ini baik melalui online media maupun media cetak, serta melakukan kerjasama dengan peneliti atau masyarakat baik antar instansi dalam negeri maupun
dengan institusi luar negeri. Fenomena GMT ini cukup menarik untuk diamati karena selain melintasi sebagian besar wilayah Indonesia, waktu lintasnya juga cukup lama dibandingkan GMT yang terjadi sebelumnya.
Diharapkan dengan segala persiapan tersebut, potensi dampak GMT yang akan terjadi 2016 nanti dapat diketahui dan dipahami untuk kemudian dapat diinformasikan kepada masyarakat umum. Hal tersebut selain untuk meningkatkan pengetahuan juga sebagai salah satu upaya menarik minat masyarakat terhadap bidang keantariksaan.