• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum

2.1.1 Definisi Sampah

Berikut adalah beberapa definisi sampah berdasarkan Peraturan dan Pustaka. a. Definisi berdasarkan UU No.18 tahun 2008 tentang Pengelolaan

Sampah:

▪ Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat (pasal 1 ayat 1 UU No.18 2008). ▪ Sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi,

dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus. (pasal 2 ayat 1 UU No.18 2008).

Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-undang ini terdiri atas : a. Sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan

sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik.

b. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya

c. Sampah spesifik adalah sampah yang meliputi :

▪ Sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun ▪ Sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan

beracun

▪ Sampah yang timbul akibat bencana ▪ Puing bongkaran bangunan

(2)

b. Definisi berdasarkan pustaka

Definisi sampah cukup bervariasi apabila didasarkan pada tidak adanya lagi kegunaan atau nilai dari material yang ada di sampah tersebut. Sampah adalah produk samping dari aktivitas manusia. Secara fisik sampah mengandung material/bahan-bahan yang sama dengan produk yang digunakan sebelumnya, yang membedakannya hanya kegunaan dan nilainya. Penurunan nilai, pada banyak kasus, tergantung pada tercampurnya material-material tersebut dan seringkali karena ketidak-tahuan untuk memanfaatkan kembali material itu. Upaya pemilahan umumnya dapat menaikkan kembali nilai dari sampah. Dengan adanya pemilahan, maka akan ada upaya pemanfaatan kembali material daur ulang yang ada di dalam sampah. Hubungan terbalik antara tingkat pencampuran dan nilai adalah hal yang penting pada sampah, sebagaimana terlihat pada gambar 2.1 (Mc Douglas, Forbes, et al, 2001).

(3)

The American Public Works Association (APWA) telah mengklasifikasikan jenisjenis sampah berdasarkan asalnya, karakternya, dan bahan aslinya sebagai berikut (Linton, 1970):

a. Garbage, didefinisikan sebagai sampah yang dihasilkan dari proses penyiapan, pengolahan dan penyediaan makanan dan dapat dihasilkan dari rumah tangga, institusi dan badan-badan komersial seperti hotel, toko, restoran, dan pasar.

b. Rubbish merupakan barang-barang seperti kertas, kardus (cardboards), karton, kotak kayu, plastik, kain-kain sisa, pakaian, seprei, selimut, kulit, karet, rumput, daun dan sisa-sisa kebun. Non-combustible rubbish termasuk kaleng, kertas timah (foils), tanah/lumpur, batu, bata, keramik, botol kaca, tembikar, dan sampah mineral lainnya.

2.1.2 Jenis Sampah

Berdasarkan cara penanganan dan pengolahannya, jenis sampah secara umum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis (Damanhuri, 2010) yaitu :

a. Sampah basah (garbage), yaitu sampah yang susunannya terdiri atas bahan organik yang mempunyai sifat mudah membusuk jika dibiarkan dalam keadaan basah. Contohnya adalah sisa makanan, sayuran, buah-buahan, dedaunan, dsb.

b. Sampah kering (rubbish), yaitu sampah yang terdiri atas bahan anorganik yang sebagian besar atau seluruh bagiannya sulit membusuk. Sampah ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1. Sampah kering logam, misalnya : kaleng, pipa besi tua, seng dan segala jenis logam yang sudah usang.

2. Sampah kering non logam, yang terdiri atas :

i. Sampah kering yang mudah terbakar (combustible rubbish), Misalnya : kertas, karton, plastik, kayu, kain bekas, dsb. ii. Sampah kering sulit terbakar (non combustible rubbish),

(4)

c. Sampah lembut, yaitu sampah yang terdiri atas partikel-partikel kecil, ringan dan memiliki sifat mudah beterbangan serta membahayakan atau menggangu pernapasan dan mata. Sampah tersebut terdiri atas :

1. Debu, yaitu partikel-partikel kecil yang berasal dari proses mekanis, Misalnya serbuk dari penggergajian kayu, debu dari aktifitas pabrik, dll.

2. Abu yaitu partikel-partikel yang berasal dari proses pembakaran, Misalnya abu kayu, abu gunung berapi , abu dari hasil pembakaran sampah (incinerator), dll.

2.1.3 Sumber- Sumber Sampah

Menurut Tchobanoglous, Theisen dan Vigil (1993), sumber sampah dapat dibedakan berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan dalam menghasilkan sampah. Klasifikasi sumber-sumber sampah dibagi menjadi :

• Sampah residential : sampah yang berasal dari rumah tangga.

• Sampah komersial : sampah yang berasal dari perkantoran, restoran dan pasar (tempat perdagangan).

• Sampah industri : sampah yang dihasilkan dari aktivitas industri. • Sampah jalanan : sampah yang berada di jalan-jalan umum.

• Sampah pertanian : sampah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian.

• Sampah konstruksi pembangunan : sampah yang umumnya dihasilkan dari kegiatan pembangunan gedung baru, perbaikan jalan, peruntuhan bangunan, dan trotoar rusak.

• Sampah pelayanan masyarakat : sampah dari air minum, air limbah maupun proses industri.

2.1.4 Dampak Pencemaran Akibat Sampah

Menurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman (2011) banyak permasalahan yang ditemui dalam pengelolaan kebersihan seperti tidak tersedianya sarana dan prasarana,

(5)

sumber daya manusia, peraturan dan anggaran dana yang memadai, sehingga tidak dapat menyediakan pelayanan yang baik sesuai dengan ketentuan teknis akibatnya pencemaran lingkungan menjadi meningkat. Berbagai potensi yang dapat ditimbulkan oleh pencemaran akibat sampah meliputi :

1. Perkembangan vektor penyakit

Wadah sampah yang didalamnya masih terdapat sisa makanan merupakan tempat yang sangat ideal bagi pertumbuhan vektor penyakit seperti lalat dan tikus. Perkembangan vektor penyakit pada TPA disebabkan oleh frekwensi penutupan sampah yang tidak dilakukan sesuai ketentuan. Gangguan akibat lalat umumya dapat ditemui hingga radius 1-2 km dari lokasi TPA.

2. Pencemaran udara

Sampah yang menumpuk serta tidak tertutup dan tidak segera terangkut merupakan sumber bau yang tidak sedap. Selain itu proses dekomposisi sampah di TPA secara kontinu akan menghasilkan gas seperti CO, CO2, CH4, H2S dan lain-lain yang secara langsung akan mencemari udara serta mendorong terjadinya emisi gas rumah kaca yang memiliki kontribusi terhadap pemanasan global.

3. Pencemaran air

Prasarana dan sarana pengumpulan yang terbuka sangat potensial menghasilkan leachate terutama pada saat turun hujan. Aliran leachate yang mengalir kesaluran atau tanah sekitarnya akan menyebabkan terjadinya pencemaran air dan air tanah.

4. Pencemaran tanah

Pembuangan sampah yang tidak dilakukan dengan baik akan menyebabkan lahan setempat mengalami pencemaran akibat tertumpuknya sampah organik dan mungkin juga mengandung bahan buangan berbahaya (B3) yang membutuhkan waktu yang cukup lama sampai terdegradasi. 5. Gangguan estetika

Lahan yang terisi sampah secara terbuka akan menimbulkan kesan pandangan yang sangat buruk sehingga mempengaruhi estetika lingkungan

(6)

sekitarnya. Sarana pengumpulan dan pengangkutan yang tidak terawat dengan baik merupakan sumber pandangan yang tidak baik.

6. Kemacetan lalu lintas

Lokasi penempatan sarana prasarana pengumpulan sampah yang berdekatan dengan sumber potensial seperti pasar, pertokoan dan lain-lain berpotensi menimbulkan gangguan terhadap arus lalu lintas akibat kegiatan bongkar muat sampah.

7. Gangguan kebisingan

Gangguan kebisingan ini lebih disebabkan karena adanya kegiatan operasi kendaraan alat berat dalam TPA (baik angkutan pengangkut sampah maupun kendaraan yang digunakan meratakan dan atau memadatkan sampah).

8. Dampak sosial

Hampir tidak ada orang yang akan merasa senang dengan adanya pembangunan tempat pembuangan sampah di dekat permukimannya. Keresahan warga setempat diakibatkan oleh gangguan-gangguan yang telah disebutkan diatas.

2.2 Timbulan Sampah

2.2.1 Definisi Timbulan Sampah

Timbulan sampah (waste generation) dapat diartikan sebagai banyaknya sampah yang dihasilkan oleh setiap orang setiap harinya. Timbulan sampah dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya: factor demografi, Geografi, Tingkat kesejahteraan masyarakat, fakotr musim, kebiasaan masyarakat, dan upaya-upaya reuse dan recycle yang sudah dilaksanakan selama ini. (Tchobanoglous et al. 1993, UNEP, 2005, Mc Douglass, Forbes, et al, 2001, Cheremisinoff, 2003 dan Damanhuri, 2010)

Prediksi timbulan sampah dapat dilakukan dengan cara statistik. Data timbulan sampah yang dicatat secara rutin setiap tahun (time series) dianalisis korelasinya dengan faktor-faktor di atas sehingga didapatkan faktor yang berkorelasi dan kemudian dibuat persamaannya (Tchobanoglous et al. 1993).

(7)

Sedangkan menurut SNI 19-2454-2002, timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan volume maupun berat per kapita perhari, atau perluas bangunan, atau perpanjang jalan.

Menurut SNI 19-3964-1994 Tentang Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil dan Sedang di Indonesia, klasifikasi sumber timbulan sampah yang digunakan terbagi menjadi:

1. Perumahan

Sumber perumahan terdiri atas rumah permanen, rumah semi permanen dan rumah non permanen.

2. Non Perumahan

Sumber non perumahan terdiri atas kantor, toko atau ruko, pasar, sekolah, tempat ibadah, jalan, hotel, restoran, industri, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya.

Data timbulan sampah sangat penting diketahui untuk menentukan fasilitas setiap unit pengelolaan sampah dan kapasitasnya misalnya fasilitas peralatan, kendaraan pengangkut, rute angkutan, fasilitas daur ulang, luas dan jenis TPA. Besaran timbulan sampah berdasarkan komponen-komponen sumber sampah dapat dilihat pada tabel 2.1, sementara besaran timbulan sampah berdasarkan klasifikasi kota dapat dilihat pada tabel 2.2.

(8)

Tabel 2.1 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen Sumber Sampah

No Komponen sumber

sampah Satuan Volume (liter) Berat (kg)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rumah permanen Rumah semi permanen Rumah non permanen Kantor

Toko / Ruko Sekolah

Jalan arteri sekunder Jalan kolektor sekunder Jalan lokal Pasar Per orang/hari Per orang/hari Per orang/hari Per orang/hari Per orang/hari Per orang/hari Per orang/hari Per orang/hari Per orang/hari Per orang/hari 2,25- 2,50 2,00-2,25 1,75-2,00 0,50-0,75 2,50-3,00 0,10-0,15 0,10-0,15 0,10-0,15 0,05-0,10 0,20-0,60 0,35-0,40 0,30-0,35 0,25-0,30 0,025-0,10 0,15-0,35 0,01-0,02 0,02-0,10 0,01-0,05 0,005-0,025 0,10-0,300 Sumber: Damanhuri dan Padmi, 2010

Tabel 2.2 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Klasifikasi Kota Klasifikasi kota Volume

(liter/org/hari) Berat (kg/orang/hari) Kota Sedang 2,75-3,25 0,70-0,80 (100.000 – 500.000 jiwa ) Kota kecil 2,50-2,75 0,625-0,70 (20.000 – 100.000 jiwa ) Sumber: SNI 10-3983-1995

(9)

2.2.2 Laju Pertumbuhan Penduduk

Nilai jumlah perkembangan penduduk sangat ditenentukan oleh Salah satu faktor yang sangat berarti dalam menghitung laju timbulan sampah. Sebelumnya akan dikerjakan perhitungan untuk pertumbuhan jumlah penduduk yang setelahnya akan menghitung jumlah timbulan sampahnya.

A. Pertumbuhan Jumlah Penduduk

Menurut Direktur Pengembangan PLP (2011), ada beberapa metoda perkembangan penduduk yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah proyeksi penduduk, diantaranya ada cara aritmatik, cara geometrik dan cara least square. Maka nantinya dalam memilih cara yang digunakan akan tergantung dengan kecenderungan karakteristik pada kota perencanaan serta pertumbuhan penduduknya. 3 metode atau caranya (Direktur Pengembangan PLP, 2011) adalah :

1. Metoda Aritmatik

Metoda aritmatik adalah kenaikan berkala, yang digunakan dalam meproyeksikan pertumbuhan penduduk yang terjadi secara linier.

Pn = Po + r (dn)

(2.1) dimana :

Pn = Jumlah penduduk pada akhir tahun periode Po = Jumlah penduduk pada awal proyeksi

r = Rata – rata pertambahan penduduk tiap tahun dn = Kurun waktu proyeksi

2. Metoda Geometrik

Metoda yang digunakan untuk memproyeksikan penduduk pada suatu daerah dimana pertambahan penduduknya terjadi secara eksponensial. Persamaan matematis yang digunakan adalah :

Pn = Po (1+ r)dn

(10)

Dimana :

Pn = Jumlah penduduk pada akhir tahun periode Po = Jumlah penduduk pada awal proyeksi

r = Rata – rata pertambahan penduduk tiap tahun dn = Kurun waktu proyeksi

3. Metoda Least Square

Rumus yang digunakan adalah :

Ŷ = a+ b.X

(2.3) dimana :

Ŷ = Nilai variabel berdasarkan garis regresi; X = Variabel independen;

α = Konstanta;

b = Koefisien arah regresi linier. 𝑎 =(Σy). (Σ𝑥 2) − (Σ𝑥). (Σ𝑦2) n. Σ𝑥2− (Σ𝑥)2 (2.4) 𝑏 =𝑛. (Σxy) − (Σ𝑥). (Σ𝑦) n. (Σ𝑥2) − (Σ𝑥)2 (2.5) Penentukan metoda yang dipakai untuk proyeksi penduduk, terlebih dahulu kita mencari nilai korelasi (r) untuk tiap-tiap metoda. Pada metoda yang mempunyai nilai korelasi paling mendekati nilai 1, itulah yang akan dipakai. Rumus nilai korelasi (r) adalah sebagai berikut :

𝑟 = 𝑛. (Σx. y) − (Σ𝑦). (Σ𝑥)

√[𝑛(Σ𝑦2) − (Σ𝑦)2][𝑛(Σ𝑥) − (Σ𝑥)2]

(11)

B. Survey Pengambilan Contoh Sampah di Sumber Sampah

Setelah menentukan jumlah pertumbuhan penduduk dilakukan penghitungan jumlah sampel penelitian guna menentukan timbulan sampah yang dihasilkan dari suatu permukiman. Pengambilan contoh sampah di sumber sampah ini berfungsi untuk mengetahui rata-rata berapa timbulan sampah yang dihasilkan L/orang/hari atau kg/orang/hari. Pelaksanaan survey dan pengambilan contoh berdasarkan SNI 19-3964-1994 Tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah Perkotaan. Penentuan jumlah sampel kepala keluarga (KK) yang representative mewakili suatu wilayah permukiman ditentukan berdasarkan persamaan berikut :

Jumlah contoh timbulan sampah dari perumahan dihitung berdasarkan rumus di bawah ini :

𝑠 = 𝑐𝑑√𝑝𝑠

(2.7) Dimana:

S = Jumlah Sampel (jiwa) Cd = Koefisien perumahan Cd = 1 ( kota besar/metropolitan ) Cd = 0,5 ( kota sedang atau kecil ) Ps = populasi (jiwa)

Jumlah KK yang diamati :

𝐾 = 𝑠 𝑛

(2.8) Dimana:

K = Jumlah sampel (KK)

N = Rata – rata jumlah jiwa per keluarga S = Jumlah contoh jiwa

(12)

Timbulan dan komposisi sampah perkotaan pemukiman di klasifikasikan atas pemukiman permanen, non-permanen dan semi permanen. Jumlah contoh timbulan sampah dari perumahan adalah

Contoh dari perumahan permanen = (S1 x K) keluarga Contoh dari perumahan semi permanen = (S2 x K) keluarga Contoh dari perumahan non permanen = (S3 x K) keluarga

(2.9) Dimana:

S1 = Proporsi jumlah KK perumahan permanen dalam (25%) S2 = proporsi jumlah KK perumahan semi permanen dalam (30%) S3 = proporsi jumlah KK perumahan non permanen dalam (45%)

Jumlah contoh timbulan sampah dari non perumahan dihitung berdasarkan rumus dibawah ini :

𝑠 = 𝑐𝑑√𝑇𝑠

(2.10) Dimana:

S = Jumlah contoh masing – masing jenis bangunan non perumahan Cd = 1 (non perumahan)

Ts = Jumlah bangunan non perumahan

C. Penentuan Densitas

Definisi densitas sampah ialah berat sampah yang diukur dalam satuan kilogram yang dibandingkan volume sampah yang telah diukur (kg/m3) (Direktur Pengembangan PLP, 2011). Jumlah timbulan sampah dan penentuan luas lahan TPA yang dibutuhkan sangat ditentukan oleh nilai dari densitas sampah. SNI 19-3964-1994 adalah dasar dalam perhitungan densitas sampah. Cara yang akan dilakukan dalam dasar tersebut yakni menimbang atau mengukur sampah yang telah diambil contohnya 1/5 – 1 m3 volume sampah. Mempersiapkan satu buah

(13)

kotak berukuran 20 x 20 cm dengan kedalaman 100 cm. Sampah akan dituang kedalam kotak tersebut serta ditimbang beratnya dan setelah itu dihentakkan sebanyak 3 kali lalu dihitung volume sampah yang didapatkan, perhitungan tersebut akan dilakukan secara bergiliran dengan contoh hasil sample sampah yang didapatkan. Dari hasil yang telah dikelola tersebut dapat diketahui nilai besaran densitas sampah dalam satuan kg/m3.Pengukuran densitas sampah yang telah diukur akan sangat bergantung, sampah pada gerobak yang biasanya mengalami pemadatan, ataukah sampah lepas dari sumber sampahnya atau juga sampah dari truck compactor yang biasanya memang sudah dilakukan pemadatan pada sampahnya.

2.3 Definisi Pengolahan Sampah

Pengeloalaan sampah didefinisikan sebagai suatu disiplin yang berkaitan dengan pengendalian atas timbulan, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan sampah; sedemikian rupa sehingga sesuai dengan prinsip prinsip dalam kesehatan masyarakat, ekonomi, keteknikan, konservasi, estetika, dan pertimbangan-pertimbangan lingkungan lainnya termasuk (responsive) terhadap sikap masyarakat umum (Tchobanoglous et al. 1993).

Lebih lanjut , Tchobanoglous et al. (1993), menjelaskan bahwa ruang lingkup pengelolaan sampah mencakup semua aspek yang terlibat dalam keseluruhan spectrum kehidupan masyarakat. Berbagai aspek yang dimaksud adalah semua fungsi administrative, keuangan, hokum, perencanaan, dan fungsi-fungsi keteknikan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sampah. Penyelesaian masalah sampah juga dapat melibatkan hubungan-hubungan lintas disiplin yang kompleks antar bidang ilmu politik, bidang perencanaan kota dan regional, geografi, ekonomi, kesehatan masyarakat, sosiologi, demografi, komunikasi, konservasi, serta teknik dan ilmu bahan (material science).

Adapun yang dimaksud dengan pengelolaan sampah terpadu (integrated Solid Waste Management) adalah suatu kerangka petunjuk untuk merencanakan

(14)

dan melaksanakan sistem pengelolaan sampah baru dan/atau menganalisis serta mengoptimalkan sistem saat ini (UNEP, 2005).

Definisi lain dari pengelolaan sampah terpadu, seperti yang dikemukakan oleh Tchobanoglous et al. (1993), adalah pemilihan dan penerapan teknologi dan manajemen untuk mencapai tujuan pengelolaan sampah. Pengelolaan sampah terpadu dapat dilakukan setelah melakukan evaluasi terhadap seluruh elemen unit fungsional sistem persampahan, yaitu:

1. Timbulan sampah (waste generation)

2. Penanganan, pemilahan, pewadahan, dan pemrosesan sampah disumbernya

3. Pengumpulan

4. Pemilahan dan pemrosesan serta transformasi/perubahan bentuk dari sampah

5. Pemindahan dan pengangkutan 6. Pembuangan

Pengelolaan sampah terpadu didasarkan pada suatu konsep yang mengarahkan kepada keterpaduan antar seluruh aspek dalam pengelolaan sampah, baik aspek teknis maupun non teknis, yang pada kenyataannya seluruh aspek tersebut tidak pernah bisa dipisahkan (UNEP, 2005). Pendekatan keterpaduan tersebut adalah elemen penting dalam pengelolaan sampah dikarenakan oleh hal-hal berikut ini:

a. Masalah-masalah tertentu akan lebih mudah diselesaikan dengan cara kombinasi beberapa aspek dibandingkan hanya dengan melihat satu aspek saja. Demikian pula jika dibangung suatu sistem baru atau paling tidak mempengaruhi aktivitas di tempat lain jika perubahan tersebut tidak dikoordinasikan terlebih dahulu.

b. Keterpaduan akan dapat mengoptimalkan seluruh sumber daya yang ada

c. Pendekatan keterpaduan memberikan kesempatan kepada masyarakat, pihak swasta dan sector informal.

(15)

d. Secara ekonomis, pendekatan ini juga jauh lebih baik. Dengan keterpaduan maka secara bersama-sama dapat merumuskan upaya-upaya yang lebih murah bahkan beberapa bagian pengelolaan tersebut dapat tanpa biaya. Disisi lain dengan pengelolaan erpadu, sampah dapat menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan.

Pengelolaan sampah terpadu mengkombinasikan antara aliran sampah, pengumpulan sampah, pengolahan dan pembuangan sampah dengan tujuan utama untuk menghasilkan manfaat dari segi lingkungan, keberlanjutan dari sisi ekonomi dan dapat diterima dari aspek sosial. Elemen-elemen kunsi dari pengelolaan sampah terpadu adalah:

b. Pendekatannya menyeluruh

c. Menggunakan metoda pengumpulan dan pengolahan yang terhubungkan satu dengan lainnya

d. Dapat mengelola berbagai jenis material yang ada pada aliran sampah

e. Efektif dari segi lingkungan f. Dapat terbayar dari segi ekonomi

g. Diterima oleh masyarakat. (Mc Dougall, Forbes, et al, 2001)

Secara konseptual, untuk dapat mencapai tujuan dalam pengelolaan sampah terpadu maka terdapat dua hal yang paling diperlukan, yaitu: pengurangan sampah dan sistem yang efektif dalam pengelolaan sampah.

Pengurangan sampah, atau sering disebut dengan waste minimization, waste reduction, atau source reduction ditempatkan pada bagian paling atas dalam hirarki pengelolaan sampah (Gambar 2.2). Pengurangan sampah akan mengurangi jumlah sampah dan secara alamiah akan merubah komposisi sampah, namun demikian akan selalu ada sampah yang masih harus dikelola. Untuk itu, selain pengurangan sampah, masih diperlukan suatu konsep yang efektif dalam pengelolaan sampah. Konsep tersebut adalah konsep pemanfaatan kembali

(16)

(recycle), penggunaan kembali (re-use) dan pemulihan energy (energy recovery) yang terkandung dalam sampah.

a. Reuse

Reuse diartikan sebagai upaya memperpanjang penggunaan suatu produk baik dalam bentuk semula maupun bentuk yang sudah dimodifikasi. Reuse dapat dilakukan dengan cara memperbaiki produk yang sudah rusak atau habis masa pakainya, missal vulkanisir ban. Reuse juga dapat dilakukan dengan menggunakan kemasan suatu produk untuk digunakan menjadi kemasan produk lain, misalnya botol air mineral yang dipakai untuk menjadi botol cat. Pelaksanaan reuse tidak mengembalikan produk tersebut ke industry. Upaya reuse lebih dekat pada upaya mengurangi jumlah sampah (EL_Hagar, 2007)

b. Recycle

Sampah yang tidak dapat dipakai lagi mulai masuk ke aliran pengelolaan sampah. Beberapa jenis sampah seperti plastic dan kertas, dengan suatu teknologi tertentu, dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku suatu produk. Proses yang mengubah sampah tersebut menjadi bahan baku industry lain disebut recycle atau daur ulang. (EL_Hagar, 2007).

Aktivitas industry recycle terdiri dari 5 kesatuan usaha yang bekerja secara serempak untuk menghasilkan material daur ulang yang siap menjadi bahan baku kegiatan industry. Kesatuan usaha tersebut adalah:

a. Pengumpulan dan transportasi. Usaha atau kegiatan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan dan mengangkut sampah dari berbagai sumber sampah

b. Material Recovery Facility. Usaha ini adalah suatu bentuk usaha yang menyediakan fasilitas khusus yang didesain untuk menerima, memisahkan dan memproses sampah menjadi bahan baku suatu kegiatan industry.

c. Konsolidator dan depat. Kegiatan ini berfungsi seperti MRF namun pada konsolidator tidak terdapat kegiatan pemilahan

(17)

d. Broker material (pengumpul): broker material adalah jenis usaha dengan aktivitas utama membeli produk usaha daur ulang, khusunya dari MRF dan Konsolidator dan menjualnya ke industry yang memanfaatkan hasil industry daur ulang tersebut sebagai bahan baku

e. Fasilitas pemrosesan: adalah industry penghasil barang-barang yang berbahan baku dari produk-produk daur ulang. (Francheti, Mathew J, 2009)

Tahapan upaya recycle dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Ikhtisar Proses Daur Ulang Sumber: Francheti, Mathew J, 2009

c. Recovery Recovery (pemulihan kembali) material atau energy dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Secara prinsip recycle dan recovery mempunyai kesamaan yaitu mengembalikan kembali material ke suatu industri sedangkan perbedaannya adalah recycle memerlukan pemisahan

(18)

material yang akan didaur ulang dari sampah, sedangkan recovery tidak memerlukan upaya pemisahan tersebut. (EL_Hagar, 2007).

Tehnik pembuangan sampah dapat dilihat dari sumber sampah hingga ke TPA. Usaha utama adalah mengurangi sumber sampah dari segi kuantitas dan kualitas dengan:

1) Meningkatkan pemeliharan dan kualitas barang sehingga tidak cepat menjadi sampah;

2) Meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku

3) Meningkatkan penggunaan bahan yang dapat terurai secara alamiah, misalnya penggunaan pembungkus plastik diganti dengan kertas atau daun, untuk itu diperlukan partisipasi dan kesadaran masyarakat (Soemirat, 2000).

Iriani (1984) menyatakan, bahwa sampah dan pengelolaannya merupakan masalah yang mendesak di kota - kota di Indonesia. Proses urbanisasi yang terus berlangsung dan masyarakat yang semakin konsumtif, menambah produksi dan kompleksnya komposisi sampah kota. Meningkatnya biaya transportasi, peralatan dan administrasi serta semakin sulitnya memperoleh ruang yang pantas untuk pembuangan sampah, sehingga semakin jauh jaraknya dari kota dan menimbulkan biaya pengelolaan semakin tinggi.

Menurut Anwar (1990), dalam ilmu kesehatan lingkungan suatu pengelolaan sampah dianggap baik jika sampah tersebut tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak menjadi perantara penyebaran penyakit. Syarat lain yang harus dipenuhi dalam pengelolaan sampah ialah tidak mencemari udara, air atau tanah, tidak menimbulkan bau (estetis), dan tidak menimbulkan kebakaran dan lain sebagainya. Pencemaran lingkungan paling utama pada kota-kota di Indonesia adalah pencemaram oleh sampah domestic sehingga penanggulangannya harus mendapat prioritas utama. Dalam menyatakan jumlah sampah pada umumnya ditentukan oleh kebiasaan hidup masyarakat musim/

(19)

waktu, standart hidup, keragaman masyarakat, dan cara pengelolaan sampah. Sehingga dalam pengelolan sampah meliputi tiga hal, yaitu:

(1) Penyimpanan sampah (refuse storage ); (2) Pengangkutan sampah; dan

(3) Pemusnahan sampah.

Menurut Haeruman (1979), rencana pengelolaan sampah yang komprehensif harus memperhatikan sumber sampah, lokasi, pergerakan atau peredaran dan interaksi dari peredaran sampah dalam suatu lingkungan urban atau wilayah, sehingga didapat dua tujuan utama, yaitu:

(1) Pengelompokan sampah perlu dilakukan untuk mempermudah penghitungan dalam satuan yang konsisten;

(2) Pembinaan ukuran intensitas sampah.

Hadiwiyoto (1983) menyatakan, bahwa dalam pengumpulan sampah dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah:

(1) Menggunakan bakkotak tong sampah, bak skala kecil di rumah tangga ataupun skala besar di pinggir jalan;

(2) Menggunakan saluran peluncur (chlute) yang kemudian ditampung di terminal penampungan;

(3) Menggunakan mesin mekanis yang dilengkapi penampungan sampah;

(4) Menggunakan sistem udara (pneumatic) dengan peralatan penyerap sampah dan ditampung pada wadah-wadah;

(5) Menggunakan sistem air, dengan sampah terkumpul dalam penampungan yang merupakan terminal trasportasi sistem air; dan (6) Pengumpulan dengan cara manual seperti sapu lidi, penggaruk dan mengumpulkan sapuan jalan.

(20)

Menurut Soemirat (2000) ada beberapa metode pengangkutan sampah yaitu: (1) Dalam skala kecil diangkut secara manual dengan tenaga

manusia

(2) Untuk jarak pendek tetapi bervolume besar, pengangkutan dengan mesin mesin mekanis;

(3) Untuk wilayah yang mempunyai saluran air khusus sampah maka untuk sampah yang mengapung diangkut menggunakan tenaga aliran air

(4) Untuk sampah ringan dan kecil diangkut menggunakan tenaga alira udara (pneumatic);

(5) Untuk sampah dengan volume lebih besar, diangkut dengan otomotif/ kendaraan bermotor/ truk;

(6) Pengangkutan menggunakan kereta api

(7) Untuk jarak yang jauh, sampah dimasukan ke dalam petikemas selanjutnya diangkut dengan pesawat udara, dan (8) Pengangkutan dengan kapal laut, untuk negara-negara lain yang membutuhkan sampah.

2.3.1 Kebijakan Pengelolaan Sampah

Menurut Widyatmoko (2002), bahwa kebijakan pengelolaan sampah meliputi:

1) Penetapan instrumen kebijakan:

• Instrumen regulasi, penetapan aturan kebijakan (beleidregels) untuk melaksanakan kebijakan pengelolaan sampah;

• Instrumen ekonomik, penetapan instrumen ekonomi untuk mengurangi beban penanganan akhir sampah (sistem insentif dan disinsentif)

(2) Mendorong pengembangan konsep 4 R, yaitu: upaya mengurangi (Reduce)memakai kembali (Re-use), mendaur-ulang (Recycling) sampah, dan mengganti(Replace);

(21)

(4) Pengembangan teknologi, standart dan prosedur penanganan sampah: • Penetapan kriteria dan standart minimal penentuan lokasi

penanganan akhir sampah,

• Penetapan lokasi pengolahan akhir sampah,

• Luas minimal lahan untuk lokasi pengolahan akhir sampah, • Penetapan lahan penyangga (buffer

• zone), (e) Penetapan kriteria dan standar prasarana penanganan sementara sampah bagi pengembang kawasan pemukiman; (5) Pengembangan program pengelolaan sampah yang meliputi:

• Waste to energy, yaitu pemanfaatan sampah • organik sebagai sumber energi (biogas), • Pengembangan produk dan kemasan • ramah lingkungan,

• Pengembangan teknik dan metoda penanganan sampah yang ramah lingkungan (teknologi tepat guna).

2.3.2 Lingkup Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah meliputi kegiatan pengurangan, pemilahan pengumpulan pemanfaatan, pengangkutan dan pengolahan. Pengertian pengelolaan sampah dapat disimpulkan adanya dua aspek, yaitu penetapan kebijakan pengelolaan sampah, dan pelaksanaan pengelolaan sampah. Sampah yang harus dikelola meliputi sampah yang dihasilkan dari:

a. Rumah tangga;

b. Kegiatan komersial: pusat perdagangan, pasar, pertokoan, hotel restoran dan tempat hiburan

c. (3) Fasilitas sosial: rumah ibadah, asrama, rumah tahanan, rumah sakit, klinik, dan puskesmas;

d. Fasilitas umum: terminal bis pelabuhan laut, bandar udara, halte kendaraan umum, taman, jalan, dan trotoar

e. Industri;

(22)

g. Hasil pembersihan saluran terbuka umum, seperti sungai danau dan pantai (Reksosoebroto, 1990).

2.4 Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber, pengumpulan, pemindahan/pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA merupakan tempat dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik.

2.4.1 Metode Sanitary Landfill

Sanitary landfill adalah sistem penimbunan sampah secara sehat dimana sampah dibuang ditempat yang rendah atau parit yang digali untuk menampung sampah, lalu ditimbun dengan tanah yang dilakukan lapis demi lapis sedemikian rupa hingga sampah tidak berada dialam terbuka. Hal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya bau dan tempat bersarangnya binatang. Material yang baik untuk dijadikan lapisan penutup pada landfill adalah tanah yang agak berpasir atau lumpur yang mengandung batuan kecil. Sedangkan tanah yang mengandung lempung tinggi secara umum memiliki kualitas yang buruk jika digunakan sebagai material penutup.

Tchobanoglous, Theisen dan Vigil (1993) menuliskan beberapa prinsip dasar metode penimbunan sampah pada sanitary landfill yaitu :

a. Mengisi lembah atau cekungan.

Metode ini biasa digunakan pada daerah lembah seperti tebing, jurang, cekungan kering dan bekas galian dengan cara menimbun sampah mulai dari dasar pada daerah yang kosong. Metode ini dikenal dengan depression method. Landfilling sampah yang dilakukan pada

(23)

lahan yang tidak produktif ini bertujuan untuk mereklamasi lahan sehingga lahan tersebut menjadi baik kembali.

Gambar 2.2 Depression method

Sumber : Tchobanoglous, Theisen dan Vigil ( 1993 )

b. Mengupas lahan secara bertahap.

Metode ini dilakukan dengan cara pengupasan lahan hingga membentuk parit-parit, biasanya metode ini dilakukan pada area yang memiliki muka air tanah yang dalam. Selain itu perlu diperhatikan struktur batuan atau tanah keras serta peralatan pengupasan atau penggalian yang dimiliki. Metode ini dikenal dengan metode trench.

Gambar 2.3 Metode trench

(24)

c. Menimbun sampah di atas lahan.

Metode ini dilakukan dengan menghamparkan sampah memanjang pada permukaan tanah yang relatif datar, biasanya metode ini dilakukan pada area yang memiliki muka air tanah tinggi, sulit untuk mengupas site. Metode ini dikenal dengan metode area.

Gambar 2.4 Metode area

Sumber : Tchobanoglous, Theisen dan Vigil ( 1993 )

2.4.2 Desain dan Operasi Sanitary Landfill

Dalam perencanaan sanitary landfill dibutuhkan data mengenai jumlah timbulan sampah yang masuk kedalam landfill. Jumlah timbulan sampah ini akan mempengaruhi luas area yang dibutuhkan untuk pembuatan landfill.

Selain lahan untuk area penimbunan sampah (landfilling), diperlukan juga beberapa sarana penunjang seperti saluran drainase, sistem pengumpul lindi dan sistem pengumpul gas serta tanah penutup yang berfungsi mencegah hidupnya vektor penyakit (Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993).

2.4.3 Perhitungan Luas Lahan TPA

Kebutuhan lahan merupakan hal yang harus direncanakan dengan baik. Volume sampah yang terus meningkat membutuhkan lahan yang cukup juga

(25)

untuk menampung sampah tersebut. Kenutuhan lahan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

1. Sampah yang dihasilkan (ton/hari)

𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑥 𝑡𝑖𝑚𝑏𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎ℎ 1000 𝑘𝑔/𝑡𝑜𝑛

2. Volume yang dihasilkan/hari

𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑥 1000 𝑘𝑔/𝑡𝑜𝑛 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑚𝑝𝑎𝑘𝑠𝑖 𝑑𝑖 𝑙𝑎𝑛𝑑𝑓𝑖𝑙𝑙

3. Area yang dibutuhkan /tahun

𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑟 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑥 365 ℎ𝑎𝑟𝑖/𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑘𝑒𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑜𝑚𝑝𝑎𝑘𝑠𝑖

2.5 Pengertian Alat Berat

Alat berat merupakan faktor penting di dalam proyek-proyek konstruksi dalam skala besar. Tujan penggunaan alat berat tersebut untuk memudahkan manusia utnuk memudahkan pekerjaannya sehingga hasil yang diharapkan dapat tercapai dengan lebih mudah dalam waktu relatif lebih singkat. Pemilihan alat berat yang akan dipakai merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan suatu proyek. Alat berat yang dipilih haruslah tepat sehingga proyek/pekerjaan berjalan lancar.

2.5.1 Alat Gali (Excavator)

Excavator merupakan alat yang dibuat agar dapat berfungi sebgai penggali, pengangkat maupun pemuat tanpa harus berpindah tempat menggunkan tenaga power take off dari mesin yang dimiliki.

Secara anatomis bagian utama dari excavator adalah : a. Bagian atas (dapat berputar) disebut “ revolving unit”.

(26)

b. Bagian bawah (untuk gerak maju, mundul dan jalan) disebut “ travel unit”.

c. Attachment unit adalah perlengkapan yang diganti sesuai kebutuhan Bagian traveling unit dari Excavator dapat berupa crawler (rantai) atau wheel mounted (roda karet) yang digunakan untuk berjalan, khusus pada Excavator wheel mounted dimaksudkan agar memiliki kecepatan gerak atau berpindah dari satu tempat ketempat lain relative lebih cepat dibandingkan menggunakan crawler excavator , sehingga wheel excavator memiliki dua mesin penggerak, pertama sebagai mesin penggerak traveling unit kendaraannya (truck) dan lainnya merupakan mesin penggerak alat excavator seperti revolving unit maupun penggerak attachment unit dalam melakukan fungsinya sebagai alat penggali, pengangkat maupun pemuat. Dan bagian revolving unit merupakan bagian untuk berputar mendatar.

2.5.1.1 Waktu siklus Excavator

Gerakan yang diperlukan dalam pengoperasian excavator adalah : a. Gerakan menggali

b. Gerakan mengisi bucket (land bucket) b. Gerakan mengayun (swing loaded)

c. Gerakan membongkar beban/ muatan (dump bucket) d. Gerakan mengayun balik (swing empty)

e. Gerakan berpindah tempat f. Gerakan kembali ke posisi awal

Dari kesemua gerakan diatas merupakan lamaya waktu siklus, namun demikian kecepatan waktu siklus tergantung pada besar kecilnya ukuran bucket, kondisi kerja yang akan mempengaruhi kelincahan excavator, waktu penggalian dan waktu pengisian bucket. Sehingga waktu seilus excavator dapat dirumuskan sebagi berikut :

(27)

CT = waktu gali + waktu muat + (waktu putar x 2) + waktu buang + waktu gerak + waktu kembali

Tabel 2.3 Waktu siklus Backhoe beroda crawler ( menit)

Jenis Ukuran Alat

Material < 0,76 m3 0,94 - 1,72 m3 > 1,72 m3

Kerikil, pasir, tanah organik 0,24 0,30 0,40

Tanah, lempung lunak 0,30 0,375 0,50

Batuan, lempung keras 0,375 0,462 0,60

(Sumber : Construction Methods and management, 1998)

Tabel 2.4 Faktor koreksi untuk kedalaman dan sudut putar Kedalaman galian Sudut Putar (˚)

(% dari maks) 45 60 75 90 120 180

30 1,33 1,26 1,21 1,15 1,08 0,95

50 1,28 1,21 1,16 1,10 1,03 0,91

70 1,16 1,10 1,05 1,00 0,94 0,83

90 1,04 1,00 0,95 1,90 0,85 0,75

(Sumber : Construction Methods and management, 1998)

2.5.1.2 Produktivitas Excavator

Dalam menentukan durasi suatu pekerjaan maka hal-hal yang perlu diketahui adalah volume pekerjaan dan produktivitas alat tersebut. Produktivitas alat bergantung pada kapasitas dan waktu siklus alat. Rumus untuk mencari produktivitas alat adalah :

• Produktivitas (m3/jam) = V x 60

𝐶𝑇 x S x BFF x efisiensi Dimana :

V = kapasitas bucket CT = Waktu siklus

S = Kedalaman dan sudut putar BFF = Faktor koreksi

(28)

Tabel 2.5 Faktor koreksi BFF untuk Excavator

Material BFF

Tanah dan tanah organik 80 - 110

Pasir dan kerikil 90 - 100

lempung keras 65 - 95

lempung basah 50 - 90

Batuan dengan peledakan buruk 40 - 70 batuan dengan peledakan baik 70 - 90

(Sumber : Construction Methods and management, 1998)

Tabel 2.6 Faktor swing penggalian dan sudut putar

Kedalaman Sudut Putar (˚)

Optimum (%) 45 ˚ 60 ˚ 75 ˚ 90 ˚ 120 ˚ 150 ˚ 180 ˚ 40 0,93 0,89 0,85 0,80 0,72 0,65 0,59 60 1,10 1,03 0,96 0,91 0,81 0,73 0,66 80 1,22 1,12 1,04 0,98 0,86 0,77 0,69 100 1,26 1,16 1,07 1,00 0,88 0,79 0,71 120 1,20 1,11 1,03 0,97 0,86 0,77 0,70 140 1,12 1,04 0,97 0,91 0,81 0,73 0,66 160 1,03 0,96 0,90 0,85 0,75 0,67 0,62

(Sumber : Planning, Equipment, and Methods, 1996)

2.5.2 Alat Berat (Bulldozer)

Bulldozer ialah alat yang mesin penggerak utamanya adalah traktor. Sebutan bulldozer berasal dari traktor yng perlengkapan (attachment)-nya dozer atau pendorong yang disebut juga blade. Kemampuan bulldozer ini untuk mendorong tanah ke muka, disamping itu ada yang disebut dengan angle dozer yang dapat mendorong tanah atau material ke samping. Angle ini dapat membuat sudut 25º terhadap posisi lurus.

▪ Menurut track-shoe nya, bulldozer dapat dibedakan atas : a. Crawler tractor dozer (dengan roda kelabang).

(29)

b. Wheel traktor dozer (dengan roda ban). c. Swamp bulldozer (untuk daerah rawa).

▪ Sedangkan berdasarkan penggerak blade-nya, bulldozer dibedakan oleh :

a. Pengendalian dengan kabel. b. Pengendalian dengan hidrolik.

Bulldozer digunakan untuk mendorong tanah, seperti meratakan tanah dan mengupas permukaan humus tanah. Fungsi lai dari bulldozer adalah :

a. Membersihkan site dari kayu-kayuan, pokok/tonggak pohon dan batu-batuan

b. Membuka jalan kerja di pegunungan maupun daerah berbatuan. c. Memindahkan tanah yang jauhnya hingga 300 feet ( ± 90

meter).

d. Menarik Scrapper.

e. Menghampar tanah isian (fill). f. Menimbun kembali bekas galian. g. Membersihkan site atau medan kerja.

Posisi blade pada bulldozer ada 2(dua), yaitu posisi tegak lurus dan posisi miring. Posisi blade tegak lurus hanya dapat bergerak maju, dan posisi miring dapat bergerak-gerak sesuai dengan jarak kemiringannya (kedepan dan kesamping). Jenis blade yang digunakan pada bulldozer adalah :

1. Universal Blade ( U-Blade)

Blade ini dilengkapi dengan sayap yang bertujuan meningkatkan produktivi tas. Sayap ini akan membuat bulldozer mendorong/membawa muatan lebih banyak, karena memungkinkan kehilangan muatan lebih

(30)

kecil. Kebanyakan blade tipe ini dipakai untuk pekerjaan reklamasi tanah, peker jaan penyediaan bahan (stock pilling) dan lain-lain.

2. Straight Blade ( S –Blade).

Blade jenis ini sangat cocok untuk berbagai kondisi medan, blade ini merupakan modifikasi dari U-blade. Banyak digunakan untuk mendorong material cohesive, penggalian struktur dan penimbunan. Dengan memiringkan blade dapat berfungsi untuk menggali tanah keras. Manuver blade jenis ini lebih mudah dan dapat menangani material dengan mudah. 3. Angling Blade ( A –Blade).

Blade dengan posisi lurus dan menyudut, juga dibuat untuk : • Pembuangan kesamping (side casting).

• Pembukaan jalan (pioneering roads). • Penggalian saluran (cutting ditches).

• Sangat effektif untuk pekerjaan side hill cut atau back filling. • dan lain-lain pekerjaan yang sesuai.

4. Cushion Blade ( C –Blade).

Blade tipe ini dilengkapi dengan rubber cushion (bantalan karet) untuk meredam tumbukan. Selain untuk push dozing, blade juga dipakai untuk pemeliharaan jalan dan pekerjaan dozing yang lain. Lebar C-blade memungkinkan peningkatan manuver.

Selain perlengkapan standar Bulldozer ini juga memiliki beberapa option /Peralatan tambahan seperti : Pisau garuk, Garu batuan, Pembajak akar, Pemotong pohon jenis V, Kanopi pelindung operator, Roda pencacah, Kap pelindung untuk pekerjaan berat dsb.

(31)

5. Bowl-Dozer.

Blade ini dibuat untuk membawa /mendorong material dengan kehilangansesedikit mungkin, karena adanya dinding besi pada sisi blade yang cukup lebar. Bentuknya seperti mangkuk, menyebabkan ia disebut bowl-dozer.

6. Blade Untuk Material Ringan

Alat ini didesain untuk pekerjaan material non-kohesif yang lebih ringan. Contohnya seperti stock pile dari tanah lepas/gembur

2.5.2.1 Waktu Siklus Bulldozer

Waktu siklus yang dibutuhkan bulldozer untuk menyelesaikan pekerjaan adalah dimulai dari saat menggusur, ganti persneling dan mundur. Di perhitungkan dengan menggunakan rumus :

CT = = 𝐷

𝐹

x

𝐷 𝑅

+ Z

Dimana :

D : Jarak angkut (gusur) F : kecepatan maju (m/ menit) R : kecepatan mundur (m/ menit)

Z : waktu ganti persneling (menit), berkisar 0,10 – 0,20 menit 2.5.2.2 Produktivitas Bulldozer

Produktivitas dozer dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagi berikut : • Produktivitas = 𝑉 𝑥 60 𝐶𝑇 𝑥 𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 Dimana : V = kapasitas blade CT = waktu siklus

(32)

2.5.3 Biaya Pengoperasian Alat Berat

Biaya pengoperasian alat akan timbul setiap saat alat berat di pakai. Biaya pengoperasian meliputi biaya bahan bakar, gemuk, peumas, perawatan, dan perbaikan serta alat penggerak tau roda. Operator yang menggerakan alat termasuk dalam baiaya pengoperasian alat. Selain itu mobilisasi dan demobilisasi alat juga merupakan biaya pengoperasian alat. Mobilisasi adalah pengadaan alat ke proyek. Sedangakan demobilisasi adalah pengembalian alat dari peroyek setelah alat tersebut tidak digunakan lagi. Biaya pengoperasian alat berat meliputi

a. Bahan Bakar

Jumlah bahan bakar utuk alat berat yang menggunakan bensin atau solar berbeda-beda. Rata-rata lat yag menggunakan bahan bakar bensin 0,06 galon per horse-power per jam. Sedangkan alat yang menggunakan bahan bakar solar menkonsumsi bahan bakar 0,04 06 galon per horse-power per jam. Nilai yang di dapat kemudian dikalikan dengan faktor pengoperasian. Dan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Bensin : konsumsi BBM perjam = 0.06 x HP x eff Solar : konsumsi BBM perjam = 0.04 x eff b. Pelumas

Perhitungan penggunaan pelumas per jam (Qp) biasanya berdasarkan jumlah waktu operasi dan lamanya penggantian pelumas. Perkiraannya di hitung dengan rumus :

Qp =

𝑓 x ℎ𝑝 x 0.006

7.4

+

c 𝑡

c. Biaya kepemilikan alat

biaya kepemilikan pertahun dilakukan dengan du cara yaitu : dengan dan tanpa memperhitungkan bunga. Biaya kepemilikan pertahu yang memperhitungkan bunga di tentukan dengan rumus :

(33)

• A = P (A I P,i%,n)

Jika nilai sisa alat diperhitungkan, maka nilai S pun diubah menjadi nilai tahunan dan rumusnya adalah :

A = P

(

𝑖(1+𝑖)ˆ𝑛

(1+𝑖)ˆ𝑛−1

) – s(

𝑖

(1+𝑖)ˆ𝑛−1

)

Atau jika menggunakan simbol yang ada maka rumusnya adalah : A = P( A I P, i%, n) - S(A I F, i%,n )

Untuk menghitung biaya kepemilikan tahunan tanpa memperhitungkan bunga ditentukan oleh rumus :

A

=

𝑃 (𝑛+1)

2𝑛ˆ2

Jika nilai sisa diperhitungkan :

A =

(

𝑃(𝑛+1)+ 𝑆(𝑛−1)

Gambar

Gambar 2.1 Hubungan antara sampah dan nilainya
Tabel 2.1 Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen Sumber Sampah
Gambar 2.2 Ikhtisar Proses Daur Ulang  Sumber: Francheti, Mathew J, 2009
Gambar 2.2 Depression method
+4

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip kerja dari arus searah adalah membalik phasa tegangan dari gelombang yang mempunyai nilai positif dengan menggunakan komutator, dengan demikian arus

Prinsip kerja pipa kalor melingkar bisa dilihat pada gambar 2.9, dimana pipa kalor jenis ini mempunyai prinsip yang sama dengan pipa kalor konvensional, yaitu dengan

Sortirisasi merupakan pemisahan berbagai campuran partikel padatan yang mempunyai berbagai ukuran bahan dengan menggunakan ayakan. Pengayakan dengan berbagai rancangan

Pengujian kekerasan dengan metode Brinell yang terlihat pada gambar 2.15 bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material

Pengujian kekerasan dengan metode Brinell bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja (identor) yang ditekankan

Resistansi suatu material bergantung pada panjang, luas penampang lintang, tipe material dan temperature (Irzaman, et al., 2010). Konduktor adalah material yang mempunyai

terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa ang

Berat material yang dikemas dibandingkan dengan berat sebelum dikemas, dikenal sebagai packing coeficient yang harganya bervariasi untuk berbagai jenis bulk material dari