• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANAK DENGAN ORANG TUA TERHADAP KONSEP DIRI ANAK KELAS VI SD NEGERI SERAYU YOGYAKARTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANAK DENGAN ORANG TUA TERHADAP KONSEP DIRI ANAK KELAS VI SD NEGERI SERAYU YOGYAKARTA SKRIPSI"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANAK DENGAN ORANG TUA TERHADAP KONSEP DIRI ANAK KELAS VI

SD NEGERI SERAYU YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Deiby Astika NIM 12108241092

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata

bagi manusia.”

(Terjemahan Q. S. Al-‘Isra’: 53)

“. . . dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang berbekas pada jiwa mereka.”

(Terjemahan Q. S. An-Nisa’: 63)

“The most impotant thing in communication is to hear what isn’t being said.” (Peter Drucker)

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil’alamiin, segala puji hanya milik Allah SWT karena dengan izin-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Kupersembahkan skripsi ini kepada:

1. Bapak Junaidi Anwar dan Ibu Eny Kiswarin tercinta yang senantiasa mendidik, mendoakan, dan memberikan kasih sayang yang begitu besar selama ini.

2. Almamater tercinta, Universias Negeri Yogyakarta. 3. Nusa, Bangsa, dan Agama.

(7)

vii

PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANAK DENGAN ORANG TUA TERHADAP KONSEP DIRI ANAK KELAS VI

SD NEGERI SERAYU YOGYAKARTA Oleh

Deiby Astika NIM 12108241092

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat komunikasi interpersonal anak dengan orang tua, tingkat konsep diri anak, dan apakah terdapat pengaruh komunikasi interpersonal anak dengan orang tua terhadap konsep diri anak. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2016 di SD Negeri Serayu, Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta yang berjumlah 95 anak. Teknik pengumpulan data menggunakan skala dengan 4 alternatif jawaban. Uji validitas menggunakan judgement expert dan analisis butir instrumen, sedangkan uji reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha. Adapun teknik analisis data menggunakan analisis regresi linier sederhana.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan variabel komunikasi interpersonal anak dengan orang tua terhadap konsep diri anak. Komunikasi interpersonal anak dengan orangtua termasuk dalam kategori sedang sebesar 68,4% dan konsep diri anak juga berada dalam kategori sedang sebesar 63,2%. Hasil perhitungan koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,539. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal anak dengan orang tua memberikan pengaruh 53,9% terhadap konsep diri anak. Selanjutnya sebesar 46,1% dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Besarnya koefisien korelasi adalah 0,734 yang berarti korelasi variabel X dan Y tergolong kategori kuat.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL ANAK DENGAN ORANG TUA TERHADAP KONSEP DIRI ANAK KELAS VI SD NEGERI SERAYU YOGYAKARTA”. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan depada junjungan Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi tauladan bagi umatnya.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini mendapat bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tak langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Haryanto, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY yang telah memberikan izin penelitian.

2. Bapak Suparlan, M. Pd. I., selaku ketua jurusan Pendidikan Sekolah Dasar FIP UNY yang telah memberikan fasilitas hingga selesai skripsi ini.

3. Ibu Haryani, M. Pd., selaku dosen pembimbing yang senantiasa sabar meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membimbing dan memotivasi dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak H. Sujati, M. Pd., selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan nasehat selama masa kuliah di PGSD FIP UNY.

5. Seluruh dosen yang telah mengajar mata kuliah di PGSD FIP UNY yang telah memberikan ilmu selama masa perkuliahan.

6. Kepala sekolah, segenap guru, karyawan, dan siswa kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta yang telah banyak membantu dalam proses penyusunan skripsi.

7. Bapak, Ibu, kakak dan adik yang senantiasa memberikan doa dan dukungan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

(9)
(10)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Identifikasi Masalah ... 6 C. Batasan Masalah ... 6 D. Rumusan Masalah ... 7 E. Tujuan Penelitian ... 7 F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 10

B. Konsep Diri ... 34

C. Penelitian yang Relevan ... 49

D. Kerangka Berpikir ... 51

E. Hipotesis Penelitian ... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 53

(11)

xi

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 53

D. Variabel Penelitain ... 54

E. Devinisi Operasional Variabel ... 55

F. Populasi Penelitian ... 56

G. Teknik Pengumpulan Data ... 56

H. Instrumen Penelitian ... 56

I. Uji Coba Instrumen ... 61

J. Teknik Analisis Data ... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi dan Subjek Penelitian ... 66

B. Deskrips Hasli Penelitian ... 66

C. Uji Hipotesis ... 74

D. Pembahasan ... 76

E. Keterbatasan Penelitian ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(12)

xii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang

Tua ... 58

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Konsep Diri ... 59

Tabel 3. Pedoman Pemberian Skor ... 60

Tabel 4. Hasil Perhitungan Reliabilitas Instrumen Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 64

Tabel 5. Hasil Perhitungan Reliabilitas Instrumen Konsep Diri ... 64

Tabel 6. Statistik Deskriptif Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 66

Tabel 7. Penetuan Kategori ... 67

Tabel 8. Kategori Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 67

Tabel 9. Hasil Kategori dan Presentase Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 67

Tabel 10. Presentase setiap Aspek Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 68

Tabel 11. Presentase setiap Indikator Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 69

Tabel 12. Statistik Deskriptif Konsep Diri ... 70

Tabel 13. Kategori Konsep Diri ... 71

Tabel 14. Hasil Kategori dan Presentase Konsep Diri ... 71

Tabel 15. Presentase setiap Aspek Konsep Diri ... 72

Tabel 16. Presentase setiap Indikator Konsep Diri ... 73

Tabel 17. Hasil R Square ... 75

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Diagram Kategori Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang

Tua ... 58 Gambar 2. Diagram Kategori Konsep Diri ...72

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian Fakultas ... 90

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian Dinas Perizina Kota Yogyakarta ... 91

Lampiran 3. Surat Keterangan Telah Penelitian ... 92

Lampiran 4. Skala Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 93

Lampiran 5. Skala Konsep Diri ... 96

Lampiran 6. Kisi-kisi Skala Instrumen Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 99

Lampiran 7. Kisi-kisi Skala Konsep Diri ... 102

Lampiran 8. Hasil Uji Coba Instrumen Skala Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 105

Lampiran 9. Hasil Uji Coba Instrumen Skala Konsep Diri ... 106

Lampiran 10. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 107

Lampiran 11. Hasil Uji Validitas Instrumen Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 108

Lampiran 12. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Konsep Diri ... 110

Lampiran 13. Hasil Uji Validitas Instumen Konsep Diri ... 110

Lampiran 14. Hasil Penelitian Skala Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 112

Lampiran 15. Hasil Penelitian Skala Konsep Diri ... 115

Lampiran 16. Hasil Analisis Deskriptif Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 118

Lampiran 17. Hasil Analisis Deskriptif Konsep Diri ... 120

Lampiran 18. Kategorisasi Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 122

Lampiran 19. Kategorisasi Konsep Diri ... 122

Lampiran 20. Data Kategorisasi Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua ... 122

Lampiran 21. Analisis Regresi Linier Sederhana ... 126

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap anak adalah individu yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Anak mempunyai tubuh, perilaku, pikiran, dan perasaan masing-masing. Seiring berjalannya waktu, bagaimana pemahaman anak tentang dirinya berubah. Anak aktif dan terus menerus mengembangkan dan memperbarui pemahaman tentang diri. Pemahaman seseorang terhadap diri sendiri sering disebut dengan konsep diri. Anant Pai (dalam Djaali, 2008: 130) mendefinisikan konsep diri sebagai pandangan seseorang tentang diri sendiri yang menyangkut apa yang orang tersebut ketahui dan rasakan tentang perilakunya, isi pikiran dan perasaannya, serta bagaimana perilaku tersebut berpengaruh terhadap orang lain.

Seorang anak yang menerima keadaan diri sendiri dengan baik, berarti memiliki konsep diri yang positif. Anak tersebut akan lebih optimis, penuh percaya diri, dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, termasuk terhadap kegagalan yang dialami. Kegagalan bukan dipandang sebagai akhir dari segalanya, tetapi lebih menjadikannya sebagai pelajaran berharga untuk melangkah lagi ke depan.

Konsep diri anak mula-mula terbentuk dari perasaan apakah anak tersebut diterima dan diinginkan kehadirannya oleh keluarga. Keluarga mempunyai peran penting dalam pembentukan konsep diri anak karena keluarga merupakan lingkungan pertama anak dalam bersosialisasi. Cara keluarga,

(16)

2

khususnya orang tua, memperlakukan anak memiliki peran besar dalam terbentuknya konsep diri anak. Konsep diri kemudian akan berkembang melalui perlakuan yang berulang-ulang setelah menghadapi sikap-sikap tertentu dari keluarga dan orang lain di lingkungan kehidupan anak tersebut. Hubungan keluarga yang baik cenderung membuat konsep diri anak positif. Salah satu hal yang dapat membuat hubungan keluarga baik adalah adanya komunikasi interpersonal yang efektif. Apabila setiap anggota keluarga dapat mengkomunikasikan perasaan dan pikirannya dengan baik, maka akan timbul keterbukaan dan saling memahami antar anggota keluarga. Hal ini cenderung akan membuat konsep diri anak menjadi positif.

Komunikasi interpersonal yang efektif sangatlah penting, namun masih banyak keluarga yang belum berkomunikasi interpersonal dengan efektif. Sebuah laporan dari Children’s Society (dalam Kompas.com: 2015) menyatakan bahwa banyak anak yang kabur dari rumah. Sebagian besar dari anak yang kabur dari rumah berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Anak yang berusaha melarikan diri biasanya memiliki alasan hubungan yang kurang positif dengan orang tua dan tingkat konflik keluarga yang tinggi. Adanya konflik keluarga yang tinggi membuat anak menganggap bahwa keluarganya adalah keluarga yang tidak harmonis, bahkan menganggap orang tuanya adalah orang tua yang “buruk”. Hal ini akan menumbuhkan rasa frustasi dan sikap permusuhan anak terhadap orang lain.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) DIY, Dr Sari Murti, mengatakan hingga bulan September 2015, LPA menangani 70 buah kasus

(17)

3

kekerasan pada anak, dengan sebagian besar kasus kekerasan seksual. Hal yang mengkhawatirkan adalah ada anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan tersebut, rata-rata anak ini hanya mencontoh. Sultan mengatakan bahwa banyak para orang tua yang acuh pada kegiatan anak di luar rumah (Evani, 2015).

Hasil angket terbuka yang diisi anak kelas VA pada 17 Februari 2016 menunjukkan bahwa beberapa anak kelas VA cenderung tidak memberitahukan hasil ulangan yang buruk kepada orang tua. Beberapa anak bahkan berbohong tentang hasil ulangannya. Hal ini karena, beberapa anak kelas VA dimarahi oleh orang tua apabila mendapat hasil ulangan yang buruk. Morissan (2013: 152) mengatakan bahwa sifat manusia adalah tidak suka terlibat dalam konflik dan kekacauan yang akan menyusahkan dirinya. Tidak ada seorangpun yang suka terlibat dalam kesusahan. Orang tua yang memarahi anak membuat anak takut dan mendorong anak untuk cenderung berperilaku tidak sepenuhnya jujur dan bahkan berbohong.

Banyak orang tua yang walaupun tanpa sengaja namun telah menanamkan kepercayaan kepada anak bahwa anak baru diterima bila berhasil dan ditolak bila gagal. Mengabaikan atau hanya terkadang saja menerima anak membuat anak melihat diri anak sebagai gabungan rasa hormat dan ejekan, apalagi bila anak memiliki kekurangan baik segi fisik maupun psikis (Musbikin, 2009). Beberapa anak kelas VA apabila mempunyai kesulitan dalam mengerjakan PR, tidak menanyakannya kepada orang tua. Alasannya adalah karena ingin

(18)

4

berusaha mengerjakan sendiri. Alasan anak yang lain adalah karena orang tua sibuk mengurus rumah dan adiknya.

Beberapa anak kelas VA tidak menceritakan kegiatan yang dilakukan di sekolah kepada orang tua. Anak lebih memilih bercerita kepada teman, guru, atau anggota keluarga yang lain. Menurut anak, orang tua juga jarang menceritakan kegiatannya kepada anak. Kurangnya komunikasi interpersonal antara orang tua dengan anak membuat anak cenderung kurang terbuka kepada orang tua.

Seorang anak kelas VA mengaku memilih untuk tidak mengatakan hal yang diinginkan kepada orang tua karena mengetahui bahwa orang tua tidak bisa memenuhi permintaan tersebut. Seorang anak yang lain mengaku ketika orang tua tidak bisa memenuhi keinginan anak maka anak akan menangis atau marah.

Beberapa anak kelas VA mengakui bahwa dirinya pernah dicubit/dijewer oleh orang tua karena kelakuan anak yang nakal dan tidak menuruti kata-kata orang tua. Orang tua terkadang memanggil anak dengan sebutan “anak nakal” saat anak benar-benar membuat jengkel orang tua. Beberapa anak kelas VA mengakui bahwa dirinya adalah anak yang nakal. Pelabelan “anak nakal” dari orang tua, cenderung membuat anak menganggap bahwa seperti itulah kepribadiannya. Selanjutnya anak akan merasa wajar jika berbuat nakal, karena memang orang tua menyebut diri anak sebagai anak yang nakal. Kondisi di atas bukanlah masalah yang bisa dianggap sepele. Anak yang tidak menceritakan kegiatannya atau kesulitannya dalam pembelajaran

(19)

5

kepada orang tua menunjukkan kurangnya keterbukaan dan kepercayaan anak kepada orang tua. Pelabelan negatif terhadap anak cenderung mengakibatkan konsep diri anak menjadi rendah karena berpikiran sesuai dengan pelabelan negatif tersebut. Hal ini apabila dibiarkan berlarut-larut akan semakin menimbulkan masalah terhadap konsep diri anak di masa yang akan datang. Hubungan dengan anggota keluarga menjadi landasan sikap seseorang terhadap orang lain, benda, dan kehidupan secara umum. Hal ini juga membuat seorang anak belajar berfikir tentang diri mereka sendiri, sebagaimana dilakukan oleh anggota keluarga mereka. Dengan meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya dan orang dewasa diluar rumah, landasan awal ini bisa berubah dan mengalami modifikasi, namun tidak akan pernah hilang sama sekali.

Keberlangsungan hubungan anak dengan orang tua tergantung dari kemampuan dalam melakukan komunikasi secara efektif. Kedua belah pihak harus paham cara untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan, juga harus belajar untuk bersikap responsif sehingga orang merasa nyaman dan terbuka. Ada kecenderungan anak-anak di SD Negeri Serayu Yogyakarta komunikasi interpersonal dengan orang tua kurang efektif dan konsep dirinya rendah. Oleh karena itu peneliti ingin membuktikan apakah ada pengaruh komunikasi interpersonal anak dengan orang tua terhadap konsep diri anak kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta. Namun karena pengambilan data penelitian baru bisa dilakukan pada saat anak naik ke kelas VI maka lebih lanjut, penelitian ini berjudul “Pengaruh Komunikasi Interpersonal Anak

(20)

6

dengan Orang Tua terhadap Konsep Diri Anak Kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan. Adapun identifikasi masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Anak cenderung berperilaku tidak sepenuhnya jujur dan bahkan berbohong karena takut dimarahi oleh orang tua atas hasil ulangan yang buruk.

2. Anak tidak menanyakan hal yang dirasa sulit ketika mengerjakan PR karena orang tua sibuk mengurus rumah dan adik.

3. Anak tidak menceritakan kegiatan yang dilakukan di sekolah karena orang tua jufajarang menceritakan kegiatannya kepada anak.

4. Anak menangis dan marah ketika orang tua tidak memenuhi permintaannya.

5. Anak mengakui bahwa dirinya adalah anak yang nakal karena orang tua memanggilnya dengan panggilan “anak nakal”.

6. Belum diketahuiya tingkat pengaruh komunikasi interpersonal anak dengan orang tua terhadap konsep diri anak di SD Negeri Serayu Yogyakarta.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang sudah diuraikan diatas maka peneliti membuat pembatasan masalah agar ruang lingkup

(21)

7

penelitian tidak terlalu luas, lebih jelas, dan terarah. Pembatasan masalah tersebut adalah penelitian ini fokus untuk membahas pengaruh komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh anak dengan orang tua terhadap konsep diri anak.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimana tingkat komunikasi interpersonal anak dengan orang tua pada anak kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta?

2. Bagaimana tingkat konsep diri pada anak kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta?

3. Apakah terdapat pengaruh komunikasi interpersonal anak dengan orang tua terhadap konsep diri anak kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta? E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui tingkat komunikasi interpersonal anak dengan orang tua pada anak kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta.

2. Mengetahui tingkat konsep diri pada anak kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta.

3. Mengetahui apakah terdapat pengaruh komunikasi interpersonal anak dengan orang tua terhadap konsep diri anak kelas VI SD Negeri Serayu Yogyakarta.

(22)

8 F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini disusun dengan harapan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.

1. Secara Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan baik bagi pembaca maupun peneliti khususnya dalam hal pengetahuan tentang komunikasi interpersonal dan konsep diri.

b. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang relevan dengan penelitian ini.

2. Secara Praktis a. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam peningkatan kualitas guru dan orang tua dengan mengadakan pelatihan-pelatihan tentang konsep diri dan komunikasi interpersonal.

b. Bagi Guru

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman guru tentang konsep diri yang berpengaruh kepada perilaku anak dan dapat memberikan masukan dalam penyempurnaan praktik komunikasi interpersonal guru di kelas.

c. Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi orang tua untuk lebih memahami peran konsep diri pada anak,

(23)

9

menumbuhkan konsep diri yang positif, dan menjaga komunikasi yang efektif dengan anak.

d. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan peneliti tentang pengaruh komunikasi interpersonal anak dengan orang tua terhadap perkembangan konsep diri sebagai bekal untuk membina anak saat peneliti menjadi guru atau orangtua di masa yang akan datang.

(24)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua

1. Pengertian Komunikasi

Komunikasi manusia menurut Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart (2013: 19) adalah proses melalui mana individu dalam hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat membuat dan menggunakan informasi untuk berhubungan satu sama lain dan dengan lingkungan. Menurut Agus M. Hardjana (2003: 11) dari sudut pandang pertukaran makna, komunikasi dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui media tertentu. D.W. Johnson (dalam Supratiknya, 1995: 30) mendefinisikan komunikasi secara luas sebagai setiap bentuk tingkah laku seseorang baik secara verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain, sedangkan definisi komunikasi secara sempit adalah pesan yang dikirimkan seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan maksud sadar untuk mempengaruhi tingkah laku penerima pesan. Sedangkan menurut Joseph A. DeVito (2011: 24) komunikasi mengacu pada suatu tindakan, oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan, terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.

Dari pemahaman pengertian menurut para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan oleh

(25)

11

seseorang kepada orang lain yang mempunyai pengaruh tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.

2. Prinsip Komunikasi

Menurut Joseph A. DeVito (2011: 40-51), terdapat 8 prinsip komunikasi yaitu sebagai berikut.

a. Komunikasi adalah Paket Isyarat

Perilaku komunikasi baik pesan verbal, isyarat tubuh, atau kombinasi dari keduanya biasanya terjadi dalam “paket” (Pittenger, Hocket, & Danehy dalam DeVito, 2011: 40). Perilaku verbal maupun nonverbal saling memperkuat dan mendukung untuk mengkomunikasikan makna tertentu.

b. Komunikasi adalah Proses Penyesuaian

Komunikasi hanya dapat terjadi apabila para komunikator menggunakan sistem isyarat yang sama (Pittenger, dkk dalam DeVito, 2011: 41). Prinsip ini menjadi sangat relevan karena tidak ada dua orang yang menggunakan sistem syarat yang persis sama.

c. Komunikasi Mencakup Dimensi Isi dan Hubungan

Banyak masalah di antara manusia disebabkan oleh ketidakmampuan manusia mengenali perbedaan dimensi isi dan hubungan dalam komunikasi. Dimensi isi yang dimaksud disini menunjukkan isi pesan yang disampaikan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan hubungan antara komunikan dan bagaimana komunikasi dilakukan.

(26)

12

d. Komunikasi Melibatkan Transaksi Simetris dan Komplementer

Dalam hubungan simetris, dua orang saling bercermin pada perilaku lainnya, misalnya dalam hubungan dua orang yang bersaing. Dalam hubungan komplementer, dua orang mempunyai perilaku yang berbeda, misalnya dalam hubungan seorang atasan dan bawahan.

e. Rangkaian Komunikasi Dipungtuasi

Peristiwa komunikasi merupakan transaksi yang kontinu, tidak ada awal dan akhir yang jelas. Setiap kejadian bisa menjadi sebab, dan setiap kejadian bisa pula menjadi akibat. Yang dianggap seseorang sebagai “sebab” bisa dianggap orang lain sebagai “akibat”, tergantung pada persepsi orang tersebut.

f. Komunikasi adalah Proses Transaksional

Komunikasi adalah transaksi. Transaksi yang dimaksud adalah bahwa komunikasi merupakan suatu proses, komponen-komponennya saling terkait, dan para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan (Barnlund; Watzlawick; Watzlawick, dkk; Wilmot dalam DeVito, 2011: 47 )

g. Komunikasi Tidak Terhindarkan

Seseorang tidak bisa tidak berkomunikasi (Watzlawick dkk., dalam DeVito, 2011: 50). Komunikasi terjadi meskipun seseorang tidak merasa atau tidak ingin berkomunikasi. Tidak berarti semua perilaku merupakan komunikasi, misalnya seorang siswa melihat keluar jendela dan guru tidak melihatnya, maka komunikasi tidak terjadi.

(27)

13 h. Komunikasi Tidak Reversibel

Sekali seseorang telah mengkomunikasikan suatu pesan, pesan tersebut tidak dapat dibalikkan. Seseorang tidak bisa menghilangkan dampak dari pesan yang terlanjur diterima orang lain namun hanya bisa mengurangi. Seseorang perlu berhati-hati untuk mengucapkan sesuatu agar tidak menyesal dengan dampaknya kelak.

Menurut Deddy Mulyana (2014: 91-130) prinsip komunikasi diantaranya adalah.

a. Komunikasi adalah proses simbolik

Menurut Susanne K. Langer (dalam Deddy Mulyana, 2009: 92) salah satu kebutuhan pokok seseorang adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. simbol atau lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.

b. Setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi

Seseorang tidak bisa tidak berkomunikasi. Hal ini tidak berarti bahwa semua perilaku adalah komunikasi. Komunikasi terjadi bila seseorang memberi makna pada perilaku orang lain atau perilaku diri sendiri. c. Komunikasi punya dimensi isi dan hubungan

Dimensi isi disandi secara verbal, sementara dimensi hubungan disandi secara nonverbal. Dimensi isi menunjukkan muatan (isi) komunikasi, yaitu apa yang dikatakan. Dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakannya, mengisyaratkan bagaimana hubungan

(28)

14

para peserta komunikasi itu, dan bagaimana seharusnya pesan tersebut ditafsirkan.

d. Komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan

Kesengajaan bukanlah syarat untuk terjadinya komunikasi. Ketika seseorang sama sekali tidak bermaksud menyampaikan pesan kepada orang lain, perilaku tersebut berpotensial untuk diterjemahkan orang lain. seseorang tidak bisa mengendalikan orang lain untuk menafsirkan atau tidak menafsirkan suatu perilaku.

e. Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu

Makna suatu pesan bergantung pada konteks fisik, ruang, waktu, sosial, dan psikologis. Misalnya memakai pakaian merah menyala wajar dikenakan dalam suatu pesta, namun kurang beradab bila dikenakan dalam acara pemakaman.

f. Komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi

Ketika seseorang berkomunikasi, orang tersebut meramalkan efek perilaku komunikasi yang berdampak pada orang lain. Prediksi ini tidak selalu disadari, dan sering berlangsung dengan cepat.

g. Komunikasi bersifat sistemik

Dalam komunikasi, setidaknya dua sistem dasar beroperasi yaitu sistem internal dan eksternal. Sistem internal adalah seluruh sistem nilai yang dibawa oleh seseorang ketika berpartisipasi dalam komunikasi. Sistem eksternal terdiri dari unsur-unsur dalam lingkungan di luar

(29)

15

individu, misalnya kegaduhan di sekitarnya, penataan ruang, cahaya, dan lain sebagainya.

h. Semakin mirip latar belakang sosial-budaya semakin efektiflah komunikasi

Dalam kenyataannya tidak ada manusia yang sama persis, meskipun kembar. Namun adanya kesamaan dalam hal-hal tertentu, misalnya pendidikan, bahasa, atau tingkat ekonomi akan mendorong orang untuk saling tertarik dan lama kelamaan komunikasi akan berjalan dengan lebih efektif.

i. Komunikasi bersifat nonsekuensial

Komunikasi manusia bentuk dasarnya adalah bersifat dua-arah. Meskipun terdapat banyak model komunikasi satu-arah. Ketika seorang manager berbicara kepada para pegawainya, sebenarnya para pegawai tersebut menyampaikan pesan melalui perilaku nonverbal seperti anggukan.

j. Komunikasi bersifat prosesual, dinamis, dan traksaksional

Komunikasi tidak mempunyai awal dan tidak mempunyai akhir, melainkan merupakan proses yang sinambung. Kejadian sederhana, seperti “Tolong ambilkan garam” melibatkan rangkaian kejadian yang lebih rumit bila pendengar memenuhi permintaan tersebut. Pandangan dinamis dan transaksional memberi penekanan bahwa seseorang mengalami perubahan sebagai hasil terjadinya komunikasi.

(30)

16 k. Komunikasi bersifat irreversible

Dalam komunikasi, sekali seseorang mengirimkan pesan, orang tersebut tidak dapat mengendalikan pengaruh pesan tersebut bagi orang lain, apa;agi menghilangkan efek pesan tersebut sama sekali. Sifat irreversible menyadarkan bahwa seseorang harus berhati0hati utnuk menyampaikan pesan kepada orang lain karena efeknya tidak bisa dihilangkan sama sekali meskipun sudah berusaha meralatnya.

l. Komunikasi bukan obat mujarab untuk menyelesaikan berbagai masalah Banyak persoalan yang disebabkan oleh komunikasi. Namun komunikasi bukanlah obat mujarab untuk menyelesaikan persoalan tersebut karena mungkin persoalan tersebut berkaitan dengan masalah struktural.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa prinsip komunikasi interpersonal diantaranya adalah komunikasi adalah proses simbolik, paket isyarat, proses penyesuaian, dan rangkaian dispungtuasi; setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi; komunikasi punya domensi isi dan hubungan; komunikasi berlangsung dalam berbagai tingkat kesengajaan; komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan waktu; komunikasi melibatkan prediksi peserta komunikasi; semakin mirip latar belakang sosial-budaya semakin efektiflah komunikasi; komunikasi bukan obat mujarab utuk menyelesaikan berbagai masalah; komunikasi bersifat sistemik, nonsekuensial, prosesual, dinamis, traksaksional, dan irreversible.

(31)

17 3. Tujuan Komunikasi

Dalam setiap komunikasi mempunyai tujuan, yang tidak perlu dikemukakan secara sadar. Joseph A. DeVito (2011: 30-33) mengungkapkan bahwa tujuan komunikasi adalah menemukan, berhubungan, meyakinkan, dan bermain. Tujuan komunikasi bukan hanya seperti yang telah disebutkan, masih banyak tujuan komunikasi yang lain. Keempat tujuan tersebut tampaknya merupakan tujuan-tujuan utama.

Pertama, menemukan menyangkut dengan penemuan diri. Seseorang yang berkomunikasi dengan orang lain akan belajar mengenai diri sendiri dan juga orang lain. Dengan berbicara mengenai diri sendiri dengan orang lain, seseorang akan memperoleh umpan balik yang berharga mengenai perasaan, pemikiran, dan perilaku orang tersebut. Umpan balik yang positif akan membantu seseorang merasa bahwa dirinya “normal”. Thibaut dan Kelley (dalam DeVito, 2011: 31) mengatakan bahwa penemuan diri juga bisa dilakukan melalui proses perbandingan sosial. Seseorang akan membandingkan kemampuan, prestasi, sikap, pendapat, nilai, dan kegagalan dengan orang lain. Dengan membandingkan diri sendiri dan orang lain maka seseorang dapat mengevaluasi dirinya.

Kedua, berhubungan menyangkut dengan membina dan memelihara hubungan dengan orang lain. Seseorang ingin dicintai dan disukai, kemudian juga ingin mencintai dan menyukai orang lain. seseorang menghabiskan banyak waktu untuk berkomunikasi untuk bisa membina dan memelihara hubungan sosial.

(32)

18

Ketiga, menyakinkan menyangkut dengan mengubah sikap dan perilaku seseorang. Seseorang dengan berkomunikasi bisa mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu, meyakini bahwa sesuatu itu benar atau salah, menyetujui atau mengecam suatu gagasan, dan lain sebagainya. Setiap orang bisa menjadi pengubah ataupun yang diubah sikap dan perilakunya. Keempat, bermain menyangkut dengan menghibur diri. Ketika seseorang mendengarkan pelawak, musik, atau pembicaraan, sebagian besar adalah untuk menghibur diri. Demikian pula, banyak dari perilaku komunikasi seseorang dirancang untuk menghibur orang lain dengan menceritakan lelucon, mengutarakan sesuatu yang baru, atau mengaitkan cerita yang menarik.

4. Pengertian Komunikasi Interpersonal

Trenholm dan Jensen mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi antara dua orang yang berlangsung secara tatap muka (komunikasi diadik), sedangkan Littlejohn mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi antara individu-individu (dalam Suranto Aw, 2011: 3). Menurut Kathleen S. Verderber et al (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011: 14) komunikasi antarpribadi atau interpersonal merupakan proses melalui mana orang menciptakan dan mengelola hubungan, melaksanakan tanggung jawab secara timbal balik dalam menciptakan makna. Menurut Agus M. Hardjana (2003: 85) komunikasi interpersonal didefinisikan sebagai interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang,

(33)

19

dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula.

Komunikasi interpersonal (dalam DeVito, 2011) didefinisikan melalui tiga pendekatan utama.

a. Pendekatan Komponen

Komunikasi Interpersonal adalah penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik dengan segera.

b. Pendekatan Hubungan Diadik

Komunikasi Interpersonal adalah komunikasi yang berlangsung diantara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. c. Pendekatan Pengembangan

Komunikasi Interpersonal adalah komunikasi yang merupakan akhir dari perkembangan komunikasi yang bersifat tak-pribadi pada suatu ekstrem menjadi komunikasi pribadi atau intim pada ekstrem yang lain. Dari pendapat beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi dimana penyampaian pesan oleh seseorang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang terjadi secara langsung dengan peluang untuk memberikan umpan balik dengan segera. Sedangkan komunikasi interpersonal anak dengan orang tua adalah komunikasi dimana penyampaian pesan oleh anak dan

(34)

20

penerimaan pesan oleh orang tua yang terjadi secara langsung dengan peluang pemberian umpan balik oleh orang tua dengan segera.

5. Tujuan Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu. Tujuan komunikasi interpersonal bermacam-macam (Suranto Aw, 2011: 19-21), diantaranya sebagai berikut.

a. Mengungkapkan perhatian kepada orang lain

Pada prinsipnya komunikasi interpersonal dimaksudkan untuk menunjukkan adanya perhatian kepada orang lain dan menghindarkan kesan tertutup dan dingin.

b. Menemukan diri sendiri

Seseorang tidak mudah melihat kesalahan dan kekurangan pada diri sendiri, namun mudah menemukan pada orang lain. Seseorang yang terlibat komunikasi interpersonal dengan orang lain, maka terjadi proses yang banyak sekali tentang diri sendiri maupun orang lain. Seseorang memperoleh informasi berharga untuk menemukan diri sendiri dengan membicarakan apa yang disukai, apa yang dibenci keadaan diri, minat, dan harapan.

c. Menemukan dunia luar

Komunikasi interpersonal yang dilakukan seseorang membuat orang tersebut memperoleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi dengan orang lain. Informasi tersebut penting untuk menemukan dunia luar.

(35)

21

d. Membangun dan memelihara hubungan yang harmonis

Setiap orang banyak menggunakan waktu untuk membangun dan memelihara hubungan sosial dengan orang lain. Semakin banyak teman yang bisa diajak bekerja sama, semakin lancar suatu pekerjaan atau kegiatan sehari-hari. Semakin banyak musuh, semakin terhambat suatu pekerjaan atau kegiatan sehari-hari.

e. Mempengaruhi sikap dan tingkah laku

Dalam prinsip komunikasi, ketika seseorang menerima pesan berarti orang tersebut telah mendapat pengaruh dari proses komunikasi. Komunikasi dapat mempengaruhi sikap, tingkah laku, maupun pemikiran seseorang.

f. Mencari kesenangan atau sekedar menghabiskan waktu

Adakalanya seseorang melakukan komunikasi interpersonal untuk mencari kesenangan atau sekedar menghabiskan waktu. Di samping mendatangkan kesenangan, komunikasi tersebut juga dapat memberikan keseimbangan yang penting dalam pikiran yang memerlukan suasana rileks, ringan, dan menghibur dari keseriusan kehidupan sehari-hari. g. Menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi

Komunikasi interpersonal dapat menghilangkan salah komunikasi dan salah interprestasi. Komunikasi interpersonal dilakukan dengan pendekatan secara langsung sehingga dapat menjelaskan berbagai pesan yang rawan menimbulkan kesalahan.

(36)

22 h. Memberikan bantuan (konseling)

Komunikasi interpersonal dapat memberikan bantuan kepada seseorang dengan kedekatan hubungan diantara komunikan. Bantuan salah satunya bisa berupa nasehat seperti dari seorang guru BK kepada siswanya.

Joseph A. DeVito (1992: 13-14) mengatakan bahwa terdapat beberapa tujuan dari komunikasi interpersonal, diantaranya sebagai berikut.

a. Belajar

Komunikasi interpersonal membuat seseorang lebih memahami dunia diluar dirinya—seperti benda-benda, kegiatan-kegiatan, dan orang lain. Hal yang paling penting adalah komunikasi interpersonal memberikan peluang untuk belajar tentang diri sendiri.

b. Berhubungan

Salah satu kebutuhan terbesar seseorang adalah untuk membangun dan mempertahankan hubungan dekat dengan orang lain. Hal ini dapat membantu untuk meringankan kesepian dan depresi; memungkinkan seseorang untuk berbagi dan meningkatkan kesenangan/kepuasan; dan secara umum membuat seseorang merasa lebih positif terhadap diri sendiri.

c. Mempengaruhi

Seseorang sering mencoba untuk mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain dalam komunikasi interpersonal. Seseorang juga banyak

(37)

23

menghabiskan waktu dalam hidupnya untuk berada dalam situasi interpersonal.

d. Bermain

Bermain termasuk dalam semua kegiatan yang kesenangan adalah tujuan utama atau eksklusif. Tujuan ini merupakan salah satu tujuan yang paling penting.

e. Membantu

Komunikasi interpersonal mempunyai tujuan untuk melayani kebutuhna orang lain, untuk menghibur. Keberhasilan melaksanakan tujuan ini, baik untuk seseorang yang profesional maupun tidak, bergantung pada pengetahuan dan keterampilan dalam berkomunikasi interpersonal.

Tujuan menurut Suranto A.W. hampir sama dengan Joseph A. DeVito sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari komunikasi interpersonal adalah untuk untuk menungkapkan perhatian kepada orang lain, menemukan diri sendiri, menemukan dunia luar, membangun dan memelihara hubungan yang harmonis, mempengaruhi sikap dan tingkah laku, mencari kesenangan, menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi, dan memberikan bantuan.

6. Komunikasi Interpersonal yang Efektif

Menurut Joseph A. DeVito (2011: 285) komunikasi interpersonal bisa sangat efektif dan bisa sangat tidak efektif. Komunikasi interpersonal dinyatakan efektif menurut Jalaluddin Rakhmat (2007: 118) apabila

(38)

24

pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan sedangkan menurut A. Supratiknya (1995: 34) terjadi apabila penerima menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana dimaksudkan oleh pengirim pesan.

D.W. Johnson (dalam Suprayitna, 1995: 35) mengatakan terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mengirimkan pesan secara efektif yaitu sebagai berikut.

a. Pengirim pesan harus mengusahakan agar pesan-pesan yang dikirimkan mudah dipahami oleh penerima pesan.

b. Pengirim pesan harus mempunyai kredibilitas atau kepercayaan di mata penerima pesan.

c. Pengirim pesan harus berusaha untuk mendapatkan umpan balik secara optimal tentang pengaruh pesan tersebut dalam diri penerima pesan. Komunikasi dikatakan efektif menurut Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (dalam Jalaluddin Rakhmat, 2007: 13) paling tidak menimbulkan lima hal, yaitu sebagai berikut.

a. Pengertian

Pengertian artinya penerimaan yang cermat terhadap isi pesan seperti yang dimaksud oleh komunikator. Kegagalan menerima isi pesan bisa menimbulkan pertengkaran dan membuat hubungan menjadi renggang. b. Kesenangan

Tidak semua komunikasi ditujukan untk menyampaikan informasi dan membentuk pengertian. Komunikasi yang menimbulkan

(39)

25

kesenangan, misalnya sapaan, menjadikan hubungan lebih hangat, akrab, dan menyenangkan.

c. Pengaruh pada Sikap

Seseorang paling sering melakukan komunikasi untuk mempengaruhi orang lain, misalnya seorang guru ingin mengajak siswa untuk lebih mencintai lingkungan, pemasang iklan ingin merangsang seleera konsumen, dan lain sebagainya.

d. Hubungan yang Semakin Baik

Komunikasi ditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia butuh untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang lain baik dalam hal interaksi dan asosiasi; pengandalian dan kekuasaan’ dan cinta serta kasih sayang. e. Tindakan

Persuasi ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dikehendaki. Komunikasi untuk menimbulkan pengertian memang sukar namun lebih sukar lagi komunikasi untuk mendorong seseorang bertindak. Akan tetapi efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan oleh komunikate.

Komunikasi interpersonal yang efektif menurut Joseph A. DeVito (2011: 285-298) yang dilihat dari tiga sudut pandang sebagai berikut.

a. Sudut Pandang Humanistis

Pendekatan humanistis menekankan pada kualitas-kualitas yang menciptakan interaksi yang bermakna, jujur, dan memuaskan (Bochner

(40)

26

& Kelly, 1974 dalam Joseph A. DeVito 2011: 285). Pendekatan ini dimulai dengan kualitas-kualitas umum yang menurut para filsuf dan humanis menentukan terciptanya hubungan antarmanusia yang superior. Berdasarkan kualitas-kualitas umum ini, diturunkan perilaku-perilaku spesifik yang menandai komunikasi interpersonal yang efektif.

1) Keterbukaan

Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajak berinteraksi. Kedua, kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Ketiga, mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang dilontarkan adalah memang “milik” komunikator dan komunikator bertanggung jawab atas hal tersebut.

Menurut Praktiko (dalam Dasrun Hidayat, 2012: 140) keterbukaan merupakan hal yang terpenting untuk menciptakan saling pengertian diatara anak dan orang tua. Tingkat keterbukaan dalam sebuah proses komunikasi tergantung dari seberapa dekat orang tua terhadap anak sehingga anak merasa aman dalam mengungkapkan diri.

2) Empati

Henry Backrack (dalam DeVito, 2011: 286) mendefinisikan empati sebagai kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu dari sudut pandang orang lain tersebut. Seseorang dengan berempati maka dapat menyesuaikan

(41)

27

apa yang akan dikatakan atau bagaimana mengatakan agar diterima dengan baik oleh orang lain. Empati dapat dikomunikasikan baik secara verbal maupun nonverbal. Seseorang dapat mengkomunikasikan empati secara nonverbal dengan cara memperlihatkan keterlibatan aktif dengan orang melalui ekspresi wajah dan gerak-gerik yang sesuai, konsentrasi terpusat meliputi kontak mata dan kedekatan fisik, sentuhan atau belaian yang sepantasnya.

3) Sikap Mendukung

Seseorang bisa mengkomunikasikan sikap mendukung dengan bersikap deskriptif, spontanitas, dan provisionalisme.

a) Deskriptif

Suasana yang bersifat deskriptif dan bukan evaluatif membantu terciptanya suasana mendukung. Seseorang yang mempersepsikan suatu komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau uraian mengenai suatu kejadian tertentu membuat orang lain umumnya tidak merasakan adanya ancaman dan tidak perlu membela diri. b) Spontanitas

Seseorang yang spontan dalam berkomunikasi serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya biasanya akan diberikan umpan balik dengan cara yang sama, terus terang dan terbuka.

(42)

28 c) Provisionalisme

Seseorang yang bersikap tentatif dan berpikiran terbuka, bersedia mendengarkan pandangan yang berbeda dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan, akan mendorong orang lain untuk bersikap mendukung.

4) Sikap Positif

Seseorang bisa mengkomunikasikan sikap positif, setidaknya dengan dua cara, yaitu menyatakan sikap positif dan secara positif mendorong orang lain untuk berinteraksi.

5) Kesetaraan

Komunikasi interpersonal akan lebih efektif apabila suasananya setara. Setara dapat diwujudkan dengan pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.

b. Sudut Pandang Pragmatis

Pendekatan ini berawal dari keterampilan spesifik yang dari riset diketahui efektif dalam komunikasi interpersonal, kemudia keterampilan-keterampilan ini dikelompokkan ke dalam kelas-kelas perilaku umum (Ruben, 1988; Spitzberg & Cupach, 1984, 1989; Spitzberg & Hecht, 1984; Wiemann, 1977; Wiemann& Backlund, 1980 dalam Joseph A. DeVito, 2011: 285)

(43)

29 1) Kepercayaan Diri

Komunikator yang secara sosial memiliki kepercayaan diri bersikap santai, tidak kaku, fleksibel dalam suara dan gerak tubuh. Sosok yang santai, menurut riset, mengkomunikasikan sikap terkendal, status, dan kekuatan.

2) Kebersatuan

Kebersatuan mengacu pada penggabungan antara pembicara dan pendengar—terciptanya rasa kebersamaan dan kesatuan. Komunikator yang memperlihatkan kebersatuan mengisyaratkan minat dan perhatian. Kebersatuan bisa dikomunikasikan dengan memelihara kontak mata yang patut; sosok tubuh yang langsung dan terbuka; menyebut nama lawan bicara; memberikan umpan balik; dan lain sebagainya.

3) Manajemen interaksi

Dalam manajemen interaksi yang efektif, tidak seorang pun merasa diabaikan atau merasa menjadi tokoh yang penting. Komunikator mengendalikan interaksi untuk kepuasan kedua pihak. Manajemen interaksi dapat dikomunikasikan dengan menyampaikan pesan verbal dan nonverbal yang saling bersesuaian dan saling memperkuat.

4) Daya Ekspresi

Daya ekspresi sama dengan keterbukaan dalam hal penekanannya pada keterlibatan. Kualitas ini juga mencakup pemikulan tanggung

(44)

30

jawab untuk berbicara dan mendengarkan, dalam hal ini sama dengan kesetaraan. Daya ekspresi dapat dikomunikasikan dengan menggunakan variasi dalam gerak tubuh, kecepatan, nada, volume, dan ritme suara.

5) Orientasi kepada Orang Lain

Orientasi kepada orang lain mengacu kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lawan bicara selama perjumpaan interpersonal. Orientasi ini mencakup pengkomunikasian peratian dan minat terhadap apa yang dikatan lawan bicara. Komunikator yang berorientasi kepada lawan bicara melihat situasi dan interaksi dari sudur pandang lawan bicara dan menghargai perbedaan pandangan dari lawan bicara ini.

c. Sudut Pandang Pergaulan Sosial

Pendekatan ini didasarkan pada model ekonomi imbalan dan biaya. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa suatu hubungan merupakan kemitraan dimana imbalan dan biaya saling dipertukarkan (Hatfield & Traupman, 1981; Kelley dan Thibaut, 1978; Thibatut & Kelley, 1986; Walster et al., 1978 dalam Joseph A. DeVito, 2011: 285). Joseph A DeVito (2011: 197) mengatakan bahwa teori pergaulan sosial lebih menjelaskan kecenderungan seseorang untuk mencari keuntungan atau manfaat dengan mengeluarkan biaya sesedikit mungkin.

(45)

31 a. Bertukar Manfaat

Dalam setiap hubungan selalu ada biaya, seperti masalah keuangan, ketegangan pekerjaan, atau konflik antarpribadi. Biaya ini dapat diimbangi dengna mempertukarkan manfaat atau kesenangan, misalnya perilaku yang saling mengasihi (Lerderer, 1984 dalam Joseph A. DeVito, 2011: 298). Perilaku mengasihi adalah dukungan-dukungan kecil yang diterima dengan senang hati dari orang lain.

b. Menanggung Beban Biaya Milik Diri Sendiri

Seseorang merasa tidak puas bila harus menanggung bagian biaya secara tidak adil. Hal ini seperti teori kesetaraan (ekuitas) yang mengatakan bahwa seseorang tidak saja berusaha membina hubungan yang manfaatnya melampaui biaya, melainkan juga bahwa seseorang puas dengan suatu hubungan bila ada kesetaraan dalam distribusi imbalan dan biaya yang dikeluarkan masing-masing pihak.

c. Menginfestasikan Pertukaran Manfaat pada saat Biaya Meningkat

Bila suatu hubungan mengalami masalah, banyak orang bereaksi secara pasif dengan mananti situasi berubah dengan sendirinya atau membiarkan hubungan menjadi lebih buruk. Pengertian yang empatik, perhatian ekstra, dan saling membelai dan menyentuh sering kali dapat digunakan untuk menanggulangi meningkatnya biaya hubungan.

d. Memperbesar Manfaat untuk Mengurangi Daya Tarik Alternatif

Bila biaya melampaui manfaatnya, daya tarik alternatif meningkat. Jika seseorang menginginkan daya tarik pesaing berkurang ( setiap

(46)

32

orang pasti mempunyai pesaing), tatalah situasi sedemikian rupa utnuk meningkatkan manfaat dan menurunkan biaya.

Dapat disimpulkan bahwa komunikasi interpersonal yang efektif dapat membuat lawan bicara mengerti isi pesan yang dimaksud, selain itu juga dapat menimbulkan kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang semakin membaik, dan suatu tindakan pada lawan bicara. Komunikasi interpersonal yang efektif dapat dilihat dari keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan, kepercayaan diri, kebersatuan, managemen interaksi, daya ekspresi, orientasi kepada orang lain, bertukar manfaat, menanggung beban biaya milik diri sendiri, menginfestasikan pertukaran manfaat pada saat biaya meningkat dan memperbesar manfaat untuk mengurangi daya tarik alternatif.

Pada penelitian ini, indikator komunikasi interpersonal yang efektif yang digunakan adalah dari sudut pandang humanistis menurut Joseph A. DeVito yaitu keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan. 7. Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua

Komunikasi interpersonal mempunyai peranan penting dalam keluarga karena tersampaikannya pesan dengan baik atau tidak tergantung dari cara komunikasi interpersonal anak dengan orang tua ataupun sebaliknya. Komunikasi di antara anak dengan orang tua tentu saja diharapkan berjalan sesuai dengan harapan sehingga tujuan bersama pun dapat diwujudkan.

(47)

33

Menurut Verderber et al (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011: 169) komunikasi khususnya komunikasi keluarga mempunyai paling tidak tiga tujuan utama yaitu sebagai berikut.

a. Komunikasi keluarga berkontribusi bagi pembentukan konsep diri Tanggung jawab pertama dari keluarga adalah berbicara dengan cara yang akan berkontribusi bagi pengembangan diri yang kuat bagi semua anggota keluarga (Yerby, Buerkel-Rothfuss, & Bochner dalam Budyatna dan Ganiem, 2011:170). Penelitian yang dilakukan oleh D.H. Demo (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011: 170) menyatakan bahwa konsep diri dibentuk, dipelihara, diperkuat, dan/atau diubah oleh komunikasi dari para anggotanya. Konsep diri para anggota keluarga dapat ditingkatkan dengan cara menyatakan pujian, sambutan, dukungan, dan kasih.

b. Komunikasi keluarga memberikan pengakuan dan dukungan yang diperlukan

Tanggung jawab kedua dari anggota keluarga adalah berinteraksi dengan cara mendukung dan mengakui sesama anggota keluarga. Dukungan dan pengakuan membantu anggota keluarga merasa berarti dan membantu mengatasi masa-masa sulit. Apabila tidak mendapatkan dukungan dan pengakuan dari keluarga, maka anak akan mencari di luar keluarga.

(48)

34

c. Komunikasi keluarga menciptakan model-model

Tanggung jawab ketiga dari anggota keluarga adalah berkomunikasi sedemikian rupa yang dapat bertindak sebagai model atau contoh mengenai komunikasi yang baik bagi anggota keluarga yang lebih muda.

B. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Konsep diri menurut Anant Pai (dalam Djaali, 2008: 130) adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut apa yang seseorang itu ketahui dan rasakan tentang perilaku, isi pikiran dan perasaan, serta bagaimana perilaku tersebut berpengaruh terhadap orang lain. William D. Brooks (1974) mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, sosial, and psychological perception of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”, sedangkan menurut Anita Taylor et al (1977) konsep diri adalah “all you think and feel abaout you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold abaout yourself ” (dalam Rakhmat, 2007: 99-100).

Atwater (dalam Desmita, 2010: 180) mendefinisikan konsep diri sebagai keseluruhan gambaran diri, perasaam, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan diri sendiri. Sedangkan Elizabeth B. Hurlock (1978: 58) mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya. Konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan yang

(49)

35

dimiliki seseorang tentang diri sendiri – karakteristik fisik, psikologis, sosial emosional, aspirasi dan prestasi.

Dari pengertian menurut beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan pandangan, perasaan, dan penilaian seseorang tentang diri sendiri yang terbentuk melalui pengalaman dan interaksi dengan orang lain.

2. Perkembangan Konsep Diri

Dasrun Hidayat (2012: 25) mengatakan bahwa konsep diri dibangun dengan komunikasi atau membuka hubungan dengan orang lain. Dengan berkomunikasi, seseorang bisa mendapatkan informasi dari orang lain. R.H. Weir (dalam Calhoun dan Acocella, 1995: 76) mengatakan bahwa loncatan kemajuan yang paling besar dalam perkembangan diri seseorang adalah ketika seseorang mulai menggunakan bahasa pada kira-kira umur satu tahun. Seseorang yang memahami apa yang dikatakan orang tua atau orang lain tentang dirinya, akan mendapatkan banyak informasi tentang diri orang tersebut.

Konsep yang dimiliki seseorang pada awalnya hanya beberapa pengertian samar, kondensasi pengalaman yang berulang-ulang yang berkaitan dengan kenyamanan dan ketidaknyamanan fisik. Meskipun samar-samar, pengertian awal ini membentuk konsep dasar. S.E. Asch (dalam Calhoun dan Acocella, 1995: 76) mengatakan pengertian atau pandangan awal tentang diri adalah bibit konsep diri seseorang.

(50)

36

Konsep diri berkembangan dari pengalaman seseorang tentang berbagai hal mengenai diri orang tersebut sejak kecil, terutama yang berkaitan dengan perlakuan orang lain terhadap orang tersebut. Konsep diri seseorang mula-mula terbentuk dari perasaan apakah orang tersebut diterima dan diinginkan oleh keluarga. Hal ini diperkuat oleh pendapat Elizabeth B. Hurlock (1978: 59) bahwa konsep diri didasarkan atas keyakinan anak mengenai pendapat orang yang penting dalam kehidupan anak seperti orang tua, guru, dan teman sebaya, tentang diri anak tersebut. Perlakuan yang berulang-ulang dan sikap-sikap tertentu dari keluarga atau orang lain di lingkungan sekitar akan membuat konsep diri seseorang berkembang.

Elizabeth B. Hurlock (1978: 59) mengatakan bahwa perkembangan konsep diri bersifat hirarkis yang meliputi konsep diri primer dan konsep diri sekunder. Konsep diri yang terbentuk pertama adalah konsep diri primer. Konsep diri primer ini di dasarkan atas pengalaman anak di rumah dan dibentuk dari berbagai konsep terpisah. Konsep awal ini mengenai peran anak dalam hidup, cita-cita, dan tanggung jawab yang didasarkan atas didikan orang tua. Citra fisik berkaitan dengan penampilan fisik anak, daya tarik, kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya, dan pentingnya bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri anak dimata orang lain. Citra psikologis berdasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi; citra ini terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, sifat dan kepercayaan diri, serta berbagai jenis aspirasi dan kemampuan.

(51)

37

Seiring dengan pergaulan anak yang berkembang dengan orang di luar rumah, anak memperoleh konsep yang lain tentang diri mereka. Hal ini membentuk konsep diri sekunder. Konsep diri sekunder berkaitan dengan bagaimana anak melihat diri anak di mata orang lain (Hurlock, 1978: 59). Konsep diri sekunder juga meliputi citra diri fisik dan citra diri psikologis. Citra diri fisik berkaitan dengan pikiran anak tentang perbandingan struktur fisik anak dengan orang lain di luar rumah sedangkan citra diri psikologis berkaitan tentang perbandingan citra anak yang diperoleh dari rumah dengan yang diperoleh dari orang lain tentang diri anak.

Konsep diri primer seringkali menentukan pilihan situasi di mana konsep diri sekunder akan dibentuk. Pendapat ini didukung oleh James F. Calhoun dan Joan Ross Acocella (1995: 76) yang mengatakan bahwa dengan tumbuhnya anak, konsep diri anak tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan yang serius. Konsep diri tentu saja terus berkembang sepanjang hidup, tetapi cenderung berkembang sepanjang garis yang telah terbentuk pada awal masa kanak-kanak.

Anak yang mampu melihat motivasi atau memahami maksud dari ucapan dan perilaku orang lain terhadap dirinya, dapat membentuk hubungan sosial yang baik yang membawa pengaruh positif pada konsep diri anak. Anak terkadang salah atau tidak mampu melihat motivasi sebenarnya di balik ucapan dan perlakuan orang lain terhadap diri anak tersebut. Anak merasa benci kepada orang yang tidak memperlakukan anak seperti yang anak harapkan. Hal ini dapat membawa pengaruh yang tidak baik pada konsep

(52)

38

diri anak. Elizabeth B. Hurlock (1978: 66) mengatakan bahwa sulit untuk mengubah konsep diri karena bobot emosional konsep diri yang besar maka dari itu orang tua perlu untuk memastikan bahwa konsep diri anak realistis dan positif.

Dari penjelasan beberapa ahli diatas dapat dimengerti bahwa konsep diri awalnya terbentuk dari keyakinan anak tentang pendapat dan perlakuan dari keluarga. Konsep diri anak berkembang lagi ketika berinteraksi dengan teman sebaya dan orang lain di luar keluarga, namun cenderung berkembang sepanjang garis yang telah terbentuk di awal masa kanak-kanak.

3. Jenis – Jenis Konsep Diri a. Konsep Diri Positif

Dasar dari konsep diri yang positif menurut James F. Calhoun dan Joan Ross Acocella (1995: 73) bukanlah kebanggaan yang besar namun lebih kepada penerimaan diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Seseorang dengan konsep diri positif dapat menerima diri sendiri apa adanya. Hal ini tidak berarti bahwa orang tersebut tidak pernah kecewa terhadap diri sendiri.

Mengenai harapan atau tujuan, seseorang dengan konsep diri positif merancang harapan atau tujuan yang sesuai dan realistis. Artinya, orang tersebut mempunyai peluang untuk mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan konsep diri negatif, seseorang dengan konsep diri positif dapat tampil ke depan dengan bebas. Dengan demikian, orang tersebut akan

(53)

39

bertindak berani dan spontan serta memperlakukan orang lain dengan hangat dan hormat, hidup akan terasa menyenangkan.

Willian D. Brooks dan Philip Emmert (dalam Rakhmat, 2007: 105) mengatakan terdapat lima tanda seseorang yang memiliki konsep diri positif, yaitu:

1) Seseorang dengan konsep diri positif yakin akan kemampuan mengatasi masalah;

2) Seseorang dengan konsep diri positif merasa setara dengan orang lain; 3) Seseorang dengan konsep diri positif menerima pujian tanpa rasa

malu;

4) Seseorang dengan konsep diri positif menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, kekinginan, dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat;

5) Seseorang dengan konsep diri positif mampu memperbaiki diri . b. Konsep Diri Negatif

Konsep diri negatif menurut definisinya meliputi penilaian yang negatif terhadap diri sendiri. Konsep diri negatif menurut James F. Calhoun dan Joan Ross Acocella (1995: 72) dibedakan menjadi dua. Konsep diri negatif yang pertama adalah pandangan seseorang tentang diri sendiri yang benar-benar tidak teratur. Seseorang dengan konsep diri negatif tidak tahu siapakah dirinya, apakah yang menjadi kekuatan atau kelemahan diri, atau apa yang dihargai dalam hidup orang tersebut. Konsep diri negatif yang kedua adalah pandangan seseorang tentang diri

(54)

40

sendiri yang terlalu stabil dan terlalu teratur atau dengan kata lain kaku. Hal ini mungkin terjadi karena dididik terlalu keras sehingga menciptakan citra-diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan. Seseorang dengan konsep diri negatif mungkin mengalami kecemasan secara berkelanjutan, karena menghadapi informasi tentang diri sendiri yang tidak dapat diterima dengan baik. Mengenai harapan atau tujuan yang dibuat, bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi (Rotter dalam Calhoun & Acocella, 1995: 73). Ketika orang tersebut gagal dalam mencapai tujuannya dan orang tersebut percaya bahwa dirinya memang orang yang gagal, hal ini dapat merusak harga-dirinya, yang kemudian membuat kekakuan atau ketidakberaturan citra-dirinya lebih parah.

Menurut Wiliam D. Brooks dan Philip Emmert (dalam Rakhmat, 2007: 105), terdapat empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu sebagai berikut.

1) Peka terhadap kritik.

Seseorang dengan konsep diri negatif tidak tahan terhadap kritik dan mudah marah. Kritik sering kali dipersepsikan sebagai usaha untuk menjatuhkan harga diri orang tersebut.

2) Responsif terhadap pujian.

Seseorang dengan konsep diri senang terhadap pujian namun tidak pandai dalam mengungkapkan pengakuan terhadap kelebihan orang lain.

(55)

41

3) Cenderung merasa tidak disukai orang lain.

Seseorang dengan konsep diri negatif merasa tidak diperhatikan dan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak benar.

4) Bersikap pesimis terhadap kompetensi.

Seseorang dengan konsep diri negatif enggan untuk bersaing dalam hal prestasi dengan orang lain karena menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.

4. Dimensi Konsep Diri

Konsep diri terdiri dari citra fisik dan citra psikologis (Hurlock, 1978: 58). Citra fisik berkaitan dengan penampilan fisik anak, daya tarik, kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan jenis kelaminnya, dan pentingnya bagian tubuh untuk perilaku dan harga diri anak dimata orang lain. Citra psikologis berdasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi; citra ini terdiri atas kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, sifat dan kepercayaan diri, serta berbagai jenis aspirasi dan kemampuan. Citra diri psikologis akan mempengaruhi kualitas dan kemampuan anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan anak.

Atwater (dalam Desmita, 2010: 180) membagi konsep diri menjadi tiga bentuk. Pertama, body image, yaitu bagaimana seseorang melihat diri orang tersebut sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan seseorang mengenai diri orang tersebut. Ketiga, sosial self, yaitu bagaimana orang lain melihat diri orang tersebut.

(56)

42

James F. Calhoun dan Joan Ross acocella (1995: 67-71) mengatakan bahwa konsep diri mempunyai tiga dimensi, yaitu sebagai berikut.

a. Pengetahuan

Dimensi pertama dalam konsep diri adalah apa yang diketahui tentang diri sendiri. Seseorang mempunyai daftar julukan yang menggambarkan dirinya: usia, jenis kelamin, kebangsaan, suku, pekerjaan, dan lain sebagainya. Dalam membandingkan diri sendiri dengan orang lain, seseorang sering menggunakan istilah-istilah “kualitas” seperti baik, pandai, dan lain sebagainya.

b. Pengharapan

Seseorang mempunyai satu set pandangan tentang kemungkinan akan menjadi apa di masa yang akan datang (Roger dalam Calhoun dan Acocella, 1995: 71). Pengharapan ini merupakan diri-ideal. Diri-ideal setiap orang berbeda-beda. Pengharapan atau diri-ideal bisa membangkitkan kekuatan untuk mencapai masa depan yang baik, namun pengharapan atau diri-ideal yang terlalu tinggi dapat membuat seseorang menjadi sangat tidak realistis dan hal tersebut dapat menghalangi seseorang untuk mencapai masa depan yang baik.

c. Penilaian

Seseorang menjadi penilai bagi diri sendiri setiap hari. Hasil pengukuran tersebut disebut dengan harga diri – pada dasarnya berarti seberapa besar seseorang menyukai diri sendiri. semakin besar ketidaksesuaian antara gambaran diri tentang siapa diri dengan gambaran

(57)

43

tentang seharusnya menjadi apa atau dapat menjadi apa, akan semakin rendah harga diri orang tersebut.

William H. Fitts (dalam Agustiani, 2006: 139-142) melengkapi aspek konsep diri dengan membagi konsep diri menjadi dua dimensi, yaitu sebagai berikut.

a. Dimensi Internal

Dimensi internal adalah penilaian yang dilakukan seseorang untuk menilai diri berdasarkan dunia di dalam diri orang tersebut. Dimensi internal dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.

1) Diri Identitas (identity self)

Diri identitas merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan “siapakah saya?”. Dalam pertanyaan tersebut mencakup label-label yang diberikan kepada diri (self) oleh orang yang bersangkutan untuk menggambarkan diri dan membangun identitas.

2) Diri Pelaku (behavioral self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang berisikan segala kesadaran mengenai apa yang dilakukan oleh diri.

3) Diri Penerimaan/ penilaian (judging self)

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya sebagai perantara antara diri identitas dan

(58)

44

diri pelaku. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya.

b. Dimensi Eksternal

Pada dimensi eksternal, seseorang menilai dirinya melalui hubungan dengan orang lain. dimensi eksternal dibagi menjadi lima bentuk, yaitu sebagai berikut.

1) Diri Fisik (psysical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang mengenai kesehatan, penampilan (menarik, tidak menarik, cantik, jelek) dan keadaan tubuh (gemuk, kurus, tinggi, pendek).

2) Diri etik-moral (moral-ethical self)

Diri etik-moral menyangkut persepsi seseorang terhadap diri dilihat dari standar pertimbangan moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, nilai-nilai moral yang meliputi batasan baik dan buruk, dan lain sebagainya.

3) Diri Pribadi (personal self)

Diri Pribadi merupakan persepsi seseorang tentang keadaan dirinya. Hal ini dipengaruhi oleh sejauh mana seseorang merasa puas terhadap dirinya atau sejauh mana orang tersebut merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

(59)

45 4) Diri Keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Diri keluarga juga menunjukkan peran maupun fungsi yang dijalankan sebagai anggota keluarga.

5) Diri Sosial (sosial self)

Bagian ini merupakan penilaian seseorang terhadap interaksi diri dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya. Pembentukan penilaian seseorang terhadap bagian dalam dirinya ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksi dengan orang lain.

Dari pendapat beberapa ahli di atas, dimensi konsep diri yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat William H. Fitts yaitu diri identitas, diri pelaku, diri penilai, diri fisik, diri etik-moral, diri pribadi, diri keluarga, dan diri sosial.

5. Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Konsep diri dipengaruhi oleh komunikasi karena konsep diri dibentuk dengan adanya komunikasi. Hal ini sesuai pendapat dari Dasrun Hidayat (2012: 24) yang menyatakan bahwa beberapa fungsi dari komunikasi yaitu: (1) pembentukan konsep diri, (2) pernyataan eksistensi diri, (3) untuk kelangsungan hidup, memupuk hubungan, dan memperoleh kebahagiaan.

(60)

46

Konsep diri seseorang menurut Fitts (dalam Hendrianti, 2006: 139) dapat dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut:

a. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal, yang memunculkan perasaan positif dan berharga.

b. Kompetensi dalam area yang dihargai oleh orang tersebut dan orang lain. c. Aktualisasi diri dan realisasi potensi pribadi yang sebenarnya.

Jalaluddin Rakhmat (2007: 100-104) mengatakan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri, yaitu sebagai berikut.

a. Orang lain

Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri ini, orang yang paling berpengaruh adalah orang yang dekat dengan diri ini. George Herbert Mead (dalam Rakhmat, 2007: 101) menyebut orang yang sangat penting sebagai significant others. Ketika seseorang masih kecil, significant others adalah orang tua, saudara-saudara, dan orang yang tinggal satu rumah. Dalam perkembangan significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan.

Konsep diri perlahan-lahan terbentuk dari interaksi dengan orang-orang yang dapat mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan. Senyuman, pujian, dan penghargaan dari orang lain akan membentuk penilaian positif terhadap diri sendiri. Ejekan, cemoohan, dan penolakan dari orang lain akan membentuk penilaian negatif terhadap diri sendiri.

Gambar

Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Komunikasi Interpersonal Anak dengan Orang Tua
Tabel 3. Pedoman Pemberian Skor
Tabel 4. Hasil Perhitungan Reliabilitas Instrumen Komunikasi  Interpersonal Anak dengan Orang Tua
Tabel  6. Statistik Deskriptif Komunikasi Interpersonal Anak dengan  Orang Tua
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum penelitian untuk mendeskripsikan tentang pengelolaan komunikasi Interpersonal di SD Negeri 03 Karanganyar. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini yaitu

1) Mengungkapkan perhatian kepada orang lain. Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah untuk mengungkapkan perhatian kepada orang lain. Dalam hal ini

Komunikasi interpersonal adalah proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik

Kesimpulan penelitian ini adalah tidak terdapat pengaruh antara komunikasi interpersonal orang tua – anak dan loneliness terhadap adiksi smartphone, terdapat

(Studi Deskriptif Kuantitatif Mengenai Komunikasi Interpersonal Orang tua dan Anak tentang Pendidikan Kesehatan Reproduksi pada Siswa SMA Negeri 12 Medan). Medan,

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan komunikasi interpersonal anak-orang tua ditinjau dari keharmonisan perkawinan orang tua.Keluarga harmonis

Dalam definisi komunikasi dyadic, komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang yang memiliki hubungan; dimana orang-orang yang terlibat

b Adanya feedback atau umpan balik Stimulus yang terjadi dalam komunikasi interpersonal harus bercepat dan berkesinambungan, meski komunikasi yang terjadi antara orang tua terhadap