• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Menurut Menteri Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Menurut Menteri Kesehatan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa indonesia merupakan bangsa yang memiliki jumlah penduduk yang besar, dimana menurut laju pertumbuhan penduduk sangat cepat saat ini mencapai 255 juta jiwa, badan pusat statistik pada sensus 2010 mendata jumlah penduduk baru sebanyak 237,6 juta jiwa, menduduki peringkat ke-4 dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.Menurut Menteri Kesehatan Nila F Muluk ini bisa menjadi masalah, terutama generasi muda yang mencapai 64% dari total seluruh penduduk indonesia, negara ini mengalami bonusdemografi(Ratna,2015,¶1,http://nasional.republika.co.id/berita/nasional /umum/2015, diperoleh tanggal 26 April 2016).

Suatu negara dikatakan mengalami bonus demografi jika dua orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung satu orang tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun atau lebih). Indonesia, menurut perhitungan, sudah mengalami bonus demografi sejak tahun 2012, dan puncaknya akan terjadi di tahun 2028-2030. “Untuk level nasional sebetulnya hanya rangkuman, karena setiap daerah keadaannya berbeda-beda, “Untuk level nasional sebetulnya hanya rangkuman, karena setiap daerah keadaannya berbeda-beda. DKI Jakarta misalnya, sudah menikmati bonus demografi sejak tahun 1980an. Faktornya karena migrasi, usia produktif dari luar masuk ke Jakarta. Dampaknya, daerah pengirim migran akan kehilangan usia

(2)

produktif, misalnya Nusa Tenggara Timur. Daerah penerima migran sebenarnya diuntungkan untuk penyediaan tenaga kerja asal dapat dikelola secara baik, jika tidak dikelola bisa menjadi musibah, misalnya kesempatan kerja yang terbatas, pengangguran, dan konflik sosial,” (LIPI, 2016)

Menurut Razali, bonus demografi ini merupakan fenomena unik yang akan terjadi hanya sekali dalam setiap peradaban bangsa. “Apa untungnya? Sepertiga dari pertumbuhan ekonomi itu disumbang oleh bonus demografi,” tambah Razali. Isu lainnya adalah aging population, yang akan terjadi di Indonesia pada tahun 2020. Suatu negara mengalami aging population jika 10 persen dari jumlah penduduknya berusia 60 tahun ke atas. “Kondisi ini berdampak pada peningkatan ketersediaan jaminan hari tua dan tunjungan kesejahteraan di suatu negara harus dipersiapkan pemerintah dari sekarang,” jelasnya. Terakhir berkaitan dengan komposisi penduduk. Pada tahun 2013, pertama kali jumlah penduduk kota akan melebihi penduduk desa. “Ini sudah terjadi di Indonesia. Efeknya, pembangunan akan terpusat di kota-kota.” (LIPI, 2016).

Dampak perpindahan usia produktif dari desa ke kota adalah untuk mencapai tujuan hidup masa depan dirinya sendiri yang lebih baik dalam berbagai sarana dan fasilitas dari pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Kesehatan merupakan inti segalanya.Untuk mencapai kemajuan dibutuhkan kesehatan. Kesehatan sebagai hulu, kalau masyarakat sehat bisa belajar dengan baik, bekerja dengan baik maka akan mendapatkan kesejahteraan. "Selama ini lama sekolah di Indonesia rat-rata 8,1 tahun. Kemendikbud

(3)

merupakan kementerian yang mendapat anggaran paling besar namun belum bisa mengangkat masyarakat, mungkin karena masyarakatnya banyak yang tak sehat, maka tidak bisa mengikuti pendidikan dengan baik."Oleh karena itu masyarakat harus mulai berperilaku hidup sehat. Dimulai dengan makan seimbang, olahraga, tidak merokok, dan tidak minum alkohol (Manggala, 2015, ¶ 1, Kurang Gerak Picu Risiko Penyakit Degeneratif, http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/2015, diperoleh tanggal 26 April 2015).

Berperilaku hidup sehat sangat sulit dilakukan, penyebab banyak sekali terutama bagi mereka yang mengikuti pola gaya hidup modern cenderung mewah dan sedentary di masyarakat perkotaan. Gaya hidup Sedentary adalah gaya hidup dimana unsur gerak fisik sangat minimal sedangkan beban kerja mental sangat maksimal. (Kodyat. 1994).

Pola gaya hidup ini dampak dari arus globalisasi yang paling nyata pada penduduk di perkotaan, mereka memilih tempat makan dan jenis pangan yang dikonsumsi, perubahan gaya hidup dalam konsumsi pangan ini dipicu oleh peningkatan/perbaikan pendapatan, kesibukan sangat tinggi, promosi produk pangan trendy ala barat terutama fast food, namun tidak diimbangi oleh pengetahuan dan kesadaran gizi (Kodyat,1994). Kelompok warga kota yang berpenghasilan mapan dalam konsumsi makanan sehari-hari selalu: 1). Selera sentris gaya konsumsi pangan yang terlalu berorientasi pada unsur selera terpukau oleh kenikmatan menyantap pangan sehingga timbul gizi berlebih, 2). Gengsi sentris merupakan gaya konsumsi pangan berorientasi

(4)

pada pangan yang bergengsi tinggi seperti pangan impor, khususnya fast foods, 3). Ekonomis sentris adalah pola gaya konsumsi pangan dimana makanan yang telah dibayar/dibeli dipaksakan untuk dikonsumsi habis tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan kecukupan gizi (Kodyad,1994). Akibatnya energi yang masuk dari makanan tidak digunakan secara optimal, sehingga akan menyebabkan timbunan lemak dalam tubuh menimbulkan kegemukan, terakhir adalah beban mental (stress) perjuangan hidup yang keras menyebabkan beban mental atau stress tinggi, upaya yang dilakukan adalah mengkonsumsi pangan secara berlebihan, semakin tinggi frekuensi stress yang dialami seseorang semakin tinggi pula resiko orang tersebut menderita kegemukan(Kodyat, 1994). Dampak dari banyaknya asupan makanan yang dimakan tanpa disertai dengan energi yang dikeluarkan dengan aktifitas fisik mengakibatkan penurunan tingkat kebugaran pada individu serta berisiko terhadap Sindrom Metabolik.

Sindrom Metabolik sering disebut dengan sindrom x merupakan sekumpulan kelainan metabolisme dimana penyebab utama sindrom ini saling berinteraksi yaitu obesitas dan kerentanan metabolisme endogen (Reaven, 2002).

Menurut Cruz ML, Goran MI (2004) Peningkatan masalah obesitas, dikenal sindrom metabolik yang terdiri dari obesitas sentral, resistensi insulin, hipertensi dan dislipidemia yang telah dilaporkan pada orang dewasa. Terdapat hubungan yang kuat antara overweight dan obesitas dengan sindrom metabolik pada anak dan remaja.

(5)

Obesitas pada dewasa berkaitan dengan sindroma metabolik, (Braunschweig, 2005) dan obesitas serta sindroma metabolik yang berkembang pada masa anak akan berlanjut sampai dewasa (Enas et al, 2003). Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia baik di negara maju maupun negara berkembang karena prevalensinya yang meningkat pada orang dewasa dan anak.(Fu, 2003)

Menurut De Onis (2000, dalam Mexathalia, 2009) prevalensi anak usia sekolah dengan overweight di negara sedang berkembang paling banyak didapatkan di Amerika Latin dan Karibia (4,4%), kemudian Afrika (3,9%), dan Asia (2,9%). Tetapi secara mutlak, jumlah terbesar ada di Asia karena lebih dari 60% (atau 10,6 juta jiwa) tinggal di kawasan ini.

Di Semarang tahun 2004 didapatkan prevalensi overweight pada anak usia 6-7 tahun adalah 9,1% dan obesitas 10,6% (Mexitalia M, Susanto JC, Faizah Z, Hardian. 2005), sedangkan pr evalensi obesitas anak SD di beberapa kota besar Indonesia seperti Medan, Padang, Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Manado berkisar 2,1%-25%.(Sjarif, 2006)

Kemajuan jaman yang semakin cepat, disusul dengan teknologi informasi, komunikasi dan sarana transportasi modern mengakibatkan akses jarak semula jauh menjadi terjangkau dalam semua aspek kehidupan, membuat pola kebutuhan hidup seseorang menjadi berubah pada semua aspek kehidupan. Perkembangan dalam teknologi informasi, komunikasi dan transportasi memanjakan seseorang untuk beraktifitas, menggunakan pikiran sebagai sistem penggerak aktifitas dari bentuk benda yang lain.

(6)

Unsur komunikasi sekarang didefinisikan sebagai proses dinamik transaksional yang mempengaruhi perilaku sumber dan penerimanya dengan sengaja menyandi (to code), perilaku mereka untuk menghasilkan pesan yang mereka salurkan lewat suatu saluran (Chanel) guna merangsang atau memperoleh sikap atau perilaku tertentu, keinginan sumber untuk berkomunikasi adalah keinginan berbagai internal states dengan orang lain dengan derajat kesengajaan yang berbeda-beda untuk mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku orang lain tersebut Richard (1982, dalam Mulyana, 2005). 2). Pengetahuan, sikap dan perilaku antar budaya lain ini, mempengaruhi pola gaya hidup bertolak belakang dengan nilai – nilai pada bangsa tercinta ini, mengakibatkan berubahnya unsur budaya misalkan dengan mengkonsumsi makanan cepat saji, berkurangnya aktifitas fisik karena semua unsur mobilitas menggunakan alat transportasi dengan sistem digital atau secara aotumatic.

Kurangnya aktifitas fisik mempengaruhi tingkat kebugaran jasmani seseorang khususnya mahasiswa dan mahasiswi pada tingkat perguruan tinggi, kurang gerak dapat meningkatkan risiko timbulnya Penyakit Tidak Menular, seperti: kegemukan atau obesitas, penyakit kencing manis atau diabetes mellitus, dan penyakit jantung. Latihan fisik yang dilakukan secara baik, benar, terukur, dan teratur akan melatih otot dan sendi serta memperlancar peredaran darah dan oksigen dalam tubuh sehingga metabolisme tubuh menjadi optimal, tubuh terasa segar, kekebalan tubuh meningkat dan tidak mudah terserang penyakit serta mengajak lapisan

(7)

masyarakat untuk meningkatkan aktivitas fisik dalam kehidupan seharihari melalui latihan fisik dan olahraga yang baik, benar, terukur dan teratur -sebagai bagian dari budaya hidup bersih dan sehat, guna mewujudkan Bangsa Indonesia yang sehat dan bugar. (Kepmenkes RI, 2014).

Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit Tidak Menular diperkirakan akan terus meningkat diseluruh dunia, peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit menular seperti malaria, TBC atau penyakit infek si lainnya akan menurun, dari 18 juta jiwa saat ini menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030. (Kepmenkes RI, 2014)

Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju, menyebabkan 13% kematian. Proporsi

(8)

penyebab kematian PTM pada orang-orang berusia kurang dari 70 tahun, penyakit cardiovaskular merupakan penyebab terbesar (39%), diikuti kanker (27%), sedangkan penyakit pernafasan kronis, penyakit pencernaan dan PTM yang lain bersama-sama menyebabkan sekitar 30% kematian, serta 4% kematian disebabkan diabetes. (Kepmekes RI, 2012)

Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden diseases. Di satusisi, penyakit menular masih menjadi masalah ditandai dengan masih sering terjadi Kejaadian Luar Biasa (KLB) beberapa penyakit menular tertentu, munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging diseases), serta munculnya penyakit-penyakit menular baru (new-emergyng diseases) seperti HIV/AIDS, Avian Influenza, Flu Babi dan Penyakit Nipah. Di sisi lain, PTM menunjukkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat, sedangkan kematian karena penyakit menular semakin menurun Fenomena ini diprediksi akan terus berlanjut.

Peningkatan kejadian PTM berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup seiring dengan perkembangan dunia yang makin modern, pertumbuhan populasi dan peningkatan usia harapan hidup. Gaya hidup yang sering dipakai ialah gaya hidup sedentary dimana dalam aktifitas fisiknya rendah dan mengalami beban mental stress yang tinggi,

(9)

berakibat kelebihan berat badan (obesitas), serta mempunyai kebugaran jasmani yang rendah di sebabkan kurangnya melakukan aktifitas fisik dalam kehidupan sehari hari.

Pencapaian kebugaran jasmani pada setiap individu sangat bervariasi tergantung dari jenis kelamin, umur, dan aktifitas fisik yang dilakukan dalam kesehariannya. Kebugaran Jasmani ialah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan. Menurut Data Riskedas Dinas Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007 ditemukan kurangnya aktifitas fisik dan sering mengkonsumsi makanan berlemak pada penduduk Indonesia. Pertama secara nasional hampir separuh penduduk (48,2%) kurang melakukan aktifitas fisik. Kurang aktifitas fisik paling tinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (61,7%) dan Provinsi Riau (60,2%). Prevalensi kurang aktifitas fisik di bawah rata-rata nasional terdapat di Nusa Tenggara Timur (27,3%), Sulawesi Tengah (39,4%), dan Bengkulu (40,1%).

Menurut kelompok umur, kurang aktifitas fisik paling tinggi terdapat pada kelompok 75 tahun ke atas (76,0%) dan umur 10-14 tahun (66,9%), dan perempuan (54,5%) lebih tinggi dibanding laki-laki (41,4%). Berdasarkan tingkat pendidikan, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi prevalensi kurang aktifitas fisik. Prevalensi kurang aktifitas fisik penduduk perkotaan (57,6%) lebih tinggi di banding perdesaan (42,4%), dan semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan semakin meningkat prevalensi kurang aktifitas fisik. Kedua konsumsi makanan berisiko menurut provinsi.

(10)

Sering mengonsumsi makanan manis dilakukan oleh 65,2% penduduk Indonesia yang berusia ≥10 tahun, tertinggi ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan (83,5%) dan terendah Provinsi Bali (44,7%).

Prevalensi sering mengonsumsi makanan asin secara nasional ditemukan 24,5%, tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan (41,6%) dan terendah di Provinsi Sulawesi Tengah (5,8%). Secara nasional, 12,8% penduduk Indonesia sering mengkonsumsi makanan berlemak, tertinggi di Provinsi Gorontalo (25,8%) dan terendah di Provinsi Bangka Belitung (5,2%). Penyedap sering dikonsumsi oleh 77,8% penduduk secara keseluruhan, tertinggi di Provinsi Kalimantan Tengah (92,6%) dan terendah di Provinsi NAD (33,6%). Sedangkan kafein sering dikonsumsi oleh 36,5% penduduk secara nasional, tertinggi di Provinsi Bali (62,0%) dan terendah di Provinsi DI Yogyakarta (11,2%). Menurut umur, perilaku sering mengonsumsi makanan manis cenderung menurun setelah usia 45 tahun, demikian hal nya perilaku sering mengkonsumsi makanan asin, berlemak, jeroan, makanan dipanggang dan diawetkan. Menurut jenis kelamin, laki-laki cenderung lebih sering mengonsumsi makanan yang manis-manis dan minum minuman berkafein dibandingkan perempuan. Sedangkan untuk konsumsi jenis makanan berisiko lainnya pola prevalensi antara laki-laki dan perempuan hampir sama. Menurut tingkat pendidikan, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan manis, makanan berlemak, dan jeroan cenderung meningkat sesuai dengan meningkatnya pendidikan. Menurut tipe daerah, pola prevalensi sering mengonsumsi makanan manis, makanan berlemak, dan

(11)

makanan yang diawetkan ditemukan lebih tinggi di perkotaan dibanding perdesaan. Sedangkan pola prevalensi sering mengonsumsi makanan asin, minum-minuman berkafein dan makanan dipanggang cenderung lebih tinggi di pedesaan dibanding perkotaan.

Pemasalahan yang terjadi di lingkungan perkotaan khususnya pada jenjang pendidikan tinggi perkuliahan adalah padatnya jadwal pengajaran sehingga membuat pola gaya hidup berubah mengakibatkan kurangnya aktifitas fisik, perubahan pola makan yang dikonsumsi makanan cepat saji, energi yang digunakan lebih banyak untuk berfikir dari pada gerak fisik, ini dapat mempengaruhi tingkat kebugaran dengan mudah lelah dalam hal melakukan aktifitas tertentu. Energi yang dikeluarkan tidak sebanding dengan makanan yang di konsumsi mengakibatkan obesitas. Obesitas merupakan indikator risiko terhadap Sindrom metabolik, lebih dari 30% remaja obesitas memenuhi kriteria sindroma metabolik (Mexitalia, 2009)

Keuntungan dalam melakukan penelitin ini adalah mengetahui hubungan gaya hidup pada perilaku konsumsi makanan dan aktifitas fisik, yang mengakibatkan bertambahnya berat badan (obesitas), serta tingkat kebugaran jasmani terhadap risiko Sindrom Metabolik, bagi yang diteliti memberikan informasi, upaya mencegah dini terjadinya Sindrom Metabolik.

Sindrom Metabolik merupakan kelainan metabolik yang diakibatkan oleh peningkatan obesitas, obesitas terjadi oleh perubahan prilaku gaya hidup diantaranya pola konsumsi makanan dan kurangnya aktifitas. Aktifitas yang kurang mempengaruhi tingkat kebugaran jasmani serta berisiko terkena

(12)

Sindrom Metabolik. Permasalahan diatas sangat kompleks dan sangat menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul: “HUBUNGAN GAYA HIDUP DAN TINGKAT KEBUGARAN JASMANI TERHADAP RISIKO SINDROM METABOLIK”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka diatas dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Perubahan jaman dan teknologi mempengaruhi perilaku gaya hidup pada aktifitas fisik sehari –hari dan konsumsi makanan sehingga terjadi obesitas.

2. Hubungan gaya hidup terhadap tingkat kebugaran jasmani

3. Hubungan gaya hidup dan tingkat kebugaran jasmani berisiko terhadap Sindrom Metabolik.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah maka dalam penelitian ini yang akan dikaji adalah:

1. Mengetahui hubungan antara pola aktifitas terhadap risiko Sindrom Metabolik.

2. Mengetahui hubungan antara pola konsumsi makanan terhadap risiko Sindrom Metabolik

(13)

3. Mengetahui hubungan tingkat kebugaran jasmani dan risiko Sindrom Metabolik.

4. Mengetahui hubungan secara bersama antara gaya hidup dan tingkat kebugaran jasmani terhadap risiko Sindrom Metabolik.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Adakah hubungan gaya hidup dan risiko Sindrom Metabolik ada berapa besar kontribusinya?

2. Adakah hubungan tingkat kebugaran jasmani dan risiko terjadinya Sindrom Metabolik ada berapa besar kontribusinya?

3. Adakah hubungan secara bersama gaya hidup dan tingkat kebugaran jasmani terhadap risiko Sindrom Metabolik ada berapa besar kontribusinya?

E. Tujuan Penelitian

Terkait perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah untuk mengetahui:

1. Untuk mengetahui berapa besar kontribusi hubungan gaya hidup dan risiko Sindrom Metabolik

2. Untuk mengetahui berapa besar kontribusi hubungan tingkat kebugaran jasmani dan risiko Sindrom Metabolik

(14)

3. Untuk mengetahui berapa besar kontribusi secara bersama/simultan hubungan antara gaya hidup dan tingkat kebugaran jasmani terhadap risiko Sindrom Metabolik.

F. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai berikut:

1. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang bentuk aktifitas sehari-hari dan konsumsi pola makanan dapat mengurangi risiko terjadinya Sindrom Metabolik.

2. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang hubungan tingkat kebugaran jasmani terhadap risiko Sindrom Metabolik.

Referensi

Dokumen terkait

Gaya penulisan berkisah yang menjadi ciri khas dari Tempo tersebut tidak membuat majalah Tempo kehilangan daya kritisnya pada pemerintah orde baru yang berkuasa

P., 2018, Model Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Lingkungan Kerja serta Dampaknya terhadap Kepuasan Kerja Karyawan (Studi pada Karyawan PT Bank CIMB Niaga, TBK

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan teknik regresi berganda, didapat bahwa variabel Tingkat Penilaian Presentasi Produk dan Tingkat Persepsi Risiko memiliki

Berdasarkan hasil wawancara, pada saat evaluasi guru mengabsen secara acak untuk memberikan tugas Pekerjaan rumah (PR) tidak seperti disekolah pada umum setelah

Menyetujui Memberikan wewenang dan kuasa kepada Dewan Komisaris untuk menunjuk akuntan publik/auditor independen pengganti (bilamana akuntan publik/auditor independen yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari semua sampel yang diuji, lateks pada sampel (6) dapat bertahan tetap cair ±48 jam yaitu dengan penambahan Na 2 CO 3 10%.. w/v sebanyak 1

Register Akta Catatan Sipil adalah daftar yang membuat data outentik mengenai peristiwa penting meliputi kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak

Pada diagram di bawah ini dapat disimpulkan bahwa acuan berperan dalam membantu informan untuk memahami leksem berkonsep emosi sebagaimana terlihat bahwa sebesar 72 % (5