• Tidak ada hasil yang ditemukan

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT LAPORAN PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT LAPORAN PENELITIAN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT LAPORAN PENELITIAN

KETENTUAN PEMBERIAN HAK GUNA BANGUNAN DI ATAS TANAH HAK MILIK DI KABUPATEN SINTANG

TIM PENELITI OLEH; Redin, S. H. M. H ( Ketua Tim) Rini Safarianingsih, S. H ( Anggota)

Rina, S. H ( Anggota)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KAPUAS SINTANG AGUSTUS TAHUN 2016

(2)

Lembaran Identitas dan Pengesahan

1 Judul : Ketentuan pemberian Hak guna Bagunan Di Atas Tanah Hak Milik Di Kabupaten Sintang 2. Ketua Peneliti:

Nama ; Redin, S. H., M. H

Jenis kelamin ; Laki - Laki

Nik-Nidn ; 114012096-1106068301

Jabatan Fungsional ;

Unit Kerja ; Fakultas Hukum Unka Sintang

Bidang Ilmu ; Ilmu Ilmu Hukum

Anggota ; 1. Rini Safarianingsih, S. H ( Anggota)

2. Rina, S. H ( Anggota). 3 Lokasi Penelitian ; Kecamatan Sintang

4 Jangka Waktu ; 5 ( lima ) bulan

5 Biaya ; Rp. 5.000.000,-

6 Sumber biaya ; Yayasan Melati Sintang LP2M Unka Sintang

7 Objek penelitian ; Pemberian Hak Guna Bagunan

8 Teori Hukum ; Hak atas Tanah, Kepastian Hukum, Hak Milik dan Perjanjian Hak Guna Bagunan

Sintang , Juli 2016 Mengetahui ,

Dekan Fakultas Hukum

Ketua Peneliti,

Robert Hoffman, S. H., M. H Redin, S. H., M. H

Nik-Nidn: 11400851-1113127401 Nik-Nidn:114012096-1106068301

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT UNIVERSITAS KAPUAS SINTANG

Ketua LP2M: Kepala Bidang Penelitian:

Kamaludin., S.Hut., M.MA Ir. Sumartoyo., M.P

(3)

ABSTRAK

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagimana pengaturan tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain dan apakah akibat hukum atas Hak Guna Bangunan yang jangka waktu pembaharuannya telah berakhir. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum atas Hak Guna Bangunan yang jangka waktu pembaharuannya telah berakhir.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis sosiologis, dengan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer (wawancara) dan data sekunder (studi kepustakaan). Populasi adalah Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang, Notaris/PPAT yang ada di Sintang, Pemohon Pembaharuan HGB atas tanah Hak Milik yang terlambat dan Pemegang Hak Milik atas tanah yang di berikan HGB. Sampel penelitian adalah Kepala Seksi Penetapan Tanah dan Pendaftaran Tanah, 3 (tiga) orang Notaris/PPAT di Kabupaten Sintang, 7 (tujuh) orang Pemohon Pembaharuan HGB atas tanah Hak Milik yang terlambat dan 1 (satu) orang Pemegang Hak Milik atas tanah yang di berikan HGB. Dalam penelitian ini analisis data yang dipergunakan adalah teknik analisis data deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pengaturan tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain sudah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelakasanaan pemberian hak guna bangunan di atas tanah hak milik sesuai dengan peraturannya secara umum. Peraturan yang khususnya yaitu Keputusan Presiden yang seharusnya ada untuk mengatur mengenai tata cara dan pendaftaran hak guna bagunan di atas tanah hak milik belum ada sampai dengan saat ini. Sedangkan akibat hukum atas Hak Guna Bangunan yang jangka waktu pembaharuannya telah berakhir atas kelalaian pihak pemohon pembaharuan HGB atau pihak pemegang sertifikat HGB menimbulkan kerugian bagi pemberi HGB di atas tanah Hak Milik atas tanah. Akibat hukum jika setelah jangka waktu berakhir dan tidak ada kesepakatan perjanjian baru pembaharuan pemberian Hak Guna Bangunan baru maka pihak Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus. Namun yang terjadi, pihak Pemegang HGB tidak menyerahkan tanah tersebut kepada pemegang Hak Milik atas tanah, sehingga menimbulkan kerugian bagi pemegang Hak Milik.

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa pelakasanaan pemberian hak guna bangunan di atas tanah hak milik sudah dilakukan sesuai dengan peraturannya secara umum. Peraturan yang khususnya yaitu Keputusan Presiden yang seharusnya ada untuk mengatur mengenai tata cara dan pendaftaran hak guna bagunan di atas tanah hak milik belum ada sampai dengan saat ini. Akibat hukum jika setelah jangka waktu berakhir dan tidak ada kesepakatan perjanjian baru pembaharuan pemberian Hak Guna Bangunan baru maka pihak Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus. Namun yang terjadi, pihak Pemegang HGB tidak menyerahkan tanah tersebut kepada pemegang Hak Milik atas tanah, sehingga menimbulkan kerugian bagi pemegang Hak Milik.

Dari hasil kesimpulan penulis sarankan untuk menjamin kepastian hukum dari dari pemberi HGB di atas tanah Hak Milik agar pelakasanaan pemberian hak guna bangunan di atas tanah hak milik dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, walaupun pengaturan secara khusus teknis melalui keputusan Presiden belum ada. Untuk mengatasi keterlambatan pembaharuan HGB diharapkan pihak Badan Pertanahan Sintang memberikan

(4)

teguran secara tertulis kepada pihak pemegang sertifikat HGB yang dalam masa pembaharuan supaya segera dilakukan, supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak pemberi HGB di atas tanah hak milik.

(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rencana dan kehendak-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, maka Penulis dapat menyelesaikan Penelitian ini. Penelitian ini berjudul “Ketentuan Pemberian Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Hak Milik di Kabupaten Sintang”.

Dengan selesainya penulisan Penelitian ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan dorongan semangat dari berbagai pihak. Sebagai rasa syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan Penelitian ini, pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih yang dalam kepada : Tim Peneliti dan Kepala Lembaga LP2M Universitas Kapuas Sintang. Semoga amal baik dan segala bantuan yang telah diberikan kepada Peneliti mendapat imbalan dan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Peneliti menyadari bahwa dalam penelitian ini masih banyak terdapat kekurangan baik secara teoritis maupun secara praktis. Oleh karena itu, segala saran pendapat sangat diharapkan bagi perkembangan tulisan ini.

Peneliti berharap semoga hasil peneliti ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang akan datang.

Sintang, Juli 2015 Penulis

(6)

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAS ISI ... BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Identifikasi Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Kegunaan Penelitian ... 6

1.5.Kerangka Pemikiran ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengaturan Tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Milik Orang Lain ... 8

a. Konsep Hak Atas Tanah ... 8

b. Kepastian Hukum ... 11

c. Tinjauan Umum Mengenai Hak Milik ... 13

d. Tinjauan Umum Mengenai Hak Guna Bangunan (HGB) ... 16

e. Perjanjian Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik 19 2.2.Akibat Hukum Atas Hak Guna Bangunan Yang Jangka Waktu Pembaharuannya Telah Berakhir ... 22

BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Metode Pendekatan ... 27

3.2.Sifat Penelitian ... 28

3.3.Teknik Pengumpulan Data ... 28

3.4.Populasi dan Sampel ... 32

3.5.Teknik Analisis Data ... 33

3.6.Lokasi Penelitian ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 35

4.2.Hasil Penelitian Dan Pembahasan ... 45

4.2.1.Pengaturan Tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Milik Orang Lain ... 45

4.2.2.Akibat Hukum Atas Hak Guna Bangunan Yang Jangka Waktu Pembaharuannya Telah Berakhir ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

5.1.Kesimpulan ... 59

5.2.Saran ... 60

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi : “Bumi, Air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Atas dasar Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (1) UUPA, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.1

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan peraturan dasar bagi pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN RI No. 104 / 1960 / TLN No. 2043), yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

UUPA memuat kebijakan pertanahan nasional yang menjadi dasar pengelolaan tanah di Indonesia. Tujuan pembentukan UUPA adalah :

1. Untuk meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, 2. Kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan,

3. Kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat indonesia.

Sebagaimana tercantum dalam Diktum Kelima, UUPA mulai berlaku sejak diundangkannya dalam Lembaran Negara, yaitu pada tanggal 24 September 1960 dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

(8)

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat strategis. Hal ini dapat dilihat dari aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan hukum. Oleh karena tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, maka diperlukan peran serta negara untuk mengatur dan mengelola penggunaan tanah agar adil dan merata sehingga dapat tercapai kesejahteraan masyarakat.

Atas dasar hak menguasai negara kemudian dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA ditentukan macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum. Salah satu macam hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 16 UUPA adalah Hak Guna Bangunan.

Hak Guna Bangunan atau HGB diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 40 UUPA dan Pasal 19 sampai Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UUPA menentukan bahwa :

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana dari UUPA, melaui Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai mengatur lebih lanjut tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan. Berdasarkan ketentuan Pasal 21, bahwa tanah yang dapat diberikan dengan HGB adalah tanah negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah HakMilik.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, penulis hanya melakukan penelitian terhadap pemberian HGB di atas tanah Hak Milik saja dan akibat hukumnya. Hal tersebut di dasarkan, bahwa HGB memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk mendirikan bangunan di

(9)

atas tanah bukan miliknya sendiri sesuai dengan sifat dan tujuan peruntukannya yang dijamin oleh peraturan perundang-undangn. Meskipun HGB tidak sekuat Hak Milik, namun sebagaimana dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan tergolong hak yang kuat artinya tidak mudah hapus dan dapat dipertahankan terhadap bangunan pihak lain dan wajib didaftarkan.

Berlandaskan ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA, yang memberikan hak kepada orang-orang atau badan hukum untuk mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, maka di dalam Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa :

Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.

Hak Guna Bangunan dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Jangka waktu pemberian HGB atas tanah Hak Milik, berjangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 37b UUPA bahwa, mengenai tanah milik : HGB terjadi karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. Tejadinya pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik diawali dengan adanya kesepakatan suatu perjanjian permulaan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atau sewa-menyewa yang memuat kesepakatan kedua belah pihak, bahwa di atas tanah Hak Milik yang diperjanjikan tersebut akan dibebani/diberikan Hak Guna Bangunan dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Dengan didahuluinya perjanjian permulaan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik yang akan dibebani HGB antara pihak pemegang Hak Milik

(10)

dengan pihak pemohon HGB, maka munculah hak dan kewajiban para pihak atas tanah yang di berikan HGB tersebut.

Sesudah jangka waktu tersebut berakhir atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pembaharuan HGB tersebut wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sesuai ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Berdasarkan hasil hasil penelitian penulis di Kantor Pertanahan Sintang sepanjang tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 terdapat 52 (lima puluh dua) bidang HGB atas tanah Hak Milik dengan kategori permohonan HGB baru dan Pembaharuan. Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada tahun 2014 terdapat 7 (tujuh) pembaharuan HGB atas tanah Hak Milik yang proses pembaharuannya telah lewat jangka waktunya dari yang seharusnya. Sebagaimana ketentuan dalam pasal 27 ayat (1) bahwa “Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan

atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya”. Akibat hukum setelah jangka waktu berakhir dan tidak ada kesepakatan pembaharuan pemberian Hak Guna Bangunan baru maka pihak Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus. Namun yang terjadi, pihak Pemegang HGB tidak menyerahkan tanah tersebut kepada pemegang Hak Milik atas tanah, sehingga menimbulkan kerugian bagi pemegang Hak Milik.

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam suatu karya ilmiah berbentuk skripsi dengan judul “Ketentuan

(11)

pemberian Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Milik dan Akibat Hukumnya terhadap Pemegang Hak Guna Bangunan di Kabupaten Sintang”.

1.2.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pemberian tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain?

2. Apakah akibat hukum atas Hak Guna Bangunan yang jangka waktu pembaharuannya telah berakhir?

1.3.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian dilakukan untuk : 1. Mengetahui dan menjelaskan pengaturan tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas

tanah Hak Milik orang lain;

2. Mengetahui dan mengkaji akibat hukum atas Hak Guna Bangunan yang jangka waktu pembaharuannya telah berakhir.

1.4.Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut : 1. Kegunaan Teoritis

Dari sisi teoritis, bahwa hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta terkhusus mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah. Terutama dapat menambah

(12)

pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan Hukum Agraria dan Hukum Perdata.

2. Kegunaan Praktis

Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yaitu memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, baik untuk pengambil kebijakan/pemerintah, masyarakat/pemilik tanah, dan kesadaran masayarakat untuk tidak menjual tanahnya. Bagi peneliti sendiri disamping untuk menyelesaikan studi juga untuk menambah wawasan dibidang Hukum Agraria khususnya mengenai pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik. 1.5.Kerangka Pemikiran Perjanjian Jangka Waktu Pemberian HGB selama 30 Tahun Peraturan Perundang-undangan : - UUD 1945 - KUH Perdata - UUPA - PP No 40 Tahun 1996 - PP No 24 Tahun 1997 Pemegang Hak

Milik Atas Tanah

Pemohon Hak Guna Bangunan

Pembaharuan HGB 2 Tahun sebelum Berakhir Terlambat Pembaharuan HGB Akibat Hukum Terhadap HGB

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengaturan Tentang Pemberian Hak Guna Bangunan Di Atas Tanah Hak Milik Orang Lain

a. Konsep Hak Atas Tanah

Dalam hukum tanah, sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam Pasal 4 dinyatakan, bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian jelaslah apa yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA atau menurut yuridis adalah permukaan bumi. Sedangkan pengertian tanah secara umum adalah :

1. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali; 2. Keadaan bumi di suatu tempat;

3. Permukaan bumi yang diberi batas;

4. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal, dan sebagainya.)

Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan atau dimanfaatkan. Tanah itu sendiri mempunyai fungsi ganda. Seperti pendapat Achmad Rubaie berikut: “Tanah mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social

(14)

kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan.”2

Sebagai capital asset tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. Konsep hak-hak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional membagi hak-hak atas tanah menjadi dua bentuk :

1. Hak-Hak atas tanah yang bersifat primer

Hak-Hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindah-tangankan kepada orang lain atau ahliwarisnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu :

a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; d. Hak Pakai.

2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder

Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Disebut sementara karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan hak-hak itu dimiliki oleh orang lain. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu :

a. Hak Gadai;

b. Hak Usaha Bagi Hasil; c. Hak Menumpang;

d. Hak Menyewa atas tanah Pertanian.3

Konsep hak atas tanah secara umum telah dijelaskan pada pemaparan diatas. Sedangkan, konsep hak atas tanah yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah Hak Milik atas tanah dan Hak Guna Bangunan. Menurut konsep Burgerlijk Wetboek (BW) yang dianut oleh Belanda, “Hak perorangan disebut hak eigendom sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi atau

Hak Milik perorangan adalah Hak Milik individu secara perseorangan atas tanah yang asal

2 Achmad Rubaie,2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia Publishing,

Malang, hal.1-2

(15)

muasalnya merupakan Hak Buka Pertama.”4

Sebagai hak yang paling sempurna, pemegang hak Eigendom atas tanah dapat berbuat apa saja terhadap tanah tersebut asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain. Konsep BW diatas dapat dinyatakan bahwa hak seseorang atas tanah adalah hak yang tidak bisa diganggu gugat oleh pemerintah atau pihak manapun karena para pemegang hak atas tanah tersebut sudah memiliki kedudukan yang kuat atas tanahnya. Hak milik perorangan dan hak milik bersama adalah dua variabel dalam perkembangan hak kepemilikan yang menunjukkan hubungan sebab akibat, karena kepentingan bersama dari akibat hubungan sosial para individu. Maria S.W. Sumardjono, mencermati bahwa sebagai hak dasar, hak atas tanah sangat berarti sebagai eksistensi seseorang, kebebasan serta harkat dirinya sebagai manusia. Terpenuhinya hak dasar itu merupakan syarat untuk tumbuh dan berkembangnya hak-hak politik, karena penguasaan terhadap sebidang tanah melambangkan pula nilai kehormatan, kebanggaan dan keberhasilan pribadi, sehingga secara ekonomi, sosial dan budaya, tanah yang dimilikinya menjadi sebuah sumber kehidupan, simbol identitas, hak kehormatan dan martabat pendukungnya.5

b. Kepastian Hukum

Kepastian berasal dari kata pasti, yang artinya tentu; sudah tetap; tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu.6 Kepastian hukum memiliki arti “perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara.”7 Kepastian hukum adalah dasar dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan,

4 Putri Agus Wijayanti, 2001, Tanah dan Sistem Perpajakan Masa Kolonial Inggris, Terawang,

Yogyakarta, hal. 25

5

Maria S.W. Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi & Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal 59.

6 W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka, hal. 847 7 Anton M. Moelino, dkk., 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 1028

(16)

dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara. Menurut Pendapat Soehino dalam bukunya yang berjudul Ilmu Negara, Kepastian Hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah yang berdaulat. Dalam bukunya tersebut Soehino juga mengutip pendapat Krabe yang mengatakan, “bahwa hukumlah memiliki kedaulatan tertinggi. Kekuasaan bukan

kedudukan atau pangkat dan jabatan seorang pemimpin melaikan keuasaan itu dari hukum, karena hukumlah yang memberikan pengakuan hak maupun wewenang.”8

Kepastian hukum atau rechtszekerheid menurut J.M Otto, yang dikutip Tatiek Sri Djatmiati dikemukakan terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut :

a. Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan Negara;

b. Aparat pemerintah menetapkan aturan hukum tersebut secara konsisten dan berpegang pada aturan hukum tersebut;

c. Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum;

d. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan hukum tersebut; e. Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.9

Pendapat lainnya mengenai kepastian hukum dapat ditemukan dalam buku M. Yahya Harahap yang berjudul Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP, yang menyatakan bahwa kepastian hukum dibutuhkan didalam masyarakat demi terciptanya ketertiban dan keadilan. “Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat

dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri.”10

Sudikno Mertokusumo mengartikan “kepastian hukum, merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.”11

8 Soehino,1998, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hal.156.

9 Tatiek Sri Djatmiati,2002, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, PPS Unair, Surabaya,

hal.18

10 M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP , Sinar Grafika, Jakarta,

hal.76

(17)

Menurut Peter Mahmud Marzuki berkaitan dengan pengertian kepastian hukum dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, adanya aturan yang bersifat umum menbuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenagan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lain untuk kasus serupa yang telah diputus.12

Sedangkan pengertian kepastian hukum Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip Theo Huijbers, yang menyatakan bahwa pengertian hukum dibedakan menjadi tiga aspek yang diperlukan untuk mendapatkan pengertian hukum yang memadai. Aspek-aspek tersebut antara lain :

Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak unuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati.13 Jika mengkaitkan teori ini dengan apa yang dikaji oleh penulis maka penulis berpendapat, bahwa teori kepastian hukum membantu penulis untuk lebih menekankan akan kepastian hukum dari pemberian hak guna bangunan di atas tanah hak milik atas tanah di Kabupaten Sintang. Teori kepastian hukum dapat diaplikasikan ketika penulis mengkaji masalah pengaturan tentang pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik orang lain atas tanah dimana kedua belah pihak, sama-sama mempunyai kepentingan. Dari kepentingan tersebut harus dicarikan dasar, kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi hak-hak maupun kewajiban-kewajiban masing-masing pihak.

c. Tinjauan Umum Mengenai Hak Milik

12 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.158 13 Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisus, Cetakan keempat belas,

(18)

Hak milik diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Dalam Pasal 20 menyatakan bahwa hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.

Pendapat mengenai Hak Milik diutarakan oleh Kartini Mukjadi dan Gunawan Widjaya : Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang (paling) luas pada pemegangnya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan UUPA.14

Sifat hak milik ialah turun temurun, terkuat, dan terpenuh. Turun temurun berarti hak milik adalah tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang memiliki hak tersebut, namun dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya jika pemegangnya meninggal dunia. Terkuat menunjukkan jangka waktu Hak Milik tidak terbatas dan merupakan hak yang terdaftar sehingga mudah dipertahankan terhadap pihak lain. Terpenuh dimaksudkan bahwa hak milik dapat dibebani dengan jenis hak atas tanah yang lain serta dapat juga dibebani hak tanggungan dan penggunaannya relatif lebih luas dari hak atas tanah yang lain. Hak Milik memberikan wewenang kepada pemegangnya yang paling kuat dibanding hak yang lain. Hak Milik merupakan induk dari hak lainnya, tidak berinduk kepada hak atas tanah lain karena Hak Milik adalah hak yang paling penuh. Penggunaannya juga tak terbatas untuk keperluan tertentu saja, berbeda dengan hak atas tanah lainnya. Selain dari turun-temurun, terkuat, dan terpenuh, ada sifat lain dari tanah Hak Milik yaitu mempunyai fungsi sosial. “Fungsi sosial berarti, bahwa hak

atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan

(19)

dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.”15

Hak Milik memiliki ciri-ciri antara lain :

1) Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan juga dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan Hak Tangunggan.

2) Dapat digadaikan. Berbeda dengan Hak Tanggungan, gadai bukan hak jaminan. Hak milik dapat dijadikan utang tetapi tanahnya diserahkan pada kekuasaan pemegang gadai. Pemegang gadai berwenang mengusahakan tanah tersebut dan mangambil hasilnya. Pemegang gadai juga dapat menyewakan atau membagihasilkan tanah tersebut kepada orang lain, Hak gadai bukan hak jaminan tetapi hak atas tanah. 3) Dapat dialihkan kepada orang lain. Peralihan hak milik dapat dilakukan dengan jual

beli, tukar menukar, hibah, wasiat, dan lain-lain.

4) Dapat dilepaskan dengan sukarela. Pelepasan hak tersebut ditujukan kepada pemerintah.

5) Dapat diwakafkan, karena jangka waktunya tidak terbatas.

Hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) tunggal saja, dan tidak dapat dimiliki oleh Warga Negara asing dan badan hukum, baik yang didirikan di Indonesia maupun yang didirikan di luar negeri. Dalam konsep hukum, hubungan antara orang dengan benda merupakan hubungan yang disebut “hak”. Makna dari hak adalah hak

kepemegangan atas suatu benda disebut hak milik atas benda atau dikenal sebagai Property

Right.16

15 Badriah Harun, Op.cit, hal. 17

(20)

d. Tinjauan Umum Mengenai Hak Guna Bangunan (HGB)

Pengaturan Hak Guna Bangunan dalam UUPA adalah dalam Pasal 35 sampai 40. Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Selain itu Hak Guna Bangunan juga diatur dalam Pasal 19 sampai 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah. Hak Guna Bangunan merupakan hak atas tanah yang khusus diperuntukan guna mendirikan bangunan di atasnya, tidak bisa difungsikan untuk kepentingan yang lain. Pengertian lain mengenai Hak Guna Bangunan ditulis juga dalam buku Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia : “Sebuah Hak Guna Bangunan (“superficies”,“opstal”) memberikan hak untuk memperoleh kepemilikan atas

bangunan atau konstruksi yang terpisah dari kepemilikan atas sebuah tanah.”17 Pendapat Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto mengenai Hak Guna Bangunan: “Hak Guna Bangunan dalam

UUPA adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah tersebut. jadi bukan hak untuk menggunakan bangunan milik orang lain”18

Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto menambahkan ciri-ciri dari hak guna bangunan adalah :

1. Peruntukannya hanya untuk bangunan (mendirikan dan mempunyai bangunan)… HGB tidak akan diberikan kepada perusahaan yang bergerak dibidang pertanian, termasuk perkebunan maupun peternakan.

2. Diatas tanah yang bukan miliknya HGB adalah hak atas tanah yang dapat diperoleh diatas tanah yang bukan miliknya. Di atas tanah yang bukan miliknya ini maksudnya

17

Arie S Hutagalung dkk, 2012, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, hal.15

18 Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, Hak Atas Tanah dan Peralihannya, Liberti, Yogyakarta

(21)

bahwa HGB dapat diberikan di atas tanah Negara, bisa juga di atas tanah Hak Pengelolaan, bisa juga di atas tanah Hak Milik orang lain.19

Menurut Pasal 36 ayat (1) UUPA, yang dapat memegang Hak Guna Bangunan ialah : a. Warga Negara Indonesia Hanya WNI saja yang dapat memiliki Hak Guna Bangunan.

Orang asing tidak dapat mempunyai Hak Guna Bangunan.

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan hanya badan-badan yang sama seperti ketentuan tentang badan hukum yang menjadi subyek hukum Hak Milik. Badan hukum yang dimaksud harus memenuhi kedua unsur, yaitu yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dapat diartikan jika harus memenuhi kedua unsur yang telah disebutkan, tidak bisa hanya memenuhi salah satunya saja.

Hak Guna Bangunan terjadi dengan pemberian oleh Pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan, serta mengikat pihak ketiga sejak didaftarkannya akta tersebut. Pada Pasal 24 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah mengatakan bahwa, ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden sedangkan keputusan presiden yang dimaksud sampai dengan saat ini belum ada.

Secara umum pada pengertian Hak Guna Bangunan berdasarkan Pasal 35 UUPA telah di sebutkan bahwa Hak Guna Bangunan diberikan paling lama 30 (tigapuluh) tahun atas tanah yang bukan menjadi miliknya sendiri. Jangka Waktu Hak Guna Bangunan juga diatur dalam Pasal 26

19 ibid, hal.73-74

(22)

sampai Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah.

Pasal 30 PP. Nomor 40 Tahun 1996, pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban : a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam

keputusan pemberian haknya.

b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya.

c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.

d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus.

e. Menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus Kepala Kantor Pertanahan.

e. Perjanjian Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik

Berdasarkan ketentuan hukum dalam Pasal 37 UUPA Hak Guna Bangunan atas tanah hak milik terjadi karena “perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.”

Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah sesuai dengan Pasal 29 yang berbunyi :

1 Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun.

2 Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Memperpanjang jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dilakukan dengan memberikan Hak Guna Bangunan baru dengan perjanjian baru.

Dari ketentuan dalam pasal 29 ayat (2) Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik tidak dapat diperpanjang tapi dapat diperbaharui atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna

(23)

Bangunan dan pemegang Hak Milik dengan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan (objek Hak Guna Bangunan) adalah:

1. Tanah Negara

2. Tanah Hak Pengelolaan. 3. Tanah Hak Milik

Maka berdasarkan objeknya Hak Guna Bangunan dapat terjadi :

1. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara terjadi dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 22 ayat (1) PP 40/1996).

2. Hak Guna Bangunan yang berasal dari Hak Pengelolaan terjadi dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang berwenang yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan (Pasal 22 ayat (2) PP 40/1996).

3. Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik terjadi dengan perjanjian oleh pemegang Hak Milik dengan penerima hak dengan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.20

Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik terjadi dengan perjanjian oleh pemegang Hak Milik dengan penerima Hak Guna Bangunan. Pengertian perjanjian diartikan berbeda-beda dari beberapa pemikiran, akan tetapi memiliki maksud dan tujuan yang sama, dimana adanya suatu hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian itu.

Menurut Abdulkadir Muhammad, pengertian perjanjian adalah :

“Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.21

Sedangkan perjanjian menurut R. Setiawan, adalah :

20 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 17. 21Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 77

(24)

“Suatu perbuatan berdasarkan kata sepakat antara dua orang atau lebih pihak untuk

mengadakan akibat-akibat hukum yang diperkenankan. Jadi sebetulnya suatu perjanjian itu tidak lain dari persetujuan yang mengakibatkan hak dan kewajiban”.22

Selain pengertian-pengertian di atas dapat juga dilihat dalam Pasal 1313 KUH Perdata mengenai pengertian perjanjian. Dimana dari pengertian-pengertian perjanjian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian merupakan hubungan yang terjadi atara dua pihak atau lebih yang saling terkait yang mempunyai hak dan kewajiban serta bertanggung jawab terhadap prestasi yang dilakukan.

Dalam mengadakan suatu perjanjian maka perjanjian tersebut dianggap sah, haruslah dipenuhi dua syarat pokok yakni :

1. Syarat Subjektif adalah para pihak yang mengadakan perjanjian 2. Syarat Objektif adalah mengenai apa-apa yang harus diperjanjikan

Baik syarat subjektif dan objektif dapat dilihat pada pasal 1320 KUH Perdata, yaitu untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Apabila syarat-syarat perjanjian tersebut telah dipenuhi, maka pemberian Hak Guna Bangunan antara pihak penerima hak guna bangunan dengan pemegang hak milik atas tanah adalah sah dan mengikat kedua belah pihak.

Ketentuan dalam perjanjian itu ditentukan oleh pihak-pihak yang membuatnya dan mewajibkan mereka untuk melaksanakannya. Hal mana telah ditegaskan pada Pasal 1338 ayat

(25)

(1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku secara

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak yang membuat perjanjian dengan isi dan macam apa saja asal tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Disamping itu para pihak juga diperbolehkan untuk membuat ketentuan sendiri dan mengatur sendiri kepentingan dalam perjanjian yang dibuat itu, seperti halnya dalam kesepakatan atau perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara penerima hak guna bangunan dengan pemegang hak milik atas tanah.

2.2.Akibat Hukum Atas Hak Guna Bangunan Yang Jangka Waktu Pembaharuannya Telah Berakhir

Untuk menjaga kelestarian tanah-tanah yang ada di Kabupaten Sintang, banyak cara agar tanah-tanah tersebut masih tetap berada dalam kepemilikan penduduk asli, namun pihak lain dapat memanfaatkan tanah-tanah tersebut untuk dijadikan sarana dan prasarana bisnis. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, dikenal Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atas tanah.

Pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik diartikan, para penduduk asli Kabupaten Sintang yang mempunyai tanah-tanah Hak Milik, dapat bekerja sama dengan pihak lain (investor) melalui suatu perjanjian permulaan pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik atau sewa-menyewa yang memuat kesepakatan kedua belah pihak bahwa di atas tanah Hak Milik yang diperjanjikan tersebut akan dibebani/diberikan Hak Guna Bangunan.

Adapun tanah yang diberikan Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik adalah : 1. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang

Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. 2. Pemberian ini wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

(26)

4. Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun.

5. Atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan.23

Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) PP. No. 40 Tahun 1996 menyatakan “Permohonan

perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhir jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya”.

Setelah jangka waktu berakhir dan tidak ada kesepakatan pembaharuan pemberian Hak Guna Bangunan baru, maka pihak Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus.

Hapusnya Hak Guna Bangunan berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria adalah :

1. Jangka waktunya berakhir sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya.

2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir karena:

a. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan

b. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan

c. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap

3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir

4. Dicabut haknya berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 5. Tanahnya diterlantarkan

6. Tanahnya musnah

7. Ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria.

(27)

Sedangkan menurut ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996, Hak Guna Bangunan dapat hapus karena :

a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya;

b. dibatalkan oleh Pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena:

1. tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32; atau

2. tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan; atau

3. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tepat;

a. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; b. ditelantarkan;

c. tanahnya musnah.

Hapusnya Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya kembali kepada penguasaan pemilik Hak Milik tanah tersebut.24 Hapusnya Hak Guna Bangunan karena dibatalkan oleh pejabat yang berwenang akan diterbitkan Surat Keputusan yang bersifat

konstitutif. Sedangkan hapusnya Hak Guna Bangunan karena jangka waktunya berakhir,

dilepaskan secara sukarela oleh pemegang Hak Guna Bangunan sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut Hak Guna Bangunannya, diterlantarkan, tanahnya musnah dan pemegang Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan maka diterbitkan suatu Surat Keputusan yang bersifat deklaratoir.

Konsekwensi bagi bekas pemegang Hak Guna Bangunan atas hapusnya Hak Guna Bangunan tersebut sebagaimana diatur pada Pasal Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, yaitu :

Apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus sebagaimana dimaksud Pasal 35, maka bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak

(28)

Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik.

Dalam penjelasan Pasal 38 dinyatakan bahwa :

Penyelesaian penguasaan bekas Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dan atas tanah Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus dilaksanakan sesuai perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan antara pemegang Hak Pengelolaan dan pemegang Hak Guna Bangunan atau perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan.

Akibat hukum terhadap bangunan yang ada di atas tanah hak milik setelah jangka waktu HGB berakhir, maka dapat diartikan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat berdasarkan perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan.

Teori akibat hukum digunakan sebagai pisau analisis untuk menganalisis status bangunan pemegang Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik yang di atasnya diberikan Hak Guna Bangunan. Perlindungan hukum yang dimaksud untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang dilakukan. Pihak yang dimaksud adalah pemegang hak guna bangunan di atas tanah hak milik, dan pemegang hak milik yang diatasnya diberikan hak guna bangunan.

(29)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1.Metode Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan metode kualitatif dengan pendekatan yang bersifat yuridis

sosiologis yaitu pendekatan masalah melalui penelitian hukum dengan fakta yang ada pada

instansi yang bersangkutan ataupun masyarakat sehubungan dengan permasalahan yang ditemui dalam penelitian.25 Penggunaan pendekatan ini dimaksud untuk memperoleh penjelasan atas permasalahan yang diteliti beserta hasilnya dikaitkan dengan aspek-aspek hukumnya/peraturan-peraturan hukumnya dan melihat realitas empirik dalam masyarakat. Pada dasarnya hukum tidak hanya dilihat sebagai suatu gejala normatif yang mandiri, tetapi sebagai suatu lembaga sosial yang secara nyata berkaitan dengan variabel-variabel sosial lain. Hukum mungkin dapat dipahami dengan baik tanpa memahami sistem sosial yang lebih luas di tempat hukum ini berlaku.26 Sedangkan penggunaan metode kualitatif didasarkan pada pertimbangan bahwa, metode kualitatif diharapkan mampu memberikan suatu penjelasan secara terperinci tentang fenomena yang sulit disampaikan dengan metode kuantitatif.27

3.2.Sifat Penelitian

Sifat Penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan secara menyeluruh dan sistematis obyek dari pokok permasalahan.28

Penelitian deskriptif analitis

25 Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum.Universias Indonesia. Jakarta.

26 Ronny Hanitijo Soemitro, Persfektif Sosial dalam Pemahamam Masalah-Masalah Hukum, Agung Press,

Semarang, 1989, hlm. 3-4

27 Struss. Anselm, Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (Prosedur, Teknik dan Teori Grounded), Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 13

(30)

berupaya untuk memecahkan maslah penelitian dengan cara memaparkan keadaan objek yang diteliti sebagaimana adanya, berdasarkan faktor-faktor aktual pada saat sekarang.29 Dengan penelitian ini diharapkan hasil yang diperoleh dapat memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai Ketentuan Penggunaan Hak Guna Bangunan di Atas Tanah Hak Milik dan Akibat Hukumnya terhadap Pemegang Hak (Studi Kasus di Kabupaten Sintang). 3.3.Teknik Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang diperoleh melalui penelitian langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder yang bersumber dari bahan-bahan kepustakaan maupun dokumen-dokumen yang diperoleh pada waktu awal maupun pada saat penelitian lapangan. Kemudian kedua data tersebut dianalisis secara mendalam.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Data Primer dan Data Sekunder.

a. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan, melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam proses pemberian hak guna bangunan diatas tanah hak milik.

b. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dengan cara studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum yang terdiri dari :

1) Bahan Hukum Primer

29 Barda Nawawi Arief, Martini Hardadi, Instrumen Penelitian, University Press, Yogyakarta, 1992, hlm.

(31)

Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat berupa peraturan dasar maupun peraturan perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah.

2) Bahan Hukum Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku yang terkait dengan hukum agrarian, metode penelitian hukum, makalah, hasil penelitian, artikel dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.30

3) Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamus hukum.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder.

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dalam pemberian hak guna bangunan diatas tanah hak milik di Kabupaten Sintang, Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang dan Notaris/PPAT yang menangani pemberian hak guna bangunan di atas tanah hak milik di Kabupaten Sintang. 2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari kepustakaan yang meliputi bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

(32)

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tekni-teknik sebagai berikut, yaitu :

a. Wawancara (interview)

Wawancara/interview merupakan suatu proses tanya jawab secara lisan di mana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda satu pihak sebagai pencari informasi dan satu pihak lagi disebut informan/responden.31 Dengan cara ini penulis melaksanakan komunikasi langsung dengan sumber data (Responden) melalui wawancara (interview) langsung terhadap sumber data, adapun yang menjadi sumber data.

Peneliti melakukan wawancara ini dengan menggunakan teknik wawancara terarah (directive

interview) yaitu peneliti terlebih dahulu merencanakan pelaksanaan wawancara. Wawancara

dilakukan berdasarkan suatu daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Pertanyaan disusun terbatas pada aspek-aspek dari masalah yang diteliti. Dengan melalui wawancara, peneliti akan memperoleh data sesuai dengan keinginan dan permasalahan yang akan dibahas.

b. Studi Kepustakaan (Library Resarch)

Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan, yang dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data kepustakaan sebagai data sekunder diperoleh melalui pengkajian serta penguraian bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku, literatur, makalah, hasil penelitian, artikel, ataupun karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini.

(33)

3.4.Populasi dan Sampel a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian dengan ciri sama. Populasi dapat berupa orang, benda, kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat, dengan sifat atau ciri sama.32 Dalam penelitian tersebut di atas, maka penulis dalam penelitian ini mengambil populasi yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang, Pemegang Hak Milik atas tanah atas tanah yang diberikan HGB dan Pemohon Pembaharuan HGB di atas tanah Hak Milik dan 7 (tujuh) orang Notaris/PPAT di Kabupaten Sintang.

b. Sampel

Sampel adalah merupakan bagian dari populasi, yang menjadi sumber data dalam penelitian ini. Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan bentuk Purposive Sampling (sampel bertujuan), yaitu memilih orang-orang tertentu karena dianggap mewakili populasi. Sebagaimana dikatakan Hadari Nawawi tentang Purposive Sampling adalah :

“Dalam teknik ini pengambilan sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian. Ukuran sampel tidak dipersoalkan sebagaimana di dalam accidental sampling. Perbedaannya terletak pada pembatasan sampel dengan hanya mengambil unit sampling yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan kata lain unit sampel yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian.”33

Sehubungan dengan itu, maka dalam penelitian ini penulis telah mengambil sampel sebagai berikut :

1. Kepala Seksi Penetapan Tanah dan Pendaftaran Tanah

32 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 118 33 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hal.

(34)

2. 3 (tiga) orang Notaris/PPAT di Kabupaten Sintang

3. 7 (tujuh) orang Pemohon Pembaharuan HGB atas tanah Hak Milik yang terlambat 4. 1 (satu) orang Pemegang Hak Milik atas tanah yang di berikan HGB

3.5.Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka langkah penting selanjutnya adalah analisis data.34 Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yakni data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di analisis dengan pendekatan kualitatif dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan hasil penelitian kepustakaan dan analisis lapangan untuk dapat memperoleh kesimpulan yang tepat dan logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.35

Analisis adalah suatu metode atau cara untuk memecahkan suatu masalah atau menguji suatu hipotesis, berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan pada akhirnya diinterprestasikan untuk menjawab suatu masalah. Dalam penelitian ini analisis data yang dipergunakan analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis yaitu yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh,36 maksudnya data yang diperoleh disusun secara sistematis kemudian dianalisis secara kualitatif agar diperoleh kejelasan masalah yang akan dibahas.

Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen pada dasarnya merupakan data yang dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis (dikelompokkan, digolongkan sesuai dengan karakteristiknya) untuk memperoleh kejelasan

34 Bambang Sunggono, 1977, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 19 35 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107

(35)

penyelesaian masalah dalam skripsi ini. Kemudian ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.37

3.6.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang Jalan Moh. Saad No 7, Tanjungpuri dan Kantor Notaris/PPAT di Kabupaten Sintang. Selain itu dari segi praktis, peneliti diharapkan lebih mudah memperoleh data karena peneliti bekerja di Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang dan berdomisili di Sintang.

(36)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Sintang merupakan salah satu daerah bagian timur di Provinsi Kalimantan Barat yang di lalui oleh garis Khatulistiwa dengan Ibu kotanya Sintang, terletak di antara 1o05’ Lintang Utara dan 0o46’ Lintang Selatan serta 110o50’ Bujur Timur dan 113o20’ Bujur Timur. Secara geografis batas administrasi Kabupaten Sintang berbatasan dengan wilayah Kabupaten, Propinsi dan Negara Lain, yaitu :

 Utara : berbatasan dengan Serawak, Negara Malaysia, dan Kabupaten Kapuas Hulu.

 Selatan : berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Melawi, serta Kabupaten Ketapang.

 Timur : berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kapuas Hulu.  Barat : berbatasan dengan Kabupaten Melawi, Sanggau dan Sekadau.

Kabupaten Sintang merupakan kabupaten yang memiliki luas wilayah ketiga terbesar di Provinsi Kalimantan Barat setelah Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu. Kabupaten Sintang dilalui oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Luas Kabupaten Sintang adalah 21.635 km2, yang terdiri dari 14 Kecamatan, 6 Kelurahan dan 281 Desa. Seluruh wilayah Kabupaten Sintang terbagi menjadi 14 Kecamatan, 6 Kelurahan dan 281 Desa. Kecamatan-kecamatannya adalah: Ambalau, Binjai Hulu, Dedai, Kayan Hilir, Kayan Hulu, Kelam Permai, Ketungau Hilir, Ketungau Hulu, Ketungau Tengah, Sungai Tebelian, Sepauk, Serawai, Tempunak dan Kecamatan Sintang. Kecamatan Ketungau Hulu dan Ketungau Tengah berbatasan langsung dengan Malaysia. Rincian luas wilayah setiap Kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

(37)

Nama Kecamatan Jumlah Kelurahan /Desa Luas Wilayah (Ha) (%) thd total Serawai 24 212.750 9,83 Ambalau 13 638.640 29,52 Kayan Hulu 29 93.750 4,33 Sepauk 33 182.570 8,44 Tempunak 24 102.700 4,75 Sei. Tebelian 21 52.650 2,43 Sintang 15 27.705 1,28 Dedai 20 69.410 3,21 Kayan Hilir 26 113.670 5,25 Kelam Permai 16 52.380 2,42 Binjai Hulu 11 30.765 1,42 Ketungau Hilir 17 154.450 7,14 Ketungau Tengah 20 218.240 10,09 Ketungau Hulu 18 213.820 9,88 Jumlah 287 2.163.500

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sintang, 2015.

Jumlah penduduk Kabupaten Sintang hasil Sensus Penduduk 2010 oleh BPS Kabupaten Sintang sebanyak 364.759 jiwa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 1,61% per tahun periode 2000-2010. Penduduk ini tersebar di empat belas kecamatan, namun persebarannya tidak merata. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Sintang (59.410 atau 16,29%), dan jumlah ini hampir lima kali lipat dari jumlah penduduk di Kecamatan Binjai Hulu (11.332 atau 3,11%). Secara keseluruhan jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada perempuan (sex ratio 107) dan kondisi ini terdapat di semua kecamatan. Kabupaten Sintang dapat dikategorikan pada berpenduduk jarang karena kepadatan penduduknya baru mencapai 17 jiwa/km2. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Sintang (214 jiwa/km2) dan terendah berada di kecamatan Ambalau (2 jiwa/km2).

Sedangkan jumlah penduduk per kecamatan tahun 2010 berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil seperti pada tabel berikut ini :

(38)

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Per-Kecamatan di Kabupaten Sintang Tahun 2010

No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. Sintang 30.681 28.980 59.661 2. Tempunak 13.626 12.514 26.140 3. Sepauk 26.710 24.563 51.273 4. Ketungau Hilir 10.860 10.081 20.941 5. Ketungau Tengah 12.496 11.555 24.051 6. Ketungau Hulu 10.931 10.139 21.070 7. Dedai 13.210 12.406 25.616 8. Kayan Hilir 13.780 12.733 26.513 9. Kayan Hulu 13.361 12.863 26.224 10. Serawai 10.367 9.780 20.147 11. Ambalau 8.279 7.613 15.892 12. Kelam Permai 9.404 8.869 18.273 13. Sungai Tebelian 15.590 14.290 29.880 14. Binjai Hulu 6.320 5.809 12.129 Jumlah 195.615 182.195 377.810 Sumber :BPS Sintang, 2015

Untuk mempercepat dan meningkatkan pengembangan suatu daerah, seluruh kekuatan atau potensi ekonomi yang ada didaerah harus dipadukan, potensi ekonomi rakyat banyak, potensi perusahaan swasta, maupun potensi pemerintah yang ada di daerah perlu di kembangkan dalam bentuk kemitraan ekonomi harmonis, sehingga dapat menjadi pengerak pengembangan daerah.

Sejalan dengan tujuan pembangunan ekonomi, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam mencakup : perkebunan, pertanian perikanan dan perternakan di arahkan kepada pertanian yang maju, efisien, dan tangguh. Pengembangan sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil, produktivitas, pendapatan, dan taraf hidup petani. Penunjang pedapatan masyarakat di sektor komoditi unggulan terdapat pada perkebunan kelapa sawit, karet dan lada. Bidang pertanian seperti jagung, kedelai, ubi jalar dan ubi kayu, bidang peternakan sapi, babi kambing serta bidang jasa yaitu wisata alam. Untuk mengetahui kondisi tersebut (perekonomian)

(39)

suatu daerah dalam suatu priode tertentu dapat dilihat dari pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah (PDRBD).

Tabel 4.3 Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah (Harga Konstant) Kabupaten Sintang

Sektor Tahun 2012 2011 2010 Rupiah (juta) % Rupiah (juta) % Rupiah (juta) % Pertanian 854.131 36,69 825.880 37,55 798.442 38,27 Pertambangan 74.270 3,19 70.073 3,19 66.670 3,20 Industri Pengolahan 223.730 9,61 213.218 9,69 205.167 9,84 Listrik dan Air Bersih 6.353 0,27 6.000 0,27 5.722 0,27 Bangunan 183.066 7,86 164.564 7,48 150.868 7,23 Perdagangan, Hotel, Restoran 565.766 24,31 528.454 24,02 494.492 23,70 Angkutan/Komunikasi 82.901 3,56 75.135 3,42 68.721 3,29 Bank/Keu/Perum 90.828 3,90 84.369 3,84 78.541 3,77 Jasa 246.721 10,60 231.983 10,55 217.452 10,42 Total 2.327.768 100 2.199.676 100 2.086.074 100 Laju Pertumbuhan 6 5 5

Sumber Data : http://sintangkab.bps.go.id/semua-publikasi.html, 2015

Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang memiliki wilayah kerja seluruh wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang, Kabupaten Sintang sendiri memiliki luas wilayah 21.635 km2 yang terbagi dalam 14 Kecamatan, dengan jumlah penduduk 364.759 jiwa. Dari sekian luas wilayah dan jumlah penduduk tersebut untuk urusan pelayanan di bidang pertanahan Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang memiliki jumlah pegawai sebanyak 26 orang.

Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang memiliki Visi “Menjadi Instansi pelayanan Pertanahan yang Memberikan Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Kepada Masyarakat di Kabupaten Sintang.” Untuk mencapai visi tersebut maka dibutuhkan semua misi yaitu “Memberikan Pelayanan Prima Bidang Pertanahan Kepada Masyarakat dengan Cepat, Tepat dan

(40)

Transparan.” Dengan motto yang diusung Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang dalam

memberikan pelayanan pertanahan kepada masyarakat adalah “Melayani Bukan Dilayani.” Untuk memudahkan memberikan pelayanan kepada masyarakat maka dilakukan pembagian tugas sesuai dengan jabatan dalam bentuk struktur organisasi. Sesuai Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan, maka Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang memiliki susunan Organisasi, untuk lebih jelasnya struktur organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut ini :

(41)

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang Berdasarkan Peraturan Kepala Badan BPN RI Nomor 4 Tahun 2006

Sumber Gambar : Dokumen Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang, 2015.

Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten Sintang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan, Kedudukan, Tugas pokok dan fungsi Kantor Pertanahan adalah sebagai berikut :

KEPALA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SINTANG

KEPALA SUB BAGIAN TATA USAHA Kepala Urusan Perencanaan Keuangan Kepala Urusan Umumdan Kepegawaian KEPALA SEKSI SENGKETA KONFLIK DAN PERKARA PERTANAHAN KEPALA SEKSI PENGENDALIAN DAN PEMBERDAYAAN KEPALA SEKSI PENGATURAN DAN PENATAAN PERTANAHAN KEPALA SEKSI HAK TANAH DAN PENDAFTARAN TANAH KEPALA SEKSI SURVEI, PENGUKURAN DAN PEMETAAN Kepala Sub Seksi Pengukuran dan Pemetaan Kepala Sub Seksi Tematik dan Potensi Tanah Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah Kepala Sub Seksi Pengaturan Tanah Pemerintah

Kepala Sub Seksi Pendaftaran Hak

Kepala Sub Seksi Peralihan, Pembebanan Hak dan PPAT Kepala Sub Seksi Landreform dan Konsolidasi Tanah Kepala Sub Seksi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu Kepala Sub Seksi Pemberdayaan Masyarakat Kepala Sub Seksi Pengendalian Pertanahan Kepala Sub Seksi Perkara Pertanahan Kepala Sub Seksi Sengketa dan Konflik Petanahan

(42)

1. Kedudukan Kantor Pertanahan

a. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal BadanPertanahan Nasional di Kabupaten atau Kota yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor-kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.

b. Kantor Pertanahan dipimpin oleh seorang Kepala Kantor Pertanahan mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Partanahan Nasional di Kabupaten atau Kota yang bersangkutan.

2. Tugas Pokok Kantor Pertanahan

Kantor Pertanahan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Badan Pertanahan dalam lingkup wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

3. Fungsi Kantor Pertanahan

a. Penyusunan rencana, program, dan penganggaran dalam rangka pelaksanaan tugas pertanahan.

b. Pelayanan, perijinan, dan rekomendasi dibidang pertanahan.

c. Pelaksanaan survey, pengukuran, dan pemetaan dasar, pengukuran dan pemetaan bidang, pembukuan tanah, pemetaan tematik, dan survey potensi tanah.

d. Pelaksana penatagunaan tanah, landreform, konsolidasi tanah, dan penataan tanah wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, perbatasan, dan wilayah tertentu.

e. Pengusulan dan penetapan hak tanah, pendaftaran tanah, pemeliharaan data pertanahan dan administrasi tanah asset pemerintah.

f. Pelaksana pengendalian pertanahan, pengolahan tanah Negara, tanah terlantar dan tanah kritis, peningkatan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Gambar

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Per-Kecamatan di Kabupaten Sintang Tahun 2010
Tabel 4.3 Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah (Harga Konstant) Kabupaten Sintang
Gambar 4.1  Struktur  Organisasi  Kantor  Pertanahan  Kabupaten  Sintang  Berdasarkan  Peraturan  Kepala Badan BPN RI Nomor 4 Tahun 2006

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga miskin dari kalangan muslim yang tidak mampu mengakses pendidikan di sekolah umum mejatuhkan pilihan ke pesantren karena adanya kecenderungan keterbukaan dunia

Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah pada Pasal 83, Angka 1, Huruf d, yang.

Menurut Suyanto (1999) dalam Dwiyono (2004), pakan yang akan digunakan untuk pembesaran ikan lele ini relatif mudah didapat karena beberapa perusahan pakan telah

Sedangkan pada return on equity (rentabilitas) tingkat pertumbuhan bank umum konvensional mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, berbeda dengan bank umum

angka keluaran hongkong tahun 2004 sampai dengan thn 2005, arsip data paito result pasaran togel dan pengeluran togel hkg pools.. 2.1 Aset 2.2 Liabiliti 2.3 Ekuiti Pemilik 2.4 Hasil

dan mereka itu tidak nampak yang ia adalah satu gerakan atau pertubuhan

Atribut-atribut tersebut adalah kualitas grafis, tidak sering crash,tidak sering hang, tidak sering lag, kapasitas baterai, kualitas gambar yang ditangkap/diambil,

Perbedaan antara benih unggul dengan benih padi tidak unggul terletak pada proses sertifikasi, dimana benih bibit unggul di proses dan di pelihara sedemikian rupa