• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jakarta, 11 November Binsar J. Pakpahan, Ph.D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jakarta, 11 November Binsar J. Pakpahan, Ph.D"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

MEMIMPIN SESI KONSULTASI NASIONAL MAHASISWA TEOLOGI DI INDONESIA TENTANG PROSPEK DAN TANTANGAN PELAYANAN GEREJA ERA MILENIAL

ONLINE, 10 NOVEMBER 2020

Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia mengadakan pertemuan mahasiswa teologi se-Indonesia sekali setahun. Tema tahun ini adalah Gereja Milenial: Prospek dan Tantangan. Saya diminta untuk menyampaikan sesi kepada hampir 200 mahasiswa teologi dari seluruh Indonesia mengenai tantangan pelayanan, peluang, dan apa terobosan yang bisa dilakukan dalam melakukan pelayanan di gereja milenial.

Jakarta, 11 November 2020

(4)

Nomor : 0671/A.A5/10.2020 Jakarta, 21 Oktober 2020 Lamp. : 1 (satu) berkas

Perhal : Permohonan Menjadi Narasumber Kepada Yth;

Pdt. Binsar Pakpahan Ph.D Di Tempat

Salam Sejahtera,

Semoga Bapak senantiasa sehat, di tengah pergumulan kita bersama menghadapi pandemi Covid-19. Dalam rangka memajukan pendidikan teologi di Indonesia maka PERSETIA akan menyelenggarakan KNMTI PERSETIA 2020. Program ini diperuntukkan untuk pengurus senat mahasiswa Strata 1 (BEM/Senat) atau mahasiswa yang memiliki minat pada tema KNMTI 2020, yang akan berlangsung pada tanggal 09 - 11 November 2020, melalui aplikasi ZOOM. Kegiatan ini mengambil tema: Gereja Milenial: Prospek dan Tantangan.

Sehubungan dengan itu, kami mohon kesediaan Bapak Pdt. Binsar Pakpahan Ph.D sebagai narasumber bersama dengan Ev. Jimmy SetiawanMTS pada:

Hari/Tanggal : Selasa, 10 November 2020 pukul 08.30 – 10.30 (WIB)

Topik : Sesi 4 : Prospek dan Tantangan Pelayanan Gereja Era Milenial

Sasaran dari sesi ini adalah

- Peserta memahami tantangan pelayanan Gereja di Era Milenial

- Peserta memahami peluang-peluang yang ada untuk memajukan pelayanan Gereja di Era Milenial

- Peserta mengetahui terobosan-terobosan yang telah dilaksankan Pdt. Binsar Pakpahan Ph.D baik secara pribadi maupun lembaga gereja/dosen STT dalam melayani kaum milenial. (sharing pengalaman dan refleksi)

Durasi presentasi 25 menit dan dilanjutkan dengan Tanya-Jawab. Mengingat bahwa kagiatan seperti ini mempunyai bobot akademis, kami mohon agar Bapak mempersiapkan materi dalam bentuk Microsoft Word dan Power Point sehingga materi tersebut dapat melengkapi para peserta, juga sebagai dokumen di PERSETIA. Terlampir TOR Kegiatan tersebut untuk dipelajari.

Demikianlah permohonan kami, atas perhatian, bantuan dan kerjasama yang diberikan, kami sampaikan terima kasih. Kiranya Tuhan memberkati kita sekalian dalam visi bersama untuk memajukan Pendidikan di Indonesia dan membawa bangsa kearah yang lebih baik.

Teriring salam dan doa, a/n. Pengurus PERSETIA Direktur Pelaksana

Lenta Enni Simbolon, M.Div., Th.M

(5)

KERANGKA ACUAN

KONSULTASI NASIONAL MAHASISWA TEOLOGI DI INDONESIA (KNMTI) “Gereja Milenial: Prospek dan Tantangan”

9 - 11 November 2020

Host : Pengurus PERSETIA (virtual)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Dasar Pemikiran

Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi (KNMTI) telah berlangsung sejak tahun 1969 di Kaliurang atas dukungan PERSETIA. Waktu itu konsultasi ini disponsori oleh 3 serangkai Sekolah Anggota PERSETIA yaitu STT Jakarta, STT Duta Wacana, Yogyakarta dan Akademi Theologia Bale Wiyata Malang yang kemudian melahirkan Ikatan Persekutuan Mahasiswa Theologia se-Indonesia (IPERMASTHI). Persekutuan ini mengalami berbagai hambatan, terutama kelanjutan kepemimpinan/kepengurusan karena mahasiswa silih berganti mamasuki pelayanan gereja/jemaat. Kegiatan ini kemudian diambil alih oleh pengurus PERSETIA dan diadakanlah Konsultasi Nasional pada tahun 1986 sampai 1994 yang memusatkan perhatian pada bisnis organisasi kemahasiswaan.

Setelah itu bersamaan dengan semakin dikembangkannya studi isu-isu teologi kontekstual maka kegiatan kemahasiswaan diarahkan juga ke sana. Mulailah dikembangkan teologi kontekstual di kalangan mahasiswa dan setiap konsultasi diarahkan untuk membahas isu-isu tersebut sambil membangun komitmen dan rencana untuk mengembangkan studi dan aksi bersama di wilayah masing-masing. Upaya pengembangan melalui jaringan yang dibentuk itu akan dievaluasi dalam konsultasi berikutnya. Dengan pengembangan isu-isu tersebut di wilayah-wilayah, para mahasiswa didorong untuk mengadakan penelitian bersama. Bersamaan dengan itu konsultasi ini juga berusaha membangun semangat ekumenis sekaligus melatih jiwa kepemimpinan para mahasiswa.

(6)

B. Deskripsi Konsultasi

Revolusi industri 5.0 adalah bagian dari arus deras modernisasi yang terjadi secara global yang memberi dampak pada peran dan keberadaan Gereja, khususnya di kalangan Millenial. Pada era millennium ketiga, Gereja dan Pendidikan Teologi diperhadapkan pada peluang sekaligus tantangan yang memerlukan kesiapan secara holistik. Perubahan interaksi sosial telah bergeser menuju interaksi virtual dan pemikiran yang lebih terbuka. Gereja memiliki peluang besar untuk mendukung kesiapan generasi muda menghadapi tantangan zaman.

Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Bilangan Research menyatakan bahwa 1 dari 3 remaja Kristen yang rajin ke gereja berpotensi untuk tidak lagi rutin ke gereja dan 1 dari 5 remaja Kristen yang rajin ke gereja berpotensi untuk pindah ke gereja lain. Sebanyak 28.2% mengatakan bahwa ada banyak kegiatan yang menarik di luar gereja, 21.2% merasa pemimpin/kepemimpinan gereja buruk, 12.4% menilai bentuk ibadah sudah tidak menarik, dan 11.2% merasakan banyaknya kepura-puraan dalam gereja.

Pemimpin atau kepemimpinan yang dimaksud meliputi Visi (tidak adanya visi yang besar dan menantang), Engagement (tidak melibatkan kaum muda dalam tanggung jawab pelayanan), dan Disconnect (tidak memahami pola pikir anak muda karena kolot dan otoriter). Dapat dikatakan bahwa 61.8% remaja merasa bahwa gereja sudah tidak menarik dan tidak cocok bagi mereka. Jika demikian bagaimana baiknya gereja bersikap secara khusus terhadap kaum muda, bagaimana pendidikan Kristen menjawab peluang sekaligus tantangan khususnya bagi kaum milenial sudahkah gereja siap ?

Mahasiswa, sebagai bagian dari gereja yang adalah generasi masa kini dan masa depan, perlu menggumuli bersama-sama realita ini. Melalui tema ini, para mahasiswa peserta konsultasi diajak untuk membuat pemetaan terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di gereja, dan menelusuri akar permasalahan-permasalahan guna menggagas sebuah langkah konkrit keluar dari permasalahan tersebut. Dengan tema ini diharapkan para mahasiswa dapat membangun komitmen bersama untuk menjadi subjek pelayanan di gereja dengan segala potensinya, dan menjadi agen-agen perubahan membawa gereja menjadi gereja yang ramah milenial.

(7)

II. TUJUAN

Adapaun tujuan kegiatan ini adalah, agar mahasiswa mampu:

a. Membangun jejaring antara mahasiswa sekolah-sekolah anggota dan sekolah-sekolah calon anggota PERSETIA.

b. Memiliki semangat ekumenis dan jiwa kepemimpinan.

c. Mendalami tema “Gereja Milenial : Prospek dan Tantangan” yang berdampak pada kehidupan bergereja maupun pendidikan teologi di Indonesia.

d. Memahami “Gereja Milenial : Prospek dan Tantangan” sebagai sebuah konteks dimana pendidikan teologi dan mahasiswa teologi berada dan berperan.

e. Menemukan prospek dan tantangan akan “Gereja Milenial” sehingga dapat menemukan strategi untuk membawa gereja menjadi gereja yang ramah milenial. f. Menyusun kegiatan bertemakan “Gereja Milenial” yang dapat dilakukan bersama

melalui jaringan studi dan penelitian di wilayah masing-masing

III. NAMA KEGIATAN dan TEMA

Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi Indonesia (KNMTI) Tahun 2020 “Gereja Milenial: Prospek dan Tantangan”

IV. POLA, METODE DAN KEGIATAN.

a. Pola yang dilaksanakan adalah konsultasi selama 3 (tiga) hari yang dilakukan secara daring.

b. Metode yang dipergunakan adalah lokakarya, studi kasus, berbagi pengalaman dan panel diskusi.

c. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah: presentasi narasumber, exposure, presentasi kelompok-kelompok dan diskusi, pleno serta perumusan dan rencana tindak-lanjut.

(8)

V. WAKTU DAN HOST

Waktu : Senin-Rabu, 9-11 November 2020

Host : Pengurus PERSETIA dan Kantor PERSETIA via ZOOM

VI. POKOK BAHASAN

Beberapa topik yang akan dipercakapkan dalam KNMTI Tahun 2020 ini adalah: Hari Pertama

1. Hasil Penelitian Tentang Peran Pemuda Kristen di Gereja Bilangan Research

2. Panggilan Gereja di Era Milenial : Kreatifitas Pelayanan Kaum Milenial Pdt. Alex Nanlohy, MA (Perkantas Jakarta)

1. Model-model Pelayanan Gereja Era Milenial

GPM Ambon, GKP Pasundan, Gerakan Pemuda GPIB, GKE.

Hari Kedua

1. Prospek dan Tantangan Pelayanan Gereja Era Milenial Ev. Jimmy Setiawan MTS & Pdt. Binsar Pakpahan Ph.D 2. Kampus Ramah Milenial :

ST Diakones HKBP, STT Amant Agung, STT SAPPI Cianjur, STT GPI Fakfak 3. Presentasi 5 Paper Terbaik

Hari Ketiga

1. Exposure Virtual Gereja Milenial : JPCC dan IGNite GKI 2. Diskusi Kelompok

(9)

VII. PESERTA DAN KRITERIA PESERTA

Peserta KNMTI ini adalah mahasiswa Strata 1 yang masih aktif kuliah, berjumlah 200 orang yang berasal dari sekolah-sekolah anggota dan sekolah-sekolah calon anggota PERSETIA. Peserta yang ditugaskan oleh sekolah-anggota adalah pengurus senat mahasiswa/BEM dan atau mahasiswa yang memiliki minat pada tema KNMTI 2020.

Beberapa himbauan kepada Peserta KNMTI 2020:

 Setiap utusan sekolah diwajibkan membuat makalah (1 sekolah 1 makalah ) dengan ketentuan sebagai berikut:

 Makalah yang dimaksud adalah tulisan tentang tema KNMTI Tahun 2020 “Gereja Milenial : Prospek dan Tantangan”

 Isi dari makalah tersebut setidaknya mencakup: deskripsi serta analisis tinjauan teologis atas tema KNMTI dan menjadi konstribusi yang konstruktif bagi sekolah teologi, gereja dan masyarakat.

Panjang tulisan 3-5 halaman (kertas A4), Times New Roman, 12 pt, spasi 1,5.

 Tiga makalah terbaik (dari tiga sekolah) yang terpilih akan dipresentasikan dalam sesi keenam KNMTI 2020.

Hadiah : sertifikat, plakat , kaos, uang

Juara 5 Rp 300.000 Juara 4 400.000 Juara 3 500.000 Juara 2 600.000 Juara 1 Rp 750.000.

Softcopy paper dikirim melalui email PERSETIA : persetia@gmail.com selambat-lambatnya 3 November 2020.Paper yang masuk setelah 3 November tidak masuk dalam penilaian Juri.

(10)

VIII . JADWAL KEGIATAN (terlampir) IX. PEMBIMBING AKADEMIK

Pembimbing Akademik KNMTI Tahun 2019 ini adalah : Bunga Devi R.S. dan Pdt. Dr. Donna Sampaleng

X. PEMBIAYAAN

 Mitra Luar Negeri/Donatur dan Pengurus PERSETIA menanggung pembiayaan KNMTI 2020.

 Perwakilan sekolah anggota anggota PERSETIA mendaftar secara gratis, dengan peserta maksimal 3 (Tiga) orang dari sekolah yang sama.

Perwakilan sekolah calon/bakal calon anggota mengutus maksimal 2 (satu) orang peserta dan memberikan kontribusi sebesar Rp 100.000/orang.

XII. PENANGGUNGJAWAB DAN PELAKSANA

 Penanggungjawab: Pengurus PERSETIA, dalam hal ini dilaksanakan oleh Pembimbing Akademik

 Pelaksana: Pengurus PERSETIA dan Kantor PERSETIA.

Jakarta, Oktober 2020 Pengurus PERSETIA Direktur Pelaksana

(11)

P E R S E T I A

Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia Association of Theological Schools in Indonesia Jl. Proklamasi 27, Jakarta 10320, Indonesia

JADWAL ACARA KNMTI PERSETIA 2020 (Virtual By Aplikasi Zoom)

Host : Pengurus PERSETIA 9-11 November 2020

Waktu Kegiatan

Pra KNMTI Pada H : peserta diberikan Link Zoom Hari Pertama, Senin 9 November 2020

08.00-08.30 WIB Zoom Mulai Dibuka

08.30-09.00 WIB Salam Selamat Datang : Direktur Pelaksana PERSETIA Sambutan Ketua PERSETIA : Pdt. Yusak Budi Setyawan, MATS, Ph.D

Pengantar Umum SI 2020 : Project Officer

09.00-10.45 WIB Sesi 1

Hasil Penelitian tentang Peran Pemuda di Gereja oleh Bilangan Research

10.45 -10.50 WIB Short Break

10.50-12.30WIB Sesi 2

Panggilan Gereja di Era Milenial : Kreatifitas Pelayanan Kaum Milenial

Pdt. Alex Nanlohy, MA. (Perkantas Jakarta) 12.30-13.00 WIB Istirahat: Makan Siang

13.00-15.00 WIB Sesi 3

Model-model Pelayanan Gereja Era Milenial

GPM Ambon, GKP Pasundan, Gerakan Pemuda GPIB dan GKE

15.00-17.30 WIB Istirahat

Hari Kedua, Selasa 10 November 2020

08.00-08.30 WIB Zoom mulai dibuka

08.30-10.30 WIB Sesi 4

Prospek dan Tantangan Pelayanan Gereja Era Milenial Ev. Jimmy Setiawan, MTS. & Pdt. Binsar Pakpahan Ph.D

10.30 -10.35 WIB Short Break

10.35-12.30 WIB Sesi 5

(12)

P E R S E T I A

Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia Association of Theological Schools in Indonesia Jl. Proklamasi 27, Jakarta 10320, Indonesia

ST Diakones HKBP, STT Amant Agung, STT SAPPI Cianjur, STT GPI Fakfak

12.30-13.00 WIB Istirahat: Makan Siang

13.00-15.00 WIB Sesi 6

Presentasi 5 Paper Terbaik Hari Ketiga, Rabu 11

November 2020

08.00-08.30 WIB Zoom mulai dibuka

08.30-10.30 WIB Sesi 7

Exposure Virtual Gereja Milenial : JPCC dan IGNite GKI

10.30 -10.35 WIB Short Break

10.35-12.30 WIB Sesi 8

Diskusi Kelompok 12.30 - 13.00 WIB Istirahat Makan Siang

13.00 – 15.00 WIB Sesi 9

Pleno Hasil Diskusi

Evaluasi & Rekomendasi Hasil KNMTI 2020 Penutupan

(13)

Nomor : 0688/A.A3/11.2020 Jakarta, 12 November 2020 Perihal : Ucapan Terima Kasih

Kepada Yth;

Pdt. Binsar Pakpahan Ph.D Di Tempat

Salam sejahtera,

Sehubungan dengan telah terlaksananya “Konsultasi Nasional Mahasiswa Teologi di Indonesia (KNMTI) PERSETIA 2020 : Gereja Milenial – Prospek dan Tantangan ” melalui ZOOM pada tanggal 9 – 11 November 2020, maka perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi atas kontribusi waktu, tenaga dan pemikiran Bapak, sebagai Narasumber dalam KNMTI PERSETIA 2020 yang telah berlangsung dengan baik dan mencapai hasil yang diharapkan.

Bapak Pdt. Binsar Pakpahan Ph.D juga telah memberikan presentasi dengan topic, “ Prospek dan Tantangan Pelayanan Gereja Era Milenial ” dalam KNMTI PERSETIA 2020 ini. Kegiatan ini diikuti oleh 151 peserta dari seluruh Indonesia yang berasal dari Sekolah anggota, calon anggota dan mitra PERSETIA.

Kami bersyukur atas kerjasama dan suasana kebersamaan yang telah terjalin bersama PERSETIA, selama pelaksanaan KNMTI PERSETIA 2020 ini. Kiranya kita dapat meningkatkan kerjasama ini dalam pelaksanaan program-program bersama di masa yang akan datang dalam upaya bersama memajukan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Tuhan yang Maha Baik kepada semua orang itu kiranya memberkati Bapak Pdt. Binsar Pakpahan Ph.D dalam karya dan pelayanan.

Teriring salam dan doa, a/n. Pengurus PERSETIA Direktur Pelaksana

Pdt. Lenta Enni Simbolon, M.Div., Th.M. Cc: Pengurus PERSETIA

(14)

1

PROSPEK DAN TANTANGAN PELAYANAN

GEREJA ERA MILENIUM KETIGA

Binsar Jonathan Pakpahan

b.pakpahan@sttjakarta.ac.id | @binsarjpakpahan

Abstrak:

Artikel ini ditulis untuk menjelaskan tantangan yang dibawa oleh era revolusi industri 4.0 kepada gereja terutama dalam hal makna kehadiran (presence), serta komunitas (community) dan persekutuan (fellowship), spiritualitas dan religiusitas, serta penggunaan teknologi dalam ibadah. Kehadiran virtual, yaitu kehadiran yang melibatkan unsur “melihat” dan “mendengar” namun tidak melibatkan unsur “menyentuh” telah diterima sebagai definisi pertemuan. Sementara, perjumpaan di ruang virtual yang melibatkan ide dan tujuan yang sama telah membuat orang-orang merasa terlibat dalam sebuah komunitas. Makalah juga menggunakan pembahasan komunitas serta persekutuan dari pemahaman World Council of Churches yang membuka tantangan bahwa pertemuan di ruang virtual akan dirasa cukup untuk membentuk sebuah komunitas. Gereja ditantang untuk mendefinisikan ulang apa itu perjumpaan, spiritualitas dan religiusitas, dan fungsi penggunaan teknologi dalam ibadah.

Kata-Kata Kunci: virtual, Revolusi industri 4.0, persekutuan, komunitas, pertemuan, religiusitas, spiritualitas

Pengantar

Gereja dalam gerakan ekumenis sekarang berada dalam masa yang sangat menggairahkan karena teknologi informasi memudahkan komunikasi dan

memperlancar pertukaran informasi gereja-gereja dari berbagai tempat. Kita dengan mudah mengetahui masalah yang dihadapi oleh sebuah gereja dengan bantuan google

search engine. Penggunaan multimedia di berbagai gereja membantu mengurangi efek green house yang memperparah pemanasan global melalui pengurangan penggunaan

kertas.

Namun, berbagai kemajuan datang dengan berbagai tantangan. Kita diajak untuk berpikir mengenai apa makna persekutuan, kehadiran, masalah etika, dan sejauh mana teknologi bisa kita gunakan? Kemajuan teknologi juga dimulai dengan perubahan paham dunia mengenai dirinya dan masuknya filsafat postmodern. Filsafat postmodern

(15)

2

bersama kemajuan teknologi mengantar kita dalam sebuah masa yang membuat kita mempertanyakan segalanya, yaitu masa pascakebenaran.

Saya menggunakan istilah Revolusi Industri 4.0 atau I4 untuk mengganti kata “milenial” yang ditugaskan kepada saya. Kata “milenial” memiliki tantangan tersendiri. Pertama, saya tidak terlalu memahami apakah dia diartikan sebagai sebuah generasi yang lahir antara 1980-1996 karena saya yakin para peserta KNMTI di 2020 adalah mereka yang lahir setelah 1996. Kedua, apakah milenial dipahami sebagai sebuah milenium baru, karena pemahaman ini justru agak membingungkan karena setiap peradaban manusia melewati 1000 tahun, dia memasuki milenium baru. Penggunaan istilah pelayanan di era milenium ketiga mungkin akan memiliki makna yang lebih baik daripada era milennial.

Makalah ini akan mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan filosofi postmodern, efek yang dibawa oleh filsafat postmodern, teknologi yang lahir dari pemahaman demikian, dan tantangan-tantangan yang dihadapi gereja masa kini. Di akhir makalah, saya memberikan beberapa panduan untuk gereja-gereja gunakan dalam mendesain program pelayanan dan penggunaan teknologi ke depan.

Revolusi Industri 4.0 (I4)

Perubahan adalah keniscayaan, sama seperti era Revolusi Industri 4.0 (I4) yang sedang berlangsung pada saat ini. Era I4 ditandai dengan berbagai disrupsi yang menggugat cara-cara bekerja yang dianggap normal serta kemajuan teknologi yang berpusat kepada sistem Artificial Intelligence, pengumpulan Big Data, perubahan fokus dari analog ke digital, kepemilikan aset intangible (jejaring, kekuatan sistem, dan potensi) daripada tangible (aset harta, tanah, bangunan), dan perubahan hard-labour menjadi operator. Ketika kita masih banyak berkutat di I4, sekarang bahkan sudah ada pembicaraan mengenai Revolusi Industri 5.0 – yang merupakan era personalisasi dan penggabungan peran manusia dan mesin. Menurut saya perpindahan tema ini

merupakan ciri generasi sekarang yang biasanya belum selesai membahas satu hal tetapi sudah pindah ke pembahasan yang lain. Saya tidak melihat Revolusi Industri 5.0 sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan pengembangan dari I4 dan Society 5.0. Istilah yang digunakan di Jepang Society 5.0 menunjuk kepada masyarakat yang

resilient dalam inovasi yang selalu membongkar kebuntuan dengan penyataan antara ruang tiga dimensi dan ruang virtual (Cabinet Office Website 2018).

Kata revolusi industri dipinjam dari bidang teknologi untuk menggambarkan sistem yang digunakan untuk memproduksi barang. Revolusi industri menjadi penanda perubahan karena setiap aspek kehidupan kemudian dipengaruhi oleh cara manusia memproduksi barang-barang. Perubahan ini akan mempengaruhi aspek ekonomi,

(16)

3

perputaran informasi dan ide, transportasi, dan penggunaan tenaga mesin yang menggantikan manusia.

Revolusi industri dimulai dengan mekanisasi tenaga air, uap, dan penggunaan mesin untuk menggantikan tugas-tugas manusia di pabrik. Hal ini menimbulkan pergolakan karena banyak orang yang merasa pekerjaannya diambil alih oleh mesin. Revolusi industri kedua dimulai dengan perubahan cara memproduksi pabrik yang menggunakan assembly line. Perubahan membuat produksi menjadi lebih efisien dan manusia didorong menjadi lebih konsumtif, termasuk ide menggunakan barang sekali pakai dengan materi plastik. Plastik kemudian kita kenal sekarang sebagai musuh utama lingkungan hidup karena ketidakmampuan alam untuk mengurainya. Revolusi industri ketiga ditandai dengan penggunaan komputer untuk mengerjakan masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan manusia seperti penghitungan, membangun model simulasi besar, dan lain sebagainya. Revolusi industri keempat, atau “Industry 4.0” atau “I4” pertama kali digunakan di Hannover Fair pada 2011 yang mempromosikan

produksi berbasis komputer dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Ciri utama dari I4 ada 4:

1) Kesempatan yang berkembang melalui data besar.

a) Kekuatan sebuah organisasi atau perusahaan bukan lagi di jumlah produksi yang mereka miliki, melainkan jaringan yang mereka punya.

b) Internet mengubah definisi mengenai waktu, jarak, dan teknik komunikasi manusia dengan mesin.

2) Terbukanya informasi

a) Informasi menjadi transparan, tidak ada lagi rahasia, yang pada akhirnya membawa pertanyaan soal privasi.

b) Data yang terbuka ternyata lebih banyak digunakan oleh pihak marketing, yang dengan efektif berhasil mempromosikan produknya kepada konsumen yang datanya tersimpan secara digital.

c) Algoritma otomatis yang diatur oleh AI dalam berbagai mesin pencari dan media sosial membuat keterpisahan antarkelompok berdasarkan minat.

3) Optimisasi produksi.

a) Koneksi membuat sebuah perusahaan bisa membuat sebuah produk tanpa perlu membuat semua komponen yang diperlukan untuk produk tersebut. Mode demikian menghasilkan metode outsourcing.

b) Logistik menjadi bisnis yang penting daripada produksi, karena semua orang bisa memproduksi. Proses penyimpanan dan penyaluran barang menjadi produk pada dirinya sendiri.

(17)

4

c) Sebuah industri kecil bahkan bisa membuat prototipe dari produknya tanpa perlu berkonsultasi dengan perusahaan besar dengan printer 3D, dan market bisa ditemukan melalui internet.

4) Proses pengambilan keputusan.

a) Pertemuan fisik tidak lagi diperlukan, karena “tatap muka” betul-betul hanya membutuhkan tatap muka via skype, facetime, whatsapp video call, atau google

hangout.

b) Artificial Intelligence membantu manusia dalam proses pengambilan keputusan (autonomous car, autopilot, algoritma media sosial).

c) Keputusan tidak lagi sentral pada satu pihak melainkan pada beberapa aktor Dampak dari era I4 adalah disrupsi, atau perubahan pola kerja, produksi, komunikasi. Untuk menjelaskan beberapa dampak yang mengubah strategi perusahaan atau dunia kerja, saya akan menggunakan 4 buku dari dunia manajemen dan bisnis. Keempat buku tersebut terbit pada 2016 dan menunjukkan bagaimana dunia sekarang bekerja.

Buku pertama adalah karya Clayton M. Christensen, Competing Against Luck: The

Story of Innovation and Customer Choice (2016). Christensen fokus kepada pertanyaan

"Pekerjaan apa yang membuat customer "menyewa" produk saya, yang membuat

pekerjaan mereka juga selesai." Christensen menawarkan pendekatan jobs theory dalam menilai sebuah produk. Jobs Theory akan membuat saya memikirkan produk saya

bukan sebagai hasil akhir yang konsumen "beli," melainkan sebagai sebuah tool yang mereka sewa untuk membuat pekerjaan mereka selesai atau membuat progress dalam hidup mereka sendiri. Contohnya, di AS mereka membeli milkshake di bawah pkl. 9 karena membantu mereka melewati pagi tanpa rasa lapar (karena ketebalan

milkshake), bisa bekerja melewati kebosanan menjalani pekerjaan di pagi hari (karena

memerlukan waktu yang lama untuk menghabiskannya), dan melawan perasaan bersalah (karena tidak sekaya kalori big breakfast milik fast food). Atau, dengan teori ini, kita memahami mengapa Go-Jek lebih berhasil di Go-Food dan produk Go-Pay karena dia membantu customer menyelesaikan pekerjaannya. Dengan memesan makanan, orang dapat menggunakan waktu bekerja atau bersama keluarga dengan maksimal tanpa dilelahkan dengan pekerjaan memasak. Dengan mengetahui pekerjaan yang diselesaikan oleh produk mereka bagi klien, developer bisa menciptakan market baru di luar pasar biasa mereka. Gereja dan sekolahnya diajak untuk berpikir apakah produk gereja kita atau STT di mana kita belajar akan membantu kliennya (jemaat, gereja, masyarakat, mahasiswa) menyelesaikan pekerjaan mereka, dan mencapai kemajuan dalam pelayanan mereka.

Buku kedua adalah The Network Imperative: How to Survive and Grow in The Age

of Digital Business Models (2016). Bary Libert, Megan Weck, dan Jerry Wind

(18)

5

seseorang atau sebuah perusahaan bukanlah apa yang dia mampu lakukan seorang diri (tangible - terlihat), tetapi bagaimana dia bisa menggunakan networknya untuk

mencapai tujuan bersama (intangible). Buku ini menunjukkan beberapa kisah

kepemimpinan yang tidak berusaha untuk menarik semua orang menjadi seperti sang pemimpin, melainkan pemimpin yang berusaha menunjukkan sebuah tujuan yang bisa menjadi tujuan bersama dan mengajak yang lain menjadi co-creator, dan mengajak

customer menjadi contributor. Pola pikir sekali pakai dan buang (seperti penggunaan

plastik di era 70an) tidak lagi menjadi pilihan. Kita harus mencari subscriber bukan user. Setiap kesalahan harus dilihat sebagai sumbangan dari subscriber untuk memecahkan masalah yang ada. Kesuksesan seorang pemimpin adalah ketika sistem berjalan dengan baik meski dia tidak ada.

Buku ketiga adalah Whiplash: How to Survive Our Faster Future (2016) bicara mengenai teknologi dan manajemen di era disrupsi. Dua penulis dari MIT, Joi Ito dan Jeff Howe, bicara soal percepatan teknologi dan prinsip-prinsip yang harus diambil oleh perusahaan yang mau bertahan di tengah percepatan teknologi. Satu nasihat yang menantang adalah kita harus berani mengambil "risiko yang sehat," dan memiliki "relasi yang baik dengan ketidakpastian." Daripada menolak perubahan yang cepat, kita justru harus menariknya, dengan menghitung risiko, dan lebih menghargai pengalaman dari teori. Kemungkinan teori justru tertinggal dari produk baru sangat mungkin terjadi di era disrupsi. Karena itu, yang diperlukan adalah sistem untuk memanage semuanya dengan daya tahan yang baik, mungkin seperti ilmu bambu yang resilient meski tidak terlalu kuat. Daripada roadmap, lebih baik perusahaan kita membuat kompas yang menunjukkan haluan besar, bukan detail langkah yang akan diambil. Karena itu

menyiapkan Rencana Kerja jangka panjang tidak lagi tepat, we have to adapt to changes,

take risks, embrace uncertainty, but have a clear compass. Saya akan kembali lagi ke

diskusi mengenai kompas yang akan kita gunakan dalam merangkul berbagai teknologi dan inovasi baru di bagian berikutnya.

Buku terakhir mengenai disruptive technology adalah karya Amy Webb, The

signals are talking: Why today’s fringe is tomorrow mainstream (2016). Bagi Webb, kita

perlu mengenali apa pola yang terjadi di sekitar kita, bagaimanapun kecilnya. Pelajaran terpenting adalah teknik bagaimana mengenali sebuah pola yang menjadi tren. Tren akan berkembang, sementara ada pola baru muncul yang kemudian hanya lewat dan tidak menjadi tren. Contohnya, hype sendal crocs yang membuat banyak orang antri tidak menyelamatkan crocs dari ancaman kebangkrutan karena orang tidak lagi

menggunakannya. Sementara, aplikasi ojek online berkembang ketika dulu banyak yang meragukannya. Blackberry gagal mengembangkan divisi usahanya ketika iPhone dirilis pada 2007 karena dia berpikir orang masih memerlukan keyboard riil di telepon, 4 tahun kemudian dia sudah tenggelam. Gereja juga dulu sering mengatakan tren menggunakan musik band itu akan pergi. Saya ingat perdebatan saya sendiri tentang

(19)

6

bertepuk tangan dan penggunaan full band pada 1995, dan mendapati diri saya menjadi

drummer gereja di 2007. Sejak 2012, saya menjumpai banyak gereja mainstream di

Jakarta mengadopsi instrumen band lengkap sebagai pengiring lagu umat.

I4 ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN

Revolusi Industri 4.0 telah membawa beberapa peluang dan tantangan dalam kehidupan gereja. Beberapa hal yang mesti kita hadapi adalah perubahan pola pikir dan pemahaman mengenai penggunaan teknologi dalam gereja, dan pola dari generasi yang berubah.

Dalam menghadapi perubahan , ada beberapa pesan yang disebut oleh WCC dalam buku Virtual Christianity (2004) telah mencoba melihat berbagai tantangan yang akan muncul dalam zaman internet. Sikap yang harus dimiliki tiap gereja adalah

menerima dengan pragmatis, praktis, juga berhati-hati karena perubahan adalah keniscayaan (Bazin & Cottin 2004, 4). Gereja juga diminta untuk bisa menemukan pesannya sendiri, dan memberikan warna ideologinya sehingga tidak tenggelam dalam pesan dunia maya yang penuh dengan ideologi komersial dan teknologi.

Dalam relasi antara agama dan sains, kita bisa menggunakan tipologi Ian Barbour (2000). Keempat pola ini adalah: konflik, mandiri, dialog, dan integrasi.

Pertama tipologi konflik. Dalam pola pertama ini, Barbour mengatakan bahwa agama tidak bisa disatukan dengan sains. Agama dianggap lebih menggunakan perasaan dan sains lebih menggunakan logika. Salah satu contoh konflik ini adalah teori

penciptaan vs teori evolusi. Jika pihak agama menggunakan pembacaan teks yang literer, dia akan menolak teori evolusi yang diajukan oleh sains. Menurut saya, tipologi ini tidak lagi tepat, karena pada saat ini banyak teori sains yang didukung oleh

penelitian yang dimulai oleh pihak agama. Dalam bidang IT dan AI, agama masih bersikap hati-hati dan lebih memberikan masukan mengenai bagaimana memandang nilai manusia.

Kedua, agama dan sains berdiri masing-masing secara independen. Dalam tipologi ini, agama tidak berurusan dengan sains dan sains tidak perlu mencampuri agama. Kedua bidang memiliki metodologi sendiri dalam bidang keilmuannya. Dalam pemahaman ini, agama juga tidak perlu cepat-cepat menyimpulkan bahwa segala sesuatu berasal dari karya Allah, dan bidang sains tidak perlu menjelaskan fenomena agama. Namun, tipologi ini juga tidak bisa lagi dipertahankan karena di bidang AI dan IT kita sudah diperhadapkan kepada munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensialis, seperti, mungkinkah ciptaan (AI) melampaui penciptanya.

(20)

7

Tipologi ketiga adalah model dialog, sehingga kedua bidang bisa saling bertanya dan melengkapi. Kelemahan dalam tipologi ini, kedua jawaban yang diberi oleh masing-masing pihak pasti datang dari asumsi yang berbeda. Sains akan menjawab bahwa kemunculan AI itu adalah perkembangan yang tak terhindarkan, sementara agama akan mengingatkan sains untuk tidak bermain peran Tuhan. Dari data yang sama, sains dan agama menggunakan metode yang berbeda untuk menginterpretasinya. Hal ini bisa menjadi positif ketika keduanya berdialog dan mau saling mendengarkan.

Tipologi terakhir adalah integrasi, di mana agama akan menggunakan penjelasan sains untuk fenomena keilahian. Ada tiga jenis teologi yang berkembang untuk

mengintegrasikan sains ke dalam pemahaman teologi: teologi natural yang dimulai dari pertanyaan tentang Allah dan menjelaskan keberadaan-Nya di dunia, teologi alam yang memulai dari segala hasil ciptaan dan menyimpulkan kehadiran Allah, dan teologi sintesis sistematis yang menggabungkan sains dan agama (Barbour 1990, 23-30). Posisi apa pun yang diambil oleh gereja dalam menghadapi kemunculan AI dalam era Revolusi Industri 4.0 kita tetap harus menghadapi beberapa isu teologis yang muncul. Beberapa isu yang menjadi pembahasan bisa dilihat dari berbagai pendekatan. Tantangan pertama adalah soal makna kehadiran. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kehadiran secara fisik menghabiskan uang dan waktu. Biaya perjalanan dan efektivitas sebuah pertemuan bisa dipangkas dengan menggunakan teleconference. Di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, ruang kelas virtual sudah mendapat pengakuan melalui proses akreditasi. Seseorang disebut hadir bukan karena kehadiran fisiknya, melainkan karena “presence” atau berada dalam ruang virtual dan engage dengan pembicaraan yang dilakukan di dalamnya. Pemahaman baru mengenai kehadiran menantang gereja untuk memberi fokus baru kepada arti kehadiran, komunitas, dan persekutuan. Apakah komunitas dibentuk dari sekadar kehadiran, atau sebuah tagar (hashtag #) sudah cukup memperlihatkan kesamaan ide? Lebih lanjut, dalam cara apa kita bisa membayangkan Allah hadir bersama kita? Beberapa gereja sekarang sedang bergumul mengenai makna kehadiran dalam pemberkatan nikah, ketika seorang pengantin justru berada di lokasi yang berbeda dengan pasangannya pada hari pernikahannya.

Persoalan soal komunitas virtual dan real menjadi tantangan terbesar di kemudian hari. Ketika seseorang merasa nyaman berada di balik komputernya dan masuk ke dalam forum atau kelompok-kelompok di internet, apakah dia sedang berada dalam komunitas? Apa makna komunitas? Dalam level gereja, komunitas juga menjadi semakin tersegmentasi. Orang akan mencari gereja yang sesuai dengan hatinya, dan dia akan pergi ke gereja yang hanya sesuai dengan keinginannya.

Beberapa studi yang membicarakan virtual community, dan juga

mempertanyakan kekuatan dari perseku¬tuan gereja yang terancam oleh bentuk baru tidak memberikan terobosan yang berarti. Salah satu contoh adalah penelitian yang

(21)

8

dilakukan oleh Dyikuk. Baginya, gereja harus mengatasi budaya digital yang baru. Definisi budaya digital adalah,

In this study, Digital Culture is understood as the contemporary explosion of Information and Communication Technologies and how they affect the gathering and processing of information as well as human interactions, worldviews, beliefs and opinions. By placing Inter Mirifica (Decree on Mass Media) on the front burner at the first session of the Second

Vatican Council, the Council Fathers set the Church in motion for embracing the digital culture (Sanders, 2015). (Dyikuk 2017, 45)

Dyikuk kemudian memprediksi bagaimana gereja bergumul menyesuaikan diri dengan budaya digital tersebut meski tanpa data lapangan atau analisis. Budaya digital akan membawa gereja kepada godaan untuk terlibat dalam pelayanan gereja online. Namun, menurut Dyikuk, efek negatif dari gereja online adalah: penurunan kehadiran di Gedung gereja, individu menggantikan komunitas, gawai tanpa interaksi manusia, subjektivitas dan relativisme, dan tantangan koneksi internet. Pada akhirnya Dyikuk tidak memberikan pandangan teologis yang berarti mengenai bagaimana jemaat harus merespons perubahan ini dalam level teologis. Dyikuk memberi beberapa saran yang termasuk menciptakan gereja online dalam bentuk forum yang melengkapi gereja on-site. Yang Dyikuk juga belum antisipasi bahwa akan ada gereja yang sepenuhnya memberikan pelayanan online tanpa memiliki tempat fisik.

Dalam bentuk online, gereja juga dipengaruhi oleh syarat yang berbeda akan para pelayan penuh waktu dalam pemahaman tradisional. Jika tadinya para pelayan firman dan mereka yang menjadi teladan adalah mereka yang menempuh pendidikan akademik, professional dan menginspirasi (Olusola 2015, 210), sekarang menjadi

mereka yang memiliki konten relevan dan memiliki kepribadian menarik. Perubahan ini juga datang dari kebutuhan masyarakat untuk komunikasi dua arah yang dimungkinkan di media sosial dibandingkan satu arah yang sering terjadi dalam ibadah (McIntosh 2015, 141).

Perlu kita catat juga bahwa pemahaman mengenai komunitas ruang virtual telah menjadi semakin positif seiring dengan perkembangan teknologi dan semakin

seringnya kita menggunakan fasilitas tersebut. Misalnya, Cheryl di 2006 mengatakan, In particular, I argue that cyberspace is a uniquely appropriate medium for the enactment of religious ritual, for it returns ritual to its fundamental relationship with the virtual. By offering virtual presence from inside a virtual realm, ritual, as enacted symbol in cyberspace, is all the more effective at pointing beyond itself to the divine or the sacred. (Cheryl 2006, 76)

Dalam tulisannya mengenai kemungkinan pelayanan perjamuan kudus secara online, Cheryl sudah melihat bahwa kita perlu memikirkan ulang makna ritus karena simbol kehadiran di ruang virtual menunjuk ke simbol yang sama dengan ruang fisik. Meski demikian, saya juga berargumen bahwa Cheryl sepertinya melupakan faktor penting mengenai makna real presence dalam teologi yang menjadi perdebatan panjang

(22)

9

karena berkaitan dengan roti dan anggur dan perubahan setelah konsekrasi. Di samping kesimpulan yang Cheryl ajukan yang masih memiliki kelemahan, reaksinya yang positif mengenai komunitas online perlu kita catat.

Setelah teknologi berkembang, dan komunitas online semakin menjamur, dalam tulisannya di 2011, Campbell berargumen bahwa komunitas virtual adalah sebuah komunitas yang terbatas pada teknologi yang berbeda dengan komunitas onsite/ruang fisik (Campbell 2011, 57). Baginya, komunitas dunia virtual baru bisa terbentuk Ketika sebelumnya mereka sudah mengalami perjumpaan di dunia fisik. Ruang virtual hanya berfungsi untuk menguatkan komunitas yang sudah ada. Menurut Campbell, teknologi tidak dapat menciptakan komunitas orang percaya, karena Allah yang akan

mengumpulkan orang percaya dalam Roh Kudus (Campbell 2011, 59; Wise 2014, 43). Kedua, bagaimana gereja bisa terlibat aktif dalam pekerjaan missio Dei melalui media? Setiap gereja sekarang memiliki media sosial dan juga website untuk

menyebarkan kabar baik melalui internet. Apakah pekerjaan misi di masa depan adalah membuat orang percaya melalui internet? Misi membuat orang percaya akan sebuah pesan agama bisa kita lihat buktinya melalui gerakan radikalisasi yang terjadi melalui internet. Jika demikian, bagaimana gereja bisa memiliki misi dalam dunia digital? Proses komunikasi dapat terbantu melalui internet. Dalam sebuah studi oleh Gabel terhadap komunitas Yahudi di Israel (2006), dia menemukan bahwa baik grup keagamaan maupun sekuler sama-sama menggunakan media menurut keperluan mereka. Grup religius cenderung melihat teknologi media sebagai sebuah alat yang harus digunakan dengan baik, daripada sebagai sebuah musuh yang jahat (dalam Cohen 2012, 10).

Pemahaman misi memang tidak bisa kita pecah dari pesan keseluruhan Injil, terutama bahwa seluruh Alkitab berisi firman Allah dan misi Allah yang memperli-hatkan inisiatif Allah dalam relasinya dengan makhluk ciptaan (Wright 2006). Namun, jika kita mencoba literary interpretation dalam pemahaman pemberitaan di Markus dan Lukas, penggunaan media sosial membuat pemberitaan ke seluruh dunia menjadi efektif. Meski demikian, kita juga harus mengingat bahwa perintah untuk pergi ke seluruh dunia dipahami Yesus sebagai perintah literer secara fisik, pergi ke ujung dan batas dari keyahudian dan menuju bangsa-bangsa di luar Israel. Perintah pergi ke seluruh dunia bisa kita terjemahkan entah sebagai pergi secara fisik ke tempat-tempat yang belum mendengar Firman Allah, atau bisa juga dengan memberi kampanya media sosial yang baik untuk menjangkau mereka yang belum mendengar kabar baik. Meski demikian, kelemahan dari penggunaan media teknologi untuk mencapai pendengar pertama, karena dia tidak lagi personal, dan sulit untuk diukur karena apa yang disebut sebagai media bubble.1Lebih sulit lagi, kita sekarang berada dalam genggaman media

1Media bubble adalah “an environment in which one’s exposure to news, entertainment, social media, etc., represents only one ideological or cultural perspective and excludes or misrepresents other points

(23)

10

sosial yang cenderung menyensor apa yang kita tampilkan berdasarkan aturan yang mereka umumkan (Gillespie 2018, 5-9) dan kepentingan yang ada di balik organisasi mereka. Seringkali kepentingan yang mereka miliki dipengaruhi oleh politik mereka dalam pemahaman,

Rather, politics is understood in more general terms, as ways of world-making—the practices and capacities entailed in ordering and arranging different ways of being in the world. Drawing on insights from Science and Technology Studies (STS), politics here is more about the making of certain realities than taking reality for granted (Mol, 2002; Moser, 2008; Law, 2002). (Bucher 2019, 3)

Dengan pemaparan di atas, kita bisa memahami bahwa media sosial yang dimiliki untuk mengabarkan Kabar Baik akan banyak tergantung kepada jenis media, apa kebijakan media tersebut, dan media bubble para pembacanya. Akibatnya, besar kemungkinan orang yang membaca pemberitaan kabar baik adalah mereka yang memang terekspos terhadap kata-kata kunci yang berhubungan dengan kekristenan. Dengan kata lain, siapa yang menjadi pembaca/viewer/reader/subscriber/member adalah mereka yang memang mencarinya.

Meski demikian, Paus Benediktus sudah memahami pentingnya jejaring dalam penginjilan, sehingga dengan jejaring kita bisa saling menguatkan.

Social networks, as well as being a means of evangelization, can also be a factor in human development. As an example, in some geographical and cultural contexts where Christians feel isolated, social networks can reinforce their sense of real unity with the worldwide community of believers. The networks facilitate the sharing of spiritual and liturgical resources, helping people to pray with a greater sense of closeness to those who share the same faith. (Benedictus XVI 2013)

Jejaring yang dimaksud Paus Benediktus XVI bisa kita bentuk melalui media sosial. Karena pemahaman demikian, Egere, melihat media sebagai sebuah “alat” untuk melakukan penginjilan.

The Church, therefore, “Sees these media as ‘gifts of Cod’ which, in accordance with Ids providential design, unite men in brotherhood and so help them to cooperate with his plan of salvation.” This vision of the Church calls for urgent application of the social media stratagem in the evangelization vista (Egere 2015, 192).

Lebih lanjut, Egere juga melihat pentingnya pengembangan model penginjilan berdasarkan strategi pemasaran dengan pendekatan dan teknik psikologis. Egere melihat media sosial sebagai cara yang sangat efektif untuk berkomunikasi dengan

of view” (Dictionary.com s.v. “media bubble”). Media bubble membuat kita hanya membaca apa yang kita ingin baca, karena algoritma media sosial atau berita bahkan mesin pencari disesuaikan dengan apa yang mereka [baca: AI dari mesin pencari atau media sosial] pikir sesuai dengan kebutuhan kita berdasarkan terminologi yang kita masukkan di mesin pencari atau media sosial. Bahkan media nasional di Amerika Serikat juga diduga berdasarkan media bubble mereka sendiri sehingga polaritas antara pendukung Demokrat dan Republikan di Amerika Serikat akan semakin luas. Lihat Jack Shafer and Tucker Doherty, “The Media Bubble Is Worse Than You Think,” Politico, 2017, https://www.politico.com/magazine/story/2017/04/25/media-bubble-real-journalism-jobs-east-coast-215048.

(24)

11

dunia yang semakin terintegrasi dalam web. Menurutnya, gereja harus mereorientasi programnya dengan cara terkini untuk menyesuaikan diri dengan metode terbaru (Egere 2015, 203; Olusola 2015, 220-222).

Reimann, memandang bahwa kepentingan untuk penginjilan di ruang media sosial adalah kebutuhan, dan sekarang saatnya untuk bicara mengenai cara untuk menampilkan diri sebagai sebuah gereja (Reimann 2017, 73-74). Beberapa hal yang dia khawatirkan adalah persona online yang tidak sama dengan apa yang adad alam dunia nyata, dan aturan yang berbeda yang ditampilkan oleh dunia media sosial. Karena berbagai tantangan, Reimann membedakan agama online dan agama di ruang online Reimann 2017, 77). Baginya, agama harus muncul di ruang online namun tidak menjadi agama online (agama yang dipraktikkan murni di ruang online). Kita bisa

menyimpulkan bahwa misi di ruang online adalah pelengkap dari pelayanan yang gereja lakukan di ruang tiga dimensi.

Umumnya, para tokoh agama memandang teknologi komunikasi melalui internet sebagai hal yang positif dalam pengembangan komunitasnya (Cheong 2013, 79). Meski demikian, pengetahuan bahwa kompleksitas algoritma pemilihan (masalah potensi dan promosi), kekuatan persona online (masalah otoritas), serta otentisitas

pembicara/influencer (masalah originalitas) menjadi tantangan yang perlu dieksplor gereja dalam keterlibatannya untuk melakukan pekerjaan misi (konten misi) di dunia media sosial.

Pertanyaan lain yang muncul adalah soal privasi. Karena keterbukaan data, kita dengan mudah menemukan informasi mengenai orang yang ingin kita cari di Internet. Banyak pihak HRD perusahaan sudah menggunakan teknologi informasi untuk mencari tahu tentang orang yang melamar untuk bekerja di perusahaannya. Orang juga bisa dengan mudah mencari informasi mengenai gereja yang akan diikutinya melalui internet. Pada akhirnya, kita menjadi lebih khawatir mengenai privasi. Orang Asia dan Afrika memiliki tendensi untuk lebih membagi informasi mengenai dirinya

dibandingkan orang Eropa Barat dan Amerika Serikat. Over-information juga menjadi ciri dari zaman sekarang, ketika orang tahu lebih banyak dari yang dia ingin tahu. Dalam gereja, kita juga bertanya soal privasi perkunjungan ke orang sakit, foto orang

meninggal, pengumuman pasangan yang sedang konseling oleh pendeta di media sosialnya, berbagi gambar yang dinilai orang tidak pantas untuk dibagi, dsb. Privasi dan ruang publik menjadi agak sumir. Ketika seseorang berbagi informasi di media

sosialnya, apakah dia sedang berbagi di ruang publik? Para pendeta juga terlihat gagap dalam menggunakan keterbukaan ini, sehingga sebuah pelatihan mengenai penggunaan media sosial perlu dilakukan oleh gereja.

Di sisi lain, public shaming dan public bullying semakin merajalela. Rakyat bisa dengan cepat mempermalukan atau membully seseorang yang dianggapnya melakukan

(25)

12

perbuatan tercela. Anonimitas dan adanya jarak sebenarnya di media sosial membuat seseorang tidak berpikir lagi mengenai konsekuensi tindakannya kepada orang yang dihinanya (Görzig 2013). Mungkin orang gereja juga ada yang ikut melakukan ini dalam berbagai kasus yang ada. Dalam sisi lain, public shaming juga bisa mendorong

perubahan sikap dari tokoh publik yang melakukan tindakan memalukan. Di sisi lain,

public shaming menambah kehancuran korban tindakan tersebut.

Masalah Riil di Gereja dan Respons Teologis

Setelah melihat beberapa isu yang harus dihadapi di atas, saya akan mengajak kita untuk fokus kepada tiga hal yang menjadi isu konkret teologis yang harus dihadapi oleh gereja-gereja.

1) Gereja, Pertemuan, dan Makna Persekutuan

Dalam beberapa dekade belakangan, makna persekutuan telah diguncang oleh televangelisasi. Jemaat beribadah di depan televisinya. Kita bisa dengan cepat

mengatakan bahwa ibadah seperti itu lebih bersifat egois karena tidak menyertakan persekutuan di dalamnya. Mereka yang beribadah di depan layer televisinya tidak akan pernah mengenal saudara-saudara dalam persekutuan. Namun, bagaimana jika dia memang mengenal orang-orang yang beribadah dengannya, dan dia juga bisa ikut berinteraksi serta merasa lebih dekat dengan teman-temannya melalui persekutuan internet daripada persekutuan nyata yang ada di sekitarnya. Kita harus memiliki batasan dan definisi yang jelas mengenai persekutuan. Apakah persekutuan itu adalah soal kehadiran atau soal perasaan?

Pertama, apa arti perjumpaan? Syarat sebuah persekutuan adalah jemaat yang berjumpa dalam sebuah ruang yang sama. Dalam banyak diskusi, makna persekutuan selalu merujuk kepada perkataan Yesus, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Dalam

perkataan ini ada tiga hal yang perlu kita telaah bersama. Pertama faktor manusia, dua pihak atau lebih. Kedua faktor perkumpulan dari para manusia tersebut. Ketiga, faktor kehadiran Kristus, yang kemudian terikat dengan waktu.

Kita akan mencoba menjawab pertanyaan pertama mengenai faktor manusia, dua orang atau lebih. Sebuah persekutuan menuntut adanya beberapa orang yang memiliki kesamaan minat. Dalam hal ini, perkumpulan pengikut Kristus disatukan oleh nama Kristus.

Kedua adalah soal perkumpulan. Kita memiliki pertanyaan apakah berkumpul selalu mengasosiasikan beberapa pihak tersebut berada dalam ruang yang sama? Tentu pertanyaan ini tidak bisa kita samakan dengan konteks Tuhan Yesus, karena mereka

(26)

13

tidak memiliki pertanyaan yang sama dengan kita. Bagi mereka, perkumpulan adalah pertemuan dalam sebuah ruang tiga dimensi. Namun bagi kita, dengan perbedaan definisi mengenai ruang, ruang cyber, dengan IP (Internet Protocol) address juga menjadi sebuah “ruang” di mana orang bisa berkumpul dalam suatu forum.

Perkumpulan mensyaratkan perjumpaan antarmanusia. Seiring dengan kemajuan teknologi, perjumpaan didefinisikan ketika kita melakukan percakapan sambil saling “melihat” dan “mendengar.”2Dengan definisi perjumpaan adalah saling

melihat dan mendengar, tanpa sentuhan fisik, seorang mahasiswa akan dianggap hadir ketika dia bisa memperlihatkan diri dan mendengar/bicara dalam ruang belajar virtual. Oleh karena itu, diskusi teologis yang menjadi fokus utama adalah apa makna

kehadiran? Dalam Bahasa Indonesia, kehadiran berarti “adanya (seseorang, sekumpulan orang) pada suatu tempat” (KBBI s.v. “kehadiran”). Jika ruang virtual adalah “tempat”, maka kehadiran virtual – dalam bentuk melihat dan mendengar – juga adalah kehadiran.

Dengan pemahaman demikian, persekutuan virtual, selama mereka berkumpul di satu ruang, dan bisa saling melihat dan mendengar, bisa kita definisikan sebagai persekutuan yang sepenuhnya. Inilah tantangan bagi gereja nanti. Apakah virtual

presence bisa kita samakan dengan real presence (secara 3 dimensi)?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan menggunakan pendekatan filosofis dalam diskusi hiperrealitas dan realitas. Kenyataan masyarakat di abad XXI tentu tidak bisa lepas dari budaya virtual reality. Manuel Castells seorang sosiolog dan ahli kultur urban, melihat kedekatan antara budaya real dan virtual dan mengatakan bahwa,

Reality (that is, people’s material / symbolic existence) is entirely captured, fully immersed in a virtual image setting, in the world of make believe, in which appearances are not just on the screen through which experience is communicated, but they become the experience. (Castells 1996, 373)

Definisi Cartells mengenai realitas memperlihatkan bahwa simulasi dan simbol yang tadinya menjadi alat yang menggambarkan dan menjelaskan kenyataan ternyata bergerak untuk menggantikan kenyataan itu sendiri (Bell 2007, 83). Dengan kata lain, sebuah tanda yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan pada akhirnya menjadi kenyataan itu sendiri.

Satu hal yang menjadi ganjalan juga dalam teori Baudrillard adalah klaim bahwa Allah juga bisa dijelaskan sebagai simulacrum dari keinginan manusia yang tidak

terpenuhi, dan akhirnya simbol itu menjadi yang utama. Baudrillard menulis, “...God never existed, that only the simulacrum ever existed... If they could have believed that

(27)

14

these images only obfuscated or masked the Platonic Idea of God, there would have been no reason to destroy them.” (Baudrillard 1994, 4-5). Karena itu, pertanyaan kita adalah apakah betul yang real itu adalah real dan bukan simulacrum dari yang real?

Dalam dunia modern, mereka yang mengetahui soal simulacrum kemudian bergerak untuk menguasainya sebagai cara untuk mengubah kenyataan dan mengarahkan orang ke persepsi yang ingin ditampilkannya. Beberapa studi yang dilakukan lebih lanjut adalah dalam topik marketing dan desain mal dan supermarket. Desain produk juga bisa membuat seseorang melupakan bahwa produk tersebut sebenarnya sedang merepresentasikan sesuatu, dan pada akhirnya bisa membuat sebuah produk menjadi real pada dirinya sendiri. Misalnya, sebuah boneka jeruk dibuat untuk menggambarkan produk sunquist yang sebenarnya adalah representasi dari jeruk. Yang menjadi masalah adalah ketika orang melihat representasi boneka jeruk tersebut dan justru mengingat produk sunquist dan bukan jeruk.

Media memiliki kekuatan yang besar dalam masalah representasi yang kita gambarkan di atas (Ritzer dan Smart 2003). Baudrillard melihatnya sebagai sebuah kenyataan yang membawa masalah. Ada beberapa filosof yang melihat simulacrum sebagai kesempatan untuk mengubah persepsi masyarakat akan hal-hal yang nantinya membawa kebaikan.

Tantangan kemudian yang kita hadapi adalah untuk mengetahui apa yang real. Strategi hyperreality adalah nilai yang mengambang sehingga nilai bukan lagi

tergantung kepada apa yang suatu kenyataan itu tawarkan melainkan bagaimana kita memersepsikan sesuatu itu, atau lebih buruk lagi, bagaimana pihak yang memiliki kekuatan mengendalikan dunia melalui simulacrum yang mereka ciptakan. Menurut Baudrillard, cara melawan hiperrealitas adalah dengan menciptakan hiperrealitas lain yang akan mengalahkannya (Baudrillard 2001, 123). Jika demikian, apakah yang real itu ketika persaingan yang muncul adalah antara hyperreal vs hyperreal?

Dengan belajar dari pengalaman Baudrillard, Bartholomew & Goheen menyatakan bahwa konsumerisme yang mendominasi dunia kita memperlihatkan pentingnya kita kembali kepada realitas (Bartholomew & Goheen 2013, 187-188). Tradisi kekristenan memahami arti kehadiran yang melampaui tiga dimensi. Dalam iman, kita bisa mengatakan bahwa Allah adalah omnipresent, dan Kristus selalu hadir dalam Gereja, meski kita tidak bisa melihat-Nya secara fisik. Melalui ikon, simbol, peristiwa liturgis, kita bisa menghayati kehadiran yang sesungguhnya dari Yang Ilahi. Jika demikian, kehadiran kemudian kita definisikan melalui perasaan akan keberadaan, bukan karena kehadiran. Kita menyatakan bahwa Allah benar-benar hadir ketika perasaan kita, yang diperkuat oleh ibadah, ritus, simbol, dsb., mengatakan bahwa Dia hadir. Unsur perasaan, melihat, dan mendengar yang sudah terpenuhi melalui kemajuan

(28)

15

teknologi komunikasi menantang gereja untuk mendefinisikan ulang makna perseku-tuan.

Satu hal yang pasti tidak bisa dilaksanakan dalam persekutuan online adalah pelayanan sakramen. Persekutuan yang mewujud dalam bentuk daging (Yoh. 1:14) juga membuat Allah merasa perlu untuk hadir di tengah manusia dalam Kristus meski dia juga bisa bersama dengan kita dalam Roh. Kehadiran personal dan sentuhan fisik membedakan kunjungan Yesus ke tengah-tengah orang sakit, miskin, dan

membutuhkan, dibandingkan perintah-Nya yang cukup menyembuhkan. Menurut saya, relasi interpersonal yang sesungguhnya bisa dicapai melalui persekutuan yang

berjumpa dalam ruang tiga dimensi. Namun, perjumpaan untuk pengajaran kemudian bisa dilakukan dalam ruang virtual. Karena itu, live streaming pengajaran dan ibadah harus dilihat sebagai alternatif bagi gereja untuk menjangkau audiens yang lebih luas (kesaksian), namun bukan dalam rangka menumbuhkan persekutuan.

2) Ibadah & Teknologi

Penggunaan projector LCD dalam ibadah dimulai oleh gereja pentakostal dan karismatik. Pada mulanya mereka perlu membebaskan tangan mereka dari tugas memegang teks agar jemaat bertepuk tangan sambil bernyanyi. Ilustrasi dalam bentuk video dan gambar juga membantu orang lebih fokus kepada pesan yang ingin

disampaikan. Meski, tampilan multimedia yang buruk dapat menjadi batu sandungan bagi jemaat yang kritis. Teknologi mempunyai tiga wajah bagi teologi. Pertama, teknologi membantu menyebarluaskan pesan teologi. Kedua, teknologi mengganggu teologi. Dan ketiga, teknologi menjadi alat bagi teologi. Monsma pernah memprediksi penggunaan teknologi bagi masa kita,

Technology and its results are so much with us that, like the air we breathe, their presence and effects go unnoticed and unanalyzed. As a result modern technology and all it entails are often accepted by default, with few questioning what life would be like if humankind

performed tasks and attained goals by other means. (Monsma 1986, 1)

Saya sendiri melihat gereja lebih mudah menerima penggunaan teknologi pada tahun 2015-an hingga sekarang daripada sebelumnya. Beberapa gereja bahkan pernah menolak penggunaan LCD karena dianggap mengganggu konsentrasi orang dari ibadah. Sementara itu, tata ibadah yang diproyeksikan ke multimedia menolong pengurangan penggunaan kertas dalam ibadah. Teknologi multimedia pada akhirnya memang membantu bagi jemaat yang bisa menggunakannya secara maksimal.

Selanjutnya, muncul pertanyaan di mana posisi yang sakral dalam ibadah? Dalam era teknologi, batasan mengenai yang sakral dan profan menjadi hilang. Kekritisan kita akan kebenaran informasi juga membuat kita mempertanyakan segala hal. Generasi

(29)

16

baru juga tidak lagi melihat barang-barang yang dulu dianggap sakral sebagai hal yang sakral. Contohnya, apakah kita masih melihat Alkitab sebagai buku yang berisi Firman Allah atau sebagai Firman Allah. Ada sebuah masa di mana Alkitab hanya bisa

disebarkan melalui format buku. Namun, di era digital, buku bukan lagi kebutuhan karena kita sudah menemukan berbagai format lain yang memudahkan pembacaan konten (e-book misalnya). Karena Alkitab dulu susah ditemukan, dan buku adalah format yang memungkinkan kita membaca Alkitab, dia menjadi penting bagi kita. Tidak jarang kita menemui jenazah yang dikuburkan bersama Alkitabnya, meski saya belum pernah melihat orang yang dikubur bersama tabletnya. Bentuk elektronik membawa kemudahan tapi memerlukan diskusi lebih lanjut. Pada akhirnya, perubahan format adalah keniscayaan. Pertanyaannya adalah apakah kita siap ketika semua format akan berubah?

Dalam situasi demikian, kita bisa memegang pedoman, ketika semua dilakukan untuk kemuliaan nama Allah (1Kor. 10:33), dan jemaat menyetujuinya dalam kerangka kesatuan tubuh Kristus (Ef. 4), teknologi bisa membantu pelayanan dalam peribadahan.

3) Spiritualitas vs Religiusitas

Di masa perkembangan teknologi, kita membedakan spiritualitas dan

religiusitas. Meski berhubungan keduanya tidak otomatis saling membutuhkan. Nancy Ammerman dalam Spiritual but not Religious? Beyond Binary Choice in the Study of

Religion mengungkapkan bahwa spiritualitas adalah partisipasi terhadap

kegiatan-kegiatan keagamaan, etika atau cara hidup, mengalami kehadiran Tuhan, tujuan hidup, kepercayaan kepada Tuhan, dan sesuatu yang berorientasi pada batin seseorang (Ammerman 2013, 263-264; Hardjana 2005). Sementara, religiusitas merujuk kepada keterikatan kepada sebuah organisasi keagamaan yang memiliki aturan baku, hari keagamaan, aturan/tata peribadahan, dsb.

Pada era I.4, istilah spiritualitas lebih disukai daripada religiusitas karena beberapa hal. Pertama, spiritualitas dipandang sebagai sepertinya lebih bersifat individual dan religiusitas bersifat komunal (Harvey 2016, 129). Karena bersifat individu, pengembangan spiritualitas juga bisa dilakukan dalam berbagai model (Pakpahan 2014, 141–43). Karena itu, spiritualitas dilihat sebagai pengembangan diri sendiri yang lebih otentik karena terhubung kepada individu. Ammerman mengatakan, “spirituality as “more authentic” than organized religion because they themselves have created it” (Ammerman 2013, 259). Lalu, faktor pengalaman buruk umat beragama terhadap para pemimpin agama membuat orang lebih memilih spiritualitas yang membuat seseorang berhubungan langsung kepada Allah daripada pemimpin organisasi (Fuller 2001, 6).

(30)

17

Sementara itu, spiritualitas tidak bisa lepas dari religiusitas karena tujuan dari agama adalah membangun spiritualitas umat. Graham Harvey menulis istilah SBNR (Spiritual But Not Religious) untuk mencoba memisahkan kedua istilah tersebut. Baginya, spiritualitas tidak harus terikat kepada sebuah organisasi atau unsur agama (Harvey 2016, 164). Spiritualitas tidak melulu terikat kepada apa yang institusi religius definisikan. Media dan budaya kontemporer yang dipopulerkan oleh teknologi turut membentuk definisi spiritualitas (Ammerman 2006, 71-72).

Sebagai lembaga religius, gereja juga ditantang untuk memikirkan ulang definisi spiritualitas yang mereka tawarkan, terutama dalam menyebutkan bagaimana

seseorang membangun spiritualitasnya. Dalam kecenderungan kebutuhan gereja di milenium ketiga mengenai pertumbuhan spiritualitas pribadi, yang otentik, menantang gereja untuk menyediakan persekutuan yang juga memfasilitasi perjumpaan personal antara individu dengan Allah. Gereja harus hati-hati dalam menimbang faktor komunal dan individual bagi spiritualitas jemaat.

Panduan untuk Melakukan Pelayanan

Berikut adalah pegangan saya untuk berbagai pelayanan yang saya lakukan yang bisa juga digunakan untuk panduan menyiapkan berbagai model pelayanan kreatif di era yang menarik sekarang.

1) Apakah dia berguna? Apakah dia membangun? (1Kor. 10:23)

Dalam setiap dilema yang dihadapi, tanyakanlah apakah dia berguna dan membangun? Jika ternyata sisi negatif yang dibawa teknologi lebih besar dari manfaatnya, sebaiknya dia tidak digunakan dulu. Dalam 1 Korintus, Rasul Paulus menghadapi perdebatan mengenai bolehkah seorang Kristen memakan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala. Paulus tidak menjawab secara langsung pertanyaan ini, melainkan memberi sebuah petunjuk bahwa tidak segala sesuatu yang bisa dilakukan itu membangun dan berguna. Kita telah melihat banyak penemuan yang sama sekali tidak berguna atau membangun. Karena itu, panduan yang digunakan Paulus dalam bagian terakhir dari 1 Korintus 10 adalah untuk menggunakan segala sesuatu bagi kemuliaan Allah.

Ketika I4 justru merusak dan tidak berguna untuk kebaikan manusia, sebaiknya gereja dengan tegas menyatakan penolakan terhadap teknologi demikian. Salah satu hal yang perlu dipikirkan gereja dengan tegas adalah rekayasa genetika terutama untuk pengembangan manusia dan mesin yang masih memiliki banyak pertanyaan. 2) Apakah komunitas menjadi persekutuan sesungguhnya? (Yoh. 15:1-17)

Kita menemukan tiga poin pemuridan yang otentik dalam Yohanes 15:1-17, yaitu untuk hidup dalam Kristus, untuk mengasihi yang lain, dan bekerja untuk Kerajaan Allah bagi sesama. Ketika sebuah persekutuan tidak memiliki satu dari ketiga hal di

(31)

18

atas, sebuah persekutuan harus mengakui bahwa dia tidak lagi menjadi persekutuan sesungguhnya. Dalam dunia yang terkoneksi ini, kita menemukan angka

individualisme dan kesendirian (loneliness) yang cukup tinggi. Manusia ternyata memerlukan personal touch dan kehadiran virtual belum menjawab kebutuhan manusia akan sentuhan fisik personal. Dalam penelitian psikologi, seorang bayi yang tidak dipeluk, disentuh, dipegang oleh keluarganya, meski mendapatkan makanan dan gizi yang cukup, akan berhenti bertumbuh, dan mati. Manusia memerlukan sentuhan fisik, dan karena itu komunitas virtual mungkin belum menjawab isu untuk hidup dalam Kristus, mengasihi yang lain, dan bekerja bagi sesama. Kasih tidak bisa hanya dilakukan dari tempat yang nyaman dan jauh dari situasi

sesungguhnya. Itu sebabnya Yesus selalu pergi mengunjungi tempat-tempat di mana banyak orang terpinggirkan tinggal. Komunitas yang sesungguhnya masih

membutuhkan perjumpaan.

3) Apakah teknologi menjadi berhala baru? (Mat. 28:16-20)

Teknologi harus menjadi alat, bukan tujuan. Ketika seseorang datang kepada sebuah gereja hanya karena musik band rock, sistem pencahayaan yang baik, atau

kemudahan untuk mendapatkan berbagai kemudahan, dia sudah menjadi berhala baru. Teknologi digunakan untuk menyebarkan kabar baik kepada seluruh dunia. Kita harus hati-hati ketika gereja justru menjadikan teknologi sebagai syarat utama mereka dalam menyebarkan kabar baik. Gereja dapat saja memberhalakan teknologi dan menjadikan kuasa teknologi sebagai pendukung utama mereka dalam

mengabarkan Injil. Kekhawatiran pergeseran makna teknologi sebagai pendukung menjadi yang utama tidak bisa kita pungkiri. Ketika gereja terlalu mengandalkan teknologi, kita harus bertanya apakah karya Roh Kudus masih kita andalkan? 4) Apakah teknologi sedang mengurangi esensi kita sebagai makhluk yang segambar

dengan Allah (Kej. 1:26)?

Salah satu kecenderungan penggunaan dan pengembangan teknologi adalah berbagai masalah etis yang muncul kemudian. Kita harus tetap berpikir kritis akan berbagai perkembangan teknologi yang timbul sambil memegang prinsip

memanusiakan manusia. Manusia tidak boleh direduksi menjadi sebuah nama di atas layar, sebuah angka, bahkan sebuah kode. Manusia adalah manusia, dan teknologi yang mendehumanisasi manusia harus dijauhi. Beberapa masalah yang muncul dalam kemajuan teknologi berasal dari bidang etika. Apakah manusia bisa dimodifikasi? Apakah manusia bisa dikuantifikasi? Apakah teknologi kontrol

populasi bisa kita terapkan? Apakah kita bisa menyeleksi manusia tipe apa yang kita inginkan?

(32)

19 Berbagi Pengalaman

Kita telah melihat beberapa tantangan dan peluang bagi gereja untuk

menjalankan panggilannya dalam era I4. Saya memandang teologi harus selalu menjadi partner dialog bagi sains, dan dalam hal I4, teologi harus mempersiapkan dirinya untuk bertanya kepada sains dan dirinya sendiri mengenai perkembangan yang pasti akan masuk ke gereja kita, cepat atau lambat.

Di bagian ini saya ingin berbagi beberapa contoh pelayanan yang sudah saya kerjakan sebagai pendeta yang banyak melakukan pelayanan lintas generasi, gereja, bahkan negara.

1) Jadilah dirimu sendiri.

Salah satu tantangan gereja adalah untuk menampilkan model diri yang sempurna, padahal kita semua adalah manusia yang berdosa. Be who you are, and at the same time, be true to God’s calling.

a) Membuka kelompok young professional ministry, bagi para professional muda yang mencari mentor dan penguatan melalui Firman Tuhan.

b) Preach with heart. Speak directly to the congregation when you are preaching, and tell them your struggle too.

c) Instagram counselling. Engage dengan anak-anak muda melalui media yang mereka pegang. Mereka sedang mencari pegangan dari orang yang mereka anggap dekat dan relatable.

2) Dobrak kebiasaan dengan mengetahui apa intinya dan mencari kesempatan untuk memiliki kemasan baru.

Pilihlah pertarunganmu, ketahui intinya (pelajari tradisi dan makna teologisnya), diskusikan dengan para stake holders informally, dan bertanggung jawab untuk inovasimu.

a) Membuka futsal competition bagi pemuda di GKIN Belanda, dan harus mau lelah untuk mensponsori anak-anak muda.

b) Mendukung program praise and worship, dan bertanggung jawab secara teologis untuk itu.

c) Membuka counselling pranikah secara personal ketika mereka membutuhkannya.

d) Membebaskan anak-anak muda untuk berkreasi, mendukung mereka untuk berbagai peluang yang mereka miliki, dan ada sebagai teman, pendukung, coach, bukan pengawas atau auditor.

Saya berharap teman-teman pemuda, mahasiswa berbagai sekolah teologi, mampu memaksimalkan penggunaan teknologi informasi di era millennium ketiga

(33)

20

untuk memuliakan nama Tuhan sebagai kawan sekerja Allah dalam memuliakan nama Tuhan.

Daftar Acuan

Ammerman, Nancy T. 2006. Everyday religion: Observing modern religious lives. New York: Oxford University Press

______________. 2013. Spiritual but not religious? Beyond binary choice in the study of religion. Journal for The Scientific Study of Religion: 258-278.

Barbour, Ian G. 1990. Religion in an age of science. London: SCM Press Ltd.

Bartholomew, Craig G. & Michael W. Goheen. 2013. Christian philosophy: A systematic

and narrative introduction. Ada Michigan: Baker Academic.

Baudrillard, Jean. 2001. Simulacra and simulation. Transl. Sheila Faria Glaser. Ann Arbor, Michigan: The University of Michigan Press.

Bazin, Jean-Nicolas & Jérôme Cottin. 2004. Virtual Christianity: Potential and challenge

for the churches. Geneva: WCC Publications.

Borowik, Claire. 2018. “From radical communalism to virtual community: The digital transformation of the Family International.” Nova religio 22, no. 1: 59–86. https://doi.org/10.1525/nr.2018.22.1.59.

Campbell, Heidi A. 2011. When religion meets new media. London; New York: Routledge.

Castells, Manuel. 1996. The rise of the network society. Oxford: Blackwell.

Cheryl, Casey. 2006. “Virtual ritual, real faith: The revirtualization of religious ritual in cyberspace.” Journal of religions on the internet 2, no. 1: 73–90.

https://doi.org/10.11588/rel.2006.1.377.

Christensen, Clayton M. 2016. Competing against luck: The story of innovation and customer choice. New York: Harper Business.

Cohen, Yoel. 2012. God, Jews and the media: Religion and Israel’s media. Abingdon, UK: Routledge.

Dyikuk, Justine John. 2017. “Christianity and the digital age: Sustaining the online

church.” International journal of journalism and mass communication 3, no. 1: 43– 49. http://hdl.handle.net/123456789/2890.

Fuller. Robert C. 2001. Spiritual, but not religious: Understanding unchurch America. New York: Oxford University Press.

(34)

21

Görzig, Anke, dan Lara A. Frumkin. 2013. “Cyberbullying experiences on-the-go: When social media can become distressing.” Cyberpsychology: Journal of psychosocial

research on cyberspace 7, no. 1. https://doi.org/10.5817/CP2013-1-4.

Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, agama, dan spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius. Harvey, Graham. 2016. If “spiritual but not religious” people are not religious what

difference do they make? Journal for the study of spirituality (Oktober): 128-141. Ito, Joi & Jeff Howe. 2016. Whiplash: How to survive our faster future. New York: Grand

Central Publishin.

Japan Cabinet Office Website. 2018. Society 5.0.

https://www8.cao.go.jp/cstp/english/society5_0/index.html. Diakses 9 November 2020.

Libert, Bary, Megan Weck, dan Jerry Wind. 2016. The network imperative: How to survive

and grow in the age of digital business models. Boston: Harvard Business Review

Press.

McIntosh, Esther. “Belonging without believing: Church as community in an age of digital media.” International journal of public theology 9, no. 2 (2015): 131–55. https://doi.org/10.1163/15697320-12341389.

Monsma, Stephen V. 1986. Responsible technology: A Christian perspective. Grand Rapids: Williams B. Eerdmans.

Olusola, Emmanuel B. 2015. “Digital church and e-culture in the new media age: The spectrum of Nigeria.” African ecclesial review 57, no. 3 & 4: 206–24.

https://www.scribd.com/document/368083171/Inaku-K-Egere-Social-Media- and-Mission-based-Marketing-Approach-for-New-Evangelization-in-the-Digital-Age.

Pakpahan, Binsar J. 2014. Menuju model-model ibadah yang membangun: Sebuah telaah relasi pertumbuhan spiritualitas dan ibadah dalam dunia postmodern. Dalam Robinson Butarbutar, ed. Spiritualitas ekologis: Buku pengucapan syukur ulang

tahun ke-50 Pdt. Dr. Victor Tinambunan, 127–47. Jakarta: Yayasan Darma

Mahardika.

Webb, Amy. 2016. The signals are talking: Why today’s fringe is tomorrow mainstream. New York: PublicAffairs.

Wise, Justin. 2014. The Social Church a Theology and Digital Communication. Chicago: Moody Publisher.

(35)

22 Tentang Penulis

Binsar Jonathan Pakpahan adalah pendeta Huria Kristen Batak Protestan yang diutus menjadi dosen di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, menjabat sebagai Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik, pengampu matakuliah Filsafat, Etika, dan Teologi Publik.

Memperoleh gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Fakultas Teologi Vrije Universiteit, Amsterdam (2011) dalam bidang Teologi Sistematika. Publikasi utamanya adalah God

Remembers: Towards a Theology of Remembrance as a Basis of Reconciliation in Communal Conflict (Amsterdam: VU University Press, 2012). Telah menerbitkan

berbagai artikel di jurnal internasional dan Indonesia. Sekarang sedang menyelesaikan disertasi habilitasi di Evangelisch-Theologische Fakultät, Westfälische Wilhelms-Universität (WWU) Münster, Jerman (sejak 2016), atas tema peran rasa malu dan hormat di komunitas Kristen Indonesia dalam praktik pengampunan dan kontribusinya terhadap pembentukan norma masyarakat Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Studi Motivasi, Persepsi Dan Konsumsi Minuman Energi Serbuk Di Kalangan Karyawan Bagian Produksi PT Kurnia Adijaya Mandiri

Wakatobi untuk 5 tahun kedepan , dimana dalam perhitungan perkiraan pendanaan APBD Kota; APBD Provinsi; APBN dan Non Pemerintah untuk rencana program

Manusia menggunakan panas yang Terbentuk pada suatu reaksi antara lain untuk Mempertahankan suhu tubuh tetapi tidak dapat Mengubahnya menjadi energi mekanik atau energi listrik,

Terdapat tiga jenis gaya belajar berdasarkan modalitas yang digunakan individu dalam memproses informasi yaitu: (1) Gaya Belajar Visual, belajar dengan cara

Termasuk yang juga bisa menolong untuk khusyu’ dalam shalat, yaitu tidak mengganggu orang lain dengan bacaan al Qur`an, tidak shalat dengan pakaian atau baju yang ada

Pengaruh Temperatur Annealing Terhadap Struktur, Sifat listrik dan Sifat Optik Film Tipis Zinck Oxide Doping Alumunium (ZnO:Al) Dengan Metode DC Magneton

™ Seluruh teman-teman seperjuangan Progdi PGSD angkatan 2013 terutama kelas E, terima kasih kalian berbagi canda, tawa, suka dan duka bersamaku selama ini. Bersama kalian hidup