• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS MIKROBIOLOGIK SUSU SEGAR PADA SAPI PERAH YANG MENDAPAT PERLAKUAN CELUP PUTING SETELAH PEMERAHAN ARIE MUHAMMAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS MIKROBIOLOGIK SUSU SEGAR PADA SAPI PERAH YANG MENDAPAT PERLAKUAN CELUP PUTING SETELAH PEMERAHAN ARIE MUHAMMAD"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

KUALITAS MIKROBIOLOGIK SUSU SEGAR PADA SAPI

PERAH YANG MENDAPAT PERLAKUAN CELUP PUTING

SETELAH PEMERAHAN

ARIE MUHAMMAD

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kualitas Mikrobiologik Susu Segar pada Sapi Perah yang Mendapat Perlakuan Celup Puting setelah Pemerahan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016

Arie Muhammad

NIM B04120161

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

(4)
(5)

ABSTRAK

ARIE MUHAMMAD. Kualitas Mikrobiologik Susu Segar pada Sapi Perah yang Mendapat Perlakuan Celup Puting setelah Pemerahan. Dibimbing oleh ETIH SUDARNIKA dan HERWIN PISESTYANI.

Kualitas mikrobiologik merupakan parameter kualitas susu segar dalam suatu peternakan sapi perah. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perlakuan celup puting setelah pemerahan terhadap kualitas mikrobiologik susu segar. Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu dari setiap kuartir dari sepuluh ekor sapi perah. Kriteria sapi yang diberi perlakuan adalah sapi yang yang sedang dalam laktasi pada bulan ketiga. Perlakuan celup puting dilakukan langsung oleh peternak setelah pemerahan pagi dan sore. Pengamatan dilakukan sebelum perlakuan, satu bulan setelah perlakuan dan bulan kedua setelah perlakuan celup puting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah

Staphylococcus aureus dan koliform mengalami penurunan yang nyata (P<0.05).

Adapun jumlah mikroorganisme tampak menunjukkan penurunan yang nyata (P<0.05) dari bulan kesatu sampai bulan kedua. Perlakuan celup puting dapat meningkatkan kualitas mikrobiologik pada susu segar. Oleh karena itu, perlakuan celup puting merupakan perlakuan yang praktis dan ekonomis dalam upaya peningkatan kualitas mikrobiologik susu segar.

Kata Kunci : Celup puting, kualitas mikrobiologik, susu segar.

ABSTRACT

ARIE MUHAMMAD. Microbiological Quality of Fresh Milk in Dairy Cattle Following Teat Dipping Treatment after Milking. Supervised by ETIH SUDARNIKA and HERWIN PISESTYANI.

Microbiological quality of fresh milk is the quality parameters in a dairy farm. The purpose of this research was to analyze the effect of teat dipping treatment after milking on the microbiological quality of fresh milk. Milk samples were taken from every quarters of ten dairy cattle sample. The criteria of the cattle that was being given the treatment was a cattle in the third month of lactation period. Teat dipping treatment was done manually by the farmer after milking process in the morning and evening. Observation was made before treatment, one month after treatment, and two month after treatment. The result of the research showed that the total of Staphylococcus aureus and coliform was significantly decreased (P<0.05). The total microorganism showed decrease significantly (P<0.05) from before treatment to one month after treatment. Teat dipping treatment was able to increase the microbiological quality of fresh milk. Therefore, teat dipping treatment was a practical and economical treatment in the means of increasing the microbiological quality of fresh milk.

(6)
(7)

KUALITAS MIKROBIOLOGIK SUSU SEGAR PADA SAPI

PERAH YANG MENDAPAT PERLAKUAN CELUP PUTING

SETELAH PEMERAHAN

ARIE MUHAMMAD

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Kualitas Mikrobiologik Susu Segar pada Sapi Perah yang Mendapat Perlakuan Celup Puting setelah Pemerahan. Penulisan tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Etih Sudarnika MSi selaku pembimbing I, serta Drh Herwin Pisestyani MSi selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan tugas akhir ini. Disamping itu, saya sampaikan terima kasih kepada Prof Dr Drh H Bambang Purwantara MSc selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan dukungan selama masa perkuliahan.

Terima kasih kepada Dra Yeni Rohaeni, Fendry Abdul Mubarok beserta keluarga yang telah memberikan dukungan dan doa. Saudara M. Pauzi Lubis saudari Iccha Pradipta Patsiwi, Rachmi Ramadhanita, Nurmayanti selaku rekan penelitian yang telah membantu dan memberi semangat selama pengumpuan data penelitian. Rekan-rekan kedokteran hewan angkatan 49 dan anggota Himpunan Profesi Ruminansia, dan rekan-rekan kontrakan ‘Cempaka 3’ (Adit, Agung, Kiki), serta Nurul Annisa Tuliman, juga rekan lainnya yang telah memberikan semangat dan bantuan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL v DAFTAR GAMBAR v PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 1 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Susu Segar 2 Jumlah Mikroorganisme 2 Staphylococcus aureus 3 Koliform 3 Celup Puting 4

BAHAN DAN METODE 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Bahan dan Alat 4

Metode Penelitian 5

Disain Penelitian 5

Pengambilan Sampel 5

Pemeriksaan Mikrobiologik Susu 5

Penghitungan Jumlah Mikroorganisme, S. aureus, dan Koliform. 6

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Jumlah Mikroorganisme 6

Staphylococcus aureus 8

Koliform 9

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 11

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah mikroorganisme, S. aureus, dan koliform pada sapi perah yang

mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan 6

DAFTAR GAMBAR

1 Median jumlah mikroorganisme dalam susu segar dari sapi perah yang

mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan 7 2 Median jumlah Staphylococcus aureus dalam susu segar dari sapi perah

yang mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan 9 3 Median jumlah koliform dalam susu segar dari sapi perah yang mendapat

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peternakan sapi perah di Indonesia memiliki prospek yang strategis untuk meningkatkan sumber daya manusia. Berdasarkan statistik Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan populasi sapi perah pada tahun 2015 mencapai 525 171 ekor (DITJENAK KESWAN 2015). Keberadaan peternakan sapi perah di Indonesia sebagian besar terdiri dari peternakan rakyat yang dikelola secara tradisional. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang terletak di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat merupakan kawasan peternakan tradisional yang dimiliki oleh berbagai peternak sapi perah. Daerah ini memiliki populasi sapi perah sekitar 1 200 ekor dengan produksi susu setiap harinya sekitar 8 500 liter (GKSI 2013). Kepemilikan kawasan ini dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor dan menjadi sumber pendapatan daerah. Kondisi peternakan sebagian besar masih menggunakan peralatan tradisional, dengan pemerahan tradisional tanpa bantuan mesin perah. Manajemen pemeliharaan secara tradisional mengakibatkan timbul permasalahan dalam pengelolaan peternakan sapi perah, diantaranya penurunan produksi susu, peningkatan jumlah sel somatik, dan penurunan kualitas mikrobiologik susu segar.

Penurunan kualitas mikrobiologik susu segar dapat menimbulkan kerugian bagi berbagai sektor, baik sektor produksi maupun kesehatan sapi perah. Penurunan produksi susu dan kualitas mikrobiologik susu menjadi faktor yang secara langsung dapat menurunkan keuntungan bagi peternak sendiri, harga jual susu yang rendah dan adanya penolakan susu dari industri pengolahan susu (Utami 2014). Berdasarkan Badan Standardisasi Nasional (2011) cemaran mikroba maksimum total plate count (TPC) dalam susu 106 cfu/ml, jumlah

Staphylococcus aureus 102 cfu/ml, dan jumlah Enterobacteriaceae 103 cfu/ml. Bakteri yang mengontaminasi susu dapat menimbulkan infeksi sehingga dapat menyebabkan penyakit bagi orang yang mengonsumsi susu. Perlu kiranya dilakukan pengendalian untuk mencegah keracunan setelah minum susu (Suwito 2010).

Salah satu program pengendalian dalam upaya peningkatan kualitas mikrobiologik susu adalah dengan menjaga kesehatan ambing. Proses produksi susu secara keseluruhan dilakukan di dalam ambing, sehingga apabila terdapat infeksi bakteri pada ambing akan menyebabkan timbulnya penyakit pada sapi perah, yaitu mastitis. Salah satu upaya pencegahan terhadap infeksi bakteri pada ambing adalah dengan perlakuan celup puting setelah pemerahan. Perlakuan celup puting diharapkan dapat mencegah terjadinya mastitis subklinis sehingga kualitas maupun kuantitas produksi susu mengalami peningkatan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menganalisis perubahan kualitas mikrobiologik susu segar dari sapi yang mendapatkan perlakuan celup puting setelah pemerahan.

(18)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh perlakuan celup puting terhadap kualitas mikrobiologik susu segar pada sapi perah.

TINJAUAN PUSTAKA

Susu Segar

Susu segar adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan (BSN 2011). Menurut Astawan (2008) susu segar sebagai hasil sekresi biologis mamalia, disebut sebagai makanan yang hampir sempurna karena kandungan gizinya yang lengkap. Peneliti telah menemukan lebih dari 100 000 jenis molekul zat makanan yang terkandung dalam susu. Susu mengandung air, lemak, protein, karbohidrat, mineral, enzim, dan vitamin. Susu dibutuhkan oleh manusia untuk membangun dan memelihara sel-sel tubuh, regenerasi serta memperbaiki jaringan yang rusak, memelihara metabolisme tubuh, sumber probiotik, dan sumber kalsium.

Susu segar yang baik dapat dihasilkan dari sapi perah yang sehat dan memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH), yaitu, tidak mengandung agen penyebab penyakit misalnya mikroba patogen dan residu bahan berbahaya, mengandung zat gizi dalam jumlah yang cukup dan seimbang, tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun, dan tidak mengandung atau tidak bersentuhan dengan barang atau zat yang diharamkan (Gustiani 2009). Berdasarkan Badan Standardisasi Indonesia (SNI) Nomor 3141.1.2011 tentang syarat susu segar diantaranya: (1) tidak ada penyimpangan pada uji organoleptik seperti warna putih kekuningan, bau, dan rasa khas susu serta konsistensi normal, (2) kandungan protein menimal 2.8% dan lemak minimal 3%, (3) Cemaran mikroba maksimum 1 juta cfu/ml (BSN 2011).

Jumlah Mikroorganisme

Susu merupakan salah satu bahan pangan yang kaya akan zat gizi. Kandungan protein, glukosa, lipida, garam mineral, dan vitamin dengan pH sekitar 6.80 menyebabkan mikrob mudah tumbuh dalam susu. Secara alami, susu mengandung mikrob kurang dari 5 x 103 per ml jika diperah dengan cara yang benar dan berasal dari sapi yang sehat (Suwito 2010). Mikrob pencemar pada susu bisa bersumber dari lingkungan, pemerah dan hewan itu sendiri. Tinggi rendahnya tingkat pencemaran pada susu erat kaitannya dengan higiene dan sanitasi selama produksi susu segar ditingkat peternakan. Kehadiran mikrob yang tinggi pada sampel lingkungan (air dan udara), alat perah, pemerah dan ambing berefek pada tingginya pencemaran pada susu (Nanu et al. 2007). Jumlah mikroorganisme menunjukkan jumlah mikrob dalam suatu produk. Secara umum, jumlah

(19)

3 mikroorganisme tidak terkait dengan bahaya keamanan pangan namun kadang bermanfaat untuk menunjukkan kualitas, masa simpan/waktu paruh, kontaminasi, dan status higiene pada saat proses produksi (Gustiani 2009).

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan mikroba patogen penting pada manusia

yang menimbulkan berbagai kasus penyakit. S. aureus dapat ditemukan di lingkungan seperti udara, debu, kotoran, air, susu, dan makanan atau terdapat dalam peralatan makan. Ditemukannya S. aureus dalam susu segar kemungkinan disebabkan adanya infeksi S. aureus pada sapi perah menyebabkan infeksi ambing yang bersifat klinis maupun subklinis. Reservoir utama dari S. aureus terdapat dalam ambing/kuartir yang terinfeksi, penyebaran diantara sapi terjadi selama pemerahan. Kejadian mastitis subklinis kemungkinan tidak diketahui oleh peternak, karena sapi perah tidak memperlihatkan adanya peradangan atau pembengkakan ambing. Dalam kondisi seperti tersebut, susu segar yang diperah

kemungkinan dapat tercemar oleh S. aureus (Saliasia et al. 2009).

Staphylococcus aureus merupakan penyebab utama kejadian mastitis di

negara maju dalam bidang industri sapi perah. Suatu peternakan akan mengalami kerugian akibat adanya infeksi bakteri jenis ini. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperhatikan karakteristik dan cara pengendalian bakteri S. aureus. Menurut Anri (2008) mastitis yang disebabkan oleh S. aureus menyebabkan permasalahan, diantaranya :

1. Infeksius, penularan secara kontak langsung dari sapi yang terinfeksi ke sapi yang lainnya.

2. Pengobatan dengan antibiotika kurang efektif karena karakteristik dari S.

aureus adalah menginfeksi jaringan didalam ambing sehingga mempersulit

antibiotika untuk mencapai daerah terinfeksi dan sebagian bakteri telah mengalami resisten terhadap beberapa jenis antibiotika umum.

3. Meningkatkan jumlah sel somatis serta menurunkan kualitas dan produksi susu secara signifikan.

4. S. aureus mampu menghasilkan enterotoksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Koliform

Koliform merupakan suatu grup bakteri heterogen, bentuk batang pendek dengan ukuran 0.5-1.0 x 1.0-3.0 µm, dan termasuk bakteri Gram negatif. Secara garis besar bakteri tersebut memiliki sifat non-motil atau motil, memiliki flagella pertrikus yaitu flagela yang secara merata tersebar di seluruh permukaan sel, berfimbrie atau tidak, asporogenous, dan berkapsul atau tidak. Sumber energi untuk pertumbuhan koliform berasal dari oksidasi (sumber karbon) senyawa organik, oleh karena itu koliform termasuk bakteri heterotrof (Sirindon 2008).

Keberadaan koliform dalam susu segar mengindikasikan suatu kondisi

unsanitary. Bakteri ini bisa terbawa oleh tangan dan baju pemerah, peralatan

pemerahan, dan udara (Gamroth dan Bodyfelt 1993). Koliform di dalam susu segar dikhawatirkan dapat berkembang biak, sehingga keberadaannya di dalam suatu bahan pangan dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia.

(20)

4

Koliform di dalam susu segar tidak diharapkan karena dapat menjadi indikator adanya pencemaran feses manusia atau hewan ke dalam susu segar (Balia et al. 2008).

Celup Puting

Menurut Swadayana et al. (2012) kualitas susu dapat dijaga salah satu diantaranya dengan melakukan perlakuan teat dipping. Teat dipping adalah suatu tindakan dengan pencelupan puting oleh larutan disinfektan setelah pemerahan berakhir, yang bertujuan untuk mencegah terkontaminasinya susu oleh bakteri yang dapat merusak kualitas susu dan menyebabkan mastitis. Perlakuan teat dipping dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara merusak dinding sel bakteri bagian luar dan membran sel sehingga disinfektan dapat masuk kedalam sitoplasma sampai kedalam nukleus, akibatnya bakteri tidak dapat berkembang biak, sehingga terhambat sampai akhirnya bakteri mati.

Bakteri yang mengontaminasi susu memasuki ambing dari luar puting dan saluran-saluran susu. Melalui perlakuan teat dipping, disinfektan yang digunakan dapat menutup saluran-saluran susu pada puting agar tidak terinfeksi bakteri dari udara sekitar. Pencegahan terhadap mastitis ditempuh dengan melakukan manajemen peternakan pasca pemerahan dengan teat dipping terhadap puting setelah melakukan pemerahan selama beberapa menit untuk mengurangi infeksi ambing (Rahayu 2007). Menurut Mahardika et al. (2016) metode pencelupan puting dapat menurunkan tingkat kejadian mastitis. Nickerson (2013) menambahkan pencelupan puting di akhir pemerahan sangat efektif untuk mencegah infeksi baru yang disebabkan oleh mikrob penyebab mastitis yang menular.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama tiga bulan, yaitu dari bulan April sampai dengan Juni 2015. Sampel berasal dari peternakan sapi perah, KUNAK Bogor dan pengujian mikrobiologik dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain sampel susu dari setiap kuartir, buffered peptone water (BPW) 0.1% (OXOID® CM1049),

plate count agar (PCA) (OXOID® CM0463), Violet Red Bile agar (VRB agar)

(OXOID® CM0107), Vogel Johnson agar (VJA) (OXOID® CM0641) yang telah ditambahkan potassium tellurite 3%, larutan povidone-iodine 1%+gliserin 10%, dan alat celup puting.

(21)

5

Metode Penelitian Disain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi lapangan yaitu aplikasi celup puting pada sapi perah setelah pemerahan yang dilakukan sendiri oleh peternak di kandang masing-masing. Sampel yang digunakan adalah susu dari setiap kuartir dari sepuluh ekor sapi yang diberi perlakuan celup puting. Kriteria sapi yang diberi perlakuan adalah sapi dalam masa laktasi normal, yaitu pada bulan ketiga setelah melahirkan di awal perlakuan celup puting. Sebelum melakukan perlakuan celup puting peternak diberikan penyuluhan terlebih dahulu mengenai tatacara dan fungsi perlakuan celup puting. Peternak diberi bantuan alat celup puting dan larutan antiseptik. Peternak melakukan perlakuan celup puting menggunakan larutan antiseptik yang mengandung povidone-iodine 1% dan gliserin 10%. Pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali dengan interval waktu satu bulan, yaitu pada sebelum perlakuan celup puting, bulan pertama setelah perlakuan, dan bulan kedua setelah perlakuan celup puting. Besaran sampel setiap kali pengujian adalah 39 sampel susu segar. Pengujian kualitas mikrobiologik susu segar yang dilakukan adalah penghitungan jumlah mikroorganisme, jumlah S. aureus, dan jumlah koliform dengan menggunakan metode hitungan cawan.

Pengambilan Sampel

Sampel susu yang digunakan dalam penelitian adalah sampel susu dari setiap kuartir (puting) pemerahan pagi, yang diambil secara langsung dari puting sapi pada saat pemerahan. Sampel tersebut masing masing diambil sebanyak ± 15 ml yang dimasukkan dalam tabung sampel. Sampel susu pada saat di perjalanan dimasukkan pada cooling box yang dilengkapi dengan ice pack, sehingga suhunya berkisar antara 4-10 °C. Kegiatan pengambilan sampel ini dilakukan secara aseptis untuk meminimalkan kontaminasi.

.

Pemeriksaan Mikrobiologik Susu

Pemeriksaan jumlah mikroorganisme dilakukan dengan cara pengenceran 10-1,10-2,10-3,10-4. Dalam pemeriksaan jumlah mikroorganisme ini pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-2 sampai dengan 10-4 yang dituang dalam cawan petri steril. Pemeriksaan jumlah S. aureus dan jumlah koliform dilakukan pada pengenceran 10-1 sampai dengan 10-3.

Sampel susu dari setiap kuartir yang didapat adalah pengenceran 10-0. Pengeceran 10-1 dilakukan dengan cara 1 ml dipindahkan dari tabung susu sampel (pengenceran 10-0) ke dalam 9 ml larutan buffered peptone water 0.1%. Pengenceran desimal 10-2 dilakukan dengan cara 1 ml dipindahkan dari pengenceran 10-1 ke dalam 9 ml larutan BPW 0.1%. Selanjutnya, pengenceran desimal dilakukan dengan cara yang sama pada pengenceran 10-3 dan 10-4. Pemupukan dilakukan dari masing-masing pengenceran dengan cara 1 ml dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang telah diberi label sebelumnya, sesuai dengan angka pengenceran. Media agar dituang ke dalam cawan masing-masing sebanyak 10-15 ml plate count agar (suhu 44-46 °C) untuk jumlah mikroorganisme, 10-15 ml Violet Red Bile agar untuk koliform dan 10-15 ml

(22)

6

(perhatikan media jangan sampai keluar dari cawan petri). Setelah media memadat, untuk pemeriksaan koliform dituang kembali 3-4 ml media VRB cair 45-48 °C (overlay) lalu, media dibiarkan memadat kembali. Cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator dan disimpan dengan posisi terbalik (untuk mencegah koloni yang menyebar). Inkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam.

Penghitungan Jumlah Mikroorganisme, S. aureus, dan Koliform.

Penghitungan jumlah mikroorganisme menggunakan metode hitungan cawan, yaitu dengan cara menghitung semua koloni yang tumbuh dalam setiap cawan petri. Penghitungan jumlah S. aureus dihitung koloni yang bulat, licin/halus, konveks, basah, berdiameter 2-3 cm jika koloni tidak padat, berwarna abu-abu sampai hitam pekat, dikelilingi oleh zona opak (opaque zone), dengan atau tanpa zona luar yang jelas/terang (clear zone). Penghitungan jumlah koliform dilakukan dengan cara menghitung semua koloni berwarna merah keunguan yang dikelilingi oleh zona merah. Koloni yang tumbuh pada setiap cawan petri kemudian dihitung dengan rumus perhitungan jumlah mikroba:

Jumlah mikroba (cfu/ml)= jumlah koloni x faktor pengenceran Faktor pengenceran =

.

Analisis Data

Data jumlah total mikroorganisme, jumlah S. aureus, dan jumlah koliform dianalisis menggunakan uji Friedman (Agresti dan Finlay 2009)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Mikroorganisme

Peubah yang diamati pada penelitian mikrobiologik susu segar adalah jumlah mikroorganisme, S. aureus, dan koliform. Hasil pengamatan status mikrobiologik susu segar pada sapi perah di KUNAK Bogor disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah mikroorganisme, S. aureus, dan koliform pada sapi perah yang mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan

Peubah

Median ± Wilayah antarkuartil Sebelum perlakuan Bulan ke-1 setelah perlakuan Bulan ke-2 setelah perlakuan Jumlah mikroorganisme (cfu/ml) 22600 ± 123000 a 10600 ± 25600b 13350 ± 71900ab Jumlah S. aureus (cfu/ml) 480 ± 1360a 30 ± 120c 150 ± 278b Jumlah koliform (cfu/ml) 20 ± 80a 1 ± 30b 1 ± 10b Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan

(23)

7 Jumlah mikroorganisme merupakan jumlah keseluruhan mikrob yang terdapat dalam susu segar. Semakin tinggi jumlah mikrob yang terdapat dalam susu segar menyebabkan kualitas susu semakin berkurang (Suwito 2010). Menurut Utami et al. (2014) jumlah mikroorganisme digunakan sebagai standar pengujian kualitas susu karena menjadi dasar penjualan susu dari tingkat peternak ke industri pengolahan susu. Peternak akan menerima keuntungan yang lebih karena harga jual susu meningkat, apabila jumlah mikroorganisme di bawah 106. Sebaliknya, jika jumlah mikroorganisme di atas 15x106 cfu/ml maka peternak akan menerima penolakan dari industri pengolahan susu. Hal ini seharusnya mendorong peternak untuk lebih memperhatikan kualitas susu yang dihasilkan sehingga memiliki standar produk, berdaya saing tinggi serta aman dikonsumsi.

Gambar 1 Median jumlah mikroorganisme dalam susu segar dari sapi perah yang mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan

Berdasarkan Gambar 1 terdapat kecenderungan penurunan jumlah mikroorganisme selama perlakuan celup puting. Sebelum perlakuan celup puting median jumlah mikroorganisme adalah sebesar 22 600 cfu/ml, kemudian mengalami penurunan pada bulan pertama menjadi 10 600 cfu/ml. Pada akhir perlakuan jumlah mikroorganisme mengalami kenaikan kembali menjadi 13 350 cful/ml. Kenaikan jumlah mikroorganisme pada bulan kedua pasca perlakuan disebabkan terjadi perubahan musim dari musim hujan ke musim kemarau. Ketersediaan air di kandang menjadi berkurang sehingga kandang kotor dan ternak tidak dimandikan sebelum pemerahan. Peternak hanya melakukan pencucian ambing sebelum pemerahan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sudono (2003) bahwa faktor-faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi kesehatan ternak meliputi pakan, perkandangan, jumlah sapi dalam satu kandang, sanitasi kandang, dan cara pemerahan susu.

Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat penurunan median jumlah mikroorganisme yang nyata dari sebelum perlakuan ke bulan pertama setelah perlakuan (P<0.05), namun tidak menujukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) pada bulan kedua setelah perlakuan celup puting. Peningkatan kembali jumlah

22600 10600 13350 0 5000 10000 15000 20000 25000

Sebelum perlakuan Bulan ke-1 setelah perlakuan

Bulan ke-2 setelah perlakuan J um la h m ik ro o rg a nis m e (cf u/m l) Bulan Pengamatan

(24)

8

mikroorganisme di bulan kedua walaupun tidak signifikan, selain disebabkan oleh perubahan musim juga disebabkan mikrob yang tumbuh di media agar sangat beragam. Mikrob yang tumbuh terdiri atas bakteri, kapang, dan khamir sehingga jumlah mikroorganisme lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah S. aureus dan jumlah koliform.

Bakteri yang ada didalam susu terdiri atas bakteri patogen dan bakteri pembusuk. Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella sp., dan

Streptococcus sp. termasuk dalam bakteri patogen, sedangkan bakteri pembusuk

antara lain Micrococcus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. (Suwito 2010). Keberadaan cendawan dalam susu dapat menyebabkan mastitis mikotik yang berdampak pada peningkatan jumlah mikroorganisme. Mastitis mikotik adalah penyakit mastitis yang disebabkan oleh infeksi cendawan patogenik (kapang atau khamir). Kasus tersebut biasanya terjadi akibat pengobatan antibiotik yang tidak terkontrol dan lingkungan perkandangan, serta menejemen yang kurang baik dan kotor (Ahmad 2014).

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang sangat penting pada

peternakan sapi perah karena mikrob ini terdapat dimana-mana seperti pada kulit sapi, ambing yang sakit maupun yang sehat, lingkungan, pemerah, peralatan yang digunakan, air, dan udara. Jumlah S. aureus merupakan parameter penting kejadian mastitis di peternakan sapi perah, karena S. aureus satu diantara bakteri utama penyebab mastitis di sapi perah. Penyakit radang ambing yang dikenal sebagai mastitis merupakan masalah utama dalam peternakan sapi perah karena menyebabkan kerugian cukup besar yang dapat menyebabkan penurunan produksi, kualitas, dan penyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan yang cukup tinggi, serta pengafkiran ternak lebih awal. Insidensi mastitis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (85%) dan sebagian besar merupakan infeksi yang bersifat subklinis (Abrar et al. 2012).

Hasil pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang nyata (P<0.05) pada median jumlah S. aureus selama tiga bulan pengamatan perlakuan celup puting. Gambar 2 menunjukkan cemaran S. aureus sebelum dilakukan aplikasi celup puting, yaitu 480 cfu/ml, selanjutnya mengalami penurunan pada bulan pertama menjadi 30 cfu/ml. Peningkatan jumlah S. aureus terjadi di bulan terakhir pengamatan pada sapi yang diberi perlakuan celup puting menjadi 150 cfu/ml. Kegiatan peternak selama pemerahan sangat memengaruhi besarnya cemaran S. aureus dalam susu. Berdasarkan pengamatan di lapangan, pada bulan kedua peternak cenderung tidak melakukan cuci tangan sebelum pemerahan karena kurangnya ketersediaan air bersih di kandang sehingga adanya penularan S.

aureus dari tangan pemerah ke sapi yang dapat mengakibatkan infeksi pada

ambing. Selain itu, peternak melakukan pencucian ambing sebelum pemerahan dengan menggunakan lap basah yang tidak diganti selama proses pemerahan. Menurut Andre et al. (2008) sumber pencemaran mikrob dalam susu diantaranya berasal dari peralatan pemerahan dan lingkungan sekitar.

(25)

9

Gambar 2 Median jumlah Staphylococcus aureus dalam susu segar dari sapi perah yang mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan S. aureus secara nyata (P<0.05) dengan dilakukannya celup puting setelah pemerahan. Kondisi di bulan ketiga dengan ketersediaan air yang terbatas dan higiene pemerah yang buruk, namun jumlah S. aureus pada bulan tersebut tetap lebih rendah dibandingkan sebelum perlakuan celup puting. Hal ini membuktikan aplikasi celup puting dapat menghambat penularan infeksi S. aureus dari lingkungan sekitar ke puting.

Koliform

Jumlah koliform merupakan parameter dalam sanitasi perkandangan suatu peternakan sapi perah. Koliform didalam susu segar dikhawatirkan dapat berkembang biak, sehingga keberadaannya dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi manusia. Kehadiran koliform pada susu segar sangat tidak diharapkan, koliform dijadikan indikator adanya pencemaran feses manusia maupun hewan ke dalam susu segar (Balia et al. 2008).

Median jumlah koliform dalam susu menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) selama tiga bulan pengamatan perlakuan celup puting. Pada Gambar 3 median jumlah koliform sebelum dilakukan aplikasi celup puting sebesar 20 cfu/ml, kemudian mengalami penurunan pada pertengahan pengamatan celup puting menjadi (1 ± 30 cfu/ml), dan akhir pegamatan perlakukan celup puting (1 ± 10 cfu/ ml). Penurunan jumlah koliform ini mengindikasikan bahwa aplikasi celup puting dapat menghambat penularan koliform dari lingkungan ke dalam ambing. Kebersihan kandang sapi perah merupakan salah satu faktor presdisposisi adanya cemaran bakteri koliform. Kandang harus dibersihkan setiap hari dan memiliki kualitas air yang baik. Menurut Sirindon (2008) sumber utama pencemaran koliform adalah air yang telah terkontaminasi kotoran manusia dan hewan berdarah panas lainnya.

Penelitian menunjukkan bahwa aplikasi celup puting dapat mencegah penularan koliform dari lingkungan ke ambing, sehingga dapat menurunkan jumlah koliform. Meskipun pada bulan kedua setelah perlakuan terjadi perubahan

480 30 150 0 100 200 300 400 500 600

Sebelum perlakuan Bulan ke-1 setelah perlakuan

Bulan ke-2 setelah perlakuan J um la h S. a ur eus ( cf u/m l) Bulan Pengamatan

(26)

10

musim dari musim penghujan ke musim kemarau, dan pada saat tersebut ketersediaan air terbatas dengan kualitas air yang buruk jumlah koliform tetap menurun.

Gambar 3 Median jumlah koliform dalam susu segar dari sapi perah yang mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan

Aplikasi celup puting setelah pemerahan secara rutin adalah cara yang efektif bagi peternak dalam upaya peningkatan kualitas mikrobiologik susu. Kondisi pasca pemerahan merupakan kondisi yang paling rentan penularan mikrob dari lingkungan. Sphincter puting masih terbuka beberapa saat setelah sapi diperah sehingga harus diupayakan agar mikrob tidak masuk ke dalam puting yang dapat mengakibatkan infeksi ambing (Surjowardojo et al. 2008).

Antiseptik yang digunakan selama perlakuan celup puting, yaitu povidone-iodine 1% dan gliserin 10%. Menurut Mahardika et al. (2012) daya kerja povidone-iodine dalam aplikasi celup puting digunakan untuk melapisi lubang puting. Zat iodium dapat berpenetrasi menembus sitoplasma sampai ke nukleus dengan merusak metabolisme sel mikrob, sehingga pertumbuhan mikrob yang terdapat di dalam susu dapat dicegah. Daya kerja povidone dapat membunuh bakteri Gram positif (+) maupun Gram negatif (-), cendawan, virus, dan protozoa (Gennaro 1990). Penambahan gliserin dalam larutan celup puting berfungsi sebagai cairan netral yang memiliki titik didih tinggi, dapat larut dalam air maupun alkohol namun tidak larut dalam minyak. Penambahan gliserin pada larutan celup puting digunakan sebagai humektan sehingga bisa berfungsi sebagai pelembab kulit (Suryani et al. 2007).

Aplikasi celup puting memberikan manfaat bagi peternak dari berbagai faktor, yaitu dapat meningkatkan kesehatan ambing sehingga terhindar dari kejadian mastitis subklinis maupun klinis. Manfaat lain adalah peternak akan mendapatkan keuntungan dari penjualan susu, karena kualitas susu yang baik. Manfaat selanjutnya adalah terjaganya keamanan konsumen yang mengonsumsi susu karena terhindar dari cemaran bakteri patogen. Kualitas susu akan terus terjaga apabila peternak selalu menjaga sanitasi kandang dan higiene personal peternak sendiri. 20 1 1 0 5 10 15 20 25

Sebelum perlakuan Bulan ke-1 setelah perlakuan

Bulan ke-2 setelah perlakuan J um la h k o lifo rm ( cf u/m l) Bulan Pengamatan

(27)

11 Celup puting merupakan aplikasi yang praktis dan ekonomis bagi peternak. Perlakuan celup puting setelah pemerahan terbukti dapat menurunkan jumlah total mikroorganisme, jumlah S. aureus dan jumlah koliform walaupun terjadi perubahan musim dari musim penghujan ke musim kemarau yang menyebabkan ketersediaan air di kandang menjadi terbatas. Celup puting menjadi solusi bagi peternak untuk meningkatkan kualitas mikrobiologik susu segar. Selain itu, peternak tetap harus menjaga higiene personal dan sanitasi kandang karena cemaran bakteri dalam susu banyak berasal dari lingkungan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Aplikasi celup puting pada sapi perah merupakan cara yang efektif untuk menekan pertumbuhan mikrob dan meningkatkan kualitas mikrobiologik susu segar. Penelitian ini menunjukkan bahwa aplikasi celup puting dapat menurunkan jumlah S. aureus dan jumlah koliform. Celup puting merupakan cara yang praktis dan ekonomis dalam upaya peningkatan kualitas mikrobiologik susu segar.

Saran

Berdasarkan penelitian ini pemerintah daerah Kabupaten Bogor selaku pengelola KUNAK Bogor harus memberikan dorongan pada setiap peternak untuk melakukan aplikasi celup puting setelah pemerahan dengan cara memberikan kemudahan dalam penyediaan bantuan berupa alat celup puting dan larutan antiseptik.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar M, Wibawan IWT, Priosoeryanto BP, Soedarwanto M, Pasaribu FH. 2012. Isolasi dan karakterisasi hemaglutinin Staphylococcus aureus penyebab mastitis subklinis pada sapi perah. J Med Vet Indones. 6(1):16-21.

Agresti A, Finlay B. 2009. Statistical Methods for the Social Sciences. Ed ke-4. New Jersey (US): Pearson Prentice Hall.

Ahmad RZ. 2014. Mastitis mikotik di Indonesia. J Ilmu Teknologi Pertanian. 19(2):403-410.

Andre MCD, Campos MRH, Borges LJ, Kipnis A, Pimenta FC, Serafini AB. 2008. Comparison of Staphylococcus aureus isolates from food handlers, raw bovine milk and Minas Frescal cheese by antibiogram and pulsed-field gel electrophoresis following small digestion. Food Contr. 19(2):200–207.

(28)

12

Anri A. 2008. Manual on Mastitis Control. The Project for Improvement of Countermeasures on the Productive Discase on Dairy Cattle in Indonesia. Jakarta (ID): JICA Indonesia Office.

Astawan M. 2008. Sehat dengan Hidangan Hewani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI 3141.1: 2011 tentang Susu Segar Bagian 1 : Sapi. Jakarta (ID): BSN.

Balia RL, Harlia E, Suryanto D. 2008. Jumlah bakteri total dan koliform pada susu segar peternakan sapi perah rakyat dan susu pasteurisasi tanpa kemasan di pedagang kaki lima. Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan

Bebas 2020; 2008 Apr 21; Jakarta, Indonesia. Bogor (ID): PUSLITBANGNAK. hlm 322-325.

[DITJENAK KESWAN]. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI.

[GKSI]. Gabungan Koperasi Susu Indonesia. 2013. Perkembangan Koperasi

Persusuan KUD Unit Susu per 5 Tahun. Jakarta (ID): BPPU-GKSI.

Gamroth M, Bodyfelt FW. 1993. Good Farm Equipment Sanitation Means Better

Milk Quality Tests. Oregon (US): Oregon State University.

Gennaro RA. 1990. Remington’s Pharmaceutical Sains. Ed ke-8. Pensylvania (US): Mark Printing Co.

Gustiani E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal hewan ternak (daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. JIPI. 28(3):96-100.

Mahardika HA, Trisunawati P, Surjowardojo P. 2016. Pengaruh suhu air pencucian ambing dan teat dipping terhadap jumlah produksi, kualitas dan jumlah sel somatis susu pada sapi peranakan Friesian Holstein. Med Pet. 40(1):11-20.

Mahardhika O, Sudjatmogo, Suprayogi TH. 2012. Tampilan total bakteri dan pH pada susu kambing perah akibat dipping desinfektan yang berbeda. Anim

Agric J. 1(1):819-828.

Nanu E, Latha C, Sunil Prejit B, Thomas M, Vrinda Menon K. 2007. Quality assurance snd public health safety of raw milk at the production point. Am J

of Food Tech. 2(3):145-152.

Nickerson S. 2013. Choosing the Best Teat Dip for Mastitis Control and Milk

Quality. Louisiana (UK): Louisiana State University Agricultural Center.

Rahayu D. 2007. Sensitifitas Staphylococcus aureus sebagai bakteri patogen penyebab mastitis terhadap antiseptik pencelup puting sapi perah. Med Pet. 14 (1):31-36.

Saliasia Siti I, Khusnan, Sugiyono. 2009. Distribusi gen enterotoksin

Staphylococcus aureus dari susu segar dan pangan asal hewan. J Med Vet Indones. 10(3):111-117.

Sirindon M. 2008. Analisis koliform dalam susu segar sebagai parameter sanitasi peternakan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

(29)

13 Surjowardojo P, Suyadi, Hakim L, Aulani’am. 2008. Ekspresi produksi susu pada

sapi perah mastitis. J Ternak Tropis. 9(2):1-11.

Suryani A, Windarwati S, Hambali E. 2007. Pemanfaatan gliserin hasil samping produksi biodiesel dari berbagai bahan baku (sawit, jarak, kelapa) untuk sabun transparan. Pemanfaatan Hasil Samping Industri Biodiesel dan

Industri Etanol serta Peluang Pengembangan Industri Integratednya; 2007

Mar 13; Jakarta, Indonesia. Bogor (ID): Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB. hlm 290-304.

Suwito W. 2010. Bakteri yang sering mencemari susu: deteksi, patogenesis, epidemiologi dan cara pengendaliannya. J Imu Pertanian Indonesia. 29(3):96-100.

Swadayana A, Sambodho P, Budiarti C. 2012. Total bakteri dan pH susu akibat lama waktu dipping puting kambing peranakan etawa laktasi. Med Pet. 1(1):12-21.

Utami KB, Radiati LE, Surjowardojo P. 2014. Kajian kualitas susu sapi perah PFH (studi kasus pada anggota koperasi agro niaga di Kecamatan Jabung Kabupaten Malang). J Ilmu-Ilmu Pertanian. 24(2):58-66.

(30)

14

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 11 Desember 1993 dari ayah Drs Aep Haepurmajat MPd (alm) dan ibu Dra Yeni Rohaeni. Penulis adalah putra pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN Cilangkap I tahun 2006, pendidikan tingkat menengah pertama di SMPN I Conggeang tahun 2009, dan pendidikan tingkat menengah atas di SMAN I Sumedang tahun 2012. Penulis lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur tulis pada tahun 2012 di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan diterima di Fakultas Kedokteran Hewan. Penulis juga mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2014-2015.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif sebagai ketua Organisasi Mahasiswa Daerah WAPEMALA Sumedang pada tahun 2014-2015, ketua Himpunan Profesi Ruminansia FKH IPB pada tahun 2014-2015. Penulis juga aktif sebagai menjadi panitia berbagai acara di Institut Pertanian Bogor dan seluruh kegiatan wajib sebagai mahasiswa FKH IPB.

Penulis aktif mengikuti pengabdian masyarakat yang dilaksanakan oleh Himpunan Profesi, FKH, dan IPB. Beberapa pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh penulis diantaranya Ruminers Goes to Field (RGTF) di lingkungan sekitar kampus IPB Dramaga pada tahun 2014-2016, Mahasiswa Abdi Nusantara IX program Surveilans Brucellosis di Provinsi Banten pada tahun 2015, IPB Goes

to Field (IGTF) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB

program Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) di Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014. Penulis juga mengikuti kegiatan magang profesi di berbagai lembaga pemerintahan maupun swasta diantaranya, Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang, Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan, Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Baturaden, Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, dan Kambing Burja Farm Malang.

(31)
(32)
(33)

Gambar

Tabel 1 Jumlah mikroorganisme, S. aureus,  dan koliform pada sapi perah yang  mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan
Gambar 1  Median jumlah mikroorganisme dalam susu segar dari sapi perah  yang mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan
Gambar 2   Median  jumlah  Staphylococcus  aureus  dalam  susu  segar  dari  sapi  perah yang mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan  Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan S
Gambar 3   Median  jumlah  koliform  dalam  susu  segar  dari  sapi  perah  yang  mendapat perlakuan celup puting setelah pemerahan

Referensi

Dokumen terkait

ali potniki, ki carinski kontroli nekaj prekrivajo, to izdajajo s svojim vedenjem, ali so cariniki dovolj motivirani za odkrivanje carinskih prekrškov, ali se cariniki čutijo

Berdasarkan nilai-nilai yang ada pada Gambar 5 diketahui bahwa besar koefisien Jalur dari kalkulus A terhadap kalkulus lanjutan sebesar 0.38 dengan arah positif, artinya

CaCO3(s) → CaO(s) + CO2(g) …(1) Setelah proses kalsinasi, batu kapur didinginkan dalam furnance sampai suhu menunjukkan suhu ruang karena penurunan panas yang

Fokus penelitian ini pada kegiatan Musrenbang pada tingkat desa dan kelurahan sebagai forum komunikasi stakeholder yang mewakili masyarakat desa/kelurahan untuk mengaspirasikan

(C) Saya tidak yakin kebijakan yang ditempuh selama ini berada pada jalur yang benar.. (D) BMKG meramal bahwa badai aan melanda

memungkinkan pemerintah pemerintah untuk untuk mengarahkan mengarahkan langsung langsung sumber sumber daya daya agar agar dibebaskan dibebaskan dari dari biaya

Perancangan interior andry bakery menjadi hal yang substansional ketika dapat menjadi sebuah bangunan multifungsi yang bergerak pada usaha industry rumahan yang mampu

Sebagai rekam jejak dan acuan pada ruas jalan Manado Tomohon sta 7-250 telah dilakukan riset pada tahun 2014 untuk mencari solusi aplikatif untuk lereng