32
BAB III
Ritual Simbolik Sabung Ayam
3.1 Pengantar
Kehidupan orang Sabu tidak pernah lepas dari ritus/upacara adat, baik yang berkaitan dengan kegiatan musiman maupun siklus hidup manusia dan selalu dilaksanakan setiap tahun. Berbagai ritual tersebut dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda dan waktu yang telah ditentukan oleh pemimpin adat. Salah satu ritual yang sampai saat ini masih terus dilaksanakan ialah ritual sabung ayam. Pada setiap kecamatan atau wilayah adat, ritual ini dilaksanakan dalam waktu yang berbeda. Penulis memilih Sabu Liae sebagai fokus penelitian karena dalam hal ritual sabung ayam, wilayah ini masih menjaga kemurnian dan keasliannya. Untuk itu, sesuai dengan hasil wawancara dan literatur pendukung maka pada bagian ini penulis akan menguraikan tentang Pulau Sabu, asal mula hadirnya ritual sabung ayam, dilanjutkan dengan tahapan dan maknanya bagi orang Sabu Liae.
3.2 Gambaran Tempat Penelitian
3.2.1 Letak Geografis dan Sejarah Kabupaten Sabu Raijua
33 Pulau Sabu dikenal dengan sebutan Savu atau Sawu. Penyebutan ini dipengaruhi oleh para penginjil dari Portugis maupun Belanda yang masuk ke daerah Sabu. Penduduk pulau ini sendiri menyebut pulau mereka dengan sebutan Rai Hawu atau tanah dari Hawu. Mereka menerangkan bahwa nama pulau itu berasal dari nama tokoh
mitos Kika Ga, yakni tokoh yang dianggap mula-mula mendatangi pulau tersebut.1
Pada mulanya, Kika Ga bersama rombongan tiba di Pulau Raijua. Kika Ga menikah dengan Muji Rau dan dari perkawinan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Hu Kika. Sejak saat itu terjadilah kawin mawin dengan rombongan pendatang dari Gujarat (India Selatan) dan Hindia Muka (orang Melayu). Ketika perkembangan keturunan Kika Ga sampai pada generasi ke-7 yaitu Ngara Rai maka seluruh keluarga besar ini berpindah dari Raijua ke Pulau Sabu. Keturunan Kika Ga pun semakin banyak sehingga terbentuklah masyarakat Sabu. Dari Ngara Rai lahirlah Miha Ngara dan dari Miha Ngara lahirlah Hawu Miha. Nama Hawu Miha inilah yang akhirnya dijadikan
nama dari Pulau Sabu atau Rai Hawu.2 Orang Sabu pada umumnya menamakan diri
mereka Do Hawu. Do berasal dari kata dou, artinya orang atau manusia jadi arti kata Do Hawu adalah Orang Hawu. Rai artinya tanah atau negeri; jadi Rai Hawu artinya
tanah atau negeri Hawu. Bahasa orang Sabu disebut Li Hawu.3
Semakin hari keturunan Kika Ga semakin banyak dan pada generasi ke-18 terjadi penyebaran penduduk yang ditopang oleh pembagian wilayah kepulauan Sabu menjadi enam wilayah sesuai dengan jumlah tokoh yang merupakan anak dari Wai Waka. Kole Wai mendapat wilayah Mehara (Mesara), Wara Wai mendapat wilayah Liae, Laki Wai mendapat wilayah Dimu (Timu), Dara Wai mendapat wilayah Habba (Seba), Jaka Wai mendapat wilayah Raijua dan Dida Wai mendapat wilayah Menia. Dalam perkembangan di kemudian hari, wilayah Menia dianeksasi menjadi bagian dari
1 Kana, Dunia Orang...,17. 2
Riwu Kaho, Orang Sabu..., 63.
3
34 wilayah Habba sehingga yang bertahan hanya 5 wilayah yaitu Habba, Dimu, Mehara, Liae dan Raijua. Masyarakat wilayah itu pada hakekatnya merupakan suatu kelompok
yang terbentuk atas dasar kesatuan genealogis-teritorial.4 Meskipun tersebar dalam
masyarakat wilayah namun semuanya memiliki satu pengakuan bahwa mereka berasal dari satu cikal bakal/nenek moyang, satu agama suku, satu falsafah hidup, satu sistem sosial dan satu perangkat adat istiadat sebagai norma dan pedoman hidup
bermasyarakat dalam berelasi dan berinteraksi satu dengan yang lain.5
Saat ini, pulau Sabu telah menjadi Kabupaten Sabu Raijua setelah diresmikan pada 24 November 2008 dengan Kecamatan Sabu Barat sebagai pusat pemerintahan dan Menia sebagai ibukota Kecamatan sekaligus ibukota Kabupaten. Wilayah administrasi Kabupaten Sabu Raijua mencakup empat pulau yakni Sabu dan Raijua yang berpenghuni serta Wadu Mea dan Dana yang tidak berpenghuni. Sejak diresmikan hingga tahun 2017, Kabupaten ini terdiri dari 6 Kecamatan, 58 Desa dan 5 Kelurahan. Kecamatan tersebut ialah kecamatan Sabu Raijua, Sabu Barat, Sabu Mesara/Mehara,
Sabu Timur, Sabu Liae dan Sabu Tengah.6
Selain memiliki enam Kecamatan, Kabupaten ini juga memiliki sistem pemerintahan tradisional atau sistem pemerintahan adat yang dibagi menjadi lima wilayah adat yaitu wilayah adat Habba/Seba yang berada pada kecamatan Sabu Barat, wilayah adat Mehara yang berada pada wilayah Kecamatan Mehara, wilayah adat Liae yang berada pada Kecamatan Sabu Liae, wilayah adat Dimu yang berada pada Kecamatan Sabu Timur dan Kecamatan Sabu Tengah, serta yang terakhir wilayah adat Raijua yang berada pada wilayah Kecamatan Raijua. Sebagaimana dalam sistem pemerintahan pada umumnya yang memiliki dewan pemerintahan maka pada sistem
4 Riwu Kaho, Orang Sabu..., 65,67. 5 Riwu Kaho, Orang Sabu..., 23. 6
Katalog BPS, Kabupaten Sabu Raijua Dalam Angka 2018, (Kupang: BPS Kabupaten Kupang, 2018), 5.
35 pemerintahan adat juga memiliki dewan atau pejabat pemerintah yang disebut dengan Mone Ama. Para Mone Ama memiliki tugas dan fungsi masing-masing sesuai jabatan yang dipegang sekaligus menjadi pimpinan tertinggi dalam sistem pemerintahan adat
maupun agama suku Sabu seperti Deo Rai, Pulodo, Dohe dan Maukia. 7
3.2.2 Tentang Sabu Liae
Penelitian ini akan berfokus di Kecamatan Sabu Liae yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sabu Raijua. Sebelah utara dari Sabu Liae berbatasan dengan Sabu Barat, sebelah selatan dengan samudera Indonesia, sebelah Timur dengan Sabu
Tengah, sebelah Barat dengan Hawu Mehara.8 Wilayah kecamatan Sabu Liae dapat
ditempuh dalam waktu ± 30-45 menit dari wilayah Sabu Barat dengan kendaraan dan kondisi jalan yang sedikit rusak karena terkikis air hujan. Daerah ini sudah cukup ramai karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari pusat Kabupaten.
Gambar 2. Peta Kecamatan Sabu Liae
7
Wawancara dengan JH pada tanggal 21 Juni 2018.
8
36 Di Sabu Liae terdapat 12 Desa dengan jumlah penduduk 11.466 jiwa tahun 2018. Dari jumlah ini, presentasi jumlah penduduk beragama Kristen Protestan sebanyak 94,8%, agama Katolik 3,7%, agama Islam sebanyak 0,1% dan lainnya sebanyak 1,5%. Kemudian, jumlah rumah ibadah peduduk yang beragama Kristen Protestan sebanyak
14 rumah ibadah dan yang beragama Katolik sebanyak 1 rumah ibadah.9 Penulis
memilih Sabu Liae sebagai tempat penelitian karena dalam hal ritual sabung ayam, di wilayah ini masih sangat murni menjalankan ritualnya dan belum terkontaminasi dengan modernisasi. Dalam hal ini, meskipun mayoritas penduduk Sabu Liae telah memeluk agama Kristen Protestan namun ritual dan nilai-nilainya masih tetap hidup dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat Sabu Liae. Hal ini juga nampak dalam ritual sabung ayam, karena dalam ritual ini tahapan yang dilakukan masih sesuai dengan aturan adat yang berlaku dan nilai-nilai dari ritual ini pun tidak bertentangan dengan kepercayaan yang ada sehingga walaupun masyarakat telah memeluk kepercayaan Kristen namun ritual ini tetap dijalankan. Berbeda dengan wilayah-wilayah lain yang sudah melebur dengan perkembangan dan ditambah dengan perjudian yang semakin marak. Sistem kepercayaan dan adat istiadat di setiap wilayah tetap sama dan yang berbeda hanya pada waktu pelaksanaannya karena setiap wilayah
memiliki kalender adatnya masing-masing.10
Sebagian besar flora di Kabupaten Sabu Raijua termasuk wilayah Kecamatan Sabu Liae terdiri dari padang yang luas, pohon lontar, pohon pinus, gewang dan hutan mangrove. Sementara faunanya terdiri atas hewan-hewan menyusui besar seperti kerbau, sapi, kuda; hewan menyusui kecil seperti kambing, babi dan domba, dan
9
Katalog BPS, Kecamatan Sabu Liae Dalam Angka 2019, (Kupang: BPS Kabupaten Kupang, 2018), 2.
10
37 unggas yang terdiri atas ayam dan bebek. Diantara hewan-hewan ini, ada yang
memiliki arti khusus bagi orang Sabu seperti ayam.11
Berdasarkan filosofinya, ayam bagi orang Sabu merupakan hewan yang sangat penting. Dasar atau pokok kehidupan orang Sabu bukan untuk kesenangan bersama atau berkembang biak seperti babi, kerbau, kuda melainkan seperti ayam. Mereka menjuluki diri seperti ayam jantan yang memiliki jambul berwarna merah yang melambangkan pemberani, pekerja keras dan dapat bertahan hidup dimana saja. Ada juga julukan sebagai ayam jantan yang tangguh dan siap lepas di arena. Ungkapan ini biasanya ada dalam suatu tradisi yang dilakukan oleh orang Sabu saat keluarga atau kerabat meninggal. Tradisi ini dilakukan dengan cara melantunkan kisah hidup atau perjuangan dari orang yang meninggal tersebut tepat di samping jenazahnya sambil menangis. Jika yang meninggal adalah laki-laki maka dalam lantunan tertuang kata-kata “saya mengharapkan engkau seperti ayam jantan tangguh yang siap lepas di arena luas dan ketika engkau menang saya bersenang gembira namun ketika engkau meninggal saya bersedih hati”. Selain itu, ayam merupakan hewan yang yang memiliki banyak kegunaan seperti untuk mengetahui penyakit atau masalah yang terjadi pada seseorang dengan menggunakan hati ayam. Tanda-tanda yang tidak lazim pada hati ayam dapat menjadi informasi atau petunjuk. Di satu sisi, ayam bisa juga dipakai sebagai media untuk memanggil kembali jiwa orang yang sakit untuk kembali ke dalam rumah. Ayam juga dipakai untuk menyambut tamu yang berkunjung. Bagi orang Sabu, tidak memiliki kuda, kerbau atau babi, tidaklah menjadi suatu persoalan karena yang
berbahaya ialah ketika mereka tidak memiliki ayam.12
11 Wawancara dengan BM pada tanggal 7 Juni 2018 dan wawancara dengan Deo Rai Sabu Seba juga
MN pada tanggal 22 Juni 2018.
12
Wawancara dengan BM pada tanggal 7 Juni 2018 dan wawancara dengan Deo Rai Sabu Seba juga MN pada tanggal 22 Juni 2018.
38 Secara umum, daerah ini mengalami musim kemarau panjang yang berlangsung dari bulan Maret hingga November dan musim hujan mulai bulan Desember hingga
Februari.13 Keadaan alam di pulau Sabu juga relatif sama. Ada sedikit perbedaan yaitu
pada wilayah bagian utara lebih hijau karena mempunyai sejumlah mata air dengan beberapa sungai yang berair sepanjang tahun, sedangkan pada wilayah bagian selatan kering dan tandus serta tidak mempunyai mata air seperti di bagian utara. Hampir seluruh daerah ini terdiri dari tanah putih/kapur yang berbukit-bukit dan tanah merah yang kurang subur kecuali sedikit tanah datar di bagian utara. Di Sabu tidak ada gunung, yang ada hanyalah beberapa puncak bukit yang kira-kira tingginya 250
meter.14
Mata pencaharian utama orang Sabu adalah petani. Pada umumnya mereka bekerja sebagai peladang dan penyadap lontar. Pola kegiatan para petani masih terikat pada siklus kegiatan menurut kalender yang sangat erat kaitannya dengan adat-istiadat yang bersumber pada konsep agama suku orang Sabu. Seiring perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, sudah banyak yang bekerja sebagai tukang, nelayan, pegawai dan wiraswasta. Perkembangan juga dapat dilihat melalui pembangunan embung-embung atau cekdam, usaha konservasi tanah dan air, penggiatan usaha tenun ikat sekaligus peningkatan kualitas produksinya, memperbaiki usaha pertanian, budi daya
rumput laut dan tambak garam.15 Di Sabu juga terjadi mobilitas penduduk ke Kupang,
Ende, Sumba, bahkan ke luar NTT. Tindakan ini didorong oleh keinginan untuk melanjutkan pendidikan atau untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang lebih sesuai. Ada yang bersifat tetap dalam jangka waktu yang lama dan ada yang musiman seperti
13
Katalog BPS, Kabupaten Sabu Raijua Dalam Angka 2018, 4.
14
Riwu Kaho, Orang Sabu..., 4-5.
15
39
pergi pada masa sesudah panen, yaitu setelah ritual adat hole16 dan kembali pada masa
persiapan ladang.17
3.3 Kosmologi Orang Sabu
Kosmologi orang Sabu menceritakan bahwa terjadinya sesuatu digambarkan sebagai proses pertumbuhan tanaman. Bagian bawah yaitu tanaman yang terdapat dalam tanah disebut sebagai pa da’i (di bawah) dan bagian atas permukaan tanah yang bertumbuh juga kelihatan disebut pa dida (di atas). Kisah ini mau mengatakan bahwa segala sesuatu itu ada dan timbul karena dilahirkan atau dihidupkan, kemudian tumbuh, berkembang dan membesar (pemure). Jika dilahirkan, maka sudah tentu ada asal mula atau sumber yang melahirkan dan menumbuhkannya. Sumber yang melahirkan itu disebut dengan Deo Ama (Dewa Bapa/Allah Bapa) yang merupakan pangkal atau asal dari segala sesuatu. Hubungan antara bawah/pangkal dan bagian atas/pucuk dipandang sebagai hubungan genealogis. Dari sinilah orang Sabu memelihara pengetahuan tentang
urutan dan proses terjadinya apa saja dalam kehidupan mereka.18
Alam semesta dijadikan oleh Deo Ama dengan dibagi atas tiga unsur yaitu langit luas (riru bala), tanah/bumi (rai bala) dan laut (dahi bala). Kecuali bumi, langit dan laut tidak memiliki rekaman genealogi secara terperinci. Genealogi bumi terbagi ke dalam dua jenis yaitu nata da’i (pusat terdalam bumi) yang dipandang sebagai pangkal yang menurunkan genealogi manusia, binatang serta tumbuh-tumbuhan; juga genealogi yang berpangkal pada dara dai (yang terdalam) yang dipandang sebagai pangkal yang
16
Hole merupakan puncak dari seluruh ritual adat di Sabu yang ditandai dengan berakhirnya musim hujan dan musim panen. Ritual ini menjadi sarana untuk mengucap syukur atas hasil panen, kemakmuran baik manusia maupun hewan sekaligus memohon berkat untuk musim tanam berikutnya.Ritual ini dilakukan dengan memberikan persembahan dari hasil panen dan ternak kepada leluhur.
17
Kana, Dunia Orang Sawu..., 19.
18
40 menurunkan benda-benda angkasa. Demikianlah proses terjadinya alam semesta bagi
orang Sabu.19
Selanjutnya, kisah tentang pembentukan tanah, terjadinya manusia dan kedatangan leluhur orang Sabu diungkapkan dalam sebuah genealogi. Berdasarkan informasi dalam buku Dunia Orang Sabu, tanah Sabu mulanya merupakan satu buah pulau dan akhirnya terpisah menjadi dua oleh kerasnya air laut. Mitos pembentukan kembali Pulau Sabu menceritakan bagaimana pulau itu kemudian dibentuk lagi dari tanah yang diambil dari Raijua oleh Hawu Ga (Kika Ga) yaitu manusia pertama yang mendiami Pulau Sabu. Sebagaimana terjadinya alam semesta, manusia pun ikut pada prinsip yang sama. Berasal dari pangkalnya yaitu Deo Ama melalui bumi (rai bala) yang terbagi atas dua pangkal yaitu nata da’i yang menurunkan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta dara da’i yang menurunkan benda-benda angkasa dan gejala-gejala alam. Dari genealogi nata da’i terjadi pencabangan permulaan kepada genealogi binatang-binatang tertentu dan sesudah kedatangan leluhur orang Sabu ke pulau ini terjadi lagi pencabangan ke dalam sejumlah pohon dan tanaman; sesudah itu diikuti dengan proses penyebaran penduduk yang diawali oleh lahirnya leluhur asal dari kelompok-kelompok penduduk, baik di Sabu sendiri maupun di pulau-pulau sekitarnya
dan orang-orang asing lainnya.20
Dunia orang Sabu melingkupi pandangan dan konsep-konsep mereka mengenai kepelbagaian dan kebanyaksegian dunia fisik, hidupnya, (termasuk aktivitas dan hasil aktivitas itu), lingkungan sosial serta dunia gaib sebagai suatu keteraturan yang lengkap. Seperti, bagaimana konsep tentang asal mula terjadinya alam semesta, pandangan tentang terjadinya manusia dan makhluk-makhluk lain, tentang pembentukan kembali Pulau Sabu, lalu tentang kedatangan manusia ke Sabu dan
19
Kana, Dunia Orang Sawu...,108.
20
41 penyebarannya ke wilayah-wilayah di Pulau itu. Begitupun orientasi tentang tempat dan kelompok, cara bagaimana kelanjutan hidup kelompok dijamin, upacara-upacara lingkaran hidup sejak lahir sampai mati dan hidup sesudah mati, serta upacara yang
diselenggarakan sepanjang takwim.21 Semua hal ini memiliki alasan yang tepat untuk
dilakukan serta dianggap sah karena berdasarkan sejumlah mitos yang menggambarkan asal mula timbulnya. Maka upacara-upacara yang merupakan penerapan dari keyakinan itu pun dilakukan agar segala sesuatu berjalan sesuai dengan ketentuan. Jika ada penyimpangan maka harus dibawa kembali ke dalam aturan, agar akibat-akibat negatif
tidak timbul atau dapat dicegah kelanjutannya.22
Agama Kristen tiba di Sabu pada awal abad ke 17 dan agama Islam pada pertengahan abad ke 19. Ternyata agama Kristen berkembang relatif pesat, sedangkan agama asli orang Sabu semakin hari makin berkurang baik jumlah penganut maupun dalam pengaruhnya terhadap masyarakat Sabu. Saat ini, meskipun sebagian besar penduduk Sabu adalah penganut agama Kristen, akan tetapi pengaruh adat istiadat masih ada dalam kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dalam hubungan kekerabatan, kegiatan pertanian, penyadapan lontar, memasak gula, perkawinan, kematian dan
hal-hal yang berkaitan dengan warisan.23
Agama suku Sabu pada umumnya dikenal dengan nama jingitiu, yang dibangun atas konsep dasar kepercayaan sebagai berikut: Pertama, percaya akan adanya satu Zat Ilahi yang disapa sebagai Deo Ama (Allah Bapa asal dari segala sesuatu), atau Deo Woro Deo Pennji (Tuhan pencipta alam semesta) atau Deo Mone Ae (Allah Maha Agung). Kedua, kepercayaan bahwa alam semesta yang diciptakan Deo Ama tidak sekali jadi, melainkan melalui satu proses yang berlangsung dalam waktu yang sangat panjang. Ketiga, Deo Ama menghendaki agar manusia senantiasa memelihara harmoni
21
Kana, Dunia Orang Sawu..., 11.
22
Kana, Dunia Orang Sawu..., 12.
23
42 relasi dengan Deo Ama dan alam semesta. Hukum harmoni yang berlaku bagi manusia terdiri atas peraturan, perintah dan larangan-larangan. Ketiga hal ini bila tidak dilakukan dengan baik maka akan mendatangkan malapetaka atau mengganggu kehidupan orang Sabu, begitupun sebaliknya. Keempat, harmoni relasi antara manusia dengan alam harus tetap dipelihara dengan baik. Bila terjadi pelanggaran maka harus diadakan upacara keagamaan oleh Mone Ama untuk memohon pemulihan kembali kepada Deo Ama. Kelima, manusia mempunyai tempatnya sendiri. Artinya, setiap orang memiliki hidup, nilai, martabat serta peranan dan hak-kewajiban sebagai makhluk ciptaan Deo Ama yang berbudaya. Keenam, anak-anak wajib menghormati ayah-ibunya. Kewajiban ini dilatarbelakangi pada pandangan bahwa anak dihadirkan oleh Deo Ama ke dunia melalui Ayah dan Ibu. Ketujuh, menghormati arwah leluhur dan anggota keluarga yang sudah meninggal merupakan kewajiban anak cucunya atau keluarga yang masih hidup. Mereka percaya bahwa arwah para leluhur maupun keluarga yang sudah meninggal masih ada dan tetap berhubungan dengan anak cucu yang masih hidup. Sewaktu-waktu arwah mereka akan datang mengunjungi keluarganya yang masih hidup. Kedelapan, persekutuan keluarga dan persaudaraan sangat dijunjung tinggi. Kesembilan, Kemanusiaan sangat dijunjung tinggi. Kesepuluh, Deo Ama adalah sumber dari kekuatan supra-natural yang baik. Kesebelas, sumber dari segala kejahatan di dunia adalah iblis atau roh jahat yang bisa mempengaruhi manusia. Keduabelas, dalam kehidupan sosial-ekonomi dan keagamaan orang Sabu, mereka harus melaksanakan sembilan amanat dari Deo Ama yaitu:
1. Puru Hogo 5. Dabba 9. Made
2. Baga Rae 6. Bangaliwu
3. Jelli Ma 7. Hole
43 Sembilan amanat ini adalah ketentuan agama sekaligus adat istiadat bagi orang Sabu dan komunitasnya yang dilaksanakan sepanjang siklus kehidupan mereka. Sembilan amanat tersebut kemudian dituangkan dalam kalender kegiatan tahunan masyarakat Sabu. Kalender kegiatan tahunan itu pada hakekatnya mengandung pedoman/norma-norma untuk menata diri dan komunitas orang Sabu agar dalam
perjalanannya terwujud kedamaian, kerukunan dan kehidupan yang layak.24 Kedua
belas poin di atas lah yang masih terus dijaga oleh orang Sabu sampai dengan saat ini.
3.4 Ritual Sabung Ayam di Sabu Liae 3.4.1 Asal Mula Sabung Ayam di Sabu Liae
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang, pada mulanya sabung ayam di Liae dibuat dengan tujuan untuk mencari anak yang hilang. Konon, Dida Miha yang diyakini sebagai nenek moyang orang Sabu Liae menikah dengan seorang perempuan yang berasal dari laut. Dari namanya, kemungkinan Dida Miha adalah keturunan dari generasi ke-9. Ketika istrinya sedang hamil, Dida Miha merantau ke Raijua dan meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil. Sebelum pergi ia berjanji kepada istrinya bahwa, jika anaknya laki-laki maka harus memukul gong sebagai tanda dan jika anak
perempuan maka harus dibunuh atau dibuang.25
Setelah beberapa bulan, sang istri melahirkan seorang anak laki-laki, namun karena kecewa dengan sang suami yang pergi dan tidak mendampinginya sehingga ia tidak membunyikan gong. Akibatnya Dida Miha berpikir bahwa anaknya yang lahir adalah perempuan dan sudah mati. Padahal tanpa sepengetahuan Dida Miha, sang istri mengantar anak laki-lakinya ke laut untuk dipelihara oleh saudara-saudaranya. Suatu saat ketika Dida Miha pulang, ia menanyakan anaknya namun sang istri menipu bahwa
24
Riwu Kaho, Orang Sabu..., 76-87.
44 anak yang lahir ialah perempuan sehingga sudah mati sebagaimana pesannya sebelum pergi. Akan tetapi sebagai seorang ayah, Dida Miha yakin bahwa anaknya laki-laki dan masih hidup sehingga dibuatlah permainan sabung ayam untuk mencari anaknya tersebut. Tak disangka, dari sekian banyak orang yang datang, di dalamnya ada juga anak dari Dida Miha dan secara kebetulan dalam pertandingan itu sang anak berlawanan langsung dengan sang ayah. Selama pertandingan berlangsung, sang ayah terus mengalami kekalahan dan pada akhirnya diketahuilah bahwa anak yang menjadi
lawan mainnya merupakan anak laki-laki yang selama ini dicarinya.26
Seiring berjalannya waktu, ketika manusia semakin banyak di Sabu dan belum ada pembagian wilayah adat yang tetap, muncul ego wilayah yang berwujud konflik dimana-mana memperebutkan wilayah-wilayah adat. Di Liae, pada masa itu terdapat dua tokoh yang sangat terkenal pada generasi mereka yaitu Mangngi Lay dan Hari Juda. Jadi dua tokoh ini berinisiatif untuk membuat tali manu dabba (ritual sabung ayam) untuk mengakhiri konflik-konflik yang sering terjadi. Untuk melaksanakan ritual ini, dibentuk dua kelompok yang mewakili masing-masing pihak yaitu kelompok dari pihak Mangngi Lay dan satunya dari pihak Hari Judda. Kelompok-kelompok ini disebut“ada manu” yang dari Mangngi Lay disebut “eiko” (kelompok perempuan/betina) dan dari Hari Judda disebut “dabba”(kelompok laki-laki/jantan). Pada akhirnya,tercapailah kesepakatan untuk berdamai karena perang antar manusia telah dialihkan dalam ritual tali manu dabba sehingga tidak ada lagi peperangan antar suku maupun antar wilayah adat. Jadi ritual tali manu dabba dibuat untuk mengakhiri perang manusia dengan manusia dan dari sini wilayah-wilayah yang lain juga
mengikuti.27
26
Wawancara dengan Deo Rai Liae pada tanggal 30 Mei 2018.
27
45 Kehidupan orang Sabu beredar dari upacara yang satu ke upacara yang lain, baik yang berkaitan dengan kegiatan musiman maupun yang berkaitan dengan tahap-tahap hidup manusia. Semua upacara atau ritual adat di Pulau Sabu diatur dan dilaksanakan
dalam kalender adat.28 Dalam satu tahun berdasarkan perhitungan dalam kalender adat,
ritual sabung ayam dilaksanakan sebanyak tiga kali. Pertama, ritual sabung ayam disebut tali manu dabba karena dilaksanakan pada bulan dabba yaitu sekitar bulan Maret atau April. Kedua, ritual sabung ayam dilaksanakan pada bulan bangaliwu yaitu pada awal bulan Juni. Ketiga, ritual sabung ayam dilaksanakan dalam ritual hole pada
hari ketujuh setelah bangaliwu yaitu pada pertengahan bulan Juni.29
3.4.2 Tahapan Ritual Sabung Ayam di Sabu Liae
Sabung ayam dalam ritual tali manu dabba merupakan titik awal adanya kesepakatan perdamaian antar manusia. Ritual ini dilaksanakan dalam bulan dabba yang jatuh pada bulan Maret atau April dan dilaksanakan selama dua hari di dua tempat
yang berbeda. Hari pertama berlangsung di Kolo Gopo30 dan hari kedua di Kolo Rame.
Pada bulan ini dilaksanakan dua ritual secara berurutan dimulai dari ritual warru dabba yang dilaksanakan tepat pada hari purnama dan ritual tali manu dabba. Warru dabba merupakan ritual baptis anak-anak jingitiu atau dengan kata lain men-sahkan anak-anak jingitiu sebagai bagian atau anggota dari jingitiu. Ritual ini dilakukan tepat pada bulan
purnama, mulai dari pagi hingga sore hari.31
Pada malam harinya sudah masuk dalam ritual kedua yaitu prosesi ritual tali manu dabba yang ditandai dengan mulainya Laba Ada. Laba ada merupakan tahapan pertama dalam ritual tali manu dabba artinya semua anggota ritual adat berkumpul
28
Kana, Dunia orang Sawu..., 37.
29
Wawancara dengan Deo Rai Liae, BM dan JH pada tanggal 30 Mei, 7 dan 21 Juni 2018.
30
Kolo Gopo/Kolo Rame merupakan nama tempat atau daerah tempat dara nada berada.
46 mempersiapkan diri di rumah adat masing-masing. Rumah adat itu akan dipagari dengan duri sehingga tidak ada manusia maupun hewan yang boleh masuk ke rumah maupun pekarangan sekitarnya. Setelah itu, sekitar jam 11 malam tepat bulan purnama, dilanjutkan dengan prosesi pureka yaitu tahap persiapan semua senjata yang akan digunakan dalam ritual mulai dari pisau ayam (dara manu), tombak dan parang. Setelah tahap ini selesai dilanjutkan dengan persiapan diri yaitu mandi dan mengenakan pakaian adat kemudian memberikan persembahan sesajian yang diletakkan di tiang induk dalam rumah adat “tarru duru” dan mulai berdoa yang dipimpin oleh Maukia. Rangkaian doa ini disampaikan berdasarkan kepercayaan Kristen Protestan. Setelah prosesi dalam rumah adat yang pertama selesai, seluruh peserta ritual akan keluar
menuju rumah adat yang besar.32
Tahapan selanjutnya ialah uri puloko dengan tujuan supaya pihak lawan dalam ritual keesokan harinya mengalami kekalahan (melemahkan mereka). Sekitar jam 12 malam, semua peserta duduk di halaman rumah adat dan mulai melakukan hoda. Hoda adalah nyanyian atau syair-syair yang dilantunkan untuk memohon keberuntungan atau berkat dari para leluhur termasuk dari Hari Judda yang sangat berperan penting bagi mereka dalam sabung ayam nanti. Di sisi lain, nyanyian itu juga berisi sumpah serapah bagi kelompok lawan supaya kalah dan tidak berdaya melawan mereka. Setelah
tahapan hoda selesai, semua peserta ritual akan beristirahat (tidur).33
Keesokan harinya mulai dengan persiapan menuju “dara nada”34. Waktu yang
telah disepakati untuk berangkat menuju dara nada yaitu jam 12 siang berdasarkan cara memperkirakan jam orang tempo dulu sewaktu belum ada jam. Mereka berpatokan pada matahari dengan ditandai bayangan diri yang tegak lurus, itulah jam 12 siang menurut mereka. Persiapan dimulai dengan memasuki rumah adat, makan sirih pinang
32 Wawancara dengan JH pada tanggal 21 Juni 2018. 33
Wawancara dengan JH pada tanggal 21 Juni 2018.
34
47 bersama-sama, mandi tanpa menggunakan sabun dan tanpa membasahi kepala di tambah dengan harus mandi telanjang seluruh badan di kali atau sungai. Setelah mandi, kembali ke rumah adat untuk mengenakan pakaian adat kemudian dilanjutkan dengan makan minum bersama di dalam rumah. Selesai makan, seluruh peserta ritual akan menuju keluar rumah adat untuk buang air. Hal ini perlu dilakukan karena ketika dalam perjalanan menuju dara nada, para peserta dilarang untuk makan, minum maupun buang air. Setelah itu peserta akan masuk kembali ke rumah adat untuk berdoa memohon keselamatan dan kemenangan, makan sirih pinang bersama lalu keluar
menuju rumah adat yang besar.35
Tahap berikut ialah kerei yaitu ritual untuk bertanya atau meminta petunjuk kepada leluhur apakah mereka akan mengalami kekalahan atau kemenangan dari sabung ayam yang akan dilangsungkan. Proses ini dilakukan di tiang induk dalam rumah adat besar dengan menggunakan tombak dan kelapa kering. Kelapa kering akan dipotong kecil sebanyak satu genggaman tangan dan sebanyak tiga bagian akan dipotong berbentuk kotak. Proses ini akan dimulai dengan melemparkan kelapa yang dipotong kecil pada empat arah yaitu depan, samping kiri, samping kanan dan belakang. Setelah itu, Rohi Lodo akan menancapkan tombak pada tiang induk kemudian diukur sampai ujung jari tangan Rohi Lodo menyentuh tiang induk. Sesudahnya, Rohi Lodo akan mulai bertanya kepada leluhur apakah mereka akan menang atau kalah dalam pertandingan nanti. Jika ujung jari tangan Rohi Lodo berhasil menyentuh tiang induk maka kemungkinan besar mereka akan menang. Selanjutnya, tiga bagian kelapa yang telah dibentuk kotak akan dilempar ke atas, apabila yang jatuh lebih banyak dalam posisi terbuka maka mereka akan menang tapi jika yang jatuh
35
48 lebih banyak dalam posisi tertutup artinya dalam pertandingan nanti mereka akan
mengalami kekalahan.36
Rohi Lodo yang disebut juga kepala pasukan yaitu orang yang berdiri paling depan dalam barisan peserta ritual sabung ayam dan bertugas memegang tombak, dialah yang bertugas melakukan kerei. Posisi kedua dari depan diisi oleh maukia yang disebut juga pengawal. Maukia bertugas untuk berdoa dan memegang ayam kecil beserta senjata kelengkapan sabung ayam. Posisi ketiga dan seterusnya adalah peserta biasa. Setelah ritual memohon petunjuk selesai, Rohi Lodo keluar dan bergabung dalam barisan peserta ritual untuk berangkat menuju dara nada. Saat hendak berangkat menuju dara nada, seorang wanita paruh baya yang disebut Piga Rai akan membakar kemenyan seperti cabai, kelapa dan tali putri di samping rumah adat. Semua anggota kelompok secara bergantian akan memanaskan kaki mereka pada kemenyan yang dibakar untuk memberi efek panas dan sebagai lambang arwah leluhur yang akan mengikuti perjalanan mereka dan ketika kembali ke rumah adat ia akan menyambut dan menyiram dengan air dan kapas untuk mendinginkan suasana yang panas waktu para petarung hendak berangkat. Sepanjang perjalanan ada nyanyian kata-kata penyemangat yang ducapkan oleh para peserta ritual. Pada masing-masing kelompok terdapat tiga pemeran utama yaitu Rohi Lodo, Maukia dan Piga Rai seperti yang telah dijelaskan di atas.37
36
Wawancara dengan Deo Rai Liae, BM dan JH pada tanggal 30 Mei, 7 dan 21 Juni 2018.
37
49
Gambar 3. Rumah adat kelompok Dabba (laki-laki) Gambar 4. Piga Rai dengan memegang kemenyan yang akan dibakar
Gambar 5. Perjalanan kelompok Dabba menuju Dara Nada
Ketika tiba di dara nada, setiap kelompok harus menunggu sampai seluruh
kelompok peserta ritual lengkap dan Deo Rai38 beserta Dohe39 sudah tiba barulah para
peserta diperbolehkan untuk duduk. Kelompok-kelompok peserta ritual didasarkan pada Udu atau garis keturunan berdasarkan suku yang ada di Sabu Liae. Umumnya, ada empat bahkan lebih kelompok yang mengikuti ritual tersebut yang mewakili pihak ayah atau laki-laki, pihak perempuan atau ibu, pihak anak laki-laki dan pihak anak perempuan. Oleh karena berbagai alasan, tidak setiap tahun seluruh kelompok ini bersedia untuk ikut. Namun yang paling inti dan sifatnya wajib hanyalah dua kelompok yaitu “eiko” dari pihak perempuan atau ibu dan “dabba” dari pihak laki-laki atau ayah. Meskipun mewakili pihak laki-laki atau perempuan, namun anggota kelompoknya bukanlah perempuan. Pesertanya harus laki-laki baik anak kecil maupun orang dewasa yang bersedia mengikuti ritual dengan ketentuan siap mengikuti seluruh tahapan dan aturan dalam ritual tersebut. Alasan kuat mengapa laki-laki yang diperbolehkan mengikuti ritual ini karena perang adalah bagiannya kaum pria sedangkan kaum wanita
38
Deo Rai (dewa tanah) adalah kepala pemerintah urusan adat, pimpinan upacara tertinggi yang bertanggung jawab atas penyelenggaran upacara di musim hujan. Sabu Liae memiliki dua Deo yaitu yang bertanggungjawab atas tanaman yang disebut Deo Rai dan Deo Mangarru yang bertanggungjawab atas hewan/ternak.
39
Dohe/Do Heleo (yang melihat atau yang mengawasi) adalah wakil dari Deo Rai yang bertugas untuk menentukan waktu pelaksanaan ritual adat dan saat terjadi pelanggaran adat, maka yang memutuskan adalah Dohe. Dalam ritual sabung ayam, Dohe bertugas sebagai pengintai dan yang membersihkan jalan yang hendak dilewati oleh kelompok-kelompok peserta ritual adat.
50 biasa mendukung dengan membantu memberi semangat juga menyiapkan semua
kebutuhan kaum laki-laki untuk berperang seperti makan dan minum.40
Dalam ritual ini, ada dua orang wanita yang diikutsertakan yaitu Banni Pana dan Piga Rai. Banni Pana bertugas untuk memberi semangat dan mendampingi mereka dalam perjalanan menuju dara nada sampai kembali ke rumah adat layaknya seorang istri yang mendampingi suami ke medan perang, kemudian Piga Rai dengan tugas yang telah dijabarkan di atas dan tugas lain yaitu untuk menyiapkan makanan bagi para peserta ritual.41
Gambar 6. Deo Rai Liae bersama istrinya yang hadir dalam ritual tali manu dabba di Kolo Gopo
Sebelum pertandingan dimulai, dilakukan pekaka manu oleh mone pekaka dari masing-masing kelompok yang berlari maju sambil bernyanyi dengan memegang ayam kecil menuju kelompok lawan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengintai atau mencari tahu jumlah ayam dan bagaimana ayam-ayam tersebut dipersiapkan oleh kelompok lawan. Pertandingan pun dimulai dengan melepas ayam yang sudah diikatkan pisau pada masing-masing kakinya. Ayam yang dilepas pertama adalah ayam yang benar-benar sudah dipersiapkan dan kualitasnya paling baik. Ayam ini tidak boleh dipakai untuk perjudian dan harus berwarna hitam atau merah. Pertandingan
40
Wawancara dengan OM, DNH, BM dan JH pada tangal 1, 7 dan 21 Juni 2018.
41
51 dilanjutkan sampai ada kelompok pihak lawan menyerah dengan kekalahan yang
ditandai dengan banyak ayam yang sudah mati.42
Masyarakat Sabu Liae percaya bahwa ayam pertama yang disabung pada ritual talli manu dabba sebagai penentu keberhasilan dalam kegiatan tanam-menanam di tahun yang akan datang. Jika yang menang adalah dari pihak “eiko” (perempuan) maka akan terjadi malapetaka di tahun berikutnya seperti gagal panen dan sakit penyakit. Oleh sebab itu yang menang harus dari pihak “dabba” (laki-laki). Kalau yang menang dari pihak “dabba” maka harus melakukan hoda atau bernyanyi sedangkan kalau yang menang dari pihak “eiko” maka tidak boleh ada nyanyian karena kelompok “dabba” merupakan kelompok garis keturunan raja dan “eiko” kelompok dari garis keturunan bawahan raja. Jika kelompok “eiko” menang, tidak diperbolehkan untuk hoda karena akan dianggap memalukan raja. Hal ini hanya ada pada ritual tali manu dabba karena bangaliwu dianggap sebagai pelengkap ritual tali manu dabba.43
Pertandingan selesai untuk hari pertama dan masing-masing kelompok pulang ke rumah adat dengan membawa ayam-ayam yang kalah. Ayam yang kalah atau sudah mati digantung pada bagian luar umah adat tanpa dibakar atau dibersihkan. Kemudian dilanjutkan dengan pemotongan babi atau kerbau yang sudah dipersiapkan untuk makan bersama. Malam harinya dilanjutkan dengan hoda, kerei dan tahapan
selanjutnya sama seperti malam pertama hingga pagi hari.44
Pada hari kedua ritual dilakukan sama dengan hari pertama dan ketika kembali ke rumah adat, ayam yang kalah akan disajikan untuk sesajian kepada Deo Ama (Tuhan) dan makan bersama seluruh peserta ritual. Sepanjang berlangsungnya ritual tali manu dabba baik di Kolo Gopo maupun Kolo Rame, orang-orang diperbolehkan untuk melihat dengan aturan-aturan seperti dilarang mengeluarkan kata-kata yang tidak
42 Wawancara dengan Deo Rai Liae pada tanggal 30 Mei 2018. 43
Wawancara dengan Deo Rai Liae pada tanggal 30 Mei 2018.
44
52 sopan, berjualan atau berdagang dalam bentuk apapun. Hari kedua usai, para peserta ritual adat pun kembali ke rumah mereka masing-masing selain Rohi Lodo, Maukia dan Piga Rai.45
Hari berikutnya yaitu hari ketiga dilaksanakan kegiatan pehelila lari manu yaitu kegiatan pelepasan semua kesialan atau hubungan dengan nenek moyang yang sebelum ritual adat tali manu dabba dipanggil untuk memenangkan kelompok mereka. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengambil satu helai bulu ayam yang merupakan ayam pertama yang menang saat tali manu dabba di hari pertama. Bulu ayam ini disimpan sampai hari ketiga saat pehelila lari manu kemudian dilempar ke arah atas dan bawah dengan tujuan agar semua kutukan yang mereka ucapkan selama berlangsungnya ritual adat dan arwah nenek moyang yang dipanggil untuk mencelakakan pihak lawan tidak terjadi pada mereka maupun pihak lawan. Kegiatan ini dilakukan oleh tiga pemeran
penting dalam kelompok yaitu Rohi Lodo, Maukia dan Piga Rai di rumah adat besar.46
Deo Rai dan Dohe yang hadir pada saat ritual tali manu dabba dan bangaliwu berlangsung hanya sebatas menyaksikan dan tidak ikut dalam permainan. Jika mereka belum hadir maka ritual belum bisa dimulai. Dohe yang mendampingi Deo Rai bertugas sebagai pengintai dan bisa meramalkan apa yang akan terjadi di tahun yang akan datang berdasarkan kemenangan atau kekalahan dari ayam-ayam yang disabung. Semua tahapan di atas berlaku pada setiap kelompok yang hendak mengikuti ritual tali manu dabba.47
Tiga puluh hari atau satu bulan setelah dilaksanakan ritual tali manu dabba
dilanjutkan dengan ritual sabung ayam (pe’iu manu) di bulan bangaliwu (april-mei).48
Pada bulan ini, dimulai dengan kegiatan adat mendinginkan hasil kebun kapas, kebun
45 Wawancara dengan OM, DNH, RK, NK dan BM pada tanggal 1 dan 7 Juni 2018. 46 Wawancara dengan OM, DNH, RK, NK dan BM pada tanggal 1 dan 7 Juni 2018. 47
Wawancara dengan BM pada tanggal 7 Juni 2018.
48
53 kelapa dan pinang, kandang kambing-domba, kandang kerbau dan kandang babi. Setelah itu, satu malam sebelum ritual sabung ayam, dilaksanakan pesta nga’a bangaliwu untuk memperingati keluarga yang telah meninggal. Acara ini dilakukan sekitar jam 7 malam dengan meletakkan sirih, pinang, kopra, tebu dan kelapa di atas kuburan. Sesudah itu, kembali ke rumah untuk masak dan makan bersama oleh setiap anggota keluarga dengan kepercayaan bahwa keluarga yang telah meninggal diundang
untuk makan bersama.49
Keesokan harinya dilaksanakan ritual sabung ayam bangaliwu. Sabung ayam pada bulan bangaliwu dilakukan hanya satu hari namun berlangsung di dua tempat yang berbeda. Untuk sampai pada kegiatan sabung ayam, ada tahap-tahap yang harus dilalui dan secara umum tahapan-tahapannya sama dengan tahapan pada ritual tali manu dabba. Yang berbeda hanyalah pada beberapa aturan, jika pada ritual tali manu dabba semua aturannya harus diikuti maka pada bangaliwu aturannya lebih longgar, dalam artian ada beberapa aturan yang mungkin tidak dilaksanakan. Beberapa contoh, pada ritual tali manu dabba, peserta harus berkumpul dari satu hari sebelumnya di rumah adat untuk mempersiapkan diri, sedangkan pada bangaliwu mereka diperbolehkan untuk hadir pagi hari sebelum siangnya ritual berlangsung. Dalam ritual sabung ayam bangaliwu juga tidak ada hoda. Selain itu pada bangaliwu, peserta kelompok diperbolehkan untuk langsung menunggu di dara nada tanpa harus jalan bersama rombongan kelompoknya dari rumah adat. Kemudian, saat sudah tiba di dara nada, peserta ritual diperbolehkan untuk bergabung dengan orang lain atau penonton ritual tersebut. Hal ini berbanding terbalik dengan ritual tali manu dabba yang
melarang peserta ritual untuk bergabung dengan orang luar.50
49
Yakob Y. Detaq, Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu, (Flores: Nusa Indah, 1973), 36-37.
50
54 Sabung ayam yang dilaksanakan pada bangaliwu hanya berlangsung selama satu hari namun dilaksanakan pada dua tempat yang berbeda. Tempat pertama yaitu di kolo rame, lokasi yang sama dengan dilaksanakannya tali manu dabba hari kedua. Waktu pelaksanaannya tepat jam 12 yang ditandai dengan bayangan manusia yang tegak lurus atau tersentuh oleh kaki. Di kolo rame, sabung ayam dilaksanakan dalam bentuk ritual seperti pada ritual tali manu dabba. Kelompok yang tiba terlebih dahulu harus menunggu sampai semua kelompok telah berkumpul. Seperti ritual tali manu dabba, dua kelompok inti yang wajib ada yaitu “eiko” yang mewakili kelompok perempuan dan “dabba” mewakili kelompok laki-laki. Mereka akan terus berdiri sampai Deo Rai
dan Dohe tiba, setelah itu diperbolehkan untuk duduk.51
Masing-masing kelompok memiliki tanda di kolo rame. Tanda tersebut berupa batu besar yang menjadi titik pusat tiap kelompok untuk berdiri maupun duduk. Batu-batu ini tidak bersifat keramat karena saat salah satu kelompok tidak hadir seperti dari kelompok anak maka boleh diduduki oleh para penonton yang hadir. Berbeda dengan batu yang menjadi tempat duduk Deo Rai. Batu ini dikeramatkan sehingga tidak boleh
ada yang menyentuh selain tokoh-tokoh adat seperti Deo Rai dan Dohe.52
Pertandingan dimulai dengan melepas ayam pertama yang sudah diikatkan pisau ayam yang dalam bahasa Sabu disebut “dara”. Begitu seterusnya sampai pertandingan selesai dan ada kelompok yang menyatakan kekalahan mereka. Setelah itu para peserta
akan kembali ke rumah adat untuk makan bersama.53
51 Wawancara dengan OM, DNH dan BM pada tanggal 1 dan 7 Juni 2018. 52
Wawancara dengan OM, DNH dan BM pada tanggal 1 dan 7 Juni 2018.
53
55
Gambar 7. Suasana di Kolo Rame
Tempat kedua pelaksanaan sabung ayam disebut kepakka horo. Tempat ini letaknya tidak jauh dari kolo rame dan berada di bagian bawah. Orang-orang yang hadir di kepakka horo merupakan masyarakat dari berbagai penjuru pulau Sabu, bahkan ada yang datang dari luar pulau Sabu seperti Kupang, Ende dan Sumba. Kepakka horo merupakan pasar bebas yang di dalamnya terdapat pertandingan sabung ayam, jual beli hasil tanam seperti buah dan sayuran juga bahan makanan lainnya serta kegiatan tukar
menukar barang.54
Pertandingan sabung ayam di kepakka horo dilakukan secara bebas artinya terdapat taruhan namun tetap dalam kontrol pemerintah adat dan aparat keamanan. Pertandingan ini tidak bisa dimulai sebelum ritual sabung ayam di kolo rame dilaksanakan. Keberadaan kepakka horo sebagai tempat pengalihan, tempat singgah atau tempat menerima tamu yang datang karena tidak semua orang diizinkan untuk menuju ke kolo rame tempat pelaksanaan ritual sabung ayam bangaliwu. Seluruh rangkaian acara di kolo rame dan kepakka horo di tutup dengan tarian massal pado’a sepanjang satu malam dan besoknya dilanjutkan dengan pacuan kuda. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menetralkan kembali suasana panas yang dibawa saat pertandingan sabung ayam berlangsung, meninggalkan semua emosi dan berganti
56 dengan sukacita dalam tarian dan pacuan kuda untuk mempererat kesatuan dan
kebersamaan yang perlu dijaga oleh masyarakat Sabu Liae.55
Gambar 8. Suasana di Kepakka horo
Hari ketujuh setelah sabung ayam bangaliwu dilaksanakan ritual hole. Hole merupakan ritual adat masyarakat Sabu yang dilakukan secara massal demi kemakmuran manusia, ternak dan tumbuh-tumbuhan. Kegiatan ini dilakukan masih dalam bulan bangaliwu dimana pada bulan ini dianggap baik dan membawa keuntungan, kegembiraan dan kesejahteraan. Oleh karena itu bagi masyarakat Sabu, bulan ini disebut juga bulan gembira. Pada dasarnya, inti kegiatan hole adalah pengantaran hasil panen penduduk/masyarakat beserta dua gendang dari rumah adat menuju pulau Raijua yang diyakini sebagai tempat asal tanah untuk membentuk Pulau Sabu. Hal ini didasarkan pada penuturan sejarah dan merupakan suatu pandangan yang mengikat mereka bahwa tanah yang mereka usahakan sebagai ladang atau sawah dan lainnya berasal dari Raijua, sehingga mewajibkan mereka untuk menyerahkan hasil
panen ladangnya kepada pemilik asal tanah.56
Pada setiap kecamatan di Sabu, ritual hole dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda. Di kecamatan Sabu Liae, karena bertepatan dengan musim panen maka ritual hole dimaknai sebagai ritual ungkapan syukur atau membayar upeti kepada semesta karena panen telah selesai. Perayaan hole masyarakat Liae dilakukan dengan
55
Wawancara dengan OM, DNH, BM dan JH pada tanggal 1, 7 dan 21 Juni 2018.
57 mengisi makanan pada wadah kecil yang telah dianyam menggunakan daun lontar lalu digantung pada tiang utama setiap rumah dan di pohon dekat rumah. Siang harinya dilanjutkan dengan kegiatan sabung ayam, pacuan kuda dan pado’a di malam hari. Di sekitar arena kegiatan ini diisi dengan berbagai hasil panen yang diperjualbelikan, alat-alat kebutuhan rumah tangga dan lainnya. Berdasarkan penuturan informan, dulunya yang boleh dijual di sekitar tempat hole hanyalah hasil bumi seperti tebu, pisang, ketupat, jeruk dll selain produk buatan pabrik. Hanya saja, karena perkembangan dan masyarakat juga ingin mendapatkan keuntungan sehingga bukan hanya hasil bumi
tetapi produk pabrikan juga mulai di jual pada saat perayaan hole.57
Sabung ayam yang dilakukan pada perayaan hole tidak seperti tali manu dabba dan pe’iu manu bangaliwu. Pada perayaan hole, sabung ayam dilakukan secara bebas, kecuali ayam pertama yang dilepas. Ayam tersebut diikatkan sepasang bambu kecil (teri) pada kakinya dan tanpa ada taruhan. Setelah itu dilanjutkan dengan sabung ayam bebas sampai beberapa hari kemudian kira-kira dua sampai empat hari. Kegiatan ini dilakukan di suatu tempat yang telah disepakati selain kolo gopo dan kolo rame yang merupakan tempat pelaksanaan ritual tali manu dabba dan pe’iu manu bangaliwu. Sore hari, ketika sabung ayam selesai dilaksanakan maka dilanjutkan dengan pacuan kuda dan pado’a sebagai wujud kebahagiaan karena musim panen telah berakhir dan
tindakan menjaga kebersamaan di antara mereka.58
Ritual hole merupakan puncak dari seluruh ritual/upacara adat di Sabu karena merupakan ritual adat terakhir yang dilaksanakan setelah panen. Ritual ini sekaligus menjadi sarana untuk bersyukur atas kehidupan dan hasil panen sekaligus memohon berkat untuk manusia, hewan dan tumbuhan di tahun berikutnya. Inilah tiga waktu pelaksanaan ritual sabung ayam yang dikemas dalam tiga ritual adat yang berbeda.
57
Wawancara dengan BM pada tanggal 7 Juni 2018.
58 Pasca ritual ini, biasanya beberapa masyarakat Sabu akan bermigrasi sementara ke Kupang untuk bekerja sebagai nelayan atau berdagang di pasar sampai musim hujan tiba dan mereka akan kembali ke Sabu untuk mulai menyiapkan lahan serta mulai
menanam.59
Pada setiap tempat pelaksanaan ritual adat di Sabu, biasanya terdapat pohon nitas “kepakka” yang diyakini sebagai pohon keramat atau pohon sakti. Masyarakat dilarang untuk menyentuh apalagi sampai memotong atau mematahkan ranting-rantingnya. Cerita masa lampau mengatakan bahwa tepat di dekat pohon nitas terdapat sebuah tiang yaitu tiang perjanjian yang ditanam bersamaan dengan pohon nitas sehingga pohon itu disebut juga sebagai pohon perdamaian atau pohon perjanjian. Jika ada yang menyentuh atau memotong daun bahkan rantingnya maka akan terjadi pertengkaran atau perselisihan dalam masyarakat. Di kepakka horo, pohon nitas ditanam terbalik yaitu pucuknya yang dibawah dan tumbuh sampai saat ini, ditanam oleh orang sakti. Tujuan ditanamnya pohon nitas secara terbalik ialah untuk mengalihkan para masyarakat yang datang untuk tidak ke atas yaitu kolo rame melainkan hanya di bawah
yaitu di kepakka horo.60
Sepanjang masa persiapan sampai pada hari pelaksanaan ritual sabung ayam baik di bulan dabba maupun bangaliwu terdapat berbagai pantangan-pantangan atau pamali yang harus diikuti baik oleh peserta maupun penonton jalannya ritual. Bagi para peserta, mereka dilarang, makan makanan tertentu, dilarang mengucapkan kata-kata kotor, dilarang bergabung dengan orang lain selain peserta ritual. Bagi penonton, pantangannya seperti dilarang menyentuh rumah adat, dilarang masuk ke area rumah adat yang sudah disterilkan untuk kegiatan sabung ayam dan dilarang untuk memotong jalan yang hendak dilewati oleh para peserta ritual adat. Jika terjadi pelanggaran
59
Wawancara dengan BM pada tanggal 7 Juni 2018.
60
59 akibatnya terjadi malapetaka atau bencana bagi mereka bahkan yang paling fatal
sampai pada kematian.61
Begitu pentingnya ritual ini sehingga tetap dijaga keasliannya sampai saat ini. Berdasarkan penuturan Deo Rai, sejak ditetapkannya ritual sabung ayam sebagai ritual perdamaian, ritual ini selalu dilaksakanan setiap tahunnya. Mereka meyakini jika ritual ini tidak dilaksanakan maka kehidupan manusia akan jauh dari perselisihan dan pertengkaran. Manusia akan hidup makmur baik dengan sesama manusia maupun dengan nenek moyang juga tanah dan ternak yang diusahakan akan memberikan hasil yang baik.62
Sejarah ritual sabung ayam dalam perjalanannya ternyata mengalami perkembangan. Dari kegiatan awal yang bersifat kegiatan ritual yang sakral dan hanya dilakukan di tempat-tempat yang khusus, kemudian untuk menampung alternatif-alternatif kepentingan lain maka disiapkan pula tempat-tempat di luar tempat yang khusus dan disitulah hadir orang dalam jumlah banyak yang datang dari berbagai wilayah di Sabu. Dalam kondisi inilah berbagai kegiatan masuk seperti ekonomi,
kontak sosial, hiburan dan lainnya.63 Salah seorang tokoh adat yang dituakan di daerah
Sabu Liae menuturkan bahwa berdasarkan adatnya, perjudian dalam sabung ayam ini sebenarnya tidak ada dan jika kedapatan maka akan dikenakan denda. Hanya saja pada masa kini para Mone Ama sudah tidak bisa lagi melawan masyarakat biasa. Selain ritual adat, permainan sabung ayam dengan perjudian juga melanggar hukum dan dilarang oleh pemerintah. Akan tetapi karena permainan kata dari masyarakat sehingga mereka menipu pemerintah dengan mengatakan bahwa ritual adat berlangsung selama berhari-hari sehingga pada akhirnya pemerintah pun mengizinkan. Dalam hal ini baik pemerintah maupun aparat keamanan juga mendapat keuntungan (sudah dijatahkan)
61 Wawancara dengan Deo Rai Liae pada tanggal 30 Mei 2018. 62
Wawancara dengan Deo Rai Liae pada tanggal 30 Mei 2018.
63
60 melalui pajak tenda-tenda yang berjualan di sekitar tempat ritual baik di kepakka horo
maupun hole.64
3.5 Kesimpulan
Dari seluruh penjabaran di atas, dapat dilihat bagaimana upaya orang Sabu terkhususnya Sabu Liae untuk tetap menjaga relasi dan terus mendekatkan diri dengan Tuhan, sesama, alam semesta dan para leluhur. Semua itu dilakukan dengan tetap melestarikan tradisi sebagai warisan turun temurun yang sejak dahulu kala telah dibangun melalui ritual sabung ayam. Berdasarkan tahapan-tahapannya, nampak bahwa ritual sabung ayam merupakan sebuah ritual sakral yang membawa pesan perdamaian pada generasi berikutnya. Hal ini terus dilakukan setiap tahun dengan teratur demi kemakmuran dan keselamatan seluruh ciptaan.
64