• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi Autentisitas di dalam Pembelajaran BIPA. Abstrak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dimensi Autentisitas di dalam Pembelajaran BIPA. Abstrak"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Dimensi Autentisitas di dalam Pembelajaran BIPA B. Widharyanto

PBSID, FKIP, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Abstrak

Autentisitas di dalam pembelajaran bahasa asing, seperti BIPA, merupakan aspek yang penting dan harus diperjuangkan. Autentisitas bukan hanya terkait dengan bahasa yang dipelajari oleh pembelajar, namun juga terkait dengan bahan-bahan yang dipersiapkan oleh pengajar, dengan teknik pembelajaran, khususnya yang terlihat dalam tugas-tugas pembelajarannya, serta dengan bentuk-bentuk pengukuran keberhasilan pembelajaran BIPA.

Makalah ini secara khusus akan mengupas ihwal autentisitas ini di dalam konteks (1) bahasa yang diajarkan, (2) bahan-bahan pembelajaran bahasa Indonesia yang dipelajari pembelajar asing, (3) tugas-tugas pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas-kelas BIPA, dan (4) bentuk-bentuk tes BIPA yang diberikan pada para pembelajar. Dasar pemikiran yang digunakan dalam makalah ini adalah autentisitas bukanlah bersifat “hitam” dan “putih” atau autentik dan tidak autentik. Autentisitas dalam hal ini lebih dilihat sebagai suatu kontinum, di mana bahasa, bahan pembelajaran, tugas-tugas pembelajaran, dan bentuk-bentuk tes BIPA selalu mengandung unsur-unsur yang alamiah.

Makalah ini juga akan menyuarakan pandangan yang ditujukan kepada para pengajar BIPA, bahwa walaupun kelas bahasa adalah suatu bentuk rekayasa pembelajaran bahasa yang sifatnya tidak autentik, kelas bahasa perlu memaksimalkan sifat-sifat autentik yang terdapat di dalam keempat komponen pembelajaran di atas.

________________________ 1. Pendahuluan

Aktivitas berbahasa yang tercipta sebagai proses pembelajaran di kelas pada dasarnya adalah aktivitas semu. Semua itu merupakan bentuk rekayasa, bentuk peniruan, bentuk penyederhanaan, yang terkadang jauh dari kenyataan pemakaian bahasa sewajarnya. Aktivitas berbahasa seperti itu tidak memenuhi sifat yang disebut sebagai “authentic real-life language”.

Memang tidak mungkin membuat aktivitas berbahasa di kelas 100% autentik. Ini disebabkan oleh sifat hakiki dari pembelajaran di kelas yang memang serba rekayasa itu. Pengajar di dalam interaksi belajar mengajarnya cenderung memodifikasi bahasanya sehingga bahasa pengajar oleh sementara ahli pembelajaran dicurigai penuh dengan simplifikasi dalam banyak hal. Bahasa siswa pun tidak kalah menariknya. Bahasa yang dituturkan siswa di kelas adalah bahasa yang belum sepenuhnya bahasa sasaran atau bahasa target. Banyak ahli yang menyebut fenomena ini sebagai bahasa antara atau interlanguage. Setting yang tercipta di kelas adalah lingkungan fisik yang dibuat oleh pengajar demi tercapainya tujuan pembelajaran.

(2)

Setting yang seperti ini tidak akan pernah dapat memasukkan seluruh sifat dan

karakteristik yang dimiliki oleh setting dalam komunikasi senyatanya.

Selanjutnya, topik atau isi yang dibicarakan dalam aktivitas berbahasa, tidaklah muncul menurut kesepakatan antara dua pihak yang berperan dalam aktivitas berbahasa. Topik tersebut sudah ditentukan berdasarkan pada silabus yang disusun secara ketat oleh pengajar atau perancang program pembelajaran. Peran yang dibawakan oleh siswa berkaitan dengan topik yang dibicarakan adalah peran yang sudah dipilihkan. Siswa A berperan sebagai dokter dan siswa B berperan sebagai pasien, misalnya. Semua itu, mengukuhkan bahwa kelas bahasa adalah suatu bentuk aktivitas pembelajaran yang tidak autentik atau tidak alami.

Namun demikian, autentisitas di dalam kelas BIPA, terutama kelas yang berdasarkan pada pendekatan komunikatif, perlu diperjuangkan oleh para pengajar BIPA. Karena seperti yang dinyatakan Widharyanto (2000), autentisitas merupakan salah satu karakteristik dari pembelajaran yang komunikatif.

2. Autentisitas sebagai Kontinum

Di dalam makalah ini saya berpendapat bahwa autentisitas hendaklah jangan dipandang secara diskret “hitam dan putih”. Autentisitas adalah suatu kontinum tinggi atau rendah yang di dalamnya terdapat banyak atau sedikit sifat-sifat autentik. Sifat-sifat autentik itu terkait antara lain dengan: (1) bahasa yang dipelajari, (2) sumber bahan pembelajaran, (3) tugas-tugas pembelajaran, dan (4) bentuk tes dalam pembelajaran BIPA. Di dalam kelas bahasa sangat dimungkinkan diupayakan autentisitas yang maksimal, yakni dengan melibatkan sebagian besar dari sifat-sifat autentik di atas, walaupun tetap tidak mungkin mencapai autentisitas obsolut 100% karena sifat kelas bahasa yang rekayasa itu.

3. Autentisitas Bahasa

Bahasa seperti apakah yang harus diajarkan di kelas bahasa? Pertanyaan seperti ini akan menjadi indikator utama untuk menangkap seberapa besarkah kadar autentisitas dari aspek ini.

Dalam pembelajaran BIPA masih terlihat tarik menarik mengenai bahasa yang diajarkan, yakni bahasa yang bebas konteks ataukah bahasa yang peka konteks. Ada sementara pembelajaran BIPA yang mendasarkan diri pada pandangan bahwa bahasa itu suatu struktur, yang di dalamnya terdapat komponen-komponen terpisah yang berinterelasi satu dengan yang lain dan membentuk suatu sistem. Pandangan yang strukturalis seperti ini berakibat pada pembelajaran BIPA yang cenderung diskret dan tatabahasa sentris. Penguasaan kompetensi bahasa oleh karenanya lalu dipandang merupakan penggabungan atas penguasaan komponen-komponen bahasa seperti fonologi, morfologi, sintaksis, membaca, menulis, berbicara, dan menyimak. Pandangan seperti ini memperlihatkan bahwa bahasa yang diajarkan dalam pembelajaran BIPA adalah bahasa yang bebas konteks, bahasa yang dipisahkan dari fungsi-fungsi sosial, dan bahasa yang tidak berakar pada pemakaian senyatanya dalam kehidupan sehari-hari. Karakteristik bahasa seperti ini adalah bahasa yang memiliki tingkat autentisitas rendah.

(3)

Beberapa pembelajaran BIPA yang lain mendasarkan diri pada pandangan bahwa bahasa itu merupakan alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu merupakan suatu entitas yang utuh, terpadu, dan tidak terpisah-pisah. Bahasa itu dipandang juga memiliki fungsi-fungsi sosial. Di samping itu, bahasa senyatanya seperti yang ada dalam masyarakat penuturnya (real life language) merupakan bahasa yang diberikan dalam proses pembelajaran BIPA, apakah itu dialek, apakah itu bahasa dalam ragam tertentu, dan sebagainya. Penguasaan kompetensi bahasa dalam kaitan dengan ini dipandang merupakan penguasaan kemampuan yang simultan antara bahasa, kemampuan pragmatik, faktor-faktor sosiolinguistik, dan strategi komunikasi. Karakteristik bahasa yang seperti ini adalah bahasa yang memenuhi sifat autentisitas tinggi.

Selain isu bahasa bebas konteks dan bahasa peka konteks itu, isu kedua mengenai tarik menarik bahasa yang diajarkan adalah bahasa simplifikasi dan bahasa alami atau apa adanya. Dalam pembelajaran BIPA masih banyak instruktur maupun pengajar yang “memaksakan” untuk menyederhanakan struktur kalimat, mengganti kata-kata khusus dengan kata-kata umum, menghilangkan implikatur percakapan,

sasmita, dan gaya bahasa dengan bentuk-bentuk percakapan yang bersifat langsung

dan lugas. Semua upaya ini membawa dampak pada “wajah” bahasa yang diajarkan menjadi bahasa yang diinginkan oleh instruktur atau pengajarnya, dan bukan bahasa alami atau natural. Karakteristik bahasa simplifikasi ini kurang memiliki autentisitas yang tinggi.

Di sisi lain, banyak pula instruktur atau pun pengajar BIPA yang berupaya keras menampilkan bahasa alami di dalam pembelajaranya. Bahasa yang ada dalam komunikasi senyatanya merupakan bahan utama yang diberikan dalam aktivitas berbahasa di kelas. Kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai akibat diberikannya bahasa alami pada pembelajar BIPA tidak dianggap sebagai masalah yang mengganggu, namun justru sebagai tantangan yang harus disiasati oleh pengajar BIPA dalam pembelajarannya. Dalam konteks ini, bahasa alami memang memenuhi sifat autentisitas yang sangat tinggi.

4. Autentisitas Bahan-bahan Pembelajaran BIPA

Dalam pembelajaran BIPA seleksi bahan merupakan satu tahapan penting yang harus dihadapi oleh seorang pengajar BIPA. Isu yang muncul dalam tahapan ini berkaitan dengan pertanyaan dari manakah asal bahan-bahan pembelajaran BIPA? Ada tiga isu yang menjadi polemik perdebatan, yakni (1) bahan itu murni dibuat dan dihasilkan oleh pengajar BIPA sendiri, (2) bahan itu diambil oleh pengajar BIPA dari bahan-bahan yang ada dalam komunikasi sehari-hari dan mengalami modifikasi seperlunya oleh pengajar, dan (3) bahan diambil oleh pengajar BIPA dari bahan-bahan yang ada dalam komunikasi sehari-hari tanpa mengalami modifikasi sama sekali dari pengajar BIPA.

Bahan yang pertama cenderung memiliki tingkat kesulitan yang lebih rendah daripada bahan yang kedua dan ketiga, karena pengajar BIPA dapat menyesuaikan tingkat kesulitan bahannya dengan formula (I + 1), seperti formulanya Krashen (1985). Pengajar BIPA dengan segala imaginasinya dapat membuat percakapan, pengumuman, surat, dan lain sebagainya yang sesuai dengan kegemaran pengajar, gaya dan style pengajar, serta tingkat penguasaan bahasa pembelajarnya. Sementara itu, bahan yang kedua adalah bahan yang biasa digunakan dalam komunikasi

(4)

sehari-hari seperti percakapan atau dialog di radio maupun di TV, pengumuman di Masjid, undangan hajatan, iklan dalam majalah, berita dalam surat kabar, form atau slip isian dari bank dan lain sebagainya, namun dimodifikasi seperlunya oleh pengajar BIPA demi tujuan tertentu. Bahan yang ketiga adalah bahan yang asli, apa adanya, tidak mendapatkan “campur tangan” dari pengajar BIPA. Bahan ini cenderung memiliki tingkat kesukaran yang lebih daripada bahan tipe pertama dan kedua.

Apabila dibuat dalam suatu rentangan, maka tingkat autentisitas tiga tipe bahan dapat digambarkan dalam Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1: Tingkat Autentisitas Tiga Tipe Bahan

Campur Tangan Pengajar Autentisitas Bahan

TINGGI RENDAH Bahan Tipe 1 Bahan Tipe 2 Bahan Tipe 3 RENDAH TINGGI

5. Autentisitas Tugas-Tugas Pembelajaran

Dalam pembelajaran BIPA, pengajar dapat memberikan berbagai macam tugas yang harus dilakukan oleh pembelajar sebagai wujud respon atas bahan pembelajaran yang diberikan. Isu yang muncul adalah tugas itu lebih mengarah pada penguasaan

grammatical content dan lexical content atau mengarah pada discourse and rhetorical skills. Tugas yang mengarah pada penguasaan grammatical content dan lexical content adalah tugas-tugas yang jauh dari kegiatan komunikatif. Tugas-tugas ini

didasari asumsi bahwa kemampuan menyelesaikan soal-soal struktur baik dalam tataran morfologi maupun sintaksis mencerminkan kompetensi berbahasa pembelajar. Tugas-tugas seperti ini bersifat tidak langsung dan memiliki tingkat autentisitas yang sangat rendah.

Sebaliknya, ada pula pengajar BIPA yang memberikan tugas-tugas yang mengarahkan pada penguasaan grammatical content dan lexical content dalam konteks pemakaian wacana. Tugas-tugas seperti mengarahkan pembelajar menguasai komponen-komponen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata, termasuk semua kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa sehari-hari. Salah satu contoh tugas dari tipe ini adalah pengajar meminta pembelajar untuk merekonstruksi wacana yang elemen-elemen tertentu dihilangkan (lihat bentuk cloze menurut Oller (1979:39)). Tugas-tugas seperti ini oleh sementara ahli pengajaran bahasa dikatakan memenuhi ciri-ciri pragmatik karena melibatkan pembelajar dengan wacana yang mengandung konteks dan bukan semata-mata kalimat dan kata-kata lepas.

Namun demikian, tugas-tugas pembelajaran tipe kedua ini walaupun telah melibatkan konteks, tetap saja masih bersifat tugas yang tidak langsung dan lebih menekankan

(5)

pada kemampuan kebahasaan daripada performansi aktual pembelajar. Berkaitan dengan ini, ada sementara ahli pengajaran bahasa yang mengusulkan tugas tipe ketiga yang bersifat langsung, yakni tugas peformansi aktual. Pembelajar diminta melakukan tugas-tugas komunikatif yang berupa interaksi dalam berbagai situasi berbahasa, seperti menulis pikiran pembaca dalam surat kabar, mewawancarai seorang tokoh,

melakukan brifing untuk suatu kegiatan tertentu, dan sebagainya. Tugas tipe ketiga

ini, apabila dilihat dari perspektif autentisitas, memiliki sifat autentik yang lebih tinggi daripada tugas tipe satu dan dua karena tugas tipe tiga memiliki sifat-sifat yang mendekati tugas komunikasi senyatanya dalam komunikasi sehari-hari.

Apabila dibuat dalam suatu rentangan, maka tingkat autentisitas tiga tipe tugas pembelajaran dapat digambarkan dalam Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2: Tingkat Autentisitas Tipe Tugas

Tipe Tugas Sifat Kegiatan Berbahasa Tingkat Autentisitas

Tugas Tipe 1 Tidak Langsung Rendah

Tugas Tipe 2 Semi Langsung Cukup

Tugas Tipe 3 Langsung Tinggi

6. Autentisitas Alat Tes BIPA

Mengukur keberhasilan pembelajar BIPA merupakan tahapan akhir dalam pembelajaran BIPA. Isu yang muncul berkaitan dengan upaya mengukur keberhasilan pembelajar BIPA adalah tipe tes apa yang digunakan oleh para pengajar BIPA? Sampai saat ini paling tidak terdapat beberapa tipe tes yang mengemuka dalam wacana para pengajar BIPA, yakni tes diskret, tes integratif, tes pragmatik, dan tes komunikatif. Berikut ini akan diuraikan satu persatu.

Pertama adalah tes diskret. Tes BIPA tipe ini hanya menyangkut satu aspek kebahasaan saja pada satu kesempatan pengetesan, misalnya aspek fonologi, morfologi, sintaksis, atau kosa kata. Tiap-tiap butir soal hanya dimaksudkan untuk mengukur satu aspek kebahasaan saja. Dari segi model jawaban, tes BIPA tipe ini berupa penjodohan (matching), benar-salah (true-false), pilihan ganda (multiple

choice), atau mengisi kotak kosong yang disediakan dengan jawaban yang sudah

tersedia pada kolom lain.

Kedua adalah tes BIPA tipe integratif. Tes BIPA tipe ini merupakan bentuk penyempurnaan dari tes BIPA diskret. Jika dalam tes BIPA diskret aspek-aspek kebahasaan dan kemampuan berbahasa diperlakukan secara terpisah, maka dalam tes BIPA integratif aspek-aspek kebahasaan ini dicakup secara bersamaan. Dasar pemikiran yang diacu dalam penyusunan tes BIPA integratif adalah bahasa itu merupakan integrasi dari bagian-bagian terkecil yang membentuk bagian-bagian yang besar, dan pada akhirnya merupakan bentukan terbesar yang berupa bahasa. Menurut Oller (1979) jika dalam tes diskret hanya diujikan satu aspek kebahasaan saja dalam satu waktu, maka dalam tes integratif berusaha diukur beberapa aspek kebahasaan secara bersamaan. Tes BIPA tipe ini melakukan pengukuran penguasaan kemampuan berbahasa atas dasar penguasaan pembelajar BIPA terhadap gabungan antara beberapa komponen bahasa dan kemampuan berbahasa. Mengubah bentuk suatu kalimat menjadi bentuk kalimat yang lain, misalnya, tidak saja menuntut kemampuan pembelajar tentang pengetahuan struktur kalimat, melainkan juga memerlukan

(6)

penguasaan perubahan bentuk kata, dan bahkan makna kata yang merupakan bagian dari penguasaan kosa kata.

Ketiga adalah tes BIPA pragmatik. Tes BIPA integratif yang berkembang sebagai reaksi terhadap tes BIPA diskret pada dasarnya hanyalah pelibatan beberapa aspek kebahasaan dan keterampilan berbahasa dalam tes yang diujikan pada pembelajar BIPA secara bersamaan. Tes BIPA integratif yang demikian seringkali sulit dibedakan dengan tes BIPA diskret yang melibatkan konteks kalimat. Selain itu, tes BIPA integratif masih terisolasi dari konteks komunikasi yang nyata dan masih tetap berkutat pada pengetesan kompetensi bahasa. Tes BIPA pragmatik muncul sebagai koreksi atas tes BIPA diskret dan tes BIPA integratif.

Tes BIPA pragmatik mendasarkan diri pada pandangan fungsional, yakni focus

on the total communicative effect. Tes BIPA tipe ini mengukur seberapa baik

pembelajar BIPA mempergunakan elemen-elemen bahasa sesuai dengan konteks komunikasi yang nyata, termasuk kendala yang umumnya ada pada penggunaan bahasa sehari-hari. Tes BIPA pragmatik mengaitkan bahasa dengan penggunaan bahasa senyatanya yang melibatkan tidak saja unsur-unsur kebahasaan seperti kata, frasa, atau kalimat, melainkan juga unsur-unsur di luarnya yang selalu terkait dalam setiap bentuk penggunaan bahasa. Beberapa contoh bentuk tes BIPA pragmatik antara lain adalah dikte, tes cloze, dan tes C.

Keempat adalah tes BIPA komunikatif. Tes BIPA komunikatif muncul sebagai koreksi terhadap tes BIPA pragmatik. Tes BIPA pragmatik bagaimanapun masih terjebak pada aspek usage dan bukan use dalam pengetesan BIPA. Tes BIPA komunikatif dimaksudkan untuk benar-benar mengukur performansi pembelajar BIPA dalam komunikasi yang sesungguhnya yang di dalamnya tercermin kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategis. Tipe tes seperti ini selaras dengan apa yang dikemukakan Canale dan Swain (1980) mengenai tes komunikatif pada umumnya. Dalam tes BIPA komunikatif dituntut pengukuran performansi komunikasi pembelajar BIPA dengan cara langsung (direct) dalam konteks komunikasi yang didasarkan pada interaksi yang nyata, baik bentuk lisan maupun tulisan, dan didasarkan pada analisis kebutuhan (need analysis) komunikatif.

Apabila keempat tipe tes BIPA ini dilihat dari perspektif indikator keautentikan tes seperti (1) bersifat langsung, (2) orientasi pada use dan bukan usage, (3) mencakup banyak komponen bahasa dan berbahasa, (4) mengukur kompetensi gramatikal sekaligus kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis, (5) mengandung konteks, dan (6) didasarkan pada analisis kebutuhan komunikatif, maka tes BIPA yang paling memenuhi sifat-sifat keautentikan tinggi adalah tes BIPA komunikatif. Tiga tipe tes BIPA yang lain, yakni diskret, integratif, dan pragmatik, kurang memenuhi sifat-sifat autentisitas. Tabel 3 berikut ini memperlihatkan fenomena yang dimaksud.

Tabel 3: Autentisitas dalam Empat Tipe Tes BIPA

Sifat Autentisitas Tes BIPA Tes BIPA diskret Tes BIPA

integratif Tes BIPA pragmatik Tes BIPA komunikatif

1. Bersifat langsung ✕ ✕ ✕ ✓

2. Orientasi pada use bukan usage ✕ ✕ ✕ ✓ 3. Banyak mencakup komponen

bahasa dan keterampilan berbahasa

✕ ✓ ✓ ✓

4. Mengukur kompetensi gramatikal sekaligus

(7)

kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi strategis

5. Konteks ✕ ✕ ✓ ✓

6. Need Analysis ✕ ✕ ✕ ✓

7. Penutup

Berikut ini diberikan beberapa kesimpulan berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. Pertama, dimensi autentisitas di dalam pembelajaran BIPA merupakan suatu hal yang penting manakala pembelajaran BIPA bertujuan pada kompetensi komunikatif pembelajar. Kedua, sifat-sifat autentik sangat mungkin untuk diupayakan pada pembelajaran BIPA walaupun sifat hakiki dari pembelajaran BIPA itu adalah suatu bentuk rekayasa yang disengaja. Ketiga, autentisitas tinggi dalam pembelajaran BIPA dapat diupayakan melalui penyajian: (1) bahasa alami atau natural dalam pembelajarannya, (2) bahan-bahan pembelajaran yang dipilih adalah bahan-bahan yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari baik lisan maupun tulisan, (3) tugas-tugas pembelajaran yang diberikan adalah tugas-tugas yang berupa unjuk performansi aktual pembelajar, dan (4) alat tes pembelajaran yang digunakan adalah tipe tes BIPA komunikatif. Keempat, dimensi autentisitas dalam pembelajaran BIPA hendaklah dimaknai sebagai suatu kontinum tinggi dan rendah dan bukan suatu pembedaan autentik dan tidak autentik.

Referensi

Canale, M. dan M. Swain. 1980. “Theoretical Basis of Communicative Approaches to Second Language Teaching and Testing”, dalam Applied Linguistics, I: 1-47. Krashen, S. 1985. The Input Hypothesis. London: Longman.

Oller, Jr. John W. 1979. Language Test at School. London: Longman.

Widharyanto, B. 2000. “Perkembangan Pendekatan Tes Bahasa”, dalam Atmadi, A. dan Yuliana Setiyaningsih (eds),Transformasi Pendidikan: Memasuki

(8)

Biodata Calon Pemakalah

Penulis makalah ini adalah Dr. B. Widharyanto, M.Pd., dosen dan Kaprodi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Selain menaruh minat dalam bidang Sosiopolitikolinguistik dan Analisis Wacana Kritis, penulis juga menggeluti bidang Pengajaran BIPA karena di Prodi PBSID, BIPA merupakan paket pilihan dengan jumlah 20 SKS. Alamat penulis adalah sebagai berikut ini: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Mrican Tromol Pos 29, Yogyakarta, Telp. (0274) 513301 (Pesawat 230 atau 330).

Gambar

Tabel 1: Tingkat Autentisitas Tiga Tipe Bahan
Tabel 2: Tingkat Autentisitas Tipe Tugas
Tabel 3: Autentisitas dalam Empat Tipe Tes BIPA

Referensi

Dokumen terkait

Digital Repository Universitas Jember Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository Universitas Jember Digital Repository

Jenis pohon, diameter pohon atau cabang, Posisi bersarang, tipe tajuk, ketinggian tajuk, intensitas cahaya, suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi jumlah sarang pada suatu

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa telah terjadi masalah terapi obat pada pasien penderita diabetes melitus komplikasi hipertensi di ruang rawat inap RSUD Kota Langsa

PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN PELATIHAN TERHADAP KINERJA KEPALA SEKOLAH DI SEKOLAH DASAR NEGERI SE-KECAMATAN CIBATU KABUPATEN GARUT.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Alasan tersebut membuat peneliti untuk menerapkan metode jarimatika sebagai upaya meningkatkan kemampuan operasi berhitung perkalian khususnya bilangan 6 sampai 10

The Impacts of His Inharmonious Relationship with His Mother on Grayer’s Attitudes as Portrayed in Kraus & McLaughlin’s The Nanny Diaries.. Yogyakarta: English Language

Studi yang berjudul “Penyusunan Zona Pemanfaatan dan Konservasi Airtanah pada Cekungan Airtanah (CAT) CAT Majenang, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah” ini

Untuk meningkatkan hasil belajar pada mata pelajaran AutoCAD yang berdasarkan karakteristiknya berupa teori dan praktek hendaknya dapat menggunakan media yang dapat