• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis Ardas KAS) tahun Ardas KAS merupakan arah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (selanjutnya ditulis Ardas KAS) tahun Ardas KAS merupakan arah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2011 diberlakukan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang (selanjutnya ditulis Ardas KAS) tahun 2011 – 2015. Ardas KAS merupakan arah pastoral pemberdayaan Gereja yang memuat visi-misi-tujuan Gereja Keuskupan Agung Semarang yang hendak dibangun sesuai dengan konteks kebutuhan umat (DKP-KAS, 2011). Ardas KAS disusun sebagai alat bantu agar tata penggembalaan yang menjadi domain kepemimpinan Uskup selaku pemimpin Gereja dapat terarah, terukur dan terdampingi. Ardas dapat dijadikan pedoman untuk melaksanakan pelayanan pastoral Gereja (DKP-KAS, 2011).

Tata penggembalaan merupakan segala usaha kepemimpinan Gereja menyangkut pengorganisasian dan pendampingan yang bertujuan untuk pengembangan hidup beriman umat (DKP-KAS, 2011). Pemimpin Gereja diharapkan mampu melibatkan berbagai umat dengan tetap memanfaatkan dan memperhatikan kelebihan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing individu sehingga terlibat dalam setiap proses kegiatan pelayanan Gereja.

Kepemimpinan Gereja mengusahakan supaya umat berkembang kualitas dan kemampuannya, meliputi kecakapan berpikir, pengolahan perasaan, dan kepekaan terhadap nilai-nilai religiusitas (DKP-KAS, 2011). Umat diharapkan mampu memahami perasaan orang lain, bekerja sama, tekun, dam berperan aktif di masyarakat.

(2)

Ardas KAS dilandasi oleh budaya pelayanan yang murah hati. Kepemimpinan yang murah hati didasarkan pada keyakinan akan kemurahan hati Allah (Martasudjita, 2009). Pelayanan murah hati diwujudkan melalui pelatihan olah batin dan pengalaman akan pendidikan tersebut mendorong sikap peduli kebutuhan orang lain dan keterlibatan untuk mewujudkan tujuan Gereja. Pelayanan yang murah hati diharapkan mampu mendorong pelayanan pastoral yang kreatif dan inovatif. Kreativitas dalam pelayanan pastoral memungkinkan menjawab kebutuhan aktual sesuai dengan situasi dan kondisi khas yang dihadapi umat; ada kesediaan dan keterbukaan besar untuk melayani kebutuhan umat (Martasudjita, 2009).

Keuskupan Agung Semarang hendak mengembangkan Gereja sebagai persekutuan paguyuban orang beriman kristiani sesuai dengan visi dan misi yang ada pada Ardas. Gereja sebagai persekutuan paguyuban umat beriman mulai tumbuh dari paguyuban keluarga-keluarga katolik, lingkungan, wilayah dan paroki, dan keuskupan. Pelayanan pastoral Gereja dilaksanakan langsung kepada umat dalam bentuk organisasi Paroki (DKP-KAS, 2013).

Paroki adalah persekutuan umat Allah yang dibentuk secara tetap dalam lingkup Keuskupan, dengan batas-batas geografis yang ditentukan oleh Uskup, dan yang reksa pastoralnya dipercayakan oleh Uskup kepada pastor paroki bersama dengan dewannya (DKP-KAS, 2013). Sejumlah Paroki yang berdekatan berkoordinasi dalam Kevikepan (DKP-KAS, 2013).

Reksa pastoral menyangkut kebijakan pelayanan pastoral, baik kebijakan pada tingkat Keuskupan, maupun Paroki. Reksa berarti suatu putusan strategis,

(3)

suatu pilihan taktis atas dasar pertimbangan yang mendalam tentang tugas sebagai seorang gembala umat. Seorang Pastor paroki menjalankan tugas reksa pastoralnya karena mendapat mandat/kewenangan dari Uskup untuk menggembalakan umat beriman di wilayah tertentu (Hardana, 2015).

Pelayanan pastoral paroki terwujud dengan adanya kerjasama serta kebersamaan baik dari pastor paroki selaku pemimpin umat maupun umat itu sendiri. Untuk itu, diperlukan perubahan cara pikir dan cara kerja sebagai pelaksana reksa pastoral, bahwa berpastoral berarti membangun relasi kerja sama, melibatkan orang lain, memberikan orang lain ruang dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam semangat kebersamaan membangun Gereja. Karya pelayanan pastoral paroki sendiri bersifat kompleks, berkaitan dengan situasi kehidupan umat dan karya penggembalaan umat yang meliputi bidang-bidang karya Gereja seperti: peribadatan liturgi, persekutan umat atau koinonia, pewartaan atau

kerygma, kesaksian atau martyria dan pelayanan atau diakonia (DKP-KAS,

2013). Pastor paroki juga memiliki tugas memberikan karya pelayanan administrasi dan operasional paroki. Kegiatan operasional paroki sehari-hari dilaksanakan oleh pastor paroki dan dibantu beberapa orang staff yang menjadi karyawan paroki.

Pengelolaan paroki dilaksanakan dengan model strutur kerja sederhana. Sesuai dengan model struktur sederhana, keputusan besar dan pengawasan operasional paroki sering diambil dan dilaksanakan sendiri oleh pastor paroki; spesialisasi tugas terbatas; sedikitnya aturan kerja, program pelatihan, perencanaan, dan penghubung; hubungan informal; dan minimnya sistem

(4)

pendukung pekerjaan yang rumit (Thompson et al., 2012). Melalui model struktur kerja sederhana ini diharapkan pelayanan pastoral paroki mendapatkan manfaat seperti administratif yang murah, kemudahan koordinasi, fleksibilitas, pengambilan keputusan yang cepat, kemampuan beradaptasi, dan tanggap terhadap perubahan. Sedikitnya aturan dan hubungan informal diharapkan dapat meningkatkan kreatifitas dan tanggungjawab para karyawan.

Gereja sebagai salah satu bentuk organisasai non profit memerlukan seorang pemimpin yang berorientasi pada pelayanan umat. Selaras dengan pendapat Van Wart, seperti dikutip dalam (Agard, 2011) menjelaskan tanggungjawab seorang pemimpin dari organisasi non profit adalah perlu menyelaraskan antara kebutuhan lingkungan organisasi dan kebutuhan lingkungan eksternal. Keberadaan organisasi adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun demikian, agar seorang pemimpin mampu memenuhi kebutuhan komunitas maka perlu mengenali kebutuhan komunitas, mampu mendefinisikan kebutuhan tersebut dan mampu menciptakan serta mengimplementasikan srategi utuk mencapai pemenuhan kebutuhan.

Kepemimpinan yang melayani (selanjutnya disebut servant leadership) mencakup pemahaman dan praktek kepemimpinan yang menempatkan kebaikan bagi mereka yang dipimpin di atas kepentingan pribadi pemimpin. Wong dan Davey (2007) mendorong semakin pentingnya kepemimpinan yang berorientasi pada orang. Fokus kepemimpinan harus digeser dari proses dan hasil menjadi orang dan masa depan. Tantangan utama manajemen dan kepemimpinan, terlebih

(5)

di dalam institusi Gereja, adalah bagaimana mengembangkan orang-orang yang bersedia terlibat dengan tulus dalam karya pelayanan Gereja.

Menurut Sendjaya, Sarros dan Santora (2008) seorang pemimpin wajib memiliki komitmen yang tulus kepada para pengikutnya, keutamaan untuk melayani kebutuhan pengikut, visi dan pemberdayaan yang ditawarkan kepada pengikutnya, dalam konteks pelayanan menjadi kegiatan utama seorang pemimpin. Servant leadership mencakup pemahaman dan praktik kepemimpinan yang menempatkan kebaikan bagi mereka yang dipimpin di atas kepentingan pribadi pemimpin (Sendjaya et al., 2008).

Seorang pastor paroki perlu menyelaraskan kepentingan pelayanan pada umat maupun kepentingan pelayanan pada karyawan. Kegiatan pelayanan pastoral yang selama ini dilakukan oleh pastor adalah: pertama, dari sisi liturgi yaitu pembekalan tugas liturgi, seminar-seminar, festival-festival, adorasi, konggres ekaristi. Kedua, dari sisi pewartaan yaitu kegiatan-kegiatan dalam moment Gereja misalkan pertemuan Advent dan Prapaskah, pembelajaran pokok-pokok iman, penerbitan beberapa buku tentang pengetahuan iman, pembekalan dan kaderisasi para katekis (guru agama Katolik), dan lain-lain. Ketiga, dari sisi pelayanan yaitu pembekalan pengurus lingkungan, pelatihan tata organisasi paroki, pelatihan penyusunan program kerja paroki, rekoleksi aktivis lingkungan. Selain itu melaksanakan pelayanan ekaristi dan sakramen lainnya.

Pastor selaku pimpinan paroki juga memiliki tanggung jawab kepada karyawan berupa pendampingan, pelatihan, dan umpan balik terhadap karyawan secara pribadi. Namun, kenyataannya pastor paroki lebih banyak menggunakan

(6)

waktunya untuk memberikan pelayanan kepada umat. Pendampingan, pelatihan, dan umpan balik pastor paroki terhadap karyawan secara pribadi jarang dilakukan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pastor paroki secara tidak sengaja abai dalam memperhatikan/mengelola karyawan dan cenderung kurang memberikan pelayanan maksimal pada karyawan. Kemungkinan besar pastor paroki kurang mampu menyelaraskan antara pemberian pelayanan terhadap karyawan dengan umat.

Karyawan yang merasa mendapatkan perhatian dari pimpinan cenderung memiliki tingkat komitmen yang lebih tinggi (Eisenberger et al., 1990). Karyawan menjadi lebih sadar tentang tanggung jawab dan memiliki keterlibatan lebih besar dalam organisasi dan lebih inovatif. Oleh karena itu, penerapan kepemimpinan yang tepat dapat meningkatkan komitmen organisasi karyawan (Eisenberger et al., 1990). Pemimpin yang mau melayani kebutuhan staf akan mengembangkan keinginan dan untuk memberikan yang terbaik dalam membangun rasa kebersamaan, komitmen afektif dan rasa memiliki terhadap organisasi (Ambali et al., 2011). Konsep kepemimpinan melayani yang menonjolkan pelayanan kepada orang lain, termasuk pada bawahan, akan menumbuhkan keterikatan yang kuat. Tanggung jawab ke bawah (downward

accountability) akan menjadikan kepemimpinan itu berakar dan diterima dengan

tulus oleh bawahan (Arisandi, 2010)

Berdasarkan wawancara dengan pastor paroki yang dilakukan peneliti, ditemukan persoalan yang berkaitan dengan pelayanan paroki. Menurut pastor paroki dengan menumpuknya kegiatan pelayanan kepada jemaat yang menuntut

(7)

perhatian dan keterlibatan langsung pastor paroki membuat urusan pembinaan karyawan menjadi kurang terperhatikan. Pastor paroki memiliki kepercayaan penuh bahwa karyawannya sudah dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Situasi tersebut menunjukkan bahwa kontrol yang dilakukan oleh pastor terhadap karyawan menjadi kurang. Pembuatan jurnal kerja yang dibuat oleh karyawan dilakukan di beberapa paroki. Jurnal tersebut berisi catatan pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan sehari-hari dan dilaporkan pada pastor seminggu sekali. Pastor akan memeriksa jurnal tersebut tanpa bertatap muka. Pastor paroki hanya menanyakan pada karyawan apabila menemukan catatan pekerjaan yang kurang jelas atau yang belum dapat diselesaikan. Pastor tidak akan menemui karyawan, bila catatan pekerjaannya sudah jelas. Situasi tersebut menunjukkan bahwa kurangnya relasi interpersonal, komunikasi, dan umpan balik pada karyawan. Situasi tersebut berkaitan dengan kurangnya pendampingan, pelatihan, dan umpan balik kepada karyawan diduga akan berhubungan dengan kurangnya rasa memiliki (sense of belonging) karyawan terhadap paroki sehingga terkesan karyawan kurang peduli dengan pekerjaannya.

Kemungkinan adanya gap antara kepemimpinan pastor paroki dalam melayani umat dan karyawan diduga dapat mempengaruhi keterikatan emosi karyawan pada organisasi. Rutinitas pekerjaan membuat karyawan terkadang menjadi bosan dan kurang bersemangat. Karyawan kurang dapat mengembangkan kreativitas dan terjebak dalam pekerjaan yang membosankan. Kondisi tersebut memungkinkan menjadi salah satu sebab karyawan kurang peduli pada urusan pekerjaan.

(8)

Hasil penelitian mengungkapkan karyawan dengan komitmen afektif tinggi akan memberikan usaha yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Karyawan yang memiliki komitmen ingin tetap bertahan dan mendukung pencapaian tujuan organisasi, oleh karena itu kecil kemungkinanannya untuk keluar/meninggalkan organisasi (Nehme, 2009).

Komitmen organisasional memfokuskan pada proses dimana seseorang berpikir tentang hubungannya dengan organisasi, dengan pemikiran mempertimbangkan keselarasan antara nilai dan tujuannya dengan organisasi. Komitmen organisasi dalam hal ini lebih dipahami dengan pendekatan sikap (attitudinal aproach) yang mencerminkan keinginan seseorang untuk menerima dan berusaha untuk mewujudkan tujuan organisasi (Yulianti, 2015).

Komitmen organisasional berdasarkan pendekatan sikap berhubungan dengan pengalaman kerja yang membuat orang merasa bagian dari organisasi, mempunyai hubungan secara emosional dengan organisasi dan merasa memiliki organisasi, ada perasaan kesatuan dan kebersamaan dalam organisasi; merupakan ‘goal congruence orientation’ (pendekatan kongruensi tujuan), yaitu sejauh mana seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi, memiliki tujuan-tujuan pribadi yang sejalan dengan tujuan-tujuan-tujuan-tujuan organisasi. Pendekatan sikap mencerminkan keinginan seseorang untuk menerima dan berusaha untuk mewujudkan tujuan organisasi (Yulianti, 2015).

Dalam perkembangannya komitmen organisasional yang berhubungan dengan pendekatan kongruensi tujuan, yaitu komitmen afektif yang menunjukkan kuatnya keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia

(9)

memang setuju dengan organisasi itu dan memang berkeinginan untuk melakukannya. Menurut Meyer, Allen dan Smith (1993), komitmen afektif merupakan suatu keterikatan emosional karyawan terhadap organisasi yang disebabkan oleh identifikasi diri dan kepercayaan karyawan pada tujuan organisasi yang ditunjukkan dengan kerja keras yang tercermin melalui keterlibatan dan perasaan senang serta menikmati peranannya dalam organisasi.

Komitmen afektif akan mampu mengukur sejauhmana seorang karyawan merasa terlibat di dalam pekerjaannya, serta menikmati dirinya menjadi bagian dari organisasi, serta mengukur loyalitasnya untuk tetap bertahan yang ditunjukkan dengan perilaku positif. Perilaku positif karyawan ditunjukkan dengan jarang terlambat datang ke tempat kerja, tingkat absensi yang rendah, produktivitas yang tinggi, serta berusaha menampilkan kinerja yang terbaik sehingga dapat menurunkan turnover, mengurangi retensi dan absensi, selalu ingin mengembangkan diri dan senang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di organisasi tempatnya bekerja (Meyer dan Allen, 1997).

Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang tinggi cenderung menunjukkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap organisasi, meningkatan keterlibatan dalam aktivitas organisasi, keinginan untuk mencapai tujuan organisasi, dan keinginan untuk dapat tetap bertahan dalam organisasi (Rhoades et al., 2001). Menurut Meyer dan Allen (1997) disebutkan komitmen afektif memiliki hubungan terkuat dengan berbagai konsekuensi hasil dari sikap dan perilaku karyawan.

(10)

Menurut Boon, Safa, dan Arumugam (2006) komitmen afektif dinilai paling bermanfaat bagi organisasi dibanding komitmen normatif dan keberlanjutan (continuen) dikarenakan karyawan dengan komitmen afektif yang tinggi cenderung merasa yakin terhadap organisasi sehingga akan berusaha optimal untuk meningkatkan kualitas kerja demi mencapai tujuan organisasi.

Komitmen afektif pada karyawan merupakan salah satu perilaku kerja yang ditimbulkan karena sudah melibatkan faktor emosional. Karyawan dengan komitmen afektif akan bekerja dengan perasaan senang dan menikmati perannya dalam organisasi. Pegawai dengan komitmen afektif benar-benar ingin menjadi karyawan di perusahaan yang bersangkutan sehingga memiliki keinginan untuk berusaha optimal demi tercapainya tujuan organisasi.

Pemimpin merupakan kunci keberhasilan utama dalam suatu perusahaan. Pemimpin yang memberikan penghargaan seperti pujian, pengakuan akan kinerja karyawan atas kinerja karyawan akan memberikan kepuasan kerja secara non finansial (intrinsic rewards).

Selain pandangan karyawan terhadap kepemimpinan pastor paroki, variabel keterlibatan (selanjutnya disebut ‘engagement’) karyawan juga merupakan salah satu variabel yang kemungkinan mempengaruhi komitmen afeksi (Saks, 2006).

Engagement karyawan telah mendapatkan banyak perhatian di kalangan

akademisi pada dekade terakhir. Namun, konsep ini masih dianggap baru, penelitian akademis relatif sedikit dilakukan untuk hal ini (Saks, 2006).

(11)

dipengaruhi sisi afektif terkait dengan kondisi batin seseorang yang menuntun secara aktif dalam mengekspresikan dan melibatkan secara emosional, kognisi, dan fisik dalam melaksanakan peran pekerjaannya (Karyawan secara sadar mengikat dirinya dengan pekerjaannya, dan ketika mereka sudah terikat maka mereka melaksanakan pekerjaan dan mengekspresikan diri mereka secara fisik, kognitif dan emosional selama pelaksanaan pekerjaannya (Saks, 2006; Egyemang, 2013).

Engagement berhubungan dengan gagasan lain dalam perilaku

organisasi (Saks, 2006). Gagasan dalam perilaku organisasi ini sama-sama berbicara tentang hubungan karyawan dengan organisasinya. Sebagai salah satu gagasan dalam perilaku organisasi, engagement karyawan berbeda dengan gagasan lain seperti komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan sikap dan keterkaitan terhadap organisasi. Sementara engagement karyawan bukan merupakan sikap, melainkan tingkat dimana seorang individu penuh perhatian dan senang dalam melakukan tugas yang diberikan (Nusantria, 2012). Karyawan merasa bahwa pekerjaan mereka benar-benar berpengaruh positif terhadap kesejahteraan fisik mau pun psikologi seseorang (Markos, 2010).

Jika setiap bagian dari sumber daya manusia tidak ditangani dengan cara yang tepat, maka kemungkinan besar karyawan akan gagal untuk sepenuhnya melibatkan diri dalam pekerjaan mereka. Inisiatif perbaikan yang diambil oleh manajemen tidak bisa berbuah tanpa adanya upaya yang diarahkan pada keterlibatan dan engagement karyawan (Markos, 2010).

(12)

Menurut Schaufelli dan Bakker (2002) karyawan yang engage terhadap pekerjaan (work engagement) memiliki perasaan positif mampu untuk melaksanakan pekerjaan dengan lebih bersemangat (vigor), berdedikasi

(dedication) dan memiliki ketertarikan pada pekerjaan yang tinggi (arbsorption). Engagement karyawan sebagai suatu keyakinan yang kuat terhadap pelaksanaan

pekerjaan dan diketahui dapat mempengaruhi komitmen afektif karyawan (Schaufeli dan Bakker, 2010). Peningkatan work engagement karyawan berhubungan secara langsung dengan produktivitas, keuntungan serta menurunkan tingkat absensi karyawan dan retensi (Bakker dan Leiter, 2010).

Dengan dipahaminya persespsi servant leadership, engagement karyawan dan komitmen afektif dari karyawan yang bekerja di paroki, maka selaku pimpinan paroki, pastor paroki diharapkan dalam menjalankan perannya dapat menerapkan kebijakan-kebijakan strategis yang tepat dalam mengelola pribadi karyawan paroki agar tujuan pelayanan pastoral paroki dapat dicapai secara optimal. Oleh karena itu, peneliti ingin menganalisis servant leadership, engagement karyawan dan komitmen afektif karyawan paroki di Kevikepan

Semarang.

1.2 Perumusan masalah

Pelayanan pastor paroki dituntut untuk memberikan perhatian lebih besar dan keterlibatan langsung pada umat sehingga membuat urusan pembinaan karyawan menjadi kurang terperhatikan dengan baik. Pastor paroki memiliki kepercayaan penuh bahwa karyawan sudah dapat menyelesaikan pekerjaan

(13)

dengan baik. Hubungan relasi interpersonal, kominikasi dan umpan balik kepada karyawan dirasakan belum maksimal. Pada sisi lain, karyawan perlu mendapatkan pendampingan, pelatihan, dan umpan balik dari pastor paroki sebagai pimpinan paroki. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya rasa memiliki (sense of

belonging) karyawan terhadap paroki dan dapat berdampak pada sikap karyawan

yang kurang peduli dengan pekerjaannya dan kurang bersemangat menyelesaikan pekerjaan.

Komitmen afektif akan mampu mengukur sejauh mana seorang karyawan merasa terlibat di dalam pekerjaannya, serta menikmati dirinya menjadi bagian dari organisasi, serta mengukur loyalitasnya untuk tetap bertahan yang ditunjukkan dengan perilaku positif (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang tinggi cenderung menunjukkan rasa memiliki

(sense of belonging) terhadap organisasi, meningkatan keterlibatan dalam

aktivitas organisasi, keinginan untuk mencapai tujuan organisasi, dan keinginan untuk dapat tetap bertahan dalam organisasi (Rhoades et al., 2001).

Menurut Schaufelli dan Bakker (2002) karyawan yang engage terhadap pekerjaan (work engagement) memiliki perasaan positif mampu untuk melaksanakan pekerjaan dengan lebih bersemangat (vigor), berdedikasi

(dedication) dan memiliki ketertarikan pada pekerjaan yang tinggi (arbsorption).

Kepemimpinan servant leadership dan engagement karyawan merupakan variabel yang diduga mampu mempengaruhi kuat lemahnya komitmen afeksi. Karyawan yang mampu mempersepsikan hal positif terhadap servant leadership pastor paroki kemungkinan akan meningkatkan komitmen afektif karyawan.

(14)

Karyawan yang engage juga diprediksi akan meningkatkan komitmen afektif. Permasalahan yang muncul adalah apakah servant leadership dan engagement karyawan paroki berpengaruh positif terhadap variabel komitmen afektif.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalah tersebut, maka pertanyaan penelitian ini meliputi:

1. Apakah kepemimpinan servant leadership pastor paroki memberikan pengaruh positif pada peningkatan komitmen afektif karyawan paroki? 2. Apakah engagement karyawan paroki memberikan pengaruh positif pada

peningkatan komitmen afektif karyawan paroki?

1.4 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Menguji pengaruh kepemimpinan servant leadership pastor paroki terhadap komitmen afektif karyawan paroki.

2. Menguji pengaruh engagement karyawan terhadap komitmen afektif karyawan paroki.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitan yang dilakukan diharapkan memberikan manfaat bagi: 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan komitmen organisasi khususnya komitmen afeksi pada organisasi, servant leadership dan engagment pada karyawan.

(15)

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini dimaksudkan menjadi bahan masukan bagi paroki-paroki lain dalam melakukan perbaikan berkelanjutan serta pemilihan strategi dalam pengelolaan sumber daya manusia terkait dengan ada atau tidaknya pengaruh

engagement karyawan dan kepemimpinan servant leadership terhadap

komitmen afektif karyawan Paroki di Wilayah Kevikepan Semarang.

1.6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Di dalam penelitian ini, peneliti menetapkan ruang lingkup dan batasan penelitian sebagai berikut:

1. Penelitian dilakukan pada tiga variabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (servant leadership dan engagement karyawan) terhadap variabel terikat (komitmen afeksi).

2. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan instrumen penelitian, yaitu

Affective Commitment Scale (ACS) yang dikutip dari Three Component Models Questionnaire beradasarkan teori Meyer dan Allen (1993); Servant Leadership Scale (SLQ) dari hasil penelitian Barbuto dan Wheeler (2006)

terdiri dari 5 (lima) dimensi, yaitu altruistic calling, emotional healing,

wisdom, persuasive mapping, dan organizational stewardship dan untuk

mengukur engagement karyawan.digunakan Ultrech Work Engagement Scale (UWES) Preliminary Manual Version 1.1, beradasarkan teori Schaufeli, Bakker, dan Salanova (2006) yang terdiri dari 3 (tiga) dimensi, yaitu vigor,

(16)

3. Subyek penelitian adalah karyawan Paroki di Wilayah Kevikepan Semarang dengan cara mengambil responden dari populasi karyawan paroki yang telah diangkat menjadi karyawan tetap.

1.7 Sistematika Penelitian

Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu Pendahuluan, Landasan Teori, Metodologi Penelitian, Hasil Penelitian dan Pembahasan, dan Penutup, dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Bab I - Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup dan batasan penelitian serta sistematika penelitian. Bab ini ditujukan untuk mengantarkan pembaca dan menjelaskan siapa dan apa yang diteliti, mengapa dan apa diteliti, kapan diteliti, dan bagaimana penelitian tersebut dilakukan.

2. Bab II - Landasan Teori

Bab ini berisikan tinjauan pustaka yang menguraikan mengenai beberapa teori dan hasil penelitian sebelumnya tentang komitmen afektif, terhadap kepemimpinan servant leadership dan engagement karyawan serta hubungan diantaranya. Dalam landasan teori ini, juga dijelaskan tentang teori-teori yang kuat yang berkaitan dengan penelitian dan hipotesis-hipotesis yang dikembangkan sebagai jawaban sementara terhadap suatu masalah dan masih harus dibuktikan kebenarannya dalam serangkaian uji dalam penelitian ini.

(17)

acuan strategi peneliti agar peneliti dapat memperoleh data dan alat penelitian yang valid sesuai dengan karakteristik dan tujuan penelitian. Bab ini juga berisikan definisi istilah, penjelasan tentang populasi dan sampel yang digunakan, instrumen penelitian, penjelasan mengenai pengumpulan data, serta penjelasan mengenai metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.

4. Bab IV - Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab ini menjelaskan tentang hasil penelitian dan pembahasan serta uraian tentang hasil pengujian hipotesis. Bab ini terdiri dari deskripsi data yang diperoleh, analisis validitas dan reliabilitas kuesioner serta penjelasan hasil uji hipotesis dan uraian pembahasannya.

5. Bab V – Penutup

Bab ini menjelaskan tentang simpulan penelitian, implikasi dari temuan penelitian, keterbatasan yang dialami oleh peneliti serta saran yang diajukan.

Referensi

Dokumen terkait

Adanya suatu komitmen afektif dapat membuat para karyawannya lebih memiliki hasrat yang kuat untuk tetap bekerja perusahaan.1.

Menurut Adryanto (2014:158), employee engagement adalah tingkat komitmen karyawan terhadap suatu atau seseorang di dalam organisasi yang menunjukkan sejauh mana

Sedangkan karyawan yang mempunyai komitmen afektif rendah terlihat tidak adanya perubahan, masa bodoh, “cuek”, tidak peduli, hanya ikut-ikutan bahkan menjegal program 5S

Peneliti tertarik untuk meneliti tentang Employee Engagement tenaga pendidik yang ada pada instansi sekolah di bawah naungan Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang

Setiap perusahaan menginginkan karyawannya memiliki komitmen yang tinggi, serta bagi karyawan komitmen kerja terhadap organisasi atau perusahaan sangat penting

Hal ini disebabkan oleh kebutuhan social karyawan, karyawan merasa kurang dapat menunjukkan kemampuan terbaiknya dalam bekerja karena pimpinan kurang memberikan

Penelitian ini dibatasi oleh ruang lingkup yang membahas budaya kerja terhadap komitmen karyawan. Adapun yang merupakan budaya kerja yang akan diteliti adalah bekerja cerdas,

Secara awam, dapat dikatakan employee engagement adalah bagaimana menggambarkan tingkat keterikatan antara karyawan dengan perusahaan, dimana karyawan bukan hanya bekerja