Singgungan Kejaksaan Dan PLN Dalam Kasus Pencurian Listrik
Oleh : B.G.M. Widipradnyana Arjaya
Kapuas post edisi kamis, 02 April 2015 memberitakan bahwa Kebocoran listrik di Kabupaten Sintang terbilang yang paling tinggi di Kalimantan Barat yaitu mencapai 18 persen, dengan perbandingan rata-rata tingkat kebocoran listrik di daerah lain dalam provinsi Kalimantan Barat hanya sekitar 11 persen. Dalam lingkup yang lebih besar di tingkat nasional kebocoran listrik di Kalbar merupakan yang tertinggi di Indonesia. Tingkat kebocoran listrik di Sintang yang mencapai 18 persen tersebut membuat Negara mengalami kerugian mencapai Rp 7,2 Milyar per bulan yang diperoleh dari perhitungan biaya produksi per 1 kWh sebesar Rp 4000,- dikalikan dengan kebocoran listrik yang mencapai 1,8 juta kWh perbulan. Pencurian listrik ini terkadang tidak selalu disadari oleh masyarakat, di lapangan yang terjadi adalah adanya oknum yang mendatangi masyarakat mengaku sebagai petugas PLN dan menawarkan kepada masyarakat untuk mengiritkan penggunaan listriknya. Untuk melakukan tindakan pengiritan listrik tersebut masyarakat yang tidak mengerti dikenakan sejumlah uang, padahal sebenarnya oknum tersebut tidak melakukan pengiritan namun melakukan pencurian listrik dari sambungan PLN, yang terbaru bahkan gedung KPU Daerah Sintang pun menjadi korba ok u pe girita listrik ini. Pencurian listrik ini adalah pangkal dari sering padamnya aliran listrik di kabupaten Sintang, beban penggunaan menjadi tidak seimbang akibat pencurian listrik sehingga tegangan menjadi drop, dan satu-satunya pilihan PLN adalah melakukan pemadaman.
Dari pihak PLN sendiri untuk menyelesaikan kasus pencurian listrik ini dapat dilakukan dengan menurunkan tim P2TL ke lokasi yang patut diduga telah terjadi pencurian listrik dan menerapkan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh konsumen. Selain itu dari sisi penegakan hukum untuk menindak pencurian listrik yang telah menyebabkan kerugian Negara terhadap pelakunya dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui lembaga peradilan yang berwenang. Upaya penegakan hukum ini tak hanya berlaku untuk pencurian listrik di kabupaten Sintang semata, untuk daerah lain pun dapat dilakukan hal yang sama karena selama masih dalam wilayah NKRI sumber hukum yang digunakan adalah sama. Singgungan antara PLN dan Kejaksaan terjadi pada fase penegakan hukum ini, secara hukum pertanggungjawaban yang dapat dimintakan kepada pelaku pencurian listrik adalah pertanggungjawaban secara pidana dan juga perdata, dan kejaksaan sebagai aparat penegak hukum memiliki kewenangan untuk bertindak dalam bidang pidana maupun perdata.
ayat (1) UU No. 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan mengenai penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum tanpa izin dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Terhadap konsumen yang instalasi listriknya menjadi korban oknum tersebut sebaiknya hanya dibebankan kewajiban membayar kelebihan pemakaian beserta denda saja sesuai sanksi P2TL, tetapi perlu didalami juga oleh penyidik apakah ada konsumen yang telah mengetahui bahwa penghematan tersebut dilakukan secara melawan hukum namun tetap dengan sengaja meminta kepada oknum tersebut untuk melakukan pencurian listrik. Terhadap konsumen yang seperti itu dapat dikenakan pasal pencurian listrik sebagaimana pasal pasal 51 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2009 atau diterapkan teori penyertaan, dimana konsumen tersebut dengan sengaja dan penuh kesadaran menyuruhlakukan oknum tertentu untuk mendistribusikan tenaga listrik secara melawan hukum.