• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DUKKHA DALAM AJARAN BUDDHA SEBUAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP DUKKHA DALAM AJARAN BUDDHA SEBUAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DUKKHA DALAM AJARAN BUDDHA: SEBUAH UPAYA

MEMPERKENALKANKRISTUS KEPADA PENGANUT BUDDHISME

Oleh Daniel Timoti

PENDAHULUAN

Pertanyaan mengenai asal-muasal penderitaan sering kali tidak dapat dijelaskan secara penuh. Penderitaan sering kali muncul secara tiba-tiba, menyita bukan hanya pikiran tetapi juga

emosi manusia. Tak jarang manusia menjadi cemas, kuatir, dan takut setiap kali dihadapkan pada

realita penderitaan. Penderitaan menjadi sesuatu yang menakutkan, mengerikan, dan tidak

diinginkan keberadaannya.

Melihat betapa peliknya masalah tentang penderitaan, beragam kelompok kemudian

mencoba untuk memformulasikan apa itu penderitaan dan penyebabnya. Dan salah satu

kelompok yang mencoba memformulasikan hal tersebut adalah kaum Buddhisme. Para pengikut

aliran ini kemudian menyebut penderitaan dengan istilah dukkha (suffering).

Secara singkat konsep dukkha dalam Buddhisme mengajarkan manusia untuk tidak bergantung pada sesuatu yang dapat berubah (changeable things). Bagi penganut Buddhisme manusia menderita karena mengharapkan hal-hal yang sementara―tidak tetap. Manusia

mengharapkan sesuatu (assada) namun sering kali terluka karena keinginannya hanya sementara. Segala sesuatu cepat sekali berubah dan pasti berubah. Melalui konsep ini, para penganut

Buddhisme kemudian mengembangkan suatu sikap untuk tidak bergantung pada sesuatu yang

dapat berubah. Tujuannya jelas agar terhindar dari segala macam penderitaan.

Namun, kepercayaan yang ditanamkan kaum Buddhisme ternyata sering kali terbentur

dengan pertanyaan: adakah sesuatu hal (atau apapun) yang statis di dunia ini? Atau dari mana

(2)

Dengan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas maka makalah ini dituliskan. Makalah

kali ini akan berusaha mengkonfrontasi pandangan-pandangan kaum Buddhis dengan

menunjukkan kesalahan konsep mereka. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan Kristus

kepada mereka. Oleh karena itu penulis akan coba memaparkan konsep dukkha terlebih dahulu kemudian membuat suatu titik pijak kepercayaan bersama untuk menunjukkan bahwa eksistensi

Allah nyata.1 Setelah penjelasan tersebut barulah penulis membuat counter terhadap pandangan penganut Buddha.

KONSEP DUKKHA DALAM BUDDHISME

Definisi dukkha

Secara umum, dukkha diartikan sebagai penderitaan (sufferring) atau suatu keadaan yang yang menyebabkan sengsara.2 Namun menurut Walpora Rahula, dukkha memiliki pengertian lebih dari sekedar penderitaan. Baginya dukkha memiliki sebuah dimensi filosofis yang tidak dapat diungkapkan lewat bahasa. Rahula menuliskan demikian:3

“..as opposed to the word sukha meaning „happiness‟, „comfort‟ or „ease‟. But the term

dukkha as the First Nobel Truths, which represent the Buddha‟s view of life and the world, has a deeper philosophical meaning and cannotes enormously wider senses... it also includes deeper ideas such as „imperfection‟, „impermanence‟, „emptiness‟, „insubstantiality‟. It is difficult therefore to find one word to embrace the whole conception of the term dukkha as the First Noble Truths..”

Menurut Buddha penderitaan manusia diakibatkan karena segala sesuatu di dalam dunia ini

berubah, tidak ada yang tetap. Bahkan diri manusia pun tidak tetap (annata).4 Hal ini dapat dilihat dari keinginan manusia yang tidak berhenti untuk puas terhadap suatu hal. Keinginan

1Penjelasan ini dibuat mengingat ada sebagian penganut Buddhis yang tidak percaya konsep tentang Allah. 2

Robert E. Buswell, Jr., ed. Encyclopedia of Buddhism Vol. 1 (Macmillan: Thompson, 2004) 239.

3Walpora Rahula, What The Buddha Taught (New York: Grove Press, 1974) 17.

4Buddha mengatakan bahwa pikiran kita memang nyata namun selalu berubah-ubah juga. Kevin

(3)

yang tidak ada habisnya ini menimbulkan hasrat ingin dan ingin lagi. Akibatnya kehidupan

manusia tidak pernah bahagia. Bila kehidupan tidak bahagia (sukha) maka berarti kehidupan adalah dukkha, dan memang natur kehidupan ini adalah penderitaan. Tidak ada manusia yang dapat lepas dari penderitaan. Selama manusia masih hidup dalam dunia maka secara otomatis

akan masuk dalam siklus roda kehidupan (The Wheel of Life)― menjalami samsara dan hukum

karma. 5

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dukkha merupakan salah satu dari empat kebenaran mulia yang diajarkan oleh Buddha. Dukkha, bagi penganut Buddha dianggap seperti dokter yang dapat men-diagnosis penyakit manusia secara rinci, meneropong jauh ke dalam permasalahan

diri manusia dan menyediakan jawaban atas penderitaan yang dialami oleh manusia.6 Oleh

karena itu, pada bagian kali ini penulis akan membahas secara singkat ke-empat kebenaran mulia

penganut Buddhisme.

Kebenaran mulia pertama: Dukkha (Pali: dukkha)

Kebenaran pertama ini menjelaskan realita kehidupan manusia sarat dengan penderitaan.

Kondisi fisik manusia semakin hari semakin menurun, penyakit, kematian, perasaan sedih,

ketidakpuasan diri bahkan lahir dalam dunia pun dikategorikan sebagai penderitaan.7 Kebenaran

ini merupakan kebenaran universal yang pasti dialami semua orang di dunia, tak terkecuali.

Konsep penderitaan yang dimaknai oleh penganut Buddhisme tentu berbeda dengan Judeo-Christian. Bagi Buddhis, segala sesuatu yang diinginkan namun tidak tercapai itu dinamakan

5John Bowker, ed., The Cambridge Illustrated History of Religions (Cambridge: Ivy, 2002) 78. Roda

kehidupan itu disebut juga sebagai samsara atau dalam bahasa lain disebut sebagai perputaran kelahiran. Samsara memandang bahwa kehidupan ini dilihat dalam sudut pandang ilusi (maya). Samsara ini juga berhubungan dengan karma seperti dalam agama Hindu yang percaya bahwa segala tindakan manusia memiliki pengaruh kelahiran seseorang. Pada intinya The Wheel of Life ini hanya dapat dihentikan saat manusia mencapai nirvana. Kevin O‟Donnell, Inside World Religions, 51.

6Walpora Rahula, What The Buddha Taught, 17.

(4)

dengan penderitaan; begitu juga bila memiliki sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan adalah

penderitaan juga.8

Kebenaran mulia kedua: Samudaya, the arising or origin of dukkha

Segala keinginan, semisal: hawa nafsu dan gairah seksual merupakan sumber utama

timbulnya penderitaan dalam kehidupan ini. Keinginan yang dimaksud dalam bagian ini tidak

melulu hanya terkungkung pada dua pilihan tersebut saja. Keinginan untuk menjadi kaya,

mengejar harta, kekuasaan, dan identitas diri juga termasuk dalam sumber utama penderitaan

dalam dunia.9 Para penganut Buddhisme percaya bahwa keinginan-keinginan tersebut datang

dari dalam diri sendiri. Keinginan tersebut sesungguhnya sudah tercemar oleh ketidakbenaran

(bagian ini akan dijelaskan kemudian).10 Oleh karena setiap manusia memiliki keinginan maka

manusia menderita. Apabila seseorang ingin menyangkal tabiat penderitaan dari dalam dirinya,

maka seseorang harus bersatu dulu dengan pikirannya diri sendiri.11

Kebenaran mulia ketiga: Nirodha, the cessation of dukkha

Untuk dapat lepas dari penderitaan, seseorang harus menyerah dan melepaskan setiap

keinginan sehingga tidak ada lagi hasrat yang tersisa. Dan ketidakadaan keinginan ini disebut

sebagai nirvana atau nirodha yang artinya mengakhiri atau menghentikan.12 Kebenaran mulia ketiga ini berhubungan dengan kebenaran ke-empat.

8Robert E. Buswell, Jr., ed. Encyclopedia of Buddhism Vol. 1 (Macmillan: Thompson, 2004) 296. 9

Thomas A Robinson & Hillary Rodrigues, ed., World Religions, 202.

10Ibid.

(5)

Kebenaran mulia keempat: Magga, the way leading to the cessation of dukkha

Buddha mengajarkan bahwa terdapat delapan lipat jalan mulia untuk mengakhiri

penderitaan:13 pertama, right view. Pandangan yang benar di sini adalah menerima empat kebenaran mulia dan delapan lipat jalan. Kedua, right resolve. Manusia harus menolak segala macam bentuk keinginan, jangan melukai atau mengganggu makhluk hidup lain. Ketiga, right speech. Manusia jangan berbohong atau menghina sesamanya. Keempat, right behavior. Manusia jangan menghancurkan atau mengeksploitasi lingkungan hidup. Manusia harus belajar

mencukupkan diri dengan apa yang ada; jangan pula melakukan zinah. Kelima, right occupation. Manusia harus mendapatkan kehidupan dengan jalan tidak mengganggu sesama. Keenam, right effort. Manusia harus melupakan, mematikan, dan membuang segala keinginan jahat dalam hati; usahakan hidup yang baik agar dapat bertumbuh semakin baik dari hari ke hari. Ketujuh, right contemplation. Manusia harus menjadi manusia yang taat, peduli, tenang, dan lepas dari segala macam nafsu dan penderitaan. Kedelapan, right meditation. Ketika manusia sudah meninggalkan semua keinginan dirinya, nafsu jahat, meninggalkan kesenangan dan kesedihannya (semua

perasaan), kemudian harus masuk ke dalam empat tahap meditasi yang merupakan hasil dari

pemusatan pikiran.

KEADAAN MANUSIA MENURUT BUDDHISME

Menurut ajaran Buddhisme manusia telah rusak dan corrupt. Manusia tidak lagi dapat membuat pilihan yang benar. Oleh sebab itu orientasi keinginan manusia selalu merujuk kepada

hal-hal yang jahat (atau yang tidak sepatutnya dipikirkan). Dan karena orientasi keinginan

manusia tersebut pada akhirnya menghasilkan penderitaan.14

(6)

Selain diri manusia telah rusak, penganut Buddhisme juga percaya bahwa manusia masuk

dalam fase kebodohan (avijja) dan kegelapan batin. Dalam keadaan yang demikian manusia tidak dapat memahami arti kebenaran empat kebenaran mulia, hukum patticasamuppada, hukum

karma, dan hukum kelahiran kembali.15

Fase kebodohan yang melanda manusia ini pada akhirnya mencakup ketidaktahuan pikiran

manusia memahami penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, jalan akhir penderitaan,

masa lampau, masa depan, dan hukum sebab-akibat.16 Manusia pada hakekatnya tidak dapat

melihat kebenaran yang hakiki, kehilangan pikiran yang benar, dan penuh hawa nafsu.

Kesimpulan akhirnya adalah penganut Buddhisme percaya bahwa dunia ini pada dasarnya

sudah terlahir dalam kejahatan dan penderitaan. Buddha menjelaskan bahwa keadaan manusia

ibarat seseorang yang terkena panah beracun. Orang tersebut tidak akan bertanya siapa yang

memanah dirinya, tapi yang ia ketahui adalah bahwa dirinya dalam keadaan yang sekarat dan

butuh pertolongan. Keadaan yang digambarkan oleh Buddha adalah suatu keadaan di mana

manusia tidak berdaya, penuh dengan sengsara dan penderitaan. Dengan demikian manusia

secara otomatis akan mencari jalan masing-masing untuk mendapat pelepasan (nirvana).17 Konsep nirvana ini melekat sekali dalam pengajaran Buddha. Bagi mereka ketika

seseorang berhasil keluar dari lingkaran hukum karma maka tidak akan ada lagi kelahiran yang ada hanya kehidupan yang diterangi (enlightment).18

15

Tim Penyusun, Pelajaran Agama Buddha SMA III (Jakarta: Hanuman Sakti, 1996) 28. Kebodohan pada diri manusia sebenarnya memiliki cakupan yang luas yaitu: ketidaktahuan mengenai penderitaan, sebab penderitaan, akhir dari kehidupan, dan setiap segi kehidupan.

16

Protestant Missionaries, Religions of Missions Fields (Student Volunteer Movement, 1985) 105.

17Wendy Doniger, ed., Merriam-Wenster’s Encyclopedia of World Religions (Springfield:

Merriam-Webster, 1999) 147.

(7)

COUNTER KRISTEN TERHADAP PENGANUT BUDDHISME

Dari pemaparan konsep di atas sebenarnya sudah nampak kesalahan berpikir (logika)

penganut Buddhisme. Dalam bahasa Gregory Koukl, pemikiran kaum Buddhis sama saja dengan

bunuh diri.19 Melihat ketimpangan yang cukup signifikan dalam ajaran Buddha, penulis sangat

yakin sekali mereka dapat dimenangkan melalui proses apologetika. Dalam bagian ini penulis

akan memaparkan poin-poin apa saja yang dapat digunakan untuk berapologetika kepada kaum

Buddhis, tentu dalam rangka memperkenalkan Kristus pada mereka.

Pertama, kaum Buddhis mempercayai bahwa manusia telah rusak dan semua keinginan itu

diproduksi dari kerusakan manusia itu sendiri. Oleh karena manusia telah rusak dan segala

keinginannya telah tercemarlah maka derita umat manusia muncul. Pertanyaannya adalah,

apakah benar demikian? Biasanya kaum Buddha akan menjawabnya (sesuai dengan konsep yang

telah mereka pelajari) bahwa penderitaaan datang dari keinginan diri manusia itu sendiri.

Manusia ingin memiliki sesuatu atau mempercayai sesuatu yang dapat berubah (changeable) sehingga mereka menderita. Kalau memang demikian jawabannya, maka pertanyaan yang lebih

mendasar lagi adalah apakah mungkin diri manusia (eksistensinya) dipisahkan dari keinginan

manusia itu sendiri? Jika mereka menjawab bahwa antara keinginan dan pribadi manusia dapat

dipisahkan maka sejujurnya mereka telah menyalahi aturan delapan jalan yang telah dibuat.

Bukankah dalam konsep yang mereka pahami, Buddha mengatakan bahwa untuk lepas dari

penderitaan seseorang harus menjadi pribadi yang baik (dalam arti melakukan segala yang baik

semisal tidak membunuh, menyakiti sesama, atau pun memperkosa seseorang). Menjadi orang

baik seyogianya sudah masuk dalam ranah keinginan seseorang. Andaikata seorang pria berkata,

“Saya ingin menjadi seorang yang baik” pertanyaannya apakah sang pria tersebut meminta tanpa

adanya keinginan? Tentu saja tidak. Logikanya adalah karena pria tersebut menginginkan untuk

(8)

menjadi baik maka keinginan itulah yang mendorongnya mengatakan kalimat tersebut. Demikian

juga pribadi manusia tidak dapat dipisahkan dari keinginannya.20 Bukankah Sidharta Gautama

yang dipercaya sebagai seorang yang telah „diterangi‟ nyatanya juga memiliki keinginan diri sendiri? Dalam artikelnya, Bedjo Lie mengatakan demikian:21

“Menurut pengajarannya, seseorang seharusnya menginginkan untuk diselamatkan atau dibebaskan dari sikap berpusat pada diri sendiri (selfishness) karena sikap inilah yang menyebabkan penderitaan. Akan tetapi kontradiksi moralnya ialah: seseorang harus menginginkan untuk dapat diselamatkan dari keinginan atau selfishness. Sementara itu, menginginkan untuk menyelamatkan diri sendiri adalah sama egoisnya dengan tindakan-tindakan lain yang pada akhirnya ditujukan untuk kepuasan diri sendiri..”

Bedjo Lie menuliskan bahwa, bahkan, tokoh sekaliber Sidharta Gautama saja memiliki

keinginan untuk mencapai nirvana. Bukankah pemikiran penganut Buddhisme dalam hal ini sangat tidak konsisten?

Bila dilihat dalam perspektif kekristenan, ajaran Buddhisme justru mendapatkan latar

belakang yang jelas mengapa dunia ini penuh dengan penderitaan. Kekristenan mengajarkan

bahwa penderitaan merupakan akibat dari ulah manusia yang tidak taat kepada Tuhan. Tentu

kebenaran ini merujuk pada Adam dan Hawa. Manusia pertama itu menolak untuk taat terhadap

perintah Tuhan, dan sejak kejadian itu manusia memiliki tanggung jawab untuk mengusahakan

segala sesuatu dengan tenaganya sendiri. Dosa membuat manusia menderita (lih. Kej. 3).

Masalah kedua dalam Buddhisme adalah masalah keinginan manusia. para penganut

Buddha menyarankan hukum delapan jalan sebagai obat penawar penderitaan umat manusia.

Manusia yang sudah rusak terus menderita dalam dunia ini. Manusia terus menjalani siklus

kehidupan: lahir, hidup, mati, terlahir lagi dan mati lagi―begitu seterusnya. Karena melihat

20Jeyachandran mengatakan bahwa sebuah keberadaan tanpa keinginan adalah sebuah kontradiksi

eksistensial maupun logis. Ravi Zacharias & Norman Geisler, Who Made God (terj. Handy: Bandung: Pionir Jaya, 2009) 204.

21Penderitaan menurut agama Buddha: sebuah tinjauan kristis dari perspektif Kristen dalam jurnal Veritas

(9)

realita inilah hukum delapan jalan muncul. Permasalahannya adalah dari mana para penganut

Buddha (termasuk pemimpin mereka, Sidharta Gautama) mengetahui bahwa hukum jalan

delapan merupakan cara untuk lepas dari penderitaan dunia? Bukankah menurut Buddhisme

manusia hidup dalam fase kebodohan (avijja) yang mana tidak dapat memahami kebenaran. Boro-boro melakukan kebenaran, paham saja tidak.

Kalau demikian kenyataannya, berarti sah saja bila dikatakan bahwa segala pengajaran

Buddha merupakan ajaran dari sesuatu yang bodoh dan tidak bertanggung-jawab. Toh manusia

tidak akan pernah dapat mengerti kebenaran. Oleh sebab itu terdapat kesalahan logika dalam

pemikiran Buddha. Sesungguhnya bila pemahaman ini dipakai terus-menerus hanya akan

berujung kepada sesuatu yang tidak masuk akal.

Dalam ajaran Kristen beda lagi. Orang Kristen percaya bahwa manusia tidak memiliki

kemampuan untuk mengenal Allah secara utuh karena ada penyebabnya yaitu dosa manusia.

Dosa manusia menghalangi manusia untuk mengenal Allah secara utuh. Namun tidak utuh

mengenal Allah bukan berarti tidak dapat mengenal Allah. Dalam hal ini Kristus datang ke

dalam dunia untuk menunjukkan diri-Nya sebagai Tuhan, sang Kebenaran itu sendiri. Allah

kemudian mengirimkan juga Roh Kudus untuk menolong orang percaya agar mengerti Firman

Tuhan (Rom. 8:9-17; bdk. Gal 5:16-26).

Masalah Ketiga, penderitaan tidak beroposisi menentang kehadiran Allah. Malahan melalui

penderitaan eksistensi Allah terbuktikan. Sebelum masuk ke dalam argumentasi patut

diperhatikan bahwa dalam agama Buddha terdapat dua posisi kepercayaan: ada yang percaya

keberadaan Tuhan dan ada yang tidak.22 C. S. Lewis mengatakan:23

22Kevin O‟Donnell, Inside World Religions, 43. bdk. N. L. Geisler, Baker encyclopedia of Christian

apologetics (Grand Rapids: Baker Books, 1999) 789.

(10)

“argumentasi saya tentang Allah adalah bahwa alam semesta ini terlihat jahat dan tidak adil. Namun bagaimana saya memiliki ide adil dan tidak adil? Seseorang tidak mungkin menyebut sebuah garis yang bengkok kecuali ia memiliki pengertian tertentu mengenai apa itu garis lurus... oleh karena itu argumen yang mengatakan Allah tidak ada sama sekali terlalu sederhana.”

Dalam hal ini mau tidak mau penganut Buddhisme harus mengaku bahwa ada Allah yang

menciptakan dunia ini dan mengatur segala sesuatunya. Tapi walaupun Tuhan mengatur segala

sesuatunya bukan berarti Dia adalah pencipta kejahatan.24 Dan pertanyaan terakhir adalah, siapa

Allah yang mengatur dan menciptakan dunia ini? Dialah Yesus yang datang ke dunia, mati di

kayu salib untuk menebus dosa manusia. Dan di dalam penebusan-Nya, orang yang percaya pada

Yesus akan mencapai „nirvana‟ tetapi dalam konsep yang berbeda. Dalam „nirvana‟ tersebut tak akan ada ratap tangis dan duka lagi―yang ada hanyalah persekutuan yang amat indah bersama

dengan Yesus Kristus, Allah pencipta langit dan alam semesta.

KESIMPULAN

Konsep dukkha dalam Buddhisme sama sekali tidak konsisten dan banyak sekali kesalahan di dalamnya. Konsep tersebut seyogianya hanya akan membawa manusia ke dalam paham

nihilisme dan ketidakpastian. Sementara bila dibandingkan dengan kekristenan

pertanyaan-pertanyaan yang mengambang dalam ajaran Buddha dapat dijawab. Penderitaan tidak lagi

dipandang sebagai sesuatu yang menyedihkan dan selalu menyengsarakan, tetapi dalam

perspektif yang baru dukkha menjadi pelajaran yang amat berharga. Bukan hanya memberikan pengertian akan status diri manusia tetapi membuka realita tentang Allah yang berdaulat dan

berkuasa.

24Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa penderitaan merupakan akibat dari dosa

Referensi

Dokumen terkait

terdeteksi scanner. Perancangan Blok Diagram Sistem Perancangan blok diagram dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah realisasi sistem yang akan dibuat. Blok diagram

Dengan membandingkan data yang dimiliki perusahaan dalam aspek total impor barang, total ekspor barang dan total supplier dengan nilai angka harapan yang diberikan

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yaitu untuk mengetahui kandungan Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb) pada air sumur gali penduduk di sekitar

Rancang bangun alat cetak briket mempertimbangkan alat sederhana, mudah pembuatan, mudah perawatan, dan mudah dibawa menjadi dasar desain alat cetak briket untuk

diberikan kepada pelanggan yang lebih baik dari Perusahaan Otobus lainnya, sehingga jika pelayanan yang diberikan PO Maju Lancar dirasakan baik dan memuaskan

http://www.rudifebriamansyah.webege.com/web_documents/kerangka_an alisis_perencanaan_gender-jonatan_hivos.pdf. Lasswell M, Thomas Lasswell. Marriage and the Family. USA: Wadsworth,

Pembagian wilayah kekuasaan yang dibatasi oleh kepentingan dan dilaksanakan melalui perjanjian-perjanjian oleh bangsa-bangsa penjajah telah merusak system yang telah

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NUKLIR  SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NUKLIR . BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL BADAN TENAGA