• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Sosial di Yogyakarta id

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perubahan Sosial di Yogyakarta id"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Review Sosiologi Perubahan Sosial 1. Fania Darma A :

2. Rizka Nurizati : 1206210295 3. Tri Apriliani : 1206251502

Didalam pembahasan kali ini terdapat dua buku yang menjadi bahan untuk di review, yang pertama adalah buku karangan Selo Soemardjan yang berjudul “Perubahan sosial di Jogjakarta” dan yang kedua adalah buku karangan Abidin Kusno yang berjudul Ruang Publik, Identitas dan memori kolektif : Jakarta Paca Soeharto.

1. A) Aktor-aktor yang Berperan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta dan Jakarta: Aktor utama/pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang dipercayai oleh masyarakat sebagai pemimpin dalam lembaga sosial. Merekalah yang mempelopori jalan meninggalkan masa lampau menuju zaman baru. Aktor-aktor utama yang berperan dalam proses perubahan di Yogyakarta yakni diprakarsai oleh Sri Sultan atau pemerintah propinsi di bawah kekuasaannya, Pangeran Pakualam, kaum elite terpelajar, kaum intelektual yang berpendidikan tinggi, dan Kartono (seorang cendekiawan)

Perubahan-perubahan politik dan pemerintahan di Yogyakarta yang diprakarsai oleh Sultan Yogyakarta atau oleh pemerintah propinsi di bawah bimbingannya. Dalam hal ini, mereka bisa dipandang telah memainkan peran sebagai pelopor perubahan (Soemardjan,2009 : 448). Kaum elite terpelajar yang bertindak sebagai pelopor perubahan mengetahui apa yang harus diubah dan ke arah mana perubahan itu harus disalurkan, yakni penguasa kolonial asing harus digantikan oleh pemerintah nasional yang demokratis (Soemardjan,2009: 459). Kartono merupakan pimpinan “organisasi yang hidup” yang luar biasa yakni, membangun rumah di Dukuh Ketimun di Desa Kancil. Ini merupakan salah satu contoh penggunaan lembaga gotong royong secara modern dengan menggunakan sesedikit mungkin modal, akan tetapi memanfaatkan sumber daya manusia dan alam yang ada di dukuh secara efektif (Soemardjan,2009: 379).

(2)

Seperti Soekarno, yang memutuskan untuk membangun Jakarta dengan monumen-monumen dan bangunan monumen-monumental (termasuk hotel, toko serba ada, gedung konvensi, dsb.). Karena bangunan yang bersifat monumental tersebut dapat membangkitkan memori kolektif warga di Jakarta. Hal ini dilakukan agar rakyat bisa mengidentifikasikan diri mereka dengan dia melalui kota yang ia bangun. Dalam hal ini, ia menjelmakan dirinya sendiri pada bangunan-bangunan modern (Kusno,2009: 45). Subjek-subjek “modern” generasi Suharto seperti pembanguan jalan layang, shopping mall ber-AC dalam skala besar, dan pembuatan perumahan di pinggiran kota yang bergardu menyatakan suatu bentuk modernitas yang disertai dengan suatu ketakutan untuk menjadi “kelas bawah”. Pada zaman ini, Jakarta mulai dihadapkan dengan tantangan pembentukan generasi kelas menengah yang “patuh” dan “modern” (Kusno,2009: 65).

Sutiyoso melanjutkan kebijaksanaan rezim sebelumnya, yakni menggusur kampung, melarang becak dan ojek, menangkap dan mengusir pedagan kaki lima, pengamen, pengemis, pemulung dan pelacur. Sutiyoso merencanakan penempatan patung-patung pahlawan nasional di perempatan jalan yang memakai nama pahlawan tersebut yang bertujuan untuk membuat publik menghormati perjuangan para pemimpin nasional Indonesia (Kusno,2009:103). Selain itu, ia juga mengeluarkan SK untuk melestarikan Kota Tua Jakarta untuk menarik turis dan menciptakan kembali citra Jakarta sebagai kota bersejarah (Kusno,2009:119). Beliau juga mempunyai rencana untuk membangun transportasi publik seperti busway untuk mencapapai impian Jakarta sebagai kota yang bebas macet.

B) Aktor yang memiliki peranan paling penting :

Semua aktor tersebut penting dalam perubahan sosial. Namun, terdapat aktor-aktor yang dirasa memiliki peranan yang paling penting di Yogyakarta yakni Sri Sultan dan Pangeran Pakualam. Sejak mengeluarkan teks pernyataan pada 9 septem,ber 1945, Sri Sultan dan Pangeran Pakualam bekerja sebagai suatu tim yang terjalin baik. Sri Sultan menunjukkan sikap yang khas terhadap perubahan masa dalam pernyataannya pada 30 Oktober 1945. Sri Sultan dan Pangeran Pakualam memberikan penghargaan kepada rakyat yang telah merebut kekuasaan dari rezim-rezim kolonial. Mereka juga menyatakan bahwa menerima kekuasaan ini dari rakyat (Soemardjan,2009: 74). Sikap progresif dan penuh pengertian Sri Sultan mennyebabkan adanya stabilitas di tengah kemajuan pesat masyarakat yang menuju demokrasi Barat.

(3)

Di Yogyakarta

Perubahan yang terjadi merupakan transisi dari masa kolonial. Namun tata cara kehidupannya masih banyak menggunakan budaya Belanda dalam keseharian. Perubahan-perubahan di Yogyakarta dimulai pada masa pendudukan Jepang dan kemudian pada waktu revolusi diprakarsai oleh Sri Sultan sendiri dan rakyat Yogyakarta pada akhirnya menginginkan adanya perubahan. Sri Sultan sebagai orang yang memulai proses perubahan tersebut, kemudian disusul oleh oleh kaum bangsawan serta golongan-golongan lain yang punya kepentingan dalam pemerintahan lama.

Perubahan-perubahan di di bidang pemerintahan berlangsung cepat meskipun terdapat adanya penolakan dari masyarakat mengenai perubahan tersebut, namun relatif hanya sedikit hambatan yang kemudian bisa diatasi. Sri Sultan mengeluarkan aturan-aturan yang baru yang meskipun masih banyak mengadopsi tata cara Belanda namun dengan keluarnya aturan tersebut maka otomatis membuat perubahan yang terjadi sangat terasa. Banyak perubahan yang dapat kita lihat. Kaum intelektual yang berpendidikan tinggi juga bertindak sebagai pelopor perubahan karena mereka memiliki pengetahuan lebih tentang apa yang harus diubah dan ke arah mana perubahan itu harus dilakukan, yakni penguasa kolonial asing harus digantikan oleh pemerintah nasional yang demokratis. Di masa ini banyak pekerja atau pegawai negeri yang merupakan golongan pribumi dan jumlahnya semakin meningkat. Kemudian orang yang berpendidikan tinggi mulai menjadi lebih di hormati daripada orang orang dari kalangan strata atas (bangsawan). Bangsawan saat ini hanya berupa gelar, namun untuk mencapai apa yang diinginkan, mereka harus bisa bersaing juga dengan penduduk pribumi biasa. Dunia perpolitikan juga sudah mengadopsi budaya Barat, dengan dalam sebuah pidato biasanya menggunakan istilah-istilah bahasa inggris dan hal tersebut dianggap wajar atau lebih baik.

Di Jakarta

(4)

kekerasan, dan meletusnya konflik-konflik etnis dan agama. Rentetan kritis ini menghasilkan berbagai wacana ruang kota (Kusno,2009: 126). Dan sekarang ini sudah begitu banyak mall yang dibangun dan pada akhirnya Jakarta menjadi kehilangan identitasnya. Jakarta menjadi lebih modern di satu sisi namun akibatnya Jakarta justru menjadi kota yang penuh juga dengan problematikanya.

B) Klasifikasi Perubahan Soisal yang Terencana dan Tidak Terencana : Perubahan Sosial di Yogyakarta

Perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu perubahan yang disengaja (intended changed) dan perubahan yang tidak disengaja (unintended changed). Perubahan yang disengaja (intended changed) dalam buku ini dijelaskan sebagai perubahan yang telah diketahui dan direncanakan sebelumnya oleh para anggota masyarakat yang berperan sebagai pelopor perubahan (Soemardjan, 2009: 448). Sedangkan perubahan yang tidak disengaja (unintended changed) dijelaskan dalam buku ini sebagai perubahan yang terjadi tanpa diketahui atau direncanakan sebelumnya oleh seorang anggota masyarakat (Soemardjan, 2009: 449).

Perubahan sosial yang disengaja (intended changed) dan terjadi di Yogyakarta adalah perubahan pemerintah. Pemerintah yang pada awalnya merupakan pemerintah yang sangat tesentralisir, kemudian berubah menjadi pemerintah yang demokratis. Perubahan pemerintahan tersebut dikatakan sebagai perubahan yang disengaja karena perubahan tersebut diketahui dan direncanakan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa dalam hal perubahan sosial di Yogyakarta, perubahan yang disengaja adalah perubahan pemerintahan (Soemardjan, 2009: 449). Perubahan ini mulai dari yang sangat tersentralisir dan otokratis menjadi pemerintah yang didesentralisir dan demokratis (Soemardjan, 2009: 450).

(5)

perubahan hukum tanah tersebut diikuti dengan dibentuknya majelis-majelis desa seperti lurah yang dipilih oleh orang-orang yang memiliki tanah. Majelis desa bertugas untuk memberikan keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi di desa (Soemardjan, 2009: 256).

Perubahan sosial yang terjadi di pemerintahan desa di Yogyakarta dan tidak disengaja (unintended changed) terjadi ketika pamong praja tidak lagi memiliki kekuasaan atas pemerintahan. Perubahan peran pamong praja tersebut telah diantisipasi oleh para pelopor perubahan, walaupun perubahan ini merupakan perubahan yang tidak disengaja. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan bahwa salah satu perubahan sosial yang tidak disengaja ialah hilangnya otoritas pamong praja atas pemerintahan desa (Soemardjan, 2009: 450). Perubahan yang tidak disengaja, dan juga tidak diantisiapsi oleh masyarakat juga terjadi pada kaum bangsawan yang semakin lama menghilang dari golongan kelas atas.

Perubahan disengaja atau tidak disengaja (Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto

(6)

asri kini berubah menjadi daerah yang dipadati tempat-tempat bisnis (Kusno, 2009:105). Perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai perubahan yang tidak disengaja (unintended) karena kepadatan yang ditimbulkan tidak direncanakan sebelumnya, hal itu terjadi sering berjalannya waktu.

Keberadaan pedangan kakilima di Jakarta semakin marak, namun pemerintah tidak dapat membatasi aktivitas yang perdangangan yang dilakukan oleh pedangang kakilima (Kusno, 2009:106). Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan ini berupa perubahan dalam ruang fisik kota (Kusno, 2009:107). Perubahan ini dapat dikatakan sebagai perubahan yang disengaja (intended), karena pemerintah sengaja dan telah merencanakan perubahan ini dengan membangun pagar-pagar di taman publlik dan pemasangan kawat berduri di jalan setapak.

Tata ruang di ibukota Jakarta pun berubah karena banayaknya mal-mal yang didirikan. Mall-mall tersebut dianggap sebagai tempat yang nyaman dan dapat menjauh dari jalanan yang penuh dengan ancaman (Kusno, 2009:124). Mall yang ada di Jakarta semakin lama semakin berkembang dan dijadikan sebagai tempat untuk rekreasi. Perubahan ini merupakan perubahan yang disengaja (intended) karena pembangunan mall –mall tersebut sudah direncanakan sebelumnya dan juga diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat. Gaya hidup penduduk Jakarta juga berubah, yang dulu banyak orang yang senang untuk menghabiskan waktu di taman dan tempat simbol Jakarta kini telah beralih lebih memilih pergi ke mall (Kusno, 2009:125). Perubahan gaya hidup ini merupakan perubahan yang tidak disengaja (unintended) karena perubahan ini terjadi tanpa adanya perencanaan terlebih dahulu. Perubahan juga terjadi dalam hal transportasi, keberadaan busway dan Trans Jakarta memberikan warna baru di Jakarta. Sebanyak 40 halte telah dibangun untuk pengguna buswa di bawah jembatan penyeberangan dan di jalur hijau sepanjang rute busway (Kusno, 2009: 129). Pembangunan jalan busway, halte dan jembatan di Jakarta merupakan suatu perubahan yang disengaja (intended). Perubahan dalam hal pembangunan busway tersebut dapat dikatakan sebagai perubahan yang disengaja karena Sutiyoso sebagai Gubernur pada saat itu mempunyai cita-cita untuk mewujudkan Jakarta yang bebas dengan macet.

(7)

Pada bagian ke tiga ini, maka kami dapat menyimpulkan bahwa untuk kedua kasus tersebut yaitu perubahan sosial di Yogyakarta dan di Jakarta merupakan perubahan sosial yang terjadi menggunakan perspektif ke arah struktural fungsional dan perspektif konflik. Hal tersebut dapat kita lihat dari adanya struktur-struktur kepemimpinan dan sistem budaya yang di turunkan oleh kolonial. Stuktur dan sistem pemerintahan tetap menggunakan tata cara tersebut, namun perubahan yang terjadi lebih bersifat demokratis dan lebih merakyat karena dilakukan tanpa adanya kekerasan serta orang-orang yang bermain di dalamnya merupakan orang pribumi sendiri. Perubahan yang mengarah pada perspektif konflik adalah ketika masyarakat ingin adanya perubahan dari zaman lama ke zaman baru, yang akhirnya rakyat biasa mulai mendapatkan hak yang sama dengan bangsawan dalam mencapai sesuatu. Karena suara rakyat inilah, maka perubahan dapat terjadi serta kesenjangan antara kaum elit dan pribumi dapat dikurangi oleh keluarnya kebijakan Sri Sultan dan pemerintahnya.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Dari pengembangan skenario yang telah dilakukan, didapatkan simpulan bahwa akan lebih baik jika produsen memperhitungkan hasil dari pengembangan skenario garansi terlebih

Berdasarkan tabel penelitian menunjukkan hasil analisis dengan menggunakan uji Chi-Square didapatkan nilai p=0,896 dimana nilai p=0,896 lebih besar daripada nilai p,0,05

Dengan demikian penggunaan pendekatan whole language dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Bendungan Hilir 01 Pagi Jakarta Pusat..

Betapa kita melihat mereka berusaha menyempatkan diri untuk pergi ke masjid melaksanakan shalat tarawih berjama’ah seakan-akan tidak mau ketinggalan

Dari 10 Provinsi yang ada di Pulau Sumatera ini, Kota Banda Aceh yang menunjukan tingkat kerusakan paling besar akibat gempa yang telah diskalakan tersebut dan

Model pembelajaran inkuiri menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2011) terdiri dari 4 fase yaitu: 1) fase pertama, siswa disajikan bidang penelitian berupa fenomena

Dengan metode wawancara ini, peneliti dapat menggali bagaimana latar belakang berdirinya yayasan dan lembaga RA Riyadlotut Thalabah kepada pihak yayasan, kepala sekolah