• Tidak ada hasil yang ditemukan

komunikasi lintas budaya tugas Prof. Sum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "komunikasi lintas budaya tugas Prof. Sum"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Dibuat untuk memenuhi sebagian tugas Mata Kuliah

Dinamika Sosial dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan Dosen Pengampu: Prof. Dr. Ir. Sumardjo

Disampaikan oleh :

Ferdinal Asmin/ P062130181

Erni Yuniarti/ P062130141

Rizka Amalia/ P052130301

Emil Wahdi/ P052120371

PROGRAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

2

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL 3

DAFTAR GAMBAR 3

BAB I PENDAHULUAN 4

1.1.Latar Belakang 4

1.2.Kerangka Pemikiran 5

1.3.Maksud dan Tujuan 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1. Komunikasi Lintas Budaya 7

2.2. Pemberdayaan Kelembagaan 8

2.3. Agroekosistem dan Pertanian Berkelanjutan 10

BAB III PEMBAHASAN 11

3.1. Pembangunan Pertanian, Etnisitas, dan Komunikasi 11 3.2. Pemahaman Komunikasi Lintas Budaya untuk Pemberdayaan Kelembagaan 15 3.3 Komunikasi Lintas Budaya dan Pertanian Berkelanjutan 19

BAB IV PENUTUP 24

(3)

3

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Kelembagaan Pelaksana Subak di Bali 12

Tabel 3.2. Sistem Ladang Gilir Balik Behuma di Masyarakat Dayak 13 Tabel 3.3. Perbedaan antara Masyarakat Kolektif dan Individualis 20

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran 5

Gambar 2.2. Hubungan Hak dan Pemberdayaan dalam Lingkungan Kelembagaan

Formal dan Informal 9

Gambar 2.3. Siklus Perkembangan Gelombang Budaya Pertanian 10

Gambar 3.1. Aspek-aspek Kecerdasan Budaya 15

Gambar 3.2. Tata Kelola dalam Mempertahankan Sumber-Sumber Mata

Pencaharian dan Pengentasan Kemiskinan 17

Gambar 3.3. Proses Pengembangan Kelembagaan 18

(4)

4 tahun 2025 dari jumlah 7.2 miliar jiwa saat ini (Anonim 2014). Adanya pertumbuhan penduduk yang pesat ini akan mengakibatkan permintaan produk pertanian meningkat. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia, sehingga, sebagai negara agraris, pembangunan pertanian dapat menjadi basis ekonomi andalan dan juga sebagai jalan untuk mewujudkan swasembada pangan. Pemerintah Indonesia harus mengedepankan sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang strategis dalam pembangunan.

Revolusi hijau merupakan salah satu bentuk pembangunan pertanian yang dilakukan oleh Indonesia. Revolusi hijau ini ditandai dengan introduksi teknologi produksi pertanian yaitu adanya pengenalan varietas unggul, pupuk buatan, mekanisasi pertanian, irigasi teknis, dan intensifikasi massal. Pembangunan pertanian yang diterapkan terdahulu mendapatkan beberapa kritik atas terjadinya persoalan ketergantungan dan eksploitasi sumber daya alam yang kemudian mengakibatkan proses pemiskinan dan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan (Dharmawan 2006).

Selain itu, pembangunan pertanian yang diterapkan terdahulu juga cenderung menggunakan pendekatan individualistik yang mereduksi ikatan-ikatan horizontal sebagai modal sosial (Syahyuti 2005). Pembangunan pertanian yang menimbulkan dampak negatif perlu dihindari guna menciptakan kesejahteraan dan partisipasi. Pembangunan pertanian yang harus digalakkan sekarang adalah pembangunan pertanian yang mensubyekkan petani serta menempatkan petani dalam relasi-relasi horizontal di komunitasnya.

Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan merupakan pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial dalam komunitas. Upaya pemberdayaan kelembagaan diperlukan untuk meningkatkan perhatian dan motivasi dalam berusaha tani. Selain tiga kunci utama yang perlu diperhatikan dalam konteks kelembagaan yaitu: norma, perilaku, serta kondisi dan hubungan sosial, kita juga harus memperhatikan pola komunikasi yang membentuk interaksi simbolik dan membedakan satu komunitas dengan komunitas yang lainnya.

(5)

5

1.2. Kerangka Pemikiran

Dalam konteks kelembagaan pertanian, pemahaman terminologi “lokal” diinterpretasikan sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik tersendiri yang berkaitan dengan kondisi setempat. Terminologi “lokal” meliputi dasar-dasar untuk melakukan tindakan kolektif, energi untuk melakukan konsensus, koordinasi, tanggung jawab, serta menghimpun, menganalisis, dan mengkaji informasi. Hal ini tidak terjadi secara otomatis, namun memerlukan kehadiran kelembagaan yang bersifat spesifik lokasi (Suradisastra 2008).

Salah satu kelembagaan yang bersifat lokalitas yaitu kelembagaan musyawarah, dimana musyawarah ini selalu berkaitan dengan komunikasi yang bersifat unik antara satu daerah dengan daerah lainnya karena menyangkut adat istiadat serta kebudayaan di suatu daerah tertentu. Menurut Hall (1981) dalam Liliweri (2007) menyatakan bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan.

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

Komu-nikasi

Nilai

Penga-laman

Penge-tahuan Norma

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

(6)

6

Komunikasi merupakan informasi yang dialihkan antara para pengguna atau proses untuk menyatakan persetujuan atas perjanjian dan merupakan bagian dari teknologi yang berkaitan dengan representasi, peralihan, interpretasi, dan pemrosesan data diantara manusia di berbagai tempat (Carey 1989, Liliweri 2007). Sementara itu, kebudayaan merupakan simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh sekelompok orang atau generasi (Samiovar dan Poter dalam Liliweri 2007).

Budaya berfungsi sebagai tata kelakuan/mengatur hubungan sebab-akibat antara budaya dan komunikasi, dan budaya menentukan bagaimana anggota kelompok berkomunikasi. Komunikasi dibentuk oleh budaya dimana seseorang akan mempelajari arti simbol-simbol, nilai-nilai, dan kepercayaan umum anggota komunitas yang pada akhirnya memungkinkan untuk mengkoordinir aktivitas mereka (Sarwoprasojo 2013). Dari pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa komunikasi lintas budaya ingin membandingkan proses terjadinya komunikasi sesuai dengan kebudayaan yang dianut oleh seseorang atau komunitas, sehingga komunikasi tersebut bersifat unik.

1.3. Maksud dan Tujuan

Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas pentingnya komunikasi lintas budaya dalam mendukung keberhasilan pemberdayaan kelembagaan dan pencapaian tujuan pertanian berkelanjutan. Untuk itu, tujuan pembahasan dalam tulisan ini adalah:

1. Menjelaskan konsep komunikasi lintas budaya dan pemberdayaan kelembagaan.

2. Mengkaji hubungan pembangunan pertanian, etnisitas, dan komunikasi lintas budaya seperti budaya pertanian etnis Bali dan Dayak.

3. Mengkaji pola pemberdayaan masyarakat berdasarkan pemahaman terhadap komunikasi lintas budaya.

(7)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi Lintas Budaya

Budaya merupakan salah satu tingkatan yang menunjukkan keunikan manusia selaku komunitas seperti dijelaskan oleh Hofstede (1991:6), selain dari sifat manusia dan kepribadian. Gambar 2.1 menjelaskan tiga level keunikan manusia. Budaya lahir dari sebuah proses pembelajaran dalam suatu kelompok masyarakat. Budaya dilandasi oleh sifat manusia dan berperan dalam membentuk kepribadian.

Gambar 2.1. Tiga Level Keunikan Manusia (Hofstede 1991:6)

Hofstede (1991:9-17) menjelaskan bahwa manifestasi dari budaya diwujudkan dalam berbagai nilai, ritual, kisah, dan simbol yang dipraktekkan oleh komunitas masyarakat. Dengan demikian, ada perbedaan budaya menurut wilayah, agama, gender, generasi, dan kelas. Pemahaman terhadap budaya penting dalam mengikuti perubahan sosial, baik dalam bentuk perubahan tiba-tiba, transformatif, maupun terencana seperti yang diungkapkan Reeler (2007:9-14).

Karena budaya dipandang sebagai sesuatu yang dibagikan oleh masyarakat (Levine et al. 2007:219), maka komunikasi memiliki peran tranformasi yang bisa terjadi antar budaya dan/atau lintas budaya. Liliweri (2003) menjelaskan bahwa komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, dan gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara keduanya. Komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. dan dapat juga dilakukan dengan bahasa non verbal menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, dan mengangkat bahu.

(8)

8

sebagai pola komunikasi antara satu budaya dengan budaya lain dari kelompok orang yang berbeda.

Tannen (1984:189-194) menjelaskan delapan level perbedaan dalam komunikasi lintas budaya yang dapat menggoyahkan komunikasi yaitu: (1) kapan berbicara, (2) apa yang dikatakan, (3) kesimpangsiuran, (4) kemauan mendengar, (5) intonasi dan penyampaian, (6) pemolaan (formulaicity), (7) tidak langsung, dan (8) kohesi dan koheren. Bahasa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji komunikasi lintas budaya karena Saville-Troike (1980:348) menerangkan bahwa bahasa dapat dipandang sebagai suatu simbol dan tanda pengenal keanggotaan kelompok dan media prinsip untuk mediasi dan manipulasi hubungan sosial.

Berbicara tentang komunikasi lintas budaya bukan hanya berkaitan dengan masyarakat lokal atau masyarakat hukum adat. Komunikasi lintas budaya juga mencakup kewilayahan yang meluas pada karakter komunikasi masyarakat lintas negara. Contohnya, Fanto (1996:2005) meneliti komunikasi lintas budaya dalam konteks sistem tata kelola perusahaan lintas negara dengan mengungkapkan bahwa tata kelola perusahaan merupakan suatu fenomena yang sangat ditentukan oleh budaya.

2.2. Pemberdayaan Kelembagaan

Dharmawan (2006:9) menerangkan bahwa kooptasi negara dan pasar telah menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat. Pada dekade 1990-an, ada semangat atau prinsip baru yang mendorong pembangunan berbasis komunitas dengan mengusung prinsip partisipasi, demokrasi, kesejahteraan, kolektivitas, dan pembangunan yang bersumber kekuatan dari dalam.

Dalam konteks memberdayakan masyarakat miskin, Prato dan Longo (2012:8) menyebutkan bahwa pemberdayaan menjawab pertanyaan apa yang harus dilakukan, bagaimana menghubungkannya, dan siapa yang bekerja. Dharmawan (2000) dalam Dharmawan (2006:10) mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu proses yang memungkinkan masyarakat mengembangkan kapabilitasnya untuk memiliki kemampuan mempengaruhi, membuat keputusan, dan memiliki akses terhadap sumber penghidupan yang lebih baik.

Pemberdayaan dapat membentuk hak yang lebih berarti, dan hak memungkinkan terjadinya pemberdayaan seperti dijelaskan oleh Fox (2004:7-12). Gambar 2.2 mengilustrasikan penjelasan tersebut. Selain membentuk hak, untuk memahami siklus yang sebenarnya dalam pemberdayaan, kita harus asumsikan bahwa kekuatan formal pro reformasi dibatasi oleh kekuatan informal anti reformasi, melibatkan skala keekonomian yang jelas, dan pembelajaran dari tata kelola partisipasi dan keberdayaan

(9)

9

Gambar 2.2. Hubungan Hak dan Pemberdayaan dalam Lingkungan Kelembagaan Formal dan Informal (Fox 2004:8)

Longwe (1991) dalam Luttrell et al. (2009:5) memberikan beberapa perbedaan tingkatan pemberdayaan yaitu tingkat kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran dan kepedulian, tingkat partisipasi dan mobilisasi, serta tingkat pengendalian. Narayan (2002) kemudian menjelaskan bahwa ada 4 elemen kunci dalam pemberdayaan yang harus diperhatikan dalam reformasi kelembagaan yaitu akses informasi, inklusi atau partisipasi, akuntabilitas, dan kapasitas kelembagaan lokal.

Kematangan kelembagaan di tingkat lokal dapat didefinisikan dalam hal pandangan anggota yang luas, norma internal dan saling percaya, hubungan dan jaringan eksternal, teknologi dan perbaikan, serta lama bertahannya (Pretty dan Ward 2001 dalam Iftekhar 2003:31). Kematangan tersebut dielaborasi lebih lanjut oleh Iftekhar (2003:31) sebagai berikut:

1. Pandangan yang luas dan pembentukan rasa pada realitas baru dan pengaturan untuk perubahan.

2. Norma internal dan saling percaya yang merupakan pengakuan kapasitas untuk mencapai tujuan.

3. Hubungan dan jaringan eksternal dengan berbagai organisasi dan cukup kuat untuk mengantisipasi tekanan dari luar.

4. Teknologi dan perbaikan berbasis prinsip ekologis yang mendorong adaptasi dan inovasi.

(10)

10

2.3. Agroekosistem dan Pertanian Berkelanjutan

Pada hakikatnya eksistensi konsep pertanian berkelanjutan sebenarnya bukan sesuatu yang baru, King (1911) dalam Zamora (1995) dalam Salikin (2003) menuliskan bahwa teknik usaha tani dengan metode organik atau pertanian permanen

(organic farming) yang mengintegrasikan pengelolaan kesuburan tanah dengan sistem

ekologi telah dilakukan oleh para petani di daratan Cina, Jepang, dan Korea sekitar empat abad yang lalu.

Gambar 2.3. Siklus Perkembangan Gelombang Budaya Pertanian (Sudibyo 1995 dalam Salikin 2003)

Sistem pertanian berkelanjutan adalah back to nature, yakni sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungannya atau pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah-kaidah alamiah. Terminologi pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai padanan istilah agroekosistem pertama kali dipakai sekitar awal 1980-an oleh pakar pertanian FAO

(food agriculture organization). Agroekosistem ini mengacu pada modifikasi

ekosistem alamiah dengan sentuhan campur tangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia (Salikin 2003).

(11)

11

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Pembangunan Pertanian, Etnisitas, dan Komunikasi

Rancangan strategi pembangunan harus memperhatikan lingkungan pluralisme budaya dan keragaman etnis karena hubungan antara etnisitas dan pembangunan merupakan manifestasi dimensi politik, ekonomi, dan sosial (Premdas 1996:2). Ketika etnis dipandang sebagai suatu identifikasi individu, etnis merupakan salah satu segmen dari masyarakat yang lebih besar dengan anggota-anggotanya memiliki budaya dan asal serta berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang dibagi menurut budaya dan asalnya (Yinger 1976 dalam Chávez dan Guido-DiBrito 1999:40).

Etnisitas mengacu pada kesadaran kolektif kelompok yang menanamkan rasa memiliki dan berasal dari anggota kelompok dalam ikatan yang diakui komunitas melalui budaya yang turun menurun (Premdas 1996:3). Komponen etnisitas tersebut meliputi nilai-nilai budaya, perilaku, kepercayaan, bahasa, tradisi, dan sebagainya (Premdas 1996:3; Chávez dan Guido-DiBrito 1999:40).

Komunitas adat Dayak, Baduy, dan Bali sebagai etnis dapat dipahami sebagai aktor pembangunan di wilayah adatnya, yang menarasikan pengelolaan sumber daya alam menurut kepentingan politik, ekonomi, dan sosial yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam konteks pembangunan pertanian, semuan masyarakat adat di Indonesia (termasuk masyarakat Dayak dan Bali) mengelola lahan pertanian menurut pengetahuan lokal yang mereka miliki.

Subak merupakan salah satu gambaran interaksi aspek politik pemerintahan,

norma, adat, keagamaan, serta aspek teknis dan teknologi pertanian yang menjadi ciri khas sistem pertanian di Bali (Suradisastra et al. 2002 dalam Suradisastra 2008:83). Tabel 3.1 menjelaskan tentang kelembagaan kegiatan Subak di Bali dalam mendukung kegiatan pertanian mulai dari persiapan lapangan sampai pemanenan.

Kegiatan pertanian pada masyarakat Bali dilaksanakan oleh seke-seke (kelompok-kelompok), yang masing-masing tahapan kegiatan pertanian memiliki ritual menurut agama Hindu yang menjadi agama utama di Bali. Masyarakat Bali selaku manusia dan bagian dari komunitas yang memiliki hubungan dengan Sang Penguasa (Dewa) dan diwujudkan dalam bentuk penyembahan-penyembahan, termasuk dalam kegiatan pertanian. Tanaman pertanian dianggap sebagai anugerah Dewa yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan manusia (antroposentris).

(12)

12

Tabel 3.1. Kelembagaan Pelaksana Subak di Bali

Sumber: Suradisastra et al. (2002) dalam Suradisastra (2008:85)

Ada perbedaan antara masyarakat Bali dan Baduy dalam mengelola lahan pertanian. Sejak dulu, masyarakat Baduy bercocok tanam dengan cara berladang atau

ngahuma, yang identik dengan perladangan berpindah Muhsin et al. (2011:80). Cara

bercocok tanam pada masyarakat Baduy mirip dengan masyarakat Dayak. Tabel 3.2 menggambarkan praktek kebudayaan dan ritual pada masyarakat Dayak dalam pengelolaan lahan dengan sistem Gilir Balik.

(13)

13

Tabel 3.2. Sistem Ladang Gilir Balik Behuma di Masyarakat Dayak

Kegiatan Ritual Agama Tujuan Ritual

Pemilihan lahan Batanung Menentukan lahan yang akan ditanami pada musim ini

Pembersihan semak belukar

Batabas Membersihkan kumpai (semak belukar) pada

lokasi ladang yang sudah dipilih untuk dibuka Menebang pohon Batabang Menebang pohon-pohon besar setelah selesai

batabas

Membakar lahan Manyalukut Membakar lahan yang sudah kering (hasil

tabasan dan tabangan)

Mengumpulkan sisa pembakaran

Mamanduk Mengumpulkan kembali sisa hasil

pembakaran

yang belum habis, untuk kemudian dibakar kembali

Menanam benih Menugal/bemata umang

Menanam benih di ladang yang telah siap, dilakukan sebulan setelah kegiatan mamanduk Menyiangi Marumput Membersihkan rumput/gulma di perladangan Pengendalian

hama dan penyakit

Aruh basambu Ritual yang diadakan sebagai tolak bala agar

tanaman tidak terserang hama/penyakit

Persiapan panen Manyambut Menyambut buah padi, dilakukan ketika biji padi keluar dari kelopaknya

Baancak, Meletakkan padi di lumbung dengan disertai

mantra-mantra Pesta panen Aruh bawanang

(banihmudah)

Ritual pesta panen

Pengolahan hasil Beirik Memisahkan padi dari tangkainya

Begumba Membuang padi yang kosong (tidak berisi

beras) Penyimpanan

gabah

Babuat Meletakkan padi ke lulung (wadah

menyimpan gabah)

Pesta panen yang dilakukan untuk menutup musim tanam sebelumnya

(14)

14

Bila kita bandingkan bahasa dalam budaya pertanian masyarakat Bali dan Dayak, ada perbedaan yang signifikan antara keduanya. Namun memperhatikan istilah-istilah yang digunakan seperti Tabel 3.2, banyak istilah masyarakat Dayak yang memiliki kesamaan dengan istilah-istilah yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Istilah-istilah seperti batabang dan marumput juga dikenal dalam bahasa Minangkabau, yaitu manabang dan marumpuik. Hal ini menunjukkan bahwa budaya pertanian pada suatu etnis juga dapat menjadi bagian budaya yang penting pada etnis lainnya.

Tetapi, Montalvo dan Reynal-Querol (2005:293) menyebutkan bahwa keragaman bahasa (ethnolinguistic) dan agama berpotensi menyebabkan dimensi konflik yang kuat. Pendekatan pembangunan pertanian juga perlu mempertimbangkan keragaman bahasa dan agama secara baik karena keduanya merupakan unsur-unsur yang menunjukkan karakteristik etnis tertentu. Contohnya, untuk kepentingan penyuluhan pertanian, penyuluh harus memahami bagaimana karakteristik etnisitas dan pembangunan pertanian dalam mempengaruhi strategi penyuluhannya.

Snodgrass (1995:15) menilai berbeda terhadap keberagaman etnis, yaitu keberagaman etnis dalam kerangka politik yang stabil dapat menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi karena banyak bakat-bakat yang dapat digunakan secara produktif. Bahkan menurut Loury (2000:232), ahli ekonomi menyarankan untuk berbuat di luar mekanisme pasar apabila terjadi ketidakadilan bagi komunitas etnis dalam pembangunan ekonomi. Hal ini seperti dijelaskan Baulch (2002:17) bahwa kemiskinan pada etnis tertentu dapat disebabkan oleh kekurangan sumber daya (modal fisik dan manusia) atau kurang mendapatkan manfaat dari sumber daya karena diskriminasi budaya dan informasi.

Dalam konteks pembangunan pertanian, pertimbangan terhadap etnisitas dapat dilakukan dengan memahami tahapan pengembangan identitas etnis. Phinney (1989) dalam Fisher (2012:48) menyebutkan sekurangnya ada 3 tahapan pengembangan identitas etnis, yaitu: (1) komunitas kurang mengeksplorasi identitas etnisnya sehingga perlu didorong, (2) pencarian identitas melalui eksperimentasi dan penjelasan, dan (3) pencapaian identitas etnis sehingga mendapat penerimaan dan terinternalisasi.

Ragam etnis dengan ragam komunikasi lintas budaya dapat menjadi modal dalam pembangunan pertanian. Untuk mendorong pembangunan pertanian berbasis etnis, beberapa upaya perlu dilakukan, baik dalam perbaikan produksi, aktivitas, maupun dukungan teknis. Dengan memodifikasi cara RLDP (2009:57-61), pendekatan pembangunan pertanian seharusnya mencakup 3 hal. Pertama, pembangunan yang melibatkan aktivitas perbaikan produksi dengan praktek pertanian berkelanjutan, pelatihan budidaya pertanian, memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat, penyediaan infrastruktur sederhana, dan persetujuan penggunaan lahan secara adat.

(15)

15

pembangunan harus memberikan dukungan teknis dengan aktivitas dalam wilayah etnis tersebut, peningkatan kapasitas penyuluhan, dan aktivitas jasa.

3.2. Pemahaman Komunikasi Lintas Budaya untuk Pemberdayaan Kelembagaan Budaya pertanian pada masyarakat Bali dan Dayak seperti yang dijelaskan pada Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 dapat menunjukkan kecerdasan budaya masyarakat dalam pengelolaan lahan. Kecerdasan budaya mencakup aspek kognitif, motivasi, dan perilaku seperti dijelaskan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Aspek-aspek Kecerdasan Budaya (Earley 2002 dalam Johnson et al. 2006:536)

Aspek-aspek kecerdasan budaya sebagaimana terlihat pada Gambar 3.1 terepresentasikan dalam budaya pertanian pada masyarakat Bali dan Dayak. Naskah budaya sebagaimana dituliskan dalam Tabel 3.1 dan Tabel 3.2 dapat dirumuskan dalam bentuk bahasa yang universal sehingga kita dapat membandingkannya (Wierzbicka 1994:21). Bahasa masyarakat Bali dan Dayak memang memiliki perbedaan signifikan, namun makna dibalik semua itu dapat kita pahami bahwa kedua masyarakat memiliki kecerdasan budaya yang dirangkai dalam bentuk hubungannya pada Sang Pencipta dan alam.

Komunikasi dalam masyarakat Bali dan Dayak berasal dari pengetahuan lokalnya yang dimiliki oleh aktor-aktor dalam masyarakat itu sendiri dan diwujudkan dalam bentuk aksi. Memori, basis pengetahuan, dan aksi tersebut membentuk struktur sistem sosial seperti yang dijelaskan Giddens (1984) dalam Walsham (2002:361).

(16)

16

wujud hubungan manusia dengan Sang Pencipta dan lingkungannya. Bila kita mengacu pada pengertian pemberdayaan seperti dirumuskan Williams et al. (1994) dalam Oxaal dan Baden (1997:1), pemahaman terhadap pola komunikasi bisa menjadi alat untuk mendominasi (power over), mempengaruhi (power to), mencapai tujuan

(power with), dan meyakinkan (power within).

Kelembagaan pelaksana pertanian pada masyarakat Bali dan Dayak memiliki aturan-aturan yang berlaku internal untuk mencapai tujuan yang diinginkan sebagaimana pengertian kelembagaan yang diungkapkan World Bank (2002) dalam Herbel et al. (2012:21). Ketika proses kelembagaan melibatkan interaksi antar aktor dalam masyarakat, komunikasi budaya pertanian merupakan interaksi simbolik aktor dalam pembangunan pertanian yang penting diketahui.

Fung dan Wright dalam Isaac dan Heller (2003:87) menyebutkan bahwa salah satu tantangan paling berat dalam promosi tata kelola partisipasi dan keberdayaan

(empowered participatory governance) adalah mengembangkan bentuk kelembagaan

yang kuat untuk menggerakkan kelompok-kelompok masyarakat dalam proses yang disengaja. Oleh karena itu, pelembagaan komunitas meliputi mobilisasi masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah dan meningkatkan partisipasi dalam kelembagaan dan keputusan yang mempengaruhi kehidupannya (Dreier 1996:121).

Pentingnya pemberdayaan kelembagaan tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa Richter (2011:1) menilai masyarakat pedesaan (terutama petani) sangat kurang mendapatkan pelayanan. Kemiskinan menjadi ciri utama masyarakat pedesaan di Indonesia termasuk pada masyarakat Bali dan Dayak karena, menurut World Bank dalam Bonfiglioli (2003:14), kemiskinan dinilai sebagai bentuk perampasan kesempatan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan gizi, termasuk kurangnya pemberdayaan dan keamanan.

Gambar 3.2 mengilustrasikan kelembagaan dan pengentasan kemiskinan melalui perbaikan tata kelola. Perbaikan tata kelola inilah yang nantinya menjadi ruang bagi penguatan komunikasi sebagai interaksi simbolik masyarakat dalam pembangunan pertanian. Tata kelola mendorong narasi kelembagaan yang lebih baik untuk mencapai keberlanjutan sumber mata pencaharian dan upaya pengentasan kemiskinan.

(17)

17

Gambar 3.2. Tata Kelola dalam Mempertahankan Sumber-Sumber Mata Pencaharian dan Pengentasan Kemiskinan (Bonfiglioli 2003:14)

(18)

18

Gambar 3.3. Proses Pengembangan Kelembagaan (Herbel et al. 2012:72)

Karena pentingnya peran komunikasi dalam pemberdayaan kelembagaan, kita perlu mempertimbangkan agen-agen komunikasi (yang juga dapat berperan sebagai agen perubahan) dalam setiap upaya yang menyentuh kepentingan kelembagaan di tingkat lokal terkait dengan pembangunan pertanian. Setiap komunikasi yang diwujudkan sebagai interaksi simbolik dalam budaya pertanian pada semua masyarakat akan membentuk pendukung-pendukung budaya (epistemic community) di tingkat masyarakat. Agen-agen yang mampu memobilisasi interaksi dalam kelompok seharusnya merupakan epistemic community dari budaya pertanian yang telah dikembangkan.

(19)

19

Gambar 3.4. Pemberdayaan Agen sebagai Adaptasi untuk Perubahan (El Harizi:14) Dengan memahami bahwa komunikasi lintas budaya sebagai interaksi simbolik yang berkembang dalam kelembagaan di tingkat lokal, tata kelola lokal menentukan kebijakan pemberdayaan kelembagaan yang mampu mendorong kapabilitas masyarakat itu sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk dalam pengembangan praktek budidaya pertanian. Patel (2011:7) menegaskan bahwa masyarakat berdaya jika mereka: (1) memiliki akses informasi, (2) terlibat dalam forum-forum pembahasan isu dan pengambilan keputusan, (3) dapat mengajak pengambil keputusan untuk mempertimbangkan pilihan dan aksi, dan (4) memiliki kapasitas dan sumber daya untuk melembagakan kepentingan dan peran dengan lembaga publik.

3.3.Komunikasi Lintas Budaya dan Pertanian Berkelanjutan

(20)

20

Teori tersebut dapat menjadi kondisi yang dialami pada masyarakat Bali dan Dayak (bahkan pada semua masyarakat) bila introduksi pola pembangunan ternyata menyebabkan kegelisahan dan ketidakpastian, termasuk dalam kasus penyeragaman pola pertanian dalam dan antar wilayah. Jika budaya menjadi perhatian dalam pembangunan pertanian, maka Hofstede (1991:15-17) telah menjelaskan adanya perbedaan budaya menurut wilayah, agama, gender, generasi, dan kelas.

Komunikasi budaya masyarakat Bali dan Dayak dalam konteks pembangunan pertanian tidak bisa dilepaskan dari sifat kolektivitas masyarakat adat pada umumnya. Tabel 3.3 menjelaskan sepuluh perbedaan antara masyarakat kolektif dan individualis. Pada masyarakat kolektif, budaya dibangun atas kesadaran bersama dan rasa kebersamaan. Komunikasi dalam pembangunan pertanian bagi masyarakat adat merupakan interaksi simbolik yang menerangkan tentang kebersamaan.

Tabel 3.3. Perbedaan antara Masyarakat Kolektif dan Individualis

INDIVIDUALISME KOLEKTIVISME

Peduli pada diri sendiri Melindungi keluarga atau kelompok

Kesadaran untuk diri sendiri Kesadaran untuk kelompok

Hak privasi Fokus pada rasa memiliki

Berbicara menurut pikiran sendiri Menjaga harmoni

Lain diklasifikasikan sebagai individu Lain diklasifikasikan menurut kelompok

Opini pribadi Opini menurut kelompok

Pelanggaran norma adalah dosa Pelanggaran norma adalah memalukan

Bahasa ke-aku-an adalah biasa Bahasa ke-aku-an dihindari

Belajar bagaimana mempelajari Belajar bagaimana melakukan

Tugas berlaku setelah hubungan Hubungan berlaku setelah tugas

Sumber: Hofstede (2011:11)

Ciri kolektivitas sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3.3 menjadi sangat penting sekali dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Komunikasi sebagai interaksi simbolik kolektivitas masyarakat dalam budidaya pertanian dapat mendukung kolaborasi produktivitas (productivity), stabilitas (stability), dan pemerataan (equity) seperti diistilahkan oleh Conway (1984) dalam Salikin (2003). Hal ini diperkuat oleh Harwood (1990) dalam Sutanto (2002) yang menyatakan ada tiga kesepakatan yang harus dilaksanakan dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, ialah: (1) produksi pertanian harus ditingkatkan tetapi efisien dalam pemanfaatan sumber daya, (2) proses biologi harus dikontrol oleh sistem pertanian itu sendiri (bukan tergantung pada masukan yang berasal dari luar pertanian) dan (3) daur hara dalam sistem pertanian harus lebih ditingkatkan dan bersifat tertutup.

(21)

21

Gambar 3.5. Kendala Petani dan Inovasi Kelembagaan (Herbel et al. 2012:30)

Gambar 3.5 di atas menjelaskan bahwa pengetahuan dan informasi sebagai unsur komunikasi dalam suatu komunitas dapat mempengaruhi pembangunan pertanian. Jaringan komunikasi pertanian dan sistem informasi menjadi alternatif pilihan inovasi kelembagaan untuk mendukung pertanian berkelanjutan.

Pola komunikasi lintas budaya memberikan pemahaman bahwa strategi penyuluhan, sebagai strategi yang tepat membangun komunikasi sesuai dengan ragam budaya di masyarakat pertanian, harus menangkap kebutuhan budaya pertanian di tingkat masyarakat itu sendiri. Penyuluhan seharusnya mampu menginternalisasikan paradigma berkelanjutan yang diusung dalam konsep pertanian berkelanjutan. Dengan demikian, peran penyuluh adalah mutlak dalam mendorong efektifitas pertanian berkelanjutan.

(22)

22

kerjasama yang efektif. Kepedulian dan fasilitasi yang intensif dari seorang penyuluh sangat penting dalam membangun hubungan mengikat diantara atau dengan petani itu sendiri.

Dalam konteks yang lebih luas, paradigma pertanian berkelanjutan harus dinegosiasikan oleh agen-agen perubahan di berbagai level. Ketika pemerintah memiliki tujuan dalam pencapaian target pembangunan pertanian, maka agen-agen perubahan (seperti penyuluh dan Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) harus mampu menginformasikan tujuan optimalisasi pertanian dengan baik. Gambar 3.6 menjelaskan bagaimana seharusnya peran seorang agen perubahan (fasilitator) dalam menegosiasikan tujuan secara seimbang sehingga praktek-praktek pertanian yang terukur dapat mendorong perubahan perilaku semua stakeholder yang terkait dengan pembangunan pertanian.

Gambar 3.6. Alternatif Komunikasi Lintas Budaya dalam Pengembangan Pertanian (dimodifikasi dari Kagawa-Singer dan Kassim-Lakha 2003:582)

(23)

23

Gambar 3.7. Kompetensi Lintas Budaya dalam Pertanian Bekelanjutan (dimodifikasi dari Johnson et al. 2006:536)

(24)

24

BAB IV PENUTUP

Komunikasi lintas budaya merupakan upaya memahami pola komunikasi budaya pada berbagai komunitas yang berbeda. Fokus pemahamannya adalah pada keragaman pola komunikasi sebagai interaksi simbolik yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Kita mencontohkan bahwa masyarakat Bali dan masyarakat Dayak memiliki pola komunikasi yang berbeda terutama dalam budidaya pertanian. Namun demikian, budaya pertanian kedua komunitas itu seringkali diwujudkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan sebagai wujud terima kasih pada Sang Pencipta dan alam.

Masyarakat etnis di Indonesia memiliki pola komunikasi yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Ragam etnis dengan ragam komunikasi lintas budaya dapat menjadi modal dalam pembangunan pertanian. Untuk mendorong pembangunan pertanian berbasis etnis, beberapa upaya perlu dilakukan, baik dalam perbaikan produksi, aktivitas, maupun dukungan teknis. Salah satu hal yang penting adalah pemberdayaan kelembagaan berbasis komunikasi lintas budaya yang membentuk kelembagaan musyawarah.

Dengan memahami bahwa komunikasi lintas budaya sebagai interaksi simbolik yang berkembang dalam kelembagaan di tingkat lokal, tata kelola lokal menentukan kebijakan pemberdayaan kelembagaan yang mampu mendorong kapabilitas masyarakat itu sendiri dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk dalam pengembangan praktek budidaya pertanian. Patel (2011:7) menegaskan bahwa masyarakat berdaya jika mereka: (1) memiliki akses informasi, (2) terlibat dalam forum-forum pembahasan isu dan pengambilan keputusan, (3) dapat mengajak pengambil keputusan untuk mempertimbangkan pilihan dan aksi, dan (4) memiliki kapasitas dan sumber daya untuk melembagakan kepentingan dan peran dengan lembaga publik.

(25)

25

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Pertumbuhan penduduk dunia lampaui prediksi.

http://internasional.kompas.com/read/2013/06/15/10091516/Pertumbuhan.Penduduk.

Dunia.Lampaui.Prediksi. diakses pada tanggal 02 Mei 2014

Baulch B, Chuyen TTK, Haughton D, dan Haughton J. 2002. Ethnic minority development in Vietnam: A socioeconomic Perspective. Workshop on “Economic

Growth and Household Welfare: Policy Lessons from Vietnam. World Bank.

Bonfiglioli A. 2003. Empowering the poor: Local governance for poverty reduction.

UNCDF Senior Technical Advisor. United Nations Capital Development Fund.

Chávez AF dan Guido-DiBrito F. 1999. Racial and ethnic identity and development. New

Directions for Adult and Continuing Education. 84:39-47.

Dharmawan AH. 2006. Pendekatan-pendekatan pembangunan pedesaan dan pertanian: Klasik dan kontemporer. Makalah pada acara “Apresiasi Perencanaan Pembangunan Pertanian Daerah bagi Tenaga Pemandu Teknologi Mendukung Prima Tani”. Cisarua Bogor, 19-25 November 2006.

Dreier P. 1996. Community empowerment strategies: The limits and potential of community organizing in urban neighborhoods. Cityscape: A Journal of Policy

Development and Research. 2(2):121-159.

El Harizi K. 2006. Empowerment: actors, institutions, and change. Draft Conference Paper for Natural Resource Policies in the Near East and North Africa: From

Management to Governance. A Research-based Regional Policy Forum,

Bibliotheca Alexandrina.

Fanto JA. 1996. The absence of cross-cultural communication: SEC mandatory disclosure and foreign corporate governance. Northwestern Journal of International Law &

Business. 17(1):119-206.

Fisher K. 2012. Ethnic identity development of anglo-oriented second-generation latinos.

Journal of the Indiana University Student Personnel Association. Hal 47-54.

Fox J. 2004. Empowerment and institutional change. Mapping “virtuous circles” of state-society interaction. Working Meeting on Power, Rights, and Poverty Reduction. Washington DC. World Bank.

Herbel D, Crowley E, Haddad NO, dan Lee M. 2012. Good Practices in Building

Innovative Rural Institutions to Increase Food Security. Roma. FAO.

Hofstede G. 1991. Cultures and Organizations: Software of the mind. Berkshire. McGraw-Hill Book Company.

Hofstede G. 2011. Dimensionalizing Cultures: The Hofstede Model in Context. Online

(26)

26

Iftekhar MS. 2003. Local level institutional arrangements in ECFC Project: A case study. Working Paper WP023. Dhaka. Program Development Office for Integrated Coastal Zone Management Plan (PDO-ICZMP).

Isaac TMT dan Heller P. 2003. Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance. Di dalam: Fung A dan Wright. Deepening Democracy. London. Verso.

Johnson JP, Lenartowicz T, dan Apud S. 2006. Cross-cultural competence in international business: Toward a definition and a model. Journal of International Business

Studies. 37:525–543.

Kagawa-Singer M dan Kassim-Lakha S. 2003. A strategy to reduce cross-cultural miscommunication and increase the likelihood of improving health outcomes.

Academic Medicine. 78(6):577-586.

Levine TR, Park HS, dan Kim RK. 2007. Some conceptual and theoretical challenges for cross-cultural communication research in the 21st century. Journal of Intercultural

Communication Research. 36(3):205–221.

Liliweri A. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Liliweri A. 2007. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. Yogyakarta. LKIS.

Loury GC. 2000. Social exclusion and ethnic groups: The challenge to economics.

Annual World Bank Conference on Development Economics. The International

Bank for Reconstruction an d Development/The World Bank.

Luttrell C, Quiroz S, Scrutton C, dan Bird K. 2009. Understanding and operationalising empowerment. Working Paper 308. London. Overseas Development Institute.

Montalvo JG dan Reynal-Querol M. 2005. Ethnic diversity and economic development.

Journal of Development Economics. 76:293–323.

Muhsin MZ, Sunarni N, Mahzuni D, Adyawardhina R, Nugraha A, Maulana S, dan Kartika N. 2011. Kajian Identifikasi Permasalahan Kebudayaan Sunda: Masa Lalu,

Masa Kini, dan Masa yang Akan Datang. Bandung. Fakultas Sastra Universitas

Padjajaran.

Narayan D. 2002. Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook. Washington DC. The International Bank for Reconstruction and Development /The World Bank.

Oxaal Z dan Baden S. 1997. Gender and empowerment: definitions, approaches and implications for policy. Briefing prepared for the Swedish International

Development Cooperation Agency (Sida): Report Number 40. Brighton. BRIDGE

(development - gender), Institute of Development Studies, University of Sussex.

(27)

27

Prato B dan Longo R. 2012. Empowerment of poor rural people through initiatives in agriculture and natural resource management. Promoting Pro-Poor Growth: The

Role of Empowerment. OECD.

Premdas RR. 1996. Ethnicity and Development: The Caribbean and Oceania. Working

Paper 221. The Helen Kellogg Institute for International Studies.

Richter P. 2011. Empowering rural communities through financial inclusion. Rural

Policy Briefs. ILO.

Reeler D. 2007. A Three-fold Theory of Social Change and Implications for Practice,

Planning, Monitoring and Evaluation. Centre for Developmental Practice.

[RLDP] Resettlement Livelihoods and Development Program. 2009. Resettlement Livelihoods and Ethnic Minorities Development Program. Consultation Version. Trung Son Hydropower Project Management Board.

Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta. Kanisius.

Sarwoprasojo S. 2013. Metode penelitian komunikasi antar budaya. [Modul kuliah]. Bogor. FEMA IPB.

Saville-Troike M. 1980. Cross-Cultural Communication in the Classroom. Di dalam: Alatis JE (Editor). Current Issues in Bilingual Education. USA. Georgetown University

Smith PB. 2004. Acquiescent response bias as an aspect of cultural communication style.

Journal of Cross-Cultural Psychology. 35(1):50-61.

Snodgrass DR. 1995. Successful Economic Development in a Multi-Ethnic Society: The

Malaysian Case. Institute Fellow at the Harvard Institute for International

Development.

Suradisastra K. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian

Agro Ekonomi. 26(2):82-91.

Sutanto R. 2002. Pertanian Organik: Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan.

Yogyakarya. Kanisius.

Syahyuti. 2005. Pembangunan pertanian dengan pendekatan komunitas: Kasus rancangan program prima tani. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(2):102-115.

Tannen D. 1984. The Pragmatics of Cross-Cultural Communication. Applied Linguistics. 5(3):189-195.

Thomas J. 1982. Cross-cultural pragmatic failure. Applied Linguistics. 4(2):91-112.

Walsham G. 2002. Cross-cultural software production and use: A structurational analysis.

MIS Quarterly. 26(4):359-380.

(28)

28

Gambar

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1.  Tiga Level Keunikan Manusia (Hofstede 1991:6)
Gambar 2.2.  Hubungan Hak dan Pemberdayaan dalam Lingkungan Kelembagaan Formal dan Informal (Fox 2004:8)
Gambar 2.3.  Siklus Perkembangan Gelombang Budaya Pertanian (Sudibyo 1995 dalam Salikin 2003)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada pengujian regresi linear sederhana ini, maka dapat disimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap

penulisan skripsi ini dengan judul “ HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN KESEPIAN PADA LANJUT USIA di PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA GAU MABAJI

Saya �dak perlu menjalani operasi rongga mulut dan tes�s saya, saya hanya menjalani pengobatan (minum obat) untuk paru-paru saya saja. Padahal secara manusia, kondisi saya

Perizinan yang dibutuhkan dalam proses pembangunan perumahan adalah izin mendirikan bangunan (IMB), serta izin dari instansi terkait lainnya. Besaran

• Sewaktu memesan part pengganti untuk selang bahan bakar, selang pemakaian umum dan selang vinyl yang standard, pakailah nomor part borongan yang dicantumkan pada parts

Penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian Orang Tua di Kabupaten Rejang Lebong dan mengamati fakta yang terjadi pada focus

Perbedaan Hasil Belajar dan Motivasi Belajar Siswa yang menggunakan Model Pembelajaran Peer Tutoring dengan TPS. Model pembelajaran Peer Tutoring dan TPS merupakan

Agung Triharso, Permainan Kreatif dan Edukatif Untuk Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Andi Offset, 2013), hal.. lingkaran secara langsung yang dimulai dengan mengetahui,