• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMUTIHAN TEPUNG PORANG (Amorphophallus onchophyllus) MENGGUNAKAN NATRIUM METABISULFIT DAN VITAMIN C Kristinah Haryani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMUTIHAN TEPUNG PORANG (Amorphophallus onchophyllus) MENGGUNAKAN NATRIUM METABISULFIT DAN VITAMIN C Kristinah Haryani"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PEMUTIHAN TEPUNG PORANG (Amorphophallus onchophyllus) MENGGUNAKAN NATRIUM METABISULFIT DAN VITAMIN C

Kristinah Haryani1), Suharto2), Suryanto3), Sarana4), Teguh Budi Santosa5)

1

Glucomannan flour is flour made from the tuber porang (Amorphophallus onchophyllus) with a high content of glucomannan. Glucomannan is a polysaccharide composed of glucose and mannose which has many benefits, especially as a gelling agent. Use of local resources such as tubers porang as a substitute gelling agent is required to reduce the harmful use of gelling agents such as borax. However, the use of glucomannan flour in the food industry is still low because visually unappealing due glucomannan flour of brown color. Glucomannan flour browning is caused by browning reaction during processing. Therefore, it needs a flour bleaching process to increase the sale value of the flour so that the use of hazardous substances as ingredients of gelling agent can be reduced. This study aimed to assess the effect of ethanol concentration on the degree of white and grade glucomannan flour generated.

In this research, sliced tubers porang (chips) were soaked using ethanol solution and sodium metabisulphite (Na2S2O5)addition or vitamin C so that the resulting glucomannan flour brightly colored. Analysis was conducted on the analysis of whiteness and glucomannan levels.

It was found that the addition of metabisulfite produces brighter flour with white of 87.7 degrees compared vitamin C with white of 81.7 degrees. The highest levels glukomannan is of 48.7% obtained on immersion in 40% ethanol solution.

Keywords: glucomannan flour, bleachimg, Na2S2O5, vitamin C

Abstrak

Tepung porang adalah tepung yang dibuat dari umbi porang dan memiliki kandungan glukomanan yang tinggi. Glukomanan adalah polisakarida yang tersusun oleh glukose dan mannose serta memiliki banyak manfaat terutama sebagai gelling agent. Pemanfaatan sumber daya lokal seperti umbi porang sebagai bahan pengganti gelling agent diperlukan untuk mengurangi penggunaan gelling agent yang berbahaya seperti boraks. Namun penggunaan tepung porang di industri makanan masih rendah karena secara visual tepung porang tidak menarik akibat warna tepung yang kecoklatan. Pencoklatan pada tepung porang disebabkan oleh reaksi browning selama pengolahannya. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pemutihan pada tepung untuk meningkatkan nilai jual tepung sehingga penggunaan bahan berbahaya sebagai bahan pengenyal dapat dikurangi. Dalam penelitian ini akan dilakukan perendaman irisan umbi porang (chips) menggunakan larutan etanol yang ditambah Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) atau vitamin C supaya dihasilkan tepung

(2)

etanol terhadap derajat putih dan kadar glukomanan dari tepung porang yang dihasilkan. Analisa yang dilakukan meliputi analisa derajat putih dan kadar glukomanan . Dari hasil penelitian penambahan metabisulfit menghasilkan tepung lebih cerah dengan derajad putih 87,7 dibandingkan vitamin C dengan derajad putih 81,7. Kadar glukomannan yang paling tinggi yaitu 48,7 % diperoleh pada perendaman dalam larutan etanol 40%.

Kata Kunci: tepung porang, glukomanan, pemutihan, Na2S2O5, vitamin C

PENDAHULUAN

Umbi porang merupakan salah satu tanaman yang tergolong genus Amorphophallus dan termasuk ke dalam famili Araceae atau talas-talasan. Di Indonesia, spesies yang paling banyak dijumpai adalah A. campanulatus (umbi suweg), A. muelleri, A. spectabilis, A. decissilvae, A. variabilis (porang putih), dan A. oncophyllus (porang kuning) (Afifah dkk., 2014).

Bagian umbi tanaman porang digunakan sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Umbi berbentuk bulat dan memiliki serabut-serabut akar. Bagian kulit umbi yang terkupas akan mengeluarkan getah yang licin (kalsium oksalat) dan menyebabkan gatal di kulit serta pembengkakan bibir, mulut dan tenggorokan jika dimakan mentah (Kumoro et al., 2014).

Keunikan porang dari umbi yang lain adalah kandungan glukomanan yang tinggi. Porang yang mengandung glukomanan tinggi adalah porang kuning (Amorphophallus oncophyllus) dan porang putih (Amorphophallus variablilis). Namun kandungan glukomanan pada porang kuning lebih tinggi yaitu 67% dibanding kandungan glukomanan pada porang putih yang hanya 30% (Mulyono, 2010).

Glukomanan merupakan polisakarida dalam famili mannan yang tersusun oleh ikatan β -1,4 D-mannosa dan D-glukosa dengan perbandingan mannosa/glukosa yaitu 1,6 (Sarker et al., 2012).

Gambar 1. Struktur rantai glukomannan

Glukomanan larut dalam air panas maupun air dingin, dengan viskositas tinggi dan pH antara 4,0-7,0 dan berfungsi sebagai agen pembentuk gel, pengental, pengemulsi, dan stabilizer (Kaya et al., 2015). Glukomanan merupakan serat pangan yang paling kental karena kemampuannya menyerap air (Zhang et al., 2015). Sifat kental ini dapat dibentuk menjadi gel di bawah kondisi panas yang stabil melalui pengaturan panas dan alkali encer. Glukomanan juga stabil dengan adanya asam dan garam (Kaya et al., 2015).

Dibandingkan dengan boraks, tepung porang lebih aman digunakan sebagai bahan pengenyal (gelling agent). Kandungan glukomanan yang tinggi menjadikan tepung

Mannosa Mannosa

aa

(3)

porang berpotensi sebagai bahan tambahan pangan yang aman untuk pengenyal. Namun, penggunaan tepung porang di industri makanan masih rendah karena secara visual tepung porang tidak menarik akibat warna tepung yang tidak bagus (coklat). Pencoklatan pada tepung porang disebabkan oleh reaksi browning selama pengolahannya. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pemutihan pada tepung untuk meningkatkan nilai jual tepung sehingga penggunaan bahan berbahaya sebagai bahan pengenyal dapat dikurangi. Reaksi browning (pencoklatan) adalah reaksi kimia yang terjadi dalam bahan pangan dan menyebabkan bahan pangan berubah warna menjadi coklat. Reaksi browning menyebabkan deteriorasi atau penurunan mutu bahan pangan selama pemrosesan dan penyimpanan (Friedman, 1996). Reaksi pencoklatan terdiri dari 2 jenis yaitu reaksi pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis.

Reaksi pencoklatan enzimatis dipengaruhi oleh 4 komponen yaitu oksigen, enzim, tembaga, dan substrat (Laurila et al., 1998). Pada tepung poang, proses browning secara enzimatis disebabkan karena tepung iles-iles mengandung polifenol oksidase dan tannin (Zhao et al., 2010). Tannin merupakan senyawa fenol (Queiroz et al., 2011). Enzim yang paling berpengaruh dalam reaksi pencoklatan adalah enzim polifenol oksidase (PPO). PPO adalah istilah untuk kelompok enzim yang menghasilkan warna coklat pada bahan pangan (Laurila et al., 1998). Selama reaksi pencoklatan terjadi, membran sel mengalami kerusakan dan enzim akan kontak dengan substrat yang sesuai. Dengan adanya oksigen, reaksi pencoklatan lebih cepat terjadi. Enzim PPO akan mengoksidasi senyawa fenol dan dioksidasi lebih lanjut menjadi orthoquinones. Orthoquinones akan bereaksi lebih lanjut dengan senyawa fenol yang lain membentuk pigmen hitam atau coklat seperti melanin.

Reaksi pencoklatan non-enzimatis terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi (terutama α-D-glukosa) dengan gugus amin bebas dari asam amino, bagian protein atau senyawa lain yang mengandung gugus amin (Kusnandar, 2011). Menurut Bastos et al., (2012) reaksi pencoklatan non-enzimatis dipengaruhi oleh oksigen, asam amino, pH, suhu, dan water activity (aw). Water activity (aw) adalah rasio antara tekanan uap air dalam bahan dengan tekanan uap murni pada suhu yang sama (Decagon, 2006). Secara umum, pencoklatan maksimum terjadi pada kisaran aw 0,6 sampai 0,85 dan kecepatan reaksi browning semakin meningkat seiring meningkatnya pH hingga sekitar 10. Reaksi Maillard juga dapat dipicu selama proses pengolahan suhu tinggi seperti penyangraian, penggorengan, pemanggangan, dan pemasakan. Reaksi Maillard dapat juga terjadi selama penyimpanan, tetapi dengan laju reaksi yang lebih lambat. Pada tepung porang, reaksi Maillard menyebabkan tepung berwarna kecoklatan. Hal ini dikarenakan pada proses pengolahan menjadi tepung dilakukan pengeringan pada suhu tinggi.

Bahan pemutih yang sering digunakan dalam proses pemutihan tepung adalah pemutih sulfit (Na2SO3, NaHSO3, Na2S2O5, K2SO3) yang digunakan dalam penelitian Zhao et al. (2010) dengan konsentrasi 0,1 ; 0,15 ; 0,2 ; 0,25 ; 0,3 dan 0,4%. Menurut Zhao et al. (2010), semakin tinggi konsentrasi bahan pemutih yang digunakan maka colour index akan mengalami kenaikan. Pada konsentrasi tertinggi (0,4%) colour index mencapai maksimum (I). Penggunaan keempat senyawa tersebut masih meninggalkan residu ion sulfit sebesar 30-56 ppm sedangkan batas maksimum ion sulfit yang diperbolehkan oleh Chinese Standard of Food Additives adalah 30 ppm.

(4)

lanjutan pada tahap pembentukan pigmen melanoidin. Selain itu, natrium metabisulfit memiliki kelebihan yaitu mengurangi jumlah kristal kalsium oksalat yang merupakan penyebab rasa gatal pada tepung, menetralkan alkaloid sebagai penyebab rasa pahit, dan memperpanjang masa simpan tepung.

METODE PENELITIAN

Umbi porang (Amorphopallus oncophyllus sp.) asal Magelang, Jawa Tengah dikupas kemudian iris tips-tipis . Irisan umbi porang kemudian direndam dalam larutan etanol pada berbagai konsentrasi ( 0%,20% dan 40%). Ada dua perlakuan yang dlakukan pada penlitian ini. Yang pertama larutan etanol pada berbagai konsentrasi ditambah dengan Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) dengan konsentrasi 1% dan yang kedua larutan etanol pada berbagai konsentrasi ditambah dengan asam akorbat engan konsentrasi 2 %. Waktu perendaman 30 menit. Setelah direndam irisan umbi porang dikeringkan alam oven dengan suhu 55oC dan dihaluskan kemudian dianalisa kadar glukomannan dan derajad putihnya.

Analisis kadar glukomanan dilakukan untuk mengetahui kadar glukomanan tepung iles-iles berdasarkan kandungan mannosa yang terbentuk menggunakan metode Ohtsuki (1968). Analisa derajat putih dilakukan untuk mengetahui derajat putih tepung iles-iles berdasarkan nilai L (Lightness) yang berkisar antara angka 0-100. Alat yang digunakan yaitu Chromameter Minolta CR 300.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Warna dan kadar glukomanan adalah parameter yang paling penting dalam penentuan kualitas tepung iles-iles. Derajat putih tepung iles-iles yang diinginkan pasar adalah 80 (Mulyono,2010). Sedangkan batas minimum kadar glukomanan pada tepung iles-iles menurut SNI 01-1680-1989 adalah ≥35% untuk Mutu I dan ≥15% untuk Mutu II. Dari hasil pengujian tepung iles-iles variabel kontrol (tanpa perlakuan perendaman dalam bahan pemutih) didapat kadar glukomanannya sebesar 30,09% dan derajat putihnya sebesar 69,770.

Pengaruh Konsentrasi Ethanol terhadap Kadar Glukomanan

Pengaruh konsentrasi ethanol dalam larutan yang digunakan untuk merendam chips terhadap kadar glukomannan pada tepung yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 1.

(5)

Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa konsentrasi ethanol 40% memberikan kadar glukomanan paling tinggi pada chips iles-iles yang direndam dalam natrium metabisulfit (1%) maupun vitamin C (2%) . Dengan penggunaan konsentrasi ethanol 0%, 20%, dan 40% pada larutan dengan pemutih natrium metabisulfit, diperoleh kadar glukomanan masing-masing sebesar 26,93%, 34,87%, dan 49,67%. Sedangkan pada larutan dengan pemutih vitamin C dengan konsentrasi ethanol 0%, 20%, dan 40% diperoleh kadar glukomanan masing-masing sebesar 25,2%, 30,47%, dan 47,13%.

Dari data tersebut diperoleh bahwa semakin besar kadar ethanol maka semakin besar pula kadar glukomanannya. Hal ini menunjukkan bahwa pada saat proses perendaman chips, ethanol dapat melarutkan pengotor dan zat-zat lain selain glukomanan yang terdapat pada chips. Ethanol tidak melarutkan glukomanan karena ethanol bersifat non solvent terhadap glukomanan (Zhao et al., 2010). Karena sifat tersebut, glukomanan tetap berada di dalam chips sedangkan zat-zat lain yang terlarut berpindah ke larutan. Kadar glukomanan semakin tinggi karena semakin besar kadar ethanol, semakin sedikit glukomanan yang terlarut.

Menurut Zhao et al. (2010), pada konsentrasi ethanol kurang dari 40%, glukomanan akan mudah mengembang dan larut dalam larutan sehingga membentuk sol. Oleh karena itu, chips iles-iles yang direndam dengan penambahan larutan ethanol 0% memiliki kadar glukomanan paling rendah. Pada konsentrasi ethanol 20%, zat pengotor belum terlarut secara sempurna sehingga kadar glukomanannya lebih rendah dibandingkan larutan dengan konsentrasi ethanol 40%. Pada saat konsentrasi ethanol 40%, kadar glukomanan yang terlarut berada pada angka minimal.

Pengaruh Konsentrasi Ethanol terhadap Derajat Putih

Pengaruh konsentrasi ethanol dalam larutan yang digunakan untuk merendam chips terhadap derajad putih pada tepung yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2 Pengaruh Konsentrasi Ethanol terhadap Derajat Putih

(6)

larutan dengan pemutih vitamin C dengan konsentrasi ethanol 0%, 20%, dan 40% diperoleh derajat putih masing-masing sebesar 79,893, 80,481, dan 79,982.

Ethanol hanya berpengaruh terhadap kadar glukomanan namun tidak berpengaruh terhadap derajat putih. Ethanol dapat berpengaruh terhadap suhu pengeringan, semakin banyak kadar ethanol, maka semakin rendah titik didih larutan yang digunakan untuk perendaman. Jika pengeringan dilakukan di suhu yang lebih rendah, maka chips tidak hangus sehingga warnanya dapat menjadi lebih putih. Namun pada percobaan ini, pengeringan dilakukan pada suhu yang sama, yaitu suhu 55oC, sehingga kadar ethanol tidak berpengaruh terhadap derajat putihnya.

SIMPULAN

Kadar glukomanan paling tinggi diperoleh pada tepung iles-iles yang direndam dengan pemutih natrium metabisulfit dalam larutan etanol 40%. Namun konsentrasi ethanol tidak berpengaruh terhadap derajat putih tepung iles-iles yang direndam dengan pemutih natrium metabisulfit maupun vitamin C. Derajat putih tepung iles-iles yang direndam dengan pemutih natrium metabisulfit lebih tinggi dibandingkan dengan pemutih vitamin C.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih kepada Kepala Dinas Pertanian, Peternakan dan Perikanan, Kota Magelang, Direktur Politeknik Negeri Semarang, dan Ketua P3M Politeknik Negeri Semarang atas kebijakannya sehingga kerjasama untuk pelaksanaan Pogram Hi-link Polines 2016-2018 dapat berjalan antara lain menghasilkan karya ilmiah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Afifah, E., Nugrahani, M. O. & Setiono, 2014. Peluang Budidaya Iles-iles (Amorphophallus spp.) sebagai Tanaman Sela. Warta Perkaretan 2014, pp. 35-46. Bastos, D. M., Monaro, E., Siguemoto, E. & Sefora, M., 2012. Maillard Reaction

Products in Processed Food : Pros and Cons. Food Industrial Process-Methods and Equipment, pp. 281-301.

Decagon, D., 2006. Fundamentals of Water Activity. pp. 1-7.

Friedman, M., 1996. Food Browning and Its Prevention: An Overview. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 44(3).

Kaya, A. O. W., Suryani, A., Santoso, J. & Rusli, M. S., 2015. The Effect of Gelling Agent Concentration on the Characteristic of Gel Produced From the Mixture of Semi-refined Carrageenan and Glukomannan. International Journal of Science : Basic and Apllied Research (IJSBAR), 20(1), pp. 313-324.

Krishnan, J. G., Padmaja, G., Moorthy, S. N., Suja G., and Sajeev, M.S., 2010. Effect of Pre-Soaking Treatments on the Nutritional Profile and Browning Index of Sweet Potato and Yam Flours. Innovative Food Science and Emerging Technologies 11, pp. 387-395.

Kumoro, A. C. et al., 2014. Kinetics of Calcium Oxalate Reduction in Taro (Colocasia esculenta) Corm Chips during Treatments Using Baking Soda Solution. Procedia Chemistry, pp. 102-112.

Kusnandar, F., 2011. Kimia Pangan : Komponen Makro. Jakarta: Dian Rakyat.

(7)

Mulyono, E., 2010. Peningkatan Mutu Tepung Iles-iles (Amorphophallus onchophyllus) (Foodgrade : Glukomannan 80%) sebagai Bahan Pengelastis MI 50%) dan Pengental (1% = 16.000 cps) melalui Teknologi Pencucian Bertingkat dan Enzimatis pada Kapasitas Produksi 250 Kg Umbi/hari, Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Queiroz, C. et al., 2011. Polyphenol Oxidase Activity, Phenolic Acid Composition and Browning in Cashew Apple (Anacardium occidentale, L.) after Processing. Food Chemistry, pp. 128-132.

Sarker, M. Z. I. et al., 2012. Effect of Some Biopolymers on the Rheological Behavior of. Journal of Molecules, pp. 5733-5744.

Zhang, Y.-q., Xie, B.-j. & Gan, X., 2005. Advance in the Applications of Konjac Glucomannan and Its Derivatives. Carbohydrate Polymers, pp. 27-31.

Gambar

Gambar 1. Pengaruh Konsentrasi Ethanol terhadap Kadar Glukomanan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tepung biji nangka melalui lama perendaman dalam natrium metabisulfit dan cara pengeringan dapat disimpulkan bahwa faktor

Analisis keragaman menunjukan bahwa konsentrasi larutan natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar lemak, kadar abu, rasio rehidrasi dan

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui pengaruh perbandingan air dan ubi talas serta konsentrasi natrium metabisulfit sebagai larutan perendam terhadap mutu pati

Analisis keragaman menunjukan bahwa konsentrasi larutan natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar lemak, kadar abu, rasio rehidrasi dan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tepung biji nangka melalui lama perendaman dalam natrium metabisulfit dan cara pengeringan dapat disimpulkan bahwa faktor

Perlakuan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 2.000 ppm dan pengeringan menggunakan metode penjemuran memberikan tingkat kecerahan atau nilai L ( Lightness )

Hasil penelitian menunjukkan, kombinasi perlakuan konsentrasi dan lama perendaman natrium metabisulfit berpengaruh terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak dan

Interaksi Dari analisis sidik ragam Lampiran 4 menunjukkan bahwa interaksi perlakuan konsentrasi natrium metabisulfit dengan lama perendaman berpengaruh berbeda tidak nyata P>0,05