REFORMASI HUKUM BERBASIS KEADILAN DAN NILAI-NILAI KEBUDAYAAN Oleh
Febriansyah Ramadhan Sunarya
Hukum merupakan alat untuk mencapai kesempurnaan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam teori hukum konvensional, hukum mempunyai fungsi sebagai
pengendalian sosial dan alat untuk merekayasa perubahan sosial.1 Kedua fungsi tersebut
saling berjalan beriringan, hukum merekayasa sekaligus mengontrol kehidupan sosial dalam
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, hukum memiliki posisi yang sangat sentral dalam
kehidupan bermasyarakat, hukum menjadi penentu kualitas hubungan sosial masyarakat
dalam negara.
Tujuan hukum adalah keadilan, Aristoteles merumuskan bahwa keadilan adalah
kehendak yang tetap dan tak ada akhirnya untuk memberi kepada tiap orang apa yang
menjadi haknya.2 Hukum yang gagal adalah hukum yang tidak memberikan rasa keadilan
bagi masyarakatnya. Jika tujuan hukum adalah keadilan, maka tujuan utama yang hendak
dicapai dalam kerangka reformasi hukum adalah tegaknya supremasi hukum dalam
masyarakat. Penegakan supremasi hukum dapat menyelesaikan separuh dari berbagai
persoalan bangsa, sedangkan separuh sisanya bisa terbagi ke bidang-bidang lain yang dapat
diselesaikan secara ad hoc.3 Supremasi hukum diwujudkan melalui penegakan aturan-aturan
hukum yang sudah ada oleh aparat penegak hukum. Supremasi hukum menempatkan semua
orang sama dimata hukum, kondisi kesetaraan itulah yang, setidaknya, dapat memberikan
rasa adil bagi masyarakat.
Namun, Supremasi hukum melalui penegakan aturan-aturan hukum saja tidak cukup,
penyesuaian hukum dengan kondisi sosial masyarakat juga perlu dipertimbangkan. Hukum
adalah bagian dari elemen sistem sosial dan karena itu dalam bekerja dipengaruhi oleh
elemen-elemen lain dalam sistem sosial, misalnya elemen politik, ekonomi dan budaya.
Cotterrell yang dikutip oleh Rikardo Simarmata menjelaskan bahwa teks-teks hukum akan
1
Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 36 – 37.
2
Ibid, hlm 29-30
3 Moh Mahfud MD, 2016, “Reformasi Hukum, Reformasi Apa?”,
mewujud dengan bantuan pelaksana dan penegak hukum. Tanpa pelaksana dan penegak
hukum, teks-teks hukum tidak berarti.4
Menurut Lawrence Meir Friedman, berhasil atau tidaknya upaya pembangunan
hukum bergantung pada substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal
strucuture) dan budaya hukum (legal culture).5
Ketika upaya pembangunan hukum hanya bertumpu pada aparat penegak hukum saja
(legal structure), upaya tersebut hanya berujung pada kegagalan mengingat aparat penegak
hukum tidak dapat menegakkan keadilan dalam masyarakat sepenuhnya. Suasana pemikiran
sosial dan kekuatan sosial menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menaati hukum dan berorientasi
pada keadilan menciptakan budaya hukum (legal culture) dalam masyarakat yang ideal.
Untuk menciptakan budaya hukum tersebut, perlu memperhatikan substansi hukum
(legal substance) yang berakar pada kebudayaan yang hidup dalam masyarakat. Substansi
hukum yang tidak memperhatikan nilai-nilai kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, akan
sulit diimplementasikan. Sebagai contoh, hukum adat lebih mudah diimplementasikan oleh
masyarakat adat karena hukum adat mengakomodir nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat
tersebut.
4Rikardo Simarmata, 2015, “Hukum dan Masyarakat: Hubungan Saling Pengaruh yang Abadi”
, Disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian Sosio-Legal, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 4-5 November 2015.
5