• Tidak ada hasil yang ditemukan

Protest and Demonstrations Protes dan Ak (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Protest and Demonstrations Protes dan Ak (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Protes dan Aksi Massa

Umar Abdul Aziz 12/332991/SP/25217

Latar Belakang

Salah satu bentuk ekspresi dari perilaku sosial dan perilaku politik adalah protes.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, protes diartikan sebagai pernyataan atau tindakan

tidak menyetujui, menolak, menentang, menyangkal, dsb. Sedangkan dalam Oxford

Dictionary, protes diartikan sebagai pernyataan atau tindakan atas bentuk ketidaksetujuan

ataupun keberatan terhadap sebuah kondisi. Bentuk konkret dari protes, tidaklah harus

berhubungan dengan hal-hal yang sangat besar. Seorang anak yang merengek karena tidak

mau menghabiskan semangkuk sop yang disajikan orangtuanya, adalah merupakan sebuah

protes (Reutch). Begitu pula dengan anggota parlemen yang melakukan walk out dalam

sidang paripurna, karena gagasannya yang tidak diakomodir, merupakan sebuah protes.

Protes dapat dilakukan secara individu maupun secara kelompok. Protes yang

dilakukan secara murni hanya dilakukan oleh individu dan dilakukan di ruang private, pada

umumnya hanya memiliki tujuan ekspresi dari kekecewaan dan ketidaksetujuan antar

individu saja. Protes yang dilakukan di ruang private umumnya hanya memiliki dampak

sosial, namun tidak memiliki dampak politik. Sedangkan pada sisi yang lain, protes yang

dilakukan secara bersama-sama atau berkelompok dan di ruang publik, memiliki pengaruh

politik, seperti untuk mengubah keadaan, lingkungan, nilai-nilai, ataupun kebijakan. Protes

yang dilakukan secara bersama-sama ini kemudian melahirkan konsep mengenai aksi massa.

Protes dan begitupun aksi massa, hakikatnya memiliki urgensi dan akar yang kuat

dalam kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Namun sayangnya, saat ini aksi massa

mengalami pergeseran makna yang negatif. Aksi massa sangat identik dengan demonstrasi

di jalanan yang merusak fasilitas, membuat macet, membakar ban, melanggar hukum, dll.

Tentu saja paradigma negatif tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena apabila merunut pada

argumen David Easton (dalam Mochtar Masoed: 2000), aksi massa dapat menjadi entitas

(2)

Berangkat dari hal-hal diatas, tulisan ini akan berupaya menjawab kegelisahan atas

paradigma negatif gerakan politik, dengan mengangkat dan mengembalikan hakikat aksi

massa sebagai bentuk aksi yang sakral dan efektif. Tulisan ini akan memulai dengan

menjawab pertanyaan mendasar mengenai; Apa itu aksi massa? Mengapa muncul aksi

massa? Bagaimana manajemen aksi massa yang baik?

Apa itu aksi massa?

Menurut Gamson dalam Klandermans (2004) menyebutkan bahwa,

Aksi massa diartikan sebagai seperangkat keyakinan dan pemaknaan yang

berorientasi pada tindakan, yang memberi inspirasi dan melegitimasi berbagai kegiatan dan

kampanye gerakan sosial. Dengan kata lain, kerangka aksi massa adalah seperangkat

keyakinan kolektif yang memungkinkan suatu peikiran tercipta bahwa partisipasi di dalam

aksi kolektif tampak berarti.

Sedangkan Tan Malaka (2000) melihat bahwa aksi massa memiliki makna mendalam

yang dihasilkan dari dua kata itu sendiri, aksi dan massa. Tan Malaka berpendapat bahwa

tidak ada aksi tidak akan berarti tanpa massa, begitupun massa tidak akan memiliki arti tanpa

aksi. Tan Malaka juga menekankan pada kesakralan aksi massa yang didasarkan kepada

penghayatan orang-orang yang terlibat dalam aksi massa terhadap perjuangan mereka.

Dalam tipologi aksi kolektif, aksi massa merupakan bentuk aksi yang paling

terstruktur dan memiliki tujuan yang jelas. Hal inilah yang kemudian membedakan aksi

massa (protes crowd) dengan casual crowd, conventional crowd, expressive crowd, dan

acting crowd. Mohtar Masoed dan Haryanto (1997) menyebutkan bahwa aksi massa bukan

hanya sekedar kerumunan yang emosional. Melainkan ia adalah isakan kolektif yang muncul

secara terencana untuk mencapai tujuan tertentu.

Mengapa Muncul Aksi Massa?

(3)

Teori yang dicetuskan oleh T R Gurr (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997)

berasumsi bahwa protes terjadi karena akibat adanya kesenjangan antara nilai yang

diharapkan dengan nilai yang diperoleh. Pada teori ini, Gurr (dalam Mohtar Masoed dan

Haryanto: 1997) mengklasifikasikan menjadi 3 kondisi yaitu deprivasi decreental, deprivasi

aspirasional, dan deprivasi progresif.

Deprivasi decremental atau kemerosotan adalah kondisi yang paling umum terjadi.

Kondisi ini terjadi ketika tingkat harapan tetap konstan, tetapi kemampuan untuk memenuhi

tuntutan itu pada suatu titik waktu merosot. Sehingga tmbullah kesenjangan antara harapan

(4)

Deprivasi aspirasional menunjukkan kondisi kemampuan sistem untuk memenuhi

harapan yang konstan, namun disisi lain terjadi harapan yang tinggi. Pada kondisi ini maka

akan menimbulkan kemarahan akibat ketidakmampuan sistem untuk memenuhi harapan

yang baru saja berkembang. Adapun hal-hal yang menyebabkan peningkatan harapan ini

adalah (1) efek demonstratif, yang menampilkan cara hidup yang baru, (2) artikulasi ideologi

atau keyakinan yang baru, (3) dampak perbaikan posisi nilai secara keseluruhan, misalkan

pembangunan atau pertumbuhan ekonomi.

Deprivasi progresif menunjukkan kondisi dimana terjadi peningkatan harapan yang

selalu disertai juga dengan peningkatan sistem untuk memenuhi harapan tersebut. Hal

tersebut terus berjalan dengan seimbang, hingga suatu ketika sistem yang biasanya mampu

mengikuti progresivitas harapan justru tiba-tiba merosot. Masyarakat yang selama ini sudah

merasa terpuaskan dengan terpenuhinya harapan mereka, akan menjadi sangat marah karena

sistem justru mengalami pemerosotan. Kondisi seperti ini dapat menciptakan kekecawaan

yang sangat parah, dan akan sangat mudah menyulut lahirnya protes yang bahkan menuntut

pada revolusi.

Gurr (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997) memang menyebutkan pada

dasarnya deprivasi progresif adalah kondisi yang paling berpotensi dalam menyulut protes

yang kuat dan luas. Namun secara umum, tentu saja besarnya kekecewaan dan protes sangat

dipengaruhi oleh besarnya kesenjangan yang timbul dari antara harapan dan kemampuan

(5)

Micro-Macro Level

Adapun Oberschall (2000) mengungkapkan bahwa penyebab timbulnya gerakan

dapat dilihat dari dua level, yaitu level makro dan mikro.

Penyebab pada level makro terdiri dari empat poin, Pertama, penolakan dan

kekecewaan terhadap sebuah kondisi hidup atau lingkungan, misalkan korupsi, pengekangan

kebebasan berpendapat, penindasan, penderitaan, dll.

Kedua, adanya perbedaan kepercayaan, nilai, dan ideologi terhadap kondisi yang ada.

Misalkan ketika ada seorang pejabat yang korupsi, para protester tidak akan melihatnya

sebagai kasus individu. Namun melihat kegagalan sistem dan pemerintah yang berkuasa

dalam menciptakan pemerintahan yang bersih.

Ketiga, kapasitas untuk melakukan aksi kolektif. Misalkan sejauh mana rezim

mengawasi gerakan politik kolektif, akses informasi untuk menjaring massa, kultur

masyarakat dalam melakukan aksi kolektif, dll.

Keempat, kesempatan politik. Artinya sejauh mana terdapat peluang yang muncul

dari luar untuk melakukan aksi kolektif. Misalkan dukungan lembaga donor internasional,

rezim yang sedang mengalami defisit legitimasi, dll.

Sedangkan pada level mikro Oberschall (2000) menjelaskan bahwa level ini

merupakan turunan dari pendekatan pilihan rasional. Pendekatan ini diadopsi dari

pendekatan populer gerakan politik yaitu mobilisasi sumber daya. Pendekatan ini melihat

bahwa setiap individu yang berpotensi untuk ikut dalam gerakan protes, akan

mempertimbangkan lima hal. Oberschall (2000) meringkas hal tersebut menjadi VPNSC.

Penjelasannya adalah sebagai berikut,

(6)

Kedua, (P-probability) Estimasi tantangan dan hambatan-hambatan yang akan

menghambat tujuan yang sudah ditentukan. Estimasi tersebut akan menghasilkan estimasi

probabilitas keberhasilan gerakan.

Ketiga, (N-number of participants) Estimasi terhadap banyaknya orang yang akan

mendukung dan berpartisipasi dalam gerakan.

Keempat, (S-selective incetives) Dorongan dari dalam gerakan untuk bergerak.

Misalkan adanya pemimpin gerakan yang kharismatik, adanya kesamaan identitas,

solidaritas kelompok, dll.

Kelima, (C-cost) “cost” di sini tidak hanya terbatas pada biaya materi. Melainkan sejauh mana pengorbanan yang mesti dilakukan dalam gerakan. Misalkan, berapa biaya yang

harus dikeluarkan? Berapa waktu yang akan dihabiskan? Upaya fisik apa yang harus

dilakukan? dsb.

Menurut Oberschall, setiap individu maupun kelompok pastinya akan

memperhitungkan lima hal diatas. Oberschall membuat rumus;

If P (N) V + S – C (N) > 0

< atau = 0, berarti tidak berpartisipasi.

Bagaimana aksi massa dapat berhasil?

Konsep Aksi Massa Gamson

Gamson (dalam Klandermans: 2004) menjelaskan bahwa terdapat tiga poin yang

mempengaruhi lahir dan suksesnya gerakan yaitu, Pertama, adanya keresahan, ketidakadilan,

kekecewaan, yang sama. Keresahan dapat timbul secara tidak langsung maupun tidak sadar

dialami oleh tiap-tiap individu. Ketika rasa kekecewaan dan keresahan terhadap sebuah isu

dialami oleh banyak orang maka hal ini akan menjadi langkah awal lahirnya aksi massa. Aksi

massa tidak akan pernah terwujud ketika keresahan tidak dirasakan banyak orang.

Kedua, Adanya kesamaan harapan, common enemy, tujuan yang sama. Setelah

(7)

dituntut untuk menyamakan harapan dan tujuan mereka bersama. Hal ini tentu saja menjadi

tantangan, karena keresahan yang sama tidak selalu berbuah pada tujuan yang sama. Pada

tahap inilah kelompok terkait memiliki tantangan untuk mengartikulasi dan

mengagregasikan harapan dan tujuan mereka untuk mewujudkan tujuan kolektif.

Ketiga, adanya keyakinan bahwa aksi yang dilakukan akan mencapai keberhasilan.

Sering kali terjadi, sebuah kelompok telah berhasil merasakan keresahan yang sama, tujuan

yang sama, namun masalahnya mereka tidak yakin akan aksi yang akan mereka lakukan.

Kelompok yang kehilangan pada tahap ketiga ini sangat mungkin akan menjadi gerakan

politik yang mandul atau jalan di tempat. Sedangkan gerakan yang didasari dan terus

memelihara tiga poin ini, maka akan semakin memperbesar peluang mereka dalam

merealisasikan tujuan gerakan.

Keresahan Ketika Keresahan Bersamapun Tidak Muncul

Tentunya akan menjadi persoalan serius ketika terdapat gerakan yang hendak

muncul. Namun hanya sangat sedikit orang yang merasakan keresahan. Kondisi ini dapat

terjadi dengan kemungkinan (1) Khalayak publik memang tidak mengetahui tentang isu yang

sedang dipermasalahkan. Hal ini bisa terjadi karena informasi mengenai isu tersebut bersifat

terbatas, tertutup, atau bahkan rahasia. Dapat dimungkinkan juga karena isu tersebut

belum/tidak disebarluaskan ke masyarakat luas. (2) Khalayak publik sudah mengetahui

mengenai isu terkait, namun banyak yang menganggap itu bukan sebagai suatu masalah. (3)

Khalayak publik sudah mengetahui dan menganggap isu terkait sebagai suatu masalah,

namun enggan berkorban dalam memperjuangkan isu tersebut.

Pada kondisi seperti ini maka individu-individu yang telah merasakan keresahan dan

menganggap bahwa isu terkait penting untuk diperjuangkan dapat melakukan agenda setting.

Agenda setting dapat dilakukan dengan melakukan propaganda berupa poster, mimbar bebas,

menulis di media massa (Kalndermans: 2004). Dapat juga melakukan pewacanaan publik

dengan mengadakan kegiatan-kegiatan terkait isu yang akan diangkat. Kemudian

pencerdasan publik juga dapat dilakukan dengan melakukan diskusi, seminar, gosip, buzzing

(8)

Isu yang hendak diangkat dapat dikaji dengan memperhatikan bahaya historis

ataupun bahaya potensial. Bahaya historis yaitu melihat ancaman yang muncul dengan

melihat pola-pola perkembangan isu dari masa lalu. Misalkan gerakan protes terbesar

terhadap penolakan Perang Irak di berbagai belahan dunia, didasari kekhawatiran masyarakat

dunia akan peran yang selalu meluas dan berbuntut panjang, bahkan berpotensi melahirkan

perang dunia baru. Kemudian bahaya potensial yaitu melihat potensi ancaman yang muncul

dengan didasarkan kerentanan isu terkait. Misalkan gelombang protes terhadap senjata nuklir

dilakukan karena masyarakat dunia khawatir terhadap potensi perang senjata nuklir yang

dapat menyebabkan berakhirnya kehidupan di dunia (Klandermans: 2004).

Bagaimana apabila tetap hanya sedikit orang yang terlibat dalam aksi?

Apabila upaya agenda setting ternyata tidak membuahkan hasil banyak. Tindakan

yang dapat dilakukan adalah para aktivis tetap harus bergerak untuk melakukan agenda

setting dan rekrutmen. Namun tentu saja gerakan tidak dapat dimulai dengan menunggu

banyaknya partisipan. Movement must go on, aksi harus tetap dilakukan dan tidak boleh

kehilangan momentum. Hal yang dapat dilakukan oleh para aktivis adalah dengan melakukan

manajemen massa. McCharty dan Zald (dalam Mohtar Masoed dan Haryanto: 1997)

mengklasifikasikan empat lingkaran partisipasi dalam gerakan, yaitu (1) pemimpin aktivis,

(2) penggerak utama, (3) partisipan, dan (4) simpatisan.

Pemimpin aktivis adalah orang yang berjumlah sedikit dan bersedia meluangkan

seluruh waktunya untuk keberlangsungan gerakan. Mereka adalah aktor utama dalam

menentukan strategi dan tujuan gerakan. Penggerak utama adalah orang-orang yang secara

komitmen berjuang dalam gerakan. Mereka menyisihkan sebagian waktu dan tenaganya

untuk keberlangsungan gerakan. Mereka ikut menekan pemerintah, mempengaruhi opini

publik, dan meningkatkan gairah gerakan. Adapun partisipan adalah orang yang turut serta

dalam aksi, penggalangan dana, penyebaran propaganda, dll. Kemudian yang terakhir adalah

simpatisan, mereka adalah kelompok yang tidak berpartisipasi langsung terhadap gerakan.

(9)

Ilustrasi dari empat lingkaran aktivis tersebut dapat dilihat dibawah ini:

Dalam ilustrasi diatas telah dipaparkan peran dan fungsi masing-masing. Prinsip

dalam pemetaan ini adalah plotting the rights man on the right Place. Kita memberi peran

dan fungsi kepada individu/kelompok sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Tidak

mungkin seorang thing-thang diperankan hanya untuk dukungan moral. Begitu pula tidak

mungkin individu/kelompok yang hanya bersedia menjadi simpatisan, namun dipaksakan

untuk banyak bergerak. Kuncinya adalah Berikan peran dan fungsi kepada setiap aktor

dengan kapasitas dan posisinya masing-masing. Bagaimanapun jadikan setiap orang yang

tergabung dalam aksi ini merasa dihargai dan dibutuhkan kehadirannya.

Lebih lanjut, Dieter Rutch (2006) pernah melakukan survei mengenai persentase

keterlibatan dalam gerakan politik diberbagai kawasan di dunia, mulai dari Eropa Barat,

negara maju non Eropa, Eropa timur, dan negara-negara selatan. Rutch membagi bentuk

partisipasi menjadi empat, yaitu menandatangani petisi, mengikuti demonstrasi, mengikuti

boikot, ikut dalam serbuan yang tidak resmi, dan pendudukan gedung pemerintahan. Hasil

survei Rutch dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Pe i pi

aktivis; Thi k

tha k

Pe ggerak uta a

Partisipa

Si patisa

Thi k tha k

(10)

Pada tabel tersebut menunjukkan adanya tren yang sama mengenai tingkat partisipasi,

dimana persentase dari bentuk partisipasi terendah seperti menandatangani petisi selalu lebih

besar angkanya dibandingkan bentuk partisipasi yang lebih tinggi, mulai dari ikut dalam

demonstrasi hingga pendudukan kantor-kantor pemerintah. Empat lingkaran partisipasi ala

Mc Charty dan Zald kiranya dapat dipadukan dengan hasil survey Rutch. Ilustrasi dari

perpaduannya dapat dilihat dibawah ini:

Si patisa

Partisipa

Pe ggerak

Thi k tha k Partisipa

Pe ggerak

Thi k tha k Pe ggerak

(11)

Kesimpulan

Pembahasan kita diatas telah menjelaskan kepada kita mengenai hakikat perilaku

protes dan aksi massa. Protes dan aksi massa adalah sebuah manifestasi dari kekecewaan,

keresahan, dan harapan dari penggiatnya. Ada banyak sekali teori yang menjelaskan

mengapa protes dan aksi massa dapat muncul. Namun sejauh ini, dua teori yang paling

populer adalah mengenai deprivasi relatif TR Gurr dan teori Resources mobilization yang

diadopsikan oleh Oberschall dalam micro level-nya. Kemudian dapat kita lihat pula bahwa

keberhasilan dari sebuah gerakan sangat dipengaruhi kondisi keresahan bersama,

kemampuan menyamakan tujuan dan harapan, agenda setting yang baik, manajemen massa

yang tepat, dan pemilihan strategi gerakan yang sesuai.

Tidak ada hal lain yang pantas untuk dituliskan pada bagian akhir ini. Kecuali

menegaskan kembali mengenai hakikat protes dan aksi massa. Sudah saatnya, paradigma

negatif mengenai protes dan aksi massa kita tinggalkan jauh-jauh. Protes dan aksi massa,

adalah sebuah hal yang alamiah, sakral, normal, bahkan dibutuhkan dalam kehidupan

berdemokrasi. Sebagaimana Pramoedya Ananta Toer berkata, didiklah rakyat dengan

(12)

Daftar Pustaka

Ananta, Toer. 2007. Jejak Langkah. Yogyakarta: Lentera Dipantera

Haryanto, Mochtar Masoed, dkk. 1997. Gerakan Politik. Jakarta:BPP Depdagri

Klandermans B. 1997. The Social Psychology of Protest. Oxford: Blackwell.

Malaka, Tan. 2000 (Ed). Aksi Massa. Teplok Press: Yogyakarta

Rutch, Dieter. 2006. The Oxford Handbook of Party Politics: The Spread of Protest

Politics. Chapter 38. London: Oxford

Oberschall, Anthony. 2000. Social movements and the transition to democracy,

Democratization, Routledge Journal Volume 14 Number 4

Masoed, Mohtar. 2000. Perbandingan Sistem Poltik. Yogyakarta: Gadjah mada

University Press

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan kegiatan ini adalah: (1) Membantu BPTP DI Yogyakarta, Sulut dan NTB dalam pelaksanaan Prima Tani, khususnya dalam hal menyempurnakan hasil identifikasi

Variance 0,000929 Standart Deviation 0,030 Coefficient Variation 0,313 Berdasarkan Tabel 24, dapat dilihat tingkat risiko produksi yang dihadapi PT Masada Organik Indonesia

Dede Zakiyah, 2017, Perilaku Lentur Pelat Beton Bertulang Dua Arah Yang Ditambal Dengan Upr-Based Patch Repair Mortar Dengan Variasi Letak Penambalan, Tugas Akhir Program

Herizon, M.si yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, fikiran serata kesabarannya untuk membimbing kami sampai skripsi ini sampai selesai, entah jika tidak

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa beda tekanan berfluktuasi dengan sedang, hampir sama seperti fluktuasi pada grafik sebelumnya namun yang ini sedikit

Pada kolom ketiga pada tabel contoh, menunjukkan daftar kemungkinan pengujian pengendalian untuk setiap pengendalian yang diperlukan yang telah ditetapkan pada

mengalami hambatan dalam memusatkan perhatian dan hiperaktif, anak juga.. sangat

Untuk proses produksi ini, voucher internet yang telah di buat dari server, di cetak dalam selembar kertas HVS A4, 1 lembar kertas berisi 21 buah voucher, jadi 1 lembar Voucher 3