• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTICIPATION IN THE HUMAN RIGHT DISCOURSE (PARTISIPASI DALAM WACANA HAM) Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARTICIPATION IN THE HUMAN RIGHT DISCOURSE (PARTISIPASI DALAM WACANA HAM) Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

i Paper ke-X

PARTICIPATION IN THE HUMAN RIGHT DISCOURSE (PARTISIPASI DALAM WACANA HAM)

Disusun sebagai Pelaksanaan Tugas untuk:

Mata Kuliah: Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan Hak Asasi Manusia

Dosen:

Dr. EPI SUPIADI, M.Si

Dra. SUSILADIHARTI, M.SW

Oleh: HERU SUNOTO NRP: 13.01.003

PROGRAM SPESIALIS-1 PEKERJAAN SOSIAL SEKOLAH TINGGI KESEJAHTERAAN SOSIAL

BANDUNG 2013

(2)

ii

KATA PENGANTAR

... دعبو ،نيعمجأ هبحصو هلآ ىلعو ،نيملأا هلوسر ىلع ملاسلاو ةلاصلاو ،نيملاعلا ّبر لله دمحلا Segala puji bagi Allah SWT sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ke-VII, paper tentang Participation in the Human Right Discourse (Partisipasi dalam Wacana HAM) dengan referensi utama buku Jim Ife, “Human Right and Social Work” Bab VII untuk mata kuliah Nilai, Etika Pekerjaan Sosial, dan HAM bisa selesai.

Terakhir, kami berharap ada masukan dan penyempurnaan dari sesama teman-teman Sp-1, dan lebih khusus lagi dosen kami.

Bandung, 04 Oktober 2013 Heru Sunoto

(3)

iii DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I. PENDAHULUAN 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2

Wacana Global tentang HAM Peran Demokrasi

Wacana Lokal tentang HAM

BAB III. PEMBAHASAN 7

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 10

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

Partisipasi dalam wacana Hak Asasi Manusia (HAM). Partisipasi adalah keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam sebuah aktivitas untuk menyelesaikan atau memutuskan masalah bersama. Secara bahasa, partisipasi dapat didefinisikan sebagai the act of sharing in the activities of a group (aktivitas berbagi bersama dalam satu aktivitas kelompok)1

Partisipasi juga dapat dijelaskan sebagai berikut:

Participation in social science refers to different mechanisms for the public to express opinions – and ideally exert influence – regarding political, economic, management or other social decisions. Participatory decision making can take place along any realm of human social activity, including economic (i.e. participatory economics), political (i.e. participatory democracy or parpolity), management (i.e. participatory management), cultural (i.e. polyculturalism) or familial (i.e. feminism).2

(Dalam ilmu social, partisipasi mekanisme di ranah public untuk menyampaikan opini, dan idealnya menggunakan pengaruh, mengenai keputusan sosial, politik, ekonomi, manajemen atau lainnya. Pengambilan keputusan partisipatif dapat terjadi di setiap bidang kegiatan sosial manusia, termasuk ekonomi (yaitu ekonomi partisipatif), politik (yaitu demokrasi partisipatif atau parpolity), manajemen (manajemen partisipatif), budaya (yaitu polyculturalism) atau kekeluargaan (yaitu feminisme).

Korelasinya dengan HAM, adalah bahwa isu-isu HAM yang terkait dengan kelompok-kelompok yang terdzalimi dan termarjinalkan, di dalam penyelesaiannya harus memperhatikan asas partisipasi. Jika tidak, maka yang ada adalah alih-alih solusi buat mereka, yang ada adalah masalah baru yang tidak menyelesaikan, bahkan menambah masalah baru.

Bagaimana partisipasi itu? Apa saja jenis partisipasi yang bisa diterapkan? Dimana peran pekerja social? Hal inilah yang akan kita bahas pada paper kita kali ini.

*** 1 http://www.thefreedictionary.com/participation. 2 http://en.wikipedia.org/wiki/Participation_%28decision_making%29.

(5)

2 BAB II

PARTISIPADI DALAM WACANA HAM

Wacana Global tentang HAM

Meskipun tidak ingin dikungkung, tetapi nyatanya Barat telah membingkai wacana tentang HAM. Untuk antisipasi, hal ini akan mulai “dilawan”. Bahkan pandangan sekilas pada literatur HAM menunjukkan bahwa isu relativisme budaya dan wacana dominasi Barat telah diterima sebagai perhatian utama oleh sejumlah penulis non-Barat sekarang mulai berbicara tentang HAM3.

Adalah benar, setiap kita butuh akan perbedaan budaya sebagai “suara hati” ketika bicara tentang HAM. Bukan hanya suara dari perspektif pengacara, akademisi, politisi, diplomat, tokoh agama, filsuf, teolog, wartawan, dan aktivis kelas menengah, tapi juga suara dari “mereka yang kurang beruntung dan termarjinalkan”4. Meski benar pula bahwa kini, wacana HAM telah dibuka untuk budaya non-Barat, tetapi itupun masih hanya untuk akademisi, politisi, dan lain-lain.

Maka, wacana HAM tetap menjadi wacana pemberdayaan tentang ketidakberdayaan. Dan karena itulah, ia menjadi bagian dari wacana dominasi dan pemandulan/pengkerdilan. Ini harus menjadi perhatian mendasar bagi pekerja sosial dan menyarankan beberapa prioritas penting bagi praktek pekerjaan sosial.

Seorang peksos dengan tabiat alamiah profesinya, bisa memberi solusi terhadap masuknya beragam kerangka berbeda yang merugikan, dengan cara menghubungkan individu dengan ranah politik. Hal ini karena meski ada stressing pada isu-isu HAM, namun suara dari mereka yang tidak beruntung dan termasjinalkan tetap tersisih, tidak masuk dalam pusaran HAM untuk ditangani.

Hal ini tidak aneh. Orang yang kurang beruntung dan termarjinalkan, cenderung untuk dikecualikan dari wacana kekuasaan. Ham dalam pengertian ini tidak berbeda dengan ekonomi, politik, budaya, hukum, bisnis, pendidikan tinggi, dan profesionalisme. Hak asasi manusia adalah kasus khusus, namun. Menyisihkan “suara” mereka yang tidak beruntung dan termarjinalkan dari wacana HAM itu sendiri merupakan pengingkaran terhadap HAM, sehingga wacana HAM, dalam bentuk dominasi yang istimewa, adalah tetap kontradiktif dengan diri mereka diri. Bagi peksos, hal ini harus menjadi concern utama.

3 Schmale 1993; Pereira 1997; Aziz 1999; Bauer & Bell 1999; Parekh 1999; Van Ness 1999; Nirmal 2000; Moussalli 2001; Dalacoura 2003.

4

(6)

3 Keterlibatan Demokrasi

Demokrasi, seperti halnya HAM, adalah konsep yang rumit dan diperebutkan5. Di dalamnya, ada nilai positif yang jelas, meski masih implementasinya jauh. Dalam demokrasi Yunani klasik, peran perempuan, anak-anak, dan budak telah dihilangkan dari ranah pembangunan “masyarakat”6, itu benar-benar bentuk yang sangat sempit.

Dalam demokrasi modern, juga tidak semua orang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Anak-anak dan orang asing atau “non-warga negara” tidak memiliki hak pilih. Pada kenyataannya, banyak orang yang dikecualikan dari akses pengambilan keputusan yang disebut pemerintah sebagai cara "demokratis", dengan alasan kemiskinan, jender, kelas sosial, latar belakang pendidikan, atau ras (Martin & Schumann 1997). Pada masyarakat modern yang sangat kompleks, dan banyak keputusan yang perlu diambil, namun demokrasi langsung yang semua orang harus tutut andil pada semua proses keputusan, tidak mungkin7.

Oleh karena itu, ada beberapa demokrasi perwakilan, dimana peran orang-orang bukan untuk membuat keputusan demokratis, tetapi untuk memilih atau menunjuk wakil di parlemen atau yang lainnya, mempercayai orang yang mereka telah memilih untuk membuat keputusan. Tapi, mekanisme ini juga begitu kompleks sehingga tidak bisa jalan. Banyak keputusan, selanjutnya didelegasikan kepada PNS --orang yang tidak terpilih, tapi dibayar untuk melaksanakan pekerjaan pemerintah.

Oleh karena kekuatan pengambilan keputusan dari warga dalam demokrasi didelegasikan dua kali, (i) pertama untuk para politisi, (ii) kemudian ke layanan sipil. Maka, masukan dari warga negara menjadi terbatas. Demokrasi perwakilan, dengan demikian, telah menjauhi makna gagasan indah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Peran warga negara jadi terbatas dan terkikis oleh kompleksitas dan mistifikasi pemerintahan modern8. Kebijakan yang didefinisikan menjadi hanya bisa dibuat dan difahami oleh para ahli, sehingga tidak lagi menjadi kebijakan “publik”, bahkan tercabut dari zona debat demokratis dan menjadi domain eksklusif para ahli saja9.

Untuk itu, telah ada upaya untuk menemukan cara lain, agar demokrasi lebih partisipatif. Gagasan demokrasi partisipatif, sebagai lawan demokrasi perwakilan, tujuannya untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang sebenarnya. 5 Held 1987. 6 Sinclair 1988. 7 Rayner 1998. 8

Martin & Schumann 1997. 9

(7)

4 Ada empat usulan umum untuk hal itu, yaitu: (i) Referendum warga,

(ii) Demokrasi deliberatif, (iii) Demokrasi elektronik, dan (iv) Demokrasi desentralisasi .

Pertama, referandum (melibatkan seluruh warga dalam pengambilan keputusan). Hal ini bisa diberlakukan untuk permasalahan yang hanya membutuhkan jawaban “ya/tidak”, simple, dan sederhana. Tetapi untuk permasalahan yang memerlukan kajian mendalam, tetap tidak bisa diterapkan.

Ke dua, demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberative berfokus pada proses. Yaitu kesatuan proses integritas dan kesempatan bagi semua orang untuk bisa memberikan masukan secara murni ke dalam proses deliberatif sehingga terwujud demokrasi yang lebih efektif. Orang bisa saja menerima hasil keputusan yang tidak sejalan dengan mereka, asal mereka tidak dihilangkan dari proses pengambilan keputusan tersebut. Elemen kuncinya adalah warga dimampukan untuk menjadi:

(i) Bagian dari proses belajar alternatif,

(ii) Meneliti kemungkinan hasil dan merumuskan proposal,

(iii) Mereka diminta untuk berkontribusi pada proses, bukan hanya bereaksi terhadap usulan.

Ke tiga, demokrasi elektronik. Yang ini menggunakan internet untuk meningkatkan partisipasi warga. Melalui internet, orang-orang yang tidak pernah bertemu, dapat mendiskusikan isu-isu dan membuat konsensus. Hal ini tidak akan mungkin terjadi di era pra-komputer. Penggunaan Internet secara efektif untuk memfasilitasi demokrasi partisipatif kini mulai didiskusikan, suara komputer pada isu-isu HAM, blogging, dan penggunaan situs untuk memberikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan-semacam demokrasi deliberatif virtual. Internet mulai berubah menjadi partisipasi politik10. Tetapi ada kelemahannya. Hal ini masih terjadi bahwa komputer hanya tersedia bagi sebagian kecil penduduk dunia, sehingga setiap proses demokrasi yang bergantung secara eksklusif di internet akan menghilangkan peran mayoritas manusia.

Ke empat, desentralisasi demokrasi. Ini menunjukkan bahwa cara yang paling efektif agar orang bisa secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan atas isu-isu yang secara langsung mempengaruhi mereka adalah dengan desentralisasi, sehingga keputusan yang dibuat dalam struktur berbasis masyarakat lebih lokal. Tujuannya, untuk memungkinkan

10

(8)

5

orang untuk bisa berperan lebih besar. (Rayner 1998; Ife 2002). Hal ini dapat dicapai melalui struktur pemerintah lokal, kelompok polisi setempat, warga perumahan, dan sebagainya. Ini telah menjadi dorongan utama dari teori dan praktek pengembangan masyarakat. Tujuan utamanya adalah memaksimalkan peran warga. Hal ini karena partisipasi demokratis benar-benar berbenturan dengan “kepentingan pribadi” penguasan, yang berusaha untuk mempertahankan struktur yang ada dan proses kekuasaan dengan berupaya mengecilkan peran partisipasi warga. Untuk ini, peksos masyarakat telah berhasil mengidentifikasi strategi untuk meningkatkan partisipasi yang efektif, sering tidak melalui gerakan besar tapi melalui keterlibatan setiap hari dengan isu-isu pada level mikro.

Apa implikasi gerakan demokrasi global bagi peksos? Pembahasan tentang strategi untuk mengembangkan demokrasi yang lebih partisipatif di tingkat global sangat penting, dari sudut pandang HAM, karena dua alasan:

 Pertama, partisipasi membantu mewujudkan HAM: hak untuk berpartisipasi secara penuh sebagai warga negara, hak penentuan nasib sendiri, dan seterusnya.

 Kedua, memberikan ruang public untuk diskusi, kajian, dan debat tentang HAM. Hal ini perlu untuk melawan sifat elitis wacana hak asasi manusia yang telah disebutkan di awal bab ini. Para pekerja hak asasi manusia (yaitu pekerja sosial) karena memiliki minat yang cukup besar dalam bekerja menuju beberapa bentuk demokrasi global dan rezim global yang lebih partisipatif daripada sekarang. Ini berhubungan dengan gagasan “globalisasi dari bawah”11.

Pandangan Lokal tentang HAM

Meski HAM itu sangat universal, namun, pengejawantahannya membutuhkan konteks yang lebih lokal. Oleh karena itu, isu partisipasi dari “pihak yang kurang beruntung dan korban pelanggaran HAM”, dalam pembangunan HAM juga memiliki implikasi penting bagi pekerja sosial yang bekerja secara lokal12.

Seperti yang sudah kita bahas pada Bab 5 yang lalu, HAM yang universal sering dikontekstualisasikan secara local ketika kitat mendefinisikan kebutuhan manusia. Universalitas hak atas pendidikan dapat didefinisikan ulang sebagai: (i) kebutuhan penambahan guru, (ii) gedung sekolah, (iii) kurikulum, dan seterusnya. Oleh karena itu, dalam definisi kebutuhan, individu di tingkat lokal dapat berpartisipasi dan memberikan kontribusi, sehingga definisi kebutuhan menjadi dasar penting untuk membingkai wacana

11

Falk 1993; Brecher & Costello 1994, Rajagopal 2003. 12

(9)

6

HAM. Dan, pekerja sosial di antara orang-orang profesional yang tertuduh mengambil alih wewenang memaknai kebutuhan masyarakat.

Oleh karaena itu, pertanyaan-pertanyaan sekitar “perlu definisi” harus menjadi perhatian khusus untuk didiskusikan. Tujuannya, untuk mendapatkan kembali kontrol atas definisi hak asasi manusia mereka.

Oleh karena itu penting bahwa praktek pekerjaan sosial melibatkan dialog dengan individu, keluarga, kelompok atau masyarakat seputar isu hak:

 Apa hak-hak mereka?

 Bagaimana dampaknya kepada hak orang lain?

 Apakah hal itu benar-benar dapat diakui sebagai HAM dalam hal definisi yang ditawarkan?

 Dan terakhir, bagaimana hak bisa diterjemahkan menjadi “kebutuhan” yang kemudian dapat dipenuhi?

Apabila klien berasal dari strata pendidikan yang berbeda dan pemahaman yang beragam, maka penggunaan kata “hak” bisa dihindari untuk menghindari salah-tafsir yang pada gilirannya akan kontra-produktif bagi “peningkatan partisipasi” mereka. Gunakanlah istilah yang memudahkan mereka memahami kebutuhan dan hak mereka.

(10)

7 BAB III PEMBAHASAN

PARTISIPASI DALAM WACANA HAM

Definisi Partisipasi

Partisipasi adalah keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam sebuah aktivitas untuk menyelesaikan atau memutuskan masalah bersama. Secara bahasa, partisipasi dapat didefinisikan sebagai the act of sharing in the activities of a group (aktivitas berbagi bersama dalam satu aktivitas kelompok)13

Istilah “Partisipasi”, “kemitraan”, “keterlibatan”, dan “bekerja sama” sering digunakan untuk merangkum berbagai ide dan kegiatan yang berbeda. Istilah-istilah ini terkadang digunakan secara bergantian atau dapat memiliki arti yang berbeda untuk orang yang berbeda, karena tidak ada definisi yang dapat diterima secara universal. Dalam buku ini, anda akan melihat bahwa semua kata-kata ini digunakan untuk menggambarkan “terlibatnya pengguna jasa dan pengasuh (carer participation) dalam praktek pekerjaan sosial.”14

Partisipasi juga dapat dijelaskan sebagai berikut:

Participation in social science refers to different mechanisms for the public to express opinions – and ideally exert influence – regarding political, economic, management or other social decisions. Participatory decision making can take place along any realm of human social activity, including economic (i.e. participatory economics), political (i.e. participatory democracy or parpolity), management (i.e. participatory management), cultural (i.e. polyculturalism) or familial (i.e. feminism).15

(Dalam ilmu social, partisipasi mekanisme di ranah public untuk menyampaikan opini, dan idealnya menggunakan pengaruh, mengenai keputusan sosial, politik, ekonomi, manajemen atau lainnya. Pengambilan keputusan partisipatif dapat terjadi di setiap bidang kegiatan sosial manusia, termasuk ekonomi (yaitu ekonomi partisipatif), politik (yaitu demokrasi partisipatif atau parpolity), manajemen (manajemen partisipatif), budaya (yaitu polyculturalism) atau kekeluargaan (yaitu feminisme).

13http://www.thefreedictionary.com/participation. 14

Janet Warren, Service User and Carer Partisipation in Social Work, 2007, hal 6. 15

(11)

8 Urgensi Partisipasi dalam Pelayanan Klien

Perkembangan klien dan partisipasi pengasuh dalam pelayanan perawatan kesehatan dan pelayanan sosial merupakan tema sentral dalam agenda reformasi pemerintah. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kualitas layanan bagi klien.16

Tingkatan partisipasi17 yang dilakukan oleh orang, ditentukan oleh:  konteks;

 tugas;

 keputusan yang dibuat;

 kemampuan individu, kepentingan dan ketersediaan;  budaya partisipasi hadir dalam suatu organisasi.

Braye (2000)18 mengidentifikasi ada tiga kekuatan pendorong dikembangkannya pendekatan partisipatif dalam pelayanan sosial:

(i) Mandat hukum dan kebijakan; (ii) Mandat profesional, dan (iii) Mandat pengguna.

Mandat-mandat tersebut berasal dari sejumlah arah yang berbeda, dan akibatnya, mencerminkan berbeda ideologi dan motivasi.

Korelasi Partisipasi dengan HAM

Partisipasi dari klien dan orang terdekatnya, bisa dieksplorasi secara optimal, apabila mereka mendapatkan sejumlah hal penting, yaitu:

 Informasi yang cukup dan jelas tentang masalahnya, kendalanya, proses mencapai hak, potensi yang diperlukan, manfaat yang akan diperoleh, dan seterusnya;

 Konsultasi dari peksos dan pihak-pihak lain yang dipandang kredibel untuk memberikan konsultasi mengenai masalahnya.

 Empowering (penguatan), yaitu peksos melakukan penguatan kepada klien, baik spiritual, mental, skill, dan networking yang diperlukan.

Klien dimaksud adalah dalam segmen mikro, mezzo, dan makro.

16 Janet Warren, Service User and Carer Partisipation in Social Work, 2007, hal 22. 17

Idem, hal 50. 18

(12)

9

Apabila dibuat tabel, maka akan tampak sebagai berikut:

Korelasinya dengan HAM, adalah bahwa isu-isu HAM yang terkait dengan kelompok-kelompok yang terdzalimi dan termarjinalkan, di dalam penyelesaiannya harus memperhatikan asas partisipasi. Jika tidak, maka yang ada adalah alih-alih solusi buat mereka, yang ada adalah masalah baru yang tidak menyelesaikan, bahkan menambah masalah baru.

Namun, diakui atau tidak, memasukkan partisipasi dalam seluruh pembuatan keputusan, akan memiliki sejumlah dampak.

The democratic participation of many people in governance usually leads to a better result in the end, but there is no denying that it is slower, more complex, more stressful, and consumes additional resources to make the process work.19

Partisipasi demokratik yang melibatkanbanyak orang pada tata kelola sesuatu, biasanya memang akan memberikan hasil akhir yang lebih baik. Namun, efeknya akan memakan waktu lebih lama, proses lebih lambat, lebih kompleks, lebih membuat stress, dan memakan biaya yang lebih banyak.

.***

19

Keith Fletcher, Partnership in Social Care, Jessica Kingsley Publishers, London and Philadelphia, 2006, hal 25.

PARTISIPASI

INFORMASI

KONSULTASI

EMPOWERING

(13)

10 BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan apa yang sudah kami kemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut:

Membantu menyelesaikan masalah klien adalah menu utama seorang pekerja social, khususnya pekerja social professional.

Membantu klien, harus bergeser dari “bekerja untuk” menjadi “bekerja bersama klien”. Efek dari istilah ini adalah memberikan porsi yang besar bagi partisipasi klien dalam seluruh proses pengambilan keputusan. Hal ini selaras dengan prinsip individualization and self-determination.

Untuk bisa mengeksplorasi partisipasi klien, seorang peksos professional harus mengetahui hal-hal apa saja yang kondusif terhadap hal tersebut, dan “mendegarkan” keinginan klien. Banyak cara yang bisa ditempuh untuk seorang peksos mendapatkan apa yang dimaui dan dibutuhkan klien.

Seorang peksos, untuk selalu mengkorelasikan kemauan dan kebutuhan klien dengan isu-isu HAM. Karena, jika tidak cermat, maka ia akan masuk di dalam perangkap “dilemma pelayanan” dan perang kepentingan, yaitu kepentingan klien, kepentingan orang lain, baik lembaga, pemerintah, maupun masyarakat. Maka, bagaimana menciptakan harmoni dari semua kepentingan itulah, substansi keberadaan peksos.

SARAN

1. Pekerja Sosial harus memahami etika, etika profesi, dan HAM dan partisipasi dalam berbagai bentuk dan prosesnya, serta cara-cara yang kondusif bagi munculnya partisipasi tersebut, sehingga bisa secara proper dalam praktik.

2. Para stakeholder, seperti Kementerian Sosial RI, kementerian terkait, dan termasuk IPSPI, NGO-NGO, perlu untuk secara regular duduk bersama, melakukan upaya mencari “format bersama “untuk partisipasi dalam penanganan masalah HAM.

(14)

11

DAFTAR PUSTAKA

Jim Ife, Human Right and Social Work: Toward Right-Based Practice”, Cambridge Univercity Press, 2008;

Janet Warren, Service User and Carer Partisipation in Social Work, Learning Matters Ltd., United Kingdom, 2007

Keith Fletcher, Partnership in Social Care, Jessica Kingsley Publishers, London and Philadelphia, 2006

http://www.thefreedictionary.com/participation; downloaded at October 4th 2013.

http://en.wikipedia.org/wiki/Participation_%28decision_making%29; downloaded at October 4th 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Relationship between thermomechanical properties and baking expansion of sour cassava starch (Polvilho azedo).. Journal of the Science of Food

Melaksanakan projek semester akhir dengan kerjasama pihak industri (mengikut kehendak industri).. 3 projek persemester setiap

Setelah pustakawan mengidentifikasi kebutuhan informasi potensial masyarakat serta menyiapkan sumber daya organisasi dan bahan promosi, langkah berikutnya

Penataan ruang sangat penting untuk dapat menjamin stabilitas dan keberlanjutan pembangunan Kota Palu yang berwawasan lingkungan. Data luas kawasan lindung,

Kata dīn yang berasal dari bahasa Arab, dīn memiliki banyak arti pokok, walaupun satu dengan yang lainnya terlihat seperti berlawanan, tetapi secara

Faktor Lingkungan yang terdiri dari keberadaan habitat perkembangbiakan nyamuk berdekatan dengan tempat tinggal responden, keberdaan vegetasi seperti semak atau hutan,

Balai Konservasi Sumber Daya Alam sangat terbantu dengan keberadaan Borneo Orangutan Survival Foundation yang sangat membantu dapal upaya pelestarian Orangutan