R
Tujuan Pembelajaran : Penguasaan materi dalam modul ini, yang dirancang sebagai landasan cara pandang baru leadership sektor berbagai teori dan kerangka yang ada di bidang leadership, dan yang nantinya memberikan perspektif seputar topik leadership. Model sempit masih mampu menjelaskan mengapa harus ada konsep atau elemen dari fungsi leadership, dan teori yang luas bisa menjelaskan hubungan kompleks antar elemen tersebut.Model ilmiah dari ilmu sosial digunakan dengan memahami berbagai hubungan atau korelasi yang diuji di berbagai situasi. Ada pertanyaan penelitian yang paling umum, yaitu: Apa yang dilakukan leader agar bisa efektif (dan bagaimana kita membuktikan jawabannya)? Konsep didefinisikan dalam cara spesifik, yaitu definisi operasional. Konsep yang diuji dalam kondisi berbeda disebut variabel. Variabel independen adalah variabel yang dirubah agar bisa melihat efeknya ke variabel lain, yaitu variabel dependen. Hipotesis dirumuskan dan diuji untuk memastikan hubungan antar variabel, seperti intelejensi leader terhadap kualitas keputusan. Prinsip pembuatan teori biasanya digunakan untuk menjelaskan terbentuklah sebuah teori. Model yang lebih longgar dimana konsep sulit diukur atau dimana kausalitasnya tidak jelas karena kompleksitas hubungan, disebut framework.
Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab di sini. Pertanyaan yang paling menonjol adalah “Faktor kontingensi apa
TEORI KONTIGENSI DAN GAYA LEADER
DR. TJAHJANULIN DOMAI, MS PROF. DR. ABD. YULI ANDI GANI, MS
yang mempengaruhi gaya leader ideal, yang kemudian bisa meningkatkan kecenderungan efektivitas leader dan organisasi?” Empat pertanyaan lainnya adalah: Faktor kontingensi apa yang paling penting? Gaya leader apa yang dominan? Apa korelasi antara variabel kontingensi dan gaya? Apa korelasi antara gaya dan efektivitas leader?
Faktor kontingensi adalah tipe variabel berbeda yang mempengaruhi gaya atau perilaku leader agar mereka efektif. Istilah ini sudah sering digunakan. Gaya adalah pola general perilaku yang ditunjukkan leader. Efektivitas leader harus didefinisikan dalam hasil, seperti produktivitas, perkembangan pekerja, keterlibatan pekerja dan kohesi, penyelesaian masalah efektif dan pembuatan keputusan, perubahan organisasi yang baik, atau gabungan dari faktor tersebut.
Ada dua pendekatan yang diambil, dan keduanya berbeda dalam tujuan. Pendekatan terapan bersifat deskriptif, sedangkan pendekatan teoritis bersifat menjelaskan (explanatory). Pendekatan terapan menekankan hubungan dan berusaha mempengaruhi praktek. Pendekatan teoritik menguji hubungan. Karena tujuannya berbeda, keduanya menggunakan format dan terminologi berbeda.
Sebelum menganalisa beberapa teori leadership, akan berguna bila kita mempelajari elemen pokok dari teori, yaitu (1) faktor kontingensi, (2) dimensi gaya, dan (3) tipe gaya leader.
Ada lima kluster faktor kontingensi dalam teori leadership. Beberapa teori menunjukkan banyak kontingensi, sedangkan beberapa lainnya memperlihatkan sedikit kontingensi. Dalam studi leadership, faktor kontingensi digunakan sebagai dua tipe variabel, yaitu variabel intervensi dan variabel moderasi. Variabel intervensi mempengaruhi perilaku atau gaya mana yang dipilih untuk meraih hasil. Contoh, struktur masalah adalah variabel intervensi karena masalah terstruktur bisa menciptakan satu gaya sedangkan masalah ambigu menimbulkan gaya lainnya. Variabel moderasi bisa mempengaruhi kekuatan, kualitas, atau kesuksesan sebuah perilaku/gaya. Contoh, variabel moderasi umum adalah keahlian leader dalam perilaku atau gaya spesifik. Seorang leader bisa menggunakan gaya yang benar tapi meminimkan efektivitas karena kerjanya buruk. Karena gaya leader adalah konsep level tinggi, maka ini didefinisikan dalam beberapa cara. Diskusi dimensi gaya membantu kita memahami cara mendefinisikan konsep.
Teori berbeda pastinya menggunakan gaya berbeda dalam menjelaskan efektivitas leadership dan juga mendefinisikan setiap gaya dalam cara berbeda. Taksonomi gaya yang diulas di sini bisa lebih komprehensif dibanding di teori lain, yang fokusnya lebih sempit. Dengan “rangka dasar” teori, maka kita bisa membahas teori lebih detail.
2. FAKTOR KONTINGENSI
penelitian perlu mempelajari situasi ketika kondisi darurat ditangani dengan dan tanpa gaya direktif. Penelitian juga perlu membandingkan tipe darurat berbeda dengan menggunakan kelompok eksperimen dan kontrol.
Memang lebih mudah memahami efek kontingensi terhadap gaya leadership bila hanya ada satu atau beberapa kontingensi yang dominan. Kombinasi kontingensi biasanya membutuhkan kombinasi gaya. Berikut adalah beberapa gaya leadership:
1. Laissezfaire
2. Direktif 3. Supportif 4. Partisipatif 5. Delegatif
6. Orientasi pencapaian 7. Inspirasional
8. Strategis 9. Kolaboratif
Meski range faktor kontingensi ini sangat luas, faktor yang digunakan dikelompokkan menjadi lima tipe, yaitu karakteristik leadership, karakteristik tugas, karakteristik bawahan, karakteristik organisasi, dan karakteristik lainnya. Teori leadership di paruh pertama abad 20 cenderung menekankan pada karakteristik leader. Karakteristik tugas dan karakteristik bawahan menjadi emphasis penting di tahun 1950-an sampai 1970-an. Karakteristik organisasi dan karakteristik lainnya mendapat emphasis lebih besar dari 1980-an sampai sekarang.
2.1 Karakteristik Leadership
Tiga karakteristik leadership yang paling umum adalah sifat dan skill, perilaku leader dan atribusi leader tentang follower. Banyak penelitian mempelajari karakteristik leadership di level mikro analitik. Meski begitu, karakteristik leader sering diasumsikan berada di teori leadership level tengah dan level makro. Contoh, ketika studi self-confidence sebagai sebuah kontingensi menghasilkan data level mikro tentang sifat leadership, ini sering dimasukkan ke dalam teori leadership sebagai bagian dari kompetensi leader dalam gaya yang lebih luas seperti direktivitas atau supportivitas.
1. Karakteristik Sifat dan Skill
Karakteristik sifat dan skill berisi kecenderungan yang sebelumnya dipelajari, seperti resiliensi dan bakat, atau skill sosial. Karakteristik ini juga berisi kemampuan untuk menghadapi situasi leadership umum ataupun karakteristik kepribadian, motivasi, dan nilai leader yang mendukung kesuksesan. Untuk sifat dan skill dari leader tertentu, dalam situasi leadership apa ini bisa muncul, dalam situasi apa ini bisa berkembang, dan apa kecondongannya ? Karakteristik leadership adalah sebuah kontingensi penting yang harus dipertimbangkan bila melakukan seleksi leader.
2. Karakteristik Perilaku
dan apa manfaatnya bagi efektivitas leader? Pendekatan analisis faktor menggunakan perilaku sebagai kontingensi untuk tujuan modeling.
3. Atribusi Leader tentang Follower
Atribusi leader berisi estimasi seorang leader tentang follower, yaitu kompetensi, dedikasi dan loyalitasnya. Beberapa teori menjelaskan bahwa apa yang dipikirkan leader tentang followernya adalah sebuah kontingensi, khususnya sebuah potensialitas atau prinsip. Atribusi bisa menjadi faktor positif yang meningkatkan kinerja karena efek Pygmalion (yaitu ekspresi konfidensi di kalangan follower yang nantinya meningkatkan self-confidence dan ada harapan tinggi untuk menciptakan standar follower tinggi). Ada juga faktor negatif bila leader berasumsi bahwa follower ternyata malas, tidak loyal, kurang kompeten, atau tidak kompeten, dan seterusnya.
2.2 Karakteristik Tugas
Karakteristik tugas dan bawahan adalah fokus primer dari teori leadership dari tahun 1950-an sampai 1970-an. Meski ini sangat penting, banyak teori leadership berisi beberapa faktor kontingensi.
1. Kejelasan Peran, Tugas dan Organisasi
Karakteristik ini mencerminkan kejelasan di mata follower seputar apa pekerjaan mereka, cara melakukan tugas yang ada, dan cara bekerja di organisasi. Variabel ini berhubungan dengan konsep yang disebut “struktur inisiasi” karena pekerja perlu tahu apa yang harus dilakukan, cara melakukan, dan cara memberikan manfaat ke organisasi berdasarkan aturan dan regulasi, akses ke sumberdaya, dan sebagainya. Seringkali, kurangnya kejelasan follower memunculkan gaya direktif karena follower perlu arah (direction) dalam bentuk informasi, instruksi dan pelatihan. Atau, ketidakjelasan bisa memunculkan gaya partisipatif agar bisa menyesuaikan peran secara interaktif.
2. Kejelasan Tugas dan Kompleksitas Tugas
Kejelasan tugas dan kompleksitas tugas adalah sesuatu yang berbeda, tapi terkait. Tugas dikatakan jelas bila leader memiliki pengetahuan tentang cara melakukan pekerjaan atau menyelesaikan masalah, dan mudah berbagi pengetahuan ini dengan
3. Interdependensi Tugas
Interdependensi tugas adalah perlunya berbagi kerja antar follower dan perlunya bekerja dalam tim. Awalnya, interdependensi tugas dihubungkan dengan perlunya berspesialisasi dan berkoordinasi. Perilaku direktif bisa sangat cocok dalam kondisi terbatas. Semakin besarnya kebutuhan akan model keputusan kelompok karena lingkungan kerja yang lebih kompleks dan berubah cepat bisa menambah kemungkinan bentuk leadership yang lebih kolaboratif. Interasi terbaru dari interdependensi tugas menekankan perlunya kreativitas kelompok dan self-management tim, yang kemudian menghasilkan preskripsi kepada gaya leadership yang lebih fasilitatif atau berorientasi-pencapaian.
2.3 Karakteristik Bawahan
Karena fungsi leadership primer berisi follower, maka karakteristik bawahan menjadi penting. Karakteristik mana yang paling penting untuk dipertimbangkan bila memutuskan gaya leadership?
1. Sifat dan Skill Follower
Satu aspek dari sifat follower adalah kompetensinya. Berapa level kemampuan internalnya, pelatihan dan pendidikannya, dan pengalamannya? Area kedua dari sifat follower adalah self-confidence dari follower. Follower yang memiliki kepastian diri lebih tinggi ke kemampuan kerjanya sering dihipotesiskan lebih produktif dan mampu melakukan pekerjaan independen, dan karena itu, melahirkan gaya leadership berbeda. Banyak teori level makro berhipotesis bahwa pihak dengan kemampuan dan self-confidence lebih rendah menjadi target dari gaya direktif, dimana pekerja yang lebih “mature” lebih cocok dengan gaya yang mendukung independensi pekerja. Tipe sifat lain yang juga dipelajari adalah struktur kepribadian follower. Contoh, bagaimana pun maturitas pekerja, beberapa follower lebih suka setting sangat terstruktur, dengan gaya relatif direktif, tapi follower lainnya kurang cocok dengan gaya direktif bahkan ketika baru di sebuah pekerjaan, dan bahkan meraih keahlian tugas atau konfidensi yang kecil. Mereka suka belajar sendiri dan belajar dari kesalahan sendiri. Sifat kepribadian bawahan lainnya yang penting adalah kebutuhan akan afiliasi.
2. Komitmen Tugas
reward berhubungan erat dengan ketidakcukupan sistem reward dibanding follower itu sendiri.
3. Atribusi Follower Tentang Leader
Apa yang dipikirkan follower tentang leader bisa mempengaruhi komitmen, produktivitas, dan efektivitas organisasi keseluruhan. Meski beberapa teori menjelaskan cara meningkatkan komitmen follower, teori gaya yang paling general menunjukkan perbedaan antar level penerimaan leader. Level moderat penerimaan leader oleh follower berasal dari otoritas legitimate dan kompetensi dasar. Level penerimaan yang lebih tinggi berasal dari keyakinan ke keahlian leader, kepercayaan dan kecenderungan umum. Level penerimaan leader yang tinggi berasal dari keyakinan akan kearifan besar atau bakat memimpin yang luar biasa. Bila persepsi kompetensi digabung dengan level kesukaan yang tinggi, maka ini disebut karisma. Level penerimaan leader yang tinggi dan moderat biasanya dibutuhkan untuk tipe gaya seperti orientasi pencapaian atau inspirasional agar itu menjadi efektif.
2.4 Karakteristik Organisasi
Karakteristik organisasi yang mempengaruhi leadership adalah hal yang paling menarik tapi yang paling intrik untuk dipelajari. Banyak teori leadership (misal, teori transaksional) mengabaikan ini agar bisa lebih fokus ke aspek internal dari tugas dan follower. Karakteristik organisasi memang dianggap penting di semua level leadership, tapi ini malah terlihat lebih penting di level eksekutif, dan karena itu, karakteristik ini lebih banyak ditemukan di teori yang menjelaskan peran manajer senior dan chief executive.
1. Hubungan Power dan Desain Organisasi
Desain organisasi bisa memberikan efek besar ke tipe hubungan power yang ada di leader. Ini mempengaruhi strategi pengaruh. Contoh, jika leader mampu memberikan reward dan hukuman besar, kapan ini bisa mempengaruhi gaya? Jika leader tidak memiliki reward dan power koersif (tipikalnya di sektor publik), bagaimana ini bisa mempengaruhi gaya yang ada? Apakah power formal eksesif bisa merusak gaya? Seberapa penting power personal (pakar dan referen) untuk gaya partisipatif, orientasi pencapaian, dan inspirasional? Kapan leader bisa memiliki otoritas legitimate dan lalu membutuhkan perubahan organisasi berskala besar, dan bagaimana ini bisa mempengaruhi gayanya? Contoh, haruskah leader yang menganggap perlunya perubahan besar mengimplementasikan sebuah pendekatan top-down, yang sering disarankan konsultan perubahan, atau proses perubahan partisipatif yang didasarkan pada literatur manajemen kualitas?
2. Keterkaitan Eksternal
3. Ketidakpastian Lingkungan
Yang terkait dengan, tapi berbeda dari, keterkaitan eksternal adalah ketidakpastian lingkungan dan resiko. Organisasi bisa memiliki kebutuhan berbeda dalam perubahan, yang mana ini bisa dipengaruhi tipe, kecepatan, luas dan aksepabilitas (Dawson, 2003). Bagaimana kebutuhan akan perubahan proses sempit, perubahan inkremental lambat atau downsizing dramatis, bisa mempengaruhi gaya yang akan digunakan? Apakah leader harus menghindar atau mengambil resiko, dan kapan itu dilakukan? Contoh, ada kebutuhan leadership berbeda di posisi eksekutif di tahun 1944 versus 1971. Dikatakan berbeda karena 1944 adalah periode dimana ada peningkatan proses intensif, dan 1971 adalah periode reorganisasi dari departemen ke korporasi pemerintah. Banyak teori leadership transaksional mengabaikan pertimbangan ini, sedangkan teori transformasional malah menjelaskan ini, meski ini lebih dianggap bawaan, bukan variabel sebenarnya. Preskripsi yang ada adalah bahwa semakin besar ketidakpastian dan resiko, maka semakin besar leader memberikan emphasis ke gaya eksternal, yang dengan sendirinya ini berisi banyak sub-gaya untuk perubahan.
2.5 Karakteristik Lain
Ada variabel yang memiliki keterkaitan dengan gaya leadership. Ada dua dari itu, yaitu etika dan gender.
1. Etika
Etika berhubungan dengan cara melakukan hal yang benar. Dalam leadership, ini berkaitan erat dengan perhatian ke kebutuhan pihak lain, seperti follower. Dalam setting sektor publik, memberikan perhatian dan menyeimbangkan berbagai tipe kebutuhan publik (misal, kebutuhan akan konstituensi sempit versus kebaikan umum) diberi emphasis besar. Tipe inquiry ini sudah dikemukakan sejak jaman Aristoteles, yang mengemukakan tipe gaya leader berdasarkan kebutuhan akan leadership publik kualitas dan perspektif etika (yaitu, raja filsuf). Di jaman modern, Burns (1978), Greenleaf (1977), Heifetz (1994) dan Block (1993), mempelajari dimensi etika dari leadership ketika mereka menganalisa perilaku leadership. Meski begitu, lebih sering daripada tidak, dimensi etika bisa dianggap ada atau tidak ada. Seringkali, preskripsi dari penelitian memberikan emphasis ke gaya partisipatif dan inklusif. Literatur leader mencoba membedakan antara leader karakter “baik” dan leader karakter ”tinggi”. Leader dengan karakter baik akan merekognisi, merefleksi dan mengintegrasikan isu etika. Leader dengan karakter tinggi memperlihatkan karakteristik ini, tapi juga memberikan kontribusi ke komunitas, dan mau menunjukkan keberanian dan membuat pengorbanan personal untuk kebaikan umum. Tidak heran, ini menghasilkan formulasi gaya yang berbeda dibanding aspek lain dari leadership. Elemen praktikal etika juga menjadi variabel yang secara konseptual berhubungan erat dengan taksonomi gaya konvensional. Kepercayaan bisa menjadi pertimbangan paling penting oleh follower dalam melihat kemampuan leader. Kepercayaan sebagian didasarkan pada kompetensi, dan sebagian lagi, didasarkan pada kejujuran dan kefairan leader, yaitu kompetensi etika. Leader yang dipercaya memiliki follower dengan komitmen tugas yang lebih tinggi dan komitmen ke kebaikan umum.
2. Gender
sebagai proksi bagi maskulinitas. Kadang, pertanyaannya adalah apakah pria dan wanita memiliki gaya berbeda, dan apa dampaknya keefektivitas (Donnell dan Hall, 1980). Di waktu lain, pertanyaan penelitian difokuskan ke-kekuatan dan keunggulan gaya wanita, yang sering disebut partisipatif, inklusif dan supportif (Eagly dan Johnson, 1990). Beberapa studi meneliti wanita dan power, khususnya terkait dengan dengan masalah glass ceiling dan penetrasi ke profesi (Mainiero, 1994).
3. DIMENSI GAYA
Tidak semua gaya menekankan ke aspek leadership yang sama, dan karena itu, gaya yang dikemukakan pakar teori di sini memiliki dimensi berbeda. Beberapa dimensi berisi: berapa banyak kontrol yang harus dimiliki leader saat memberikan arahan dan membuat keputusan sepihak atau bersama; tipe tujuan dan harapan kinerja; tipe motivasi yang digunakan; dan fokus perhatian leader. Banyak dimensi lain juga masuk pertimbangan, seperti jumlah resiko yang mau diambil leader, tipe komunikasi yang digunakan leader, dan orientasi leader ke perubahan. Dimensi yang didiskusikan sejauh ini memberikan bukti ke leader mengapa begitu sulit memahami gaya leadership jika ada taksonomi gaya yang relatif komprehensif.
3.1 Kontrol Leader
Berapa banyak kontrol yang harus dibutuhkan atau ditunjukkan leader, dan dalam kondisi apa? Kontrol bisa ditunjukkan sebagai level pengawasan, atau level inklusi dalam penyelesaian masalah dan keputusan kerja. Level kontrol yang tinggi mencerminkan gaya leadership direktif. Seperti semua gaya leader yang ada, gaya hanya tepat bila situasinya mendukung. Gaya direktif bisa efektif bila ada pegawai baru dan tidak terlatih yang rawan banyak error atau error kritis, atau ketika pegawai jangka panjang membutuhkan pelatihan ulang. Tentu saja, ada banyak situasi dimana gaya direktif menjadi tidak tepat, seperti pada pegawai yang terlatih dan sudah bekerja lama. Level kontrol medium sering ditemukan dalam gaya partisipatif dan gaya orientasi pencapaian. Leader bisa melibatkan pihak lain dalam pembuatan keputusan atau menggunakan metode interaktif dalam menentukan tujuan unit. Terakhir, ada kemungkinan bahwa seorang leader menunjukkan jumlah kontrol yang rendah, seperti yang terlihat dalam gaya delegatif dan gaya laissez-faire. Pegawai yang sangat kompeten dengan latarbelakang profesional yang kuat dan standar kinerja internal yang baik adalah kandidat yang pantas untuk gaya delegatif. Faktor lain yang mendorong delegasi adalah desentralisasi, peran unik, norma kelompok yang tinggi, dan pemberian peluang perkembangan bagi pihak yang siap untuk menghadapi tantangan baru. Meski begitu, kontrol rendah tidak tepat bagi pegawai yang memiliki pelatihan minim atau buruk, standar kerja lemah, manajemen waktu yang buruk, atau skill manajemen proyek, atau yang tidak siap dengan proyek mandiri. Ketika leader tidak memberikan perhatian ke kebutuhan situasional, dan memberikan delegasi berdasarkan kenyamanannya sendiri, maka mereka menunjukkan gaya laissez-faire.
3.2 Tujuan dan Harapan Kinerja
level tinggi. Harapan yang eksesif bisa memunculkan kekecewaan atau burnout. Gaya yang mengakomodasi level kinerja rata-rata, dan setidaknya membuat tahap untuk level kinerja tinggi, adalah gaya direktif, supportif, partisipatif, dan delegatif. Beberapa gaya lebih menekankan tujuan yang menantang dan level kinerja tinggi. Gaya tersebut adalah gaya orientasi pencapaian dan gaya inspirasional.
3.3 Tipe Motivasi Yang Digunakan
Gaya bisa berbeda dalam tipe motivasi yang digunakan untuk mendorong kinerja follower. Jika leader tidak memotivasi pekerja, dan tidak peduli dengan kebutuhan motivasi, maka ini melahirkan pendekatan laissez-faire. Leader menggunakan otoritas legitimate-nya sebagai leader, dan menggunakan reward dan hukuman untuk kepatuhan dan ketidakpatuhan. Ini menghasilkan gaya direktif. Leader bisa mengedepankan pertimbangan pekerja, kebutuhan akan afiliasi, dan kasih sayang dan empati. Ini tercermin dalam gaya supportif. Leader juga bisa memberikan emphasis ke kepentingan pekerja, seperti keinginan independen, self-managed dan direkognisi kecakapan profesionalnya. Ini cocok dengan gambaran gaya delegatif. Jika leader ingin menekankan pencapaian individu, maka gaya orientasi pencapaian adalah yang cocok. Meski begitu, pencapaian tujuan kelompok juga bisa dibantu dengan gaya inspirasional. Kompleksitas dan kerumitan dari dimensi ini mencerminkan sulitnya memberikan preskripsi gaya yang jelas dan absolut di berbagai situasi. Manusia sangatlah kompleks, dan memiliki banyak kebutuhan movasional. Beberapa kebutuhan bisa muncul di waktu tertentu, dan karena itu, beberapa rekomendasi untuk leader juga bisa kompleks.
3.4 Fokus Perhatian Leader
Semua dimensi yang dibahas sejauh ini hanya berhubungan dengan follower. Meski begitu, leader memiliki tanggungjawab yang berbeda dari tanggungjawab follower. Di beberapa kasus, perhatian ke follower adalah bagian kecil dari peran leader. Contoh, seorang kanselir universitas lebih suka aktivitas penambahan dana, bekerjasama dengan regenet universitas dan legislatur negara bagian, dan melakukan public relation, bila dibandingkan dengan seorang provost yang biasanya dideskripsikan sebagai chief operating officer. Kadang, fokus perhatian diberikan ke produksi internal dan follower. Ini bisa terlihat dalam gaya direktif, supportif, partisipatif, delegatif atau orientasi pencapaian. Kadang, fokus perhatian leader adalah pada kecocokan eksternal antara organisasi dengan lingkungan, dan hubungan organisasi dengan kelompok dan entitas luar. Ini ditunjukkan oleh gaya eksternal. Gaya yang menunjukkan kebutuhan eksternal lingkungan ke hadapan organisasi dan merubah organisasi berdasarkan kebutuhan itu (gaya integrasi) adalah gaya transformasional.
4. TIPE GAYA LEADER
gaya di situasi atau kontingensi berbeda. Ketiga, beberapa gaya “ideal” yang disarankan adalah fusi dari dua atau lebih sembilan gaya yang diidentifikasi. Konglomerat sering disebut gaya gabungan di taksonomi ini.
4.1 Gaya Laissez-Faire
Gaya laissez-faire terjadi bila leader menunjukkan kepasifan atau ketidakpedulian dengan tugas dan bawahan, atau mengabaikan area tanggungjawab. Ini bisa disebut sebagai gaya lepas tangan, non-gaya, atau strategi kesengajaan bila kebutuhan lain mengharuskan pengorbanan beberapa tanggungjawab. Ini bisa diidentifikasi sebagai sebuah gaya dalam pendekatan universal yang bersifat hirarkis ke leadership. Gaya laissez-faire sering dianggap sebagai gaya paling dasar atau paling buruk (meski ini juga fungsional dan disfungsional seperti gaya lainnya). Bass (1985) menggunakan istilah ini, tapi Blake dan Mouton (1964, 1965) menyebutnya gaya rusak. Sebagian besar pendekatan kontingensi tidak mendiskusikan gaya laissez-faire.
Gaya laissez-faire lebih mirip dengan gaya delegatif karena keduanya menghasilkan intervensi minimal. Meski begitu, gaya delegatif berasumsi bahwa intervensi minimalis dilakukan (1) setelah analisis yang cermat, (2) hanya di kondisi tertentu, dan (3) untuk kebaikan follower dan organisasi. Pihak yang menggunakan gaya laissez-faire (secara buruk), meski begitu, umumnya tidak mau sibuk menganalisa situasi, atau cenderung menggunakannya dalam cara tidak diskriminatif (tapi tidak seragam), dan untuk kebaikannya sendiri khususnya untuk menghemat waktu dan tenaga.
Ini adalah gaya yang selalu dianggap buruk. Meski begitu, semua leader bisa menggunakan gaya laissez-faire ketika terbebani oleh kebutuhan kerja eksesif yang tidak bisa dipenuhi secara simultan. Contoh, seorang leader bisa membuang tanggungjawab prioritas rendah dalam setahun atau lebih tapi lebih perhatian ke persoalan yang lebih mendesak. Ketika gaya laissez-faire digunakan secara tepat di leadership, ini adalah sebuah tipe prioritisasi yang membuang isu yang kurang penting, atau kadang mencerminkan strategi timing untuk membuat sebuah isu menjadi “matang” bila data dan hasil yang ada memberikan perspektif lebih baik untuk menangani situasi.
Gaya laissez-faire sering digambarkan pakar teori sebagai yang memberikan leader kontrol yang rendah, tujuan dan harapan kinerja yang rendah, dan sedikit atau tanpa stimulasi motivasional bagi follower. Ini berarti bahwa leader tidak difokuskan ke aspek internal atau eksternal dari organisasi, atau ada kemungkinan bahwa fokus leader ke persoalan eksternal menghasilkan gaya laissez-faire secara internal.
4.2 Gaya Direktif
Gaya direktif bisa digunakan bila seorang leader membuat bawahannya tahu apa yang harus dilakukan, memberikan arah dan panduan, meminta bawahan patuh ke aturan dan prosedur, dan menjadwalkan dan mengkoordinasi aktivitas kerja. Gaya ini memberikan emphasis ke skill tugas seperti pengawasan, perencanaan operasi, klarifikasi peran, pemberian informasi, dan delegasi tugas proyek. Di level organisasi, ini melibatkan fungsi manajemen general, seperti manajemen sumberdaya manusia, atau perluasan fungsi koordinasi dan penjadwalan. Sebuah gaya direktif memberikan kontrol leader yang tinggi, harapan kinerja rata-rata (atau di atas rata-rata), prinsip formalistik motivasi yang didasarkan pada legitimasi perintah, reward dan hukuman, dan mempertimbangkan fokus internal.
Sebuah gaya direktif adalah gaya yang paling sering digunakan. Ini juga disebut sebagai gaya yang berorientasi tugas (Fiedler, 1967), kepatuhan ke otoritas (Blake dan Mouton, 1965), pembuatan keputusan otokratik (Vroom dan Yetton, 1973), strongman (Manz dan Sims, 1989), leadership top-down (Locke, 2003), dan one-best-way dalam manajemen ilmiah (Taylor, 1911). Pendekatan ke leadership ini banyak diidentifikasi dalam literatur manajemen klasik (Gulick, 1937). Ini dianggap sebagai elemen penting dalam literatur manajemen kontemporer, khususnya yang terkait dengan proses reengineering (Hammer dan Champy, 1993) dengan penggunaan pendekatan analitik
top-down.
Berbagai sub-tipe bisa memiliki konotasi berbeda. Beberapa sub-tipe ini menunjukkan betapa pentingnya untuk memastikan bahwa pekerjaan organisasi telah dilakukan dengan benar. Sebuah gaya instruktif menekankan pada aspek pemberitahuan, penginformasian, dan klarifikasi dari pemberian arahan (direction). Follower
membutuhkan instruksi tentang apa yang mereka tidak tahu, apa yang tidak tepat, atau apa yang harus dilakukan bila ada perubahan mandat atau teknologi. Mereka perlu tahu apa aturan yang harus dipatuhi, apa yang disebut pelanggaran, kapan ada pengecualian dan bagaimana cara berinteraksi dengan pihak lain. Terakhir, mereka butuh bantuan saat bertanya dan saat ada masalah. Follower yang tidak mendapat dukungan tugas pastilah tidak terlatih, rawatn salah, mudah bingung, dan sebagainya. Sub-tipe terkait ini adalah penstrukturan. Penstrukturan berarti bahwa aktivitas kerja ditata dengan baik, skedul kerja dikoordinasi, dan rencana kontingensi dibuat. Selalu ada pekerjaan di balik layar yang harus dilakukan manajer dan leader untuk memastikan bahwa masalah tidak akan terjadi, dan bahwa sumberdaya telah diterima dan dialokasikan dengan benar. Penstrukturan bisa berisi pengawasan tugas, apakah itu membaca laporan, menganalisa trend data, atau mengatur dengan berkeliling. Ketiadaan penstrukturan yang baik bisa meningkatkan insidensi masalah dan krisis.
4.3 Gaya Supportif
Sebuah gaya supportif ditunjukkan dengan memperlihatkan perhatian ke follower, menunjukkan kepedulian ke kebutuhan, dan menciptakan lingkungan kerja yang ramah untuk pekerja. Ini banyak difokuskan ke perilaku berorientasi orang, seperti konsultasi (mendengar), mengkoordinasi orang, mengembangkan staff, memotivasi, dan juga membangun dan mengelola tim dan menindaklanjuti konflik. Perlu diingat bahwa perencanaan dan koordinasi personel adalah berbeda dari perencanaan operasi. Perencanaan personel adalah tentang menyesuaikan bakat, kepentingan dan preferensi orang ke pekerjaan, bukan sebaliknya. Sebuah gaya supportif tidak lalu mengurangi kontrol leader jika leader bisa mengarahkan dan mendukung di waktu yang sama. Meski begitu, jika melakukan itu berarti mengurangi posisi leader, maka ini menghasilkan kontrol leader yang rendah. Perilaku supportif menghasilkan kinerja rata-rata, dan banyak peneliti berpendapat bahwa ketiadaan perilaku supportif berarti melemahkan prospek kinerja tinggi. Dihubungkan dengan motivasi, gaya ini menekankan pada kemanusiawian dan martabat, dan sangat dipengaruhi oleh hubungan manusia (Argyris, 1957). Gaya ini juga menggunakan pendekatan internal ke organisasi yang difokuskan ke follower.
Gaya supportif (House, 1971) juga disebut gaya pertimbangan di dalam studi Ohio (Hemphill dan Coons, 1957), pertimbangan individu (Bass, 1985), orientasi hubungan (Likert, 1961), bimbingan (Hersey dan Blanchard, 1969, 1972), dan konsultasi (Vroom dan Yetton, 1973).
Sub-tipe dominannya adalah model kepedulian. Leader harus memastikan bahwa bawahan atau follower merasa berhubungan secara sosial, dan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah kelompok. Ini bisa ditunjukkan oleh suara yang ceria, bahasa tubuh yang ramah, dan inklusivitas dalam aspek sosial pekerjaan. Ini juga berarti bahwa leader berusaha memastikan bahwa follower merasa baik dan konteks kerjanya dihargai. Ini bisa ditunjukkan dengan memberikan perhatian individu, memberikan informasi, dan memberikan pujian. Kedua, leader supportif bisa perhatian ke kebutuhan personal dan karir follower. Ini bisa diperlihatkan dengan menyesuaikan jadwal bagi orang tua yang baru melahirkan atau menyarankan kelas pelatihan manajemen bagi pegawai yang ingin maju. Perilaku ini memunculkan atmosfir kepercayaan di tempat kerja (karena kepentingan pegawai dipertimbangkan bersama dengan kepentingan kerja) dan ini meningkatkan rasa suka dan rasa hormat dari leader. Sub-tipe negatif juga ada bila gaya supportif mengurangi proporsi pertimbangan untuk produksi. Blake dan Mouton (1964) menyebut ini sebagai gaya country club. Dalam gaya ini, emphasis ke kepuasan personal, hubungan interpersonal, dan perkembangan personal menjadi terlalu kuat, sehingga tuntutan lebih kuat untuk meraih standar tinggi, menyelesaikan masalah jangka pendek, dan melawan isu jangka panjang menjadi diabaikan.
4.4 Gaya Partisipatif
mendengar dan empati, sedangkan gaya partisipatif menekankan pada diskusi dan inklusivitas dalam keputusan kerja dan penyelesaian masalah. Gaya partisipatif hanya menggunakan kontrol moderat, setidaknya dalam tujuan kinerja rata-rata, apresiasi kompetensi dan keterlibatan sebagai motivator, dan fokus internal.
Gaya partisipatif (House, 1971) juga disebut sebagai konsultasi (Vroom dan Yetton, 1973), leadership bersama (Locke, 2003) dan superleadership (Manz dan Sims, 1989). Dalam tipologi Hersey dan Blanchard, gaya partisipatif adalah sama seperti gaya supportif, karena membantu mode keputusan dan menjadi kuadran ketiga dalam matrik mereka (dukungan tinggi dan arahan rendah). Gaya ini banyak dibicarakan di literatur tim di tahun 1970-an dan kemudian berkembang pesat di tahun 1990-an di literatur learning organization. Satu varian spesialisnya disebut co-leadership yang mana dua leader berbagi atau memecah tanggungjawab eksekutif, seperti chief executive officer dan chief operating officer (Hennan dan Bennis, 1999).
Satu sub-tipe adalah gaya leadership inklusif. Leader mendiskusikan isu yang ada dengan individu untuk mengangkat masalah dan memperluas informasi dan input, mengkoordinasi kebutuhan kelompok sehingga kebutuhan individu tidak terabaikan, dan memotivasi dengan memberikan inklusivitas kuat. Sub-tipe kedua adalah pendekatan
self-conscious team. Leader bisa memfasilitasi diskusi tim, memberikan parameter keputusan yang relatif luas, dan mengimplementasikan keputusan tim seperti yang disarankan berdasarkan range pembuatan keputusan yang diambil leader untuk kelompok. Sub-tipe ini difokuskan ke pertemuan interaktif, pembelajaran kelompok, dan pengelolaan proses kelompok yang kompleks. Tidak ada sub-tipe negatif tentang leadership partisipatif. Meski begitu, pendekatan kontingensi menyatakan bahwa gaya partisipatif hanyalah satu gaya, dan bahwa ini bukan cara ideal di setiap waktu. Leader yang selalu dalam mode partisipatif bisa tidak efisien meski punya tim yang baik. Contoh, mode eksekutif (yaitu gaya direktif) bisa lebih efektif di beberapa kasus, dan gaya delegatif bisa lebih baik dalam menjaga sumberdaya kelompok di lain kasus. Kadang, kelompok ingin leader menjalankan bisnis secara sepihak karena mereka tidak ingin terbebani oleh detail, dan di waktu lain, pemberian tugas penyelesaian masalah ke seorang individu bisa menghasilkan nalar lebih baik dibanding proses kelompok yang memakan waktu.
4.5 Gaya Delegatif
Sebuah gaya delegatif tertentu tidak lalu masuk di taksonomi gaya, yang kadang merupakan campuran gaya partisipatif dan gaya delegatif yang menjadi range opsi pemberdayaan (Fiedler, 1967; House, 1996). Pihak yang mengidentifikasi gaya delegatif adalah Hersey dan Blanchard (1969, 1972) yang menyebutnya sebagai gaya mendelegasikan. Bowers dan Seashore (1966) menyebut ini sebagai leadership rekan. Locke (2003) menyebutnya leadership bottom-up. Vroom dan Yetton (1973) menamakannya pembuatan keputusan bersama meski lokus keputusan berpihak ke follower.
Teori tentang leadership juga membahas gaya delegatif (Kerr dan Jermier, 1978). Ada pertanyaan yang harus dijawab, yaitu Kapan anda bisa mengurangi fungsi leadership? Ini berbicara tentang situasi pokok ketika leadership bisa dikurangi:
 Follower memiliki pendidikan, pelatihan atau pengalaman untuk pekerjaannya.
 Follower memiliki orientasi profesional, dan menerapkan standar kerja dan norma etika.
 Pekerjaan sudah terstruktur, sehingga relatif sedikit persoalan yang muncul;  Peran dan prosedur sudah jelas.
 Feedback menjadi bagian pekerjaan.
 Pekerjaan telah memuaskan – yang menjadi persepsi self-referential.
 Kelompok kerja bisa kohesif, sehingga ada dukungan untuk pelatihan rekan dan penyelesaian masalah rutin antar anggota.
Dengan kata lain, ketika tipe situasi ini benar-benar ada, maka leadership yang rendah atau delegasi yang banyak menjadi opsi realistik, dengan berasumsi bahwa faktor lain tidak akan memperburuk – dan merumitkan – situasi leadership.
Ada dua bentuk delegasi. Pertama adalah ketika bawahan diberi kewajiban, fungsi, atau tugas yang harus dijalankan. Leader memiliki level pengawasan, klarifikasi dan review yang sama. Bentuk kedua ini adalah ketik bawahan diberi power pembuatan keputusan tambahan terhadap proses, masalah, pengecualian, dan sebagainya. Otoritas ini lebih dekat ke apa yang disebut delegasi sebenarnya, dan ini sering disebut
empowerment. Dalam kondisi yang benar, seperti yang ditunjukkan oleh teori substitusi leadership, empowerment bisa meningkatkan efisiensi bawahan dan leader, dan bisa meningkatkan motivasi. Meski begitu, dengan empowerment lebih besar, bisa dihasilkan akuntabilitas lebih besar dan ada perubahan dalam tipe akuntabilitas. Karena itu, bawahan yang menerima proyek (tanggungjawab), dan kemampuan untuk menjalankannya dalam cara apapun tanpa persetujuan sebelumnya (otoritas), pasti harus bertanggungjawab untuk kualitas keputusan yang dibuat. Empowerment dan otoritas lebih besar bisa berarti bahwa akuntabilitas berpindah dari pendekatan persetujuan-sebelumnya dengan menggunakan metode item-by-item ke review post-performance dalam basis agregat, mungkin untuk proyek keseluruhan atau serangkaian proyek. Empowerment dan otoritas yang lebih besar umumnya mensinyalkan sebuah peralihan ke mekanisme kontrol “internal” seperti norma profesional dan kearifan atau karakter yang terkait dengan kepentingan organisasi.
4.6 Gaya Orientasi Pencapaian
peran, memberikan informasi, mendelegasikan, menyelesaikan masalah, dan mengelola inovasi dan kreativitas. Dalam fokus orang, ini berisi melakukan konsultasi, mengembangkan staff, dan membangun dan mengelola tim. Ada level menengah untuk kontrol leader dan fokus organisasi internal di pihak leader. Gaya orientasi pencapaian dan gaya inspirasional adalah dua gaya yang difokuskan ke tujuan menantang dan harapan tinggi. Basis motivasi primernya adalah pencapaian individu, yang mana ini berbeda dari gaya inspirasional, seperti pendekatan pencapaian kelompok.
Meski dikatakan di sini sebagai satu gaya sendiri, ini bisa beroverlap dengan gaya lain. Ini sama seperti gaya direktif dalam orientasi tugas dan “menyelesaikan pekerjaan”, tapi gaya orientasi pencapaian mendorong orang untuk menyelesaikan tugas, bukan memberikan informasi, memberikan instruksi atau menuntut penyelesaian tugas. Inklusi orang ke penentuan tujuan membuatnya sama seperti gaya partisipatif, tapi gaya partisipatif jauh lebih terfokus ke proses kelompok, pendidikan mutual, dan konsensus dibanding ke tuntutan produktivitas tinggi yang tipikal gaya orientasi pencapaian. Sebuah gaya orientasi pencapaian selalu memiliki elemen individualistik yang kompetitif, dan ini jarang ada di gaya partisipatif, yang menitikberatkan kesetaraan. Pendekatan orientasi pencapaian dan inspirasional berbeda dalam motivasi dan fokus leader, dan pendekatan inspirasional menggunakan perilaku organisasi dan fokus eksternal.
Basis teori dari gaya ini adalah pada literatur pertukaran sosial yang ada di tahun 1950-an (Homans, 1958), yang menekankan basis transaksional dari perilaku sosial. Faktor pencapaian dikemukakan lebih jauh oleh McClellands (1965, 1985), yang mempelajari sifat dibanding gaya, tapi wawasannya setidaknya berguna. Lebih jauh, dia mengemukakan batasan pendekatan orientasi pencapaian, yaitu yang terkait dengan leader yang egois dan terobsesi, dan follower yang merasa dieksploitasi dan penuh ketidakpercayaan. Meski House tidak memasukkan ini ke formulasi awal dari teori path-goal yang dikemukakannya (1971), dia memasukkan ini ke formulasinya di waktu selanjutnya (House dan Mitchell, 1974). Bass (1985) mendiskusikan gaya orientasi pencapaian sebagai reward kontingen, yang kemudian dibedakan dengan elemen pendekatan inspirasional. Tepatnya, normalnya dalam gaya orientasi pencapaian, ada payoff individu yang spesifik (reward kontingen) untuk level pencapaian yang tinggi. Fungsi entrepreneurial dari Mintzberg (1973) juga memunculkan sebuah gaya pencapaian. Gaya ini memiliki ikatan longgar dengan literatur ekselensi dan literatur penentuan tujuan. Management-by-objectives bisa memunculkan sebuah gaya pencapaian, meski ini juga melibatkan pendekatan direktif atau partisipatif bila situasi membutuhkan. Manz dan Sims (1989, 1991) menyebut ini sebagai gaya transaktor.
4.7 Gaya Inspirasional
Sebuah gaya inspirasional menggunakan stimulasi intelektual agar bisa memberikan inde baru atau mendapat persetujuan bagi pendekatan baru, dan mengangkat antusiasme bagi pencapaian tujuan kelompok. Penerimaan kearifan leader dan/atau integritas follower, dan ini didasarkan pada banyak perilaku. Dalam domain tugas, ini berisi pengelolaan inovasi di level operasional. Di dalam domain orang, ini berisi pengelolaan perubahan personel karena gaya ini sering berisi perubahan sikap follower. Di level organisasi, ini berisi pengamatan lingkungan, perencanaan strategis, artikulasi visi, networking dan partnering, pembuatan keputusan, dan pengelolaan perubahan organisasi. Perhatikan bahwa emphasis gaya ini adalah menantang semua tipe perubahan. Gaya ini memiliki level tujuan tinggi, tapi tujuan ini adalah tujuan “perubahan” yang berbeda dari tujuan kinerja kuantitif yang digunakan di gaya orientasi pencapaian. Kadar kontrol leader berbeda dalam sub-gaya. Fokus leader dipecah antara fokus internal ke tugas, dan kebutuhan orang dan kebutuhan eksternal akan struktur baru dan rekonfigurasi produksi. Basis motivasi difokuskan ke pencapaian kelompok lewat akulturasi (“kesatuan” dengan kelompok), hubungan intelektual, dan kepercayaan dan penyemangatan leader.
Gaya inspirasional diperkenalkan sebagai gaya yang menggunakan pendekatan unik dengan pikiran karismatik-transformasional, yang berisi banyak perspektif. Gaya keseluruhan kadang disebut transformasional (Burns, 1978; Tichy dan Devanna, 1986) dan kadang, karismatik (Conger, 1989; Bryman, 1992) ,tapi dalam realitanya, ini adalah kombinasi atau agregasi gaya, dan gaya inspirasional adalah satu elemennya. Elemen tersebut dikemukakan Bass (1985) dan diidentifikasi dalam definisi gaya inspirasional. House (1996) menambahkan enam gaya ke tipologi gaya tahun 1974-nya, yang mana perilaku leader basis-nilai dianggap sama dengan gaya inspirasional.
Mode transformasional yang sedikit berbeda bisa menghasilkan tipe gaya inspirasional yang sedikit berbeda. Ketika pendekatan transformasional diarahkan ke level operasional, kadang, proses peningkatan proses lebih disarankan, dan kadang yang disarankan adalah pendekatan engineering. Pendekatan peningkatan proses ini menitikberatkan pada perubahan dan inovasi yang berasal dari lini, dan menciptakan lingkungan learning-organization. Pendekatan engineering mendorong dilakukannya analisis top-down proses disfungsional yang berisi peningkatan signifikan, yang didasarkan pada arahan leader, jika follower mau mengimplementasikannya (Hammer dan Champy, 1993). Leadership transformasional sering melibatkan perubahan organisasi, dan karena itu, visi, strategi dan misi perlu diartikulasikan. Ada kemungkinan ini adalah proses inklusif dengan pesan egaliter seperti dalam proses pembuatan visi. Ini bisa dikendalikan oleh leader yang berkemauan kuat dengan visi yang tajam, jadwal yang ringkas, dan kemauan untuk membuat keputusan tegas. Yang beroverlap dengan pendekatan berbeda ini adalah aspek karismatik dari leadership perubahan. Leader karismatik dilihat sebagai memiliki “bakat khusus”, wawasan atau kearifan khusus, dan kepribadian yang menonjol (setidaknya di mata banyak orang). Tidak semua leader transformasional, meski begitu, adalah karismatik (Bennis dan Nanus, 1985).
(Conger, 1989; Sandowsky, 1995), dan publik umum sangat paham dengan tokoh karismatik seperti Adolf Hitler, David Koresh, dan Jim Jones. Yukl mengemukakan beberapa masalah yang bisa terjadi di leader inspirasional: “Pesona leader bisa mengurangi saran baik dari follower, keinginan akan diterima leader bisa mengurangi kritik follower, pemujaan oleh follower menciptakan delusi infallibility, konfidensi dan optimisme eksesif bisa membutakan leader ke bahaya riil, penyangkalan masalah dan kegagalan bisa mengurangi pembelajaran organisasi, proyek beresiko dan berskala besar cenderung gagal, dan pemberian pujian menyeluruh untuk kesuksesan bisa mengesampingkan beberapa follower kunci” (Yukl, 2002).
4.8 Gaya Strategis
Sebuah gaya strategis menfokuskan perhatiannya ke urusan organisasi di dalam konteks lingkungan, yang nantinya akan meningkatkan penyesuaian organisasi, kemampuan organisasi dalam mendapat dan menjaga sumberdaya, dan peluang untuk mendapat keuntungan komparatif dalam setting publik dan mendapat keuntungan kompetitif di setting privat. Ini didasarkan pada kapasitas untuk mempelajari, merubah dan mengimplementasikan inisiatif secara efektif (Boal dan Hooijberg, 2001; Pajunen, 2006). Tidak heran, ini melibatkan semua perilaku organisasi, tapi juga memberikan emphasis ke pengamatan lingkungan, perencanaan strategis, artikulasi visi, pembuatan keputusan dan pengelolaan perubahan organisasi. Berbagai situasi lain memiliki overlap signifikan dengan leadership strategism seperti visioner (basis ide), ideologi (basis prinsip), entrepreneurial (basis inovasi teknis), dan karismatik (ketika perubahan disertai dengan kepribadian kuat).
Banyak literatur gaya-leadership sebelumnya menghapus gaya strategis karena fokus literatur adalah pada operasi unit dan internal, yaitu pada orang dan tugas. Leadership strategis banyak didiskusikan di literatur lama, meski tidak selalu disebut gaya. Literatur manajemen strategis membicarakan isu yang harus dipertimbangkan oleh leader di mode eksternal. Beberapa penelitian yang mempelajari gaya leadership menjelaskan evolusi organisasi dan kebutuhan leadership spesifiknya (Tushman dan Romanelli, 1985; Lord dan Maher, 1991), kedudukan leadership (Hambrick dan Fukutomi, 1991), tim eksekutif (Ancona dan Nadler, 1989), dan suksesi leadership (Day dan Lord, 1988). Contoh, sebuah organisasi yang memiliki periode leadership stabil yang panjang dengan leader terfokus internal, tapi kurang sentuhan dengan lingkungannya, mungkin mencari leader fokus eksternal yang mampu menemukan peluang baru dan membuat perubahan strategis untuk mencegah kemerosotan organisasi. Pendekatan transformasional dan karismatik berisi elemen strategis tapi ini dilakukan dengan menciptakan mega-gaya yang lebih besar seperti aspek supportivitas dan partisipasi (Kousez dan Posner, 1987), pencapaian (Bass, 1985) dan inspirasi (Conger dan Kanungo, 1987).
Aspek negatif dari gaya ini adalah pada mis-aplikasi. Sepertinya mudah untuk salah menilai tipe perubahan yang terjadi, atau salah mendiagnosa level perubahan yang dianggap ideal. Proses perubahannya sangat menantang, sehingga mengecilkan kesulitan bisa menimbulkan kegagalan yang membahayakan organisasi. Terakhir, mendapat timing yang benar adalah proses penting tapi juga menantang (Bartunek dan Necochea, 2000).
4.9 Gaya Kolaboratif
Sebuah gaya kolaboratif difokuskan ke representasi, networking/partnering
eksternal, goodwill, dan “memperluas potongan pie” (perspektif win-win eksternal). Fungsi representatif memberikan sebuah kesan keberadaan organisasi. Networking memberikan kesan collegiality, kontak, dan meningkatkan kepercayaan yang bisa berasal dari interaksi jangka panjang. Partnering bisa melibatkan proyek kooperatif yang menghasilkan keuntungan mutual. Semua aktivitas ini cenderung membangun goodwill meski dalam saat yang sama juga memberikan keuntungan organisasi dan personal yang jangka panjang (Kanter, 1994). Sebuah gaya kolaboratif juga digunakan bila leader berusaha membangun komunitas profesional atau lokal (Chrislip dan Larson, 1994). Pembentukan komunitas bisa untuk self-gain mutual lewat perluasan kapasitas atau reputasi kluster organisasi, tapi in ijuga bisa didasarkan pada alasan etika seperti peningkatan kebaikan umum (Luke, 1998). Aktivitas philantropik seperti donasi waktu, sumberdaya, dan uang masuk di dalam gaya ini. Ada banyak kondisi yang memiliki overlap kuat dengan gaya kolaboratif, seperti leadership komunitas (Schweigert, 2007), leadership integral (McCrimmon, 2007), leadership global (Goldsmith, dkk, 2003), leadership fasilitatif di dalam kelompok (Schwarz, 2002) dan di dalam setting politik pemerintah lokal (Svara, 1994), networking (Graen dan Graen, 2006, 2007), partnering (Segil, Goldsmith, dan Belasco, 2003), dan pembagian power (Bryson dan Crosby, 1992).
Gaya strategis dan gaya kolaboratif leadership memiliki fokus eksternal, tapi gaya kolaboratif bukanlah kompetitif. Ini juga berhubungan dengan gaya inspirasional dalam menciptakan perilaku kelompok untuk tujuan tidak egois, tapi di level komunitas, bukan di dalam organisasi. Sub-tipe ini berisi “chairman” yang menitikberatkan representasi dalam fungsi publik (peran tokoh dan juru bicara yang dicontohkan Mintzberg ,1973); “partner”, yang mencari keuntungan mutual saat bekerja kolaboratif; “kolega berpikiran sipil” yang ikut dalam komunitas tanpa payoff dalam pikiran, dan “philanthropist” yang memberikan derma dan memberikan dukungan signifikan ke aktivitas komunitas non-profit.
4.10 Gaya Kombinasi
Sebuah gaya kombinasi adalah penggunaan dua atau lebih gaya secara simultan di satu gaya fusi, contohnya direktif dan supportif. Perilaku ini berbeda berdasarkan gaya yang difusikan, atau dimensinya.
Ada beberapa jenis gaya kombinasi. Contoh, banyak taksonomi di literatur yang memiliki kategori sedikit adalah kombinasi berbagai gaya yang memiliki karakteristik sama. Sebuah gaya direktif bukan hanya berisi definisi sempit, tapi juga berisi aspek gaya delegatif, orientasi pencapaian dan inspirasional. Sebuah gaya supportif bisa berisi aspek gaya partisipatif dan inspirasional. Karena itu, gaya kombinasi bisa berupa kluster gaya dengan persamaan.
Meski begitu, beberapa gaya kombinasi mengintegrasikan beberapa elemen atau perspektif berbeda untuk meraih sebuah keseimbangan keseluruhan. Salahsatu contoh dari ini adalah leadership tim seperti yang didefinisikan oleh Blake dan Mouton (1964, 1965) dalam teori grid leadership. Leader ideal adalah yang supportif dan direktif – dua gaya yang berbeda konsep. Gaya System 4 dari Likert adalah yang sama dengan pendekatan ini (1981). Iterasi lebih jauh tentang teori leader-member exchange merekomendasikan gaya kombinasi antara direktif, supportif dan partisipatif (Graen dan Uhl-Bien, 1995). Locke (2003) menyatakan sebuah gaya kombinasi “integrasi”, yang didefinisikan sebagai elemen gaya top-down, elemen bottom-up dan elemen gaya bersama (shared). Lipman-Blumen (2000) menyebut gaya kombinasi ini sebagai “konektif”, meski dia melihat ini sebagai gaya alternate yang menyesuaikan kebutuhan organisasi.
Gaya kombinasi yang paling inklusif adalah gaya transformasional. Contoh, gaya transformasional dari Bass (1985) berisi gaya yang sudah dijelaskan sejauh ini (meski partisipatif dan delegatif berimplikasi lebih besar). Dalam hirarki gaya leadershipnya, leader berawal dengan menggunakan perilaku direktif (gaya laissez-faire yang lamban), selanjutnya diteruskan dengan mengintegrasikan perilaku orientasi pencapaian dan perilaku supportif dan inspirasional, yang didasarkan pada perspektif eksternal. Pendekatan ke gaya ini memberikan beberapa keuntungan. Bila dilakukan dengan baik, seperti dalam kasus Bass, maka tampilannya intuitif. Ini bisa elegan karena ini membawa pengetahuan gaya ke dalam hirarki satu gaya. Ini mempertimbangkan kompleksitas dan keartistikan penggunaan gaya leadership. Kelemahannya juga besar, meski begitu. Karena luasnya skop gaya, yang menjadi pendekatan universal, maka saran bagi manajer cenderung sangat abstrak (singkat). Kapan dan bagaimana elemen gaya transformasional bisa digunakan di berbagai situasi konkrit? Untuk mengatasi masalah ini, Kouzes dan Posner (1987) menfokuskan diri ke perilaku inspirasional (melawan proses, menginspirasikan visi bersama, mendukung pihak lain untuk beraksi, mencontohkan cara, dan mendorong segenap hati), tapi mereka tidak lagi mendiskusikan gaya transformasional dengan keragaman gaya. Pendekatan transformasional selalu dianggap condong ke perubahan dan perilaku inspirasional, meski di banyak waktu, pendekatan yang lebih stabil dengan gaya lebih “duniawi” bisa jadi lebih tepat.
supervisor bisa memiliki pegawai nakal di kantornya yang harus selalu diperingatkan dan diarahkan (memerintahkan peningkatan kinerja), yang di saat sama, dia harus menunjukkan keprihatinan, empati dan dukungan (yaitu gaya fusi). Seorang leader transformasional bisa merotasi arah, dukungan, inspirasi, fokus eksernal dan sebagainya di setiap hari dan setiap minggu. Meski begitu, seorang leader transformasional bisa memerintah follower tapi juga menginspirasikannya dan menstimulasi semangat pencapaian personal. Seorang jenderal, tepat sebelum bertempur, pasti memberikan komando, dan selalu meyakinkan tentaranya dengan imej kesuksesan kelompok dan penghormatan individu. Yang lebih penting dibanding menjawab pertanyaan skop gaya atau rata-rata gaya versus fusi adalah menganalisa tipe gaya berbeda yang telah dijelaskan oleh peneliti berbeda, dan kemampuan memikirkan gaya yang dianut oleh manajer praktek.
5. KESIMPULAN
Bab ini memberikan latarbelakang untuk memahami dan mengkritik teori leadership. Pendekatan ilmiah ke studi leadership mengemukakan empat pertanyaan, yaitu Apa yang disebut faktor kontingensi paling penting? Apa gaya leader yang dominan? Apa korelasi antara variabel dan gaya kontingensi ? Apa korelasi antara gaya dan efektivitas leader? Bab ini memberikan review pada dua pertanyaan pertama, yang merupakan rangka bangun teori. Meski begitu, pertanyaan ketiga dan keempat adalah jantung teori leadership, dan ini akan dijelaskan di bab-bab selanjutnya.
Variabel yang mempengaruhi leadership – kontingensi – bisa jadi sangat ekstensif. Lima kluster kontingensi akan didiskusikan lebih jauh. Satu kelompok kontingensi berhubungan dengan karakteristik leader. Kapan karakteristik leader bisa berbeda, dan bagaimana gaya tersebut bisa berbeda? Kelompok lain adalah karakteristik tugas. Kejelasan tugas, ambiguitas proyek, dan interdependensi tugas adalah isu yang sering mempengaruhi gaya. Kelompok karakteristik lainnya adalah karakteristik bawahan – sifat dan skill, komitmen ke tugas, dan atribusi kemampuan dan keterpercayaan leader. Kategori lain dari variabel ini adalah yang bersifat organisasional. Hubungan power, desain organisasi, keterkaitan eksternal dan ketidakpastian lingkungan, semuanya mempengaruhi tipe gaya yang digunakan leader. Selain itu, beberapa variabel lain-lain dianggap menghasilkan pendekatan spesialis atau sub-bidang studi leadership. Dua contoh dari ini adalah adalah etika leader dan gender leader.
Gaya leader adalah level analisis yang lebih tinggi dibanding kompetensi leader (perilaku, sifat dan skill), tapi lebih rendah dibanding kategori meta leadership. Ini didefinisikan sebagai kluster perilaku leader berukuran moderat, yang digunakan untuk mendeskripsikan atau mempreskripsikan pola leader ideal. Ini adalah level analisis populer bagi publik awam dan peneliti karena ini memberikan spesifisitas lebih banyak dibanding kategori meta abstrak, tapi memiliki elegansi lebih banyak dibanding teori perilaku dan teori kompetensi yang berisi lusinan faktor. Beberapa masalah dari level analisis ini adalah bahwa gaya harus didefinisikan dalam arti operasional, dan definisi operasional ini bisa beragam. Ini kemudian memunculkan m masalah nomenklatur. Beberapa teori memang komprehensif, yang memberikan fokus lebih besar, tapi menghubungkan teori tersebut sangat sulit. Untuk mengatasinya, bab ini membahas dimensi paling umum dari gaya seperti kontrol leader, tujuan dan harapan kinerja, tipe motivasi, dan fokus perhatian leader, atau gaya paling umum di dalam literatur.
menunjukkan ketidakpedulian pasif ke tugas dan bawahan. Gaya direktif ditunjukkan ketika leader memberitahu bawahannya apa yang harus dilakukan, memberikan arah dan panduan, meminta bawahan patuh ke aturan dan prosedur, dan menjadwalkan dan mengkoordinasi aktivitas kerja. Gaya supportif ditunjukkan lewat pertimbangan ke follower, menunjukkan kepedulian ke kebutuhan, dan menciptakan lingkungan kerja ramah bagi setiap pekerja. Leader yang menggunakan gaya partisipatif berkonsultasi dengan bawahan dan mempertimbangkan opini mereka, memberikan saran dan advis daripada arah, dan menciptakan lingkungan kerja ramah dan kreatif untuk tim keseluruhan. Gaya delegatif didefinisikan sebagai gaya yang memberikan bawahan kebebasan untuk pembuatan keputusan dan bebas dari pengawasan harian dan review jangka pendek. Dalam gaya orientasi pencapaian, leader menetapkan tujuan tugas menantang, meningkatkan tugas, menitikberatkan ekselensi dalam kinerja follower, dan memperlihatkan konfidensi bahwa follower berkinerja baik. Sebuah gaya inspirasional menggunakan stimulasi intelektual agar menghasilkan ide baru atau menerima persetujuan untuk pendekatan baru, menggunakan motivasi inspirasional untuk meraih tujuan kelompok, dan membuat kearifan dan/atau integritas leader agar diterima follower. Sebuah gaya strategis menfokuskan perhatian leader, khususnya eksekutif, ke lingkungan kompetitif dan membutuhkan kapasitas untuk belajar, berubah dan mengimplementasikan perubahan secara bijak. Sebuah gaya kolaboratif digunakan bila leader ikut di lingkungan eksternal untuk merepresentasikan network dan partner dalam cara non-kompetitif. Sebuah gaya kombinasi adalah menggunakan dua atau lebih gaya secara simultan dalam sebuah gaya fusi, contohnya, direktif dan supportif. Meski gaya ini tidak mutual eksklusif, ini sudah unik secara konseptual sebagai kategori karena polanya dan karena penggunaannya oleh peneliti dan penulis leadership.
TUGAS DAN DISKUSI KELAS
1. Pembuatan makalah secara individu yang akan didiskusikan dalam kelas 2. Pembuatan makalah secara kelompok yang akan didiskusikan dalam kelas 3. Makalah individu dan kelompok menjadi tugas akhir mahasiswa
REFERENSI
Argyris (1957); House (1971 - 19996); Hemphill dan Coons (1957); Bass (1985); Likert (1961); Hersey dan Blanchard (1969 – 1972); Vroom dan Yetton (1973); Blake dan Mouton (1964). Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Barta dan Necochea (2000); Konter (1994); Chriship dan Larson (1994); Luke (1998); Schweigert (2007). Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Dawson (2003); Burn (1978); Greenleaf (1977); Heifetz (1994); Block (1993); Mann (1959).
Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Donnel dan Hall (1980); Eagly dan Johnson (1990); Mainiero (1994); Bass (1985); Blake Mouton (1964-1965). Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Fiedler (1967); Blake dan Mouton (1965); Vroom dan Yetton (1973); Manz dan Sims (1989); Locke (2003); Taylor (1911); Gulick (1973); Hammer dan Champy (1993). Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Hersey dan Blanchard (1969 – 1972); Bowers dan Seashore (1966); Kerr dan Jermier (1978).
Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Homans (1958); Mc Cellends (1965 – 1985); House dan Michel (1974); Mintzberg (1973); Manz dan Sims (1989 – 1991); Burns (1978); Tichy dan Devanna (1986); Conger (1989); Bryman (1992); House (1996); Sandowsky (1995); Yukl (2002). Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011).
Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
House (1971); Vroom dan Yetton (1973); Locke (2003); Manz dan Sims (1989); Hersey dan Blanchard (1970 – 1990); Hennen dan Bennis (1999). Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Kouzes dan Posner (1987). Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Mc Crimmon (2007); Goldsmith dan Grean (2006 – 2007); Segil, Goldsmith, dan Balesco (2003); Bryson dan Crosby (1992). Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.
Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England. Rangka Dasar Teori: Teori Kontigensi dan Gaya leader. Dalam Montgomery Van Mart (2011). Dynamics of Leadership in Public Service Theory and Practice. Second Edition. M.E. Sharpe Armonk, New York, London, England.